Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis

advertisement
76
TINJAUAN PUSTAKA
Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]
Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan tanaman dari
famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae dan genus Andropogon
(Rukmana dan Oesman 2001). Daerah asal penyebaran tanaman sorgum baik
spesies liar maupun spesies budidaya terbesar ditemukan di Afrika (Grubben dan
Partohardjomo 1996) untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang di berbagai
daerah seperti India, Nigeria, Argentina, Meksiko dan Sudan (ICRISAT 1996).
Keunggulan tanaman sorgum adalah sangat efisien dalam penggunaan air.
Hal ini disebabkan karena sorgum memiliki sistem perakaran yang halus dan
pertumbuhan akar agak dalam sehingga memungkinkan penyerapan air yang
cukup intensif (Rismunandar 1989). Sistem perakaran sorgum terdiri dari akarakar seminal (akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar
koronal (akar-akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) serta akar-akar
udara. Tanaman sorgum dapat membentuk perakaran sekunder berukuran dua kali
lipat dari akar sekunder jagung (Rukmana dan Oesman 2001). Doggett (1970)
menyimpulkan bahwa pada endodermis akar sorgum terdapat endapan silika yang
berfungsi mencegah kerusakan akar pada kondisi kekeringan.
Batang tanaman sorgum berbentuk silinder, beruas-ruas dan berbuku-buku
(ICRISAT 1996). Setiap ruas memiliki alur yang letaknya berselang-seling.
Batang sorgum memiliki sel-sel parenkim atau seludang pembuluh yang
diselubungi oleh sebuah lapisan keras. Beberapa varietas sorgum dapat
membentuk cabang dan memiliki anakan (Rukmana dan Oesman 2001). Menurut
Martin (1970) banyaknya anakan yang berkembang tergantung faktor genetik,
jarak tanam, kelembaban tanah, fotoperiodisme, vigor tanaman dan waktu tanam.
Ukuran diameter batang bervariasi antara 0.5 sampai 5 cm. Begitu juga dengan
tinggi tanaman bervariasi dari 0.5 sampai 4 m (Murty et al. 1994). Tinggi tanaman
dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang ruas batang, panjang tangkai malai,
panjang malai dan faktor genetik (Doggett 1970). Perpanjangan buku pada
77
tanaman sorgum dikendalikan oleh empat lokus gen Dwarf yaitu Dw1, Dw2, Dw3
dan Dw4 (House 1985).
Daun tanamam sorgum terdiri dari helai daun dan pelepah daun dengan
panjang helai daun mencapai 30-135 cm dan lebar daun maksimum 13-15 cm.
Menurut Rismunandar (1989) daun sorgum dilapisi sejenis lilin yang agak tebal
berwarna putih, berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari
dalam tanaman sehingga toleran terhadap kekeringan.
Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada
setiap malai sekitar 1500-4000 bunga. Bunga sorgum akan mekar teratur dari
cabang malai paling atas hingga ujung malai paling bawah. Malai sorgum
memiliki tangkai yang tegak atau melengkung, berukuran pendek atau panjang
dan bentuk malai dari agak kompak sampai terbuka, oval, kerucut, ramping
panjang atau piramida (Murty et al. 1994).
Biji sorgum berbentuk kariopsis atau karnel yaitu buah berbiji tunggal
dengan kulit buah (pericarp) yang bersatu dengan kulit biji. Warna, ukuran dan
bentuk biji sorgum beragam. Kulit biji dapat berwarna putih, krem, kekuningan,
merah atau coklat. Biji sorgum dapat berbentuk bola, bentuk seperti buah pear dan
gepeng pada salah satu bagiannya. Bobot 100 biji sorgum berkisar 0.75-7.5 gram
(Murty et al. 1994). Waktu yang diperlukan biji sorgum untuk mencapai berat
kering maksimal tergantung pada kondisi pertumbuhan, biasanya 25-55 hari
setelah antesis dengan kadar air 25-35% (Doggett 1970). Menurut Rismunandar
(1989) malai sorgum dapat dipanen rata-rata setelah tanaman berumur 90-120
hari.
Tanaman sorgum mampu tumbuh di daerah tropis maupun subtropis mulai
dari dataran rendah hingga dataran tinggi sampai ketinggian 1500 m di atas
permukaan laut (Rismunandar 1989). Kondisi yang optimum untuk tanaman
sorgum adalah daerah bersuhu 20-30 oC, kelembaban rendah dan curah hujan 375425 mm selama tanaman masih muda hingga mencapai umur 4-5 minggu. Sorgum
dapat tumbuh di hampir setiap jenis tanah.
Sorgum merupakan tanaman C4 yaitu spesies tanaman yang menghasilkan
empat karbon (asam malat dan aspartat) sebagai produk awal penambatan CO2
78
dalam proses metabolisme. Tanaman jenis ini memanfaatkan kedua sel mesofil
dan sel seludang berkas untuk menambat CO2 sehingga jenis tanaman C4 menjadi
sangat efisien dalam fotosintesis. Produk yang dihasilkan sel mesofil berupa asam
malat dan asam aspartat dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas dan asam
tersebut mengalami dekarboksilasi dengan melepaskan CO2 yang selanjutnya
ditambat oleh Rubisco untuk diubah menjadi 3-PGA (asam fosfogliserat).
Tanaman C4 juga memiliki sel seludang berkas yang lebih tebal dibandingkan
dengan sel seludang pada tanaman C3 sehingga mengandung lebih banyak
kloroplas, mitokondria dan organel penting lainnya dalam proses fotosintesis
(Salisbury dan Ross 1992; Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman C4 juga mampu
berfotosintesis lebih cepat pada penyinaran tinggi dan suhu panas sehingga
mampu menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C3
(Salisbury dan Ross 1992).
Pada tanaman sorgum, selain memiliki mekanisme fotosintesis yang
efisien juga memiliki mekanisme fisiologi lainnya antara lain permukaan daun
yang dilapisi lilin sehingga dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai
sistem perakaran yang ekstensif (House 1985). Hal ini membuat produktivitas
biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan tanaman C4 sejenis yaitu jagung
(Hoeman 2007). Penelitian Borrel et al. (2005) menemukan bahwa tanaman
sorgum efisien dalam penggunaan radiasi dan transpirasi karena memiliki gen
pengendali stay-green sejak fase pengisian biji yang berhubungan dengan
kandungan nitrogen daun spesifik. Fenomena ini mampu memperlambat proses
senescen pada daun sorgum sehingga mampu mempertahankan batang dan daun
tetap hijau meskipun pasokan air sangat terbatas (Seetharama dan Mahalakshmi
2006; Borrel et al. 2006).
