BAB I. PENDAHULUAN

advertisement
1
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kondisi perekonomian suatu negara biasanya dilihat dari beberapa indikator
ekonomi makro yaitu pertumbuhan ekonomi, GDP, tingkat inflasi, tingkat suku
bunga, nilai tukar mata uang (kurs), dll. Selama beberapa tahun terakhir di tengah
kondisi perekonomian global yang diliputi pemulihan dari krisis, perekonomian
Indonesia tumbuh dengan baik.
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan
Ekonomi
Indonesia
Asia
Dunia
Amerika
Jepang
Kawasan Eropa
2009
4.6
7.2
-0.7
-3.5
-6.3
-4.3
2010
6.2
9.8
5.2
2.5
4.7
2
2011
6.5
7.8
3.9
1.8
-0.6
1.5
2012
6.3
6.4
3.1
2.8
1.4
-0.7
2013
5.8
6.3
2.9
1.6
2
-0.4
Rata-rata
5.9
7.5
2.9
1.0
0.2
(0.4)
(Sumber : Bank Indonesia 2011 - 2013)
Tabel 1.1. di atas menunjukkan bahwa terjadinya krisis global yang dimulai dari
Amerika tahun 2008 menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat (tahun 2009)
yang terjadi hampir di semua negara. Secara rata-rata dari tahun 2009 hingga tahun
2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis relatif tinggi (5,9%) dibanding
beberapa negara maju yaitu Amerika (1%) dan Jepang (0,2%) dan masih lebih tinggi
dibanding pertumbuhan ekonomi dunia (2,9%) meskipun lebih rendah dibanding
1
2
pertumbuhan ekonomi Asia (7,5%) yang ditopang oleh pertumbuhan China dan India
(Bank Indonesia, 2013).
Pertumbuhan ekonomi dapat mencerminkan kinerja ekonomi dalam negeri
yang salah satunya adalah kinerja perusahaan terutama perusahaan publik yang
mencatatkan
sahamnya
di
Bursa
Efek
Indonesia.
Bursa
Efek
Indonesia
memproyeksikan bahwa prospek pasar modal Indonesia masih bagus dan cemerlang
karena masih banyaknya minat para calon investor asing maupun domestik pada
pasar modal Indonesia baik investor saham, reksadana maupun produk pasar modal
lainnya. Selain itu keinginan perusahaan untuk mencatatkan sahamnya di bursa juga
semakin meningkat (Cahyono dan Murtoyo, 2014).
Tabel 1.2. Data Jumlah Emiten
Emiten
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Total
IPO
401
19
402
13
424
23
445
25
465
22
487
30
(Sumber : Bursa Efek Indonesia 2008 – 2013)
Terlihat bahwa setiap tahunnya jumlah emiten yang mencatatkan sahamnya di bursa
efek cenderung meningkat.
Selama kurun waktu 5 tahun terakhir sejak krisis ekonomi terjadi di Amerika
dan kawasan Eropa, pertumbuhan pasar modal Indonesia mengalami peningkatan
yang lebih baik dibanding negara-negara di kawasan Asean, Asia, bahkan Amerika,
Eropa dan Australia sekalipun. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan Indeks Harga
Saham Gabungan jika dibandingkan dengan pertumbuhan Indeks Saham dari
2
3
beberapa negara. Dari Tabel 1.3. di bawah dapat dilihat bahwa IHSG mempunyai
pertumbuhan yang paling tinggi dibanding indeks di beberapa negara maju seperti
AS, Inggris, Australia, Jepang maupun Singapura setelah masa krisis ekonomi tahun
2008 sampai dengan tahun 2013. Dan hal ini tentunya sangat menarik bagi investor
baik asing maupun lokal untuk melakukan investasi di pasar modal Indonesia.
