makalah makro ekonomi

advertisement
1
[makalah makro ekonomi]
MINIMALISASI DAMPAK
KENAIKAN TARIF DASAR
LISTRIK MELALUI KEBIJAKAN
MONETER
Ditulis bersama Nasrudin dan Nila Rifai
Mahasiswa program Doktor Mayor Ekonomi Pertanian IPB
Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi suatu negara erat kaitannya dengan ketersediaan akses
energi. Energi memainkan peranan yang sangat penting dalam kegiatan produksi
output ekonomi dan ekonomi tidak akan dapat berkembang tanpa pasokan energi
yang cukup atau akses terhadap pelayanan energi. Sekali pasokan energi berkurang
yang berakibat pada naiknya biaya energi atau kurangnya akses ke pelayanan energi,
akan terjadi kenaikan biaya yang menekan perekonomian, mendorong naiknya
kemiskinan dan pengangguran serta mengganggu prospek-prospek pembangunan
lainnya (Nkomo, 2007).
Energi, baik yang berupa penerangan, panas, tenaga mekanika atau listrik,
merupakan hal pokok pada masyarakat dan memainkan peran penting dalam
pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara miskin dan negara-negara
sedang berkembang. Akses terhadap energi modern merupakan prasyarat penting
dalam pengurangan kemiskinan dan dalam upaya mencapai tujuan pembangunan
milenium atau millennium development goals (Schubert, et al, 2007). Energi juga
memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan
lingkungan untuk terlaksananya pembangunan berkelanjutan dan mendukung
kegiatan-kegiatan nasional.
Selama hampir 40 tahun pembangunan yang telah dilaksanakan di Indonesia,
ternyata tingkat kemiskinan dan jumlah orang miskin masih tetap tinggi terutama di
EPN | IPB
2
[makalah makro ekonomi]
perdesaan, tempat dimana sebagian besar kegiatan pertanian berlangsung. Data
statistik seperti terlihat pada Tabel 1.1. menunjukkan bahwa pada tahun 2005 tingkat
kemiskinan di perdesaan Indonesia masih sebesar 19.5 persen, jauh di atas
kemiskinan di perkotaan yang 11.4 persen.
Jika dilihat dari sisi jumlah, orang miskin di perdesaan pada tahun 2005
masih sebanyak 22.7 juta orang sedangkan di perkotaan sebanyak 12.4 juta orang
sehingga total jumlah orang miskin di Indonesia adalah 35.1 juta orang atau sekitar
15.97 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Selain tingginya angka kemiskinan di Indonesia, hal lain yang juga perlu
diperhatikan adalah jumlah pengangguran terbuka. Pertumbuhan ekonomi yang di
atas 5 persen sejak tahun 2004, mampu meningkatkan jumlah orang bekerja yang
pada tahun 2004 masih 93.72 juta orang dan pada tahun 2008 dapat ditingkatkan
sehingga mencapai 105.25 juta orang sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2.
Peningkatan jumlah orang yang bekerja di atas tetap belum mampu secara
signifikan menurunkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia. Jumlah orang
yang tidak bekerja atau pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2008 masih
cukup besar yang mencapai 9.12 juta orang atau sekitar 7.97 persen dari total
angkatan kerja. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berhasil diraih
selama periode 2004 – 2008 masih belum cukup untuk menyerap penambahan tenaga
kerja yang ada pada periode yang sama.
Tabel 1.1. Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Orang Miskin di Indonesia
Sumber : BPS, 2007
EPN | IPB
3
[makalah makro ekonomi]
Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Orang Bekerja dan Pengangguran
Pengangguran Terbuka
Periode
Pertumbuhan Ekonomi
(%)
Jumlah Orang Bekerja
(Juta)
Jumlah (Juta)
%
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
3.44
3.66
4.10
5.05
5.60
6.11
5.91
6.50
90.81
91.65
92.81
93.72
94.95
95.18
101.94
105.25
8.00
9.13
9.82
10.25
10.85
11.11
10.29
9.12
8.10
9.06
9.50
9.86
10.26
10.44
9.19
7.97
Sumber : BPS, 2008
Untuk menurunkan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran terbuka di
atas, diperlukan upaya-upaya yang lebih keras dan sistematis dari pemerintah, selain
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, konsisten dan berkualitas. Upaya-upaya keras
dan sistematis serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, konsisten dan berkualitas
tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan menciptakan
banyak lapangan kerja sehingga semakin banyak jumlah orang yang bekerja dan
mendapat pekerjaan di Indonesia yang pada akhirnya dapat menurunkan angka
kemiskinan dan jumlah pengangguran.
Menurut Bisnis Watch Indonesia (2003) kenaikan tarif dasar listrik
disebabkan oleh besarnya hutang luar negeri pada sektor ketenagalistrikan (10% dari
total pinjaman luar negeri), beban kontrak listrik swasta sebanyak 27 proyek
(pembelian dengan mata uang asing dan penjualan dengan mata uang Rupiah),
adanya devaluasi uang Rupiah, harga bahan bakar yang sangat tinggi, menurunnya
daya beli masyarakat dan di bebarapa daerah PLN tidak mampu meberikan layanan
pembangunan pembangkit baru. Sebagian besar pembangkit listrik PLN
menggunakan BBM untuk menggerakkan pembangkit sehingga ketika terjadi
kenaikkan harga minyak mentah dunia akan memberikan dampak keuangan kepada
PLN dan Pemerintah. Karena hal tersebut di atas pada tanggal 1 Juli 2010 kemaren
Pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR memberlakukan kenaikan tarif dasar
listrik (TDL) yang bervariasi untuk sektor rumah tangga dan industri dengan rata-rata
kenaikan tarif sebesar 18%. Namun, pada prakteknya menurut Asosiasi Pengusaha
Indonesia kenaikan TDL pada sektor Industri ada yang mencapai lebih dari 50%.
Kenaikan TDL yang tinggi pada sektor industri akan memberikan dampak
pada kenaikan biaya input produksi yang menyebabkan harga barang produksi
meningkat di pasaran. Biaya produksi untuk listrik merupakan 2 – 5% dari total input
antara sektor-sektor ekonomi (Data Input-Output, 2007). Agar tidak mengalami
kerugian, perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi dengan melakukan
pengurangan karyawan dan menurunkan kualitas barang. Kualitas barang yang
menurun dan biaya produksi yang membengkak berakibat pada lemahnya daya saing
produk Indonesia.