Mekanisme Toleransi terhadap Aluminium
Lahan kering masam dicirikan dengan pH < 5.0 dan kejenuhan basa <
50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Tanah masam juga ditandai oleh tingginya
konsentrasi Aluminium (Al), terutama
Al3+, yaitu bentuk Al yang dianggap
paling beracun bagi tanaman (Marschner 1995). Aluminium dapat mempengaruhi
79
morfologi, fisiologi dan ekspresi gen tanaman. Cekaman Al menyebabkan
terganggunya penyerapan hara tanaman (Adam et al. 1999). Meningkatnya
konsentrasi Al terlarut menyebabkan penyerapan unsur-unsur hara berkurang
sehingga pada akhirnya mengakibatkan terjadinya defisiensi hara antara lain Ca,
P, K Mg dan hara mikro seperti seng, tembaga dan molybdenum. Terganggunya
penyerapan secara langsung disebabkan kerusakan membran sel akar. Akumulasi
Al dapat menyebabkan kebocoran membran, mengurangi kandungan K dalam
jaringan ujung akar dan merusak viabilitas protoplasma karena Al dan membran
plasma akar membentuk ikatan polimer sehingga terjadi kerusakan pada membran
dan kebocoran K dari sel akar (Matsumoto et al. 1992).
Kerusakan akar akibat cekaman Al juga disebabkan terjadinya penebalan
ujung akar dan akar cabang. Penelitian Caniato et al. (2007) memperlihatkan
bahwa aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga
30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum
yang digunakan. Penelitian Yamamoto (1992) mendapatkan hasil bahwa toksisitas
Al pada tembakau menyebabkan tanaman kekurangan hara dan juga mengubah
struktur dan fungsi membran plasma serta menghalangi pembelahan sel pada
ujung-ujung akar.
Kelarutan Al yang tinggi secara tidak langsung berpengaruh terhadap
proses-proses fisiologi dan metabolisme tanaman. Terganggunya penyerapan hara
menyebabkan ketersediaan unsur hara menurun sehingga pertumbuhan tajuk
tanaman menjadi tertekan (Marschner 1995). Polle dan Konzak (1990)
menjelaskan bahwa kerusakan akar oleh Al menyebabkan terganggunya hara dan
meningkatkan
kepekaan
terhadap
kekeringan
sehingga
mempengaruhi
pertumbuhan dan produktivitas tanaman.
Mekanisme toleransi terhadap Al dapat dikelompokkan menjadi
mekanisme eksternal dan mekanisme internal (Taylor 1991; Sopandie 2006).
Tanaman yang memiliki mekanisme eksternal mampu mencegah Al masuk ke
dalam simplas dan bagian metabolik yang sensitif. Mekanisme ini dapat dicapai
antara lain dengan imobilisasi Al pada dinding sel dan selektivitas plasma
membran terhadap Al, induksi pH di rizosfir atau apoplas akar, sekresi senyawa
80
organik pengkelat Al. Penelitian Pineros dan Kochian (2001) pada pewarnaan
akar dengan hematoxylin menunjukkan bahwa jagung yang toleran Al mampu
melakukan akumulasi Al pada lapisan sel bagian luar tudung akar sebagai upaya
penahanan Al masuk ke dalam jaringan.
Peningkatan pH rizosfer pada larutan/media merupakan salah satu
indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Beberapa penyebab penurunan
pH pada zone perakaran: 1) Pelepasan ion H akibat absorpsi kation > anion, 2)
Pelepasan dan hidrolisis CO2, 3) Pelepasan ion-ion H dari gugus karboksil asam
poligalakturonat dan sisa-sisa asam pektat dan 4) Ekskresi proton-proton dari
mikroorganisme-mikroorganisme yang berhubungan dengan akar. Tanaman yang
memiliki mekanisme toleransi dengan mengubah pH di daerah perakaran akan
meningkat pH larutan hara sehingga tanaman mampu menurunkan kelarutan dan
toksisitas Al (Sasaki et al. 1997). Percobaan pada metode kultur hara
menunjukkan bahwa genotipe toleran pada tanaman jagung, gandum, barley dan
padi mengalami peningkatan pH larutan serta terjadi penurunan kelarutan dan
toksisitas Al (Caniato et al. 2007; Furukawa et al. 2007). Menurut Hayes (1990),
peningkatan pH rizosfer akan meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P dan
menurunkan ketersediaan Zn, Cu, Fe, Mn dan Al. Penelitian Delhaize et al.
(1995) pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa genotipe toleran mampu
meningkatkan pH rizosfer dua kali lipat dibandingkan dengan genotipe peka.
Kenaikan pH akan mengurangi kelarutan Al, toksisitas dan melepaskan ikatan
dengan P.
Tanaman toleran mampu menghasilkan asam organik yang dapat
mengkelat Al dan mencegah pengikatan Al-P dalam akar (Delhaize et al. 1993;
Furukawa et al. 2007). Ujung akar tanaman yang toleran Al selain mengeksudasi
asam organik juga mampu mengeksudasi fosfat organik. Hal ini merupakan
proses alami hara P dan bagian dari keseimbangan hara P dalam tanaman (Pellet
et al. 1996). Detoksifikasi Al oleh fosfat karena terbentuknya ikatan kompleks AlP (Delhaize et al. 1993). Tanaman jagung dan gandum toleran mampu
mengeksudasi fosfat organik lebih banyak dibandingkan tanaman peka (Pellet et
81
al. 1995 dan 1996). Mekanisme eksternal menyebabkan kandungan Al dalam
jaringan menjadi rendah.
Tanaman dengan mekanisme internal memiliki daya toleransi untuk
mengakumulasi Al dalam sel sehingga kandungan Al dalam jaringan tinggi.
Mekanisme resistesi internal dicapai dengan pengkelatan Al oleh asam organik
dalam sitosol, kompartementasi Al di vakuola, memproduksi protein pengikat Al
serta produksi dan peningkatan enzim yang tahan Al.
Senyawa organik pada tanaman toleran Al mampu melakukan kompleks
atau bahkan kelat (menjepit) Al sehingga dapat mengurangi kelarutan Al (Hayes
dan Swift 1990; Tan 1993). Senyawa organik pada tanaman peka Al tidak efektif
melakukan kompleks atau mengkelat ion logam, salah satunya disebabkan karena
jumlah yang dihasilkan tidak mampu untuk menetralkan atau mengusir Al
(Sopandie et al. 2003; Kasim et al. 2001).
