BAB II Tinjauan Pustaka_2011tro

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Ekor Gemuk (DEG) - Lombok
Menurut Gatendby (1991) di Asia Tenggara ditemukan dua tipe domba yaitu
domba ekor tipis (DET) atau Thin tailed sheep, terdapat di daerah Jawa Barat,
(Indonesia) Kelantan (Malaysia) dan Thailand, sedangkan domba ekor gemuk
(DEG) atau Fat tailed sheep terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. DEG
diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-18, dibawa oleh pedagang dari
Persia yang membeli rempah-rempah di Indonesia (Bradford dan Inounu 1996).
Sekitar tahun 1731 sampai 1779 pemerintah Belanda telah mengimpor domba
Kirman, yaitu domba ekor gemuk dari Persia, sehingga masih dipertanyakan bila
DEG merupakan keturunan dari domba-domba tersebut masih belum jelas
diketahui (Hardjosubroto 1994).
DEG dikenal dari bentuk ekornya yang gemuk,
berbulu putih dengan
kualitas wol dan kulit relatif baik, pada jantan maupun betina tidak bertanduk,
telinga umumnya berukuran medium dengan posisi agak menggantung atau
semipendulous (Devendra dan Leroy 1992). Ciri spesifik yang dimiliki oleh
domba ekor gemuk adalah bentuk ekor yang lebar dan panjang sehingga terlihat
gemuk dan besar yang berfungsi sebagai tempat penimbunan lemak, sedangkan
bagian ujung ekor kecil dan tidak terdapat timbunan lemak. Panjang ekor
mencapai 14 ruas tulang dan lemak terdapat di tengah dan bagian bawah ekor,
sehingga ekor kelihatan lebar (Bradford dan Inounu 1996). Keistimewaan yang
terdapat pada DEG adalah kemampuan beradaptasi yang sangat baik terhadap
lingkungan kering dan terhadap lingkungan panas (Hardjosubroto 1994).
DEG banyak terdapat di daerah Jawa Timur, Madura dan wilayah Indonesia
bagian Timur seperti Lombok, Sumbawa, Kisar dan Sawa (Ditjenak 2009). DEG
yang dipelihara di pulau Lombok (selanjutnya dalam Tesis ini disingkat DEGLombok) belum diketahui secara pasti asal-usulnya hingga sampai ke Lombok,
karena masih menjadi pertanyaan bahwa penyebarannya didatangkan dari Jawa
secara langsung dan tahun masuknya juga belum ada informasi yang diperoleh
secara pasti.
5
Reproduksi Domba
Kondisi reproduksi domba dipengaruhai oleh faktor genetik (bangsa
domba) dan beberapa faktor lain yaitu jenis kelamin, iklim dan pakan yang
diberikan (Fahmy 1996). Secara umum kondisi reproduksi dari ternak domba
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kondisi reproduksi ternak domba
No.
1.
2.
3.
4.
Indikator Reproduksi
Dewasa kelamin
- Betina
- Jantan
Siklus birahi
Tingkat ovulasi
Jumlah anak sekelahiran (litter size)
Keterangan
Umur 5-7 bulan
Umur 7-8 bulan
18 hari
1-4 sel telur
1-4 anak
Sumber: Blakely dan Bade (1992).
Domba termasuk kedalam hewan poliesterus musiman yaitu domba betina
mengalami siklus birahi yang berulang-ulang pada saat domba betina mengalami
kebuntingan. Domba-domba betina dari tipe pedaging dapat mencapai pubertas
(masak kelamin) pada umur 5-7 bulan dan dapat dikawinkan pertama kali pada
umur 8 bulan atau lebih. Siklus birahi pada domba rata-rata terjadi setiap 16 hari
sekali (dengan kisaran antara 14-20 hari), dengan lama esterus rata-rata 30 jam.
Selama esterus ovulasi terjadi di ovari sekitar 24-30 jam setelah awal esterus, oleh
karena itu kebuntingan sangat mungkin terjadi apabila perkawinan terjadi pada
saat akhir masa birahi (Blakely dan Bade 1992).