EPN | IPB
4
[makalah makro ekonomi]
Sedangkan di sektor rumah tangga, kenaikan TDL akan menyebabkan biaya
hidup rumah tangga menjadi meningkat dan daya beli menjadi turun. Pengeluaran
rumah tangga untuk listrik merupakan 3 – 4% dari pengeluaran konsumsi rumah
tangga (SBH, 2007). Dengan turunnya daya beli rumah tangga, maka permintaan
terhadap barang produksi menjadi turun sehingga output nasional akan turun
sehingga akan meningkatkan jumlah pengangguran.
Ini berarti upaya-upaya untuk melakukan penurunan angka kemiskinan dan
jumlah pengangguran terancam gagal. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah
melakukan berbagai kebijakan fiskal. Namun kebijakan fiskal tidak akan efektif jika
tidak diimbangi dengan kebijakan moneter yang tepat. Untuk itu perlu dilakukan
kajian kebijakan moneter apa saja yang perlukan dilakukan untuk meminimalkan
dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL).
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan
dari penulisan ini secara umum adalah untuk menganalisis minimalisasi dampak
kenaikan tarif dasar listrik melalui kebijakan moneter. Secara khusus penulisan ini
bertujuan untuk:
1. Mendiskripsikan dampak kebijakan kenaikan TDL terhadap sektor industri dan
rumah tangga.
2. Menganalisis kebijakan moneter apa yang paling tepat untuk mengurangi dampak
kenaikan TDL.
3. Merekomendasikan kebijakan untuk meminimalisasi dampak kenaikan TDL
melalui kebijakan moneter.
Kerangka Teori
Salah satu indikator kemajuan pembangunan pada suatu negara adalah
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran kemampuan suatu
negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat dari tingkat
pertumbuhan penduduknya (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi
menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan
pendapatan atau kesejahteraan pada periode tertentu (Mankiw, 2007).
Pertumbuhan ekonomi diukur menggunakan data produk domestik bruto
(PDB) yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian (Mankiw,
2007). Pertumbuhan ekonomi tercapai ketika tingkat produk domestik bruto (PDB)
riil mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Dornbusch, et al, (2004)
menyatakan tumbuhnya PDB riil dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya modal
dan tenaga kerja dan efisiensi dalam penggunaan faktor produksi atau produktivitas.
PDB sendiri menurut Mankiw (2007) terdiri dari empat komponen sebagai berikut :
1. Konsumsi; Konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga.
Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan disposable atau
pendapatan yang dapat dibelanjakan.
2. Investasi; Investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan
masa depan. Tingkat investasi dipengaruhi oleh tingkat bunga yang mengukur
biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi.
EPN | IPB
5
[makalah makro ekonomi]
3. Pembelian Pemerintah; Pembelian pemerintah adalah barang dan jasa yang dibeli
oleh pemerintah pusat dan daerah. Pembelian pemerintah dibiayai oleh
pendapatan pemerintah dari pajak dan pinjaman.
4. Ekspor Neto; Ekspor neto adalah nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara
lain dikurangi nilai barang dan jasa yang diimpor dari negara lain. Ekspor neto
menunjukkan pengeluaran neto dari luar negeri atas barang dan jasa domestik,
yang memberikan pendapatan bagi produsen domestik.
Dornbusch, et al, (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan inflasi. Pertumbuhan PDB riil yang tinggi
akan diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran. Hubungan antara laju
pertumbuhan riil di atas dengan perubahan tingkat pengangguran dikenal sebagai
Hukum Okun.
Kebijakan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada
dalam jumlah yang tepat sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa
menimbulkan tekanan inflasi (Djojosubroto, 2009). Kebijakan moneter, yang
terutama dilakukan dengan pengendalian jumlah uang beredar bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap mengendalikan inflasi dan
pengendalian kestabilan neraca pembayaran (Muhammad, 2009). Kebijakan moneter
mempengaruhi perekonomian diawali dengan mempengaruhi suku bunga kemudian
mempengaruhi permintaan agregat (Dornbusch, et al, 2004). Kenaikan jumlah uang
beredar akan menurunkan suku bunga, meningkatkan pengeluaran investasi dan
permintaan agregat sehingga meningkatkan output kesetimbangan. Kebijakan
moneter yang diamanatkan dalam UU No. 23/1999, dilakukan oleh bank sentral
melalui berbagai instrumen. Kebijakan moneter ini tidak berdampak langsung dalam
mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Ini yang menyebabkan stimulus ekonomi
yang diharapkan dari kebijakan moneter sering kali sulit dilakukan.
Pengaruh perubahan suku bunga terhadap inflasi membutuhkan time lag dan
bervariasi dalam intensitas. Ketika perubahan suku bunga terjadi, faktor-faktor lain
juga akan mempengaruhi perubahan inflasi dan output. Hubungan-hubungan yang
terjadi tidal stabil setiap waktu.
Jika suku bunga menurun, maka investasi dan konsumsi pemerintah serta
rumah tangga akan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan mereka memiliki
banyak uang yang disimpan setelah membayar hutang dan karena meminjam
menjadi lebih rumah. Keuangan perusahaan menjadi kuat dan investasi menjadi lebih
menarik. Permintaan yang meningkat menyebabkan output meningkat dan
pengangguran berkurang.
Harper (2003) mengilustrasikan mekanisme transmisi kebijakan moneter
dicirikan oleh time lag yang tidak pasti sehingga peramalan dampak kebijakan
moneter terhadap perekonomian dan tingkat harga umum adalah sulit, meskipun
dapat dilakukan (Gambar 2.1).
