Feminisme dan Gerakan Perempuan Tinjauan Fiqh

advertisement
FEMINSME DAN GERAKAN PEREMPUAN
TINJAUAN FIQH MAZHAB NEGARA DI INDONESIA
Sahran Raden *
Abstract
This paper deals with the fiqh’s concept which particularly
relates state’s madhhab to feminism and women’s movement in
Indonesia. It is widely held that women still undergo
discrimination within society, and this is associated with
traditional and patriarchal values, in which they do not have
wide access to education, job, decision-making, and other
aspects. This creates a problem which requires an effort of
empowering women in order that they can get involved in the
process of development. Lack of women’s participation leads to
a gap. Therefore, they need regulations which support women’s
participation. This is called fiqh according to state’s madhhab.
Kata Kunci: feminisme, gerakan perempuan, fiqh mazhab negara
Pendahuluan
Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan
dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu
keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat
internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali
Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam
penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas
perempuan —seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980,
Nairobi tahun 1985, dan di Beijing tahun 1995— maupun forum tingkat
dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT
Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi Kependudukan.
Hingar bingarnya isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka
respon dari berbagai pihak di Dunia Islam, di antaranya ialah semakin
banyaknya para propogandis feminisme baik secara individual maupun
84
Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM-LSM. Feminisme yang
aslinya merupakan derivat ide sekularisme atau sosialisme itu, akhirnya
menginfiltrasi ke dalam Dunia Islam. Maka tersohorlah kemudian namanama feminis muslim semisal Fatima Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen
(Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Amina
Wadud Muhsin (Malaysia), serta Didin Syafrudin, Wardah Hafizah, dan
Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di Indonesia khususnya dapat
disebut beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme, seperti Yayasan
Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas
Perempuan dan sebagainya.
Senyatanya, ide-ide feminisme yang dilontarkan kelompok-kelompok
tersebut nampaknya cukup berpotensi menitikkan air liur kaum muslimah
yang lapar perjuangan, yakni mereka yang mempunyai semangat dan
idealisme yang tinggi untuk menguah kenyataan yang ada menjadi lebih
baik. Itu karena di samping didukung teknik penyuguhan yang ―ilmiah‖, ideide feminisme itu dikemas dengan retorika-retorika dan jargon-jargon
emosional yang dapat menyentuh lubuk-lubuk perasaan mereka, seperti
jargon ―perjuangan hak-hak wanita‖, ―penindasan wanita‖, ―subordinasi
wanita‖ dan lain-lain. Selain itu, realitas masyarakat yang berbicara
terkadang memang menampilkan sosok kaum wanita yang memilukan :
terpuruk di bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kesejahteraan, politik,
sosial dan lain-lain. Walhasil, tak diingkari gerakan-gerakan perempuan itu
berpotensi menyedot simpati para muslimah. Lalu, mesti bagaimana kaum
muslimah bersikap?
Feminisme, sebagai ruh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian
sebagai ―Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap
perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta
tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan
tersebut‖.1 Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme
1
Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Cet. 1,
( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), 5.
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan
85
(diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem
patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah
seorang feminis. Adapun seorang feminis muslim, menurut Yuhanar Ilyas,
selain harus memenuhi kriteria tersebut, yakni memiliki kesadaran akan
ketidakadilan gender (gender inequalities), yang menjadi benang merah
pengikat semua paham feminisme, dia haruslah beragama Islam dan
mempersoalkan ajaran Islam.2 Menurut analisis feminisme, ketidakadilan
gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep
gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata ―gender‖ dan
―seks‖ secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis
kelamin. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati
(given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks
hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan
jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan,
menyusui, sementara lelaki tidak.
Saat ini di Indonesia gerakan perempuan, tidak saja hanya sekedar
suatu gerakan pemikiran teologis, akan tetapi telah menjadi suatu
mainstream negara dalam melaksanakan kebijakan pembangunan di bidang
sosial, politik, budaya dan hukum. Dalam konteks demikian, tulisan ini
hendak menelaah suatu presfektif fiqh mazhab Negara terhadap feminisme
dan gerakan perempuan di Indonesia.
Feminisme dan gerakan perempuan
Pada dasarnya feminisme merupakan implementasi dari kesadaran
untuk menciptakan keadilan gender dalam kerangka demokratisasi dan
HAM. Gerakan tersebut diperkirakan muncul seiring dengan ideologi
aufklarung (enlightment) yang muncul di Eropa pada abad 15-18. Gagasan
yang dominan pada waktu itu adalah paham rasionalisme yang ditandai
dengan pemujaan akal, pikiran dan rasio. Ide rasionalis mempengaruhi
revolusi Prancis (1789-1793) dengan menggunakan slogan kebebasan dari
2
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur‟an Klasik dan Kontemporer, (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1997), 55.
Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
86
penindasan (liberte), pengakuan terhadap persamaan hak (egalite) dan
semangat persudaraan (fraternite) sebagai semboyan untuk meruntuhkan
rezim kerajaan yang otoriter yang digantikan dengan kekuasaan republik
yang menggunakan sistem demokrasi. Namun perempuan tidak serta merta
bisa menikmati hasil dari perjuangan tersebut. Karena setelah revolusi
Prancis, peratura-peraturan yang merugikan perempuan tetap berlaku dan
disahkan kembali. Dari sejarah gerakan perempuan di Prancis menunjukkan
bahwa perempuan tidak bisa serta merta mendapatkan hak yang sama
dengan laki-laki meskipun terlah muncul gagasan, liberte, egalite, dan
fratenite sebagai nilai-nilai universal kemanusiaan. Hegemoni ptriarki dan
kuatnya sistem sosial budaya yang mengakar menghambat geliat perempuan
dalam menuntut keadilan.

