BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Otonomi daerah
Istilah Otonomi Daerah atau Autonomy berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti UndangUndang, perundangan sendiri atau self wetgeving (Prastijo, 2001:14). Jadi pengertian
otonomi daerah menurut asal katanya adalah daerah yang memiliki aturan sendiri.
Dalam perkembangan sejarah Indonesia, otonomi selain memiliki arti perundangan,
juga mengandung arti pemerintahan. Oleh karena pelaksanaan desentralisasi,
menimbulkan daerah-daerah otonomi yang mula-mula berarti mempunyai peranan
sendiri. Kemudian istilah otonomi berkembang menjadi pemerintah sendiri yang
berarti bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengukur dan mengurus
kepentingan
masyarakatnya
menurut
prakarsa
sendiri
berdasarkan
aspirasi
masyarakat setempat.
Dalam konsep otonomi tersebut mengandung asas-asas kemandirian daerah
dalam pelaksanaannya, tetapi tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Namun demikian walaupun otonomi sebagai bentuk pelimpahan
yang luas atas kewenangan daerah, otonomi tersebut tetap berada dalam batas-batas
yang tidak melampaui kewenangan pemerintahan pusat, artinya pemerintahan pusat
wajib memiliki kewenangan untuk menjaga kestabilan roda pemerintahan negara.
Menurut Koesoemaatmadja (1971:9), otonomi daerah ditandai dengan diberikannya
hak dan kekuasaan perundangan dari pemerintah kepada badan-badan otonomi seperti
provinsi dan kabupaten/kota. Badan-badan tersebut dengan kekuasannya sendiri dapat
mengurus rumah tangga dengan mengadakan peraturan-peraturan daerah yang tidak
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 atau perundang-undangan yang
lebih tinggi dan mampu menyelenggarakan kepentingan umum.
Pada prinsipnya Otonomi Daerah adalah penyerahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur rumah tangganya
sendiri. Pemberian wewenang yang luas kepada daerah sangatlah tepat karena daerah
lebih mengerti tentang kondisi daerahnya sendiri. Pembangunan yang dilaksanakan
akan sesuai dengan prioritas daerah dan aspirasi masyarakat. Aktivitas politik di
tingkat daerah serta sistem demokratisasi yang dijalankan pun sesuai dengan tujuan
otonomi daerah itu sendiri (Prastijo 2001:15). Substansi yang mendasari otonomi
daerah adalah:
1) Desentralisasi,
merupakan
penyerahan
wewenang
pemerintahan
oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom, dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2) Dekonsentrasi,
merupakan
pelimpahan
wewenang
pemerintahan
dari
pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
3) Tugas Pembantuan (medebewind), merupakan penugasan dari pemerintah pusat
kepada daerah, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
yang dibutuhkan.
2.1.2 Fungsi Anggaran dalam Pembangunan Ekonomi Daerah
Purbadharmaja (2007) mengemukakan bahwa setiap pemerintahan memiliki
suatu anggaran pendapatan dan belanja, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perencanaan suatu anggaran umumnya meliputi masa waktu satu tahun dengan
karakteristik yang kontinu. Faktor distribusi, stabilisasi dan alokasi sangat perlu
diperhatikan dalam penyusunan suatu anggaran. Penyusunan anggaran memiliki
fungsi yang bersifat integratif dan bersinegi antarkomponen dalam pengalokasian
anggaran. Dalam hal ini, fungsi anggaran menjadi begitu penting untuk dapat
terlaksananya pembangunan ekonomi suatu daerah.
Penggunaan anggaran dalam pembangunan diharapkan dapat memberikan
manfaat tidak saja untuk meningkatkan pendapatan, namun juga untuk memberikan
ruang gerak ekonomi yang lebih kondusif dan menyentuh akar masalah yang faktual
dalam masyarakat. Alokasi anggaran sebaiknya dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan anggaran sekaligus juga memperhatikan faktor eksternalitas. Optimalitas
usaha oleh perusahaan daerah mestinya ditunjang dengan otoritas manajemen dalam
upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Perusahaan daerah harus memberikan
kontribusi positif berupa profit sehingga tidak membebani anggaran, malah
sebaliknya dapat menjadi sumber pendapatan daerah yang potensial.
2.1.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan instrumen
kebijakan utama bagi pemerintah daerah dan sebagai alat bantu dalam pengambilan
keputusan perencanaan dan pembangunan, pengeluaran otoritas di masa yang akan
datang, ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat untuk koordinasi bagi semua
aktivitas di berbagai sub unit kinerja. Penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan
oleh pemerintah daerah tercantum dalam APBD. Disamping itu, APBD merupakan
kebijaksanaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disusun berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai pertimbangan lainnya
dengan maksud agar penyusunan, pemantauan, pengendalian dan evaluasinya mudah
dilakukan.
