BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nyeri
2.1.1 Definisi
Nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain
(IASP,1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan
jaringan.
Definisi nyeri tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah produk
kerusakan struktur, bukan saja respons sensorik dari suatu proses nosisepsi.
Nosiseptor adalah reseptor nyeri untuk mendeteksi nyeri yang disebabkan oleh
cedera jaringan tubuh; cedera tersebut dapat berasal dari rangsangan fisik seperti
rangsang mekanik, termal, listrik atau kimia (toksin atau kelebihan zat nontoksin).
Pada dasarnya nyeri adalah reaksi fisiologis karena reaksi protektif untuk
menghindari stimulus yang membahayakan tubuh. Tetapi bila nyeri tetap
berlangsung walaupun stimulus penyebab sudah tidak ada, berarti telah terjadi
perubahan patofisiologis yang justru merugikan tubuh. Walaupun nyeri
merupakan reaksi tubuh terhadap stimuli yang berbahaya, nyeri juga memberi
sedikit efek positif yaitu, pelindung sistem peringatan dini (protective early
warning system) untuk pasien pasca operasi, pasien kanker, dan pasien yang
mengalami nyeri atau penyakit kronik yang lain. Nyeri semacam ini tidak saja
menimbulkan perasaan tidak nyaman, tetapi juga reaksi stress, yaitu rangkaian
reaksi fisik maupun biologis yang dapat menghambat proses penyembuhan. Nyeri
patologis atau nyeri klinik inilah yang membutuhkan terapi.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Etiologi
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman seseorang terhadap nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian
nyeri yang akurat dan memiliah terapi nyeri yang baik.
a. Trauma
i. mekanik; rasa nyeri yang timbul akibat ujung-ujung saraf bebes mengalami
kerusakan, misalnya akibat benturan, geresan, luka dll.
ii. termal; nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsang akibat
panas dingin misalnya terkena api.
iii. kimia; nyeri timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau
basa akut.
iv. listrik; nyeri yang timbul akibat nyeri listrik yang kuat mengenai reseptor
rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
b. Neoplasma
i. jinak
ii. ganas
c. Peradangan
- nyeri karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya
peradangan atau terjepit oleh pembengkakan.
d. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah
e. Trauma psikologi
2.1.3 Sifat-sifat Nyeri
a. Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi
b. Nyeri tidak dapat dinilai secara subjektif seperti sinar-X atau lab darah
c. Hanya pasien dapat mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya
d. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis
e. Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan
f. Nyeri mengawali ketidakmampuan
g. Persepsi nyeri yang salah memyebabakan manajemen nyeri tidak optimal
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Klasifikasi
Nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individu. Adanya takut, marah,
cemas, depresi dan lelah yang mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Hal
ini menyebabkan sensasi nyeri ini perlu dikategorikan. Nyeri dapat diklasifikasi
berdasarkan beberapa aspek:
a) kecepatan
 fast pain
Nyeri akan terasa dalam 0.1 detik selepas stimulus nyeri terangsang. Fast
pain juga diketahui sebagai nyeri tajam (sharp pain), nyeri menusuk
(pricking pain), nyeri akut (acute pain), dan nyeri listrik (electric pain).
Nyeri seperti ini terasa apabila kulit tertusuk jarum, luka pada kulit
disebabkan oleh pisau, pembakaran akut pada kulit atau apabila pasien
terkena kejutan elektrik. Fast pain ini terasa pada permukanan kulit sahaja.
 slow pain
Nyeri hanya akan bermula selepas 1 detik atau lebih dan akan meningkat
secara perlahan mungkin sehingga 1 menit. Slow pain juga dikenali sebagai
nyeri lambat terbakar (slow-burning pain), aching pain, nyeri berdenyutdenyut (throbbing pain), nyeri memuakkan (nauseous pain), dan nyeri
kronik (chronic pain). Rasa nyeri ini memanjang dan kadang-kala tidak
dapat ditahan oleh penderita. Hal ini karena, nyeri yang terjadi berhubung
dengan kerusakan jaringan dan sampai sehingga jaringan atau organ.
b) lokasi
 nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusinya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran
mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.
 nyeri somatik dalam
Universitas Sumatera Utara
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang sendi, jaringan ikat.
 nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau organ yang menutupinya
(pleura parietalis, pericardium, peritoneum). Nyeri viseral biasanya menjalar
dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun
berasal dari dermatom yang same dengan rasa nyeri. Nyeri visceral seing
kali terjadi seperti kontraksi otot polos (kram bersamaan dengan
gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi uretral, menstruasi dan
distensi uterus pada tahap pertama persalinan).
c) etiologi
 nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh
rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi
maupun sensitisasi pada nosiseptif perifer. Nyeri yang disebabkan oleh
kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor
baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf
sensoris dan simpatik. Contohnya pasca trauma operasi dan luka bakar.