Jumlah Anak Sekelahiran (Litter Size)
Jumlah anak sekelahiran atau litter size dan sering disebut juga sebagai sifat
peridi adalah jumlah anak lahir per jumlah induk yang beranak (Gatenby 1991).
Sifat peridi dapat menjadi ciri khas suatu bangsa ternak. Jumlah anak sekelahiran
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan serta interaksi keduanya (Fahmy
1996). Sifat peridi pada ternak selain dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
bangsa induk, umur induk dan manajemen pemeliharaan. Pertambahan bobot
induk sejak kawin sampai melahirkan juga berhubungan dengan jumlah anak
sekelahiran (Reese et al.1990). Tingkat keuntungan pada usaha peternakan domba
sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat reproduksi domba seperti fertilitas dan tingkat
6
peridi. Sifat-sifat tersebut belum dipertimbangkan dengan baik dalam program
seleksi domba karena memiliki nilai heritabilitas dan ripitabilitas rendah terutama
disebabkan oleh ekspresi fenotipeik yang berbeda-beda (Matos et al. 1997).
Domba dikelompokkan sebagai peridi apabila induk mempunyai paling
tidak rataan jumlah anak sekelahiran 1.75 ekor yang diperoleh dari minimal tiga
kali kelahiran, dengan potensi menghasilkan rataan anak dilahirkan adalah 2.00
ekor. Beberapa jenis segregasi domba peridi diketahui antara lain yang diatur
oleh gen mayor, diatur secara kuantitatif oleh banyak gen dan gen yang terdapat
pada kromosom X (Fahmy 1996). Rataan jumlah anak sekelahiran pada sejumlah
domba peridi di dunia yang diperoleh dari berbagai hasil penelitian dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan litter size pada berbagai jenis domba
Jenis Domba
Finnsheep
Romanov
Chio Greece
East Friesien
Avranchin
Bergschaf
Charollais
D’man
Barbados Blackbelly
Priangan
Hu
Booroola -Merino
Cambridge
Kisaran rataan litter size (ekor)
1.6 – 3.2
1.9 – 4.4
1.5 – 2.2
1.3 – 1.7
1.4 – 2.0
1.6 – 2.2
1.2 – 1.8
1.7 – 2.2
1.3 – 2.2
1.5 – 2.4
1.9 – 2.7
2.5
1.4 - 2.8
Sumber: Fahmy (1996)
DEG memiliki sifat prolifikasi yang tinggi akan tetapi juga memiliki
mortalitas anak yang tinggi. DEG-Lombok betina biasanya melahirkan anak
seekor (single), namun yang paling sering melahirkan dua anak (twin), kadangkala
tiga ekor (triplets) bahkan ada yang empat ekor (quadruplets).
Gen Bone Morfogenetic Protein Receptor - IB (BMPR-1B)
Gen Bone morphogenetic protein receptor-IB (BMPR-1B) atau dikenal juga
sebagai gen Fecunditas booroola (FecB) adalah gen autosomal yang mengontrol
laju ovulasi dan jumlah anak sekelahiran (litter size) (Montgomery et al. 1992).
7
Lokus gen FecB (Gambar 1) terletak di kromosom 6 pada ternak domba
(Lumsden et al. 1999), kromosom 4 pada manusia (Lanneluc et al. 1996) dan
kromosom 8 pada babi (Rohrer 1999; Wilkie et al. 1999).
Gambar 1 Posisi gen BMPR-1B pada kromosom 6 pada domba (Lord et al. 1996;
Lumsden et al. 1999).
Mutasi FecB pertamakali diidentifikasi tahun 1978 oleh Dr. Helen Newton
Turner di Australia yaitu pada domba Boroola Merino (BM) di daerah Cooma,
New South Wales Australia (Davis 2008). Gen fekunditas juga ditemukan pada
domba ekor tipis (DET) di Indonesia yang dikenal sebagai gen FecJ (Bradford et
al. 1991). Davis et al. (2002) menyatakan bahwa titik mutasi pada FecJ yang ada
pada DET di Indonesia memiliki kesamaan dengan gen FecB pada domba BM.