Menurut Stiglitz dan Greenwald dalam Sugema (2004) efektifitas kebijakan
moneter bergantung pada kondisi dari dunia perbankkan, terutama dalam penyaluran
kredit. Menurut Sugema (2004), otoritas moneter tidak selalu bisa mengandalkan
EPN | IPB
6
[makalah makro ekonomi]
kebijakan suku bunga untuk mempengaruhi aktivitas sektor riil. Karena teori moneter
konvensional selalu mengasumsikan bahwa turunnya suku bunga akan diikuti dengan
naiknya investasi dan output nasional. Namun, menurut Sugema, dalam paradigma
baru hal tersebut tidak selalu terjadi. Penurunan suku bunga SBI tidak disertai
dengan penurunan suku bunga kredit dengan kecepatan yang sama. Lambannya
penyesuaian suku bunga kredit telah mengakibatkan suku bunga kredit riil justru
meningkat. Artinya dunia usaha menjadi terbebani biaya modal yang lebih besar.
Karena itu, investasi tidak kunjung berkembang dan di lain pihak perbankkan
mengalami kesulitan likuiditas. Dengan kata lain, mekanisme transmisi kebijakan
moneter melalui jalur suku bunga tidak efektif dalam mempengaruhi kegiatan di
sektor riil dan perlu didesain perangkat kebijakan moneter yang sama sekali baru
untuk mengatasi masalah kelebihan likuiditas (Sugema, 2004).
Official Interest Rate
Expectations
Money, Credit
Bank and Market Interest Rate
Asset Prices
Wage & Price
Setting
Exchange
Rate
Supply & Demand in Goods &
Labor Markets
Domestic Prices
Import Prices
Examples of
shock outside
the control of
Central Bank
Change in
global
economy
Change in
Fiscal Policy
Change in
commodity
price
Price Development
Gambar 2.1. Mekanisme Transmisi Moneter – Harper
Metodologi
Alur pikir tulisan ini diawali oleh naiknya TDL yang mendapat reaksi dari
masyarakat karena berdampak pada inflasi dan produksi barang-barang. Kenaikan
TDL diduga akan berdampak positif pada inflasi, karena kenaikan TDL secara
langsung meningkatkan pengeluaran rumah tangga dan industri. Peningkatan
pengeluaran rumah tangga dengan pendapatan yang tidak berubah menyebabkan
EPN | IPB
7
[makalah makro ekonomi]
harga-harga relatif lebih mahal, karena daya beli menurun. Peningkatan biaya
industri berdampak pada menurunnya produksi, sehingga penawaran berubah yang
mendorong harga-harga barang industri naik (Gambar 3.1).
TDL
(-)
(+)
PRODUKSI
INFLASI
(+)
(-)
(+)
(-)
(-)
SUKU BUNGA
(+)
MONEY SUPPLY
Alternatif
Policy
Keterangan: Garis putus-putus = respon kebijakan
Gambar 3.1. Alur Pikir Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik
Gambar 3.1. juga menjelaskan bahwa meningkatnya inflasi dan menurunnya
produksi akan berdampak pada melemahnya nilai rupiah dan meningkatnya
pengangguran, sehingga investasi juga menjadi stagnan dan cenderung menurun.
Jika demikian, maka perlu diminimalisasi dampak kenaikan TDL melalui pengaturan
dua istrumen kebijakan moneter, yakni suku bunga dan money supply. Instrumen
suku bunga dan money supply secara berpengaruh pada investasi nilai rupiah,
sehingga pada gilirannya akan berdampak pada produksi dan investasi. Oleh karena
semua variabel saling mempengaruhi, maka semuanya merupakan variabel endogen.
Meminimumkan dampak kenaikan TDL berimplikasi pada dua hal; (1)
meminimumkan penurunan output (produksi) dan (2) meminimumkan kenaikan
harga (inflasi). Menurut Timbergen, satu kebijakan (policy) hanya dapat
menyelesaikan satu masalah. Oleh karena itu, dalam konteks meminimumkan
dampak kenaikan TDL, perlu diketahui shock variabel mana yang memiliki pengaruh
kuat terhadap dua variabel target; peningkatan output dan penurunan inflasi.
Alternatif kebijakan moneter yang dapat diambil, secara teoritis digambarkan dalam
Gambar 3.2.
Kurva IS merepresentasikan sisi fiskal, termasuk subsidi (terkait dengan
TDL), sementara kurva LM merepresentasikan sisi moneter. Kenaikan TDL
(pengurangan subsidi listrik) ditunjukan oleh bergesernya kurva IS ke kiri (IS 0 ke
IS1). Dalam kurva LM yang sama LM0 (tidak ada respon kebijakan moneter,
EPN | IPB
8
[makalah makro ekonomi]
kenaikan TDL akan menyebabkan output turun dari Y0 ke Y1, dan suku bunga turun
dari i0 ke i1.). Untuk meminimalkan dampak kenaikan TDL tersebut, dua alternatif
kebijakan moneter yang dapat diambil adalah:
1. Menaikan money supply (uang beredar). Kebijakan ini diharapkan akan dapat
meniminalkan dampak penurunan output, tetapi efeknya inflasi akan makin
meningkat
2. Menaikkan tingkat suku bunga. Kebijakan ini diharapkan akan dapat
mengendalikan kenaikan harga-harga (inflasi), tetapi efeknya output akan lebih
menurun.
Gambar 3.2.
Alternatif Kebijakan Moneter dalam Meminimalisasi Dampak
Kenaikan TDL, dalam Kerangka Teori IS-LM
Data yang digunakan adalah data series bulanan dari data indeks produksi
industri, jumlah uang beredar, suku bunga, dan inflasi dari bulan Juli 2005 sampai
Januari 2010 atau data 55 bulan (Lampiran 1).
Data diperoleh dari Biro Pusat
Statistik dan Bank Indonesia.
Metode yang digunakan adalah analisis Vector Autoregression (VAR). Pada
dasarnya, dalam analisis VAR meliputi beberapa jenis uji, yakni:
1. Uji akar unit (Unit Root Test). Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data
yang diamati stationer atau tidak. Akurasi model VAR akan baik jika datanya stasioner;
2. Lag Optimum. Likelihood Ratio Test digunakan untuk menguji hipotesis mengenai
berapakah jumlah lag yang sesuai untuk model yang diamati.
3. Granger Causality Test. Test ini menguji apakah suatu variabel bebas (independent
vari-able) meningkatkan kinerja fore-casting dari variabel tidak bebas (dependent
variable).
