Seaweed and Rice Hulls as Fiber Sources to

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
Komponen Lemak
Pengertian antara lemak dan fipida masih sering dipertentangkan. Demikian
juga antara lemak dan minyak. Lipida adalah kumpulan zat makanan yang larut dalam
eter, kloroform dan benzetl. Umumrtya dalam praktek dise6ut lemak. Sedimgkan
lemak dan minyak secara kimiawi sehmrnya adalah sama.Hanya, lemak pada suhu
kamar berwujud padat, sedq&an minyak berwujud cair (Anggorodi, 1985).
Lipida digolongkan metljadi tiga gdongan, sebagai berikut:
Lipida saderhanr. Merupakan ester asam-asam lemak dan alkohol tertentu
terutama gliserol.
L e d dan minyak adalah ester gliserol dengan asam-asam
lemak. Ester asam lemak dengan alkohol selain gliserol disebut tiin.
Lipida senyawa. Ester gliserol yang mengandung dua residu asam lemak
ditambah kumpulan kimiawi lain seperti kholin. Terpenting di antaranya adalah:
fosfolipid, lesithin, sefalin dan spingomielin.
Lipida hasil hidrolisis. Zat-zat yang diperoleh melalui hidrolisis dari kedua
golongan di atas, di antaranya 1) asam-asam lemak; 2) alkohol, seperti : gliserol,
etanol; dan 3) sterol, seperti kolesterol, ergosterol dan stetosterol.
Formula empiris
lemak adalah Cs7HlO5o6. Dibandingkan dengan glukosa
yang mempunyai formula empiris C6Hl2O6,
lemak mengandung beberapa kali
lebih banyak atom karbon dan hidrogen. Lemak mengandung kelebihan karbon dan
hidrogen yang sanggup dibakar menjadi C02 dan H20. Dengan demikian per satuan
berat yang sama, lemak akan menghasifkan energi yang jauh
lebih banyak
dibandingkan glukosa dan karbohidrat lainnya.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lemak murni dan minyak menghasilkan energi 9,4 kkal/g, sedangkan karbohidrat, hanya
Oleh karena itu lernak sering diperhitungkan dalam penyusunan ransum babi, karena
dianggap sumber energi yang cukup ekonomis.
Di antara komponen lemak yang paling penting adalah asam lemak. Asam
lemak diolongkan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam
lemak jenuh antara lain: laurat, miristat, palmitat dan stearat. Asam- asam lemak tidak
jenuh meliputi palmitoleat, oleat, linoleat, linolenat dan arakhidonat. Di antara
asam-asam lemak tersebut ada yang esensial, antara lain: linoleat, linolenat, dan
arakhidonat .
Metabolisme Lemak dan Pembentukan Lemak Tubuh
Pemecahan lemak makanan menjadi asam lemak dan monogliserida, kholin dan
lain sebagainya, hampir semuanya terjadi dalam hodemrm danjejz~mrm. Di sini peran
garam empedu dan lipase pankreas sangat tinggi. Kedua sekresi pencernaan tersebut
bekeja dalam pH yang lebih tinggi akibat adanya
sekresi bikarbonat. Dalam
duodenum, garam-garam empedu mengemulsikan lemak, dan dengan gerakan-gerakan
peristaltik terdispersi menjadi butir-butir kecil dengan penambahan luas sekitar 10.000
kali.
Kemudian diikuti oleh masuknya lipase. Lipida yang sudah tercema dan
sebagian larut dalam air, membentuk misel-rnisel yang stabil. Misel tersebut terdiri atas
asam lemak rantai panjang, monogliserida, dan asam-asam empedu yang terdihsi ke
permukaan sel-sel mukosa, kemudian
melepaskan materi untuk diserap. Produk-
produk pencernaan yang lebih bersifat polar, seperti asam l e d rantai pendek, fosfat,
kholin dan sebagainya, terdihsi melalui medium cair, terserap ke dalam sel mukosa
USUS.
Setelah masuk ke dalam mukosa usus, trigliserida, fosfolipida, dan ester
kolesterol
disintesis kembali, dibungkus
dengan
sedikit protein
kemudian
disekresikan dalam bentuk kilomikron ke dalam ruang ekstra seluler, memasuki
lakteal sistem lirnfe. Secara perlahan kilomikron yang ada dalam saluran limfe
memasuki aliran darah melalui ahrctz~sthoracicus.
Hampir semua lemak yang disimpan pada jaringan lemak atau daging dalam
bentuk trigliserida. Nantinya trigliserida tersebut akan dirombak
kmbali sebagai
sumber energi bila glukosa dari makanan tidak cukup, atau dalam keadaan puasa.
Pada babi yang diberi makan berkecukupan, sangat sedikit lemak tubuh
dipakai
untuk sumber energi. Di dalam tubuh jaringan lemak ini berada dalam rongga badan,
termasuk sekitar jantung dan ginjal, di bawah kulit, inter muskuler dan intra muskuler.
Lemak di bawah kulit pada temak babi sekitar 50% atau paling banyak dibandingkan
dengan ternak lain.
Dalam proses metabolisme lemak di dalam sel peranan lipoprotein sebagai
alat angkut lipida sangat besar. Lipoprotein adalah molekul yang terdiri atas protein
dan lipida yang bergabung dengan ikatan non-kovalen yaitu interaksi hidrofobk antara
gugus nonpolar dari lipida dengan molekul protein.
Lipoprotein plasma darah
digolongkan menjadi lima golongan yaitu: kilomikron, lipoprotein berkerapatan sangat
rendah (very low density lipoprotein disingkat VLDL), lipoprotein berkerapatan
rendah (low density lipoprotein disingkat LDL), lipoprotein berkerapatan tinggi (high
density lipoprotein disingkat HDL) dan lipoprotein berkerapatan sangat tinggi (very
high density lipprotein disingkat VHDL).
Kilomikron merupakan kompleks molekul yang sangat besar dengan berat
molekul mencapai 1 x lo9. Fungsi utama kilornikron adalah pengangkutan lemak diet,
terutama dalarn bentuk trigliserida ke dalam tubuh. Lipida lain yang diangkut dalarn
kilomikron adalah kolesterol, yang sebelumnya diubah dulu menjadi ester kolesterol.
Kilomikron ddam plasma dikatabolisme menjadi partikel-pertikel yang lebih kecil yang
mempunyai kepadatan lebih tinggi. Produk katabolieme yang disebut sisa kilomokron
terbentuk bila
sebagian besar trigliserida yang mula-mula ada dalam kilomikron
terhidrolisis oleh lipase 1ipoprotein.Produk ini mengandung fosfolipid, kolesterol, ester
kolesterol, apo-E dan sedikit trigliserida yang tersisa. Daur transport lemak dalam
tuibuh disajikan pada Gambar 1.
Lipoprotein berkerapatan sangat rendah (VLDL) diproduksi di dalarn hati.
Dalam proses perjalanatulya
menuju sel tepi (perijer), VLDL mengalami proses
penguraian lipida secara bertahap di sepanjang pembuluh darah. Gliserol dan asam
lemak dilepaskan secara bertahap dikatalisis oleh
enzim lipopoleein lipvlse yang
terdapat pada permukaan jaringan endotelium otot dan jaringan lemak. Akibat a h y a
penguraian tersebut maka lama kelamaan VLDL berubah menjadi LDL. Berdawkan mekanisme tersebut jelaslah bahwa LDL itu berasal dari VLDL (Deckelbaum, Tall
dan Small, 1997).
Di dalam sel tepi LDL beihtedcsi dengan molekul reseptornya yang berada
pada dinding sel, kemudian kompleks LDLreseptor yang terbentuk itu masuk ke dalam
sel. Di dalam sel komponen protein kompleks tersebut diuraikan menjadi asam
amino, dan komponen lipida terutama ester kolesterol diiidrolisis menjadi kdesterol
sebagai cadangan kolesterd di dalam sel tepi yang juga diperlukan sebagai komponen
membran sel.
Kolesterd yang berlebii akan dikeluarkan dari membran set baik
dalam bentuk kolesterol bebas maupun dalam bentuk senyawa esternya.
Sementara itu HDL yang terdapat dalam plasma darah mengikat kolesterol atau
ester kolesterol dan mengangkutnya bersarna aliran darah dari set tepi ke sel hati. Di
dalam hati, kolesterol yang telah terikat tersebut mengalami
perombakan meng-
hasilkan cadangan k o l e s t d hati, yang diperlukan untuk sintesis VLDL dan senyawa
lainnya (Schaefer, 1991). Pengikatan LDL oleh reseptor dalam membran seI tepi
secara berlawanan dihambat oleh HDL, sehingga kadar HDL yang tinggi akan
mencegah penimbunan LDL pada dinding pembuluh darah.
Biosintesis Kolesterol
Kolesterol yang mempunyai rumus molekul C27&50w merupakan akohol
monohidrat dari derivat sterol yang tidak jenuh. Kolesterol dalam tubuh berasal dari
dua sumber yaitu: dari makanan dan hasil biosintesis.
Manusia rata-rata membutuh-
kan 1,l g kolesterolhari untuk m e d i h a r a dinding sel dan hngsi fisiologis lain. Dari
jumlah tersebut, 25 - 40% (200 - 300 mg) secara normal berasal dari m a k a m dan
selebihnya disintesis dalam tubuh.