Feminis Liberal
Dasar dari pemikiran kelompok ini adalah bahwa semua manusia lakilaki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi dan seharusnya tidak
ada penindasan antara satu dari yang lainnya. Pandangan ini berakar dari
prinsip freedom dan egalite yang berakar dari rasionalitas. Menurut Yunahar
Ilyas bahwa Prinsip liberalis adalah adanya kesempatan yang sama dan hak
yang sama. Hak laki-laki secara otonomis menjadi hak perempuan, tetapi
bukan berarti terdapat persamaa secara menyeluruh diantara keduanya. 3
Dalam beberapa hal, terutama fungsi reproduksi yang menyebabkan
perbedaan fungsi dalam masyarakat. Akan tetapi organ reproduksi bukan
penghalang perempuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Oleh karena
3
Ibid, 46. Feminisme Liberal diarahkan pada perubahan/pembaharuan undang-undang dan
hukum, yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam bidang
ekonomi, peraturan dan politik secara setara dengan lelaki. Feminisme Marxis lebih
diarahkan untuk menghilangkan penindasan ekonomi perempuan dengan menghapus sistem
pemilikan pribadi, yang ditempuh dengan cara mengajak perempuan untuk memasuki sektor
publik, sehingga perempuan menjadi produktif (menghasilkan materi/uang). Feminisme
Radikal berpendapat bahwa sumber penindasan perempuan bersumber dari sistem patriarki,
yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga dan merupakan figur dominan dalam
keluarga. Feminisme Sosialis, merupakan sistesis dari Feminisme Marxis dan Feminisme
Radikal. Feminisme Sosialis lebih menfokuskan diri pada penyadaran perempuan akan
kondisinya yang mengalami penindasan sistem patriarki dan penindasan ekonomi
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan
87
itu strategi pemberdayaan perempuan adalah cukup dengan
mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan, tanpa harus
mengubah struktur secara menyeluruh. Dan dalam pemberdayaan permpuan,
laki-laki bisa dijadikan sebagai partner.

Feminis Radikal
Menurut mereka penindasan kaum perempuan oleh laki-laki berakar
dari kondisi biologis yaitu jenis kelamin laki-laki berserta ideologi
patriarkhi, termasuk di dalamnya penguasaan fisik dan hubungan seksual
dan hubungan keluarga, sehingga revolusi dan perlawanan terhadap
penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal. Golongan
ini mengambil bentuk model perjuangan maskulinitas yaitu persaingan
untuk mengatasi laki-laki untuk memberi ruang politik bagi perempuan,
mereka memiliki semboyan; personal is political. Untuk itu ketimpangan
tersebut hanya bisa dihilangkan dengan penyadaran kaum perempuan. 3)
Feminis Marxis
Penindasan perempuan merupakan bagian dari penindasan kelas,
persoalan perempuan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme.
Munculnya private poperty yang menjadi dasar perdagangan dan produksi
dimana laki-laki yang emmiliki kekuasaan untuk mengontrol proses
tersebut, sehingga mereka mendominasi hubungan sosial, politik, dan juga
perempuan.
Pada zaman kapitalisme penindasan perempuan dilanggengkan karena
dianggap menguntungkan. Seperti dengan pelanggengan peran domestik
dengan eksploitasi pulang ke rumah agar buruh laki-laki lebih produktif
dalam bekerja. Atau jika perempuan berperan diluar urusan domestik
menjadi buruh misalna, mereka adalah cadangan buruh yang lebih murah
dari laki-laki yang jumlahnya tidak terbatas. Penindasan perempuan
merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural.
Sehingga mereka menganggap musuh perempuan sebenarnya bukanlah lakilaki atau budaya patriarkhi melainkan sistem kapitalis. Penyelesaian harus
bersifat struktural dengan melakukan perubahan struktur kelas dan
Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
88
pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional yang disebut
proses evolusi. Setelah evolusi perempuan masih akan menghadapi
permasalahan peran domestik. Maka sebagai solusi perempuan harus terlibat
dalam proses produksi dan berhenti mengurus rumah tangga.

Feminisme sosialis
Merupakan sintesis antara metode historis materialis Marx dan Engel
dengan gagasan personal is political dari feminis radikal. Ketidakadilan
bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, juga bukan
karena produksi dan reproduksi dalam masyarakat tetapi lebih karena
manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi sosial
terhadap perbedaan itu. Penindasan perempuan tidak semata-mata karena
eksploitasi ekonomi., tapi analisis patriarkis juga penting untuk
digabungkan dengan analisis kelas. Kritik terhadap eksploitasi kelas dari
sistem kapitalisme harus dilakukan bersama-sama dengan kritik keadilan
gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi
perempuan. Partisipasi perempuan dalam ekonomi tidak selalu akan
menaikkan status perempuan, tapi keterlibatan perempuan biasanya hanya
pada posisi budak (pekerja) dan justru dianggap menjerumuskan
perempuan.
Berdasarkan sebuah pemahaman diatas, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa wacana analisis gender merupakan sebuah kesadaran
perlawanan terhadap sistem sosial budaya dan struktur sosial masyarakat
yang melembaga. Sehingga suatu perlawanan mutlak diperlukan guna
memberi pemaknaan yang tepat tentang relasi gender dari setiap
pemahaman yang ada. Konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu
sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan
kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya
bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran
domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor
publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu
pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang,
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan
89
konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan.
Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubahubah lagi. Meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama
mengenai ketidakadilan gender, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam
sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender tersebut dan juga dalam target
yang akan dicapai dalam perjuangan mereka. Perbedaan perspektif inilah
yang kemudian melahirkan empat aliran utama feminisme, yaitu feminisme
liberal, feminisme marxis, feminisme radikal dan feminisme sosialis.
Ketika ide-ide feminisme ini tersebar dan diadopsi oleh sebagian kaum
muslimin, merekapun lalu membuat analisis sendiri mengenai sebab-sebab
terjadinya ketidakadilan gender. Menurut Asghar Ali Engineer, terjadinya
ketidakadilan gender adalah akibat asumsi-asumsi teologis bahwa
perempuan memang diciptakan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki,
misalnya asumsi bahwa perempuan memang tidak cocok memegang
kekuasaan, perempuan tidak memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki,
perempuan dibatasi kegiatannya di rumah dan di dapur. Asumi-asumi ini
menurut Asghar adalah hasil penafsiran laki-laki terhadap Al Qur’an untuk
mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan.4 Para feminisme muslim
pun lalu mengajukan konsep kesetaraan sebagai jawaban terhadap problem
ketidaksertaan gender tersebut. Asghar, salah seorang dari mereka,
mengajukan konsep kesetaraan antara lelaki dan perempuan dalam Al
Qur’an yang menurutnya mengisyaratkan 2 (dua) hal: Pertama, dalam
pengertiannya yang umum, harus ada penerimaan martabat kedua jenis
kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa
laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang
sosial, ekonomi dan politik, seperti kesetaraan hak untuk mengadakan akad
nikah atau memutuskannya, kesetaraan hak untuk memiliki atau mengatur
harta miliknya tanpa campur tangan pihak lain, kesetaraan hak untuk
4
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1994), 55.