Tabel 1.3. Indeks Harga Saham Regional dan Global
Indeks
IHSG
PSE
SETI
KLSE
DJIA
TWSW
NIK225
STI
KOSPI
HSI
FTSE
ASX
Negara
Indonesia
Philipina
Thailand
Malaysia
Amerika
Taiwan
Jepang
S'pore
Korea Sel
Hongkong
Inggris
Australia
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1,355
2,534
3,704
3,822
4,317
4,274
1,873
3,053
4,201
4,372
5,813
5,890
450
736
1,033
1,025
1,392
1,299
877
1,273
1,519
1,531
1,681
1,867
8,776 10,428 11,578 12,218 12,938 16,504
4,591
8,188
8,973
7,072
7,700
8,623
8,859 10,546 10,229
8,455 10,395 16,291
1,762
2,898
3,190
2,646
3,192
3,167
1,124
1,683
2,051
1,826
1,997
2,011
14,387 21,873 23,035 18,434 22,667 23,245
4,434
5,413
5,900
5,572
5,925
6,731
3,659
4,883
4,847
4,111
4,685
5,358
Pertumbuhan
(%)
215
214
189
113
88
88
84
80
79
62
52
46
(Sumber : Otoritas Jasa Keuangan 2014)
Dalam kaitannya dengan investasi dimana definisi investasi yaitu komitmen
atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini untuk
tujuan mendapatkan sejumlah keuntungan di masa yang akan datang (Tandelilin,
2010) maka saham merupakan salah satu sarana investasi disamping reksadana,
tabungan, deposito dan investasi riil lainnya.
Dalam investasi saham biasanya
investor memilih saham perusahaan yang layak untuk dipilih berdasarkan kriteria
tertentu. Kriteria yang umum digunakan adalah yang aktif diperdagangkan dan
3
4
mempunyai fundamental yang bagus. Dalam melakukan analisa penilaian saham,
investor bisa melakukan analisis dengan pendekatan top down untuk menilai saham
perusahaan (Tandelilin, 2010). Analisa Top Down Approach dimulai dari analisa
secara makro kondisi ekonomi suatu negara yang mempengaruhi kinerja perusahaan,
kemudian dilanjutkan dengan analisa industri/sektor industrinya sampai kemudian
analisa kondisi secara mikro terhadap perusahaan yang mengeluarkan saham
terutama dengan menggunakan analisa fundamental yang meliputi kinerja
perusahaan, laporan keuangan, manajemen, strategi bisnis dan lain-lain.
Gambar 1.1. Proses Penilaian Top Down Approach
(Sumber : Tendelilin, 2010)
4
5
Terkait dengan pendekatan di atas, maka investor yang akan berinvestasi di pasar
modal harus memperhatikan kondisi perekonomian makro, kondisi sektor industri
dan terakhir adalah kondisi masing-masing perusahaan yang menerbitkan saham
(emiten) di bursa efek. Untuk dikertahui bahwa saat ini Bursa Efek Indonesia
memiliki 17 jenis indeks dimana salah satunya adalah indeks sektoral yang
merupakan bagian dari IHSG. Indeks saham sektoral sendiri terdiri dari sembilan
sektor antara lain : Pertanian, Pertambangan, Industri Dasar dan Kimia, Aneka
Industri, Industri Barang Konsumsi, Properti dan Real Estate, Infrastruktur Utilitas
dan Transportasi, Keuangan, Perdagangan Jasa dan Investasi. Investor bisa memilih
saham-saham individual yang diinginkan berdasarkan karakteristik setiap sektor yang
berbeda-beda. Dengan memahami karakteristik sektoral dan kondisi perekonomian
secara umum, investor diharapkan dapat mengantisipasi bila terjadi suatu kejadian
yang berpotensi dapat mempengaruhi suatu sektor tertentu menjadi lebih baik atau
lebih buruk. Pergerakan harga saham sektoral tidak selalu mencermin pergerakan
harga saham secara umum (IHSG), artinya jika pasar (IHSG) sedang naik maka tidak
semua harga saham sektoral juga naik dengan rasio yang sama (Wira, 2014). Hanya
ada beberapa sektor yang dominan terhadap sektor yang lain dan sangat
dimungkinkan bahkan terdapat beberapa sektor yang turun di tengah naiknya IHSG.