Tempat sintesis kolesterol terutama pada hati,
korteks adrenal, usus, kuEt, testis dm aorta.
Kolesterol dalam makanan
akan mempengamhi
Penelitian pada tikus menunjukkan, jika
biosintesis kolesterol.
hanya terdapat 0,05% kolesterol dalam
makanan maka 70 -80% kolesterol hati, usus halus dan kelenjar adrenal disintesis
dalam tubuh. Tetapi jika kandungan kolesterol dalm makanan naik menjadi 2%,
-
maka biosintesis tumn sampai 10 30%. Usaha untuk menurunkan kolesterol plasma
pada manusia dengan mengurangi jumlah kolesterol dalam makanan adalah efektif
Namun sebaliknya biosintesis tidak dapat seluruhnya ditekan dengan
menaikkan
konsumsi kolesterol rnelalui makanan.
Kolesterol dalam makanan diabsorpsi dalam usus, dan bersama-sama dengan
lipida lainnya, termasuk kolesterol yang disintesis dalam usus (kolesterol endogenus),
digabungkan dalam kilomikron dan
VLDL (Vahouny et a].,1997). Dalam limfa
-
kolesterol yang diserap, 80 90% diesterkan dengan asam lemak rantai panjang,
namun
pengesteran dapat juga terjadi dalam mukosa usus. Bila sisa kilomikron
masuk ke hati, banyak ester kolesterolnya dihidrolisis dan kolesterolnya
diambil oleh
hati. Kemudian VLDL yang dibentuk akan mengangkut kolesterol ke dalam plasma.
Belum ada
data
mengenai
kadar normal kolesterol plasma pada babi.
Pada manusia, jumlah total kolesterol plasma sekitar 200 mgtdl.
meningkat dengan meningkatnya umur, dan sangat
Sebagian besar kolesterol
bervariasi
Jurnlah tersebut
antar
individu.
tubuh ditemukan dalam bentuk ester. Kolesterol
ditransport sebagai lipoprotein dalam plasma.
Sebagaian besar pula kolesterol
berada dalam LDL, yang dibentuk dari VLDL. Selanjutnya LDL dipecah dalam
jaringan ekstra hepatik dan kolesterol diambil. Sebaliknya, kolesterol sebagai ester dari
jaringan ekstra hepatik diangkut ke hati oleh HDL. Akhirnya, semua kolesterol
yang akan dikeluarkan dari tubuh masuk dulu ke hati, dan disekresikan ke dalam
empedu, baik sebagai kolesterol maupun asam kolat dalam garam-garam empedu.
Pada mamalia, jaringan -jaringan yang diketahui marnpu mensintesis kolesterol
antara lain: hati, kortek adrenal, kulit, usus, testis, lambung, otot, jaringan adiposa dan
otak. Sedangkan yang bertanggung jawab atas sintesis kolesterol adalah fiaksi
mikrosom dan sitosol sel. Asetil-KoA merupakan sumber seluruh atom karbon pada
kolesterol.
Biosintesis kolesterol berlangsung dalarn empat tahap. 1) Konversi asam
asetat menjadi mevalonat. 2) Konversi mevalonat menjadi squalen. 3) Konversi
squalen menjadi lanosterol. 4) Metabolisme lanosterol menjadi kolesterol.
Konversi asam asetat menjadi mevalonat. Mevalonat adalah senyawa enam
karbon yang merupakan kondensasi dari tiga molekul asetil-KoA.
Pembentukan
asam mevalonat terlebih dahulu melalui senyawa antara yaitu
3-hidroksi-3-
metilglrrtaril-KoA (HMG-KoA). Selanjutnya HMG-KoA akan direduksi oleh NADPH
unt uk menghasilkan asam mevalonat.
Konversi asam mevalonat menjadi squalen. Pada tahap ini mevalonat
difosforilasi oleh ATP untuk membentuk beberapa zat-antara aktif yang terfosforilasi.
Dengan cara
Tahap
dekarboksilasi, terbentuk unit isoprenoid aktif, isopentenilpirofosfat.
berikutnya adalah reaksi yang melibatkan kondensasi
molekul-molekul
isopentenil pirofosfat untuk membentuk farnesil pirofosfat. Dua molekul parnesil
pirofosfat berkondensasi pada ujung pirofosfat dalam reaksi yang melibatkan reduksi
oleh NADPH dengan mengeluarkan radikal pirofosfat. Senyawa yang dihasilkan
adalah squalen.
Konversi squalen menjadi lanosterol. Perubahan
sterol
squalen menjadi lano-
melalui zat-antara yang disebut 2,3-oksidosqualen. Proses
penutupan atau pelingkaran spontan untuk menjadi lanosterol
ini merupakan
dan tejadi tanpa
peranan enzim. Sebelum penutupan terjadi, gugus metil pada C14 dipindah ke C13
dan yang ada pada C8 ke C 14, dan dihidroksilasi pada C3. Pada tahap ini t e h t u k
empat lingkaran yang merupakan inti steroid. Reaksi terakhir melibatkan molekul
oksigen, dan reaksi ini dikatalisis oleh sistem hidroksilase mikrosom.
Metabolisme lanosterol menjadi kolesterol. Tahapan reaksi ini melibatkan
perubahan inti steroid dan rantai samping. Gugus metil pada C14 dioksidasi menjadi
C 0 2 untuk membentuk 14-desmetil lanosterol. Begitu juga dua gugus metil lainnya
pada C4 dibuang untuk membentuk zimosterol oleh pemindahan ikatan rangkap
antara C8 dan C9 ke posisi antara C8 dan C7. Kolesterol dihasilkan setelah ikatan
rangkap pada rantai samping direduksi.
Pengaturan metabolisme kolesterol
secara keseluruhan ditunjukkan pada
Gambar 2. Bila kadar kolesterol dalam tubuh melebihi keadaan normal maka berbagai
proses akan terjadi. Kegiatan enzim HMG-KoA rediikiase dalam mikrosom dan
HMG-KoA siiiiase dalam sitosol dihambat secara terkoordinasi atau secara sendirisendiri (reaksi 1 dan 2 dihambat). Laju katabolisme kolesterol (reaksi 10) juga akan
naik karena adanya rangsangan terhadap kegiatan enzim 7a-hidroksilase. Enzim asil
KoA-kolesierol asillratfera.se dirangsang sehingga kolesterol yang berlebih itu diubah
oleh asam lemak bebas menjadi esternya, kemudian disimpan dalam sitoplasma (reaksi 8
berjalan ke kanan).
Biosintesis reseptor lipoprotein
ditahan, sehingga produksi
molekul reseptor berkurang dengan demikian pengambilan LDL oleh sel berkurang
(reaksi 6 dan 7 dihambat). Makin banyak kolesterol yang diangkut ke dalam membran
menyebabkan naiknya keteraliran LDL (reaksi 11, 13 dan 15 dipercepat).
1 HMG-CoA
lipoprotein VLOL
(luarset)
reduktase
-
(skualin + lanosterol)
Sintesis
reseptor
4-Mailsterol oksidase
7a-hidroksilase
membran (diikat
Kolesterol dalam
mernbran cel
kelulusan rnembm
&lam hati :
Sintesis VLDL
Gambar 2. Pengaturan Metabolisme Kolesterol (Wirahadikusurnah, 1,985).
Proses pengeluaran kolesterol melalui pengikatannya dengan VLDL (dari sel
hati) atau dengan HDL (dari sel tepi) akan naik ( reaksi 1 1, 12 dan 14 dirangsang). Bila
kadar kolesterol rendah, maka kolesterolgenesis akan dirangsang, dan berbagai proses
kegiatan akan terjadi. Kolesterol yang rendah akan merangsang kerja enzim HMGKoA reduktase dan HMG-KoA sintase (reaksi 1, 2 dan 3 diransang). Hasil katabolisme
kolesterol, 7 P-hidroksikolesterol dan asam empedu akan menghambat kegiatan enzim
kolesterol 7 a-hidroksilase melalui mekanisme penghambatan balik, sehingga
menurunkan laju reaksi perubahan kolesterol menjadi 7 $-hidroksikolesterol (reaksi
10 terhambat).
Reaksi pembentukan ester kolesterol dengan asiltransferase akan
berjalan ke kiri sehingga lebih banyak kolesterol yang terbentuk (reaksi 8 bejalan ke
kiri).
Biosintesis reseptor lipoprotein
tidak mengalami penekanan lagi sehingga
pemasukan lipoprotein dari luar sel akan naik karena jumlah reseptor dalam membran
sel juga naik (reaksi 6 dan 7 dirangsang ).
Komponen Serat
Menumt Linder (1985) serat adalah bagian dari makanan yang tidak dapat
dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh manusia) sehingga tidak digolongkan sebagai sumber zat makanan. Yang termasuk dalam kategori serat adalah
selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Lignin termasuk
serat tetapi bukan
karbohidrat. Penggunaan kata serat sebenarnya pemberian nama yang kurang tepat,
karena materi tersebut bukanlah berserat, tidak panjang bempa benang, dan ternyata
ada yang larut. Demikian halnya penggunaan istilah pencernaan memerlukan definisi
lebih lanjut, karena kenyataannya bakteri dan flora
merombak
serat tersebut,
saluran pencernaan dapat
terutama-dalam kolon, walaupun dalam jumlah yang
terbatas.