90
Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
memilih atau menjalani cara hidup, dan kesetaraan hak dalam tanggung
jawab dan kebebasan.5
Secara ringkas, substansi ide feminis muslim ini menurut Taqiyyuddin
An Nabhani ialah menjadikan kesetaraan (al musaawah/equality) sebagai batu
loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan.6 Dengan kata lain,
feminisme itu ide dasarnya adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan
perempuan. Sementara ide cabang yang di atas dasar itu, ialah kesetaraan
hak-hak-hak antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan konsep kesetaraan hak itulah, para feminis muslim
membatalkan dan mengganti banyak ide dan hukum Islam yang mereka
anggap tidak sesuai dengan konsep kesetaraan hak antara laki-laki dan
perempuan. Namun mereka tidak menyebutnya sebagai ―penggantian‖ atau
―pembatalan‖ hukum Islam, melainkan ―penafsiran ulang‖ atau bahkan
―pelurusan‖ dan ―koreksi‖. Jadi seolah-olah hukum-hukum Islam itu keliru,
atau ditafsirkan secara keliru, sehingga perlu diluruskan oleh para feminis
muslim. Para mufassir atau mujtahid yang mengistinbath hukum-hukum
yang dianggap mengekalkan ketidakadilan gender tersebut, oleh kaum
feminis muslim dicap secara sepihak sebagai orang yang terkena bias gender
dalam ijtihadnya, serta dinilai hanya bermaksud mengekalkan dominasi lakilaki atau penindasan wanita. Mereka, misalnya, menolak konsep penciptaan
Hawa dari Nabi Adam AS, konsep kepemimpinan rumah tangga bagi lakilaki, hukum kesaksian 1:2 (satu laki-laki dua perempuan), hukum kewarisan
2:1 (dua bagian laki-laki satu bagian perempuan), kewajiban
berjilbab/batasan aurat perempuan, kebolehan poligami, dan sebagainya.
Mereka menolak pula keharaman melakukan hubungan seksual dengan
suami saat isteri haid, dan menolak keharaman wanita melakukan sholat saat
haid. Mereka tolak pula ketentuan hukum shaf laki-laki dalam sholat di
bagian depan shaf perempuan. Mereka menolak hukum haramnya wanita
menjadi penguasa. Sebaliknya, mereka malah membolehkan wanita menjadi
imam sholat dalam jamaah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka
5
6
Ibid.
Taqiyuddin al-Nabhani, An Nizham Al Ijtima‟i fil Islam, (Beirut: Dar al-Ummah, 1990), 77.
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan
91
bolehkan pula wanita memberikan khutbah Jumat dan mengumandangkan
azan.7 Untuk menjustifikasi penafsiran mereka, mereka menggunakan
metode historis–sosiologis untuk memahami nash-nash Al Qur’an dan As
Sunnah. Metode ini mengasumsikan bahwa kondisi sosial masyarakat
merupakan ibu kandung yang melahirkan berbagai peraturan. Tegasnya,
kondisi masyarakat adalah sumber hukum. Lahirnya hukum pasti tidak
terlepas dari kondisi suatu masyarakat dalam konteks ruang (tempat) dan
waktu (fase sejarah) yang tertentu. Sehingga jika konteks sosial berubah,
maka peraturan dan hukum turut pula berubah.13 Dalam hal ini, para feminis
memandang telah terjadi perubahan konteks sosial yang melahirkan hukumhukum Islam seperti di atas. Karenanya, hukum-hukum itu harus ditafsirkan
ulang agar sesuai dan relevan dengan konteks masyarakat modern saat ini.
Landasan Fiqh: Menolak Feminisme
Feminisme apa pun bentuknya harus ditolak, mengingat argumenargumen berikut ini:
Pertama, feminisme sebenarnya terlahir dalam konteks sosio-historis
khas di negara-negara Barat terutama pada abad XIX–XX M ketika wanita
tertindas oleh sistem masyarakat liberal-kapitalistik yang cenderung
eksploitatif. Maka dari itu, mentransfer ide ini ke tengah umat Islam, yang
memiliki sejarah dan nilai yang unik, jelas merupakan generalisasi sosiologis
yang terlalu dipaksakan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Klaim bahwa wawasan sosiologis bersifat universal, mengandung
kepongahan yang dapat mengakibatkan dilema serius bagi para sosiolog.
Robert M. Marsh menandaskan : ―Sosiologi telah dikembangkan di sebuah sudut
kecil dunia, dan dengan demikian, amat terbatas sebagai suatu skema universal.8
7
Untuk uraian terperinci mengenai ide-ide feminis muslim ini, lihat Yunahar Ilyas, Feminisme,
61 – 104. Juga lihat laporan Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban
Masyarakat Kontemporer, Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tanggal
9–11 Desember 1995.
8
Robert M. Marsh, Comperative Sosiology, (Brace and World, New York, 1967), 19.
92
Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
Kedua, feminisme bersifat sekularistik, yakni terlahir dari aqidah
pemisahan agama dari kehidupan. Hal ini nampak jelas tatkala feminisme
memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada, yang tak bersandar
pada satu pun dalil syar’i. Jadi, para feminis telah memposisikan diri sebagai
menjadi Musyarr’i (Sang Pembuat Hukum), bukan Allah Azza wa Jalla.
Maka dari itu, tanpa keraguan lagi dapat ditegaskan, feminisme adalah
paham kufur. Allah SWT berfirman: ―Siapa saja yang tidak memberikan keputusan
(hukum) dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.‖ (Al
Maaidah : 44).
Adapun para feminis muslim yang mencoba membenarkan ide-ide
feminisme dengan dalil-dalil syar’i, sesungguhnya tidak benar-benar
menjadikan dalil syar’i sebagai tumpuan ide feminisme. Sebenarnya, yang
mereka lakukan adalah mengambil asumsi-asumsi feminisme apa adanya,
lalu mencari-cari ayat atau hadits untuk membenarkannya. Kalau ternyata
ada ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan konsep kesetaraan gender
yang mereka anut secara fanatik, maka ayat atau hadits itu harus diubah
maknanya sedemikian rupa agar tunduk kepada konsep kesetaraan gender.
Ketika mereka mendapatkan ayat atau hadist yang tidak sesuai dengan
konsep tersebut, seperti hukum waris 2:1 (dua bagian laki-laki setara dengan
satu bagian perempuan), atau ketidakbolehan perempuan menjadi
penguasa), mereka lalu menta`wilkan –tepatnya : memperkosa– ayat atau
hadits tersebut agar sesuai dengan selera mereka. Ini artinya, sebenarnya ide
feminismelah yang menjadi standar, bukan ayat atau hadits itu sendiri.
Andaikata ayat atau hadits yang menjadi standar, niscaya mereka akan
tunduk kepada makna yang terkandung dalam ayat atau hadits apa adanya,
serta tidak akan melakukan berbagai re-interpretasi yang malah
menghasilkan pendapat-pendapat rusak seperti yang telah disebutkan di
atas.
