How to capitalize Underground Economics? ‐Critique for Darussalam’s article Dalam artikel ini, penulis berfokus untuk mengungkapkan pandangan atas substansi artikel Darussalam berjudul “Mendongkrak Pajak dari Underground Economy” yang dimuat pada harian Investor Daily (21/3/2011). Artikel tersebut setidaknya mengeksplorasi dua hal penting terkait sistem perpajakan di Indonesia, yaitu 1) Masih rendahnya tingkat penerimaan pajak, terbukti dari rendahnya rasio kepatuhan menyampaikan SPT (56%) dan kisaran tax ratio sebesar 11‐ 13%, hal ini disebabkan oleh reformasi peraturan dan adminstrasi perpajakan yang belum berjalan efektif, serta menurunnya kredibilitas pemerintah, sebagai pihak yang memungut, mengelola, dan mengalokasikan pajak. Maraknya korupsi menganggu kredibilitas pemerintah di mata wajib pajak, bahkan sebagian mereka bersiap memboikot pajak, dan 2) Struktur penerimaan yang masih mengandalkan pajak penghasilan dari badan usaha, bukan pajak penghasilan dari orang pribadi. Upaya peningkatan penerimaan pajak lebih banyak difokuskan kepada para wajib pajak yang sudah terdaftar dalam sistem administrasi pajak. Potensi penerimaan pajak dari pihak‐pihak yang melakukan aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy), yaitu aktivitas ekonomi yang diluar kendali administrasi pajak dan tidak dihitung dalam PDB suatu negara, harus dimanfaatkan secara optimal agar tax ratio kita bisa lebih ditingkatkan lagi mendekati negara‐negara lain. Menanggapi uraian diatas, terdapat beberapa catatan penting penulis terkait substansi artikel Darussalam, dimana menurut hemat penulis, upaya ekstensifikasi penerimaan pajak dengan memperluas jumlah wajib pajak yang berfokus pada peningkatan strukur pajak penghasilan orang pribadi, bukan merupakan solusi yang mendasar dan optimal untuk meningkatkan penerimaan pajak negara. Pertama, tingkat kebocoran pajak terbesar justru terjadi di kalangan korporasi atau perusahaan kelas menengah dan atas. Jumlah potensi kehilangan pendapatan negara atas tindakan “bandel” korporasi/pengusaha yang bekerjasama dengan aparatur pajak mencapai ratusan trilyun rupiah, dalam fakta mafia pajak Gayus Tambunan pun, terdapat 151 korporasi yang masuk daftar pengemplang pajak. Sektor korporasi juga memiliki kapabilitas finansial memadai untuk membayar pajak. Selain itu, sungguh mengerikan bagi rakyat kecil yang memiliki usaha kecil informal ketika diharuskan membayar pajak penghasilan, karena adanya kesulitan hidup yang relatif bertambah. Meskipun pendapatan per kapita kita telah mencapai US $ 3.000, angka tersebut adalah indikator rata‐rata, karena jika dilihat dari sisi ketimpangan, hampir 60% lebih rakyat Indonesia hanya berpendapatan kurang dari $ 2.000 per tahun. Ironisnya, artikel Darussalam dalam harian tersebut terlihat kontras dengan judul headline yang menunjukkan pentingnya menghapus Bea Masuk Bahan Baku Susu (5%), karena produk susu olahan Indonesia kalah bersaing dengan produk China. Konsumsi susu per kapita Indonesia juga terbilang sangat rendah (hanya 10,47 kg per tahun), artinya pemenuhan asupan gizi mayoritas masyarakat Indonesia masih sangat memprihatinkan, daya beli mereka terhadap produk susu juga semakin melemah seiring dengan inflasi dan tekanan hidup lainnya. Perbaikan kualitas hidup manusia 1 rasanya hanya menjadi catatan kosong, karena selain gizi buruk, kaum miskin juga dihimpit masalah kecukupan pangan, kesempatan pendidikan, dan tempat hunian yang layak. Kedua, Darussalam sebaiknya memandang secara lebih komprehensif faktor mendasar yang membuat Mengapa usaha informal legal tidak terdokumentasikan dengan baik dan tidak memiliki administrasi perpajakan yang teratur. Letak permasalahan utama bukan pada ketidakinginan usaha informal untuk mendaftarkan diri atau kurangnya efektifitas regulasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan pada tidak adanya representasi yang tepat atas usaha informal. Di Indonesia, jumlah usaha yang tergolong mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 99% dari total unit usaha, dimana usaha mikro dan kecil jumlahnya mencapai lebih dari 50 unit usaha. Umumnya mereka bergerak di bidang informal dan tidak terepresentasi dengan baik, karena tidak memiliki pengakuan atas aset yang memadai sehingga dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman bank atau modal kegiatan usaha mereka. Hal ini terbukti dari penggarapan kredit UMKM yang masih terkonsentrasi pada kredit konsumtif, bukan produktif (hampir 50% dari total kredit). Sepertinya, Darussalam juga sedikit melupakan karya dan gagasan‐gagasan Hernando De Soto, ekonom asal Peru yang dijuluki sebagai “bapak ekonomi kerakyatan”. Menurut De Soto, dalam bukunya The Mystery of Capital (2000), kemiskinan terjadi karena banyak orang miskin berada di luar sistem pasar. Banyak orang miskin memiliki tanah, rumah, bahkan usaha sendiri, namun tidak bisa mengakses pinjaman modal ke bank untuk memajukan usaha mereka. Fenomena inilah yang disebutnya sebagai “dead