Kondisi fundamental ekonomi menjadi faktor yang dominan terhadap
pencapaian kinerja pasar modal secara umum sehingga kinerja pasar modal tidak
terlepas dari berbagai peristiwa perekonomi baik global maupun domestik
5
6
(www.idx.co.id). Analisa ekonomi makro menjadi salah satu yang perlu dilakukan
oleh
investor
dalam
menentukan
keputusan
investasinya
karena
adanya
kecenderungan hubungan yang kuat antara kondisi ekonomi makro suatu negara
dengan kinerja pasar saham dalam arti bahwa pasar saham mencerminkan apa yang
terjadi pada perekonomian suatu negara (Tandelilin, 2010). Lingkungan ekonomi
makro sangat berpengaruh terhadap operasional perusahaan sehari-hari sehingga
investor harus mampu memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro di masa
yang akan datang. Beberapa indikator ekonomi makro yang perlu diperhatikan oleh
investor menurut penelitian beberapa ahli diantaranya adalah produk domestik bruto,
tingkat inflasi, tingkat suku bunga, kurs rupiah, jumlah uang beredar, pegerakan
indeks saham negara lain, pergerakan harga komoditas (spt emas, minyak) dll.
Investor mempunyai kepentingan untuk melakukan peramalan terhadap perubahan
yang akan terjadi di pasar modal berdasarkan kondisi ekonomi makro yang sedang
dan akan terjadi di masa yang akan datang (Tandelilin, 2010).
Perubahan tingkat bunga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
tingkat return sekuritas (Chen et al 1986). Di Indonesia kebijakan tingkat suku bunga
dikendalikan secara langsung oleh Bank Indonesia melalui BI rate. Kebijakan BI rate
dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi lainnya baik kondisi
ekonomi dalam negeri maupun luar negeri. Di beberapa negara maju mempunyai
tingkat suku bunga yang relatif kecil dibanding Indonesia misalnya AS (0,25%),
Jepang (0,1%), Inggris (0,5%), Kanada (1%), Zona Euro (0,15% – 2%) selama
6
7
periode 2009 sampai dengan 2014 sehingga hal ini juga merupakan salah satu faktor
untuk bergeraknya modal/kapital dari negara-negara maju tersebut ke Indonesia yang
mempunyai tingat suku bunga lebih tinggi yaitu 7,5%. Hal tersebut terjadi karena
para investor meminjam dana yang mata uangnya mempunyai suku bunga rendah
(hampir nol persen), kemudian menginvestasikan dalam mata uang dengan suku
bunga tinggi, sehingga terjadi migrasi modal dari negara maju ke negara berkembang,
seperti Indonesia yang mempunyai tingkat suku bunga relatif tinggi (Prasetyantoko,
2014). Penelitian Kewal (2012), Sutanto et al (2013), Lawrence (2013) dan Talla
(2013) menyatakan bahwa tingkat suku bunga tidak berpengaruh terhadap indeks
harga saham. Tetapi sebaliknya Wang dan Xu (2010) dalam penelitannya terhadap
Shanghai Composite Index berkesimpulan bahwa interest rate berpengaruh positif
terhadap SCI. Lain halnya dengan Nugroho (2008), Witjaksono (2010), Subastine
dan Syamsudin (2010), Yogaswari et al (2012) dan Silim (2013) menyatakan bahwa
tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap indeks saham. Adam dan
Tweneboah (2008) dan Issahaku et al (2013) dalam meneliti pasar saham di Ghana
mendapatkan hasil bahwa interest rate merupakan salah satu faktor yang menetukan
pergerakan harga saham di Ghana.
Indikator lain adalah inflasi yang juga salah satu faktor yang mempegaruhi
harga saham, dan juga bahwa inflasi sangat terkait langsung dengan kehidupan
perekonomian dan dirasakan langsung oleh masyarakat melalui kenaikan harga.
Penelitian Thobary (2009) menyatakan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap
7
8
indeks harga saham sektor properti. Sebaliknya Yogaswari et al (2012), Subastine
dan Syamsudin (2010), Kibria et al (2014)
mendapatkan hasil bahwa inflasi
berpengaruh positif terhadap indeks harga saham. Izedonmi dan Abdullahi (2011),
Kewal (2012), Lawrence (2013) berpendapat bahwa inflasi tidak berpengaruh
terhadap indeks harga saham. Thaker et al (2010), Issahaku et al (2013) dengan
metode VECM menyatakan bahwa ada pengaruh jangka panjang maupun jangka
pendek dimana inflasi berpengaruh terhadap return saham.
