II. TINJAUAN PUSTAKA Komponen Lemak Pengertian antara lemak dan fipida masih sering dipertentangkan. Demikian juga antara lemak dan minyak. Lipida adalah kumpulan zat makanan yang larut dalam eter, kloroform dan benzetl. Umumrtya dalam praktek dise6ut lemak. Sedimgkan lemak dan minyak secara kimiawi sehmrnya adalah sama.Hanya, lemak pada suhu kamar berwujud padat, sedq&an minyak berwujud cair (Anggorodi, 1985). Lipida digolongkan metljadi tiga gdongan, sebagai berikut: Lipida saderhanr. Merupakan ester asam-asam lemak dan alkohol tertentu terutama gliserol. L e d dan minyak adalah ester gliserol dengan asam-asam lemak. Ester asam lemak dengan alkohol selain gliserol disebut tiin. Lipida senyawa. Ester gliserol yang mengandung dua residu asam lemak ditambah kumpulan kimiawi lain seperti kholin. Terpenting di antaranya adalah: fosfolipid, lesithin, sefalin dan spingomielin. Lipida hasil hidrolisis. Zat-zat yang diperoleh melalui hidrolisis dari kedua golongan di atas, di antaranya 1) asam-asam lemak; 2) alkohol, seperti : gliserol, etanol; dan 3) sterol, seperti kolesterol, ergosterol dan stetosterol. Formula empiris lemak adalah Cs7HlO5o6. Dibandingkan dengan glukosa yang mempunyai formula empiris C6Hl2O6, lemak mengandung beberapa kali lebih banyak atom karbon dan hidrogen. Lemak mengandung kelebihan karbon dan hidrogen yang sanggup dibakar menjadi C02 dan H20. Dengan demikian per satuan berat yang sama, lemak akan menghasifkan energi yang jauh lebih banyak dibandingkan glukosa dan karbohidrat lainnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lemak murni dan minyak menghasilkan energi 9,4 kkal/g, sedangkan karbohidrat, hanya Oleh karena itu lernak sering diperhitungkan dalam penyusunan ransum babi, karena dianggap sumber energi yang cukup ekonomis. Di antara komponen lemak yang paling penting adalah asam lemak. Asam lemak diolongkan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh antara lain: laurat, miristat, palmitat dan stearat. Asam- asam lemak tidak jenuh meliputi palmitoleat, oleat, linoleat, linolenat dan arakhidonat. Di antara asam-asam lemak tersebut ada yang esensial, antara lain: linoleat, linolenat, dan arakhidonat . Metabolisme Lemak dan Pembentukan Lemak Tubuh Pemecahan lemak makanan menjadi asam lemak dan monogliserida, kholin dan lain sebagainya, hampir semuanya terjadi dalam hodemrm danjejz~mrm. Di sini peran garam empedu dan lipase pankreas sangat tinggi. Kedua sekresi pencernaan tersebut bekeja dalam pH yang lebih tinggi akibat adanya sekresi bikarbonat. Dalam duodenum, garam-garam empedu mengemulsikan lemak, dan dengan gerakan-gerakan peristaltik terdispersi menjadi butir-butir kecil dengan penambahan luas sekitar 10.000 kali. Kemudian diikuti oleh masuknya lipase. Lipida yang sudah tercema dan sebagian larut dalam air, membentuk misel-rnisel yang stabil. Misel tersebut terdiri atas asam lemak rantai panjang, monogliserida, dan asam-asam empedu yang terdihsi ke permukaan sel-sel mukosa, kemudian melepaskan materi untuk diserap. Produk- produk pencernaan yang lebih bersifat polar, seperti asam l e d rantai pendek, fosfat, kholin dan sebagainya, terdihsi melalui medium cair, terserap ke dalam sel mukosa USUS. Setelah masuk ke dalam mukosa usus, trigliserida, fosfolipida, dan ester kolesterol disintesis kembali, dibungkus dengan sedikit protein kemudian disekresikan dalam bentuk kilomikron ke dalam ruang ekstra seluler, memasuki lakteal sistem lirnfe. Secara perlahan kilomikron yang ada dalam saluran limfe memasuki aliran darah melalui ahrctz~sthoracicus. Hampir semua lemak yang disimpan pada jaringan lemak atau daging dalam bentuk trigliserida. Nantinya trigliserida tersebut akan dirombak kmbali sebagai sumber energi bila glukosa dari makanan tidak cukup, atau dalam keadaan puasa. Pada babi yang diberi makan berkecukupan, sangat sedikit lemak tubuh dipakai untuk sumber energi. Di dalam tubuh jaringan lemak ini berada dalam rongga badan, termasuk sekitar jantung dan ginjal, di bawah kulit, inter muskuler dan intra muskuler. Lemak di bawah kulit pada temak babi sekitar 50% atau paling banyak dibandingkan dengan ternak lain. Dalam proses metabolisme lemak di dalam sel peranan lipoprotein sebagai alat angkut lipida sangat besar. Lipoprotein adalah molekul yang terdiri atas protein dan lipida yang bergabung dengan ikatan non-kovalen yaitu interaksi hidrofobk antara gugus nonpolar dari lipida dengan molekul protein. Lipoprotein plasma darah digolongkan menjadi lima golongan yaitu: kilomikron, lipoprotein berkerapatan sangat rendah (very low density lipoprotein disingkat VLDL), lipoprotein berkerapatan rendah (low density lipoprotein disingkat LDL), lipoprotein berkerapatan tinggi (high density lipoprotein disingkat HDL) dan lipoprotein berkerapatan sangat tinggi (very high density lipprotein disingkat VHDL). Kilomikron merupakan kompleks molekul yang sangat besar dengan berat molekul mencapai 1 x lo9. Fungsi utama kilornikron adalah pengangkutan lemak diet, terutama dalarn bentuk trigliserida ke dalam tubuh. Lipida lain yang diangkut dalarn kilomikron adalah kolesterol, yang sebelumnya diubah dulu menjadi ester kolesterol. Kilomikron ddam plasma dikatabolisme menjadi partikel-pertikel yang lebih kecil yang mempunyai kepadatan lebih tinggi. Produk katabolieme yang disebut sisa kilomokron terbentuk bila sebagian besar trigliserida yang mula-mula ada dalam kilomikron terhidrolisis oleh lipase 1ipoprotein.Produk ini mengandung fosfolipid, kolesterol, ester kolesterol, apo-E dan sedikit trigliserida yang tersisa. Daur transport lemak dalam tuibuh disajikan pada Gambar 1. Lipoprotein berkerapatan sangat rendah (VLDL) diproduksi di dalarn hati. Dalam proses perjalanatulya menuju sel tepi (perijer), VLDL mengalami proses penguraian lipida secara bertahap di sepanjang pembuluh darah. Gliserol dan asam lemak dilepaskan secara bertahap dikatalisis oleh enzim lipopoleein lipvlse yang terdapat pada permukaan jaringan endotelium otot dan jaringan lemak. Akibat a h y a penguraian tersebut maka lama kelamaan VLDL berubah menjadi LDL. Berdawkan mekanisme tersebut jelaslah bahwa LDL itu berasal dari VLDL (Deckelbaum, Tall dan Small, 1997). Di dalam sel tepi LDL beihtedcsi dengan molekul reseptornya yang berada pada dinding sel, kemudian kompleks LDLreseptor yang terbentuk itu masuk ke dalam sel. Di dalam sel komponen protein kompleks tersebut diuraikan menjadi asam amino, dan komponen lipida terutama ester kolesterol diiidrolisis menjadi kdesterol sebagai cadangan kolesterd di dalam sel tepi yang juga diperlukan sebagai komponen membran sel. Kolesterd yang berlebii akan dikeluarkan dari membran set baik dalam bentuk kolesterol bebas maupun dalam bentuk senyawa esternya. Sementara itu HDL yang terdapat dalam plasma darah mengikat kolesterol atau ester kolesterol dan mengangkutnya bersarna aliran darah dari set tepi ke sel hati. Di dalam hati, kolesterol yang telah terikat tersebut mengalami perombakan meng- hasilkan cadangan k o l e s t d hati, yang diperlukan untuk sintesis VLDL dan senyawa lainnya (Schaefer, 1991). Pengikatan LDL oleh reseptor dalam membran seI tepi secara berlawanan dihambat oleh HDL, sehingga kadar HDL yang tinggi akan mencegah penimbunan LDL pada dinding pembuluh darah. Biosintesis Kolesterol Kolesterol yang mempunyai rumus molekul C27&50w merupakan akohol monohidrat dari derivat sterol yang tidak jenuh. Kolesterol dalam tubuh berasal dari dua sumber yaitu: dari makanan dan hasil biosintesis. Manusia rata-rata membutuh- kan 1,l g kolesterolhari untuk m e d i h a r a dinding sel dan hngsi fisiologis lain. Dari jumlah tersebut, 25 - 40% (200 - 300 mg) secara normal berasal dari m a k a m dan selebihnya disintesis dalam tubuh. Tempat sintesis kolesterol terutama pada hati, korteks