Serat merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel tumbuhan
Ditinjau dari segi nutrisi, serat
sulit dicerna oleh enzim pencernaan ternak (Van
Soest et al., 1991). Berdasarkan andisis proksimat, serat dapat didefinisikan sebagai
bahan organik yang tidak larut dalam NaOH 1.25 % dan H2S04 1.25 %. Banyak
penelitian yang telah mengungkapkan bahwa serat hanya dapat dimanfaatkan oleh
tubuh melalui proses fennentasi gastrointestinal. Proses tersebut
pada ternak
monogastrik sangat terbatas, sehingga pakan yang mengandung serat tinggi umumnya
sukar dimanfaatkan.
Penentuan serat kasar (crudefiber) dengan metode AOAC (1975) sebelumnya
sering digunakan, namun kelemahan metode tersebut adalah banyak komponen serat
yang terlewatkan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut,
Van Soest dan Wine
(1967) merintis suatu sistem analisis yang lebih relevan untuk menilai kualitas bahan
makanan yang berasal dari hijam. Dalam sistem tersebut hijauan dibagi atas
beberapa fraksi berdasarkan kelarutmnya dalam deterjen. Secara garis besar hijauan
dibagi menjadi isi dan dinding sel. Isi sel terbagi menjadi fraksi protein, karbohidrat,
mineral dan lemak. Dinding sel terdiri atas tiga komponen utama yaitu selulosa,
-
hemiselulosa dan lignin. Seluiosa merupakan komponen yang paling banyak (50 80%)
dalam dinding sel tanaman. Hemiselulosa menempati lo%, sedangkan lignin antara 10 50%. Ketiga komponen serat tersebut dapat ditentukan dengan analisis neutral
detergent fiber (NDF). Sedangkan untuk menentukan selulosa dan lignin digunakan
analisis acid detergetitfiber (ADF). Selisih antara nilai NDF atau serat deterjen netral
(SDN) dan ADF atau serat deterjen asam (SDA) adalah kandungan hemiselulosa dari
bahan tersebut (Gambar 3). Selain bahan organik, dinding sel juga mengandung silika
(SiOz) .
Dalam ilmu pangan serat sering dibedakan atas kelarutannya dalam air, sehingga
dikenal serat yang tidak larut dan yang larut dalam air. Serat yang tidak larut dalam
air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah komponen
nonstruktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit gandum, bijibijian, sayur mayur dan kacang-kacangan. Serat yang larut dalam air biasanya berubah
menjadi lendir dalam air. Serat ini berupa getah dalam biji-bijian, pektin dalam buah
terutama buah jeruk dan ape1 (Harianto, 1996).
Bahan Makanan Nabati
'
I
Deterjen Netral
Serat Deterjen Netral
'i"
Det 'en asarn
[~ignoselulosa(tidak larutl)
(
1
Deterjen asam
i
Selulosa (larut)
(1Lignin (tidak larut)
Pengabuan
)
Gambar 3 . Skema Komponen Bahan Makanan Nabati (Van Soest dan Wine 1967)
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kandungan serat tanaman antara lain:
spesies tanaman, tingkat kematangan (kedewasaan), bagian dari tanaman dan periakuan
yang diperoleh dari tanaman tersebut. Pada dinding sel tanaman tingkat tinggi, selulosa
mentpakan komponen utama, pada alga silan dan mannan menjadi kerangka polisakarida utama, sedangkan pada fungi (jamur) banyak mengandung kitin.
Komponen serat makanan
terdiri atas dinding sel struktural dan substansi
nonstruktural. Bagian yang struktural
mengandung
poli-sakarida dan komponen
polimer nonkarbohidrat. Polisakarida tersebut meliputi selulosa, hemiselulosa dan
substansi pektin, sedangkan yang nonkarbohidrat adalah lignin.
Komponen
nonstruktural meliputi: pektin, gum, musilase dan polisakarida yang termodifikasi.
Komponen-komponen di atas sangat dipengaruhi oleh tingkat kedewasaan tanaman,
variasi individu dan metode analisis yang digunakan. Penentuan serat dengan metode
NDF mendapatkan hail yang akurasinya 2 sampai 4 kali lebih baik dibandingkan
dengan metode analisis serat kasar. Itulah sebabnya metode analisis serat kasar model
lama telah ditinggalkan.
Dari sekian banyak komponen serat, lignin yang paling sulit mengalami
fermentasi, baik secara in vitro maupun in vivo (Fahey, 1979). Lignin dalam serat-serat
alami (tlatzcralfihers) sering berikatan dengan selulosa membentuk senyawa komplek
lignoselulosa.
Namun lignin sendiri bukanlah karbohidrat. Menurut McDonald,
Edwards dan Greenhalgh (1 988) lignin sebenarnya senyawa polimer yang merupakan
turunan dari tiga penilpropanoid yaitu : komaril alkohol, koniferil alkohol dan sinapil
alkohol. Pada molekul (ignin penilpropanoid membentuk ikatan silang yang sangat
komplek sehingga sangat sulit dicema dalam saluran pencernaan.
Hemiselulosa dan
selulosa dapat didegradasi oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh mikroba terutama
yang ada dalam rumen ternak berlambung ganda.
Sekarn Padi sebagai Surnber Serat
.
Sekam padi merupakan salah satu limbah pertanian yang sangat melimpah di
Indonesia dan pemanfaatannya masih sangat terbatas. Pada proses penggilingan padi
akan dihasilkan sekitar 17% sekam padi (Devendra, 1981). Selama ini sekam padi
banyak digunakan sebagai litter peternakan ayam pedaging, atau untuk bahan bakar
pada usaha batu bata. Walaupun dianggap tidak penting dari sudut pakan ternak,
sekam padi sebenarnya masih mempunyai potensi yang belum diungkap.
Berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui sekam padi mengandung: bahan
kering 86%, serat kasar 43.3%, bahan ekstrak bebas nitrogen 31.7%, abu 19.7%,
protein kasar 3.8%, ekstrak eter 1.5%, fosfor 0.15% dan kalsium 0.10% (Hartadi,
Reksohadiprodjo dan Tillman, 1990).
Lubis (1992) melaporkan sekarn padi
mengandung : bahan kering 87.5%, serat kasar 35%, bahan ekstrak bebas nitrogen
29.2%, abu
17.5%, protein 3.1% dan lemak 2.7%. Kecernaan secara keseluruhan
sangat rendah bahkan kadar protein yang dapat dicerna hanya 0.3%.
Sementara
menurut Jackson (1977), sekam padi (paddy hull) mengandung bahan kering 86%
serta dinding sel tanaman yang terdiri atas: selulosa 39%, hemiselulosa 14%, dan
lignin 11%.
Sebagian negara-negara berkembang sudah mencoba sekarn padi untuk makanan
ternak terutama pada sapi dan kerbau.
Penggunaan
sekam padi pada ternak
nonruminansia seperti ayam dan babi biasanya dilakukan dengan cara menghaluskan
sekam padi terlebih dahulu, dan fbngsinya lebih diarahkan ke pengenceran bahan
pakan yang berenergi tinggi. Di India sekam padi digunakan sebagai bahan pencampur
dedak padi yang diberikan pada anak sapi persilangan Hariana dan Jersey umur 13-15
bulan (Devendra, 1981). Dari hasil pengarnatan didapatkan sapi mengalami penurunan
pertumbuhan sebesar 88.4, 65.8 dan 42.5% pada penggantian dedak padi masingmasing 33, 66 dan 100% dengan sekam padi, jika dibandingkan dengan kontrol.
Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan nilai cerna sekam padi, misalnya
dengan meningkatkan kandungan
protein
melalui amoniasi, delignifikasi dan
desilifikasi. Amoniasi sekam padi sebanyak 6% dalarn ransum penggemukan telah
mampu meningkatkan persentase karkas sapi. Di Malaysia sekam padi telah dicoba
untuk makanan domba pada ransum dasar molases yang iso-nitrogen. Sekam padi
yang ditambahkan berturut-turut: 5, 10, 15, 20, 25 dan 30%. Dilaporkan bahwa
koefisien cerna dan retensi nitrogen terbaik terjadi pada penarnbahan sekam padi 5%
(Tabel 1). Konsumsi digestible energy (DE) harian dari enam taraf perlakuan yang
diberikan berturut-turut: 1.428, 0.993, 1.105, 0.942,0.83 1 and 0.696 Mkal.
Tabel 1. Kecernaan Komponen Utama Ransum Domba yang Diberi
Beberapa Taraf Sekam Padi (Devendra , 1981)
Taraf sekam padi (96)
Komponen utama
ransum
Bahan kering
Bahan organik
Protein kasar
Serat kasar
Ekstrak eter
Abu
Bahan ekstrak bebas N
Energi
N teretensi
5
10
15
20
25
30
Kecernaan abu menurun secara nyata disebabkan oleh kandungan silika dalam
sekam padi yang
sangat sulit dicerna.
Rendahnya kecernaan komponen di atas
memberi gambaran bahwa sebagian besar sekam padi akan dieskresikan dalam feses.
Dari data di atas dapat disimpulkan, penggunaan sekam padi yang terbaik adalah pada
taraf 5%. Temuan ini didukung oleh hasil penelitian Tillman et al. (1986) yang
membandingkan pemberian sekam padi 5 dan 20% pada anak sapi. Kecernaan energi
dan persentase karkas yang terbaik diperoleh pada taraf 5%. Penggunaan sekam padi
untuk ternak ruminansia lebih memungkinkan dengan adanya mikroba dalam rumen.