Anion organik pada barley mengaktifkan Al-effluks dari akar dan
berkorelasi dengan toleransi Al (Furukawa et al. 2007). Caniato et al. (2007)
menyatakan bahwa mekanisme fisiologi toleransi Al pada sorgum berdasarkan
pengkelatan Al di rizosfer oleh malat yang dilepas dari apikal akar dan mencegah
logam mencapai situs sensitif di dalam akar. Tanaman teh merupakan salah satu
tanaman yang menghasilkan asam organik/polifenol yang dapat menawarkan
racun Al dengan cara mengkelatnya (Matsumoto dan Sasaki 2002). Aluminium
berikatan dengan catechin di dalam daun muda dan pucuk, sedangkan pada daun
tua ditemukan adanya kompleks aluminium-asam fenolik dan asam alumoniumasam organik.
Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman
Lingkungan
bercekaman
adalah
lingkungan
sub
optimum
bagi
pertumbuhan dan produksi tanaman. Lingkungan sub optimum merupakan
lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Tujuan pemuliaan
untuk perbaikan produktivitas tanaman pada lingkungan bercekaman ditentukan
oleh tingkat cekaman pada lingkungan target (Sopandie et al. 2004; Sopandie
2006).
82
Perbaikan produktivitas tanaman di lahan bercekaman dapat dilakukan
melalui perbaikan potensi hasil untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi
dan perbaikan daya adaptasi tanaman untuk mendapatkan varietas yang toleran
(Accevedo dan Fererres 1993). Menurut Baker (1993), produktivitas tanaman
pada kondisi bercekaman ditentukan oleh potensi hasil tanaman serta daya
adaptasi tanaman terhadap cekaman.
Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman
ringan atau sedang dilakukan melalui perbaikan potensi hasil dan pembentukan
idiotype breeding (Romagosa dan Fox 1993). Perbaikan potensi hasil dapat
dilakukan melalui perbaikan kapasitas fotosintesis dan respirasi untuk
meningkatkan biomassa tanaman dan perbaikan sink capacity dan partisi
fotosintat (Accevedo dan Fererres 1993). Upaya pembentukan idiotype breeding
dilakukan dengan mengembangkan kombinasi karakter yang mendukung
fotosintesis, pertumbuhan dan produksi tanaman (Sopandie 2006). Melalui
pembentukan idiotype breeding, pemulia akan memperoleh gambaran yang jelas
dalam menyeleksi karakter tanaman yang mendukung peningkatan potensi hasil
(Romagosa dan Fox 1993; Sopandie 2006).
Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman
berat dilakukan melalui peningkatan adaptasi tanaman (Romagosa dan Fox 1993).
Pada lingkungan dengan cekaman berat terdapat interaksi genotipe dengan
lingkungan baik interaksi yang bersifat kuantitatif maupun interaksi yang bersifat
kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kuantitatif tidak
menyebabkan perubahan rangking genotipe. Genotipe yang unggul pada satu
lingkungan tetap unggul pada lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe
lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan kendala dalam pemuliaan bagi
lingkungan bercekaman berat karena mengakibatkan perubahan rangking genotipe
(Ceccareli 1996). Genotipe berdaya hasil tinggi pada satu lingkungan bisa
mengalami penurunan hasil yang cukup tajam pada lingkungan berbeda akibat
pengaruh cekaman (Romagosa dan Fox 1993; Roy 2000; Bernardo 2002; Chahal
dan Gosal 2003).
83
Seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target
sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil
maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman (Ceccareli et al. 2007). Seleksi
pada kondisi bercekaman dapat dilakukan berdasarkan fenotipe, marka molekular
dan gabungan antara fenotipe dan marka molekuler (Bernardo 2002). Seleksi
berdasarkan fenotipe menjadi sulit karena nilai heritabilitas yang rendah dan
adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Untuk
meningkatkan efisiensi seleksi maka seleksi dapat dilakukan menggunakan marka
molekuler. Marka molekuler yang terpaut dengan QTL atau yang mengendalikan
daya hasil pada kondisi bercekaman serta QTL yang mengendalikan toleransi
terhadap cekaman merupakan salah satu marka yang dapat dijadikan alat bantu
seleksi (Forster et al. 2000; Hussain 2006).
Arah Program Pemuliaan Tanaman Sorgum
Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat
potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Kebutuhan
terhadap tanaman ini terus meningkat (Grassi 2001). Konsekuensinya adalah
perbaikan hasil dan kualitas sangat perlu dilakukan. Secara umum, tanaman
sorgum manis yang diinginkan adalah tanaman sorgum yang memiliki indeks
panen yang tinggi, produktivitas yang tinggi, stabilitas hasil, resisten terhadap
penyakit dan memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik seperti tidak sensitif
terhadap photoperiodisme, kelembaban tinggi, toleran kekeringan dan lahan
masam (Baenziger 2006).
Ketersediaan bahan bakar tidak terbarukan (berbasis fosil) saat ini semakin
terbatas menyebabkan kebutuhan akan sumber energi yang terbarukan (biofuel)
menjadi penting. Penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas rumah kaca
sampai 12% (Reddy dan Dar 2007). Dari tahun ke tahun kebutuhan terhadap
bioetanol semakin meningkat. Sorgum merupakan salah satu tanaman yang dapat
menjadi bahan baku industri bioetanol karena batang dan juga bijinya dapat
dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Yudiarto 2006; Reddy
dan Dar 2007). Selain produktivitasnya yang tinggi dan biaya produksi yang
84
rendah, tanaman sorgum tidak berkompetisi dengan tanaman pangan. Saat ini
produsen bioetanol yang menggunakan sorgum masih didominasi oleh Amerika
Serikat, Cina, Afrika Selatan dan India (Dirjen Tanaman Pangan 2007). Sorgum
memenuhi persyaratan sebagai bahan baku bioetanol antara lain dapat tumbuh
dalam berbagai agroekologi, lebih tahan penyakit dan memerlukan input produksi
yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan tanaman penghasil bioetanol
lainnya.
Rasmusson (1987) menjelaskan bahwa ideotipe merupakan sifat yang
diharapkan dapat ditingkatkan potensi genetik hasilnya. Pemuliaan ideotipe
didefinisikan sebagai metode yang digunakan dalam pemuliaan untuk
meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi
karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000). Arah pemuliaan sorgum untuk
produksi bioetanol diarahkan pada perbaikan karakter-karakter produksi bioetanol
yaitu karakter malai dan batang.