EPN | IPB
[makalah makro ekonomi]
9
4. Innovation Accounting. Pada dasarnya test ini digunakan untuk menguji struktur
dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati, yang dicerminkan oleh
variabel inovasi (innovation variable). Dengan kata lain, test ini merupakan test
terhadap variabel inovasi (innovation variable). Test ini terdiri dari:
a. The Impulse Responses: Untuk melihat efek gejolak (shock) suatu standar deviasi
dari variabel invovasi terhadap nilai sekarang (current time values) dan nilai yang
akan datang (future values) dari variabel-variabel endogen yang ter-dapat dalam
model yang diamati.
b. The Variance Decomposition: The Variance Decomposition memberikan informasi
mengenai variabel inovasi yang relatif lebih penting dalam VAR. Pada dasarnya test
ini merupakan metode lain untuk meng-gambarkan sistem dinamis yang terdapat
dalam VAR. Test ini digu-nakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu
variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah
shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain.
Uji akar unit atau data di uji kestasionerannya dengan uji Augmented Dickey
Fuller (ADF). Berdasarkan uji ADF, ternyata semua data yang di uji tidak stasioner
in level (Gambar 3.3).
PROD
MONEY
135
2,200
130
2,000
125
1,800
120
1,600
115
1,400
110
1,200
1,000
105
III
IV
I
II
2005
III
IV
I
II
2006
III
IV
I
II
2007
III
IV
I
II
2008
III
IV
III
I
IV
I
2005
2009
II
III
IV
I
2006
II
III
IV
I
2007
IR
II
III
IV
I
2008
II
III
IV
I
IV
I
2009
INF
13
20
12
16
11
12
10
9
8
8
4
7
6
0
III
IV
2005
I
II
III
2006
IV
I
II
III
2007
IV
I
II
III
2008
IV
I
II
III
2009
IV
I
III
IV
2005
I
II
III
2006
IV
I
II
III
2007
IV
I
II
III
2008
IV
I
II
III
2009
Gambar 3.3. Ketidakstasioneran Data Produksi (PROD), Jumlah Uang Beredar
(MONEY), Suku Bunga (IR), dan Inflasi (INF)
EPN | IPB
[makalah makro ekonomi]
10
Data yang tidak stasioner ini ditransformasi (first different) menjadi
pertumbuhan indeks produksi industri (GPROD, %), pertumbuhan jumlah uang
beredar (GMONEY, %), suku bunga dikurangi suku bunga tahun sebelumnya (IRtIRt-1, % poin), dan inflasi dikurangi inflasi tahun sebelumnya (INFt-INFi-1, % poin).
Hasil uji menunjukkan bahwa semua data stasioner (Gambar 3.4.).
GPROD
GMONEY
8
6
4
4
0
2
-4
0
-8
-2
-12
-16
-4
III
IV
I
2005
II
III
IV
I
2006
II
III
IV
I
2007
II
III
IV
I
2008
II
III
IV
I
III
2009
IV
I
2005
II
III
IV
I
2006
II
III
IV
I
2007
II
III
IV
I
2008
II
III
IV
I
IV
I
2009
DINF
DIR
.6
10.0
7.5
.4
5.0
.2
2.5
.0
0.0
-2.5
-.2
-5.0
-.4
-7.5
-.6
-10.0
III
IV
2005
I
II
III
2006
IV
I
II
III
2007
IV
I
II
III
2008
IV
I
II
III
2009
IV
I
III
IV
2005
I
II
III
2006
IV
I
II
III
2007
IV
I
II
III
2008
IV
I
II
III
2009
Gambar 3.4. Kestasioneran Data Pertumbuhan Indeks produksi Industri (GPROD),
Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar (GMONEY), Suku Bunga
Dikurangi Suku Bunga Tahun Sebelumnya (DIR), dan Inflasi
Dikurangi Inflasi Tahun Sebelumnya (DINF)
Hasil Likelihood Ratio Test untuk menentukan lag optimum menunjukkan
bahwa model yang dibangun menggunakan dua lag (Lampiran 4). Jika lag terlalu
sedikit, tidak dapat menjelaskan hubungan dinamisnya. Sebaliknya jika lag terlalu
banyak akan mengurangi degree of freedom yang akan menyebabkan banyak
estimasi parameter tidak signifikan.
Kemudian data yang sudah stasioner dan sudah ditentukan lag optimumnya,
di lihat pengaruhnya satu sama lain dengan menggunakan uji Granger Causality.
Hasil Granger Causality menunjukkan ada beberapa kemungkinan hubungan yang
terjadi (Tabel 3.1.).
Tabel 3.1. menunjukkan bahwa inflasi mempengaruhi produksi, tetapi tidak
sebaliknya, sedangkan antara suku bunga dan inflasi saling mempengaruhi. Variabel
EPN | IPB
11
[makalah makro ekonomi]
lain, seperti antara suku bunga dan produksi, uang beredar dan produksi, uang
beredar dan inflasi, dan antara uang beredar dan suku bunga, belum dapat
diidentifikasi variabel mana yang mempengaruhi. Dengan kata lain, data belum
cukup mendukung untuk menyatakan bahwa ada hubungan granger antar variabel
yang lain tersebut.
Tabel 3.1. Hasil Uji Granger Causality
Null Hypothesis:
Obs
DINF does not Granger Cause GPROD
52
GPROD does not Granger Cause DINF
DIR does not Granger Cause GPROD
52
GPROD does not Granger Cause DIR
GMONEY does not Granger Cause GPROD
53
GPROD does not Granger Cause GMONEY
DIR does not Granger Cause DINF
52
DINF does not Granger Cause DIR
GMONEY does not Granger Cause DINF
52
DINF does not Granger Cause GMONEY
GMONEY does not Granger Cause DIR
DIR does not Granger Cause GMONEY
52
F-Statistic
Prob.
