TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sistematika Tebu

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Sistematika Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah sebagai berikut;
Kingdom : Plantae; Divisio : Spermatophyta; Sub divisi : Angiospermae;
Kelas : Monocotyledonae; Ordo : Poales; Familia : Poaceae; Genus : Saccharum;
Spesies : Saccharum officinarum L. (Steenis, 2005).
Akar tanaman tebu adalah serabut, hal ini sebagai salah satu tanda bahwa
tanaman ini termasuk kelas Monocotyledone. Akar tebu dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu akar stek dan akar tunas. Akar stek disebut pula akar bibit yang masa
hidupnya tidak lama. Akar ini tumbuh pada cincin akar dari stek batang.
Sedangkan akar tunas merupakan pengganti akar bibit. Pertumbuhan akar ada
yang tegak lurus kebawah, ada yang mendatar dekat permukaan tanah
(Steenis, 2005).
Tebu termasuk tanaman perdu, sering pula digolongkan kedalam bangsa
rumput. Batang tebu berdiri lurus, terdiri atas ruas – ruas yang dibatasi dengan
buku – buku. Pada setiap buku terdapat mata tunas. Besar batang tebu antara 3
sampai 4 cm diukur dari garis tengah. Tinggi batang tebu 2 sampai 5 meter dan
tidak bercabang. Mata tunas bawah yang ada di dalam tanah tumbuh keluar
membentuk rumpun (Munir, 1983).
Daun tanaman tebu adalah daun tidak lengkap, karena terdiri dari helai
daun dan pelepah daun saja, sedang tangkai daunnya tidak ada. Kedudukan daun
berpangkal pada buku. Panjang helaian daun adalah antara 1 sampai 2 meter,
sedangkan lebarnya 4-7 cm, ujungnya meruncing, tepinya seperti gigi dan
mengandung kersik yang tajam. Diantara pelepah daun dan helaian daun terdapat
Universitas Sumatera Utara
sendi segitiga dan pada bagian sisi dalamnya terdapat lidah daun yang membatasi
antara helaian daun dan pelepah daun. Ukuran lebar daun sempit kurang 4 cm,
sedang antara 4-6 cm dan lebar 6 cm (Steenis, 2005).
Bunga tebu merupakan malai yang bentuknya piramida, panjangnya antara
70-90 cm. Bunga tebu biasanya muncul pada bulan April-Mei. Bunganya terdiri
dari tenda bunga yaitu 3 helai daun tajuk bunga. Bunga tebu mempunyai 1 bakal
buah dan 3 benang sari, kepala putiknya berbentuk bulu (Steenis, 2005)
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman tebu tumbuh di daerah tropika dan subtropika sampai batas garis
isoterm 20ºC yaitu antara 19ºLU – 35ºLS. Kondisi tanah yang baik bagi tanaman
tebu adalah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah, selain itu akar
tanaman tebu sangat sensitif terhadap kekurangan udara dalam tanah sehingga
pengairan dan drainase harus sangat diperhatikan. Drainase yang baik dengan
kedalaman sekitar 1 meter memberikan peluang akar tanaman menyerap air dan
unsur hara pada lapisan yang lebih dalam sehingga pertumbuhan tanaman pada
musim kemarau tidak terganggu. Drainase yang
baik dan dalam juga dapat
menyalurkan kelebihan air di musim penghujan sehingga tidak terjadi genangan
air yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman karena berkurangnya oksigen
dalam tanah (Indrawanto, et al., 2010).
Tanaman tebu dapat tumbuh baik di daerah curah hujan berkisar
antara 1000 – 1300 mm per tahun dengan sekurang – kurangnya 3 bulan kering.
Suhu ideal bagi tanaman tebu berkisar antara 24ºC - 34ºC dengan perbedaan suhu
antara siang dan malam tidak lebih dari 10ºC. Pembentukan sukrosa terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
siang hari dan akan berjalan optimal pada suhu 30ºC. Tanaman tebu
membutuhkan penyinaran 12 – 14 jam setiap harinya. Proses asimilasi akan
berjalan optimal, apabila daun tanaman memperoleh radiasi penyinaran secara
penuh sehingga cuaca berawan pada siang hari akan mempengaruhi intensitas
penyinaran dan berakibat pada menurunnya fotosintesa (Indrawanto, et al., 2010).
Tanah
Dilihat dari jenis tanah, tanaman tebu dapat tumbuh baik pada berbagai
jenis tanah seperti tanah alluvial, grumosol, latosol dan regusol dengan ketinggian
antara 0 – 1400 m diatas permukaan laut. Akan tetapi lahan yang paling sesuai
adalah kurang dari 500 m diatas permukaan laut. Sedangkan pada ketinggian >
1200 m diatas permukaan laut pertumbuhan tanaman relatif lambat. Kemiringan
lahan sebaiknya kurang dari 8%, meskipun pada kemiringan sampai 10% dapat
juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Kondisi lahan terbaik untuk tebu
adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2% apabila tanahnya ringan
dan sampai 5 % apabila tanahnya lebih berat (Indrawanto, et al., 2010).