Nyeri nosiseptif bisasnya memberikan respon terhadap analgesic
opioid atau non-opioid.
 nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan
neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi
jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan
rasa terbakar dan menusuk. Contohnya diabetes mellitus dan herpes
zoster. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi
respon yang kurang baik terhadap analgesic opioid.
d) timbulnya nyeri
Universitas Sumatera Utara
 nyeri akut
Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas
setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri
ini dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Nyeri ini ditandai
dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti takikardi, hipertensi,
hyperhidrosis, pucat dan midriasis.
 nyeri kronik
Nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau non-malignan yang
dialami pasien paling tidak 1-6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya
disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting
disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri
kronik non- malignan (nyeri punggung, migraine, artritis, diabetic neuropati)
sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan
neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord)
akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.
e) derajat nyeri
 nyeri ringan – nyeri hilang timbul terutama saat beraktivitas
 nyeri sedang – nyeri terus-menerus tetapi hilang apabila tidur
 nyeri berat – nyeri terus-menerus sepanjang hari sehingga tidak dapat tidur
2.1.5. Patofisiologi
Apabila terjadi kerusakan sel-sel atau jaringan pada tubuh, zat-zat kimia
yang menimbulkan nyeri terkumpul dan akan terjadi pelepasan beberapa jenis
mediator seperti zat-zat, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti
metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat
menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1
Zat-zat yang timbul akibat nyeri
Menimbulkan
Efek pada aferen
nyeri
primer
Sel-sel rusak
++
Mengaktifkan
Serotonin
Trombosis
++
Mengaktifkan
Bradikinin
Kininogen plasma
+++
Mengaktifkan
Histamin
Sel-sel mast
+
Mengaktifkan
±
Sensitisasi
±
Sensitisasi
±
Sensitisasi
Zat
Sumber
Kalium
Prostaglandin
Lekotrien
Substansi P
Asam arakidonat
dan sel rusak
Asam arakidonat
dan sel rusak
Aferen primer
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang
mengikuti suatu proses nosisepsis yaitu:
a) Tranduksi/Tranduction
Adalah perubahan rangsangan nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas
listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat seperti prostaglandin,
serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamine, asam
laktat dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptorreseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas
serat afferent A-delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai di
jaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang
lain. Serat saraf afferent A-delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik
yang mempuyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral
ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri
menyebabkan terbentuknya impuls nyeri. Transduksi adalah adalah proses
dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh otak.
Universitas Sumatera Utara
Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini
(nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang
datang seperti kerusakan jaringan.
b) Transmisi/Transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa
impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi
melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil
ke sedang serta yang berdiameter besar. Saraf aferen akan berakson pada
dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui
sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus
menuju cortex serebral.
c) Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol
jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan system
neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi
impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan
mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti
bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui
saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor.
d) Persepsi/Perception
Persepsi adalah proses yang subjektif. Proses persepsi ini tidak hanya
berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi
juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat). Oleh
karena itu, faktor psikologis, emosional,dan berhavioral (perilaku) juga
muncul sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut.
Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena
yang melibatkan multidimensional.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Penilaian Nyeri
2.2.1 Definisi
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri pasca pembedahan yang efektif. Keparahan nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan. Keparahan nyeri pasien dapat dinilai menggunakan skala
penilaian nyeri dan keterangan pasien.
2.2.2 Jenis Skala Penilaian Nyeri
Terdapat beberapa jenis skala penilain nyeri untuk mengukur keparahan
nyeri pasien. Skala penilaian nyeri ini dikategorikan kepada dua kelompk besar:
1. Pasien yang dapat berkomunikasi
a) Verbal Rating Scale (VRS)
 pasien ditanya tentang derajat nyeri yang dirasa berdasarkan skala lima
poin yaitu tidak nyeri, ringan sedang, berat dan sangat berat
Gambar 2.2-1. Verbal Rating Scale
b) Numerical Rating Scale (NRS)
 skala ini dikemukakan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri
dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.