Tanaman sorgum memiliki efisiensi fotosintesis yang tinggi yaitu 2.5%
dengan efisiensi fotosintesis maksimum pada beberapa jam tertentu dalam siklus
harian mencapai 27% (Grassi 2005). Perbaikan efisiensi fotosintesis diharapkan
dapat meningkatkan produksi biomassa sorgum sehingga produktivitas bioetanol
juga akan meningkat. Alkohol diperoleh dari nira bagian batang sorgum. Kualitas
nira sorgum manis setara dengan nira tebu, kecuali kandungan amilum dan asam
akonitat yang relatif tinggi (Sirappa 2003). Kandungan amilum yang tinggi
tersebut merupakan salah satu masalah dalam proses kristalisasi nira sorgum
sehingga gula yang dihasilkan berbentuk cair. Untuk mengatasi masalah tersebut,
pengembang ideotipe dapat diarahkan pada penurunan kandungan amilum dari
kadar awal.
Bioetanol juga diperoleh dari bagian malai. Sirappa (2003) menjelaskan
bahwa biji sorgum mengandung 65-71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula
sederhana. Gula sederhana yang diperoleh dari biji sorgum selanjutnya dapat
difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Menurut Somani dan Pandrangi (1993)
dalam Sumarno dan Karsono (1996), setiap ton biji sorgum dapat menghasilkan
85
384 liter bioalkohol. Seleksi berdasarkan bobot biji per tanaman diharapkan akan
diperoleh perbaikan produksi malai surgum.
Kelebihan lain adalah manfaat ganda tanaman sorgum yang dapat
digunakan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pakan. Sorgum manis
merupakan salah satu tanaman pangan dunia dengan luas areal tanam, produksi
dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat ke-lima setelah
gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman sorgum
merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari 300 juta
penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum lainnya adalah
produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan sirup) serta gula
atau jiggery (ICRISAT 1996).
Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman
sorgum sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber
karbohidrat karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006)
Beberapa kandungan nutrisi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang
dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi,
fosfor dan vitamin B-1 (Sirappa 2003).
Kandungan
tannin
pada
beberapa
jenis
sorgum
cukup
tinggi
(0,40−3,60%), sehingga hasil olahannya kurang enak. Sumarno dan Karsono
(1996) menyarankan untuk mengatasi masalah ini melalui teknologi pengolahan
kulit dan lapisan testa dengan pengikisan (penyosohan). Pendekatan melalui
program pemuliaan dapat dilakukan melalui perakitan sorgum dengan kandungan
tannin rendah. Keberadaan tannin pada sorgum sulit terdeteksi dan tidak
tergantung pada warna biji (House 1985).
Sorgum memenuhi syarat gizi dan faktor biofisik untuk dijadikan jalan
keluar dalam krisis pangan dan dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, sehingga
pengembangan varietas sorgum dengan level vitamin, mineral dan protein tinggi
harus dilakukan. Sorgum memiliki kandungan glutin sorgum sangat rendah
(Graybosch 1992) sehingga sorgum dikembangkan sebagai bahan pangan
premium untuk keperluan diet pada penderita diabetes dan diet pada penderita
alergi glutin (Hoeman 2008).
86
Pemanfaatan sorgum sebagai pakan ternak yaitu biji sorgum untuk bahan
campuran ransum pakan ternak unggas, sedangkan batang dan daun sorgum
(stover) untuk ternak ruminansia (Hoeman 2007). Kandungan lemak sorgum yang
relatif tinggi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot ternak. Dengan
demikian, pemilihan ideotipe dapat diarahkan pada perakitan genotipe yang
memiliki kandungan lemak tinggi. Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan
ternak bersifat suplemen (substitusi) terhadap jagung karena nilai nutrisinya tidak
berbeda dengan jagung, namun karena kandungan tannin yang cukup tinggi
membuat rasa pakan biji sorgum menjadi pahit (Sirappa 2003). Menurut
Koentjoko (1996), kandungan tanin dalam ransum di atas 0,50% dapat menekan
pertumbuhan ayam, dan apabila mencapai 2% akan menyebabkan kematian
(Rayudu et al. 1970) sehingga salah satu ideotipe yang dapat dikembangkan
dalam program pemuliaan sorgum untuk keperluan pakan adalah menurunkan
kadar tannin pada lapisan aleuron biji.
Potensi daun sorgum manis sekitar 14−16% dari bobot segar batang atau
sekitar 3 ton daun segar/ ha dari total produksi 20 ton/ha. Soebarinoto dan
Hermanto (1996) melaporkan bahwa setiap hektar tanaman sorgum dapat
menghasilkan jerami 2,62 + 0,53 ton bahan kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor
sapi adalah 15 kg daun segar/hari (Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Dengan
demikian pengembangan sorgum sebagai tanaman pakan ternak (forage sorghum)
dapat dilakukan dengan meningkatkan potensi hijauan sorgum. Borrel et al.
(2006) menjelaskan kondisi stay green pada tanaman sorgum dipengaruhi oleh
efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi yang tinggi.
Penelitian sorgum selain mengarah pada perbaikan sifat agronomi dan
kualitas sebagai sumber pangan, pakan dan bahan baku bioetanol, juga diarahkan
pada peningkatan produktivitas antara lain dengan perakitan sorgum yang
memiliki daya adaptasi luas dengan produktivitas tinggi namun memerlukan input
relatif rendah, peningkatan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman serta
toleransi terhadap kondisi marjinal (kekeringan, salinitas dan lahan masam). Arah
pemuliaan sorgum dalam peningkatan komponen hasil dan produktivitas dapat
dilakukan dengan memanfaatkan galur-galur murni dan hibrida (Institute of
87
Agricultural Sciences at Xinxian-Shanxi 1972). Hasil panen pada hibrida sorgum
berkorelasi dengan berat malai. Poelman dan Sleper (1996) menerangkan bahwa
program pemuliaan sorgum untuk daya hasil tinggi memerlukan faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman seperti umur tanam, sensitifitas
terhadap fotoperiode, resistensi terhadap kerebahan dan resistensi terhadap
cekaman (biotik maupun abiotik).