Hasil penelitian terbaru berdasarkan pada teknologi penanda DNA telah
mengungkapkan bahwa gen FecB pada BM berasal dari domba Asia yaitu domba
Garole yang diimpor ke daratan Australia pada ahir abad ke 18 (Davis 2008).
Domba Garole berasal dari daerah Tanjung Harapan Bengal Barat berdekatan
dengan Calcuta di India (Ghalsasi dan Nimbkar 1993). Sementara itu untuk
memperbaiki domba di Indonesia Belanda juga telah mengimpor sejumlah ternak
dari Tanjung Harapan dan dan domba Merino dari Spanyol (Fahmy 1996),
sehingga kemiripan antara gen FecJ dengan gen FecB kemungkinan besar terjadi
karena adanya asal usul nenek moyang yang sama.
Menurut Chu et al. (2007), deteksi gen BMPR-1B dapat dilakukan melalui
teknik restriction fragment length polimorphism (RFLP) menggunakan enzim
pemotong AvaII (G|GACC), untuk mengetahui terjadinya mutasi gen BMPR-1B
8
pada basa ke 746, yaitu subtitusi basa nitrogen A menjadi G yang akan mengubah
asam amino glutamin menjadi arginin. Gen BMPR-1B pada manusia (Gambar 2)
terdiri atas tiga belas exon dan dua belas intron dengan panjang sekuens 407 474
bp,
dapat
diakses
di
GenBank
dengan
kode
akses
NG_009245.1
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/219521908) [20 Apr 2010].
Falnking
region 3’
Falnking
region 5’
Lokus : NG_009245.1
Panjang : 407474
Gen
: 5001..5092, 122855..122924, 243064..243158, 351432..351591, 361744..361846,
362709..362811, 370834..370930, 372007..372145, 376886..377078, 378239..378536,
395772..395947, 399667..399797, 401572..405474
Sekuens depan :
1 - 5000
Exon 1
=
5001 - 5092
Exon 2
= 122855 - 122924
Exon 3
= 243064 - 243158
Exon 4
= 351432 - 351591
Exon 5
= 361744 - 361846
Exon 6
= 362709 - 362811
Exon 7
= 370834 - 370930
Exon 8
= 372007 - 372145
Exon 9
= 376886 – 377078
Exon 10
= 378239 – 378536
Exon 11
= 395772 – 395947
Exon 12
= 395667 – 399797
Exon 13
= 401572 – 405474
Keterangan:
= Exon;
=
92 bp
=
69 bp
=
94 bp
= 159 bp
= 102 bp
= 102 bp
=
96 bp
= 138 bp
= 192 bp
= 297 bp
= 175 bp
= 130 bp
= 3902 bp
Intron 1
=
5093 - 122854
Intron 2
= 122925 - 243063
Intron 3
= 243159 - 351431
Intron 4
= 351592 - 361743
Intron 5
= 361847- 362708
Intron 6
= 362812 - 370833
Intron 7
= 370931 - 372006
Intron 8
= 372146 - 376885
Intron 9
= 377079 - 378238
Intron 10 = 378537 - 395771
Intron 11 = 395948 - 395666
Intron 12 = 399798 - 401571
Sekuens belakang
= 117761 bp
= 120138 bp
= 108272 bp
= 10151 bp
=
861 bp
=
8021 bp
=
1075 bp
=
4739 bp
=
1159 bp
= 17234 bp
=
3718 bp
=
1773 bp
=
2000 bp
= Intron
Gambar 2 Rekonstruksi gen BMPR-1B pada manusia berdasarkan sekuens
lengkap
di Gen Bank (GenBank dengan kode akses NG_009245.1).
Pengaruh mutasi gen BMPR-1B bersifat aditif untuk laju ovulasi dan setiap
copy dapat meningkatkan laju ovulasi sekitar 1.6 pada domba Merino (Fahmy
1996). Setiap copy gen FecB dapat meningkatkan laju ovulasi sekitar 1.5 dan dua
copy meningkatkan laju ovulasi 3.0 dan ekstra ovulasi ini meningkatkan jumlah
anak sekelahiran berturut-turut sekitar 1.0 dan 1.5 (Davis 2004). Prolifikasi yang
tinggi pada domba disebabkan oleh suatu mutasi non-konservatif (Q249R) pada
domain intraselluler kinase dari BMPR-1B yang terekspresi pada ovari dan sel
granulosa (Mulsant et al. 2001; Wilson et al. 2001). Gen BMPR-1B
juga
9
diketahui sebagai ALK-6 dan anggota dari Transforming growth factor-β (TGFβ) yang berperan dalam regulasi pertumbuhan dan differensiasi sel (Davis et al.