Gambar 2.2-2. Nurmerical Rating Scale
c) Visual Analogue Scale (VAS)
 skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948
yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)
penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat
 pasien
diminta
untuk
membuat
tanda
digaris
tersebut
untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan
 penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah
dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya
 penggunaan VAS direkomendasikan oleh Coll karena selain telah
digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih
baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan
menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi
permasalahan
 Willianson juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan
menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya
karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio
Universitas Sumatera Utara
 nilai VAS antara 0-4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan
digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia
 nilai VAS > 4, dimana VAS antara 4-6 cm adalah tingkat nyeri sedang
dan VAS antara 7-10 cm adalah tingkat nyeri berat tetapi dianggap nyeri
sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga
perlu diberikan obat analgetik penyelamat (rescue analgetic).
Gambar 2.2-3. Visual Analogue Scale
Universitas Sumatera Utara
2. Pasien yang tidak dapat berkomunikasi
a) Skala FLACC (Faces, Legs, Activity, Cry and Consolability)
 skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7
tahun. Setiap kategori (Faces,Legs,Activity,Cry,dan Consolability) diberi
nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10.
Tabel 2.2-1 Skala FLACC
DATE/TIME
Face
0 – No particular expression or smile
1 – Occasional grimace or frown, withdrawn, disinterested
2 – Frequent to constant quivering chin, clenched jaw
Legs
0 – Normal position or relaxed
1 – Uneasy, restless, tensed
2 – Kicking or legs drawn up
Activity
0 – Lying quietly, normal position, moves easily
1 – Squirming, shifting back and forth, tense
2 - Arched, rigid or jerking
Cry
0 – No cry (awake/asleep)
1 – Moans or whimpers; occasional complaint
2 – Crying steadily, screams or sobs, frequent complaints
Consolability
0 – Content, relaxed
1 - Reassured by occasional touching, hugging or being talked too,
distractable
2 – Difficult to console or comfort
TOTAL SCORE
Universitas Sumatera Utara
b) Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
 skala ini mempunyai enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda,
dimulai dari senyum sampai menangis kesakitan
 skala ini berguna untuk pasien dengan gangguan komunikasi seperti
anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang
tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat
Gambar 2.2-4. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
c) Behaviour Pain Scale (BPS)
 skala ini terdiri dari tiga indikator yaitu: ekspresi wajah, pergerakan
ekstremitas atas, dan toleransi terhadap ventilasi mekanik.
 alasan penggunaan tiga indikator ini adalah sebagai berikut: pergerakan saat
dilakukannya suatu prosedur biasanya dianggap sebagai indikator nyeri
perilaku dan banyak disertakan dalam skala nyeri perilaku pada anak
 ekspresi wajah dihubungkan dengan berbagai stimulasi nosiseptif yang
menghasilkan bukti untuk ekspresi wajah dapat diterima secara luas sebagai
indikator nyeri.
 toleransi terhadap ventilasi mekanik sebagai suatu respon terhadap stimulasi
nosiseptif belum banyak mendapat perhatian
Universitas Sumatera Utara
 pengamatan rutin dari perawat unit perawatan intensif menunjukkan bahwa
pasien yang terintubasi memberikan respon terhadap nyeri dengan
perubahan toleransi terhadap ventilasi mekanik (batuk, melawan).
Tabel 2.2-2 Skala BPS
Indikator
Karakteristik
Nilai
Tenang
1
Tegang sebagian (Dahi
Ekspresi Wajah
mengerenyit)
Tegang seluruhnya (Kelopak
mata menutup)
4
Tenang
1
siku
Menenkuk seluruhnya dengan
dahi mengepal
Toleransi Terhadap
Ventilasi Mekanik
3
Meringis/menyeringai
Menekuk sebagaian di daerah
Ekstremitas atas
2
2
3
Menekuk total terus menerus
4
Dapat mengikuti pola ventilasi
1
Batuk, tapi masih bisa mengikuti
pola ventilasi
2
Melawan pola ventilasi
3
Pola ventilasi tidak dapatdiikuti
4
Universitas Sumatera Utara
2.3 Analgetik
2.3.1 Definisi
Analgetik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tanpa
mengurangi kesadaran pasien. Ia bekerja dengan mengurangi jumlah nyeri yang
terasa dan ini umumnya dicapai dengan mengganggu transmisi nyeri oleh syaraf.