Karakter agronomi seperti tinggi tanaman, jumlah daun dan produksi biji
dapat digunakan sebagai indikator tahan kekeringan. Grassi et al. 2004
menjelaskan bahwa daya adaptasi sorgum terhadap kekeringan berhubungan
dengan mekanisme efisiensi penggunaan air. Penelitian yang dilakukan Di Fonzo
et al. (1999) diketahui bahwa luas area hijau daun pada fase generatif
meningkatkan produksi biji. Genotipe dengan kemampuan stay-green pada
tanaman pangan seperti jagung, sorgum dan gandum, lebih aktif berfotosintesis
selama masa pengisian biji. Hal serupa juga dijelaskan oleh van Oosterom et al.
(1996), bahwa karakter stay-green merupakan komponen toleransi terhadap
kekeringan pada fase akhir pembungaan sorgum. Sorgum dengan fenotipe staygreen mengakumulasi lebih banyak gula pada batang baik selama maupun setelah
fase pengisian biji. Karakter stay-green merupakan karakter penting dalam
perakitan varietas sorgum manis toleran kekeringan dan juga dapat digunakan
dalam aplikasi pemuliaan lainnya.
Penurunan produktivitas tanaman pada tanah masam terutama dialami oleh
jenis tanaman semusim (annual plant) dengan sistem perakaran yang dangkal
(Kochian et al. 2004). Pada kondisi tercekam kemasaman, pertumbuhan tajuk
akan terhambat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang kerdil (Marschner
1995). Hal ini disebabkan oleh terhambatnya akses air dan nutrisi karena
pertumbuhan akar yang terhambat. Sistem perakaran merupakan salah satu
karakter yang dapat digunakan tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan
meningkatkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur hara.
Strategi untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lingkungan
bercekaman adalah melalui program pemuliaan tanaman yang didukung oleh
pemahaman tentang aspek fisiologi adaptasi tanaman (Sopandie 2006).
88
Pengembangan sorgum yang memiliki toleransi terhadap Al diperlukan upaya
mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi
agroekologi lahan bercekaman Al.
Varietas
sorgum
toleran Al telah
dikembangkan di beberapa negara (Kochian et al. 2004), tetapi di Indonesia saat
ini belum dikembangkan, karenanya pengembangan varietas sorgum toleran tanah
masam sangat diperlukan. Pemahaman tentang mekanisme adaptasi dan kendali
genetiknya dapat membantu meningkatkan efektivitas seleksi galur-galur sorgum
toleran Al.
Indonesia bukan merupakan daerah origin sorgum, namun tanaman
sorgum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dikenal. Perkembangan sorgum
di Indonesia tidak sebaik padi dan jagung karena masih sedikit daerah yang
memanfaatkan tanaman sorgum sebagai bahan pangan. Budidaya, penelitian dan
pengembangan tanaman sorgum di Indonesia masih sangat terbatas (Hoeman
2007). Salah satu penyebab keterbatasan tersebut adalah tidak tersedianya benih
varietas unggul sorgum. Hal inilah yang menyebabkan keragaman genetik yang
tersedia masih sangat terbatas. Peningkatan keragaman genetik sorgum dapat
dilakukan melalui introduksi, hibridisasi, mutasi dan bioteknologi maupun
kombinasi antara metode-metode tersebut.
Varietas sorgum yang terdapat di Indonesia sebagian besar merupakan
introduksi dari International Crop Research Institut for Semi-Arid Tropics
(ICRISAT) dan dari beberapa negara seperti India, Thailand dan Cina. Setelah
melalui proses pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi,
beberapa varietas introduksi tersebut telah dilepas oleh Departemen Pertanian
Republik Indonesia sebagai varietas sorgum unggul nasional antara lain UPCA,
Keris, Mandau, Higari, Numbu, Kawali, Badik, Gadam dan Sangkur (Dirjen Bina
Produksi Tanaman Pangan 2003).
Teknik hibridisasi atau persilangan buatan dapat menimbulkan keragaman
baru melalui rekombinasi yang terbentuk dari alela-alela yang berasal dari tetuatetua persilangan. Persilangan dapat menghasilkan keragaman baru yang tidak
ditemukan pada genotipe kedua tetuanya karena adanya rekombinasi (Baenziger
2006). Setelah melalui segregasi akan terbentuk populasi yang mempunyai
89
keragaman genetik lebih tinggi. Dengan hibridisasi, keragaman yang dibentuk
dapat diarahkan sesuai dengan sasaran program pemuliaan, berupa gabungan
karakter-karakter unggul yang ada di tetua-tetua persilangan.
Persilangan buatan dapat melibatkan semua bentuk genotipe, varietas dari
suatu spesies yang sama atau antar spesies yang berbeda. Berdasarkan
pengelompokan genotipe ini persilangan buatan dapat dikelompokkan menjadi (1)
Intervarietal yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua berupa kultivar dari
spesies yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (2) Interspesifik yaitu persilangan
yang melibatkan tetua yang berasal dari dua spesies yang berbeda dari genus
yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (3) Intergenerik yaitu persilangan yang
melibatkan tetua-tetua yang berasal dari spesies dari genus yang berbeda (Greene
dan Morris 2001) dan (4) Introgressi yaitu persilangan yang melibatkan tetuatetua yang berasal dari spesies yang berbeda dengan tujuan untuk memindahkan
satu atau beberapa gen saja dari tetua spesies liar ke spesies budidaya (Gepts
2002). Tipe persilangan yang paling umum dilakukan adalah tipe persilangan
intervarietal, karena rekombinasi gen dapat terjadi lebih mudah dan tanpa
hambatan reproduksi. Persilangan yang melibatkan spesies tanaman yang berbeda
mempunyai kendala pada hambatan reproduksi sehingga memerlukan teknik
khusus.
Pemilihan tetua sangat penting diperhatikan dalam hibridisasi karena
menentukan keberhasilan dari tujuan persilangan yang diinginkan. Tetua yang
digunakan dalam persilangan harus membawa karakter unggul yang diinginkan
(Sutjahjo et al. 2005). Selain itu, salah satu atau kedua tetua memiliki adaptasi dan
penampilan agronomis yang baik dan juga antara tetua mempunyai jarak
kekerabatan yang jauh sehingga dapat menghasilkan keragaman genetik yang
tinggi pada turunannya.