1991)
Gen Bone Morfogenetic Protein-15 (BMP-15)
Gen Bone morfogenetic protein-15 (BMP-15 ) atau dikenal juga dengan gen
Fecunditas chromosome
X (FecX) adalah gen major yang berlokasi pada
kromosom X. Pemetaan menggunakan fluorescence in situ hybridization (FISH)
menunjukkan bahwa pada manusia dan domba gen BMP-15 berlokasi pada
sentromer kromosom X pada posisi XpII.2 (Gambar 3) (Dube et al. 1998) dan
posisi ini menunjukkan homologi dengan tikus (Aaltonen et al. 1999).
Gambar 3 Posisi gen BMP-15 pada kromosom X pada domba (Galloway et al.
2000).
Dube et al. (1998) melaporkan bahwa pada tikus dan manusia protein BMP15 disandi oleh gen mayor BMP-15. Sekuens pengkode gen BMP-15 meliputi
1179 nukleotida yang terdiri atas 2 exon yang dipisahkan oleh sebuah intron.
Exon pertama mengkode sekitar 17 asam amino dan exon kedua sekitar 125 asam
amino. (Gambar 4) (Davis et al. 2006).
Exon 1
Intron
Exon 2
Gambar 4 Struktur gen BMP-15 (Davis et al. 2006).
10
Gen BMP-15 berperan dalam mengontrol laju ovulasi dan jumlah anak
sekelahiran pada beberapa jenis domba disamping gen BMPR-1B. Gen BMP-15
juga diketahui sebagai Growth differentiation factor 9B (GDF9B) yang
merupakan anggota Transforming growth factor-β (TGF-β) (Moore et al. 2003).
Mutasi pada gen BMP-15 ditemukan empat jenis yang berbeda tetapi memberikan
fenotipe yang sama pada berbagai jenis domba. Mutasi pertama teridentifikasi
pada domba Inverdel dan Hanna. Mutan dari gen BMP-15 pada domba Inverdel
disimbolkan dengan allel FecXI dan pada domba Hanna dengan alel FecXH (Davis
et al. 1991). Allel FecXI berhubungan dengan mutasi transisi T menjadi A pada
nukleotida 896 pada sekuens pengkode BMP-15. Mutasi ini menyebabkan mutasi
non-konservatif
substitusi valin dengan asam aspartat asam amino 299 dari
peptida yang belum diproses (asam amino 31 pada protein yang matang V31D)
(Davis et al. 1992 ; Braw et al. 1993). Alel FecXH juga berhubungan dengan
mutasi transisi C menjadi T pada nukleotida 871 pada sekuens pengkode BMP-15.
Mutasi ini menghasilkan prematur stop kodon pada posisi asam amino 291 dari
peptida yang belum diproses yang mengakibatkan protein BMP-15 yang
dihasilkan kehilangan aktivitas biologisnya (Galloway et al. 2000).
Dua mutasi baru pada gen BMP-15 ditemukan pada domba Belclare dan
Cambridge, mutasi ini kemudian disimbolkan dengan FecXG (Galway) dan FecXB
(Belclare) (Hanrahan et al. 2004). Mutasi FecXG adalah mutasi transisi C menjadi
T pada nukleotida 718, yang menghasilkan prematur stop kodon pada asam amino
239 dari peptida yang belum diproses (protein belum matang) (McNatty et al.
2005). Mutasi pada FecXB adalah mutasi transisi G menjadi T pada nukleotida
1100, yang menyebabkan substitusi serin dengan isoleusin pada asam amino 367
dari peptida yang belum diproses (asam amino 99 pada protein matang) (McNatty
et al. 2005). Fenotipe ovarium pada hewan homozigot untuk mutasi ini tidak
dapat dibedakan dengan fenotipe Inverdel (Hanrahan et al. 2004).
