Paham Ahlussunnah wal Jamaâ•Žah yang dianut NU

advertisement
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
Author : Moch. Zakki Mubarok
Publish : 26-10-2011 22:23:51
F. Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di
Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam
memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu
wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi. Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal
Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU)
pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif
menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya.[1]
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal
Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah
al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu (1)
risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan
penyebarannya di pulau Jawa, dan (2) keharusan mengikuti mazhab empat,[2] karena hidup bermazahab itu
lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih
mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang
salih).[3]
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu
al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu
tidak disukai. Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani
dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat.
Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara',
‘bid'ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama,
padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.[4]
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan
serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab,
Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan
praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah.
Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr
al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi
fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi
kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses
pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan
warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian,
kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau
ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya. Titik tolak
dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada
Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal
Jama’ah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH.
Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH.
Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian. Pertama, Ahlussunah
Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf.
Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu
mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal
Page 1
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
Jama’ah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan
Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf
Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf[6].
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh
kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR.
at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong
al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki
kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam. Nabi Saw. bersabda:
“Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya,
maka kamu telah mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi). Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan
ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan
oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian
dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama. Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang
dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn
‘Ady)[7]. Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam
yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya.
Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah
adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan
golongan terbesar umat Islam.[8] Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan
bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam
melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau
dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan
ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.[9]
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan
NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti
Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari
dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang
tashawuf.[10] Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan
mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang
jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem
bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama’ah.[11]
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua
aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi.
Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal
Jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu)
yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan
relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural
dan sosio-politik yang melingkupinya.[12]
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal
Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jam’iyyah NU,
KH. M. Hasyim Asy’ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah
dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama
dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau
menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian
menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu,
Page 2
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui
pintunya maka pencurilah namanya!”
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan)
Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah
al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab,
‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU,
Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’
para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat.
Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat
al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai)
bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU,
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur’an dan al-Hadits),
dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy. Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan
akidah dari segala campuran akidah di luar Islam. Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan
sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân
secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima
hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang
dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
[1] Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3-4
[2]Lihat “al-Qânûn al-Asâsiy” KH. Hasyim Asy’ari, Ahlussunnah
wal Jama’ah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999).
[3] Ibid., hlm. 16
[4] Ibid., hlm. 2
[5] Ibid., hlm. 8
[6] Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3
[7] KH. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1999, hlm. 39-41. Lihat pula
KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hlm. 20.
[8] HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljama’ah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP
Maarif Jawa Timur, 1979, hlm 3.
Page 3
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
[9] KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Praktek, IPNU
Jakarta, 1976, hlm. 7. Lihat pula KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljama’ah, Pengertian dan
Aktualisasinya, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Ahlussunnah wal Jama’ah: Aula Perdebatan
dan Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 86-87.
[10]A. Wahid Zaini, op.cit., hlm. 51
[11] KH. A. Muchith Muzadi, op. cit., hlm. 29
[12] KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM,
1999), hlm 4.
Page 4
Download