Sumber keragaman untuk seleksi tetua persilangan dapat diperoleh dari
koleksi plasma nutfah yang ada atau jika tidak ada dapat diintroduksikan dari
wilayah lain. Sutjahjo et al. (2005) menjelaskan bahwa plasma nutfah yang
menjadi sumber keragaman bagi seleksi tetua dapat terdiri dari varietas komersial,
galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines), varietas lokal atau landrace dan
90
spesies liar. Varietas komersial adalah varietas yang telah ditanam luas dan
diterima baik oleh petani. Galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines) adalah
yaitu galur-galur terpilih dengan sifat-sifat unggul tetapi belum dilepas sebagai
varietas. Varietas lokal atau landrace yaitu kultivar hasil seleksi petani yang
mempunyai keunggulan dalam adaptasi terhadap cekaman lingkungan tertentu
seperti kekeringan, tanah masam, salinitas atau tanah gambut sulfat masam,
sedangkan spesies liar adalah spesies bukan budidaya namun mempunyai sifatsifat yang diinginkan dan akan digunakan dalam persilangan dengan spesies
budidaya.
Jika keragaman dari karakter yang dikehendaki tidak dapat ditemukan
dalam koleksi plasma nutfah, maka keragaman dapat diperoleh melalui mutasi
induksi (Ahloowalia et al. 2004). Aisyah (2006) menjelaskan bahwa mutasi
adalah perubahan materi genetik yang terjadi secara mendadak dan bersifat
permanen akibat perlakuan radiasi atau bahan kimia (mutagen fisik atau kimia).
Keragaman yang ditimbulkan oleh mutasi tidak dapat diduga arahnya (van Harten
1998). Peningkatan keragaman lainnya dapat dilakukan dengan melalui
pendekatan bioteknologi antara lain embryo rescue (Comeau et al. 1992),
manipulasi kromosom sitoplasma (Fedak 1999; Jauhar dan Chibbar 1999) atau
manipulasi kromosom molekular dengan transformasi genetik (Zhong 2001).
Kegiatan selanjutnya adalah proses seleksi dan pengujian selama beberapa
generasi hingga diperoleh galur-galur harapan dengan karakter yang diinginkan.
Sorgum termasuk kelompok tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri
dengan persentase menyerbuk silang sebesar 6% (Poehlman dan Sleper 1996).
Sasaran yang hendak dicapai pada program pemuliaan tanaman menyerbuk
sendiri adalah sifat unggul dan tanaman homozigot (Poespodarsono 1988).
Metode seleksi yang digunakan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti sorgum
dapat dilakukan pada populasi yang heterogen dan pada populasi bersegregasi
(Trikoesoemaningtyas, bahan kuliah 2007). Seleksi pada populasi heterogen
dilakukan dengan metode seleksi massa dan seleksi galur murni, sedangkan pada
populasi bersegregasi, seleksi dapat dilakukan dengan metode adalah pedigree,
bulk, silang balik, single seed descent dan double haploid.
91
Metode pedigree banyak digunakan untuk seleksi pada karakter kualitatif
atau karakter kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong tinggi
sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Moreno-Gonzales dan
Cubero 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal, 2003). Metode pedigree merupakan
metode yang paling sering digunakan dalam pemuliaan sorgum (House 1985).
Kelebihan metode pedigree antara lain hanya keturunan dari tanaman unggul saja
yang dilanjutkan, menghemat lahan karena jumlah tanaman tiap generasi semakin
sedikit dan silsilah dari galur diketahui (Sutjahjo et al. 2006). Namun pada metode
ini banyak genotipe akan terbuang pada saat masih bersegregasi, sedangkan
genotipe tersebut mungkin akan mempunyai fenotipe yang baik pada generasi
lanjut setelah seluruh gen-gen aditif terfiksasi dan juga pencatatan yang dilakukan
setiap generasi memerlukan banyak tenaga dan ketelitian yang tinggi dalam
mencatat dan menyimpan data silsilah.
Metode silang balik (back cross) diterapkan dengan tujuan memasukkan
satu atau dua karakter pada varietas atau genotipe yang sudah mempunyai daya
adaptasi atau karakter agronomi yang sudah baik (Stoskopf et al. 1993; Roy
2000; Chahal and Gosal 2003; Sutjahjo et al. 2006). Metode silang balik bertujuan
untuk memperbaiki kultivar yang sudah mempunyai karakter agronomi dan
adaptasi yang baik, tetapi kekurangan satu atau beberapa karakter saja, misalnya
pemuliaan untuk memperbaiki resistensi terhadap penyakit dari varietas unggul
komersial yang diadopsi luas. Tujuan dari silang balik berulang dengan tetua
recurrent adalah untuk meningkatkan proporsi gen tetua recurrent. Metode silang
balik dilaksanakan dengan menyilangkan kembali F1 dengan tetua yang
mempunyai sifat agronomi baik sebagai tetua berulang (recurrent parent) untuk
beberapa generasi. Untuk itu metode silang balik memerlukan tetua recurrent
dengan sifat agronomi baik. Umumnya tetua recurrent merupakan varietas unggul
komersial yang diadopsi secara luas oleh petani. Metode silang balik hanya
memperbaiki satu sifat tetapi tidak dapat meningkatkan potensial hasil dari
varietas yang ada.
Metode bulk dan single seed descent umum digunakan untuk seleksi pada
karakter kuantitatif atau karakter yang mempunyai nilai heritabilitas yang
92
tergolong rendah atau sedang sehingga seleksi dilakukan pada generasi lanjut
yaitu F5 atau F6. Prinsip kedua metode ini adalah upaya menangani populasi
bersegregasi selama beberapa generasi secara bersama-sama sampai mencapai
tingkat homozigositas yang diinginkan sebelum melakukan seleksi terhadap
individu tanaman. Generasi F1 sampai F4 pekerjaan tidak terlalu berat, karena
pada generasi tersebut tidak dilakukan seleksi. Dalam metode single seed descent
hanya satu benih yang diambil secara acak dari setiap tanaman untuk ditanam
pada generasi berikutnya (Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal
2003; Sutjahjo et al. 2006).
Metode untuk Mempelajari Pola Pewarisan Sifat
Karakter-karakter yang diekspresikan tanaman dibedakan atas karakter
kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif seperti warna dan bentuk
bunga, bentuk dan warna biji, penampilannya sangat sedikit dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Karakter-karakter ini akan mempunyai penampilan yang tetap
pada berbagai lingkungan yang berbeda (Stoskopf 1993). Hal ini dapat terjadi
karena karakter-karakter ini dikendalikan oleh gen-gen yang mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap penampilan/fenotipe (gen mayor), sehingga
pengaruh lingkungan terhadap karakter tersebut kecil. Karakter kualitatif memiliki
keragaman yang dapat dengan mudah dikelaskan dan pewarisan karakternya
mengikuti hukum pewarisan sifat Mendel (Roy 2000) yaitu menurut Hukum
Segregasi, di mana alel-alel dari pasangan gen bersegregasi (berpisah) satu
dengan lainnya ke dalam gamet dan Hukum Perpaduan Bebas yaitu pada waktu
pembentukan gamet, salah satu pasangan gen berpadu secara bebas dengan
pasangan gen lainnya. Fenotipe dari karakter kualitatif dapat dikelaskan dengan
jelas.