12.3474
0.000050
0.22062
0.802800
2.61667
0.083700
1.30611
0.280500
1.24505
0.297100
0.47833
0.622700
15.642
0.000006
9.87696
0.000300
0.16422
0.849000
0.00704
0.993000
0.66277
0.520200
0.55389
0.578400
Keterangan
inflasi mempengaruhi produksi
belum dapat diidentifikasi,
mana mempengaruhi mana
belum dapat diidentifikasi,
mana mempengaruhi mana
Saling mempengaruhi
belum dapat diidentifikasi,
mana mempengaruhi mana
belum dapat diidentifikasi,
mana mempengaruhi mana
Setelah di uji kestasioneran, lag optimum dan hubungan antar variabel, data
kemudian diolah menggunakan Vector Autoregression (VAR). Model VAR yang
dibangun adalah sebagai berikut:
DIR
=
C(1,1)*DIR(-1) + C(1,2)*DIR(-2) + C(1,3)*GMONEY(-1) +
C(1,4)*GMONEY(-2) + C(1,5)*DINF(-1) + C(1,6)*DINF(-2) +
C(1,7)*GPROD(-1) + C(1,8)*GPROD(-2) + C(1,9)
GMONEY
=
C(2,1)*DIR(-1) + C(2,2)*DIR(-2) + C(2,3)*GMONEY(-1) +
C(2,4)*GMONEY(-2) + C(2,5)*DINF(-1) + C(2,6)*DINF(-2) +
C(2,7)*GPROD(-1) + C(2,8)*GPROD(-2) + C(2,9)
DINF
=
C(3,1)*DIR(-1) + C(3,2)*DIR(-2) + C(3,3)*GMONEY(-1) +
C(3,4)*GMONEY(-2) + C(3,5)*DINF(-1) + C(3,6)*DINF(-2) +
C(3,7)*GPROD(-1) + C(3,8)*GPROD(-2) + C(3,9)
GPROD
=
C(4,1)*DIR(-1) + C(4,2)*DIR(-2) + C(4,3)*GMONEY(-1) +
C(4,4)*GMONEY(-2) + C(4,5)*DINF(-1) + C(4,6)*DINF(-2) +
C(4,7)*GPROD(-1) + C(4,8)*GPROD(-2) + C(4,9)
EPN | IPB
12
[makalah makro ekonomi]
Hasil dan Pembahasan
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL)
Awal tahun 2003, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif dasar listrik
(TDL). Aksi masyarakat di berbagai daerah menentang kenaikan TDL sempat
melemahkan nilai tukar rupiah. Bank Indonesia (2003) melaporkan bahwa inflasi
pada triwulan III-2003 lebih tinggi dibandingkan dua triwulan sebelumnya. Hal ini
terutama disebabkan oleh relatif tingginya inflasi pada bulan Agustus dan September
akibat kenaikan biaya pendidikan dan tarif dasar listrik. Ini berarti kenaikan TDL
berdampak pada naiknya inflasi. Sementara itu, investasi yang semula diharapkan
akan memberikan dorongan terhadap pertumbuhan PDB, masih menghadapi
sejumlah kendala, seperti gangguan keamanan dan meningkatnya biaya produksi
terutama akibat kenaikan biaya energi (listrik dan BBM) dan upah buruh.
Purwoko (2003) menyimpulkan bahwa subsidi listrik di Indonesia masih
diperlukan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, mengantisipasi
kebutuhan daya listrik, dan memperluas jaringan listrik. Namun, agar subsidi silang
antar pelanggan dapat terjadi, maka tarif listrik perlu dinaikkan secara bertahap,
hingga menjadi sama dengan biaya produksi listrik. Kenaikan tarif secara bertahap
akan menyebabkan beban pemerintah berupa subsidi juga dapat dikurangi secara
bertahap.
Makmun dan Abdurahman (2003) juga menyimpulkan bahwa tingkat
pendapatan berkorelasi positif dengan konsumsi listrik baik dari sisi nilai
pengeluaran maupun tingkat konsumsi listrik per Kwh-nya. Namun, kenaikan TDL
ternyata berdampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat. Kenaikan TDL
sebesar 10%, menyebabkan income riil rumah tangga buruh tani turun sekitar 1,47 %
dan rumah tangga non pertanian golongan bawah turun 3,47%. Kenaikan TDL juga
berdampak menurunnya permintaan sektor industri makanan sebesar 3,15%, sektor
pertanian tanaman pangan 1,44%, dan sektor perdagangan 1,07%. Oleh karena itu,
kenaikan TDL hendaknya diikuti oleh kebijakan peningkatan lapangan kerja untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga kebijakan kenaikan TDL berdampak
minimal terhadap kegiatan ekonomi masyarakat.
Laporan bulanan ekonomi Kadin menyebutkan bahwa inflasi selama tahun
2005 diperkirakan masih sedikit melebihi target, yaitu sekitar 8%. Kondisi ini dapat
terpenuhi apabila pelemahan nilai tukar rupiah dapat ditahan, serta tidak
diberlakukan kebijakan yang bersifat inflatoir, seperti kenaikan tarif dasar listrik
serta harga BBM di dalam negeri (Sekretariat Kadin Indonesia, 2005). Pada tahun
2006, Kadin menyatakan bahwa kebijakan pemerintah yang kontroversial, seperti
kenaikan tarif dasar listrik yang berlebihan, akan sangat berpotensi melemahkan kembali
nilai rupiah yang pada gilirannya berdampak pada iklim investasi dan berujung pada
ketidakstabilan moneter yang akan menurunkan kredibilitas pemerintah (Sekretariat
Kadin Indonesia, 2006).
EPN | IPB
13
[makalah makro ekonomi]
Laporan Kebijakan Moneter, triwulan IV tahun 2006, menyebutkan bahwa
laju inflasi IHK mengalami kecenderungan menurun dari triwulan sebelumnya.
Penurunan tersebut didorong oleh kombinasi faktor fundamental dan
nonfundamental. Dari sisi fundamental, perkembangan nilai tukar rupiah yang
mengalami apresiasi, ekspektasi inflasi yang terjaga, dan kondisi permintaan
domestik yang belum sepenuhnya pulih berpengaruh pada penurunan laju inflasi inti.
Dari sisi nonfundamental, penundaan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada 2006
dan tidak adanya penerapan kebijakan harga produk strategis lainnya (Bank
Indonesia, 2006).
Pada tahun 2009, kebijakan stabilisasi pemerintah dari sisi belanja adalah
tetap mendanai beban subsidi BBM dan listrik yang cukup besar agar tidak terjadi
kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik seperti yang tertuang di dalam Nota
Keuangan Rencana Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara tahun 2009. Padahal,
pada akhir 2009, Bank Indonesia akan menahan tingkat suku bunga sampai dengan
kuartal kedua 2010, dengan adanya tekanan pada inflasi yang akan datang dari
kenaikan Tarif Dasar Listrik sebesar 30% dan kenaikan harga elpiji (PT Manulife
Aset Manajemen Indonesia, 2009).