Konsekuensi fungsional mutasi pada aktivitas biologi secara normal adalah
terhadap produksi protein oleh gen. Mutasi pada gen BMP-15 (FecXH dan FecXG)
menghasilkan stop kodon sehingga tidak menghasilkan peptida yang lengkap dan
kemudian menghilangkan sama sekali fungsi dan aktivitas biologi dari BMP-15.
(Liao et al. 2004). Mutasi lainnya pada BMP-15 (FecXI dan FecXB) mengubah
11
formasi asam amino, walaupun menghasilkan peptida yang komplit mutasi ini
merusak aktivitas biologi dari BMP-15 (Tabel 3). Keempat mutasi pada BMP-15
ini menunjukkan fenomena yang menarik yaitu fenotipe pada ovarium antara satu
mutasi dengan lainnya tidak dapat dibedakan (Liao et al. 2004).
Tabel 3 Beberapa variasi mutasi sekuens pada gen BMP-15
Gen
Allel
BMP-15
FecXI
FecXH
FecXG
FecXB
Posisi
Nucleotida
Perubahan
Basa
Perubahan
asam amino
896
871
718
1100
T-A
C-T
C-T
G-T
Val-Asp
Glu-stop
Gln-stop
Ser-Ile
Sumber : Galloway et al. (2000) dan Hanrahan et al. (2004).
Mutasi pada gen BMP-15 memberikan efek dominan terhadap prolifikasi
pada domba. Mutasi pada gen ini berassosiasi dengan laju ovulasi dan jumlah
anak sekelahiran (Tabel 4). Satu copy dari alel FecXI dan FecXH meningkatkan
laju ovulasi sekitar 0.8 anak setiap kelahiran, sebaliknya genotipe homozigot
adalah steril dengan ovarium berukuran kecil yang belum berkembang (Davis et
al. 2001).
Tabel 4 Mutasi gen BMP-15 dan pengaruhnya pada laju ovulasi
Gen
Allel
BMP-15
Nama
domba
Inverdale
Hanna
BMP-15
Beclare
FecXB
BMP-15
Galway
FecXG
BMP-15
FecXI
FecXH
Kromo- Efek terhadap rataan ovusom
lasi (OR) dan Litter size (LS)
X
I+ : OR+1.0 ; LS +0.6
II : Infertile
X
H+ : OR+1.0; LS+0.6
HH: Infertile
X
B+: OR+1.0
BB: infertile
X
G+: OR+0.7
GG: infertile
Bangsa
domba
Romney
Romney
Beclare
Beclare &
Cambridge
Sumber: Davis (2004).
Keterangan: OR : Ovulation rate/laju ovulasi
LS : litter size
Gen Growth Differentiation Factors 9 (GDF-9)
Gen Growth differentiation factors 9 (GDF9) merupakan gen pengontrol
yang esensial dibutuhkan dalam perkembangan folikel.
GDF9 menstimulasi
protein pada proses perkembangan folikel primordial dan folikel primer sampai
pengaturan granulosa cells dan teca cells (Davis et al. 2001). Gend GDF-9
12
(Gambar 5) pada domba terletak pada kromosom 5 yang terdiri atas 2 exon dan 1
intron dengan panjang 5644 bp. Exon 1 terdiri atas 396 bp, intron terdiri atas 1126
bp dan exon 2 terdiri atas 964 bp (Sadighi et al. 2002).
Exon 1
Intron
Exon 2
Gambar 5 Struktur gen GDF-9 (Sadighi et al. 2002).
Ekspresi GDF-9 berpengaruh terhadap perkembangan sel-sel spesifik pada
ovarium dalam tahapan folikuler normal, perkembangan granulosa cells dan
perkembangan oosit. Pengaruh dari ekspresi GDF-9 juga terlihat setelah ovulasi
terjadi dan 1.5 hari setelah terjadinya fertilisasi, selanjutnya mengatur
perkembangan awal dari embrio (Davis et al. 1999).