adrenal, usus, kuEt, testis dm aorta. Kolesterol dalam makanan akan mempengamhi Penelitian pada tikus menunjukkan, jika biosintesis kolesterol. hanya terdapat 0,05% kolesterol dalam makanan maka 70 -80% kolesterol hati, usus halus dan kelenjar adrenal disintesis dalam tubuh. Tetapi jika kandungan kolesterol dalm makanan naik menjadi 2%, - maka biosintesis tumn sampai 10 30%. Usaha untuk menurunkan kolesterol plasma pada manusia dengan mengurangi jumlah kolesterol dalam makanan adalah efektif Namun sebaliknya biosintesis tidak dapat seluruhnya ditekan dengan menaikkan konsumsi kolesterol rnelalui makanan. Kolesterol dalam makanan diabsorpsi dalam usus, dan bersama-sama dengan lipida lainnya, termasuk kolesterol yang disintesis dalam usus (kolesterol endogenus), digabungkan dalam kilomikron dan VLDL (Vahouny et a].,1997). Dalam limfa - kolesterol yang diserap, 80 90% diesterkan dengan asam lemak rantai panjang, namun pengesteran dapat juga terjadi dalam mukosa usus. Bila sisa kilomikron masuk ke hati, banyak ester kolesterolnya dihidrolisis dan kolesterolnya diambil oleh hati. Kemudian VLDL yang dibentuk akan mengangkut kolesterol ke dalam plasma. Belum ada data mengenai kadar normal kolesterol plasma pada babi. Pada manusia, jumlah total kolesterol plasma sekitar 200 mgtdl. meningkat dengan meningkatnya umur, dan sangat Sebagian besar kolesterol bervariasi Jurnlah tersebut antar individu. tubuh ditemukan dalam bentuk ester. Kolesterol ditransport sebagai lipoprotein dalam plasma. Sebagaian besar pula kolesterol berada dalam LDL, yang dibentuk dari VLDL. Selanjutnya LDL dipecah dalam jaringan ekstra hepatik dan kolesterol diambil. Sebaliknya, kolesterol sebagai ester dari jaringan ekstra hepatik diangkut ke hati oleh HDL. Akhirnya, semua kolesterol yang akan dikeluarkan dari tubuh masuk dulu ke hati, dan disekresikan ke dalam empedu, baik sebagai kolesterol maupun asam kolat dalam garam-garam empedu. Pada mamalia, jaringan -jaringan yang diketahui marnpu mensintesis kolesterol antara lain: hati, kortek adrenal, kulit, usus, testis, lambung, otot, jaringan adiposa dan otak. Sedangkan yang bertanggung jawab atas sintesis kolesterol adalah fiaksi mikrosom dan sitosol sel. Asetil-KoA merupakan sumber seluruh atom karbon pada kolesterol. Biosintesis kolesterol berlangsung dalarn empat tahap. 1) Konversi asam asetat menjadi mevalonat. 2) Konversi mevalonat menjadi squalen. 3) Konversi squalen menjadi lanosterol. 4) Metabolisme lanosterol menjadi kolesterol. Konversi asam asetat menjadi mevalonat. Mevalonat adalah senyawa enam karbon yang merupakan kondensasi dari tiga molekul asetil-KoA. Pembentukan asam mevalonat terlebih dahulu melalui senyawa antara yaitu 3-hidroksi-3- metilglrrtaril-KoA (HMG-KoA). Selanjutnya HMG-KoA akan direduksi oleh NADPH unt uk menghasilkan asam mevalonat. Konversi asam mevalonat menjadi squalen. Pada tahap ini mevalonat difosforilasi oleh ATP untuk membentuk beberapa zat-antara aktif yang terfosforilasi. Dengan cara Tahap dekarboksilasi, terbentuk unit isoprenoid aktif, isopentenilpirofosfat. berikutnya adalah reaksi yang melibatkan kondensasi molekul-molekul isopentenil pirofosfat untuk membentuk farnesil pirofosfat. Dua molekul parnesil pirofosfat berkondensasi pada ujung pirofosfat dalam reaksi yang melibatkan reduksi oleh NADPH dengan mengeluarkan radikal pirofosfat. Senyawa yang dihasilkan adalah squalen. Konversi squalen menjadi lanosterol. Perubahan sterol squalen menjadi lano- melalui zat-antara yang disebut 2,3-oksidosqualen. Proses penutupan atau pelingkaran spontan untuk menjadi lanosterol ini merupakan dan tejadi tanpa peranan enzim. Sebelum penutupan terjadi, gugus metil pada C14 dipindah ke C13 dan yang ada pada C8 ke C 14, dan dihidroksilasi pada C3. Pada tahap ini t e h t u k empat lingkaran yang merupakan inti steroid. Reaksi terakhir melibatkan molekul oksigen, dan reaksi ini dikatalisis oleh sistem hidroksilase mikrosom. Metabolisme lanosterol menjadi kolesterol. Tahapan reaksi ini melibatkan perubahan inti steroid dan rantai samping. Gugus metil pada C14 dioksidasi menjadi C 0 2 untuk membentuk 14-desmetil lanosterol. Begitu juga dua gugus metil lainnya pada C4 dibuang untuk membentuk zimosterol oleh pemindahan ikatan rangkap antara C8 dan C9 ke posisi antara C8 dan C7. Kolesterol dihasilkan setelah ikatan rangkap pada rantai samping direduksi. Pengaturan metabolisme kolesterol secara keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 2. Bila kadar kolesterol dalam tubuh melebihi keadaan normal maka berbagai proses akan terjadi. Kegiatan enzim HMG-KoA rediikiase dalam mikrosom dan HMG-KoA siiiiase dalam sitosol dihambat secara terkoordinasi atau secara sendirisendiri (reaksi 1 dan 2 dihambat). Laju katabolisme kolesterol (reaksi 10) juga akan naik karena adanya rangsangan terhadap kegiatan enzim 7a-hidroksilase. Enzim asil KoA-kolesierol asillratfera.se dirangsang sehingga kolesterol yang berlebih itu diubah oleh asam lemak bebas menjadi esternya, kemudian disimpan dalam sitoplasma (reaksi 8 berjalan ke kanan). Biosintesis reseptor lipoprotein ditahan, sehingga produksi molekul reseptor berkurang dengan demikian pengambilan LDL oleh sel berkurang (reaksi 6 dan 7 dihambat). Makin banyak kolesterol yang diangkut ke dalam membran menyebabkan naiknya keteraliran LDL (reaksi 11, 13 dan 15 dipercepat). 1 HMG-CoA lipoprotein VLOL (luarset) reduktase - (skualin + lanosterol) Sintesis reseptor 4-Mailsterol oksidase 7a-hidroksilase membran (diikat Kolesterol dalam mernbran cel kelulusan rnembm &lam hati : Sintesis VLDL Gambar 2. Pengaturan Metabolisme Kolesterol (Wirahadikusurnah, 1,985). Proses pengeluaran kolesterol melalui pengikatannya dengan VLDL (dari sel hati) atau dengan HDL (dari sel tepi) akan naik ( reaksi 1 1, 12 dan 14 dirangsang). Bila kadar kolesterol rendah, maka kolesterolgenesis akan dirangsang, dan berbagai proses kegiatan akan terjadi. Kolesterol yang rendah akan merangsang kerja enzim HMGKoA reduktase dan HMG-KoA sintase (reaksi 1, 2 dan 3 diransang). Hasil katabolisme kolesterol, 7 P-hidroksikolesterol dan asam empedu akan menghambat kegiatan enzim kolesterol 7 a-hidroksilase melalui mekanisme penghambatan balik, sehingga menurunkan laju reaksi perubahan kolesterol menjadi 7 $-hidroksikolesterol (reaksi 10 terhambat). Reaksi pembentukan ester kolesterol dengan asiltransferase akan berjalan ke kiri sehingga lebih banyak kolesterol yang terbentuk (reaksi 8 bejalan ke kiri). Biosintesis reseptor lipoprotein tidak mengalami penekanan lagi sehingga pemasukan lipoprotein dari luar sel akan naik karena jumlah reseptor dalam membran sel juga naik (reaksi 6 dan 7 dirangsang ). Komponen Serat Menumt Linder (1985) serat adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh manusia) sehingga tidak digolongkan sebagai sumber zat makanan. Yang termasuk dalam kategori serat adalah selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Lignin termasuk serat tetapi bukan karbohidrat. Penggunaan kata serat sebenarnya pemberian nama yang kurang tepat, karena materi tersebut bukanlah berserat, tidak panjang bempa benang, dan ternyata ada yang larut. Demikian halnya penggunaan istilah pencernaan memerlukan definisi lebih lanjut, karena kenyataannya bakteri dan flora merombak serat tersebut, saluran pencernaan dapat terutama-dalam kolon, walaupun dalam jumlah yang terbatas. Serat merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel tumbuhan Ditinjau dari segi nutrisi, serat sulit dicerna oleh enzim pencernaan ternak (Van Soest et al., 1991). Berdasarkan andisis proksimat, serat dapat didefinisikan sebagai bahan organik yang tidak larut dalam NaOH 1.25 % dan H2S04 1.25 %. Banyak penelitian yang telah mengungkapkan bahwa serat hanya dapat dimanfaatkan oleh tubuh melalui proses