Kecernaannya jauh lebih baik jika sekam padi tersebut digiling. Penggunaan sekam
padi akan lebih bermanfaat pada ransum padat energi.
Toleransi Ternak Babi terhadap Serat
Ternak babi tidak mempunyai tempat khusus dalam saluran
pencernmnnya
untuk aktivitas mikroorganisme atau proses ferrnentasi yang intensif seperti pada
ternak rurninansia. Kapasitas larnbungnya sangat kecil dibandingkan ternak ruminansia
ataupun kuda. Oleh karena itu, kemampuan untuk mencerna serat sangat rendah,
demikian juga kecernaan zat-zat makanan lainnya akan menurun bila kandungan serat
kasar dalam ransum meningkat.
Pada tabel kebutuhan zat-zat makanan yang direkomendasikan oleh NRC
(1 988) tidak tercantum kandungan serat yang disyaratkan untuk babi. Demikian juga
hasil penelitian yang dilaporkan para peneliti sangat beragam dalam ha1 kandungan serat
optimum dalam ransum. Penelitian di Stasiun Wisconsin, Amerika yang disitir oleh
Cunha (1977) dianjurkan kandungan serat 6 sampai 8% untuk babi yang sedang tumbuh
dan 10 sampai 12% untuk babi induk. Pertumbuhan babi lebih bagus jika sumber serat
tersebut digiling sebelum dicampurkan dalam ransum.
Pembatasan pemberian makanan pada ternak babi lazim dilakukan pada akhir
periode penggemukan untuk mendapatkan kualitas karkas yang lebih baik. Pembatasan
tersebut bertujuan untuk mengurangi deposit lemak, dengan demikian porsi lemak pada
karkas menurun. Pemberian serat dengan taraf yang lebih tinggi pada akhir periode
penggemukan merupakan salah satu cara untuk pembatasan makanan, yang berarti juga
menghasilkan karkas dengan daging yang lebih baik dan sedikit lemak. Masih menurut
laporan Cunha (1977) jika jelai (barley) dalam ransum babi diganti sebanyak 25%
dengan dedak gandum ternyata menghasilkan karkas berkualitas prima tanpa menekan
pertumbuhan maupun konsumsi ransum. Kandungan serat pada dedak jelai lebih dari
20%. Penurunan kandungan lemak tubuh babi induk akibat pemberian serat yang lebih
tinggi dilaporkan juga memperbaiki reproduksi.
Secara umum pemberian serat yang tinggi akan menurunkan kecentaan ransum.
Bergner et a!. (1985) melaporkan, kandungan serat 12.1% dari bahan kering ransum
menurunkan kecernaan semua asam-asam aminonya. Demikian juga yang dilaporkan
oleh Hartog et a1.(1985) pada babi yang beratnya 40 kg diberi ransum dengan kadar
serat 9.2%, kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum lebih rendah
dibandingkan babi yang mendapat serat 5.2%. Oleh karena itulah Campbell (1987)
menganjurkan agar kandungan serat dalam ransum jangan lebih dari 5% untuk babi
yang bobot badannya 20 - 50 kg .
Jika energi metabolis yang dikonsumsi mencukupi kebutuhan tubuh,
penggunaan serat yang sumbernya adalah dedak padi giling, dedak gandum, dan
kulit
biji
kapas tidak
menurunkan laju pertumbuhan babi
(Cdvert, 1991).
Memperkecil partikel serat tersebut akan meinbantu meningkatkan kecernaannya.
Penggunaan serat
tidak lebih dari 5% masih dapat dianjurkan dan tidak ber-
pengaruh buruk terhadap kinerja babi.
Taraf serat
dibandingkan sumbernya sendiri. Serat
pas.~agemeningkat
Kandungan serat 22
lebih
besar pengaruhnya
yang tinggi akan menyebabkan rate of
-
30% mempercepat waktu transit
makanan dalam saluran pencernaan babi, akibatnya kecernaan zat-zat makanan
menurun.
Hal yang belum banyak diketahui adalah bagaimana serat
itu sebenarnya
mampu dicerna (walaupun tidak semua) dalam sekum dan usus besar babi dengan
bantuan fermentasi mikroorganisme. Usus besar volumenya antara 35
seluruh volume saluran pencemaan. Pada usus besar
terdapat
-
45% dari
mikroba
yang
melakukan aktivitas fermentasi. Hasil fermentasi tersebut adalah asam-asam lemak
yang mudah menguap. Asam--
lemak tersebut memberikan kontribusi antara
-
5 28% kebutuhan ME ternak babi (Farre1 dan Johnson, 1972).
Kemampuan babi mencerna serat sangat ditentukan oleh sumber serat, taraf
serat dalam ransum, taraf zat nutrisi lain, umur dan berat ternak, karakter komponen
zat nutrisi di luar serat dalam ransum.
Selain itu komposisi serat sendiri juga
berpengaruh pada kecernaan. Bahan ransum yang proporsi lignin dalam seratnya
tinggi lebih sulit dicerna (Zhao et af.1995).
Walaupun babi tidak mampu mencema serat seperti rurninansia, namun
penggunaan serat dalam bentuk hijauan segar banyak memberi manfaat. Hijauan yang
baik dan segar mengandung protein, vitamin dan meneral yang cukup. Hijauan
mengandung faktor-faktor reproduksi (belum teridentifikasi) yang penting
untuk
memperbaiki fertilitas induk dan daya hidup anak babi yang lahir (Parakkasi, 1983).
Di samping itu penggunaan serat dapat menekan harga ransum. Jurnlah hijauan yang
dapat diberikan pada babi ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Hijauan yang Dapat Diberikan pada Berbagai Golongan
Ternak Babi (Parakkasi, 1983).
Golongan ternak
Sedang tumbuh dan digemukkan
Sedang menyusui
Sedang bunting
-Jumlah pemberian (% dari konsentrat)
Kalau serat itu sumbernya adalah hijauan segar sebenarnya dapat digunakan
untuk semua golongan ternak babi, baik yang sedang tumbuh atau digemukkan,
bunting, maupun yang menyusui.
Tetapi yang paling banyak dapat menggunakan
hijauan adalah babi yang sedang bunting. Pemberian hijauan segar yang berlebihan akan
berdampak
kurang baik karena sifatnya yang kamba akan rnembatasi
konsentrat.
Kadar
airnya
yang
konsumsi
tinggi a h mengurangi bahan kering yang
terkonsumsi, ternak babi sudah merasa kenyang, namun sebenarnya zat-zat makanan
yang diperlukan belum cukup.
Pengaruh Serat pada Kecernaan Zat Makanan
Men@tung kecernaan zat-zat makanan dari ransum yiing mengandung serat
sebenarnya sangatlah sulit. Hal ini disebabkan oleh beragamnya sumber dan sistem
analisa serat itu sendiri. Kecernaan karbohidrat secara umum menurun dengan
meningkatnya kandungan serat dalarn ransum, namun akan meningkat sejalan dengan
meningkatnya
umur babi (Low, 1985). Pengaruh serat
pada kecernaan zat-zat
makanan diperlihatkan pada Tabel 3.
Zebrowska dan Low (1987) telah meneliti pengaruh serat dalam ransum babi
pada sekresi pankreas. Penelitiannya menggunakan empat taraf serat masing-masing
2.05, 3.90, 4.08 dan 6.37%. Serat yang digunakan bersumber dari dedak gandum
dan selulosa. Dilaporkan, volume sekresi cairan pankreas meningkat secara nyata
selama 24 jam pengamatan dengan meningkatnya taraf serat dalam ransum. Babi
yang diberi ransum dengan serat 2.05%, volume sekresi cairan pankreasnya 2556 mV24
jam, sedangkan yang diberi ransum dengan kandungan serat 6.37% adalah 4560 m1124jam. Dijelaskan bahwa serat yang lebih banyak akan merangsang keluarnya getah
lambung terutama sekretin. Sekretin ini setelah masuk ke dalam usus halus akan
menstimulir sekresi elektrolit dan air.