Mutasi pada GDF-9 terjadi pada basa 1184, yaitu perubahan basa C
menjadi T sehingga mengakibatkan perubahan asam amino dari serine menjadi
phenylalanine dan menghasilkan alel FecGH. Domba betina yang mengalami
mutasi gen GDF-9 dan memiliki alel FecGH homozigot berhubungan dengan
sterilitas pada domba betina. Mutasi gen GDF-9 dengan alel FecGH/FecG+ dalam
keadaan heterozigot mengakibatkan peningkatan rata-rata ovulasi (Hanrahan et al.
2004). Mutasi yang terjadi pada gen GDF-9 berassosiasi dengan mutasi yang
terjadi pada gen BMP-15 pada kromosom X yaitu pada keadaan homozigot
maupun heterozigot, memberikan dampak yang sama terhadap kondisi reproduksi
pada domba (Galloway et al. 2000).
Mekanisme Molekuler Peningkatan Laju Ovulasi pada Domba
Penelitian mengenai pengaruh mutasi pada gen BMPR-1B dan BMP-15
telah banyak dilaporkan oleh peneliti-peneliti dari berbagai negara. Analisis DNA
terhadap gen BMPR-1B dan BMP-15 pada berbagai bangsa domba termasuk
Domba Ekor Tipis (DET) dari Indonesia menunjukkan adanya mutasi yang
menyebabkan sifat prolifik pada domba-domba tersebut (Davis et al. 2001).
Ekspresi gen FecB terjadi pada ovarium dan kelenjar pituitary, tetapi
beberapa mekanisme belum bisa dijabarkan secara pasti apakah ekspresi tersebut
13
langsung berpengaruh atau tidak terhadap sirkulasi FSH pada ovarium. Mutasi
FecB pada titik Q249R diduga sebagai penyebab kehilangan fungsi secara partial
pada gen BMPR-1B yang berkaitan dengan hilangnya kemampuan reaksi terhadap
BMP-4. Mutasi ini menyebabkan kehilangan aktivitas pada receptor BMP,
kejadian ini dapat diilustrasikan sebagai fakta bahwa sel granulosa dari domba
betina yang tidak membawa mutasi FecB kurang sensitif terhadap aksi dari BMP4 pada perkembangan dan penghambatan produksi progesterone (Fabre et al.
2006).
Begitu juga dengan mekanisme molekuler terhadap kerusakan aktivitas
BMP-15 akibat mutasi FecX masih belum bisa dijelaskan secara pasti. Beberapa
hasil penelitian pada ternak domba menunjukkan bahwa peningkatan laju ovulasi
berhubungan dengan kehilangan fungsi pada sistem BMP-15 dengan efek aditif
pada mutan FecXI, FecXH, FecXG dan FecXB. Hubungan antara mutasi BMP-15
dengan laju ovulasi didasarkan pada konsep bahwa semakin aktivitas BMP-15
direduksi, laju ovulasi akan semakin meningkat, akan tetapi apabila level BMP-15
terlalu rendah akan menyebabkan tidak berfungsi secara total, maka
follikulogenesis akan dihambat pada tahap awal, seperti yang ditemukan pada
domba betina homozigot FecXmut (alel I, H, B dan G) (Fabre et al. 2006).
Berdasarkan konsep tersebut sebuah mekanisme molekuler dari sistem
BMP dapat dikemukakan untuk menjelaskan peranan dari molekul BMP-15 dan
BMPR-1B selama follikulogenesis. Mutasi pada BMP-15 menyebabkan fungsi
terhadap pengaturan sirkulasi ekspresi FSH pada granulose cells menurun,
sedangkan mutasi BMPR-1B berkaitan dengan hilangnya kemampuan reaksi
terhadap BMP-4 yang memainkan peran sentral dalam menentukan formasi
primordial germ cells (PGC) pada ovarium (Mulsant et al. 2001; Wilson et al.
2001). Kerusakan sistem BMP selama perkembangan folikel dapat meningkatnya
rata-rata ovulasi, yang diakibatkan oleh kehilangan fungsi pada sistem BMP yang
diakibatkan oleh mutasi.
