I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker kepala dan leher merupakan salah satu tumor ganas yang banyak terjadi didunia dan meliputi sekitar 2,8% kasus keganasan (Jemal dkk., 2006). Kanker kepala dan leher meliputi keganasan epitelial pada saluran pencernaan dan pernapasan bagian atas, yaitu sinus paranasal, rongga hidung, rongga mulut, faring dan laring (Cognetti dkk., 2008). Kanker kepala dan leher merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai karakter agresif. Pertumbuhan lanjut dari sel kanker sering terjadi pada sebagian besar penderitanya (Ridge dkk., 2011). Perawatan kanker kepala dan leher meliputi radioterapi, kombinasi radioterapikemoterapi dan pembedahan (Scully, 2004; Sciubba dan Goldenberg, 2006). Penyembuhan total penyakit yang sudah memasuki tahap lanjut tergantung pada kombinasi pembedahan dan radioterapi. Kombinasi pengobatan kanker terbukti sebagai pengobatan yang paling efektif untuk penderita kanker stadium lanjut. Penggunaan radioterapi kepala dan leher mengalami peningkatan yang pesat. Hal tersebut didukung dengan perkembangan teknologi alat penghasil radiasi ionisasi, kemajuan ilmu radiobiologi, dan ketepatan pengukuran suatu pancaran radiasi (Leer dan Schueren, 1999). Radioterapi sering digunakan sebagai terapi primer dalam penatalaksanaan keganasan rongga mulut. Radioterapi sangat efektif mematikan sel-sel ganas pada lesi dini hingga anak sebar ke limfatik. Target terapi radiasi adalah tumor primer dan area disekitar tumor primer yang berisiko terjadinya penyebaran tumor (Chan dan Felip, 2009; American Cancer Society, 2012). Dosis yang diperlukan untuk penyinaran tumor di daerah leher dan 1 2 kepala berkisar antara 60-70 Gy. Untuk meminimalkan toksisitas radiasi, penyinaran tidak dilakukan secara langsung dengan dosis 60 Gy, tetapi secara bertahap dengan dosis 2 Gy setiap penyinaran (Chan dan Felip, 2009). Radioterapi menggunakan radiasi elektromagnetik berenergi tinggi sinar gamma dan sinar-X atau partikulat berenergi tinggi yang dapat merusak reproduksi sel-sel ganas. Radiasi yang berionisasi menyebabkan kematian sel dengan merusak struktur DNA intraseluler dan fungsinya dengan cara memecah molekul DNA berantai ganda (Kent danSamit, 1994). Menurut Leer dan Schueren (1999), radiasi ionisasi yang dihasilkan oleh instrument akselerator linier atau secara spontan keluar dari energy radioaktif dapat diserap oleh jaringan hidup menyebabkan terjadinya kerusakan DNA. Kerusakan DNA tersebut mengindikasikan bahwa setelah kehilangan kemampuannya untuk membelah diri. Komplikasi radioterapi secara langsung dapat bersifat permanen dan progresif di jaringan dibandingkan dengan komplikasi pada pembedahan. Menurut Spijkervet (1996) perkembangan dan keparahan efek samping penyinaran pada jaringan normal tergantung pada beberapa faktor, yaitu faktor yang berkaitan dengan jaringan, misalnya kepekaan komponen sel dan faktor yang berkaitan dengan penyinarannya, seperti dosis total radiasi, volume jaringan terradiasi, fraksionasi, dan jenis radiasi pengion. Penderita kanker kepala dan leher mendapatkan perawatan radioterapi sebagai terapi primer. Dampak penyinaran radioterapi kanker kepala dan leher mengakibatkan kebersihan mulut menjadi buruk, kesulitan menelan makanan, sehingga kondisi yang sudah menurunakan bertambah buruk dan dapat 3 mempengaruhi kualitas hidup (quality of life). Hendarti dkk. (2001) melaporkan, komplikasi utama yang terjadi akibat radioterapi daerah leher dan kepala antara lain: osteoradionekrosis, mukositis akut, kandidiasis, perubahan kualitas