capital” (modal mati). Ide utama yang membentuk reputasi besar De Soto adalah integrasi aset rakyat miskin dalam sektor informal kota ke dalam sistem pasar melalui program legalisasi besar‐besaran oleh pemerintah. Menurut De Soto, teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik terpadu sehingga kaum miskin tidak mungkin menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai kapital dalam membangun bisnisnya. Solusinya adalah dengan menjalankan program legalisasi atau sertifikasi tanah, karena dengan cara itu mereka akan mempunyai modal dan dapat masuk dan bersaing dalam sistem ekonomi pasar. Integrasi aset rakyat miskin ke dalam sistem kapitalisme dicapai melalui proses dokumentasi yang baik terhadap harta sehingga mampu menghasilkan kapital. Dalam sebuah forum diskusi, De Soto pun menjelaskan detail pengalamannya di Mesir, dimana kala itu Presiden Husni Mubarak memerintahkan untuk melakukan kalkulasi penduduk miskin di Mesir. Hasilnya cukup mengejutkan: Nilai bangunan yang dimiliki orang miskin di Mesir mencapai 250 miliar dollar atau 40 kali lebih besar dari Pinjaman World Bank kepada Mesir, 55 kali nilai penanaman modal asing ke Mesir. Nilai bangunan orang miskin tersebut juga 35 kali lebih besar dari Cairo Stock Exchange (pasar modal Mesir). Namun sayangnya, aset yang dimiliki tersebut belum terdokumentasi dengan baik. Di Indonesia, peningkatan penerimaan pajak sektor informal dan individu dengan skala bisnis UMKM dapat dicapai dengan memperbaiki struktur legalisasi aset terlebih dahulu, karena memang hal tersebut telah menjadi dasar atau peletak fondasi utama kelangsungan dan perkembangan bisnis UMKM. Melalui langkah reformasi kepemilikan tanah dan legalisasi aset, 2 terbentuk potensi kapital yang dapat meningkatkan bankabilitas dan memperluas bisnis yang profitable, sehingga bermuara pada peningkatan penerimaan pajak. Penghapusan sanksi pajak hanya akan menyelesaikan permasalahan ini secara temporer, tidak substansial. Ketiga, tingkat kebocoran tinggi pada penerimaan pajak, yang disebabkan oleh kerjasama saling menguntungkan antara wajib pajak (WP) dengan pengusaha, perlahan tapi pasti harus diminimalisir. Sistem kontrol dan transparansi pelaporan perpajakan selayaknya diaplikasikan, misalnya dengan melakukan publikasi secara rutin kepada masyarakat terhadap nilai pajak perusahaan‐perusahaan besar, pemberian apresiasi publik (award) untuk perusahaan besar yang patuh pajak, serta mengurangi tingkat interaksi langsung antara WP dan pengusaha dengan mengutamakan sistem on‐line reporting dan multiple checking. Meskipun sulit, upaya tersebut selayaknya diperhatikan, karena dapat meningkatkan kepatuhan WP terhadap pembayaran pajak. Selain itu, potensi penerimaan negara lainnya, selain dari pajak, juga harus ditingkatkan secara optimal, seperti Penerimaan negara dari SDA dan Mineral yang tergolong sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dimana diperlukan re‐negosiasi ulang kontrak‐ kontrak dengan perusahaan tambang migas dan mineral asing. Peningkatan penerimaan deviden BUMN juga dapat dijadikan alternatif, yang dicapai melalui peningkatkan sinergi BUMN, restrukturisasi dan profitisasi BUMN, pembentukan holding BUMN sesuai core competency yang dimiliki, serta melakukan divestasi atas BUMN yang tidak produktif atau membutuhkan mekanisme kontrol eksternal agar dapat menjadi profitable. Ketiga catatan diatas, setidaknya membuka mata kita bahwa pajak memang tidak pernah bersifat netral, jika penegakan hukum dan segala aturan administrasi negara tidak dibereskan terlebih dahulu. Pajak hanyalah instrumen bagi aparatur pemerintah untuk memperkaya diri, yang tidak jelas pemanfaatannya. Tentunya, kita juga jangan lupa bahwa proyek percontohan dengan negara maju, seperti Finlandia, US, Swedia, dan lainnya tidaklah terlalu efektif, karena perbedaan konteks dan perkembangan sistem ekonomi dan politik. Selain itu, hingga saat ini kita masih tergolong sebagai negara gagal (failed state). Sebagai kata penutup, penulis teringat cerita De Soto ketika berkunjung ke Indonesia, melalui observasinya terhadap areal persawahan di Bali, dimana saat menelusuri areal persawahan tersebut dia sama sekali tidak tahu batas‐batas kepemilikan antara satu bidang dengan yang lainnya, namun anjing‐anjing penjaga sawah tahu. Setiap kali melintasi batas kepemilikan, anjing penjaga pasti mengonggong. De Soto berujar, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah “Anjing‐anjing Indonesia barangkali tidak pernah belajar tentang hukum formal, tetapi mereka sangat terpelajar tentang mana aset yang dikuasai oleh majikannya”. Reformasi struktural kepemilikan tanah harus dilakukan, jika perlu kita dapat menggunakan bantuan anjing‐anjing penjaga sawah tersebut untuk melakukan legalisasi tanah ketika aparatur negara dalam sistem hukum kita tidak mampu bekerja secara efektif, independen, dan menjunjung tinggi integritas moral. Penulis: Aji Jaya Bintara, MSM ‐Founder of Strategic Development Institute (SDI)‐ 3