Keragaman karakter kualitatif dapat dibedakan berdasarkan aksi gen yang
mengendalikan karakter tersebut (Stoskopf 1993; Chahal dan Gosal 2002).
Karakter kualitatif dapat dikendalikan oleh satu gen yang mempunyai aksi
dominan, over dominan atau kodominan, yang merupakan bentuk interaksi alela
dalam lokus/gen yang sama. Dominansi adalah bentuk interaksi antar alel yang
93
menyebabkan alela pasangannya dalam lokus yang sama tertekan ekspresinya.
Alela yang terekspresi disebut alela dominan sedangkan alela yang tertekan
ekspresinya disebut alela resesif. Jika dominansi bersifat penuh, maka ekspresi
aksi gen dominan akan menyebabkan genotipe dengan alela heterozigot
mempunyai fenotipe yang sama dengan bentuk homozigot dominannya. Jika
dominansi tidak bersifat penuh, maka genotipe heterozigot akan mempunyai
fenotipe yang berada di antara fenotipe genotipe homozigot dominan dengan
homozigot resesif. Aksi gen dominan dapat terjadi dalam bentuk overdominansi,
di mana genotipe heterozigot akan mempunyai fenotipe yang melebihi genotipe
homozigot dominan. Fenomena ini umumnya terlihat pada karakter yang
berhubungan dengan ukuran dan viabilitas. Epistasis terjadi jika dua gen
berinteraksi mengatur karakter yang sama dan interaksi tersebut melibatkan alela
dari lokus yang berbeda. Epistasis dapat menyebabkan timbulnya fenotipe yang
berbeda dari fenotipe yang disebabkan oleh interaksi antar alela dalam lokus yang
sama, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam nisbah fenotipe di
generasi F2.
Karakter-karakter kuantitatif seperti karakter yang berhubungan dengan
pertumbuhan tanaman atau hasil panen, umumnya merupakan karakter-karakter
yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Roy 2000). Karakter kuantitatif
dikendalikan oleh banyak gen di mana pengaruh masing-masing gen terhadap
penampilan karakter (fenotipe) lebih kecil dan bersifat aditif. Gen-gen tersebut
secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pengaruh
lingkungan (Roy 2000). Gen-gen yang demikian disebut gen minor. Aksi gen
minor ditentukan oleh bentuk interaksi yang terjadi baik interaksi antar alel pada
lokus yang sama. Untuk karakter kuantitatif maka interaksi antar alela dapat
terjadi dalam bentuk interaksi aditif dan dominan maupun interaksi antar alel pada
lokus yang berbeda (epistasis).
Jumlah gen yang banyak menyebabkan keragaman fenotipe dari karakter
kuantitatif tidak dapat dikelaskan dengan jelas dan cenderung membentuk sebaran
yang kontinyu. Seleksi terhadap karakter kuantitatif tidak didasarkan pada visual
tetapi pada hasil analisis stastistik.
94
Pemulia harus memilih metode yang paling efektif dan efisien dalam
pelaksanaan seleksi untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Pemilihan metode
dilakukan melalui analisis pewarisan dengan menghitung potensialitas dari
persilangan yang dilakukan (Roy 2000). Analisis harus dilakukan sejak generasi
awal menggunakan data tetua dan data dari generasi awal. Roy (2000)
menjelaskan terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam
memprediksi tingkat kepotensialitas persilangan yaitu dengan melihat penampilan
tetua, analisa rata-rata generasi atau dengan analisa diallel.
Metode analisa penampilan tetua merupakan metode analisis yang paling
sederhana karena tidak menggunakan analisis genetik namun pendugaan
pewarisan hanya didasarkan pada penampilan kedua tetua dan progeni F1 dengan
hipotesis semua karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif. Hubungan antara nilai
tengah kedua tetua dan F1 tidak hanya tergantung pada tipe penyerbukan tanaman
saja, namun juga tergantung pada sejarah materi genetik yang digunakan (Chahal
dan Gosal 2002). Beberapa karakter penampilan tetua dapat digunakan sebagai
prediktor hasil persilangan. Keberadaan epistasis akan dihilangkan dengan cara
menggunakan komponen karakter yang kompleks, sedangkan efek dominansi
akan dikurangi melalui selfing (Roy 2000). Keberadaan pautan tidak akan
berpengaruh pada rata-rata populasi jika epistasis telah ditiadakan. Kelemahan
dari metode ini adalah asumsi aksi gen aditif pada karakter yang kompleks tidak
selalu dapat terpenuhi karena adanya faktor interaksi lingkungan dan atau genetik.
Selain itu potensialitas hasil persilangan yang tinggi hanya dapat diperoleh dari
tetua dengan nilai yang tinggi juga, sehingga pemilihan tetua menjadi sangat
penting.
Analisa rata-rata generasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan
untuk menduga peran aksi gen aditif, dominan atau interaksi terhadap ekspresi
suatu karakter (Roy 2000). Analisa rata-rata generasi juga dapat digunakan untuk
menentukan metode seleksi varietas yang akan dihasilkan. Jika aksi gen aditif
yang paling besar perannya maka seleksi dalam populasi akan efektif
mengakumulasi gen-gen aditif yang diinginkan. Varietas yang dihasilkan berupa
galur murni. Jika aksi gen dominan yang paling besar perannya, seleksi antar
95
populasi. Dalam melakukan pendugaan aksi gen suatu populasi dengan analisis
rata-rata generasi, populasi yang digunakan harus mengikuti asumsi kedua tetua
homozigot, pola pewarisan diploid, tidak ada keterpautan gen, tidak ada pengaruh
tetua betina, tidak ada interaksi antara genotipe dengan lingkungan, interaksi
hanya terjadi antara dua gen dengan dua alela (Allard 1960).
Analisa rata-rata generasi menggunakan populasi P1, P2, F1/F1R, BC1
dan BC2, untuk itu digunakan dua macam metode pendugaan, yaitu (1) Scaling
Test (Uji Skala), yang menduga aksi gen dan model genetik dengan menguji
sejumlah generasi secara terpisah dan (2) Joint Scaling Test (Uji Skala
Gabungan), menduga aksi gen dan model genetik dengan menguji sejumlah
generasi secara bersama-sama, dan memungkinkan dilakukannya uji kesesuaian
model genetik. Pada uji skala, pendugaan model genetik dan komponen dari ratarata generasi dapat dilakukan dengan menggunakan skala yaitu A, B, C dan D.