Struktur tanah yang baik untuk pertanaman tebu adalah
tanah yang
gembur sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna, oleh karena
itu upaya pemecahan bongkahan tanah atau agregat tanah menjadi partikelpartikel kecil akan memudahkan akar menerobos. Sedangkan tekstur tanah, yaitu
perbandingan partikel- partikel tanah berupa lempung, debu dan liat, yang ideal
bagi pertumbuhan tanaman tebu adalah tekstur tanah ringan sampai agak berat
dengan kemampuan menahan air cukup dan porositas 30 %. Tanaman tebu
menghendaki solum tanah minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air dan
permukaan air 40 cm. Sehingga pada lahan kering, apabila lapisan tanah atasnya
Universitas Sumatera Utara
tipis maka pengolahan tanah harus dalam. Demikian pula apabila ditemukan
lapisan kedap air, lapisan ini harus dipecah agar sistem aerasi, air tanah dan
perakaran tanaman berkembang dengan baik (Indrawanto, et al., 2010).
Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6 ‐
7,5, akan tetapi masih toleran pada pH tidak lebih tinggi dari 8,5 atau tidak lebih
rendah dari 4,5. Pada pH yang tinggi ketersediaan unsur hara menjadi terbatas.
Sedangkan pada pH kurang dari 5 akan menyebabkan keracunan Fe dan Al pada
tanaman, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian kapur (CaCo3) agar unsur Fe
dan Al dapat dikurangi. Bahan racun utama lainnya dalam tanah adalah klor (Cl),
kadar Cl dalam tanah sekitar 0,06 – 0,1 % telah bersifat racun bagi akar tanaman.
Pada tanah ditepi pantai karena rembesan air laut, kadar Cl nya cukup tinggi
sehingga bersifat racun (Indrawanto, et al., 2010).
Bud Chips
Teknik bud chips merupakan teknik pembibitan tebu berupa mata tunas
yang diambil dari bibit tebu (Budiarto, 2013). Bud chips adalah teknologi
percepatan pembibitan tebu dengan satu mata tunas yang diperoleh dengan
menggunakan alat mesin bor berupa chisel mortisier (alat pemotong batang tebu).
Pusat Penelitian Gula PTPN X telah mengadopsi teknologi pembibitan tebu ini
dari columbia. Dengan menggunakan bud chips diharapkan akan tumbuh banyak
anakan dengan pertumbuhan yang seragam (P3G1 Kediri, 2014).
Keunggulan bibit tebu bud chips adalah setelah dipindahkan kelapang tebu
mampu membentuk anakan 10-20 anakan. Anakan tersebut akan tumbuh
sempurna sampai panen 8-10 batang per rumpun sedangkan bibit dari bagal
anakan yang terbentuk 1-4 anakan saja. Bibit bud chips juga memiliki keunggulan
Universitas Sumatera Utara
dalam pembentukan anakan serempak pada umur 1-3 bulan. Pertumbuhan
tanaman tebu sejak awal tumbuh seragam menjadikan tingkat kemasakan tebu
dilapang sama mampu meningkatkan rendemen dan produksi persatuan luas
tanam (Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, 2013).
Bibit bud chips dapat berasal dari batang tebu bagian atas, tengah dan
bawah. Bibit bud chips yang berasal dari bagian atas memiliki daya kecambah
lebih tinggi dibandingkan dari batang tebu bagian tengah dan bawah sehingga bud
chips yang berasal dari batang tebu bagian atas akan lebih cepat bertunas.
Alat yang digunakan untuk mengebor bibit adalah mesin bor duduk yang
merupakan rancangan dari Puslit PTPN X. Alat ini memang belum standar tetapi
sudah bisa digunakan untuk mengebor bibit tebu dengan mata tunas satu atau
biasa disebut dengan bud chips. Tebu yang digunakan sebagai benih bud chips
biasanya berasal dari hasil kultur jaringan, yang berumur 6 – 8 bulan. Bibit yang
diambil berupa satu mata tunas dengan posisi mata terletak ditengah – tengah dari
panjang stek dan cincin ruas tidak semuanya ikut. Sehingga ruang untuk keluar
akar semakin sedikit, tetapi ketika tanaman dipindah di lapangan akar akan
tumbuh dengan subur dan serentak (BBPPTP, 2014).
IAA (Indole Acetic Acid)
IAA
dalam
budidaya
jaringan
berperan
dalam
mempengaruhi
perkembangan dan pembesaran sel, sehingga tekanan dinding sel terhadap
protoplasma berkurang, hal ini mengakibatkan protoplast dapat mengabsorbsi air
di sekitar sel, sehingga sel menjadi panjang terutama sel-sel di bagian maristem
(Hidayat, 2007).