Ketiga, para feminis muslim, menggunakan metode historis-sosiologis
khas kaum modernis untuk memahami nash-nash syara’. Metode ini
sebenarnya berasal dari sistem hukum Barat yang memandang kondisi
masyarakat sebagai sumber hukum. Fakta masyarakat dianggap sebagai dalil
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan
93
syar’i yang menjadi landasan penetapan hukum. Jelas di sini bahwa metode
―ushul fiqih‖ mereka adalah ―ushul fiqih‖ yurisprudensi hukum Barat, bukan
ushul fiqih yang murni diambil dari para ushuliyun kaum muslimin. Tentu
saja ini sangat keliru. Sumber hukum tiada lain adalah wahyu, yang
termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah, bukan realitas masyarakat yang
ada. Realitas sosial pada saat suatu ayat hukum turun, atau ketika suatu
hukum disimpulkan dari ayat atau hadits oleh seorang mujtahid, adalah
fakta yang kepadanya hukum diterapkan, bukan fakta yang darinya hukum
dilahirkan. Jadi sebenarnya ada perbedaan tegas antara wahyu sebagai
sumber hukum dengan realitas masyarakat sebagai objek penerapan hukum.
Karena itu, hukum Islam tidak perlu ditafsir ulang, sebab selama manathul
hukmi (fakta yang menjadi objek penerapan hukum) di masa sekarang sama
dengan masa Nabi dan sahabat, hukum tertentu untuk satu masalah tertentu
tidaklah akan berbeda. Jika ada manathul hukmi di zaman sekarang yang tidak
terdapat pada masa sebelumnya, yang harus dilakukan adalah ijtihad untuk
menggali hukum baru bagi masalah baru, bukan mengubah hukum yang ada
agar sesuai dengan realitas baru. Jadi pembatalan dan penggantian hukum
seperti yang dilakukan para feminis muslim itu hakikatnya bukanlah ijtihad,
melainkan suatu kelancangan terhadap hukum Allah SWT, sebab manathul
hukmi yang ada sebenarnya tidak berubah.
Keempat, para feminis muslim gagal memahami kehendak Syari’at
Islam dalam masalah hak dan kewajiban bagi lelaki dan perempuan. Mereka
menganggap bahwa kesetaraan lelaki dan perempuan, otomatis
menyebabkan kesetaran hak-hak antara laki-laki dan perempuan. Ini keliru.
Karena, cara berpikir demikian adalah cara befikir logika (mantiqi) yang tidak
berlandaskan pada dalil syar’i mana pun. Selain itu fakta Syari’at Islam
menunjukkan bahwa kedua ide itu (yaitu kesetaraan kedudukan dengan
kesetaraan hak) tidaklah ber-relasi sebab-akibat yang bersifat pasti (absolut)
seperti dipahami feminis muslim, yakni kesetaraan kedudukan lelaki dan
perempuan, pasti menghasilkan kesamaan hak dan kewajiban di antara
keduanya.. Memang benar, Islam memandang bahwa laki-laki dan
perempuan itu setara, dan bahwa Allah secara umum memberikan hak dan
94
Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Islam
memberikan beban hukum (taklif syar‟i) yang sama antara laki-laki dan
perempuan dalam hal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji, amar ma’ruf nahi
munkar, dan sebagainya. Ini ketentuan secara umum. Namun, Islam
menetapkan adanya takhshish (pengkhususan) dari hukum-hukum yang
bersifat umum, jika memang terdapat dalil-dalil syar’i yang mengkhususkan
suatu hukum untuk laki-laki saja atau untuk perempuan saja. Dan takhshish
harus proporsional, yakni hanya boleh ada pada masalah yang telah
dijelaskan oleh dalil syar’i. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan : “Al „aam yabqa
„ala „umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.” ―Lafazh umum tetap dalam
keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.‖ 9
Dengan demikian, dapatlah diterima bila Islam mengkhususkan
hukum-hukum kehamilan, kelahiran dan penyusuan hanya untuk
perempuan, bukan lelaki, karena memang terdapat dalil-dalil syar’i untuk
itu. Dapat dibenarkan bila Islam mengkhususkan pakaian perempuan yang
berbeda dengan laki-laki, karena terdapat dalil-dalil yang menunjukkan
pengkhususan ini. Demikian seterusnya Pengkhususan inilah yang diingkari
oleh para feminis, padahal pengkhususan ini semata berdasarkan dalil syar’i
dari Al Kitab dan As Sunnah, bukan mengikuti hawa nafsu para mufassir
atau mujtahid, yang dicap oleh kaum feminis secara zalim sebagai laki-laki
yang terkena bias gender dalam penafsirannya terhadap Al Qur`an dan As
Sunnah. Yang juga patut dicatat, pengkhususan hukum sama sekali tidak
bermakna adanya penghinaan salah satu pihak oleh pihak lain, atau adanya
dominasi/penindasan dari satu pihak kepada pihak lain, sebagaimana ilusi
feminisme. Ilusi seperti ini tentu logis bagi feminisme, karena feminisme
beranggapan bahwa kemuliaan dan kehinaan lelaki/wanita mutlak
ditentukan oleh kesetaraan hak dan kewajiban, yang berarti, tolok ukurnya
adalah kuantitas pelaksanaan suatu aktivitas, bukan kualitasnya. Ilusi ini
timbul karena paham materialistik yang inheren dalam ideologi
kapitalisme/sosialisme. Padahal dalam Islam, tolok ukur kemuliaan adalah
ketakwaan yang diukur secara kualitatif, yaitu sebaik apa bukan sebanyak
9
Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Dustur, (t.p., t.t.p., 1963), 235.
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan
95
apa seseorang itu menjalankan aktivitas dengan menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangan Allah. Bukan diukur secara kuantitaif yang mengukur
kemuliaan seseorang berdasarkan banyak-sedikitnya peran atau aktivitas
yang dilakukan. Allah SWT berfirman: ―Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (QS Al
Hujuraat : 13). Allah SWT berfirman: ―(Allah) yang menjadikan mati dan hidup
supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.‖ (QS Al Mulk
: 2)
Dalam ayat di atas Allah menyatakan bahwa hikmah penciptaan hidup
dan mati adalah, Dia menguji kita siapakah di antara kita yang ahsanu „amala
(lebih baik amalnya), bukan aktsaru „amala (yang lebih banyak amalnya). Jadi
yang dinilai Allah adalah tingkat ihsan (kebaikan) dari suatu amal atau
kualitas amal, bukan kuantitas amal.