Tabel 3. Pengaruh Serat pada Kecernaan Zat-zat Makanan (Low 1985)
-
Serat kasar (gkg ransum)
Zat makanan
Berat babi
50
100
170
225
0.85
0.80
0.72
20
0.62
0.53
0.55
90
0.64
0.61
0.65
225
0.65
0.61
0.63
20
0.42
0.30
0.25
90
0.49
0.44
0.32
225
0.39
0.47
0.45
20
0.81
0.70
0.56
90
0.83
0.75
0.61
Nitrogen
Lemak
Serat
Energi bruto
Bergner at a1.(1985) meneliti penambahan serat
pada ransum babi jantan
yang bobot badannya antara 55 - 56 kg dengan taraf berturut-turut 3.0, 5.3, 10.0 dan
12.1%. Dilaporkan, tejadi
penurunan kecernaan protein dan asam-asam amino
dengan meningkatnya kandungan serat. Kecernaan lisin 9 1.1% pada serat 3%, turun
menjadi 7 1.4% pada kandungan serat 12.1%. Meningkatnya Candungan serat dalam
ransum akan merangsang sekresi asam-asam empedu dan ini akan berkaitan dengan
kecernaan lemak. Kandungan asam empedu dalam feses dapat dijadikan indikator
mengenai laju sekresi asam tersebut. Pada tikus yang diberi getah guar (gilar gum),
kandungan asam empedu dalam fesesnya paling tinggi jika dibandingkan dengan tikus
yang diberi selulosa, dedak gandum dan serat gula bit (Overton et al., 1994). Gerak
laju digesta (isi saluran pencernaan) babi yang diberi ransum berserat tinggi
Iebih
cepat dibanclingkan dengan serat rendah (Hartog et a]., 1985). Laju gerak digesta
tersebut meningkat karena serat dalam saluran pencernaan menyerap air sehingga
konsistensi feses menjadi lembek. Karena geraknya cepat, maka kesempatan untuk
dicerna dalam saluran pencernaan Iebih singkat, dan akibatnya kecemaan zat nutrisi
yang terkandung juga lebih rendah. Koefisien kecernaan zat-zat makanan babi yang
diberi serat ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Koefisien Kecernaan Zat-zat Makanan Babi yang
Ransum Berserat (Hartog et al. 1 985)
Ileum
Zat - zat makanan
Diberi
Feses
Kadar serat (% )
Bahan kering
67.4"
58.6b
83.7"
74.7b
Bahan organik
70.7'
62.ob
85.9"
76.5b
Protein kasar
72.9"
68.3b
85.9"
78.5b
Lemak kasar
61.6"
58.8b
60.4"
49.6b
Serat kasar
10.5"
5.26b
41.6"
28.2b
Bahan ekstbebas N
75.8"
69.8b
91.3"
85.3b
menumnkan konsentrasi digestible energy (DE) dan
Penambahan serat
metabolism energy (ME) dalarn ransum. Jika kandungan serat
melebihi
dalam ransum babi
10 atau 15%, kemungkinan akan menurunkan konsumsi akibat ransum
menjadi lebih h i @ , atau citarasa ransum juga menurun. Kecernaan lemak menumn
antara 1.3 sampai 1.5% setiap penambahan serat 1% dalam ransum. Kenaikan serat
1% ,menyebabkan penurunan kecernm energi 3.5%.
Peningkatan
kandungan serat
dalam ransum
secara linier menurunkan
kemampuan usus halus mencerna bahan kering, nitrogen (N), serat diterjen netra (SDN)
dan abu (Schulsze, 1994). Rendahnya kecernaan N, diperkuat dengan tingginya total
pengeluaran N dan N endogen. Tingginya N endogenus akibat tingginya N yang
diekskresikan ke usus dan rendahnya penyerapan kembali. Ditemukan hanya 20% dari
SDN yang dikonsumsi tercerna pada usus halus.
Sistem kanula telah digunakan oleh Graham et a/. (1985) untuk meneliti
kecernaan zat makanan pada babi yang diberi tiga jenis serat. Tiga jenis serat yang
digunakan adalah: dedak gandum, polong kacang hijau dan arnpas gula bit. Ketiga
'
jenis serat tersebut masing-masing digunakan 33,3%
dari ransum basal. Dedak
gandum dan arnpas gula bit sangat kecil pengaruhnya pada kecernaan protein
kasar dan lemak kasar. Polong kacang hijau justru meningkatkan kecernaan protein
kasar.
Hal ini
menguatkan dugagn mereka bahwa
polong kacang hijau masih
mengandung protein yang dapat dimanfaatkan oleh babi. Arnpas gula bit menurunkan
kecernaan lemak pada usus halus. Pada dedak gandum dan ampas gula bit, kecernaan
pati terlarut sekitar 95%. Rendahnya kecernaan pati terlarut pada babi yang mendapat
polong kacang hijau karena memang kesediaan zat tersebut rendah.
Kemampuan babi mencerna serat juga sangat didukung oleh adanya mikroba
dalam sekum. Daya cerna serat tersebut berkisar antara 10 - 90%. Variasi tersebut
mungkin disebabkan oleh variasi sumber serat dan perubahan populasi mikroorganisme.
Serat yang masuk ke dalam sekum mengalami proses fermentasi dan menghasilkan asam
lemak atsiri (ALA). Pada babi yang normal biasanya didapatkan mikroorganisme
antara 10' - l og/gram isi sekum. Jika babi diberikan makanan berserat tinggi, maka jenis
mikroorganisme yang dominan hampir sama dengan yang terdapat dalam rumen antara
lain Bacteroides succirmgenes dan Ruminococczis flavefaciefis (Varel et al. 1987).
Komposisi rata-rata asam lemak atsiri dalam sekum babi terdiri atas asam asetat 62%,
propionat 28% dan butirat 10%.
Pengaruh Serat pada Kinerja Babi
Kalau dilihat dalam tabel komposisi zat-zat makanan, hampir sebagian besar
bahan ransum ternak babi mengandung selulosa, hanya saja persentasenya bervariasi.
Demikian juga toleransi tern* babi terhadap kandungan serat ransum sangat terbatas
maka ha1 tersebut akan berpenganth pada performance (kinerja) babi tersebut. Jin et
al. (1994) telah membandingkan kdompok babi yang diberi ransum tanpa serat (OYo)
dengan kelompok babi yang dl'beri ransum berserat tinggi (10%). Rataan berat awal
babi yang digunakan adalah 14.3 kg. Penelitian dilakukan selama 14 hari dan
hasilnya seperti tercantum pada Tabel 5.
Selain data yang disajikan pada Tabel 5 juga diamati panjang dan lebar villivilli usus halus. Villi-villi usus halus mempunyai cabang-cabang lagi yang disebut
mikrovilli atau brush-border memegang peranan penting dalarn proses penyerapan
zat makanan (Sihombing, 1997). Dilaporkan oleh Jin et al. (1994) bahwa perlakuan
serat tidak berpengaruh nyata pada panjang villi-villi usus halus, namun kandungan
serat yang tinggi mengakibatkan pelebaran villi-villi usus halus. Kemudian disimpulkan bahwa ransum dengan serat tinggi pada babi yang sedang tumbuh mengakibatkan
perubahan morfologi dan laju pergantian sel-sel mukosa. Pada tikus peningkatan
kandungan serat dalam ransum juga menurunkan kecernaan protein, bahan kering dan
energi ransum yang selanjutnya akan menurunkan pertambahan berat badan harian dari
- 3 72 gram rnenjadi 3 14 gram (Zhao el nl., 1995). Tikus yang diberi empat macam
serat (selulosa, dedak gandum, getah guar dan serat gula bit) selama 28 hari,
pertambahan berat badannya paling tinggi (180 gram) terjadi pada yang diberi selulosa dan rataan konsumsi ransurn per hari berturut-turut: 39.70, 37.40, 37.90 dan
40 gram (Overton el al.,1994).
Tabel 5. Pengaruh Serat Makanan pada Kinerja Babi yang Sedang
Tumbuh (Jin el al., 1994).
Tanpa serat
Peubah
-
-
-
-
-
-
Serat tinggi
SEM
---
Berat awal, kg
14.30
14.20
1.22
Berat akhir, kg
24.70
22.70
2.00
Rataan Pbb./hari, kg
0.74
0.61
0.04
Konsumsi ransudhari, kg
1.35
1.13
0.12
Pbbkonsumsi ransurnlhari
0.55
0.54
0.03
Bobot tubuh tanpa jeroan, kg
18.10
16.40
1.50
Total berat jeroan, kg
6.70
6.30
0.60
Pbb = pertambahan bobot badan
Rumput Laut Sabagai Salah Satu Sumber Zat Hypokolesterolemik.
Rumput laut merupakan istilah yang diterjemahkan dari kata seaweed padahal
rumput laut sebenarnya adalah alga laut berzthik dan sama sekali tidak tepat kalau
digolongkan grcrmirlae (rumput-rumputan).
Rumput laut tergolong tanaman tingkat
rendah dengan struktur botani yang tidak jeias antara akar, batang dan daun Sepintas
memang kelihatan
ada akar ataupun batang, namun semua itu sebenarnya talus.
Sekarang rumput laut dikaji dalam satu kelompok ilmu tersendiri yakni Algology atau
Phycology yaitu ilmu yang mempelajari hal-hal-yang berhubungan dengan alga.
Kegunaan rumput laut pada mulanya tidak banyak diketahui. Orang Yunani dan
Romawi kunolah yang pertama mengetahui bahwa rumput laut itu dapat dimakan.
Mereka memanfaatkan sebagai bekal pada saat mengarungi lautan. Orang Cina juga
menganggap rumput laut sebagai makanan istimewa sehingga cukup layak
dipersembah-kan kepada kaisar. Di Jepang kegemaran mengkonsumsi rumput laut
sudah diketahui sejak dulu.
Mereka menyebutnya
hijiki, nori, wakane, ararne,
tezrgusa, h b u dan lain sebagainya. Konon makanan tersebut menyebabkan mereka
awet muda (Winarno, 1990).
Indonesia dengan perairan 70 persen dari luas wilayah merupakan potensi yang
luar biasa untuk usaha budidaya rumput laut. Penduduk di sekitar pantai telah lama
memanfaatkan rumput laut sebagai makanan tambahan, baik dalam bentuk mentah
(lalapan) maupun yang sudah dimasak. Kebiasaan ini diduga menyebabkan rendahnya
kadar kolesterol mereka. Rumput laut telah menjadi komoditas ekspor yang potensial.
Belakangan ini banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan makanan.
Beberapa jenis rumput laut telah digunakan sejak dulu sebagai makanan ternak domba,
kambing dan lembu di Irlandia dan Scotlandia.