Universitas Sumatera Utara
IAA (Asam Indolasetat) yaitu sebagai auksin utama pada tanaman,
dibiosintesis dari asam amino prekursor triptopan, dengan hasil perantara
sejumlah substansi yang secara alami mirip auksin (analog) tetapi mempunyai
aktifitas lebih kecil dari IAA seperti IAN (Indolaseto nitril), IpyA (Asam
Indolpiruvat) dan IAAld (Indolasetatdehid). Proses biosintesis auksin dibantu oleh
enzim IAA-oksidase (Gardner, et al., 1991).
Auksin pertama kali diisolasi pada tahun 1928 dari biji-bijian dan tepung
sari bunga yang tidak aktif, dari hasil isolasi didapatkan rumus kimia auksin
(IAA = Asam Indolasetat) atau C10H9O2N
Gambar 1. Rumus bangun auksin (IAA)
Sumber : Ilmu (2008)
IAA merupakan auksin yang disintesis secara alamiah di dalam tubuh
tanaman, namun senyawa ini mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya
dan oksidadi enzimatik. Oleh karena itu, IAA biasanya diberikan pada konsentrasi
yang relatif tinggi (1 – 30 mg/l) (Zulkarnain, 2009). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Hidayat (2007) yaitu IAA akan habis dioksidasi oleh enzim bila terkena
cahaya, oleh karena itu jumlah yang diberikan harus besar (1-30 ppm) perlakuan
memberikan jumlah kalus terbanyak yaitu 2,50 kalus dan waktu terbentuk kalus
tercepat (147, 75 hari) adalah pada perlakuan pemberian pemberian (5,0 ppm IAA
+ 6,0 ppm Kinetine).
Pertumbuhan bibit stek lada dipengaruhi oleh ZPT (auksin). Konsentrasi
auksin terbaik pada panjang tunas (15.14 cm) dan jumlah akar (7.78) adalah 12.5
Universitas Sumatera Utara
g/l. Jumlah akar menurun dan meningkat kembali sesuai dengan peningkatan
konsentrasi auksin (Amanah, 2009).
Dominansi perpanjangan tunas lebih banyak terdapat pada bagian atas
bagal sedangkan perpanjangan akar lebih banyak di bagian bawah bagal. Hal ini
dikarenakan akumulasi auksin pada bagal bagian atas (top stek) lebih banyak
dibandingkan bagian bawah yang lebih banyak kandungan sitokinin sehingga
lebih memicu pertumbuhan tunas pada bagal atas (Khuluq, 2013).
Auksin jenis IAA dalam kultur jaringan pada konsentrasi 0,1 mg/l
menghasilkan akar terpanjang sedangkan kombinasi perlakuan auksin 0,1 mg/l
IBA + 0,1 mg/l NAA menghasilkan akar terpendek. Pada konsentrasi rendah, IAA
menyebabkan
pemanjangan
baik
pada
pucuk
maupun
pada
akar
(Arimarsetiowati dan Ardiyani, 2012).
Perlakuan tingkat konsentrasi IAA memberikan pengaruh yang sangat
nyata terhadap penurunan variabel pertumbuhan stek melati gambir yaitu jumlah
daun, bobot kering tunas, dan jumlah akar, perlakuan tingkat konsentrasi IBA
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel pertumbuhan tunas
maupun akar stek melati gambir, dan terdapat interaksi yang sangat nyata
terhadap jumlah daun yaitu pada IAA 0 ppm + IBA 300 ppm (98.44 helai), serta
interaksi nyata terhadap bobot kering tunas yaitu pada IAA 0 ppm + IBA 300 ppm
(0.45 g) dan jumlah akar yaitu pada IAA 0 ppm + IBA 300 ppm (13.78 buah)
(Hidayatullah, 2013).
Selain pertumbuhan panjang akar, auksin juga dapat berpengaruh
terhadap pertumbuhan daun. Daun merupakan salah satu organ tanaman yang
sangat
penting
terutama
untuk
fotosintesis
supaya
tanaman
dapat
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan
Semakin
maka
makanan
dan
mengalami
pertumbuhan
yang
optimum.
bertambah jumlah daun, ukuran panjang serta lebar daun
semakin
besar
pengaruhnya
terhadap
pertumbuhan
tanaman
(Sylvia, 2009).