Analgetik tidak dapat menghilangkan penyebab rasa sakit tapi ia dapat
memberikan bantuan sementara dari gejala sakit. (ADF, 2011)
2.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan sistem kerja farmakologi, analgetik di bagi dalam dua
golongan besar, yaitu:
a) opioid
 menghilangkan rasa sakit yang bertindak pada reseptor di otak untuk
menghambat implus nyeri
 digunakan baik untuk menghilangkan rasa sakit jangka pendek atau jangka
panjang, meskipun toleransi obat dan kertergantungan fisik berkembang
dengan penggunaan jangka panjang
 juga digunakan jika pasien mengalami nyeri sedang sampai berat
 contoh: codein, morfin, methadone
b) non-opioid
 menghilangkan rasa nyeri dalam reseptor perifer dan tidak mempengaruhi
sistem saraf pusat
 digunakan untuk bantuan nyeri jangka pendek, nyeri ringan sampai sedang
 contoh: ibuprofen, asetaminofen, obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Mekanisme Kerja
Analgetik berkerja pada tempat terjadi kerusakan dan menekan nyeri yg
berkaitan dengan reaksi inflamasi (e.g. NSAID : aspirin, ibuprofen, diklofenak).
cara kerja adalah dengan menghambat enzim siklo-ogsigenase (COX). COX-2
diinduksi pada daerah inflamasi dan penghambatan COX-1 menyebakan efek
samping gastrointestinal & nefrotoksisitas. Kemudian, mempengaruhi konduksi
saraf dan menghambat potensial aksi dengan memblok kanal Na. Hal ini akan
memodifikasi transmisi sinyal pada bagian dorsal. Opioid bekerja pada G-protein
coupled receptors: Alfa, Delta and Gamma. Agonis Opioid menekan eksitabilitas
neuronal (dengan meningkatkan konduksi potassium) & menghambat pelepasan
neurotransmitter (dengan menekan influk Ca presynaptic).
2.3.3.1 Mekanisme Kerja Analgetik Opioid
Mekanisme
kerja
utamanya
ialah
dalam
menghambat
enzim
sikloogsigenase (COX) dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan
kerja analgetiknya dan efek sampingnya. Umumnya opioid bekerja pada reseptor
μ,δ dan κ, menghasilkan :

efek analgesia dengan cara menghambat pelepasan neurotransmitter dan
menekan rangsangan nociceptive

bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, sehingga menurunkan respon
otak terhadap nyeri

sebagian besar obat analgesik memberikan efek karena berinteraksi dengan
reseptor µ : (morphine, codeine, methadone, buprenorphine, Fentanyl)

reseptor δ dan κ juga berkontribusi pada efek analgesik

contoh analgesik yang berikatan secara spesifik pada reseptor δ dan κ :
Nalbuphine & pentazocine
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3.3 Metabolik asid arachidonic
2.3.3.2 Mekanisme Kerja Analgetik Non-Opioid
Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam mengatur
nyeri dan temperature. AINS secara selektif dapat mempengaruhi hipotalamus
menyebabkan penurunan suhu tubuh ketika demam. Mekanismenya kemungkinan
menghambat sintesis prostaglandin (PG) yang menstimulasi SSP. PG dapat
meningkatkan aliran darah ke perifer (vasodilatasi) dan berkeringat sehingga
panas banyak keluar dari tubuh.
Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik di hipotalamus atau di
tempat cedera. Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta
pelepasan zat aktif seperti brandikinin, PG dan histamin. PG dan brandikinin
menstimulasi ujung saraf perifer dengan membawa impuls nyeri ke SSP. AINS
dapat menghambat sintesis PG dan brandikinin sehingga menghambat terjadinya
perangsangan reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak digunakan sebagai analgetik
dan antipiretik adalah golongan salisilat dan asetominafin (parasetamol).
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Efek Sampingan
a) gangguan salauran cerna
Selain menimbulkan demam dan nyeri, ternyata prostaglandin ber peran
melindungi saluran cerna. Senyawa ini dapat menghambat pengeluaran
asam lambung dan mengeluarkan cairan (mukus) sehingga mengakibatkan
dinding saluran cerna rentan terluka karena sifat asam lambung yang bisa
merusak.
b) gangguan hati
Obat yang dapat menimbulkan gangguan hepar adalah parasetamol. Untuk
penderita gangguan hati disarankan mengganti dengan obat lain.
c) gangguan ginjal.