Alquran sebagai sumber fiqih, menyatakan dirinya sebagai kitab
petunjuk dan rahmat. Ia juga menyatakan bahwa Nabi Saw. Diutus ke dunia
untuk memberikan rahmat bagi alam semesta. Cita-cita al-Qur’an adalah
terciptanya sebuah kehidupan manusia yang bermoral yang menghargai
nilai-nilai kemanusiaan universal. Al-Qur’an misalnya menyatakan: ―Hai
manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan
kami telah jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah yang paling taqwa‖.( Q.S. Al Hujurat : 13 )
Dalam konteks fiqh bahwa syariat Islam dibangun untuk kepentingan
manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu
kemashlahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip ini
harus menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan fiqih. Ia harus
senantiasa ada dalam pikiran ahli fiqih ketika memutuskan dari suatu kasus
hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi citacita syari’ah. Pandangan ini juga dikemukakan oleh para pemikir terkemuka
al-Ghazali (w. 505/1111 M), Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H), Izz al-Din bin
Abd al-Salam (w. 660 H), Syihab al-Din al-Qarafi (w. 685 H), Najm al-Din alThufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Abu Ishaq al-Syatibi (w.
96
Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
1393/1973) dan lain-lain. Mereka sepakat bahwa kemashlahatan merupakan
basis dan tujuan utama syari’ah Islam. Secara lebih khusus, al-Ghazali
dengan sangat mengesankan telah merumuskan kemashlahatan ini dalam
bukunya yang terkenal al-Mustashfa min ’ilmu al-Ushul. Ia mengatakan:
‖Kemashlahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama,
yaitu menjaga lima hal: agama (hifzh al-nasl), jiwa (hifzh al-nafs), akal (hifzh
al-aql), keturunan (hifzh al-nasl), dan harta benda (hifzh al-mal). Setiap hal
yang mengandung perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah
kemashlahatan, dan setiap yang mengasikannya adalah kerusakan
(mafsadah), menolak kerusakan adalah kemashlahatan.‖ 10
Pada dimensi ini agama selalu hadir dalam bentuknya yang adil,
merahmati, egalitarian dan demokratis. Hal ini juga berarti bahwa agama
(Islam) memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang sejajar dan
sederajat. Karena itu sistem keagamaan yang bersifat diskriminatif dalam
berbagai dimensinya; ras, agama, gender, etnis dan sebagainya tidak memiliki
relevansi dengan Islam dan harus ditolak. Prinsip-prinsip hak manusia dan
kemanusiaan ini sekali lagi merupakan roh dari seluruh aktivitas kehidupan
manusia.
Peran Perempuan dalam Politik
Pandangan tentang prinsip-prinsip dasar dan hak-hak asasi manusia,
sebenarnya telah menjadi komitmen seluruh kaum muslimin. Akan tetapi
masalahnya menjadi kontroversial ketika memasuki persoalan-persoalan
parsial. Misalnya, dalam hal peran perempuan di sektor publik/politik, dan
secara lebih khusus hak untuk menjadi kepala negara atau pemerintahan.
Dalam pandangan semua ahli fiqih selama ini peran politik dalam arti amar
ma’ruf nahi munkar, laki-laki dan perempuan memang diakui memiliki hak
dan kewajiban yang sama. Akan tetapi dalam arti politik praktis yang di
dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat (al-wilayah al-
10
Lihat Husein Muhammad, Membongkar Konsepsi Fiqh Tentang Perempuan, dalam buku
Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, (Jakarta : JPPR, 1999), 37.
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan
97
mulzimah) menyangkut masyarakat luas, seperti pengambil keputusan dalam
peradilan (menjadi hakim), dalam lembaga legislatif dan eksekutif atau
kekuasaan besar atau publik (al-wilayah al-uzhma), maka tugas-tugas ini tidak
dapat diberlakukan secara sama. Fatwa yang dikeluarkan oleh universitas alAzhar tahun 1952 misalnya menyebutkan: ‖syariah Islam melarang kaum
perempuan menduduki jabatan-jabatan yang meliputi kekuasaan-kekuasaan
umum (publik). Yang dimaksud kekuasaan umum dalam fatwa di atas
adalah kekuasaan memutuskan/memaksa (al-shulthah al-mulzimah) dalam
urusan-urusan kemasyarakatan (al-jama‟ah), seperti kekuasaan membuat
undang-undang (legislatif), kekuasaan kehakiman (yudikatif) dan kekuasaan
melaksanakan undang-undang (eksekutif).
Di wilayah kekuasaan kehakiman perempuan memiliki peran yang
strategis dalam menegakan hukum. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan tinggi dan termasuk dalam wilayah kekuasaan publik (al-wilayah
al-ammah). Kekuasaan ini juga bersifat memaksa (al-shultah al-mulzimah).
Karena itu, untuk jabatan ini diperlukan sejumlah persyaratan. Para ahli
fiqih menyebut beberapa persyaratan yang disepakati yaitu: muslim, berakal,
dewasa dan merdeka, sehat jasmani, adil, dan memahami hukum-hukum
syari’ah. Sementara persyaratan jenis kelamin diperdebatkan. Ada tiga
pandangan ulama mengenai syarat yang terakhir ini,
Pertama, Malik bin Anas, al-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
menyatakan bahwa jabatan ini haruslah laki-laki dan tidak boleh
perempuan. Menurut mereka seorang hakim di samping harus menghadiri
sidang-sidang terbuka yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki, ia juga
harus memiliki kecerdasan akal yang prima (kamal al-ra‟yi wa tamam al-aql wa
al-fathanah). Padahal tingkat kecerdasan perempuan di bawah tingkat
kecerdasan laki-laki (naqishat al-aql, qalilah al-ra‟yi). Selain itu, ia (perempuan)
dalam posisi tersebut akan berhadapan dengan laki-laki. Kehadirannya
seperti ini akan dapat menimbulkan fitnah (gangguan).11
Argumen lain yang dikemukakan golongan ini adalah fakta sejarah.
Nabi dan para al-khulafa’ al-rasyidun, demikian juga para penguasa11
Syarbini Khatib, Mughni al-Muhtaj, Jilid 4, (tp: 1996), 375.
98
Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
penguasa Islam sesudahnya tidak pernah memberikan kekuasaan kepada
perempuan. Sejarah Islam tidak pernah membuktikan ada perempuan
menduduki jabatan ini.