Hasil analisis proksimat yang dilakukan oleh Pond dan Maner yang dikutip
oleh Sutji (1985), rumput laut mengandung ME 1614 kkal/kg, protein kasar 13.86%,
serat kasar 5.61%, ekstrak ester 0.28%, bahan ekstrak bebas N 38.52%, kalsium
1.96% dan fosfor 0.36%. Hasil analisis di Laboratorium Kimia Makanan Ternak
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, rumput laut Gracilaria spp
rnengandung agar 42% (dikerjakan menurut prosedur Winarno, 1990). Dihubungkan
dengan sifat hipokolesterolernik ada beberapa komponen yang dikandung oleh rumput
laut di antaranya:
Algin
. Algin
sering juga disebut asam alginat yaitu
suatu senyawa yang
berbentuk getah selaput (memhrat~mrrciloge). Secara kimia merupakan polimer murni
dari asam uronat yang tersusun dalam bentuk rantai linier yang panjang. Algin dalarn
bentuk garam disebut alginat. Garam alginat ini ada yang larut dalam air dan ada yang
tidak larut dalam air. Alginat yang larut dalam air misalnya: sodium alginat dan
potasium alginat, sedangkan yang tidak larut dalam air yaitu kalsium alginat. Struktur
kirnia asam alginat ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. StruLtur Asam Alginat (Aslan, 1995)
Agar-agar.
Agar-agar merupakan ester dari gahktm liniet yang banyak
digunakan sebagai stabilisator dab pembuatan makanan Agar-agar termasuk dalarn
komponen karbohidrat, struktur k h b y a dituyukkan pa& Gainbar 5.
Rumput Iaut
dari spesies Gracilaria yang tumbuh di Indonesia mengandung agar berkisar antara 16
hingga 45%.
As-
•
Garnbar 5. Struktur Agar-agar (Aslan, 1995)
Karagenan.
Karagenan ada dua bentuk yaitu kappa karagenan dan iota
karagenan (Gambar 6). Kappa karagenan larut dalarn air panas, sedangkan iota
karagenan larut dalam air dingin. Di alam karagenan umumnya membentuk senyawa
garam bersama sodium, kalsium dan potasium. Karagenan dihasidkan oleh rumput laut
dari kelompok Rhodophyceae. D a b dunia industri hngsinya sarna dengan agar-agar
ataupun algin.
~ a r n b h6. Struktur Karagenan (Aslan, 1995)
Aliginat, agar dan karagenan sebenarnya tidak lain adalah polisakarida mudah
larut yang telah banyak digunakan sebagai bahan perekat pakan ikan. Menurut Heslet
(1996) mekanisme kerja serat yang larut tersebut dalarn penurunan kadar kolesterol
diterangkan sebagai berikut. Serat larut tersebut dalam usus halus mengikat asam
empedu kemudian membawa keluar bersama feses, dengan demikian hati harus
memproduksi asam empedu yang lebih banyak untuk mengganti asam empedu yang
hilang. Asam empedu diproduksi dari kolesterol, dengan adanya serat maka akan
semakin banyak kolesterol yang hilang bersama asam empedu. Hilangnya kolesterol
melalui asam empedu merupakan faktor yang sangat menentukan pada akumulasi
kolesterol dalam hati (Lakshmanan dan Veech, 1977).
Penelitian pada tikus yang dilakukan oleh Alan et al. (1976) mendapatkan
bahwa penambahan agar sebanyak 7% dalam ransumnya menurunkan kadar kolesterol
dalam serum. Pada tikus kontrol (tanpa tambahan serat kasar) kadar kolesterol serum
78 mg/100 ml, sedangkan yang diberi 7% agar adalah 72 mg/100ml. Demikian juga
yang dilaporkan Kelley dan Tsai (1978) pada tikus yang ditambahkan agar 5% dalam
ransumnya, kandungan kdesterol dalam serumnya
menurun.
Serum tikus yang
berperan sebagai kontrd mengandung kolesterol 1 10 mg/dl, sedangkan yang diberi
perlakuan agar 5% kdesterd serumnya 108 mg/dl. Dijelaskan bahwa karbohidrat
-
komplek kperti pektin dsn agar menghambat penyerapan kolesterol karena
kemampuannya mengikat kdesterol ddam saluran pencemaan. Melihat struktur
kimia agar di atas maka kemungkinan terjadi ikatan kovalen antara gugus glikosidis
yang aktif dari agar tersebut dengan gugus hidroksil aktif kolesterol membentuk ikatan
P(1-3).
Reaksinya adalah reaksi estedikasi seperti reaksi antara kolesterol dengan
asam lemak (Gambar 7). Mekanisme lain yang mungkin adalah mekanisme yang
menyerupai mekanisme pada pektin seperti yang dilaporkan oleh Nagyvary dalam
Inglett dan Falkehag (1 952). Dijelaskan bahwa polisakarida terlarut seperti alginat dan
pektin memiliki kernampuan untuk mengikat berbagai anion termasuk asam lemak atau
asam empedu, melalui pembentukan kompleks dengan kation trivalen aluminium.
Misel bemuatan negatif &&at melalui jembatan aluminium terhadap molekul pektat
atau agar (Gambar 8).
Gambar 7. Ikatan Kovalen antara Agar dan Kolesterol
Gambar 8.
Struktur Pengikatan Asam Empedu dan Pektin atau Agar
(Nagyvaqr dalam Inglett dan Falkehag, 1952)
Ventura et al. (1994) meneliti rumput laut (Ulva rigida) pada ransum ayam
dengan taraf 0, 10, 20 dan 3Ph. Dilaporkan bahwa pengaruh rumput laut lebih jelek
dari ransum kontrol. Hasil yang h a n g baik tersebut dilihat dari konsurnsi ransum,
pertambahan berat badan per hari dan efisiensi. Ayam yang menerima rarwm kontrol
mengkonsumsi ransum 272 gram, sedangkan ayam yang meneiima perlakuan nunput
laut konsumsinya berturut-turut 268,261 dan 258 gram. Pertambahan bobot badannya
masing-masing 102,90,85 dan 77 gram per hari .
Pengaruh Serat pada Lemak dan Kolesterol Tubuh
Serat yang tinggi dalarn ransum akan meningkatkan ekskresi lemak melalui
feses, tennasuk juga kolesterol. Hal ini terjadi karena serat tersebut akan mehsak
misel-misel dalam usus (Bordwell dan Erdman, 1988). Serat yang mempunyG sifat
b u l b (kamba) sangat efektif dalam mengurangi karsinogenesis pada hewan dan
juga paling efektif dalam mengencerkan empedu dan derivatnya, sehingga penyerapan
lemak berkurang.
Bagiada (1986),
rumput laut
meneliti pengaruh substitusi ransum tradisional dengan
7% pada kadar kolesterol serum dan daging babi Bali.
Dilaporkan,
kelompok babi yang mendapat substitusi rumput laut, rataan kadar kolesterol
serumnya adalah 96.15 mg/100 ml, sedangkan babi yang tidak mendapat perlakuan
rumput laut 103 mgf100 ml. Walaupun kadar kolesterol pada kelompok yang diberi
rumput laut lebih rendah, namun perbedaan tersebut secara statistik tidak nyata
(PO. 05). Kadar kolesterol dalam daging pada kelompok kontrol 60.90 mg%,
sedangkan kelompok babi yang diberi rumput laut kadar kolesterolnya 56.08 mg%.
Rendahnya kadar kolesterol serum dan daging pada kelompok yang diberi substitusi
rumput laut, diduga karena rumput laut yang mengandung asam amino triptopan dan
serat
cukup tinggi itu mampu mengaktifkan bakteri pada usus bagian bawah yang
dapat mengubah kolesterol menjadi koprostanol. Selanjutnya koprostanol dikeluarkan
bersama feses. Dengan demikian kolesterol yang terserap lewat sistem enterohepatik
akan berkurang dan hiperkolesterolemi dapat dikurangi.
Sementara Endang (1986) melaporkan, jika ransum tradisional babi Bali di
substitusi dengan rumput laut 7%, akan menurunkan kandungan trigliserida serum.
Hasil penelitian ini memberi harapan untuk menghasilkan daging berkolesterol rendah.
Pada babi yang tidak mendapat perlakuan rumput laut kadar trigliserida serum rata-rata
109.83 mg/100 ml dan protein serum rata-rata 3.40 g%.
Sedangkan babi yang
mendapat substitusi rumput laut kadar trigliserida serumnya rata-rata
67, 167
mg/100 rnl dan protein serum rata-rata 4.18 g%. Ransum tradisional yang diberikan
terdiri atas: batang pisang 7%, dedak padi 90% dan bunglul kelapa 3%. Ransum
percobaan adalah ransum tradisional yang disubstitusi dengan rumput laut (Gracilaria
spp) 7%.
Menurut Hallgren (1981) pengaruh fisiologi
pemberian serat adalah:
meningkatkan berat dan volume feses, menurunkan transit time, mengikat asam
empedu, menurunkan kolesterol darah dan penyerapan mineral.