Hambatan pembentukan prostaglandin juga bisa berdampak pada ginjal.
Karena prostaglandin berperan homestasis di ginjal. Jika pembentukan
terganggu, terjadi gangguan homeostasis.
d) reaksi alergi
Penggunaan obat aspirin dapat menimbulkan reaksi alergi yang berupa
rhinitis vasomotor, asma bronkial hingga mengakibatkan syok.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Contoh Obat
2.3.5.1 Parasetamol/Asetaminophen
a) Struktur kimia
Gambar 2.3.5.1 Struktur Kimia Parasetamol
b) Nama dagang : Sanmol, Pamol, Panadol, Panamax
c) Sifat fisiokimia : warna putih, serbuk kristal, agak pahit
d) Sediaan :
 tablet
: 80mg(chewable), 160mg(oral-disintegrating),
325mg, 500mg, 650mg
 caplet
: 325mg, 500mg, 650mg
 capsule
: 500mg
 gelcap/geltab
: 500mg
 oral solution/suspension : 160mg/5mL, 80mg/0.8mL(oral drops)
 liquid oral
: 500mg/5mL, 160mg/15mL, 500mg/15mL
 sirup oral
: 160mg/5mL
e) Cara pemberian :
 <1 tahun
: ½-1 sendok teh atau 60-120 mg tiap 4-6 jam
 1-5 tahun
: 1-2 sendok teh atau 120-250 mg tiap 4-6 jam
 6-12 tahun
: 2-4 sendok teh atau 250-500 mg tiap 4-6 jam
 diatas 12 tahun : ½-1 gram tiap 4 jam, maksimum 4g per hari
f) Dosis maximum dalam sehari : dosis kumulatif tidak lebih dari 4g/hari
Universitas Sumatera Utara
g) Kegunaan : mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid dan
sakit pada otot; menurunkan demam pada influenza setelah vaksinasi
h) Farmokologi :
 mekanisme kerja: bereaksi pada hypothalamus untuk memproduksi antipiretik, bekerja melalui perifer untuk menghalang nyeri generasi impuls,
memblokir sintesis prostaglandin pada sistem syaraf pusat
 farmokokinetik: onset : 1 jam
distribusi : 1L/kg
ikatan protein : 10-25%
proses metabolik : hati
cara eksresi : urin
i) Kontra indikasi : hipersensitivitas
j) Efek sampingan : angioedema, disorientasi, mual-mual, ruam kulit, kelainan
darah, dosis besar dapat menyebabkan dosis fungsi hati
k) Interaksi Obat : alkohol, antikonvulsan: meningkatkan resiko hepatotoksis;
antikoagulan oral: dapat meningkatkan efek warfarin; fenotiazin: mungkin
terjadi hipotermia parah
l) Peringatan : elakkan obat jika alergi terhadap obat, diabetes, atau waktu hamil
dan menyusui
Universitas Sumatera Utara
2.3.5.2 Ketorolak
a) Struktur kimia
Gambar 2.3.5.2 Struktur Kimia Ketorolak
b) Sifat fisiokimia : serbuk kristal berwarna putih, mudah larut dalam air dan
metil alcohol, sukar larut dalam aseton
c) Nama dagang : Dolac, Ketopain, Toradol, Xevolac
d) Sediaan :
 tablet
: 50mg
 capsule : 100mg, 150mg, 200mg, 300mg
 ampul
: 15mg/ml, 30mg/ml
e) Cara pemberian :
 efek lambat : 25mg/hari, kemudian dinaikkan 25mg per 3 hari hingga
25mg, 4 x sehari
 efek cepat : 50-100mg setiap 4-6 jam jika perlu
f) Dosis maximum per hari : 400mg/hari
g) Kegunaan : mengurangi nyeri yang dalam skala sedang hingga berat
h) Farmokologi :
 mekanisme kerja: menghambat kerja enzim COX sehingga produksi
prostaglandin menurun; menghambat pelepasan neurotransmitter dari syaraf
Universitas Sumatera Utara
aferen yang sensitif terhadap rangsang, mengakibatkan impuls nyeri
terhambat
 farmokokinetik : onset : ~1 jam
distribusi : 2,5-3L/kg