Kedua, mazhab Hanafi dan Ibnu hamz al-zhahiri. Sebagaimana di kutif
oleh Husein Muhammad, dalam kitab al Muhalla bahwa Mereka
mengatakan bahwa laki-laki bukan syarat mutlak untuk kekuasaan
kehakiman. Perempuan boleh saja menjadi hakim. Akan tetapi ia hanya
dapat mengadili perkara-perkara di luar perdana berat (hudud dan qishas).12 Ini
karena perempuan dibenarkan menjadi saksi untuk perkara-perkara tadi. Di
samping itu, qadli (hakim) bukanlah sama dengan mufti (pemberi fatwa
hukum). Selain itu, golongan ini menolak hadits mengenai kepemimpinan
negara sebagai dasar hukum untuk fungsi yudikatif. Ibnu Hazm
menambahkan bahwa Umar bin Khattab pernah menugaskan perempuan
sebagai bendahara pasar.13
Pendapat ketiga menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim
untuk menangani berbagai perkara. Laki-laki tidak menjadi syarat dalam
kekuasaan kehakiman. Inilah pendapat Ibnu Jarir al-Thabary dan al-Hasan
al-Bashri. Bagi mereka, jika perempuan bisa menjadi mufti, maka logis kalau
ia juga bisa menjadi hakim. Tugas mufti adalah menjelaskan hukum-hukum
agama melalui analisis ilmiah dengan tanggung jawab personal. Sementara
hakim juga mempunyai tugas yang sama, tetapi dengan tanggung jawab
negara atau atas dasar kekuasaan negara. 14
Pada wilayah kekuasaan legislatif, perempuan telah menunjukan
kemampuan untuk aktif dan berpartisipasi dalam politik. Kekuasaan
legislatif dalam teori politik Islam dipandang sebagai lembaga tertinggi
dalam negara. Di samping berkewajiban memilih kepala negara
(Imam/Khalifah), ia juga menetapkan undang-undang dan kebijakankebijakan politik negara. Al-Mawardi dan Abu Ya’la menetapkan sejumlah
syarat untuk keanggotaan lembaga ini yang disebutnya dengan istilah ―ahl al12
Muhammad, Membongkar, 37.
Ibid., 38.
14
al Syarbini, Mughni, 377.
13
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan
99
halli wa al-aqdi” atau ―ahl al-ikhtiyar‖. Beberapa syarat itu antara lain adalah:
adil dengan kelengkapan kriterianya, kemampuan memilih calon kepala
negara dan keahlian memilih kepala negara.15 Kedua pemikir politik Sunni
ini tidak secara eksplisit mengemukakan pendapatnya tentang keabsahan
keanggotaan perempuan dalam lembaga ini. Mereka merasa telah cukup
memadai hanya dengan mengemukakan hal tersebut ketika membicarakan
ketidakabsahannya dalam kekuasaan kehakiman. Ini karena, menurut
mereka, keahlian dan kemampuan yang menjadi unsur paling dominan
untuk jabatan dalam kekuasaan umum (al-wilayah al-ammah) tidak dipenuhi
perempuan dibanding laki-laki. Meskipun demikian, Dr. Sa’id Ramadhan alButhi nampaknya ingin mencoba menetralisir persoalan ini. Ia mengatakan
bahwa syura (permusyawaratan) dalam pandangan mayoritas ulama
memiliki kesamaan dengan fatwa. Ia berpendapat bahwa anggota parlemen
sama fungsinya dengan mufti. Karena itu, maka perempuan dapat
dibenarkan menjadi anggota parlemen.16 Pandangan al-Buthi berbeda dengan
al-Maududi. Ulama yang disebut terakhir ini mensyaratkan laki-laki untuk
jabatan tersebut. Di samping mengajukan argumen teks surah an-Nisa, 34
dan hadits Abu Bakrah, Maududi mengemukakan argumen lain, bahwa
keanggotaan perempuan dalam majelis ini membuka peluang bagi pergaulan
lain jenis yang jelas diharamkan Islam. Katanya lagi: pada hakikatnya
lembaga ini tidak hanya berfungsi sebagai pembuatan undang-undang, tetapi
juga melakukan keputusan-keputusan politik negara. Ia menetapkan
departemen-departemen dan garis-garis besar haluan negara. Di tangan
lembaga ini juga terletak keputusan menentukan perang dan damai. Karena
itu lembaga semacam ini tidak dapat disamakan dengan faqih atau mufti,
melainkan sebagai qawwam atas semua urusan negara.
Fiqh Mazhab Negara
―Fiqh Madzhab Negara‖. Itulah barangkali persilangan kata dan
pertalian makna yang kurang lebih pas untuk menandai Kompilasi Hukum
15
16
Muhammad, Membongkar, 41.
Sa’id Ramadhan al-Buthi, al Qardhaya al Fiqhiyah al Muasyirah, (tp: 1997), 171.
100 Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
Islam (KHI) dalam lanskap politik hukum di Indonesia. Meski sebagai suatu
wacana masih perlu didiskusikan terus, ideomatik ini penting dimunculkan,
setidaknya untuk menjelaskan sisi lain dari materi hukum Islam yang
dihadirkan KHI dalam keseluruhan proses pembentukan dan pilihan wadah
legitimasinya. Saya sebut sisi lain, karena sementara ini dalam banyak studi
hukum Islam (positif) di Indonesia di mana KHI menjadi rujukan utamanya
selalu saja bernada memuji dan menganggapnya sebagai suatu prestasi besar
aparatus negara Orde Baru dalam memperjuangkan penegak hukum Islam di
Indonesia. Mereka lupa bahwa dalam setiap legislasi oleh negara, apalagi
negara Orde Baru yang saat itu berwatak hegemonik, ada suatu kehendakkehendak social politik tersembunyi yang menyertainya, sebagaimana
anutan penulis bahwa taka da hukum yang bebas nilai, bebas kepentingan,
dan bebas kuasa. Termasuk dalam jaring-jaring ini hádala hukum Islam
ketika disentuh oleh urusan politik.
Mengapa ―madzhab negara‖? Sebetulnya sederhana saja, karena
elemen-elemen konstruksi hukum Islam dalam KHI mulai dari inisiatif,
proses penelitian, penyusunan, hingga penyimpulan akhir dari pilihanpilihan hukumnya semuanya dilakukan oleh suatu tim yang dibentuk oleh
negara dan beranggotakan hampir seluruhnya orang-orang negara. Disebut
‖orang-orang negara‖, karena selain keberadaan mereka memang dalam
wilayah negara, juga anutan ideologi dan paradigma dominan berpikirnya
tidak berbeda dengan keyakinan negara. Latar belakang pembentukan,
logika hukum yang digunakan, hingga pola redaksi yang diterapkan juga
sebagaimana lazimnya digunakan oleh hukum positif yang diakui negara.
Lebih dari itu, legitimasi hukum pemberlakuannya juga bergantung pada
keputusan negara melalui peraturan perundang-undangan mislanya, UU. No
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, UU No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Instruksi
presiden (Inpres), yakni Inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum
Islam dan berbagai peraturan hukum lainnya yang diproduk oleh negara.