Penelitian pada manusia juga menunjukkan terjadinya penurunan kolesterol
plasma akibat pengaruh serat makman. Hunninghake et al. (1994) telah melakukan
penelitian
pada sejumlah
pasiennya.
kolesterolemia setelah di'beri serat
Pasien-pasien
yang menderita hiper-
sebanyak 20 gram/hari ternyata total kolesterol,
-
LDL, serta rasio LDL HDL plasmanya mengalami penurunan masing-masing 6, 8
dan 9%. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan serat dalarn makanan merupakan
terapi konvensional
bagi penderita hiperkolesterolemia. Demikian juga
yang
dilaporkan oleh Langkdde et al. (1993) bahwa penambahan serat yang bersumber
dari ampas gula bit sebanyak 32 ghari pada menu pasiennya telah meningkatkan
ekskresi kolesterol sampai 52% dibandingkan menu basal. Akibatnya kolesterol dalam
serum menurun.
Penelitian mengenai pengaruh pektin yang berasal dari labu siam dalam
menurunkan kolesterol serum tikus telah dilakukan oleh Sajuthi et al. (1995).
Dilaporkan bahwa pemberian pektii 5% pada ransum tikus secara nyata menurunkan
kandungan kolesterol plasma. Kadar kolesterol plasma tikus kontrol adalah 71.76
4.09 mg/100 ml, sedangkan yang diberi pektin 63.37
+ 2.49 mg/100 rnl.
+
Pektin
dalam saluran pencemaan membentuk gel yang dapat mengikat senyawa-senyawa
organik, anion-anion termasuk asarn lemak dan empedu, sehingga penyerapannya
menurun. Mekanisme ini diduga menyebabkan menurunnya kolesterol dalam plasma.
Naiknya kolesterol darah lebih banyak disebabkan oleh peningkatan
pembentukannya dalam hati yang dalam keadaan normal mencapai 500 mg per hari
(Hartono, 1996). Penyebab lain adalah meningkatnya penyerapan kolesterol kembali
lewat siklus enterohepatik dari dalam usus halus. Apabila hati dapat mengurangi arus
pembentukan kolesterol yang pada gdirannya diekskresikan lewat getah empedu ke
dalam usus,
sementara penyerapan kolesterol dalam usus dapat dihambat dengan
pengikatan sebagian getah empedu, maka penyerapan kembali kolesterol di dalam usus
akan berkurang sehingga kadarnya dalam darah dapat menurun.
Berdasarkan kenyataan ini,
beberapa pabrik obat terkenal telah membuat
kolestipol dan kolestiramin. Kerja obat ini mengdcat kolesterol di dalam usus sehingga
terbentuk senyawa komplek
yang tidak bisa diserap usus dan akan dikeluarkan
bersama-sama feses. Keja serat kasar dalam menghalangi penyerapan lemak semakin
jelas lagi pada jenis serat yang larut (soluble dietaryfiber). Serat ini mempunyai sifat
yang kental seperti pada agar-agar yang dihasilkan oleh rumput laut.
Serat kasar dari dimding sel tanaman dalam usus akan menyerap banyak air.
Serat kasar yang banyak mengandung air ini akan mengikat asam empedu yang sangat
diperlukan dalam penyerapan lemak dalam usus.
Selain itu propionat sebagai hasil
fermentasi serat dalam usus besar mempunyai kemampuan untuk menghambat sintesis
kolesterol dalam hati dengan jalan menekan aktivitas enzim 3-hydrohi 3-metil glutaril
CoA reduktase (Harianto, 1996). Enzim tersebut sangat penting dalam sintesis
kolesterol dalam hati. Jadi serat makanan yang mudah larut akan mengikat bukan saja
kolesterol yang berasal dari makanan, tetapi juga kolesterol hasil produksi tubuh
yang masuk ke dalam usus lewat getah empedu.
Mekanisme kej a serat dalam metabolisme lemak darah belum diketahui secara
jelas. Menurunnya kadar kolesterol darah diduga disebabkan oleh beberapa sebab antara
lain: penyerapan asarn empedu dalam usus halus menurun akibat terikat oleh serat
makanan, terhambatnya sintesa kolesterol hati akibat produk fermentasi terutama ALA.
Tetapi penelitian Wisker et al. (1994) pada rnanusia yang diberi diet mengandung
wortel mentah sebagi sumber serat tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada
penurunan kolesterol darah.
Penelitian pada ayam broiler yang diberi ransum kaya serat jelai menurunkan
kadar trigliserida dan kolesterol dalam plasma, namun perbandingan antara HDL dan
total kolesterol meningkat. Efek hipokolesterolemik tersebut erat hubungannya dengan
kandungan senyawa P-glukan dalam ransum (Sundberg et al., 1995). Senyawa
P-
glukan
- tersebut merupakan komponen utama dalarn dinding sel jelai.
Peubah Spesifik Kualitas Daging
Warna daging. Warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya
ransum, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, aktivitas otot, pH dan oksigen. Faktorfaktor tersebut secara langsung dapat mempengaruhi konsentrasi rnioglobin, yakni
pigmen penentu utama warna daging. Pigmen
lain adalah hemoglobin. Mioglobin
adalah protein dalam sarkoplasmik yang terbentuk dari
suatu rantai polipeptida
tunggal yang terikat di sekelilig suatu grup heme yang membawa oksigen.
Grup
heme tersusun dari satu atom Fe dan satu cincin porfirin.
Warna daging juga mengalami perubahan akibat tejadi reaksi pigmen dengan
bahan lain. Kemampuan pigmen tersebut sangat tergantung pada status kimia ion
besi yang terdapat dalam cincin heme jika ion ferro F$' dioksidasi menjadi ion ferri
~ e ~ ' Bila
. dalam keadaan oksigen cukup ion ferro akan berikatan langsung dengan
oksigen membentuk oksimioglobin, dalam keadaan ini warna daging merah terang dan
lebih disukai oleh konsumen. Sebaliknya dalam keadaan oksigen terbatas ion ferro
akan teroksidasi menjadi ferri (metmioglobin), warna daging menjadi coklat. Daging
babi dalam satu gram kira-kira mengandung 1 - 3 mg mioglobin, dan meningkat sejalan
dengan meningkatnya umur ternak.
Daya ikat air. Daya ikat air atau water holdng mpci@ ((WHC) adalah
kemampuan protein daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama
ada
pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan, dan tekanan.
Ada tiga jenis air yang terikat dalam daging yaitu air
yang terikat sangat kuat secara kirniawi oleh gugus reaktif protein otot yang bermuatan
-
listrik besarnya kira-kira 4-5%. Air yang terikat agak lemah terhadap gugus hidrofilik
atau disebut air dalam keadaan tidak bergerak (immobil) sebesar kira-kira 5%. Air ini
keadaannya sangat dipengaruhi oleh besarnya tekanan atau perlakuan dari luar terhadap
daging tersebut. Air yang ketiga adalah air bebas yang berada di antara molekul protein,
jumlahnya kira-kira 10%. Lapisan air yang pertama dan kedua bebas dari perubahan
molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan air yang ketiga
akan menurun jika protein daging mengalami denaturasi (Wismer dan Pederson dalarn
Soeparno 1992).
Sifat fisik daging seperti warna, tekstur, ketegaran, sari minyak dan keempukan
daging sebagian besar dipengaruhi oleh daya ikat air. Sepertiga dari daya ikat air
dipengaruhi oleh pH. Daya ikat air menurun dari pH 7 sampai pada pH isoelektrik (5
-
5.1) protein daging. Pada pH isoelektrik protein daging dalam keadaan netral karena
jumlah muatan positif dan negatif sama. Pada pH yang lebih tinggi sejumlah muatan
positif dibebaskan dan terdapat kelebihan muatan negatif yang akan mengikat air.
Keadaan rigor mortis setelah hewan dipotong dapat juga menurunkan daya ikat
air. Sumber energi dalam otot untuk mencegah pertautan antara aktin dan miosin adalah
ATP yang berikatan dengan ~
-
g disebut
~ ' Mg-ATP komplek. Pada saat hewan
dipotong persediaan Mg-ATP komplek berkurang sehingga terjadi rigor mortis.
~ '
namun segera mengikat dua gugus
Perubahan ATP menyebabkan ion M ~ terbebas
reaktif, dengan demikian tidak ada tempat lagi bagi molekd air dalam struktur protein.
Sebaliknya enzim proteolitik seperti katepsin dapat memperbaiki daya ikat air.
Enzim tersebut akan merusak struktur membran otot sehingga terjadi diisi ion ke
dalam protein daging. Beberapa ion divalen (Mg2+ d m ca2+) diganti dengan kation
monovalen pada rantai protein. Jadi dengan demikian setiap penggantian satu kation
divalen dengan satu ion monovalen akan ada satu gugus reaktif yang bebas, gugus
reaktif ini selanjutnya akan mengikat air. Daging babi mempunyai daya ikat air yang
lebih besar dibandingkan daging sapi. Di samping itu pada babi umur tidak mempunyai pengaruh yang berarti pada daya ikat air, tetapi pada sapi cukup berarti.
pH daging. Perubahan pH daging erat kaitannya dengan persediaan ghkogen
otot pada saat pemotongan.
Dalam keadaan anaerob glikolisis oleh enzim-enzim
glikolitik akan menghasilkan asam laktat. Penirnbunan asam laktat akan berhenti kalau
cadangan glikogen sudah habis, dalam keadaan demikian pH akan mengalami
penurunan dan aktivitas enzim-enzim glikolitik akan terhenti. Daging dengan kondisi di
atas disebut pada pH ultimat.