dan kuantitas saliva, peningkatan karies sekunder dan kerusakan gigi. Radiasi pengion pada kelenjar saliva mengakibatkan inflamasi dan degenerasi sel asinar serous. Dosis radiasi pada daerah kepala dan leher antara 20 hingga 40 Gy dapat menimbulkan efek hiposalivasi (Gregoire, 2007). Eisbruch dkk. (1999) melaporkan bahwa dosis radiasi pada kelenjarparotis sebesar 26 Gy atau lebih mengakibatkan penurunan curah saliva yang signifikan (Eisbruch dkk., 2003).Waktu pergantian (turnover) sel-sel pada glandula saliva lambat, sehingga jaringan ini memberikan respon lambat terhadap paparan radiasi, yaitu lebih dari 60 hari setelah dilakukan penyinaran (Leer dan Schueren, 1999). Penurunan curah saliva dapat mengakibatkan mukosa mulut menjadi kering dan sel-sel mukosa atropi serta terjadi perubahan keseimbangan flora normal dalam mulut (Vissink, 2010). Pasien kanker kepala dan leher yang mendapatkan terapi radiasi memiliki resiko tinggi adanya kolonisasi Candida albicans (Dambroso dkk, 2009). Kenaikan jumlah Candida sp. dapat menjadikannya sebagai patogen, dan apabila dikombinasikan dengan kondisi host yang buruk dapat menyebabkan kandisiasis mulut (Raju dan Rajappa, 2011). Efek akut lain umumnya terkait dengan mukositis adalah kandidiasis oral. Kolonisasi jamur pada jaringan yang rusak dapat memperkuat efek gejala radiasi pada mukosa mulut (Coia dkk., 1991). 4 Candida albicans merupakan flora normal pada selaput lender saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan genitalia wanita. C.albicans dapat tumbuh pada suhu 37°C dalam kondisi aerob atau anaerob. Candida albicans merupakan spesies Candida sp.utama yang terdapat pada rongga mulut dan bertanggung jawab pada sebagian besar infeksi rongga mulut pada pasien radioterapi (Koc dan Aktas, 2003). Kandidiasis mulut terjadi akibat dari pertumbuhan berlebih (overgrowth) genus Candida, khususnya Candida albicans (Akpan dan Morgan, 2002). Candida sp. termasuk flora normal dari rongga mulut dan terdapat pada 40% (kisaran 20-40%) dari populasi Candida pada tubuh manusia (Koc dan Aktas, 2003). Dinding sel candida merupakan bagian penting, yang sangat berperan dalam biologi maupun patogenisitas candida. Namun belum dilakukan penelitian tentang hubungan jumlah koloni Candida sp. Saliva dengan dosis radioterapi pada penderita kanker kepala dan leher. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang timbul adalah apakah terdapat hubungan jumlah koloni Candida sp. Saliva dengan dosis radioterapi pada penderita kanker kepala dan leher. C.Keaslian Penelitian Penelitian mengenai radioterapi pada penderita kanker kepala dan leher telah banyak dilakukan. Penelitian Koc dkk. (2003) menyatakan bahwa 59% penyebab kandidiasis pada pasien kanker kepala dan leher yang mendapat radioterapi adalah Candida albicans (C. Albicans). Studi Leung dkk. (2000) juga 5 menyatakan bahwa penderita kanker nasofaring yang mengalami hiposalivasi terdapat koloni jamur spesies candida, terutama C. albicans. Namun penelitian tentang hubungan jumlah koloni Candida sp. Saliva dengan dosis radioterapi pada penderita kanker kepala dan leher belum pernah dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan jumlah koloni Candida sp. Saliva dengan dosis radioterapi pada penderita kanker kepala dan leher. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan informasi dalam ilmu kedokteran gigi tentang hubungan jumlah koloni Candida sp. Saliva dengan dosis radioterapi pada penderita kanker kepala dan leher. 2. Menjadikan hasil penelitian ini sebagai acuan atau referensi lebih lanjut.