fennentasi gastrointestinal. Proses tersebut pada ternak monogastrik sangat terbatas, sehingga pakan yang mengandung serat tinggi umumnya sukar dimanfaatkan. Penentuan serat kasar (crudefiber) dengan metode AOAC (1975) sebelumnya sering digunakan, namun kelemahan metode tersebut adalah banyak komponen serat yang terlewatkan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, Van Soest dan Wine (1967) merintis suatu sistem analisis yang lebih relevan untuk menilai kualitas bahan makanan yang berasal dari hijam. Dalam sistem tersebut hijauan dibagi atas beberapa fraksi berdasarkan kelarutmnya dalam deterjen. Secara garis besar hijauan dibagi menjadi isi dan dinding sel. Isi sel terbagi menjadi fraksi protein, karbohidrat, mineral dan lemak. Dinding sel terdiri atas tiga komponen utama yaitu selulosa, - hemiselulosa dan lignin. Seluiosa merupakan komponen yang paling banyak (50 80%) dalam dinding sel tanaman. Hemiselulosa menempati lo%, sedangkan lignin antara 10 50%. Ketiga komponen serat tersebut dapat ditentukan dengan analisis neutral detergent fiber (NDF). Sedangkan untuk menentukan selulosa dan lignin digunakan analisis acid detergetitfiber (ADF). Selisih antara nilai NDF atau serat deterjen netral (SDN) dan ADF atau serat deterjen asam (SDA) adalah kandungan hemiselulosa dari bahan tersebut (Gambar 3). Selain bahan organik, dinding sel juga mengandung silika (SiOz) . Dalam ilmu pangan serat sering dibedakan atas kelarutannya dalam air, sehingga dikenal serat yang tidak larut dan yang larut dalam air. Serat yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah komponen nonstruktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit gandum, bijibijian, sayur mayur dan kacang-kacangan. Serat yang larut dalam air biasanya berubah menjadi lendir dalam air. Serat ini berupa getah dalam biji-bijian, pektin dalam buah terutama buah jeruk dan ape1 (Harianto, 1996). Bahan Makanan Nabati ' I Deterjen Netral Serat Deterjen Netral 'i" Det 'en asarn [~ignoselulosa(tidak larutl) ( 1 Deterjen asam i Selulosa (larut) (1Lignin (tidak larut) Pengabuan ) Gambar 3 . Skema Komponen Bahan Makanan Nabati (Van Soest dan Wine 1967) Ada banyak faktor yang mempengaruhi kandungan serat tanaman antara lain: spesies tanaman, tingkat kematangan (kedewasaan), bagian dari tanaman dan periakuan yang diperoleh dari tanaman tersebut. Pada dinding sel tanaman tingkat tinggi, selulosa mentpakan komponen utama, pada alga silan dan mannan menjadi kerangka polisakarida utama, sedangkan pada fungi (jamur) banyak mengandung kitin. Komponen serat makanan terdiri atas dinding sel struktural dan substansi nonstruktural. Bagian yang struktural mengandung poli-sakarida dan komponen polimer nonkarbohidrat. Polisakarida tersebut meliputi selulosa, hemiselulosa dan substansi pektin, sedangkan yang nonkarbohidrat adalah lignin. Komponen nonstruktural meliputi: pektin, gum, musilase dan polisakarida yang termodifikasi. Komponen-komponen di atas sangat dipengaruhi oleh tingkat kedewasaan tanaman, variasi individu dan metode analisis yang digunakan. Penentuan serat dengan metode NDF mendapatkan hail yang akurasinya 2 sampai 4 kali lebih baik dibandingkan dengan metode analisis serat kasar. Itulah sebabnya metode analisis serat kasar model lama telah ditinggalkan. Dari sekian banyak komponen serat, lignin yang paling sulit mengalami fermentasi, baik secara in vitro maupun in vivo (Fahey, 1979). Lignin dalam serat-serat alami (tlatzcralfihers) sering berikatan dengan selulosa membentuk senyawa komplek lignoselulosa. Namun lignin sendiri bukanlah karbohidrat. Menurut McDonald, Edwards dan Greenhalgh (1 988) lignin sebenarnya senyawa polimer yang merupakan turunan dari tiga penilpropanoid yaitu : komaril alkohol, koniferil alkohol dan sinapil alkohol. Pada molekul (ignin penilpropanoid membentuk ikatan silang yang sangat komplek sehingga sangat sulit dicema dalam saluran pencernaan. Hemiselulosa dan selulosa dapat didegradasi oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh mikroba terutama yang ada dalam rumen ternak berlambung ganda. Sekarn Padi sebagai Surnber Serat . Sekam padi merupakan salah satu limbah pertanian yang sangat melimpah di Indonesia dan pemanfaatannya masih sangat terbatas. Pada proses penggilingan padi akan dihasilkan sekitar 17% sekam padi (Devendra, 1981). Selama ini sekam padi banyak digunakan sebagai litter peternakan ayam pedaging, atau untuk bahan bakar pada usaha batu bata. Walaupun dianggap tidak penting dari sudut pakan ternak, sekam padi sebenarnya masih mempunyai potensi yang belum diungkap. Berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui sekam padi mengandung: bahan kering 86%, serat kasar 43.3%, bahan ekstrak bebas nitrogen 31.7%, abu 19.7%, protein kasar 3.8%, ekstrak eter 1.5%, fosfor 0.15% dan kalsium 0.10% (Hartadi, Reksohadiprodjo dan Tillman, 1990). Lubis (1992) melaporkan sekarn padi mengandung : bahan kering 87.5%, serat kasar 35%, bahan ekstrak bebas nitrogen 29.2%, abu 17.5%, protein 3.1% dan lemak 2.7%. Kecernaan secara keseluruhan sangat rendah bahkan kadar protein yang dapat dicerna hanya 0.3%. Sementara menurut Jackson (1977), sekam padi (paddy hull) mengandung bahan kering 86% serta dinding sel tanaman yang terdiri atas: selulosa 39%, hemiselulosa 14%, dan lignin 11%. Sebagian negara-negara berkembang sudah mencoba sekarn padi untuk makanan ternak terutama pada sapi dan kerbau. Penggunaan sekam padi pada ternak nonruminansia seperti ayam dan babi biasanya dilakukan dengan cara menghaluskan sekam padi terlebih dahulu, dan fbngsinya lebih diarahkan ke pengenceran bahan pakan yang berenergi tinggi. Di India sekam padi digunakan sebagai bahan pencampur dedak padi yang diberikan pada anak sapi persilangan Hariana dan Jersey umur 13-15 bulan (Devendra, 1981). Dari hasil pengarnatan didapatkan sapi mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 88.4, 65.8 dan 42.5% pada penggantian dedak padi masingmasing 33, 66 dan 100% dengan sekam padi, jika dibandingkan dengan kontrol. Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan nilai cerna sekam padi, misalnya dengan meningkatkan kandungan protein melalui amoniasi, delignifikasi dan desilifikasi. Amoniasi sekam padi sebanyak 6% dalarn ransum penggemukan telah mampu meningkatkan persentase karkas sapi. Di Malaysia sekam padi telah dicoba untuk makanan domba pada ransum dasar molases yang iso-nitrogen. Sekam padi yang ditambahkan berturut-turut: 5, 10, 15, 20, 25 dan 30%. Dilaporkan bahwa koefisien cerna dan retensi nitrogen terbaik terjadi pada penarnbahan sekam padi 5% (Tabel 1). Konsumsi digestible energy (DE) harian dari enam taraf perlakuan yang diberikan berturut-turut: 1.428, 0.993, 1.105, 0.942,0.83 1 and 0.696 Mkal. Tabel 1. Kecernaan Komponen Utama Ransum Domba yang Diberi Beberapa Taraf Sekam Padi (Devendra , 1981) Taraf sekam padi (96) Komponen utama ransum Bahan kering Bahan organik Protein kasar Serat kasar Ekstrak eter Abu Bahan ekstrak bebas N Energi N teretensi 5 10 15 20 25 30 Kecernaan abu menurun secara nyata disebabkan oleh kandungan silika dalam sekam padi yang sangat sulit dicerna. Rendahnya kecernaan komponen di atas memberi gambaran bahwa sebagian besar sekam padi akan dieskresikan dalam feses. Dari data di atas dapat disimpulkan, penggunaan sekam padi yang terbaik adalah pada taraf 5%. Temuan ini didukung oleh hasil penelitian Tillman et al. (1986) yang membandingkan pemberian sekam padi 5 dan 20% pada anak sapi. Kecernaan energi dan persentase karkas yang terbaik diperoleh pada taraf 5%. Penggunaan sekam padi untuk ternak ruminansia lebih memungkinkan dengan adanya mikroba dalam rumen. Kecernaannya jauh lebih baik jika sekam padi tersebut digiling. Penggunaan sekam padi akan lebih bermanfaat pada ransum padat energi. Toleransi