Estimasi Model VAR
Berdasarkan Granger-Causality test ditemukan ada hubungan dua arah antara
suku bunga dan inflasi, sedangkan inflasi mempengaruhi produksi. Dengan hasil ini,
maka suku bunga bisa disebut sebagai key policy variabel. Namun, untuk membuka
ruang analisa lebih luas, hasil Granger-Causality test ini hanya digunakan sebagai
pembanding, sedangkan dalam model VAR, tetap diasumsikan keempat variabel
yang digunakan saling berhubungan. Hasil Granger-Causality test berperan dalam
menentukan ordering variabel ketika akan melakukan analisis impulse respon.
Hasil estimasi VAR
menunjukkan bahwa koefisien model menjadi
(Lampiran 5):
DIR
=
GMONEY =
DINF
=
0.741512712206*DIR(-1) - 0.0283598340368*DIR(-2) +
0.0168441625463*GMONEY(-1) + 0.0196402318924*GMONEY(-2) +
0.0526491620499*DINF(-1) - 0.0177495120347*DINF(-2) 0.0119837476504*GPROD(-1) - 0.00076223144952*GPROD(-2) 0.00953030706058
- 0.191706194461*DIR(-1) - 1.39728837824*DIR(-2) 0.239495290604*GMONEY(-1) - 0.183054812007*GMONEY(-2) +
0.111126694401*DINF(-1) + 0.192640726207*DINF(-2) +
0.0901825940074*GPROD(-1) - 0.0228371382439*GPROD(-2) +
1.80821539364
5.6477697868*DIR(-1) - 1.87250724976*DIR(-2) +
0.0792880683755*GMONEY(-1) - 0.06476441354*GMONEY(-2) 0.103140356045*DINF(-1) - 0.560211067898*DINF(-2) 0.0590738669226*GPROD(-1) + 0.059406234731*GPROD(-2) 0.0210705213002
EPN | IPB
[makalah makro ekonomi]
14
GPROD
=
1.54018422268*DIR(-1) + 0.81016752538*DIR(-2) 0.0588592087878*GMONEY(-1) - 0.391546875581*GMONEY(-2) 0.796488978432*DINF(-1) + 0.820065745832*DINF(-2) 0.293070622104*GPROD(-1) - 0.0845318787548*GPROD(-2) +
0.737487200215
Hasil estimasi VAR ini mengindikasikan adanya koefisen (size) yang
berbeda-beda dengan tanda (sign) yang juga berbeda, baik pada lag-1 maupun lag-2.
Niai koefisien menunjukkan besarnya pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen, sedangkan tanda positif atau negatif menunjukkan arah
hubungannya. Hasil estimasi model ini dikatakan baik, karena residual dari semua
variabel stasioner (Gambar 4.1.).
4.3. Impulse Response
Impulse Response digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer (atau pada
saat yang bersamaan) dari suatu seri/variabel terhadap seri/variabel yang lain. Hasil
dari impulse response tergantung pada ordering dari seri variabel yang digunakan
dalam perhitungan. Oleh karena itu, untuk menguji kebijakan moneter yang terbaik
untuk meminimalisasi dampak kenaikan TDL, maka impulse response dibuat dalam
dua skenario urutan; (1) Suku bunga didepan dan (2) Money supply di depan. Hasil
perhitungan The Impulse Response Test, dengan suku bunga sebagai concern dapat
dilihat pada Gambar 4.2.- 4.3. dan Lampiran 6. Selain itu, Gambar 4.4.- 4.5. dan
Lampiran 7 menunjukkan hasil perhitungan The Impulse Response Test, dengan
money supply sebagai concern.
DIR Residuals
GMONEY Residuals
.4
4
.3
2
.2
.1
0
.0
-.1
-2
-.2
-.3
-4
III IV
I
2005
II
III
IV
I
2006
II
III
IV
I
2007
II
III
IV
I
2008
II
III
IV
III IV
2009
I
2005
II
III
IV
I
2006
II
III
IV
I
2007
DINF Residuals
II
III
IV
I
2008
II
III
IV
2009
GPROD Residuals
8
6
6
4
2
4
0
2
-2
0
-4
-2
-6
-4
-8
III IV
2005
I
II
III
2006
IV
I
II
III
2007
IV
I
II
III
2008
IV
I
II
III
2009
IV
III IV
2005
I
II
III
IV
2006
I
II
III
2007
IV
I
II
III
2008
Gambar 4.1. Residual Graph Variabel Dependen:Stasioner
EPN | IPB
IV
I
II
III
2009
IV
[makalah makro ekonomi]
15
Response of DIR to Cholesky
One S.D. Innovations
Response of GMONEY to Cholesky
One S.D. Innovations
.16
2.0
.12
1.5
.08
1.0
.04
0.5
.00
0.0
-.04
-0.5
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
DIR
GMONEY
DIR
GMONEY
DINF
GPROD
DINF
GPROD
Response of DINF to Cholesky
One S.D. Innovations
10
11
12
11
12
Response of GPROD to Cholesky
One S.D. Innovations
1.6
4
3
1.2
2
0.8
1
0.4
0
0.0
-1
-0.4
-2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
DIR
GMONEY
DIR
GMONEY
DINF
GPROD
DINF
GPROD
10
Gambar 4.2. Impulse Response Cholesky: One Std Innovation: Suku Bunga Sebagai
Concern pada Shock 1 Standar Deviasi
Response of DIR to Nonfactorized
One Unit Innovations
Response of GMONEY to Nonfactorized
One Unit Innovations
1.2
1.2
1.0
0.8
0.8
0.4
0.6
0.4
0.0
0.2
-0.4
0.0
-0.2
-0.8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
DIR
GMONEY
DIR
GMONEY
DINF
GPROD
DINF
GPROD
Response of DINF to Nonfactorized
One Unit Innovations
10
11
12
11
12
Response of GPROD to Nonfactorized
One Unit Innovations
6
8
5
6
4
4
3
2
2
0
1
-2
0
-1
-4
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
DIR
GMONEY
DIR
GMONEY
DINF
GPROD
DINF
GPROD
10
Gambar 4.3. Impulse Response Cholesky: One Std Innovation: Suku Bunga Sebagai
Concern pada Shock 1 Unit (Persen)
EPN | IPB
[makalah makro ekonomi]
16
Response of GMONEY to Cholesky
One S.D. Innovations