ikatan protein : 20%
proses metabolik : hati
cara eksresi : urin
i) Kontra indikasi : hipersensitivitas, depresi napas akut, peningkatan tekanan
kranial atau cedera kepala
j) Efek sampingan : pusing, vertigo, anxietas, agitasi, tremor, gangguan
koordinasi, gangguan tidur, konstipasi, mual, muntah nyeri perut, diare, ruam
kulit,
k) Interaksi obat : karbamazepin: meningkatkan metabolik obat
sehingga
menurunkan efek analgesik secara signifikan; warfarin oral: efek warfarin
meningkat; depresan sistem saraf pusat (alkohol, anestetik, fenotiazin, agonis
opioid, sedatif, hipnotik, analgesik yg bekerja di pusat) : potensiasi efek
depresi pernapasan & depresi saraf pusat
l) Peringatan : kejang dapat terjadi pada dosis yang direkomendasikan, resiko
meningkat pada pasien yg mempunyai riwayat epilepsy; waspada untuk pasien
usia lanjut, tidak direkomendasikan untuk anak dan ibu yang menyusui
Universitas Sumatera Utara
2.3.5.3 Morfin
a) Struktur kimia
Gambar 2.3.5.3 Struktur Kimia Morfin
b) Nama dagang : Duramorfh, Morphia, Junk, white stuff, “M”
c) Sifat fisiokimia : kristal halus atau serbuk kristal berwarna putih, kelarutan
kira-kira 62,5mg/ml dalam air dan 1,75 mg/ml dalam alcohol pada 25 C
d) Sediaan :
 tablet
: 15mg, 30mg, 60mg, 100 mg, 200mg
 capsule
: 30mg, 45mg, 60mg, 75mg, 90mg, 120mg
 ampul
: 10mg/mL (200mg/20mL); 25mg/mL (500mg/20mL)
 oral solution
: 10mg/5mL, 20mg/5mL, 20mg/mL, 100mg/5mL
e) Cara pemberian :
 intravena
: 2-10mg/70kg berat badan
 injeksi epidural : 5-10mg/hari pada daerah lumbar
f) Dosis maximum dalam sehari : 10mg/hari
g) Kegunaan : nyeri hebat dan kronis seperti pasca bedah dan infark jantung,
kanker; mengurangkan nyeri dalam tingkat berat; juga dikenali sebagai bahan
penagih dadah
h) Farmokologi :
Universitas Sumatera Utara

mekanisme kerja: menghalang ascending pain pathways, berikatan dengan
reseptor di sistem saraf pusat, mempengaruhi persepsi dan respon terhadap
nyeri
 farmokokinetik: onset : peroral - 15-30menit; IV - < 5menit
distribusi : 1-4,7L/kg (IV)
ikatan protein : 36%
proses metabolik : hati
cara eksresi : urin dan tinja
i) Kontra indikasi : pasien dengan hipersensitivitas mungkin mengalami depresi
pernapasan yang parah; gangguan pernafasan atas
j) Efek sampingan : mual, muntah, nyeri kepala, gelisah, sesak napas, rasa
mengantuk, depresi
k) Interaksi Obat : antidepresan: potensiasi efek antidepresan; agonis opiod
lainnya, anestetik umum, trankuilizer, sedative, hipnotik: potensiasi efek
depresi sistem saraf pusat; relaksan otot: dapat meningkatkan kerja
penghambatan neuromuscular; diuretic: menurunkan efek diuretik pada pasien
dengan kongestif jantung; amfetamin: dapat meningkatkan efek analgetik
agonis opioid
l) Peringatan : resiko ketergantungan dan boleh mengancam jiwa
Universitas Sumatera Utara
2.4 Trauma
2.4.1 Definisi
Trauma berarti tindakan kekerasan yang menimbulkan luka pada jaringan
tubuh yang masih hidup maupun mati.Trauma merupakan suatu keadaan dimana
seseorang mengalami cedera oleh salah satu sebab. Penyebab yang paling sering
adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga.