Hal lain terkait indikator moneter di dalam perekonomian adalah jumlah uang
beredar. Berbagai teori ekonomi makro menjelaskan adanya hubungan antara
perubahan jumlah uang beredar dengan kegiatan ekonomi di masa yang akan datang
dan hal ini didukung oleh penelitian Jones (1994) dalam (Husnan, 2009) yang
menyatakan adanya pengaruh antara jumlah beredar terhadap harga saham. Dalam
penelitian lain Nugroho (2008), Subastine dan Syamsudin (2010), Lawrence (2013)
dan Kibria et al (2014) berkesimpulan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh
positif terhadap indeks harga saham. Dengan metode penelitian kausalitas granger
oleh Issahaku et al (2013) disimpulkan bahwa money supply mempunyai hubungan
yang signifikan terhadap return saham di Ghana. Tetapi dalam penelitian di
Stockholm, hasil yang didapatkan adalah berbeda dimana Talla (2013) menyatakan
bahwa money supply tidak berpengaruh terhadap Stockholm Stock Exchange
(OMXS30). Hasil berbeda didapatkan juga oleh Humpe dan Macmillan (2007)
dimana money supply berpengaruh negatif terhadap pasar saham di Jepang.
8
9
Selain tingkat suku bunga, inflasi dan jumlah uang beredar, indikator lain
adalah nilai tukar (kurs) rupiah terhadap US$. Nilai tukar mencerminkan
keseimbangan permintaan dan penawaran terhadap mata uang dalam negeri terhadap
mata uang asing salah satunya adalah US$. Nugroho (2008), Wang dan Xu (2010)
dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa nilai tukar (kurs) RMB terhadap US$
berpengaruh positif terhadap indeks saham. Hasil berbeda didapat oleh Witjaksono
(2010), Subastine dan Syamsudin (2010), Kewal (2012), Yogaswari et al (2012),
Silim (2013), Sangmi dan Hassan (2013) dan Sutanto et al (2013) bahwa nilai tukar
berpengaruh negatif terhadap indeks harga saham. Hasil dari Izedonmi dan Abdullahi
(2011) juga berbeda dimana nilai tukar tidak berpengaruh terhadap harga saham.
Tetapi di Malaysia Thaker et al (2010) menyimpulkan bahwa exchange rate
berpengaruh secara signifikan terhadap KLCI dengan pendekatan ECM.
Hal lain yang juga dijadikan pertimbangkan adalah emas yang merupakan
salah satu komoditi penting yang dapat diduga mempengaruhi pergerakan bursa
saham. Dalam penelitiannya Witjaksono (2010), Silim (2013), Sutanto et al (2013)
berkesimpulan bahwa harga emas dunia berpengaruh positif terhadap indeks harga
saham. Tetapi Basit (2013) mendapatkan hasil yang juga berbeda dimana harga emas
tidak berpengaruh terhadap indeks harga saham.
9
10
1.2. Identifikasi , Perumusan dan Batasan Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, mengenai pertumbuhan ekonomi,
indeks harga saham di beberapa negara, indeks harga saham sektoral di BEI dan
adanya research gap pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan
indeks harga saham terutama faktor ekonomi makro dan harga komoditas, maka pada
penelitian ini identifikasi masalah adalah sebagai berikut :
1. Indonesia sebagai negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi
relatif tinggi selama periode 2008-2013 tentunya merupakan daya tarik
bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia.
2. Dengan pertumbuhan IHSG yang juga relatif tinggi merupakan daya
tarik tersendiri bagi investor utk investasi di pasar modal.
3. Dengan Top Down Approach, maka investor harus menganalisa
pergerakan saham secara sektoral terlebih dahulu dalam memilih
saham yang dianggap menguntungkan.
4. Indikator ekonomi makro yaitu tingkat suku bunga, inflasi, jumlah
uang beredar,
nilai tukar rupiah terhadap US$ menurut berbagai
penelitian memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada Indeks
Harga Saham di beberapa negara
10
11
5. Harga emas dunia sebagai salah satu alat investasi lainnya juga
memberikan pengaruh yang berbeda pada indeks harga saham
berdasarkan beberapa penelitian terdahulu.