Sedangkan pada uji skala gabungan, model diuji dengan uji kebaikan sesuai
terboboti dan dapat digunakan untuk menduga parameter m (rata-rata), d
(pengaruh aksi gen aditif), h (pengaruh aksi gen dominan) dan interaksinya.
Dalam analisis silang diallel, pendugaan parameter genetik sudah dapat
dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 ataupun BCP2,
seperti pada teknik pendugaan parameter genetik menggunakan pendekatan enam
populasi. Sebaran gen pengendali sifat di dalam tetua-tetua dan pendugaan batas
tertinggi fenotipe jika semua gen mengumpul dalam suatu individu bisa dipelajari.
Analisis silang diallel juga harus memenuhi beberapa asumsi seperti yang di
kemukakan oleh Allard (1960) yaitu terjadi segregasi diploid, tidak ada perbedaan
antara persilangan resiprokal, tidak ada interaksi antara gen–gen yang tidak satu
alel, tidak ada multialelisme, tetua homozigot dan gen–gen menyebar secara bebas
di antara tetua. Analisa dengan menggunakan metode diallel dapat dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu pendekatan Hayman dengan melakukan studi
pewarisan dan pendekatan Griffing dengan menghitung daya gabung umum
(DGU) dan daya gabung khusus (DGK).
Daya gabung umum yang lebih besar daripada daya gabung khusus
menunjukkan bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat
96
tersebut dibandingkan aksi gen non-aditif. Sebaliknya daya gabung khusus yang
lebih besar dibandingkan daya gabung umum menunjukkan bahwa aksi gen non
aditif lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat daripada aksi gen aditif.
Menurut Roy (2000) daya gabung umum merupakan penduga terhadap ragam
aditif. Sementara daya gabung khusus merupakan penduga ragam non aditif
(dominan dan epistasis). Umumnya pendekatan Griffing diarahkan untuk
mempelajari kemampuan daya gabung umum (general combining ability/GCA)
dan kemampuan daya gabung khusus (specific combining ability/SCA). Namun
demikian, pendekatan Griffing dapat juga untuk mempelajari aksi gen, ragam
aditif, ragam dominan, heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit.
Pewarisan Toleransi terhadap Aluminium
Setiap tanaman mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap keracunan
Al (Wirnas et al. 2002). Sifat toleransi terhadap cekaman Al dketahui
dikendalikan secara genetik. Menurut Tisdale dan Nelson (1975) sifat toleransi
tanaman terhadap lingkungan sub optimum dipengaruhi oleh faktor genetik dan
faktor lingkungan. Hal ini didukung oleh Chaubey dan Senadhira (1994) yang
menyatakan bahwa keragaman yang diamati dalam adaptasi tanaman terhadap
tanah masam dikendalikan secara genetik walaupun ekspresinya dipengaruhi oleh
lingkungan. Kedua faktor ini mempengaruhi penampilan fenotipe (Falconer and
Mackay 1996). Keadaan lingkungan yang berubah-ubah dan seleksi alam akan
memaksakan dan menyebabkan menonjolnya sifat yang memungkinkan tanaman
tersebut mampu menyesuaikan diri dalam keadaan yang sangat kompetitif (Jain
1982). Salasar et al. (1995) mengatakan bahwa toleransi pada lahan masam pada
jagung dikendalikan oleh gen inti.
Sifat ketenggangan terhadap Al tidak diturunkan secara sederhana dengan
model satu atau dua gen, tetapi atas pengaruh gen poligenik (Zhang et al. 1999).
Berbagai studi menunjukkan bahwa gen yang mengendalikan sifat ketenggangan
Al sangat kompleks sehingga dapat memberikan pengaruh pada pewarisan sifat
yang berbeda pula. Hal ini diperkuat oleh Jagau (2000) yang menyimpulkan
bahwa terdapat interaksi antar gen sehingga sifat ketenggangan aluminium ini
97
dikendalikan secara poligenik. Menurut Zhang et al. (1999), toleransi terhadap Al
pada triticale disebabkan oleh efek aditif dan dominan. Karakter toleransi Al pada
triticale dikendalikan oleh sepasang sampai tiga pasang gen (poligenik). Begitu
juga hasil penelitian Bianchi-Hall (1998) pada tanaman kedelai toleransi terhadap
Al juga dikendalikan oleh poligen.
Kajian pewarisan sifat yang menggunakan kriteria pertumbuhan akar
ditemukan bahwa sifat ketenggangan Al dikendalikan oleh sekelompok gen dan
diwariskan secara kuantitatif. Penelitian Khatiwada et al. (1996) menunjukkan
bahwa panjang akar relatif (PAR) yang tinggi pada tanaman padi dikendalikan
oleh gen aditif dominan, tetapi lebih banyak karena pengaruh gen aditif sehingga
karakter PAR menunjukkan dominansi parsial dan dikendalikan oleh sekelompok
gen. Dengan demikian gen-gen aditif diketahui cukup berperan dibandingkan
pengaruh gen-gen non-aditif yang diketahui melalui nilai heritabilitas arti sempit
yang tinggi (Khatiwada et al. 1996).
Penelitian pewarisan toleransi Al pada triticale menunjukan bahwa
ekspresi toleransi Al dikendalikan oleh aksi gen aditif dan dominan, serta terdapat
juga interaksi non alelik (epistasis) dalam hasil persilangan tetua toleran dan peka
(Zhang et al. 1999). Sifat kemampuan tumbuh kembali dari akar yang tercekam
Al tidak diwariskan mengikuti model aditif-dominan karena adanya pengaruh
interaksi gen yang cukup besar (Zhang et al. 1999). Ninamango-C´ardenas (2003)
menyatakan bahwa toleransi Al pada jagung dikendalikan oleh efek dominan dan
aditif. Hasil penelitian Magalhaes et al. 2004 menunjukkan bahwa toleransi Al
pada sorgum dikendalikan oleh sebuah lokus mayor tunggal, AltSB. Kendali
toleransi terhadap cekaman Al oleh lokus mayor tunggal serupa pada tanaman
barley (Tang et al. 2000; Raman et al. 2002; Raman et al. 2003), gandum (Raman
et al. 2005) dan rye (Miftahudin et al. 2002).
Download