Jadi pH ultimat adalah pH yang tercapai setelah
glikogen otot habis atau glikogen daging tidak sensitif lagi dengan serangan enzimenzim glikolitik (Lawrie, 1979).
Kondisi ini biasanya tercapai 24 jam setelah
pemotongan dan pH ultimat normal daging antara 5.4 - 5.5.
Penurunan pH otot postmortem (setelah pemotongan) sangat beragam di antara
ternak. Sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi pH daging postmortem. Faktor
dalam meliputi : spesies, tipe otot, glikogen otot dan variasi di antara ternak. Faktor
luar antara lain temperatur lingkungan, perlakuan-perlakuan dengan penambahan aditif
dan stres selarna pemotongan. Temperatur tinggi mempercepat laju penurunan pH,
sebaliknya temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Peranan temperatur
dalam perubahan pH tersebut sebagai akibat dari pengaruh langsung temperatur pada
laju glikolisis postmortem.
Penurunan pH yang cepat akan menyebabkan wama daging menjadi pucat,
daya ikat protein daging terhadap cairannya akan rendah, dan permukaan daging
menjadi basah karena adanya diip yaitu air yang keluar ke permukaan daging.
Berbeda dengan pH ultimat yang tinggi, daging kelihatan berwarna gelap dan
permukaan daging terkesan sangat kering karena cairan daging diikat oleh protein
- daging dengan erat (Forrest et a1.,1975).
Kualitas ransum juga dapat mempengaruhi pH daging.
Misalnya pH loin
domba 5 jam setelah pernotongan Iebih tinggi pada yang mengkonsumsi konsentrat
tinggi dibandingkan yang mengkonsumsi konsentrat rendah, dan tetap lebih tinggi
sampai 48 jam postmortem . Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa proses glikolisis
tejadi lebih lambat pada konsumsi konsentrat rendah, meskipun pH ultimat hampir
tidak berbeda.
Ransum yang mengandung konsentrat rendah dan berserat tinggi
menghasilkan daging yang kurang berlemak dibandigkan dengan yang mengkonsumsi
ransum konsentrat tinggi berserat rendah.
Biasanya
kenaikan pH daging akan
meningkatkan jus dan daya ikat air, serta menurunkan susut masak daging.
Susut masak
Susut masak (cookmg loss) adalah kehilangan berat selama
daging mengalami proses pemasakan.
Susut masak dapat diketahui dengan
perhitungan:
berat sebelum dimasak - berat setelah dimasak
Susut masak (%)
X 100
=
berat sebelum dimasak
Nilai susut masak sangat dipengaruhi oleh tingginya temperatur dan lamanya
pemasakan. Makin tinggi temperatur dan makin lama waktu pemasakan maka makin
banyak daging kehilangan berat. Daging babi yang dioven dengan temperatur dalam 60,
70 dan 80°C mengalami susut masak masing-masing 21.62, 29.32 dan 36.68%
(Simmons ef al. 1985). Selain temperatur dan waktu pemanasan, susut masak juga
dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot,
status kontraksi rniofibril, ukuran dan berat sampel. Daging yang berada dalam keadaan
kontraksi pada pH 5.4 mengalami susut masak yang lebih tinggi dibandingkan daging
regang dengan panjang serabut yang sama (Bouton et aZ.,1971).
Secara umum jenis otot yang sama dari ternak yang berbeda memerlukan
temperatur pemasakan yang beheda pula untuk rnencapai tingkat keempukan yang
maksimum. Hal ini sangat berhubungan dengan jumtah dan jenis jaringan ikat pada
masing-masing otot tersebut. Pernanasan menyebabkan jaringan ikat menjadi lebih
empuk, tetapi protein-protein rniofibril akan mengental dan cendening meqjadi dot.
Kualitas pakan juga mempengaruhi susut masak. Pada domba yang diberi ransum
dengan konsentrat tinggi berserat rendah mengalami susut masak yang lebii banyak
dibandingkan yang diberi ransum konsentrat rendah berserat tinggi. Pada ternak yang
mengkonsumsi konsentrat tinggi biasanya lemak intramuskulernya
lebii banyak,
sehingga selama pemasakan mengalami kehilangan lemak juga lebii banyak. Biasanya
-
susut masak bervariasi antara 1.5 54.5%.
Nilai susut masak dapat digunakan memprediisi jurnlah jus setelah daging
dimasak. Daging dengan susut masak yang lebii besar berarti akan kehilangan nutrisi
yang lebih banyak, dengan dernikian kualitasnya relatif lebih rendah dibandlngkan yang
susut masaknya rendah.
Tekstur dan keempukan daging. Banyak ahli dagmg yang menyatakan bahwa
tekstur dan keempukan daging merupakan faktor yang paling penting dalam penilaian
kualitas daging. Faktor ini berkaitan dengan citarasa yang langsung d i d a n oleh
konsumen.
Faktor -faktor yang mempengaruhi keempukan daging pada dasarnya
dibedakan atas dua faktor.
Faktor
antemortern (sebelum pemotongan) m&puti
genetik, umur, manajemen, jenis kelamin, kualitas ransum dan tingkat stres ternak.
Faktor postmortem metode pendinginan dan pembekuan dan termasuk pengolahan.
Menurut Bouton, Harris dan Shorthose (1971) keempukan daging dipengmhi
oleh struktur miofibril dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat, daya ikat air
oleh protein daging. Kesan keempukan daging secara keseluruhan tergantung pada
*
-
tekstur dan melibatkan tiga aspek penting. Pertama kemudahan awal penetrasi gigi ke
dalarn daging, ke dua kemudahan daging dikunyah menjadi fiagmen-fiagrnen yang
lebih kecil dan ke tiga jurnlah residu yang tersisa setelah dikunyah.
Tekstur daging menunjukkan ukuran serabut-serabut otot yang dibatasi oleh
septum-sep'tum perimisial
jaringan ikat
yang membagi otot secara longitudinal.
Tekstur daging dikatakan kasar bila ikatan-ikatan serabutnya besar, sebaliknya halus
kalau ikatan serabut-serabutnya kecil. Tekstur daging sernakin kasar sejalan dengan
meningkatnya umur ternak.
Daging babi mempunyai perototan yang lebih kecil dan
tekstur yang lebih halus dibandiigkan daging sapi.
Selain faktor-faktor di atas pH juga berpengaruh pada keempukan daging.
Daging dengan pH yang tinggi mempunyai keempukan yang lebii tinggi dibandingkan
dengan pH rendah. Pada pH yang lebih tinggi dari 6 daging lebih empuk dibandingkan
pada pH 6, dan mempunyai jus yang lebih banyak. Jadi pe~ngkatanpH ultimat daging
biasanya meningkatkan keempukan dan daya ikat air daging.
Keempukan daging dapat dinilai secara subyektif dan obyektif
Penilaian
subyektif dilakukan dengan uji panel citarasa. Melalui uji ini akan dinilai kesan jus
yang merupakan indikasi serabut otot dan jaringan ikat daging tersebut. Penilaian
keempukan secara obyektif
dapat dilakukan melalui uji kompresi yang menguji
kealotan jaringan ikat, uji daya putus
Warner-Bratzler sebagai indiiasi kealotan
miofibril dan uji susut masak (Bouton et al., 1971).
Citarasa dan aroma.
Citarasa dan aroma daging adalah sensasi yang
melibatkan banyak faktor, kompleks dan saling terkait satu sama lain, oleh karena itu
sangat sulit meng identifikasi (Devol et al., 1988).
Citarasa mencakup bau, rasa,
tekstur, temperatur dan pH ( Soeparno, 1992). Sensasi rasa yang dominan adalah pahit,
manis, asam dan asin. Daging ternak yang lebih tua mempunyai bau yang lebih
menyengat dibandigkan ternak muda.
Bau pada babi jantan yang tidak kastrasi
disebabkan oleh senyawa steroid (5-u-androst-16-ene-3-one)yang berasosiasi dengan
lemak. Bau ini akan menguap setelah dipanaskan.
Citarasa itu muncul setelah
pecahnya asam-asam lemak tidak jenuh rantai panjang, berinteraksi dengan oksigen
selanjutnya membentuk formasi asam-asam lemak rantai pendek, aldehid dan keton.
Sama halnya seperti tekstur, citarasa dan aroma daging dipengaruhi oleh umur ternak,
jenis dan kualitas ransum, lemak, lama dan kondisi penyimpanan, lama dan temperatur
pemasakan.
Bau dan rasa daging banyak dipengaruhi oleh prekursor yang larut dalam air
dan lemak, dan pembebasan substansi atsiri yang terdapat di dalam daging. Senyawasenyawa citarasa di dalam lernak adalah spesifik untuk suatu spesies, jenis kelamin,
atau bisa timbul dari bahan penyusun ransum, misalnya bau tepung ikan, bawang putih,
lemak sapi atau absorpsi selama pengolahan dan penyipanan misalnya bau detergen,
bau alat pendingin dan sebagainya.
Perubahan-perubahan citarasa daging masak dapat meningkatkan salivasi dan
meningkatkan kesan jus daging. Narnun perubahan citarasa dan hubungannya dengan
kesan jus-daging tersebut sangat bersifat subyektif dan sangat sulit dideteksi secara
obyektif. Oleh karena itu dalam tes panel terhadap daging baik mentah maupun yang
sudah dimasak diperlukan panelis yang sangat berpengalarnan.
Download