1.2.2. Perumusan Masalah
Atas uraian diatas maka perumusan permasalahan yang ada yaitu :
1. Apakah tingkat suku bunga, inflasi, jumlah uang beredar, nilai tukar
rupiah terhadap US$ dan harga emas dunia secara bersama-sama
memberikan pengaruh terhadap Indeks Harga Saham Sektoral (9
Sektor).
2. Apakah tingkat suku bunga memberikan pengaruh terhadap Indeks
Harga Saham Sektoral (9 Sektor).
3. Apakah inflasi memberikan pengaruh terhadap Indeks Harga Saham
Sektoral (9 Sektor).
4. Apakah jumlah uang beredar memberikan pengaruh terhadap Indeks
Harga Saham Sektoral (9 Sektor).
5. Apakah nilai tukar rupiah terhadap US$ memberikan pengaruh
terhadap Indeks Harga Saham Sektoral (9 Sektor).
6. Apakah harga emas dunia memberikan pengaruh terhadap Indeks
Harga Saham Sektoral (9 Sektor).
11
12
1.2.3. Batasan Masalah
Pada penelitian dilakukan beberapa pembatasan, antara lain :
1. Dari berbagai jenis indeks saham yang ada di Bursa Efek Indonesia
maka yang dijadikan bahan penelitian ini adalah Indeks Harga Saham
Sektoral (9 Sektor).
2. Indikator ekonomi makro yang diteliti adalah tingkat suku bunga,
inflasi, jumlah uang beredar dan nilai tukar rupiah terhadap US$
(kurs).
3. Komoditas yang dijadikan objek penelitian adalah harga emas dunia.
4. Periode yang digunakan adalah mulai Januari 2009 sampai dengan
Juni 2014.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah indikator ekonomi
makro dan harga komoditas (emas) mempunyai pengaruh terhadap pergerakan Indeks
Harga Saham Sektoral.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah
terhadap US$ dan harga emas dunia
12
secara bersama-sama
13
memberikan pengaruh terhadap Indeks Harga Saham Sektoral (9
Sektor).
2. Apakah tingkat suku bunga memberikan pengaruh terhadap Indeks
Harga Saham Sektoral (9 Sektor).
3. Apakah inflasi memberikan pengaruh terhadap Indeks Harga Saham
Sektoral (9 Sektor).
4. Apakah jumlah uang beredar memberikan pengaruh terhadap Indeks
Harga Saham Sektoral (9 Sektor).
5. Apakah nilai tukar rupiah terhadap US$ memberikan pengaruh
terhadap Indeks Harga Saham Sektoral (9 Sektor).
6. Apakah harga emas dunia memberikan pengaruh terhadap Indeks
Harga Saham Sektoral (9 Sektor).
1.4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
1.4.1. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak antara
lain :
1. Masyarakat (investor/calon investor) : hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
keputusan berinvestasi di pasar modal dengan menggunakan indikator
yang diteliti.
13
14
2. Bagi Pemerintah : Hasil Penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai pemahaman atas pengaruh indikator ekonomi makro
terhadap kegiatan investasi di pasar modal.
3. Bagi Akademisi dan Peneliti : Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai rujukan dan dapat berkontribusi pada pengembangan
pengetahuan mengenai pasar modal.
1.4.2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, serta tujuan penelitian, maka penelitian
ini diharapkan akan memberikan manfaat, antara lain :
1. Kontribusi Teoritikal : Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran
mengenai pertumbuhan indeks saham sektoral di BEI dan pengaruh
indikator ekonomi makro dan harga komoditas terhadap Indeks Harga
Saham Sektoral.
2. Kontribusi Praktikal : Bagi para pelaku bursa saham (investor dan
calon investor), hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi
mengenai pertumbuhan indeks saham sektoral dan pengaruh indikator
ekonomi makro dan harga komoditas terhadap Indeks Harga Saham
Sektoral.
3. Kontribusi Organisasional : Hasil penelitian ini bagi pemerintah
(pengambil kebijakan) dapat digunakan sebagai dasar dalam
mengelola kebijakan moneter terkait pergerakan indeks harga saham.
14
Download