Ternak Babi terhadap Serat Ternak babi tidak mempunyai tempat khusus dalam saluran pencernmnnya untuk aktivitas mikroorganisme atau proses ferrnentasi yang intensif seperti pada ternak rurninansia. Kapasitas larnbungnya sangat kecil dibandingkan ternak ruminansia ataupun kuda. Oleh karena itu, kemampuan untuk mencerna serat sangat rendah, demikian juga kecernaan zat-zat makanan lainnya akan menurun bila kandungan serat kasar dalam ransum meningkat. Pada tabel kebutuhan zat-zat makanan yang direkomendasikan oleh NRC (1 988) tidak tercantum kandungan serat yang disyaratkan untuk babi. Demikian juga hasil penelitian yang dilaporkan para peneliti sangat beragam dalam ha1 kandungan serat optimum dalam ransum. Penelitian di Stasiun Wisconsin, Amerika yang disitir oleh Cunha (1977) dianjurkan kandungan serat 6 sampai 8% untuk babi yang sedang tumbuh dan 10 sampai 12% untuk babi induk. Pertumbuhan babi lebih bagus jika sumber serat tersebut digiling sebelum dicampurkan dalam ransum. Pembatasan pemberian makanan pada ternak babi lazim dilakukan pada akhir periode penggemukan untuk mendapatkan kualitas karkas yang lebih baik. Pembatasan tersebut bertujuan untuk mengurangi deposit lemak, dengan demikian porsi lemak pada karkas menurun. Pemberian serat dengan taraf yang lebih tinggi pada akhir periode penggemukan merupakan salah satu cara untuk pembatasan makanan, yang berarti juga menghasilkan karkas dengan daging yang lebih baik dan sedikit lemak. Masih menurut laporan Cunha (1977) jika jelai (barley) dalam ransum babi diganti sebanyak 25% dengan dedak gandum ternyata menghasilkan karkas berkualitas prima tanpa menekan pertumbuhan maupun konsumsi ransum. Kandungan serat pada dedak jelai lebih dari 20%. Penurunan kandungan lemak tubuh babi induk akibat pemberian serat yang lebih tinggi dilaporkan juga memperbaiki reproduksi. Secara umum pemberian serat yang tinggi akan menurunkan kecentaan ransum. Bergner et a!. (1985) melaporkan, kandungan serat 12.1% dari bahan kering ransum menurunkan kecernaan semua asam-asam aminonya. Demikian juga yang dilaporkan oleh Hartog et a1.(1985) pada babi yang beratnya 40 kg diberi ransum dengan kadar serat 9.2%, kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum lebih rendah dibandingkan babi yang mendapat serat 5.2%. Oleh karena itulah Campbell (1987) menganjurkan agar kandungan serat dalam ransum jangan lebih dari 5% untuk babi yang bobot badannya 20 - 50 kg . Jika energi metabolis yang dikonsumsi mencukupi kebutuhan tubuh, penggunaan serat yang sumbernya adalah dedak padi giling, dedak gandum, dan kulit biji kapas tidak menurunkan laju pertumbuhan babi (Cdvert, 1991). Memperkecil partikel serat tersebut akan meinbantu meningkatkan kecernaannya. Penggunaan serat tidak lebih dari 5% masih dapat dianjurkan dan tidak ber- pengaruh buruk terhadap kinerja babi. Taraf serat dibandingkan sumbernya sendiri. Serat pas.~agemeningkat Kandungan serat 22 lebih besar pengaruhnya yang tinggi akan menyebabkan rate of - 30% mempercepat waktu transit makanan dalam saluran pencernaan babi, akibatnya kecernaan zat-zat makanan menurun. Hal yang belum banyak diketahui adalah bagaimana serat itu sebenarnya mampu dicerna (walaupun tidak semua) dalam sekum dan usus besar babi dengan bantuan fermentasi mikroorganisme. Usus besar volumenya antara 35 seluruh volume saluran pencemaan. Pada usus besar terdapat - 45% dari mikroba yang melakukan aktivitas fermentasi. Hasil fermentasi tersebut adalah asam-asam lemak yang mudah menguap. Asam-- lemak tersebut memberikan kontribusi antara - 5 28% kebutuhan ME ternak babi (Farre1 dan Johnson, 1972). Kemampuan babi mencerna serat sangat ditentukan oleh sumber serat, taraf serat dalam ransum, taraf zat nutrisi lain, umur dan berat ternak, karakter komponen zat nutrisi di luar serat dalam ransum. Selain itu komposisi serat sendiri juga berpengaruh pada kecernaan. Bahan ransum yang proporsi lignin dalam seratnya tinggi lebih sulit dicerna (Zhao et af.1995). Walaupun babi tidak mampu mencema serat seperti rurninansia, namun penggunaan serat dalam bentuk hijauan segar banyak memberi manfaat. Hijauan yang baik dan segar mengandung protein, vitamin dan meneral yang cukup. Hijauan mengandung faktor-faktor reproduksi (belum teridentifikasi) yang penting untuk memperbaiki fertilitas induk dan daya hidup anak babi yang lahir (Parakkasi, 1983). Di samping itu penggunaan serat dapat menekan harga ransum. Jurnlah hijauan yang dapat diberikan pada babi ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Hijauan yang Dapat Diberikan pada Berbagai Golongan Ternak Babi (Parakkasi, 1983). Golongan ternak Sedang tumbuh dan digemukkan Sedang menyusui Sedang bunting -Jumlah pemberian (% dari konsentrat) Kalau serat itu sumbernya adalah hijauan segar sebenarnya dapat digunakan untuk semua golongan ternak babi, baik yang sedang tumbuh atau digemukkan, bunting, maupun yang menyusui. Tetapi yang paling banyak dapat menggunakan hijauan adalah babi yang sedang bunting. Pemberian hijauan segar yang berlebihan akan berdampak kurang baik karena sifatnya yang kamba akan rnembatasi konsentrat. Kadar airnya yang konsumsi tinggi a h mengurangi bahan kering yang terkonsumsi, ternak babi sudah merasa kenyang, namun sebenarnya zat-zat makanan yang diperlukan belum cukup. Pengaruh Serat pada Kecernaan Zat Makanan Men@tung kecernaan zat-zat makanan dari ransum yiing mengandung serat sebenarnya sangatlah sulit. Hal ini disebabkan oleh beragamnya sumber dan sistem analisa serat itu sendiri. Kecernaan karbohidrat secara umum menurun dengan meningkatnya kandungan serat dalarn ransum, namun akan meningkat sejalan dengan meningkatnya umur babi (Low, 1985). Pengaruh serat pada kecernaan zat-zat makanan diperlihatkan pada Tabel 3. Zebrowska dan Low (1987) telah meneliti pengaruh serat dalam ransum babi pada sekresi pankreas. Penelitiannya menggunakan empat taraf serat masing-masing 2.05, 3.90, 4.08 dan 6.37%. Serat yang digunakan bersumber dari dedak gandum dan selulosa. Dilaporkan, volume sekresi cairan pankreas meningkat secara nyata selama 24 jam pengamatan dengan meningkatnya taraf serat dalam ransum. Babi yang diberi ransum dengan serat 2.05%, volume sekresi cairan pankreasnya 2556 mV24 jam, sedangkan yang diberi ransum dengan kandungan serat 6.37% adalah 4560 m1124jam. Dijelaskan bahwa serat yang lebih banyak akan merangsang keluarnya getah lambung terutama sekretin. Sekretin ini setelah masuk ke dalam usus halus akan menstimulir sekresi elektrolit dan air. Tabel 3. Pengaruh Serat pada Kecernaan Zat-zat Makanan (Low 1985) - Serat kasar (gkg ransum) Zat makanan Berat babi 50 100 170 225 0.85 0.80 0.72 20 0.62 0.53 0.55 90 0.64 0.61 0.65 225 0.65 0.61 0.63 20 0.42 0.30 0.25 90 0.49 0.44 0.32 225 0.39 0.47 0.45 20 0.81 0.70 0.56 90 0.83 0.75 0.61 Nitrogen Lemak Serat Energi bruto Bergner at a1.