Walhasil, semuanya berwarna serba negara, pararel dengan langgam politik
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan 101
negara Orde Baru yang sangat otoritarian, suatu bingkai politik di mana KHI
dilahirkan.
Kenyataan inilah yang membedakan KHI dengan pemaknaan fiqh
sebelumnya di mana fiqh madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, madzhab
Syafi’i, madzhab Hanbali, madzhab Ja’fari, madzhab dhohiri, dan seterusnya,
biasa diletakkan. Fiqh dalam konteks ini biasa didefinisikan sebagai ‖
(kumpulan) hukum Islam praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang
terperinci‖. Pihak yang paling otoritatif untuk mengambil kesimpulan
hukum Islam dari sumber hukumnya, al-Qur’an dan al-Sunnah, sejak dulu
hanyalah para ulama fiqh (fuqaha). Mungkin akibat dominannya penafsiran
pribadi ulama itu, maka keputusan hukumnya selalu dinisbatkan kepada
nama tokoh ulama tersebut. Nyaris tak terdengar fiqh masa lalu dinisbatkan
kepada suatu institusi atau ideologi tertentu, meski institusi atau ideologi
itu juga dominan mempengaruhinya, bahkan secara nyata turut mewarnai
hasil penefsirannya. Itulah fiqh personal.
Agaknya sekarang ini kita harus berani memulai untuk mengatakan
hal itu. Yakni, menyatakan secara tegas dan argumentatif madzhab fiqh yang
dinisbatkan pada suatu institusi atau ideologi tertentu yang memang secara
nyata terlibat dalam wacana dan penafsiran sumber Islam. Misalnya,
penyebutan Fiqh Madzhab Negara Fiqh Madzhab Kapitalisme, Fiqh
Madzhab Sosialisme, Fiqh Madzhab Nahdlatul Ulama, Fiqh Madzhab
Muhammadiyyah, dan seterusnya. Penyebutan demikian penting
dipertimbangkan, setidaknya, karena dua hal. Pertama, adalah suatu
kenyataan yang tak bisa dibantah bahwa institusi atau ideologi tersebut,
terutama negara, dewasa ini telah menjadi subjek yang mendominasi banyak
orang. Nyaris tak ada seorang pun yang merdeka atas jaring-jaring ideologi
dan aturan institusi tersebut. orang dikuasai dan dipengaruhi oleh ideologi
atau aturan institusi tertentu, bukan sebaliknya ideologi dan institusi itu
dikuasai dan dipengaruhi oleh orang per orang. Karena itulah, sekarang ini
kita tidak pernah mendengar kelahiran ideologi atau institusi ‖yang sama
sekali baru‖, kecuali bahwa itu wujud metamorfosis dari masa lalu. Yang
marak didengung-dengungkan adalah fanatisme dan ‖penyembahan‖
102 Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
terhadap ideologi atau institusi tertentu berhadapan dengan varian lainnya.
Kedua, diakui atau tidak keberadaan institusi atau ideologi tersebut
sekarang ini telah mempribadi melebihi kemampuan pengaruh pribadi ulama
dahulu. Institusi atau ideologi dimaksud bukan saja secara nyata terlibat
dalam penafsiran, melainkan juga turut mengarahkan angan-angan sosial
orang yang berada dalam kungkungannya.
Penyebutan demikian dilakukan bukan untuk kepentingan labeling
semata, melainkan sebagai sebuah pertanggunganjawaban ilmiah dan moral.
Dengan begitu, kita berharap setiap orang bisa dengan jelas untuk mengikuti
atau tidak mengikuti, setuju ataun tidak setuju, secara rasional dan
berkesadaran atas hasil rumusan ijtihadnya itu. Pertanggungjawab pun
menjadi jelas. Di sini lalu penisbatan fiqh pada suatu area tertentu, seperti
fiqh Indonesia, Fiqh Mishry, Fiqh Hijazy, dan sejenisnya, yang pernah
populer beberapa waktu lalu menjadi tidak relevan lagi. Sebab tidak jelas
kepada siapa pertanggungjawaban ilmiah dan moral itu ditujukan. Lagi pula,
penanaman berdasarkan area cenderung bernuansa homogenisasi daripada
membiarkan itu tumbuh seperti adanya. Ini khan bertentangan dengan fiqh
dalam maknanya yang genuine. Sebab watak dasar fiqh yang tidak boleh
digantikan oleh sejarah manapun adalah adanya ketersediaan pilihan-pilihan
hukum lebih dari satu dalam satu soal kehidupan bagi umat. Fiqh dalam
sejarahnya tak pernah tunggal dan tak bisa ditunggalkan. Hanya karena
arogansi intervensi politik dan pemaksaan kepentingan kelompok
dominanlah watak demokratis bangunan fiqh itu terobek-robek dalam
sejarah.
Gerakan Perempuan : Dalam Fiqh Mazhab Negara di Indonesia
Indonesia dalam peta dunia Islam merupakan fenomena keislaman
tersendiri yang kadang berbeda dengan dunia Islam yang lain, baik pada
aspek kenegaraan maupun kondisi masyarakatnya. Indonesia sebagai negara
yang berdasar pada hukum ( Rechtstaat ) yang berdasar Pancasila,
masyarakat muslim Indonesia sebagiannya mengamalkan hukum ajaran
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan 103
agamanya dan sebagian yang lain tunduk pada hukum negara yang diadopsi
dari barat.
Pada sisi lain, penting di lihat bahwa negara hukum Indonesia
menganut aliran positivisme yuridis.17 Aliran ini berpandangan bahwa yang
dapat diterima sebagai hukum adalah yang sebenarnya ditetapkan oleh
negara. Hukum hanya berlaku karena hukum itu mendapatkan bentuk
positifnya dari suatu institusi negara. Norma – norma kritis yang ada
hubungannya dengan rasa keadilan dalam hati nurani manusia seringkali
tidak mempunyai tempat dalam sistem sosiologi ini. Sebagai manispestasi
paradigma positivisme tersebut, maka dalam konteks gerakan dan
pemberdayaan perempuan di Indonesia, munculah dalam suatu institusi
negara yang disebut dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
berbagai lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan sebagai wujud dalam
meningkatkan akses perempuan dalam wilayah sosial, politik dan hukum.