Perlakuan lama perendaman IAA pada tanaman jati (Tectona grandis L.)
berpengaruh sangat nyata meningkatkan kecepatan benih berkecambah,
persentase benih berkecambah, tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang,
panjang akar, berat segar bibit, dan berat kering bibit. Interaksi perlakuan
konsentrasi IAA dan lama perendaman berpengaruh tidak nyata terhadap diameter
batang, tetapi berpengaruh sangat nyata pada kecepatan benih berkecambah,
persentase benih berkecambah, tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang,
panjang akar, berat segar bibit, dan berat kering bibit. Berat kering bibit jati
tertinggi (14.54 ons) dicapai oleh perlakuan IAA 20 mg/l dengan lama
perendaman 24 jam, sedangkan hasil terendah (4.53 ons) dicapai perlakuan tanpa
IAA dan tanpa perendaman (Rahayu dan Alfatoni, 2010).
Pemberian NAA dengan tingkat konsentrasi 100 ppm dan lama
perendaman 30 menit menghasilkan panjang akar yang lebih panjang, pada
tingkat
konsentrasi
200
ppm dengan
lama
perendaman
20
menit
menghasilkan bobot segar dan bobot kering akar bibit nenas yang lebih besar.
Konsentrasi NAA 100 ppm meningkatkan persentase hidup bibit, panjang
daun, dan tinggi bibit nenas, sedangkan jumlah akar terbanyak pada konsentrasi
NAA 200 ppm. Pemberian NAA pada berbagai tingkat konsentrasi tidak
meningkatkan
pertambahan jumlah daun, jumlah stomata daun dan jumlah
Universitas Sumatera Utara
klorofil daun. Perlakuan lama perendaman tidak memberi pengaruh yang
nyata pada semua peubah yang diamati (Marzuki., et al, 2008).
Auksin akan mematahkan dormansi benih dan akan merangsang proses
perkecambahan benih. Perendaman benih dengan auksin akan menaikkan
kuantitas hasil panen. Salah satu manfaat auksin yaitu merangsang enzim yang
berguna dalam mengaktifkan metabolisme sel yang salah satunya untuk
mengambil oksigen. Oksigen diperlukan untuk oksidasi cadangan makanan yang
terdapat dalam benih. Dengan demikian, hasil oksidasi dapat digunakan untuk
pertumbuhan benih. Proses perkecambahan terjadi karena sel – sel embrional
memiliki kemampuan membelah diri bertambah banyak (Fahmi, 2014).
Penambahan
auksin
dengan
konsentrasi tertentu tidak selalu
meningkatkan pertumbuhan akar tetapi justru dapat menurunkan pertumbuhan
akar. Hal tersebut berhubungan dengan kadar nitrogen yang ada pada masingmasing media tumbuh yang telah dikombinasikan dengan berbagai jenis auksin.
Penambahan konsentrasi yang optimal untuk pertumbuhan akar berbeda pada
masing-masing tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan pada tanaman
Pelargonium x hortorum Bailey menunjukkan bahwa penambahan NAA pada
konsentrasi rendah (<1µM) menghasilkan perakaran yang kurang baik, meskipun
sudah dikombinasikan dengan
benzyladenine.
Jika konsentrasi NAA yang
ditambahkan semakin tinggi (>1µM), pertumbuhan akar semakin banyak.
Sedangkan pada tanaman Pelargonium tomentosum, penambahan IBA 0,8-1,0
mg/L menghasilkan akar yang pendek, gemuk serta cenderung membentuk
kalus. Penambahan IBA
pada
konsentrasi
lebih
rendah
dari 0,8 mg/L
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan akar yang normal, sedangkan perakaran terbaik didapatkan pada
perlakuan IBA 0,5 mg/L (Gandadikusumah, 2002).
Penggunaan IAA dan IBA pada konsentrasi 250 dan 500 ppm yang
direndam selama 15, 30 dan 60 menit memberikan hasil yang berbeda
terhadap
persentase
pertumbuhan
stek
Aristolochia
manshuriensis
(Marzuki., et al, 2008).
Lama perendaman auksin – induksi memiliki sejumlah karakteristik yang
berbeda. Pertama adalah ketentuan waktunya. Penambahan auksin setelah 8 menit
akan meningkatkan pertumbuhan. Kemudian akan terus meningkat hingga
maksimum setelah 30 – 60 menit. Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa fakta
tetapi tidak pada semua kasus, tingkat pertumbuhan dapat turun setelah
peningkatan konsentrasi auksin (Davies, 1995).
Pemakaian zat pengatur tumbuh dalam pengembangan tanaman secara
vegetatif sudah banyak dikenal. Pemakaian IBA dan NAA lebih baik dari
IAA karena IBA dan NAA lebih stabil sifat kimia dan mobilitasnya di dalam
tanaman, pengaruhnya lama dan tetap berada di dekat tempat pemberian dan
tak menyebar ke bagian stek lain, tidak mempengaruhi pertumbuhan yang
lain, mendapatkan akar yang subur dengan struktur biasa, sedangkan IAA
dapat
tersebar
ke
tunas-tunas
dan menghalangi
perkembangan
serta
pertumbuhan tunas (Suprapto, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Download