(1985) meneliti penambahan serat pada ransum babi jantan yang bobot badannya antara 55 - 56 kg dengan taraf berturut-turut 3.0, 5.3, 10.0 dan 12.1%. Dilaporkan, tejadi penurunan kecernaan protein dan asam-asam amino dengan meningkatnya kandungan serat. Kecernaan lisin 9 1.1% pada serat 3%, turun menjadi 7 1.4% pada kandungan serat 12.1%. Meningkatnya Candungan serat dalam ransum akan merangsang sekresi asam-asam empedu dan ini akan berkaitan dengan kecernaan lemak. Kandungan asam empedu dalam feses dapat dijadikan indikator mengenai laju sekresi asam tersebut. Pada tikus yang diberi getah guar (gilar gum), kandungan asam empedu dalam fesesnya paling tinggi jika dibandingkan dengan tikus yang diberi selulosa, dedak gandum dan serat gula bit (Overton et al., 1994). Gerak laju digesta (isi saluran pencernaan) babi yang diberi ransum berserat tinggi Iebih cepat dibanclingkan dengan serat rendah (Hartog et a]., 1985). Laju gerak digesta tersebut meningkat karena serat dalam saluran pencernaan menyerap air sehingga konsistensi feses menjadi lembek. Karena geraknya cepat, maka kesempatan untuk dicerna dalam saluran pencernaan Iebih singkat, dan akibatnya kecemaan zat nutrisi yang terkandung juga lebih rendah. Koefisien kecernaan zat-zat makanan babi yang diberi serat ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Koefisien Kecernaan Zat-zat Makanan Babi yang Ransum Berserat (Hartog et al. 1 985) Ileum Zat - zat makanan Diberi Feses Kadar serat (% ) Bahan kering 67.4" 58.6b 83.7" 74.7b Bahan organik 70.7' 62.ob 85.9" 76.5b Protein kasar 72.9" 68.3b 85.9" 78.5b Lemak kasar 61.6" 58.8b 60.4" 49.6b Serat kasar 10.5" 5.26b 41.6" 28.2b Bahan ekstbebas N 75.8" 69.8b 91.3" 85.3b menumnkan konsentrasi digestible energy (DE) dan Penambahan serat metabolism energy (ME) dalarn ransum. Jika kandungan serat melebihi dalam ransum babi 10 atau 15%, kemungkinan akan menurunkan konsumsi akibat ransum menjadi lebih h i @ , atau citarasa ransum juga menurun. Kecernaan lemak menumn antara 1.3 sampai 1.5% setiap penambahan serat 1% dalam ransum. Kenaikan serat 1% ,menyebabkan penurunan kecernm energi 3.5%. Peningkatan kandungan serat dalam ransum secara linier menurunkan kemampuan usus halus mencerna bahan kering, nitrogen (N), serat diterjen netra (SDN) dan abu (Schulsze, 1994). Rendahnya kecernaan N, diperkuat dengan tingginya total pengeluaran N dan N endogen. Tingginya N endogenus akibat tingginya N yang diekskresikan ke usus dan rendahnya penyerapan kembali. Ditemukan hanya 20% dari SDN yang dikonsumsi tercerna pada usus halus. Sistem kanula telah digunakan oleh Graham et a/. (1985) untuk meneliti kecernaan zat makanan pada babi yang diberi tiga jenis serat. Tiga jenis serat yang digunakan adalah: dedak gandum, polong kacang hijau dan arnpas gula bit. Ketiga ' jenis serat tersebut masing-masing digunakan 33,3% dari ransum basal. Dedak gandum dan arnpas gula bit sangat kecil pengaruhnya pada kecernaan protein kasar dan lemak kasar. Polong kacang hijau justru meningkatkan kecernaan protein kasar. Hal ini menguatkan dugagn mereka bahwa polong kacang hijau masih mengandung protein yang dapat dimanfaatkan oleh babi. Arnpas gula bit menurunkan kecernaan lemak pada usus halus. Pada dedak gandum dan ampas gula bit, kecernaan pati terlarut sekitar 95%. Rendahnya kecernaan pati terlarut pada babi yang mendapat polong kacang hijau karena memang kesediaan zat tersebut rendah. Kemampuan babi mencerna serat juga sangat didukung oleh adanya mikroba dalam sekum. Daya cerna serat tersebut berkisar antara 10 - 90%. Variasi tersebut mungkin disebabkan oleh variasi sumber serat dan perubahan populasi mikroorganisme. Serat yang masuk ke dalam sekum mengalami proses fermentasi dan menghasilkan asam lemak atsiri (ALA). Pada babi yang normal biasanya didapatkan mikroorganisme antara 10' - l og/gram isi sekum. Jika babi diberikan makanan berserat tinggi, maka jenis mikroorganisme yang dominan hampir sama dengan yang terdapat dalam rumen antara lain Bacteroides succirmgenes dan Ruminococczis flavefaciefis (Varel et al. 1987). Komposisi rata-rata asam lemak atsiri dalam sekum babi terdiri atas asam asetat 62%, propionat 28% dan butirat 10%. Pengaruh Serat pada Kinerja Babi Kalau dilihat dalam tabel komposisi zat-zat makanan, hampir sebagian besar bahan ransum ternak babi mengandung selulosa, hanya saja persentasenya bervariasi. Demikian juga toleransi tern* babi terhadap kandungan serat ransum sangat terbatas maka ha1 tersebut akan berpenganth pada performance (kinerja) babi tersebut. Jin et al. (1994) telah membandingkan kdompok babi yang diberi ransum tanpa serat (OYo) dengan kelompok babi yang dl'beri ransum berserat tinggi (10%). Rataan berat awal babi yang digunakan adalah 14.3 kg. Penelitian dilakukan selama 14 hari dan hasilnya seperti tercantum pada Tabel 5. Selain data yang disajikan pada Tabel 5 juga diamati panjang dan lebar villivilli usus halus. Villi-villi usus halus mempunyai cabang-cabang lagi yang disebut mikrovilli atau brush-border memegang peranan penting dalarn proses penyerapan zat makanan (Sihombing, 1997). Dilaporkan oleh Jin et al. (1994) bahwa perlakuan serat tidak berpengaruh nyata pada panjang villi-villi usus halus, namun kandungan serat yang tinggi mengakibatkan pelebaran villi-villi usus halus. Kemudian disimpulkan bahwa ransum dengan serat tinggi pada babi yang sedang tumbuh mengakibatkan perubahan morfologi dan laju pergantian sel-sel mukosa. Pada tikus peningkatan kandungan serat dalam ransum juga menurunkan kecernaan protein, bahan kering dan energi ransum yang selanjutnya akan menurunkan pertambahan berat badan harian dari - 3 72 gram rnenjadi 3 14 gram (Zhao el nl., 1995). Tikus yang diberi empat macam serat (selulosa, dedak gandum, getah guar dan serat gula bit) selama 28 hari, pertambahan berat badannya paling tinggi (180 gram) terjadi pada yang diberi selulosa dan rataan konsumsi ransurn per hari berturut-turut: 39.70, 37.40, 37.90 dan 40 gram (Overton el al.,1994). Tabel 5. Pengaruh Serat Makanan pada Kinerja Babi yang Sedang Tumbuh (Jin el al., 1994). Tanpa serat Peubah - - - - - - Serat tinggi SEM --- Berat awal, kg 14.30 14.20 1.22 Berat akhir, kg 24.70 22.70 2.00 Rataan Pbb./hari, kg 0.74 0.61 0.04 Konsumsi ransudhari, kg 1.35 1.13 0.12 Pbbkonsumsi ransurnlhari 0.55 0.54 0.03 Bobot tubuh tanpa jeroan, kg 18.10 16.40 1.50 Total berat jeroan, kg 6.70 6.30 0.60 Pbb = pertambahan bobot badan Rumput Laut Sabagai Salah Satu Sumber Zat Hypokolesterolemik. Rumput laut merupakan istilah yang diterjemahkan dari kata seaweed padahal rumput laut sebenarnya adalah alga laut berzthik dan sama sekali tidak tepat kalau digolongkan grcrmirlae (rumput-rumputan). Rumput laut tergolong tanaman tingkat rendah dengan struktur botani yang tidak jeias antara akar, batang dan daun Sepintas memang kelihatan ada akar ataupun batang, namun semua itu sebenarnya talus. Sekarang rumput laut dikaji dalam satu kelompok ilmu tersendiri yakni Algology atau Phycology yaitu ilmu yang mempelajari hal-hal-yang berhubungan dengan alga. Kegunaan rumput laut pada mulanya tidak banyak diketahui. Orang Yunani dan Romawi kunolah yang pertama mengetahui bahwa rumput laut itu dapat dimakan. Mereka memanfaatkan sebagai bekal pada saat mengarungi lautan. Orang Cina juga menganggap rumput laut sebagai makanan istimewa sehingga cukup layak dipersembah-kan kepada kaisar. Di Jepang kegemaran mengkonsumsi rumput laut sudah diketahui sejak dulu. Mereka menyebutnya hijiki, nori, wakane, ararne, tezrgusa, h b u dan lain sebagainya. Konon makanan tersebut menyebabkan mereka awet muda (Winarno, 1990). Indonesia dengan perairan 70 persen dari luas wilayah merupakan potensi yang luar biasa untuk usaha budidaya rumput laut. Penduduk di sekitar pantai telah lama memanfaatkan rumput laut sebagai makanan tambahan, baik dalam bentuk mentah (lalapan) maupun yang sudah dimasak. Kebiasaan ini diduga menyebabkan rendahnya kadar kolesterol mereka. Rumput laut telah menjadi komoditas ekspor yang potensial. Belakangan ini banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan makanan. Beberapa jenis rumput laut telah digunakan sejak dulu sebagai makanan ternak domba, kambing dan lembu di Irlandia dan Scotlandia. Hasil analisis proksimat yang dilakukan oleh Pond dan Maner yang dikutip oleh Sutji (1985), rumput laut mengandung ME 1614 kkal/kg, protein kasar 13.86%, serat kasar 5.61%, ekstrak ester 0.28%, bahan ekstrak bebas N 38.52%, kalsium 1.96% dan fosfor 0.36%. Hasil analisis di Laboratorium Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, rumput laut Gracilaria spp rnengandung agar 42% (dikerjakan menurut prosedur Winarno, 1990). Dihubungkan dengan sifat hipokolesterolernik ada beberapa komponen yang