Kebijakan politik berupa peraturan perundang-undangan tentang
pemberdayaan perempuan dapat dikatakan sebagai instrumen hukum dalam
fiqh mazhab negara untuk melindungi perempuan dalam mendapatkan akses
sosial, budaya dan politik di negara yang mengalami transisi demokrasi
seperti Indonesia. Pada aspek politik, sebut saja misalnya instrumen hukum
dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No. 12 Tahun 2008
tentang Partai Politik yang memberikan kuota 30 % bagi perempuan untuk
di calonkan dalam pemilu. Instrumen hukum ini sebagai salah satu one gate
policy dalam memperkuat peran dan posisi perempuan dalam dunia politik
sebagai manispestasi proses demokrasi dalam meletakan dasar-dasar
fundamental terutama bagi partai politik yang menjadikan perempuan
sebagai anggota parlemen.18
17
Positivisme Yuridis dipelopori oleh aliran hukum humanisme, antara lain Jean Bodin dengan
ide-idenya tentang kedaulatan Raja. Tokoh Positivisme yuridis adalah Rudolf Von Jhering (
1818 – 1892 ). Sebagaimana Positivisme Sosiologis, Positivisme Yuridis juga menganut
pandangan bahwa hanya apa yang ditetapkan sebagai yang dapat diterimah sebagai
kebenaran. Positivismo sebagai sistem filsafat muncul pada awal abad XIX M. Tokohnya
adalah Auguste Comte ( 1798-1857 ) dan herbert Spencer ( 1820-1903 M), Lihat Theo Huijber,
Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta Kanisius, 1982), 122.
18
Tari Siwi Utami, Perempuan Politik di Parlemen, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 7.
104 Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam level manajemen partai
politik masih sangat rendah dan sistem ini masih belum dapat dilaksanakan.
Hal ini disebabkan oleh keterlibatan kualitas peran perempuan yang masih
rendah. Dengan intrumen hukum yang menjadikan kuota perempuan dalam
politik menjadi 30 % diharapkan afirmatif action perempuan dapat
terlaksana dengan baik. Secara internal paling tidak ada tiga faktor yang
menjadikan peran perempuan dalam politik menjadi lemah, yakni ; pertama ;
adanya sikap mental perempuan yang lemah. Sikap ini sering menjangkiti
suara hati perempuan untuk kurang berbuat maksimal demi masa depannya.
Kedua ; posisi marginal, posisi ini akibat sistem dan budaya politik patriarki
yang menganggap perempuan harus dinomorduakan. Artinya masih adanya
mendomestifikasikan atau mensubordinasikan perempuan dalam aktivitas
kesehariannya. Dengan posisi kanca wingking perempuan tidak pernah
terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik. Ketiga ; lemahnya bugdeting
untuk aktivitas politik, mungkin dalam konteks ini perempuan sering
terlena dengan kewajiban-kewajibannya sebagai Ibu Rumah Tangga maupun
sebagai aktivis perempuan.
Disamping secara internal masih adanya faktor kendala, maka secara
eksternal pun perempuan masih terdapat banyak kendala dalam aktivitas
politiknya. Paling tidak ada beberapa faktor kendala eksternal yaitu:
Pertama ; terbatasnya akses keterlibatan perempuan dalam pengambilan
keputusan publik yang diputuskan oleh lembaga eksekutif, legistlatif dan
yudikatif. Hal ini ditandai oleh masih sedikitnya wakil perempuan dalam
lembaga-lembaga tersebut. Kedua, masih terbatasnya kemitraan antara
pemerintah dengan lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan; ketiga,
masih rancunya format dan gerakan pemberdayaan perempuan. Artinya
perempuan belum diletakan secara utuh dalam kebijakan pembangunan dari
merencanakan, menganggarkan dan melaksanakan pembangunan.
Berbagai stigma dalam memandang perempuan terutama bahwa
perbedaan peranan gender dalam struktur masyarakat (sosial, budaya,
politik), adanya bias tafsir gender dalam ajaran agama, kurangnya pengakuan
dari kaum laki-laki terhadap kemampuan perempuan ; karena adanya
Sahran Raden, Feminisme dan Gerakan Perempuan 105
dominasi budaya, jabatan, kekuasaan, politik, hukum, maupun pengetahuan
ilmiah. Hal itu mengakibatkan adanya ketidakadilan gender dalam bentuk
perbedaan perlakuan berdasarkan alasan jender, seperti pembatasan peran,
penyingkiran atau pilih kasih yang mengkibatkan terjadinya pelanggaran
atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-laki dan perempuan,
maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lainlain.
Dengan demikian, munculnya instrumen hukum dalam kompilasi
hukum yang melindungi perempuan di Indonesia merupakan wujud dari fiqh
mazhab negara. Fiqah yang lahir berupa pandangan dan peraturan hukum
negara untuk melindungi perempuan dalam beraktivitas dalam
kesehariannya dalam ranah politik, budaya, sosial dan hukum.
Penutup
Gerakan Feminisme dan gerakan perempuan adalah sebuah kesadaran
perlawanan terhadap sistem sosial budaya dan struktur sosial masyarakat
yang melembaga. Sehingga suatu perlawanan mutlak diperlukan guna
memberi pemaknaan yang tepat tentang relasi gender dari setiap
pemahaman yang ada. Konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu
sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan
kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia.
Di Indonesia, negara memberikan peluang yang besar bagi perempuan
berpartisipasi dalam pembangunan. Wujud tersebut dilakukan melalui
berbagai instumen hukum yang membolehkan bagi perempuan untuk
beraktivitas di bidang politik, hukum, sosial dan budaya tanpa adanya
diksrimininasi. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang memberikan
perlindungan terhadap perempuan dapat di sebut dengan fiqh mazhab
negara.
106 Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 83-106
Daftar Pustaka
Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya, Cet. 1, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995
Buthi, Sa’id Ramadhan al-, al Qadhaya al Fiqhiyah al Muasyirah, tp: 1997
Engineer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yayasan Bentang
Budaya, Yogyakarta, 1994
Huijber, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius,
1982
Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur‟an Klasik dan Kontemporer,
Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1997
Khatib, Syarbini, Mughni al Muhtaj, IV, tp: 1996
Marsh, Robert M., Comperative Sosiology, Brace and World, New York, 1967
Muhammad, Husein, Membongkar Konsepsi Fiqh Tentang Perempuan, dalam buku
Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, Jakarta : JPPR, 1999
Nabhani Taqiyuddin al-, An Nizham Al Ijtima‟i fil Islam, Beirut: Dar al-Ummah,
1990
Nabhani Taqiyuddin al-, Muqaddimah Dustur, t.p., t.t.p., 1963,
Utami, Tari Siwi, Perempuan Politik di Parlemen, Yogyakarta: Gama Media, 2001
Laporan Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam
Peradaban Masyarakat Kontemporer, Lembaga Penelitian Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, Tanggal 9–11 Desember 1995.
* Sahran Raden, S.Ag, MH adalah dosen Jurusan Syariah, STAIN
Datokarama Palu, Sulawesi Tengah
Download