Response of DIR to Cholesky
One S.D. Innovations
2.0
.16
1.5
.12
1.0
.08
0.5
.04
0.0
.00
-0.5
-.04
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
GMONEY
DIR
GMONEY
DIR
DINF
GPROD
DINF
GPROD
Response of DINF to Cholesky
One S.D. Innovations
10
11
12
11
12
Response of GPROD to Cholesky
One S.D. Innovations
1.6
4
3
1.2
2
0.8
1
0.4
0
0.0
-1
-0.4
-2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
GMONEY
DIR
GMONEY
DIR
DINF
GPROD
DINF
GPROD
10
Gambar 4.4. Impulse Response Cholesky: One Std Innovation: Money Supply
Sebagai Concern pada Shock 1 Standar Deviasi
Response of GMONEY to Nonfactorized
One Unit Innovations
Response of DIR to Nonfactorized
One Unit Innovations
1.2
1.2
1.0
0.8
0.8
0.4
0.6
0.4
0.0
0.2
-0.4
0.0
-0.8
-0.2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
GMONEY
DIR
GMONEY
DIR
DINF
GPROD
DINF
GPROD
Response of DINF to Nonfactorized
One Unit Innovations
10
11
12
11
12
Response of GPROD to Nonfactorized
One Unit Innovations
6
8
5
6
4
4
3
2
2
0
1
-2
0
-1
-4
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
GMONEY
DIR
GMONEY
DIR
DINF
GPROD
DINF
GPROD
10
Gambar 4.5. Impulse Response Cholesky: One Std Innovation: Money Supply
Sebagai Concern pada Shock 1 Unit (Persen)
EPN | IPB
17
[makalah makro ekonomi]
Berdasarkan Gambar 4.2, 4.3., 4.4., dan 4.5., kenaikan suku bunga 1 persen
point, secara akumulasi dalam dua tahun akan menyebabkan suku bunga naik sebesar
3,96 persen point, inflasi naik 0,10 persen point dan pertumbuhan produksi industri
turun 0,03 persen point dibandingkan dari sebelum shock innovasi dilakukan.
Selain itu, kenaikan pertumbuhan money supply 1 persen poin, secara akumulasi
dalam dua tahun akan menyebabkan money supply hanya naik 0,63 persen poin dari
sebelum shock, dengan suku bunga turun 2,15 persen poin, inflasi naik 0,07 persen
poin dan pertumbuhan produksi naik 0,05 persen poin. Ini berarti, secara
keseluruhan kebijakan money supply memberikan dampak lebih kecil dibanding
kebijakan suku bunga terhadap indikator perekonomian. Lebih detail perbandingan
kedua instrumen kebijakan moneter tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Jadi, kebijakan menambah money supply lebih efektif dalam meminimalkan
dampak kenaikan TDL. Karena dengan menambah jumlah uang beredar, masyarakat
masih dapat membeli barang yang harganya menjadi mahal (karena inflasi) sehingga
tidak menimbulkan efek psikologis (rush) yang menyebabkan naiknya harga lebih
tinggi lagi (seperti tahun 1998). Inflasi dapat dikendalikan karena dengan menambah
money supply, produksi tetap terjaga, ketersediaan barang relatif aman, kenaikan
harga dapat dikendalikan dalam taraf yang wajar.
Tabel 4.1. Perbandingan Dua Kebijakan Moneter
Accumulated Response of DIR:
Accumulated Response of GMONEY:
DIR
GMONEY
DINF
GPROD
Period
GMONEY
DIR
DINF
GPROD
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
(0.00000)
(0.00000)
(0.00000)
(0.00000)
(0.00000)
(0.00000)
(0.00000)
(0.00000)
1.741513
0.016844
0.052649
-0.011984
(0.10487)
(0.01294)
(0.01302)
(0.00680)
2.538658
0.049820
0.079926
-0.019711
(0.21442)
(0.02831)
(0.02821)
(0.01463)
3.112722
0.070730
0.079662
-0.022446
(0.33431)
(0.04245)
(0.04062)
(0.02173)
3.402667
0.086411
0.085001
-0.02571
(0.44486)
(0.05231)
(0.04729)
(0.02647)
3.592565
0.096689
0.095802
-0.027829
(0.55161)
(0.05773)
(0.05029)
(0.02892)
3.948613
0.111685
0.102948
-0.031003
(0.93525)
(0.06896)
(0.05936)
(0.03399)
3.967054
0.112667
0.103370
-0.031171
(1.00101)
(0.06978)
(0.06020)
(0.03428)
2
3
4
5
6
12
24
0.760505
-0.191706
0.111127
0.090183
(0.15571)
(1.26228)
(0.15673)
(0.08185)
0.635082
-0.918719
0.183769
0.015050
(0.19409)
(1.29992)
(0.19294)
(0.09384)
0.660624
-0.934157
0.152872
0.034773
(0.13228)
(1.34932)
(0.13391)
(0.06271)
0.684030
-1.095646
0.028809
0.047391
(0.12596)
(1.52465)
(0.10439)
(0.06226)
0.654424
-1.862543
0.064331
0.050994
(0.13547)
(1.70741)
(0.11610)
(0.06584)
0.632480
-2.118034
0.073494
0.050486
(0.13214)
(1.87369)
(0.11482)
(0.06476)
0.632419
-2.151229
0.071095
0.050836
(0.13138)
(1.88532)
(0.11335)
(0.06454)
angka dalam kurung menunjukan standar error
EPN | IPB
[makalah makro ekonomi]
18
4.4. Variance decomposition
The Variance Decomposition memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang
relatif lebih penting dalam VAR. Pada dasarnya test ini merupakan metode lain untuk
menggambarkan sistem dinamis yang terdapat dalam VAR. Test ini digunakan untuk
menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara
variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun
shock dari variabel lain. Berdasarkan hasil test ini juga menunjukkan bahwa kebijakan
menambah money supply lebih efektif meminimalkan dampak kenaikan TDL dibandingkan
kebijakan menaikkan suku bunga (Gambar 4.6.).