dikandung oleh rumput laut di antaranya: Algin . Algin sering juga disebut asam alginat yaitu suatu senyawa yang berbentuk getah selaput (memhrat~mrrciloge). Secara kimia merupakan polimer murni dari asam uronat yang tersusun dalam bentuk rantai linier yang panjang. Algin dalarn bentuk garam disebut alginat. Garam alginat ini ada yang larut dalam air dan ada yang tidak larut dalam air. Alginat yang larut dalam air misalnya: sodium alginat dan potasium alginat, sedangkan yang tidak larut dalam air yaitu kalsium alginat. Struktur kirnia asam alginat ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4. StruLtur Asam Alginat (Aslan, 1995) Agar-agar. Agar-agar merupakan ester dari gahktm liniet yang banyak digunakan sebagai stabilisator dab pembuatan makanan Agar-agar termasuk dalarn komponen karbohidrat, struktur k h b y a dituyukkan pa& Gainbar 5. Rumput Iaut dari spesies Gracilaria yang tumbuh di Indonesia mengandung agar berkisar antara 16 hingga 45%. As- • Garnbar 5. Struktur Agar-agar (Aslan, 1995) Karagenan. Karagenan ada dua bentuk yaitu kappa karagenan dan iota karagenan (Gambar 6). Kappa karagenan larut dalarn air panas, sedangkan iota karagenan larut dalam air dingin. Di alam karagenan umumnya membentuk senyawa garam bersama sodium, kalsium dan potasium. Karagenan dihasidkan oleh rumput laut dari kelompok Rhodophyceae. D a b dunia industri hngsinya sarna dengan agar-agar ataupun algin. ~ a r n b h6. Struktur Karagenan (Aslan, 1995) Aliginat, agar dan karagenan sebenarnya tidak lain adalah polisakarida mudah larut yang telah banyak digunakan sebagai bahan perekat pakan ikan. Menurut Heslet (1996) mekanisme kerja serat yang larut tersebut dalarn penurunan kadar kolesterol diterangkan sebagai berikut. Serat larut tersebut dalam usus halus mengikat asam empedu kemudian membawa keluar bersama feses, dengan demikian hati harus memproduksi asam empedu yang lebih banyak untuk mengganti asam empedu yang hilang. Asam empedu diproduksi dari kolesterol, dengan adanya serat maka akan semakin banyak kolesterol yang hilang bersama asam empedu. Hilangnya kolesterol melalui asam empedu merupakan faktor yang sangat menentukan pada akumulasi kolesterol dalam hati (Lakshmanan dan Veech, 1977). Penelitian pada tikus yang dilakukan oleh Alan et al. (1976) mendapatkan bahwa penambahan agar sebanyak 7% dalam ransumnya menurunkan kadar kolesterol dalam serum. Pada tikus kontrol (tanpa tambahan serat kasar) kadar kolesterol serum 78 mg/100 ml, sedangkan yang diberi 7% agar adalah 72 mg/100ml. Demikian juga yang dilaporkan Kelley dan Tsai (1978) pada tikus yang ditambahkan agar 5% dalam ransumnya, kandungan kdesterol dalam serumnya menurun. Serum tikus yang berperan sebagai kontrd mengandung kolesterol 1 10 mg/dl, sedangkan yang diberi perlakuan agar 5% kdesterd serumnya 108 mg/dl. Dijelaskan bahwa karbohidrat - komplek kperti pektin dsn agar menghambat penyerapan kolesterol karena kemampuannya mengikat kdesterol ddam saluran pencemaan. Melihat struktur kimia agar di atas maka kemungkinan terjadi ikatan kovalen antara gugus glikosidis yang aktif dari agar tersebut dengan gugus hidroksil aktif kolesterol membentuk ikatan P(1-3). Reaksinya adalah reaksi estedikasi seperti reaksi antara kolesterol dengan asam lemak (Gambar 7). Mekanisme lain yang mungkin adalah mekanisme yang menyerupai mekanisme pada pektin seperti yang dilaporkan oleh Nagyvary dalam Inglett dan Falkehag (1 952). Dijelaskan bahwa polisakarida terlarut seperti alginat dan pektin memiliki kernampuan untuk mengikat berbagai anion termasuk asam lemak atau asam empedu, melalui pembentukan kompleks dengan kation trivalen aluminium. Misel bemuatan negatif &&at melalui jembatan aluminium terhadap molekul pektat atau agar (Gambar 8). Gambar 7. Ikatan Kovalen antara Agar dan Kolesterol Gambar 8. Struktur Pengikatan Asam Empedu dan Pektin atau Agar (Nagyvaqr dalam Inglett dan Falkehag, 1952) Ventura et al. (1994) meneliti rumput laut (Ulva rigida) pada ransum ayam dengan taraf 0, 10, 20 dan 3Ph. Dilaporkan bahwa pengaruh rumput laut lebih jelek dari ransum kontrol. Hasil yang h a n g baik tersebut dilihat dari konsurnsi ransum, pertambahan berat badan per hari dan efisiensi. Ayam yang menerima rarwm kontrol mengkonsumsi ransum 272 gram, sedangkan ayam yang meneiima perlakuan nunput laut konsumsinya berturut-turut 268,261 dan 258 gram. Pertambahan bobot badannya masing-masing 102,90,85 dan 77 gram per hari . Pengaruh Serat pada Lemak dan Kolesterol Tubuh Serat yang tinggi dalarn ransum akan meningkatkan ekskresi lemak melalui feses, tennasuk juga kolesterol. Hal ini terjadi karena serat tersebut akan mehsak misel-misel dalam usus (Bordwell dan Erdman, 1988). Serat yang mempunyG sifat b u l b (kamba) sangat efektif dalam mengurangi karsinogenesis pada hewan dan juga paling efektif dalam mengencerkan empedu dan derivatnya, sehingga penyerapan lemak berkurang. Bagiada (1986), rumput laut meneliti pengaruh substitusi ransum tradisional dengan 7% pada kadar kolesterol serum dan daging babi Bali. Dilaporkan, kelompok babi yang mendapat substitusi rumput laut, rataan kadar kolesterol serumnya adalah 96.15 mg/100 ml, sedangkan babi yang tidak mendapat perlakuan rumput laut 103 mgf100 ml. Walaupun kadar kolesterol pada kelompok yang diberi rumput laut lebih rendah, namun perbedaan tersebut secara statistik tidak nyata (PO. 05). Kadar kolesterol dalam daging pada kelompok kontrol 60.90 mg%, sedangkan kelompok babi yang diberi rumput laut kadar kolesterolnya 56.08 mg%. Rendahnya kadar kolesterol serum dan daging pada kelompok yang diberi substitusi rumput laut, diduga karena rumput laut yang mengandung asam amino triptopan dan serat cukup tinggi itu mampu mengaktifkan bakteri pada usus bagian bawah yang dapat mengubah kolesterol menjadi koprostanol. Selanjutnya koprostanol dikeluarkan bersama feses. Dengan demikian kolesterol yang terserap lewat sistem enterohepatik akan berkurang dan hiperkolesterolemi dapat dikurangi. Sementara Endang (1986) melaporkan, jika ransum tradisional babi Bali di substitusi dengan rumput laut 7%, akan menurunkan kandungan trigliserida serum. Hasil penelitian ini memberi harapan untuk menghasilkan daging berkolesterol rendah. Pada babi yang tidak mendapat perlakuan rumput laut kadar trigliserida serum rata-rata 109.83 mg/100 ml dan protein serum rata-rata 3.40 g%. Sedangkan babi yang mendapat substitusi rumput laut kadar trigliserida serumnya rata-rata 67, 167 mg/100 rnl dan protein serum rata-rata 4.18 g%. Ransum tradisional yang diberikan terdiri atas: batang pisang 7%, dedak padi 90% dan bunglul kelapa 3%. Ransum percobaan adalah ransum tradisional yang disubstitusi dengan rumput laut (Gracilaria spp) 7%. Menurut Hallgren (1981) pengaruh fisiologi pemberian serat adalah: meningkatkan berat dan volume feses, menurunkan transit time, mengikat asam empedu, menurunkan kolesterol darah dan penyerapan mineral. Penelitian pada manusia juga menunjukkan terjadinya penurunan kolesterol plasma akibat pengaruh serat makman. Hunninghake et al. (1994) telah melakukan penelitian pada sejumlah pasiennya. kolesterolemia setelah di'beri serat Pasien-pasien yang menderita hiper- sebanyak 20 gram/hari ternyata total kolesterol, - LDL, serta rasio LDL HDL plasmanya mengalami penurunan masing-masing 6, 8 dan 9%. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan serat dalarn makanan merupakan terapi konvensional bagi penderita hiperkolesterolemia. Demikian juga yang dilaporkan oleh Langkdde et al. (1993) bahwa penambahan serat yang bersumber dari ampas gula bit sebanyak 32 ghari pada menu pasiennya telah meningkatkan ekskresi kolesterol sampai 52% dibandingkan menu basal. Akibatnya kolesterol dalam serum menurun. Penelitian mengenai pengaruh pektin yang berasal dari labu siam dalam menurunkan kolesterol serum tikus telah dilakukan oleh Sajuthi et al. (1995). Dilaporkan bahwa pemberian pektii 5% pada ransum tikus secara nyata menurunkan kandungan kolesterol plasma. Kadar kolesterol plasma tikus kontrol adalah 71.76 4.09 mg/100 ml, sedangkan yang diberi pektin 63.37 + 2.49 mg/100 rnl. + Pektin dalam saluran pencemaan membentuk gel yang dapat mengikat senyawa-senyawa organik, anion-anion termasuk asarn lemak dan empedu, sehingga penyerapannya menurun. Mekanisme ini diduga menyebabkan menurunnya kolesterol dalam plasma. Naiknya kolesterol darah lebih banyak disebabkan oleh peningkatan pembentukannya dalam hati yang dalam keadaan normal mencapai 500 mg per hari (Hartono, 1996). Penyebab lain adalah meningkatnya penyerapan kolesterol kembali lewat siklus enterohepatik dari dalam usus halus. Apabila hati dapat mengurangi arus pembentukan kolesterol yang pada gdirannya diekskresikan lewat getah empedu ke dalam usus, sementara penyerapan kolesterol dalam usus dapat dihambat dengan pengikatan sebagian getah empedu, maka penyerapan kembali kolesterol di dalam usus akan berkurang sehingga kadarnya dalam darah dapat menurun. Berdasarkan kenyataan ini, beberapa pabrik obat terkenal telah membuat kolestipol dan kolestiramin. Kerja obat ini mengdcat kolesterol di dalam usus sehingga terbentuk senyawa komplek yang tidak bisa diserap usus dan akan dikeluarkan bersama-sama feses. Keja serat kasar dalam menghalangi penyerapan lemak semakin jelas lagi pada jenis serat yang larut (soluble dietaryfiber). Serat ini mempunyai sifat yang kental seperti pada agar-agar yang dihasilkan oleh rumput laut. Serat kasar dari dimding sel tanaman dalam usus akan menyerap banyak air. Serat kasar yang banyak mengandung air ini akan mengikat asam empedu yang sangat diperlukan dalam penyerapan lemak dalam usus. Selain itu propionat sebagai hasil fermentasi serat dalam usus besar mempunyai kemampuan untuk menghambat sintesis kolesterol dalam hati dengan jalan menekan aktivitas enzim 3-hydrohi 3-metil glutaril CoA reduktase (Harianto, 1996). Enzim tersebut sangat penting dalam sintesis kolesterol dalam hati. Jadi serat makanan yang mudah larut akan mengikat bukan saja kolesterol yang berasal dari makanan, tetapi juga kolesterol hasil produksi tubuh yang masuk ke dalam usus lewat getah empedu. Mekanisme kej a serat dalam metabolisme lemak darah belum diketahui secara jelas. Menurunnya kadar kolesterol darah diduga disebabkan oleh beberapa sebab antara lain: penyerapan asarn empedu dalam usus halus menurun akibat terikat oleh serat makanan, terhambatnya sintesa kolesterol hati akibat produk fermentasi terutama ALA. Tetapi penelitian Wisker et al. (1994) pada rnanusia yang diberi diet mengandung wortel mentah sebagi sumber serat tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada penurunan kolesterol darah. Penelitian pada ayam broiler yang diberi ransum kaya serat jelai menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol dalam plasma, namun perbandingan antara HDL dan total kolesterol meningkat. Efek hipokolesterolemik tersebut erat hubungannya dengan kandungan senyawa P-glukan dalam ransum (Sundberg et al., 1995). Senyawa P- glukan - tersebut merupakan komponen utama dalarn dinding sel jelai. Peubah Spesifik Kualitas Daging Warna daging. Warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya ransum, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, aktivitas otot, pH dan oksigen. Faktorfaktor tersebut secara langsung dapat mempengaruhi konsentrasi rnioglobin, yakni pigmen penentu utama warna daging. Pigmen lain adalah hemoglobin. Mioglobin adalah protein dalam sarkoplasmik yang terbentuk dari suatu rantai polipeptida tunggal yang terikat di sekelilig suatu grup heme yang membawa oksigen. Grup heme tersusun dari satu atom Fe dan satu cincin porfirin. Warna daging juga mengalami perubahan akibat tejadi reaksi pigmen dengan bahan lain. Kemampuan pigmen tersebut sangat tergantung pada status kimia ion besi yang terdapat dalam cincin heme jika ion ferro F$' dioksidasi menjadi ion ferri ~ e ~ ' Bila . dalam keadaan oksigen cukup ion ferro akan berikatan langsung dengan oksigen membentuk oksimioglobin, dalam keadaan ini warna daging merah terang dan lebih disukai oleh konsumen. Sebaliknya dalam keadaan oksigen terbatas ion ferro akan teroksidasi menjadi ferri (metmioglobin), warna daging menjadi coklat. Daging babi dalam satu gram kira-kira mengandung 1 - 3 mg mioglobin, dan meningkat sejalan dengan meningkatnya umur ternak. Daya ikat air. Daya ikat air atau water holdng mpci@ ((WHC) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Ada tiga jenis air yang terikat dalam daging yaitu air yang terikat sangat kuat secara kirniawi oleh gugus reaktif protein otot yang bermuatan - listrik besarnya kira-kira 4-5%. Air yang terikat agak lemah terhadap gugus hidrofilik atau disebut air dalam keadaan tidak bergerak (immobil) sebesar kira-kira 5%. Air ini keadaannya sangat dipengaruhi oleh besarnya tekanan atau perlakuan dari luar terhadap daging tersebut. Air yang ketiga adalah air bebas yang berada di antara molekul protein, jumlahnya kira-kira 10%. Lapisan air yang pertama dan kedua bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan air yang ketiga akan menurun jika protein daging mengalami denaturasi (Wismer dan Pederson dalarn Soeparno 1992). Sifat fisik daging seperti warna, tekstur, ketegaran, sari minyak dan keempukan daging sebagian besar dipengaruhi oleh daya ikat air. Sepertiga dari daya ikat air dipengaruhi oleh pH. Daya ikat air menurun dari pH 7 sampai pada pH isoelektrik (5 - 5.1) protein daging. Pada pH isoelektrik protein daging dalam keadaan netral karena jumlah muatan positif dan negatif sama. Pada pH yang lebih tinggi sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat kelebihan muatan negatif yang akan mengikat air. Keadaan rigor mortis setelah hewan dipotong dapat juga menurunkan daya ikat air. Sumber energi dalam otot untuk mencegah pertautan antara aktin dan miosin adalah ATP yang berikatan dengan ~ - g disebut ~ ' Mg-ATP komplek. Pada saat hewan dipotong persediaan Mg-ATP komplek berkurang sehingga terjadi rigor mortis. ~ ' namun segera mengikat dua gugus Perubahan ATP menyebabkan ion M ~ terbebas reaktif, dengan demikian tidak ada tempat lagi bagi molekd air dalam struktur protein. Sebaliknya enzim proteolitik seperti katepsin dapat memperbaiki daya ikat air. Enzim tersebut akan merusak struktur membran otot sehingga terjadi diisi ion ke dalam protein daging. Beberapa ion divalen (Mg2+ d m ca2+) diganti dengan kation monovalen pada rantai protein. Jadi dengan demikian setiap penggantian satu kation divalen dengan satu ion monovalen akan ada satu gugus reaktif yang bebas, gugus reaktif ini selanjutnya akan mengikat air. Daging babi mempunyai daya ikat air yang lebih besar dibandingkan daging sapi. Di samping itu pada babi umur tidak mempunyai pengaruh yang berarti pada daya ikat air, tetapi pada sapi cukup berarti. pH daging. Perubahan pH daging erat kaitannya dengan persediaan ghkogen otot pada saat pemotongan. Dalam keadaan anaerob glikolisis oleh enzim-enzim glikolitik akan menghasilkan asam laktat. Penirnbunan asam laktat akan berhenti kalau cadangan glikogen sudah habis, dalam keadaan demikian pH akan mengalami penurunan dan aktivitas enzim-enzim glikolitik akan terhenti. Daging dengan kondisi di atas disebut pada pH ultimat. Jadi pH ultimat adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot habis atau glikogen daging tidak sensitif lagi dengan serangan enzimenzim glikolitik (Lawrie, 1979). Kondisi ini biasanya tercapai 24 jam setelah pemotongan dan pH ultimat normal daging antara 5.4 - 5.5. Penurunan pH otot postmortem (setelah pemotongan) sangat beragam di antara