Perkembangan APBD terutama di sisi pendapatan daerah dapat menjadi dasar
perencanaan jangka pendek (satu tahun). Seringkali APBD dipergunakan oleh
berbagai pihak untuk menilai kemampuan dari suatu daerah, misalnya saja investor
yang ingin menanamkan modalnya, dengan cara melihat kondisi keseimbangan antara
jumlah penerimaan dan belanja pemerintah. Namun demikian, dalam penentuan
APBD, tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
karena APBD menggambarkan rincian kegiatan operasional pemerintah dan
pembangunan.
2.1.4 Pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah
Sesuai dengan pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.105
Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah,
menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.
Salah satu unsur yang paling penting dalam kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah sistem pengelolaan keuangan.
Pengelolaan keuangan yang dilakukan dengan efektif dan efisien dapat memberikan
dampak positif berupa peningkatan investasi pemerintah daerah dalam bidang umum
melalui penyediaan barang publik. Dengan adanya barang publik, pemerintah daerah
dapat
memberikan
pelayanan
yang maksimal
kepada
masyarakat
menuju
kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Upaya pemerintah daerah meningkatkan
investasi di sektor publik untuk kesejahteraan masyarakat, harus didukung dengan
penerimaan daerah yang memadai. Sebagai wujud timbal balik dari masyarakat, dapat
diwujudkan dengan kesadaran untuk membayar kewajibannya dalam bentuk pajak
dan retribusi.
2.1.5 Pengertian Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja ini dilakukan dengan menghitung pencapaian kinerja dengan
cara membandingkan antara rencana kinerja dengan realisasi ditinjau dari aspek
masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) maupun
dampak (impact).
Evaluasi kinerja kegiatan yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah evaluasi
secara internal/mandiri terhadap kinerja kegiatan Pemerintah Kota Denpasar, guna
memberikan gambaran lebih lanjut tentang efektivitas penerimaan dan efisiensi
belanja daerah serta pencapaian sasaran keuangan pemerintah Kota Denpasar.
2.1.6 Pengertian Efektivitas
Efektivitas adalah ukuran dari suatu kualitas output dan berhubungan derajat
keberhasilan suatu operasi pada sektor publik. Efektivitas menurut Devas, dkk(1989:
279) adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan daerah
sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah dengan biaya yang serendahrendahnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Mardiasmo (2002:134), efektivitas merupakan ukuran berhasil tidaknya suatu
organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi telah mencapai tujuannya,
maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan secara efektif.
Efektivitas kegiatan diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu kegiatan
untuk mewujudkan hasil yang diinginkan. Pengukuran efektivitas kegiatan
difokuskan pada capaian indikator outcome, benefit dan impact dari kegiatan tersebut.
Efektivitas kegiatan di bagi atas dua macam, yaitu:
a) Efektivitas individual kegiatan;
Efektivitas individual kegiatan adalah kemampuan suatu kegiatan mencapai target
outcome/benefit/impact yang telah ditetapkan untuk kegiatan yang bersangkutan.
b) Efektivitas terkait sasaran. Efektivitas terkait sasaran merupakan kemampuan
kegiatan bersama-sama dengan kegiatan lain untuk mewujudkan pencapaian
sasaran strategisnya.
Suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh
yang besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan kepada masyarakat sesuai
dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kata lain investasi pemerintah
untuk penyediaan barang publik, dapat dikatakan berguna atau tidak, dapat diketahui
setelah melakukan pengukuran tentang efektivitas dari program yang dilaksanakan
tersebut. Untuk mengtahui kriteria efektivitas kinerja keuangan dapat dilihat dari data
pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Penentuan Kriteria Efektivitas
Kinerja Keuangan
di atas 100,00%
90,01% - 100,00%
80,01% - 90,00%
60,01% - 80,00%
≤ 60,00%
Sumber : Fisipol UGM, 1991
Kriteria
Sangat efektif
Efektif
Cukup efektif
Kurang efektif
Tidak efektif
2.1.7 Pengertian Efisiensi
Bastian (2002:336), menyatakan bahwa efisiensi adalah hubungan antara
input dengan output. Yakni penggunaan barang dan jasa yang dibeli oleh organisasi
untuk mencapai output tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan antara input
dengan output. Efisiensi belanja pemerintah merupakan perbandingan antara
anggaran dengan realisasi belanja.