Variance Decomposition of DIR
Variance Decomposition of GMONEY
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
DIR
GMONEY
DIR
GMONEY
DINF
GPROD
DINF
GPROD
Variance Decomposition of DINF
10
11
12
11
12
Variance Decomposition of GPROD
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
DIR
GMONEY
DIR
GMONEY
DINF
GPROD
DINF
GPROD
10
Gambar 4.6. Variance Decomposition Variabel Dependen
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa peran money supply relatif kecil dalam
mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan produksi, terlihat dalam varian
dekompositionnya, sedangkan suku bunga lebih besar pengaruhnya terhadap variasi
kedua variabel tersebut. Ini berarti, walaupun kebijakan menaikkan suku bunga
direspon lebih tinggi oleh pertumbuhan produksi dan inflasi yang semakin menurun,
namun akan berdampak lebih tinggi juga pada penurunan investasi dan penyerapan
EPN | IPB
19
[makalah makro ekonomi]
tenaga kerja. Oleh karena itu, kebijakan menaikkan suku bunga justru bukan
meminimalisasi dampak kenaikan TDL.
Sebaliknya, menambah money supply, walaupun direspon rendah oleh
pertumbuhan produksi dan inflasi yang semakin tinggi, namun akan berdampak pada
penurunan nilai rupiah, sehingga daya beli masyarakat makin meningkat. Pada
tingkat pendapatan yang tidak berubah, masyarakat dapat membeli lebih banyak
barang, sehingga naiknya inflasi akibat kenaikan TDL dapat diminimalkan
dampaknya.
Menaikkan money supply dapat dilakukan dengan; (1) mencetak uang atau
(2) melalui instrumen penurunan suku bunga. Analisis impulse response yang
menunjukan kebijakan menaikkan money supply lebih efektif, tetapi justru variasi
tingkat suku bunga yang dapat menjelaskan lebih banyak variasi output maupun
inflasi lebih banyak dibanding money supply. Maka, jika otoritas moneter ingin
menggunakan instrumen suku bunga, pilihan yang sebaiknya diambil adalah
menurunkan tingkat suku bunga (agar money supply meningkat), bukan menaikkan
suku bunga demi menjaga inflasi.
Kesimpulan Dan Rekomendasi
Kebijakan kenaikan TDL akan berdampak pada kenaikan laju inflasi dan
penurunan pertumbuhan produksi. Dampak kenaikan TDL dapat diminimalkan, jika
direspon oleh kebijakan moneter dengan menaikkan money supply. Kebijakan
meningkatkan money supply lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan menaikkan
suku bunga. Kedua kebijakan moneter tersebut memang masih mengandung resiko,
yaitu kenaikan inflasi, tetapi peningkatan money supply lebih dapat menjaga
pertumbuhan produksi dibandingkan dengan peningkatan suku bunga.
Untuk menyelaraskan dengan kebijakan fiskal kenaikan TDL, otoritas
moneter sebaiknya mengambil kebijakan moneter dengan menambah money supply.
Kebijakan money supply merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan
kebijakan menaikkan suku bunga. Namun, kebijakan money supply harus diikuti
oleh program peningkatan pendapatan masyarakat melalui perluasan kesempatan
kerja.
Jika otoritas moneter ingin menggunakan instrumen suku bunga, maka
sebaiknya kebijakan yang diambil adalah menurunkan tingkat suku bunga, agar
money supply meningkat, bukan meningkatkan suku bunga demi menjaga inflasi.
Daftar Pustaka
Bank Indonesia. 2003. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 6, Nomor 2, September
2003.Djojosubroto, D. I. 2009. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia Pasca
Undang-Undang Bank Indonesia 1999. Kumpulan Tulisan Dalam Buku Era Baru Kebijakan
Fiskal, Pemikiran, Konsep dan Implementasinya. Penerbit P.T. Kompas Media Nusantara.
Jakarta.
Bank Indonesia. 2006. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan IV-2006.
Kebijakan Moneter - Triwulan IV-2006.
EPN | IPB
Laporan
20
[makalah makro ekonomi]
Dornbusch, R., Fischer, S. and Startz, R. 2001. Macroeconomics 8th Edition. McGraw-Hill
Companies. New York.
Harper, D. 2003. Trying to predict interest rates. Editor in Chief – Investopedia Advisor.
Makmun dan Abdurahman. 2003. Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik Terhadap Konsumsi Listrik
dan Pendapatan Masyarakat. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2 Desember
2003.
Mankiw, N. G. 2000. Macroeconomics 6th Edition. Worth Publishers. New York.
Muhammad, M. 2009. Kebijakan Fiskal di Masa Krisis 1997. Kumpulan Tulisan Dalam Buku Era
Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep dan Implementasinya. Penerbit P.T. Kompas
Media Nusantara. Jakarta.
Nkomo, J. C. 2007. Energy Use, Poverty and Development in The SADC. Journal of Energy in
Southern Africa Vol. 18 No. 3. International Development Research Centre and Energy
Research Centre in University of Cape Town.
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia. 2009. Market Review & Outlook. TSX/NYSE/PSE: MFC
SEHK: 945, Oktober 2009.
Purwoko. 2003. Analisis Peran Subsidi Bagi Industri dan Masyarakat Pengguna Listrik. Jurnal
Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2 Desember 2003.
Salvatore, D. 1997. International Economics Fifth Edition. Prentice Hall International, Inc. New
Jersey, USA
Schubert, R., Blasch, J. and Hoffmann, K. 2007. Environmental Protection, Energy Policy and
Poverty Reduction – Synergies of An Integrated Approach. Institute for Environmental
Decisions Working Paper No. 1. Zurich.
Sekretariat Kadin Indonesia. 2005. Laporan Ekonomi Bulanan, Edisi Juli 2005. Kerjasama KADIN
Indonesia dan JETRO.
Sekretariat Kadin Indonesia. 2006. Laporan Ekonomi Bulanan, Edisi Januari 2006. Kerjasama
KADIN Indonesia dan JETRO.
Sugema, I. 2004. Mencari paradigm baru kebijakan moneter. Kompas, 19 Agustus 2004.
EPN | IPB
Download