Mutasi pada gen BMPR-1B menghasilkan mutasi pada FSH reseptor yang
dapat menyebabkan menurunnya aktivitas sistem BMP terhadap pengaturan
sirkulasi FSH pada granulosa cells dan teca cells sehingga konsentrasinya lebih
tinggi yang membuka peluang sensitifitas terhadap sel-sel ovarium menjadi lebih
14
tinggi. Sensifitas terhadap FSH mendukung perkembangan dan differensiasi
granulosa cells dan teca cells pada ovarium yang semakin aktif dan mendorong
terjadinya
seleksi
folikel
dominan
dalam
ovarium.
Kondisi
tersebut
mengakibatkan sel-sel ovarium semakin aktif membelah dan menyebabkan folikel
ovarium menjadi cepat dewasa dan matang. (Shackell et al. 1993; Fabre et al.
2006).) Jumlah granulosa cells yang banyak di dalam folikel ovarium
menandakan semakin banyak pula folikel ovarium dominan yang terbentuk,
kemudian
dapat
menyebabkan
terjadinya
super
ovulasi
(Davis
2005).
Perkembangan dan differensiasi granulosa cells pada ternak yang membawa
mutasi gen fekunditas ditandai dengan ukuran folikel yang lebih kecil dan lebih
banyak bila dibandingkan dengan ternak yang tidak mengalami mutasi pada
sistem BMP (Gambar 6) (Fabre et al. 2006).
Gambar 6 Dampak gen fekunditas terhadap mekanisme follikulogenesis dan
tingkat ovulasi pada domba (Fabre et al. 2006).
Marker Assited Selection (MAS)
Proses seleksi untuk suatu karakter tertentu dengan menggunakan marka
genetik dinamakan Marker Assisted Selection (MAS). MAS dapat mempercepat
laju perbaikan genetik melalaui peningkatan ketepatan seleksi dan mengurangi
interval generasi. Pemanfaatan markah DNA sebagai alat bantu seleksi (MAS)
lebih menguntungkan dibandingkan dengan seleksi secara fenotipeik. Penggunaan
15
penciri DNA menyebabkan keragaman genetik dalam populasi ternak, sehingga
akan semakin mudah teridentifikasi, hal ini penting untuk efektifitas program
seleksi karena program seleksi akan sangat efektif apabila populasi dalam kondisi
sangat beragam (Quali dan Talmant 1990).
Munculnya gagasan penggunaan MAS adalah adanya gen yang memiliki
hubungan nyata dan menjadi target secara spesifik dalam seleksi (Werf 2000).
Penerapan MAS
paling tepat digunakan untuk kegiatan seleksi pada sifat
produksi atau reproduksi dengan nilai heritabilitas rendah. Identifikasi terhadap
beberapa gen yang memiliki pengaruh utama (major gene) terhadap sifat-sifat
komersial pada ternak telah banyak dilakukan. Beberapa gen utama seperti gen
Booroola merupakan gen yang mengatur sifat prolifik pada domba, gen Thoka
inverdale dan Woodland merupakan gen yang berpengaruh pada laju ovulasi, gen
Callypyge berpengaruh pada produksi daging domba, gen double muscling
berpengaruh pada produksi daging sapi dan gen Nacked Neck berpengaruh pada
toleransi panas pada ayam (Davis et al. 1998)
Pemanfaatan teknik Restriction fragmen length polymorfism (RFLP)
sebagai MAS menjadi semakin diminati setelah dikembangkannya teknik
Polymese chain reaction (PCR) untuk amplifikasi fragmen DNA. Kombinasi
teknik PCR dan RFLP merupakan teknik pertama yang dikembangkan untuk
memvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan pada penggunaan
enzim restriksi yang dapat memotong pada sekuens nukleotida spesifik (Montaldo
dan Herera 1998). Jumlah dan ukuran fragmen DNA hasil pemotongan dengan
enzim restriksi memiliki pola pita ada atau tidak adanya tempat retriksi. Apabila
terpotong
ada indikasi terjadi mutasi pada situs tersebut sehingga tidak ada
variasi hasil pemotongan dan ekspresinya bersifat kodominan (Meghen et al.
1995). Hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat divisualisasikan melalui
teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukkan ada atau tidaknya polimorfisme
(keragaman) pada suatu individu dalam populasi (Nei dan Kumar 2000).
Download