Mardiasmo (2002:232), menyatakan bahwa pengukuran efisiensi bertujuan:
1) Untuk menentukan apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi dan
menggunakan sumber dayanya secara hemat dan efisien.
2) Untuk menentukan penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan.
3) Untuk menentukan apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kehematan dan keefisienan.
Mardiasmo (2002:16) mengungkapkan bahwa pemberian otonomi daerah
mengubah perilaku pemerintah daerah menjadi lebih efisien dan profesional dalam
mengelola keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah bertumpu pada
kepentingan publik. Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian
anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga juga terlihat pada besarnya partisipasi
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah. Salah
satu hal yang dianggap sebagai penyebab inefisiensi dalam pemerintahan dan
penghambat pembangunan adalah birokrasi. Karena birokrasi menyebabkan
kelambanan, bertele-tele, dan mematikan kreativitas. Pada umumnya unit kerja
pemerintah daerah belum mampu menjalankan fungsi dan peranannya secara efisien.
Hal yang paling sering terjadi pada unit pemerintahan daerah adalah adanya
pemborosan. Banyak layanan publik dijalankan secara tidak efisien. Padahal dana
anggaran daerah pada dasarnya merupakan dana anggaran publik. Besarnya efisiensi
dari aspek belanja dapat diukur dengan penentuan kriteria efisiensi sesuai dengan
kriteria efisiensi pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Penentuan Kriteria Efisiensi
Kinerja Keuangan
100,00% ke atas
90,01% - 100,00%
80,01% - 90,00%
60,01% - 80,00%
≤ 60,00%
Sumber : Fisipol UGM, 1991
Kriteria
Tidak efisien
Kurang efisien
Cukup efisien
Efisien
Sangat efisien
2.1.8 Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah adalah sumber penerimaan daerah yang merupakan
hasil dari mengelola semua potensi milik daerah. Sumber-sumber pendapatan asli
daerah adalah:
1. Pajak Daerah. Yakni pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya dipergunakan bagi
pembiayaan pengeluaran-pengeluaran umum pemerintah.
2. Retribusi Daerah. Merupakan iuran kepada pemerintah dalam pemungutannya
dapat dipaksakan kepada pihak penerima jasa balik secara langsung yang
dapat ditunjuk. Paksaan di sini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak
merasakan jasa balik dari pemerintah dia tidak akan dikenakan iuran.
3. Perusahaan Daerah. Yakni suatu badan yang diambil oleh pemerintah daerah
untuk mengembangkan perekonomian daerah dan menambah penghasilan
daerah. Dilihat dari asalnya, perusahaan daerah dapat dibagi menjadi beberapa
golongan yaitu:
a) Perusahaan daerah yang berasal dari perusahaan asing yang
dinasionalisasikan oleh negara dan diserahkan kepada daerah untuk
mengelolanya.
b) Perusahaan daerah berasal dari negara yang diserahkan kepada
pemerintah daerah.
c) Perusahaan daerah yang didirikan oleh daerah dengan modal sebagian
atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah.
2.1.9 Total Pendapatan Daerah
Menurut Pasal 1 ayat 18 Undang-Undang Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang dimaksud dengan
total pendapatan daerah adalah total pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sumbersumber pendapatan daerah terdiri dari:
1. Pendapatan asli daerah, terdiri dari:
Pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik daerah, lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah.
2. Dana perimbangan terdiri dari:
Dana bagi hasil pajak dan non pajak, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi
khusus (DAK).
3. Pinjaman daerah.
4. Lain-lain pendapatan yang sah.
2.1.10 Derajat Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting
dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal menggambarkan kemampuan suatu daerah
dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah. Otonomi daerah akan dapat
terwujud apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Hal ini berarti pemerintah
daerah berusaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dengan
menggali sumber-sumber potensi yang dimiliki daerah. Tingkat kemandirian fiskal
antara pusat dan daerah dapat dipelajari dengan melihat besarnya derajat
desentralisasi fiskal suatu daerah. Reksohadiprojo menyatakan bahwa pengukuran
derajat desentralisasi fiskal dapat dilakukan dengan analisa rasio takni rasio PAD
terhadap TPD.
Tabel 2.3 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
PAD/TPD
0,00 % - 10,00 %
10,01 % - 20,00%
20,01 % - 30,00 %
30,01 % - 40,00 %
40,01 % - 50,00 %
> 50,00 %
Sumber: Tim Fisipol UGM, 1991
Kemampuan Keuangan Daerah
Sangat kurang
Kurang
Cukup
Sedang
Baik
Sangat Baik
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini sedikitnya mengacu pada penelitian sebelumnya. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan dasar yang kuat dalam penyajian materi, baik dari
segi pemilihan variabel maupun konsep yang umum dipakai.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai kinerja keuangan daerah.
Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Fisipol Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta yng bekerja sama dengan Departemen Dalam Negeri Tahun 1991 hingga
tahun
1992,
mengemukakan
bahwa
untuk
mengukur
kemampuan
daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi diperlukan enam faktor yang disebut
dengan variabel pokok yaitu kemampuan keuangan, aparatur, partisipasi masyarakat,
ekonomi daerah, demografi serta kemampuan administrasi dan organisasi. Indikator
yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah adalah rasio
pendapatan asli daerah dibandingkan dengan seluruh penerimaan daerah.
Taman (2004), hasil penelitiannya mengemukakan bahwa:
1) Efektivitas pengelolaan keuangan daerah di kabupaten Badung cenderung efektif.
Dengan tingkat efektivitas 85 persen hingga 100 persen. Pada tahun 1998/1999,
tingkat efektivitas sebesar 89,15 persen. Tahun 1999/2000, tingkat efektivitas
87,37 persen. Tahun 2000, tingkat efektivitas sebesar 87,85 persen. Tahun 2001
tingkat efektivitas sebesar 99,45 persen dan tahun 2002 tingkat efektivitas sebesar
85,14 persen. Dengan rata-rata efektivitas anggaran mencapai 89,73 persen.
2) Efisiensi pengelolaan keuangan kabupaten Badung sangat efisien dengan rasio
dibawah 55 persen dengan rata-rata 42,46 persen. Tingkat efisiensi tahun
1998/1999 sebesar 30,24 persen. Tingkat efisiensi tahun 1999/2000 sebesar 31,26
persen. Tingkat efisiensi tahun 2000 sebesar 34,12 persen. Tingkat efisiensi tahun
2001 sebesar 43,49 persen. Tingkat efisiensi tahun 2002 sebesar 73.21 persen.
Persamaannya
sama-sama
mengamati
mengenai
keuangan
daerah
Perbedaannya adalah:
1) Menggunakan periode lima tahun pengamatan dari tahun 1998 hingga tahun
2002. Penulis menggunakan periode pengamatan di era otonomi daerah yakni
dari tahun 2001 hingga tahun 2007.
2) Obyek penelitian menggunakan kabupaten Badung, sedangkan Penulis
menggunakan Kota Denpasar sebagai obyek pengamatan.
Widiatra (2003), hasil penelitiannya menyatakan bahwa derajat desentralisasi
fiskal (DDF) Kabupaten Badung dari periode tahun 1997/1998 sampai dengan 2002,
sebesar 72,71 persen. Termasuk dalam katagori sangat baik. Tingkat efektivitas
kinerja pendapatan asli daerah kabupaten Badung rata-rata sebesar 72,27 persen dan
tergolong ke dalam katagori yang kurang efektif. Action plan yang dilaksanakan
dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) adalah:
1) Untuk pajak hotel dan restoran, dengan meningkatkan operasional penagihan,
kepadatan, pembinaan dan penyuluhan, peningkatan penguasaan dan koordinasi,
penerapan sanksi, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mengenakan
pajak terhadap rumah kos yang jumlah kamarnya lebih dari sepuluh kamar, dan
industri jasa boga.
2) Untuk retribusi parkir adalah membenahi administrasi, meningkatkan pembinaan,
penyuluhan
dan
penertiban,
peningkatan
pengawasan
dan
koordinasi,
meningkatkan kualitas sumber daya manusia juru parkir, penerapan sistem jaman, mengenakan pajak terhadap swalayan-swalayan.
Persamaannya adalah sama-sama melihat efektivitas kinerja keuangan melalui
pendapatan asli daerah, menganalisis tentang derajat desentralisasi fiskal daerah di
era otonomi daerah. Perbedaannya adalah:
1) Penelitian sebelumnya menggunakan tahun pengamatan 1997/1998 hingga
tahun 2002, sedangkan Penulis menggunakan tahun pengamatan 2001 hingga
tahun 2007.
2) Penelitian sebelumnya lebih menekankan pada potensi di sektor pajak hotel
dan restoran serta retribusi parkir, sedangkan dalam penelitian ini, Penulis
lebih menekankan pada penerimaan daerah, belanja daerah serta kemandirian
Kota Denpasar di era otonomi daerah.
3) Obyek penelitian menggunakan kabupaten Badung, sedangkan Penulis
menggunakan Kota Denpasar sebagai obyek pengamatan.
Download