ternak. Sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi pH daging postmortem. Faktor dalam meliputi : spesies, tipe otot, glikogen otot dan variasi di antara ternak. Faktor luar antara lain temperatur lingkungan, perlakuan-perlakuan dengan penambahan aditif dan stres selarna pemotongan. Temperatur tinggi mempercepat laju penurunan pH, sebaliknya temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Peranan temperatur dalam perubahan pH tersebut sebagai akibat dari pengaruh langsung temperatur pada laju glikolisis postmortem. Penurunan pH yang cepat akan menyebabkan wama daging menjadi pucat, daya ikat protein daging terhadap cairannya akan rendah, dan permukaan daging menjadi basah karena adanya diip yaitu air yang keluar ke permukaan daging. Berbeda dengan pH ultimat yang tinggi, daging kelihatan berwarna gelap dan permukaan daging terkesan sangat kering karena cairan daging diikat oleh protein - daging dengan erat (Forrest et a1.,1975). Kualitas ransum juga dapat mempengaruhi pH daging. Misalnya pH loin domba 5 jam setelah pernotongan Iebih tinggi pada yang mengkonsumsi konsentrat tinggi dibandingkan yang mengkonsumsi konsentrat rendah, dan tetap lebih tinggi sampai 48 jam postmortem . Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa proses glikolisis tejadi lebih lambat pada konsumsi konsentrat rendah, meskipun pH ultimat hampir tidak berbeda. Ransum yang mengandung konsentrat rendah dan berserat tinggi menghasilkan daging yang kurang berlemak dibandigkan dengan yang mengkonsumsi ransum konsentrat tinggi berserat rendah. Biasanya kenaikan pH daging akan meningkatkan jus dan daya ikat air, serta menurunkan susut masak daging. Susut masak Susut masak (cookmg loss) adalah kehilangan berat selama daging mengalami proses pemasakan. Susut masak dapat diketahui dengan perhitungan: berat sebelum dimasak - berat setelah dimasak Susut masak (%) X 100 = berat sebelum dimasak Nilai susut masak sangat dipengaruhi oleh tingginya temperatur dan lamanya pemasakan. Makin tinggi temperatur dan makin lama waktu pemasakan maka makin banyak daging kehilangan berat. Daging babi yang dioven dengan temperatur dalam 60, 70 dan 80°C mengalami susut masak masing-masing 21.62, 29.32 dan 36.68% (Simmons ef al. 1985). Selain temperatur dan waktu pemanasan, susut masak juga dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi rniofibril, ukuran dan berat sampel. Daging yang berada dalam keadaan kontraksi pada pH 5.4 mengalami susut masak yang lebih tinggi dibandingkan daging regang dengan panjang serabut yang sama (Bouton et aZ.,1971). Secara umum jenis otot yang sama dari ternak yang berbeda memerlukan temperatur pemasakan yang beheda pula untuk rnencapai tingkat keempukan yang maksimum. Hal ini sangat berhubungan dengan jumtah dan jenis jaringan ikat pada masing-masing otot tersebut. Pernanasan menyebabkan jaringan ikat menjadi lebih empuk, tetapi protein-protein rniofibril akan mengental dan cendening meqjadi dot. Kualitas pakan juga mempengaruhi susut masak. Pada domba yang diberi ransum dengan konsentrat tinggi berserat rendah mengalami susut masak yang lebii banyak dibandingkan yang diberi ransum konsentrat rendah berserat tinggi. Pada ternak yang mengkonsumsi konsentrat tinggi biasanya lemak intramuskulernya lebii banyak, sehingga selama pemasakan mengalami kehilangan lemak juga lebii banyak. Biasanya - susut masak bervariasi antara 1.5 54.5%. Nilai susut masak dapat digunakan memprediisi jurnlah jus setelah daging dimasak. Daging dengan susut masak yang lebii besar berarti akan kehilangan nutrisi yang lebih banyak, dengan dernikian kualitasnya relatif lebih rendah dibandlngkan yang susut masaknya rendah. Tekstur dan keempukan daging. Banyak ahli dagmg yang menyatakan bahwa tekstur dan keempukan daging merupakan faktor yang paling penting dalam penilaian kualitas daging. Faktor ini berkaitan dengan citarasa yang langsung d i d a n oleh konsumen. Faktor -faktor yang mempengaruhi keempukan daging pada dasarnya dibedakan atas dua faktor. Faktor antemortern (sebelum pemotongan) m&puti genetik, umur, manajemen, jenis kelamin, kualitas ransum dan tingkat stres ternak. Faktor postmortem metode pendinginan dan pembekuan dan termasuk pengolahan. Menurut Bouton, Harris dan Shorthose (1971) keempukan daging dipengmhi oleh struktur miofibril dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat, daya ikat air oleh protein daging. Kesan keempukan daging secara keseluruhan tergantung pada * - tekstur dan melibatkan tiga aspek penting. Pertama kemudahan awal penetrasi gigi ke dalarn daging, ke dua kemudahan daging dikunyah menjadi fiagmen-fiagrnen yang lebih kecil dan ke tiga jurnlah residu yang tersisa setelah dikunyah. Tekstur daging menunjukkan ukuran serabut-serabut otot yang dibatasi oleh septum-sep'tum perimisial jaringan ikat yang membagi otot secara longitudinal. Tekstur daging dikatakan kasar bila ikatan-ikatan serabutnya besar, sebaliknya halus kalau ikatan serabut-serabutnya kecil. Tekstur daging sernakin kasar sejalan dengan meningkatnya umur ternak. Daging babi mempunyai perototan yang lebih kecil dan tekstur yang lebih halus dibandiigkan daging sapi. Selain faktor-faktor di atas pH juga berpengaruh pada keempukan daging. Daging dengan pH yang tinggi mempunyai keempukan yang lebii tinggi dibandingkan dengan pH rendah. Pada pH yang lebih tinggi dari 6 daging lebih empuk dibandingkan pada pH 6, dan mempunyai jus yang lebih banyak. Jadi pe~ngkatanpH ultimat daging biasanya meningkatkan keempukan dan daya ikat air daging. Keempukan daging dapat dinilai secara subyektif dan obyektif Penilaian subyektif dilakukan dengan uji panel citarasa. Melalui uji ini akan dinilai kesan jus yang merupakan indikasi serabut otot dan jaringan ikat daging tersebut. Penilaian keempukan secara obyektif dapat dilakukan melalui uji kompresi yang menguji kealotan jaringan ikat, uji daya putus Warner-Bratzler sebagai indiiasi kealotan miofibril dan uji susut masak (Bouton et al., 1971). Citarasa dan aroma. Citarasa dan aroma daging adalah sensasi yang melibatkan banyak faktor, kompleks dan saling terkait satu sama lain, oleh karena itu sangat sulit meng identifikasi (Devol et al., 1988). Citarasa mencakup bau, rasa, tekstur, temperatur dan pH ( Soeparno, 1992). Sensasi rasa yang dominan adalah pahit, manis, asam dan asin. Daging ternak yang lebih tua mempunyai bau yang lebih menyengat dibandigkan ternak muda. Bau pada babi jantan yang tidak kastrasi disebabkan oleh senyawa steroid (5-u-androst-16-ene-3-one)yang berasosiasi dengan lemak. Bau ini akan menguap setelah dipanaskan. Citarasa itu muncul setelah pecahnya asam-asam lemak tidak jenuh rantai panjang, berinteraksi dengan oksigen selanjutnya membentuk formasi asam-asam lemak rantai pendek, aldehid dan keton. Sama halnya seperti tekstur, citarasa dan aroma daging dipengaruhi oleh umur ternak, jenis dan kualitas ransum, lemak, lama dan kondisi penyimpanan, lama dan temperatur pemasakan. Bau dan rasa daging banyak dipengaruhi oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak, dan pembebasan substansi atsiri yang terdapat di dalam daging. Senyawasenyawa citarasa di dalam lernak adalah spesifik untuk suatu spesies, jenis kelamin, atau bisa timbul dari bahan penyusun ransum, misalnya bau tepung ikan, bawang putih, lemak sapi atau absorpsi selama pengolahan dan penyipanan misalnya bau detergen, bau alat pendingin dan sebagainya. Perubahan-perubahan citarasa daging masak dapat meningkatkan salivasi dan meningkatkan kesan jus daging. Narnun perubahan citarasa dan hubungannya dengan kesan jus-daging tersebut sangat bersifat subyektif dan sangat sulit dideteksi secara obyektif. Oleh karena itu dalam tes panel terhadap daging baik mentah maupun yang sudah dimasak diperlukan panelis yang sangat berpengalarnan.