Author : Riri Julianti, S. Ked Faculty of Medicine – University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 © Files of DrsMed – FK Universitas Riau TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pterygium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif 1. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea 2. Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya “wing” atau sayap. Insidens pterygium di Indonesia yang terletak digaris ekuator, yaitu 13,1%. Diduga bahwa paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 3 Gambar 1. Pterygium 4 Faktor Resiko Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain : 1. Usia Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak 2. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia 1 dekade dua dan tiga 5. Di RSUD AA tahun 2003-2005 didapatkan usia terbanyak 31 – 40 tahun yaitu 27,20% 6 2. Pekerjaan Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV 7. 3. Tempat tinggal Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan 5. 4. Jenis kelamin Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan 2 5. Herediter Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan 5. 6. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium 5. 7. Faktor risiko lainnya Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium 2 Patofisiologi Belum diketahui dengan pasti. Terdapat beberapa teori tentang patogenesis pterygium yang berkembang sekarang teori degenerasi, inflamasi, neoplasma, tropik ataupun teori yang menghubungkan dengan sinar UV 7 Klasifikasi Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia derajat pertumbuhan pterygium dibagi menjadi :3 1 Derajat I : hanya terbatas pada limbus 2 Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea 3 Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm) 4 Derajat IV : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan Gejala klinik Pterygium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. , Biasanya penderita mengelukan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik, Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal 1,9,3 3 Diagnosis Banding Diagnosis banding berupa pseudopterygium , pannus dan kista dermoid 1 Penatalaksanaan Prinsip penanganan pterygium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterygium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.1 Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan1 Lindungi mata yang terkena pterygium dari sinar matahri, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan1 4 DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, edisi kedua. Jakarta: Balai Penelitian FKUI,2003. 119-120 2. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 14-17 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), Editor Tahjono. Dalam panduan manajermen klinik PERDAMI. CV Ondo Jakarta; 2006. 56 – 58 4. ________________. http://www.drojos.com/mmora/enf_parpado.htm . diakses 20 mei 2009 5. Tan D T.H Ocular Surface Diseases Medical and Surgical Management. New York: Springer, 2002. 65 – 83 6. Raihana. Karakteristik penderita pterygium dipoliklinik mata RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari 2003 – Desember 2005. Pekanbaru ; FK UNRI, 2007 7. _______________. http://www.who.int/uv/faq/uvhealtfac/en/index3.html . diakses 20 mei 2009 8. Putra AK. Penatalaksanaan pterygium Atmajaya. 2003 : 2 : 137 – 147 9. Duffek Catherine . Pterygium.http://healthlibrary.epnet.com/GetContent.aspx. diakses 20 mei 2009 5