2.4.2 Klasifikasi
1. Trauma berdasarkan etiologi :
a) trauma mekanik :
 trauma tumpul
 trauma tajam
 trauma tembak
b) luka termis :
 temparatur panas
 temparatur dingin
c) luka kimiawi
 zat korosif
 zat iritasi
d) luka lain
2. Trauma berdasarkan derajat klasifikasi luka :
a) luka ringan
b) luka sedang
c) luka berat
3. Trauma berdasarkan medikolegal :
a) perbuatan sendiri
Universitas Sumatera Utara
b) perbuatan orang lain
c) kecelakaan
d) luka tangkis
e) luka dibuat
4. Trauma berdasarkan waktu kematian :
a) ante-mortem
b) post-mortem
2.4.3 Jenis-jenis Trauma
a)
Trauma kepala
b)
Trauma dada
c)
Trauma abdominal
d)
Trauma medulla spinalis
e)
Trauma kimia
f)
Syok hipovelemik
g)
Fraktur tulang
h)
Luka bakar
2.4.4 Patofisiologi
2.4.4.1 Trauma Kapitis
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi
trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar
terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka.
Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak
atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization
2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus
sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti fraktur, luka memar,
laserasi, abrasi dan avulsi.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasideselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta,
2008).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4.4.1-1 Efek daripada Trauma Kepala
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk, 2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat
rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang
tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
(Lombardo, 2003).
Gambar 2.4.4.1-2 Patofisiologi Trauma Kepala
Universitas Sumatera Utara
2.4.4.2 Trauma Toraks
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau
organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
Memahami kinematis dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan
identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
segera (Kukuh, 2002; David, 2005).
Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga
abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat
diraba incisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus
dorsi, m.trapezius, m.rhomboideus mayor dan minor, m.serratus anterior, dan
m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga
dan skapula. Organ yang terletak di dalam rongga toraks : paru-paru dan jalan
nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan sistem limfatik (Kukuh,
2002).
Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang
dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres.
Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi
ketika jaringan kulit terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada jaringan
kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak.
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat
tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi
yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan
kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan
komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih
berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada
jantung (ATLS, 2004; Kukuh, 2002).
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
Universitas Sumatera Utara
tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat
pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan
faal jantung dan pembuluh darah (ATLS, 2004; Kukuh, 2002; David.A, 2005).
2.4.4.3 Trauma Abdominal
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal
wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan ilium.
Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah
antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011). Trauma abdomen
adalah kerusakan organ abdomen (lambung, usus halus, pankreas, kolon, hepar,
limpa, ginjal) yang disebabkan oleh trauma tembus, biasanya tikaman atau
tembakan; atau trauma tumpul akibat kecelakaan mobil, pukulan langsung atau
jatuh.
Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering
dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal
dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding
anterior abdomen menjadi sembilan daerah. Dua bidang diantaranya berjalan
horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi
bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh
yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum
inguinale. Daerah-daerah itu adalah:
1) hypocondriaca dextra
2) epigastrica
3) hypocondriaca sinistra
4) lateralis dextra
5) umbilicalis
Universitas Sumatera Utara
6) lateralis sinistra
7) inguinalis dextra
8) pubica
9) inguinalis sinistra
Gambar 2.4.4.3 Regio Abdomen
2.4.4.4 Trauma Medulla Spinalis
Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena
trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi
utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet
ataupun inkomplet.
Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi,
atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa
rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie
tersebar pada substansia grisea, mem besar, lalu menyatu dalam waktu satu jam
Universitas Sumatera Utara
setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada
substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma.
Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan
struktural luas.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang
dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior
dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi
medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya
usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu
aliran darah kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat
kompresi tulang.
2.4.4.4.1 Mekanisme Kerusakan Primer
Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer adalah gaya
impact dan kompresi persisten, gaya impact tanpa kompresi, tarikan medula
spinalis, laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma. Sel neuron akan
rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung
mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena efek
trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka.
Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah
trauma, sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah
trauma.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4.4.4.1 Mekanisme Kerusakan Primer
Universitas Sumatera Utara
2.4.4.4.2 Mekanisme Kerusakan Sekunder
Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya
kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok
neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi
sekunder yang dimediasi kalsium, gangguanelektrolit, kerusakan karena proses
imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan proses lain.
Gambar 2.4.4.4.2 Mekanisme Kerusakan Sekunder
Universitas Sumatera Utara
2.4.5 Penatalaksanaan - ABCDE dalam Trauma
Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam
menetapkan prioritas. Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang
mengancam jiwa dengan Surevei Primer, seperti :
 obstruksi jalan nafas
 cedera dada dengan kesukaran bernafas
 pendarahan berat eksternal dan internal
 cedera abdomen
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability Exposure) ini
disebut sebagai survey primer yang harus selesai dilakukan dalam 2-5 menit.
Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa.
2.4.5.1 Airway
Menilai jalan nafas. Apakah pasien dapat berbicara dan bernafas dengan
bebas? Jika ada obstruksi, lakukan :
 Head tilt / Chin lift / Jaw thrust (kemungkinan pangkal lidah jatuh)
 Suction / Hisap (akumulasi air liuh)
 Alat bantuan pernafasan (nasopharyngeal airway / oropharyngeal airway)
 Intubasi trachea dengan leher ditahan (imobilisasi-cervical color)
2.4.5.2 Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu niali ulang apakah jalan nafas
bebas. Jika pernafasan tidak memadai, lakukan :
 Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
 Tutup luka pada dinding dada jika ada
Universitas Sumatera Utara
 Penafasan buatan
 Berikan oksigen jika ada
2.4.4.3 Circulation
Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu, nilai ulang apakah jalan
nafas bebas dan cukup pernafasan. Jika sirkulasi tidak memadai, lakukan :
 Hentikan pendarahan eksternal
 Pemasangan dua jalur infus dengan jarum besar (14-16G)
 Berikan infus cairan
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil
2.4.4.4 Disability
Menilai kesadaran pasien dengan cepat. Apakah pasien sadar, hanya
dengan respon nyeri atau tidak sadar sama sekali. Dianjurkan dengan mengukur
Glasgow Coma Score (GCS) :
 Awake
=A
 Respons bicara
=V
 Respons nyeri
=P
 Tidak ada respons
=U
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4-1 Skala Koma Glasgow
Glasgow Coma Scale
Eye opening
Verbal Response
Motor Response
Score
Spontaneously
4
To speech
3
To pain
2
Unresponsive
1
Oriented
5
Confused
4
Inappropriate
3
Incomprehensible
2
None
1
Obeys command
6
Localises to pain
5
Withdraws from pain
4
Flexion to pain
3
Extension to pain
2
None
1
Maximum Score
15
Skala Koma Glasgow berdasarkan skor kumulatif :

Ringan
13-15

Sedang
9-12

Berat
3-5
Universitas Sumatera Utara
2.4.4.5 Exposure
Lepaskan baju pasien da melakukan log-roll agar dapat melokasi semua
cedera yang mungkin ada pada daerah anterior dan posterior pasien. Jika ada
kecurigaan trauma leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus
dikerjakan. Kemudian, membalut seluruh tubuh pasien dengan selimut agar pasien
tidak hipotermia.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Nyeri Trauma
2.5.1 Definisi
Nyeri trauma merupakan nyeri fisik yang mempunyai onset tiba-tiba
akibat daripada cedera jasmani dan keparahan nyerinya memerlukan perhatian
medik yang cepat. Nyeri trauma disebabakan oleh mekanisme tumpul, menusuk
dan terbakar. Tambahan pula, nyeri trauma terjadi karena kecelakan, trauma
ketika bersukan, terjatuh, malpetaka dan pelbagai penyebab traum lain yang boleh
terjadi di rumah, jalan ataupun waktu kerja juga dan memerlukan penanganan
cepat.
2.5.2 Mekanisme Nyeri pada Trauma
2.5.2.1 Fraktur Tulang
Gambar 2.5.2.1 Mekanisme Fraktur
Universitas Sumatera Utara
2.5.2.2 Nyeri pada Kulit/Jaringan
Gambar 2.5.2.2 Mekanisme Nyeri pada Kulit
Universitas Sumatera Utara
2.5.3 Pemilihan Analgetik pada Nyeri Trauma
Gambar 2.5.3-1 Tempat Kerja Analgetik
Gambar 2.5.3-2 WHO Three Step Ladder
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kerangka Teori
TRAUMA
COX-1
COX-2
kerusakan jaringan/
sel rusak/nyeri
analgetik
pembentukan
- leukotrien
- bradikinin
- prostaglandin
meningkatakan
sensitivitas reseptor nyeri
pelepasan
mediator nyeri
- histamin
- serotonin
merangsang nyeri
reseptor nyeri di ujungujung saraf perifer
pusat nyeri
di otak besar
nyeri lama
nyeri pertama
Universitas Sumatera Utara
Download