bab i pendahuluan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Indonesia yang sudah dikenal sejak
dahulu, yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Ragam budaya Indonesia
merupakan kekayaan unik yang tidak dimiliki setiap bangsa di dunia. Ragam ini
terlihat baik dari kondisi sosial kultural dan geografisnya. Badan Pusat Statistik
(BPS) sampai dengan tahun 2011 mencatat bahwa Indonesia memiliki 1.128 suku
bangsa dengan lebih dari 746 bahasa daerah yang tersebar dalam 13.000 pulau dari
Sabang hingga Merauke.
Salah satu Provinsi terbesar di Indonesia ialah Sumatera Utara. Menurut data
dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan hasil sensus tahun
2010, jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 13,77 jiwa yang terdiri dari berbagai
macam suku bangsa. Suku bangsa paling banyak di provinsi ini adalah Batak
(Tapanuli/Toba, Karo, Mandailing dan Pakpak) sebesar 44,75%, suku Jawa 33,40%
dan sisanya merupakan suku Tionghoa, Melayu, Nias dan lain-lain. BPS juga
melaporkan bahwa Provinsi Sumatera utara merupakan provinsi yang memiliki suku
bangsa yang sangat beragam dan diakui oleh pemerintah.
Sarwono (2007) mengatakan dari keberagaman etnik-etnik yang terpisah
secara geografis dan sosial budaya yang berbeda, mempunyai dan mengembangkan
1
Universitas Sumatera Utara
pengalaman psikologis masing-masing, yang pada akhirnya menghasilkan identitas
etnik masing-masing juga. Keterikatan pada identitas etnik tersebut akan
menimbulkan saling prasangka antar etnik yang nantinya bisa berdampak kepada
proses akulturasi bangsa. Hal ini sejalan dengan pendapat Widiastuti (2013) yang
mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang beragam mempunyai potensi untuk
konflik. Perbedaan yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang
dilatar belakangi sosio-kultural, akan menjadi pendorong munculnya perasaan
kesukuan yang berlebihan dan dapat memicu munculnya nilai negatif berupa sikap
membeda-bedakan perlakuan sesama anggota masyarakat, sehingga menimbulkan
prasangka yang bersifat subjektif.
Hogg (2011) mengatakan bahwa target dari prasangka (prejudice) adalah
anggota dari kelompok yang terkena stigma. Stigma merupakan atribusi terhadap
suatu kelompok yang diperantarai evaluasi sosial yang negatif kepada orang-orang.
Salah satu hal penting dari stigma ini sendiri adalah stigma yang berasal dari
dalam diri individu itu sendiri atau disebut dengan istilah perceived stigma. Brakel
(2003) mendefiniskan perceived stigma sebagai ketakutan dan kekhawatiran akan
diskriminasi, penolakan, kehilangan pekerjaan, pelecehan fisik yang dirasakan oleh
seseorang karena kondisi tertentu yang dialaminya. Stigma yang berasal dari dalam
diri individu ini dapat menyebabkan stress emosional, kecemasan, masalah dalam
hubungan sosial, isolasi diri, depresi bahkan adanya usaha untuk bunuh diri.
Perceived stigma berhubungan terhadap persepsi negatif orang lain (Crandall &
Coleman, 1992), interaksi negatif dengan orang lain (Devins et al., 1994; Gibbons,
2
Universitas Sumatera Utara
1985; Link, Cullen, Struening, Shrout, & Dohrenwend, 1989) dan pembatasan yang
dirasakan dan dialami seseorang dalam aktivitas sosial.
Mikelson dan Williams (2008) mengatakan bahwa perceived stigma adalah
perasaan negatif seseorang terhadap dirinya sendiri karena stigma yang diterimanya
(internalized stigma) dan persepsi orang tersebut terhadap perilaku orang sebagai
pengalaman stigma (experienced stigma). Donaldson (2015) mengatakan bahwa
individu yang terkena stigma bisa jadi mempunyai keyakinan tersendiri mengenai
bagaimana penilaian atau perasaan orang lain terhadap kondisi stigma yang ada pada
dirinya dan kemudian menginternalisasi penilaian tersebut. Sehingga dapat dikatakan
bahwa ketika seseorang mengalami interakasi atau perlakuan negatif dari orang lain,
maka akan membentuk perceived stigma, artinya individu membentuk persepsi
tersendiri mengenai bagaimana penilaian atau perasaan orang lain terhadap dirinya
sebagai orang yang terkena stigma dan menginternalisasi stigma tersebut terhadap
dirinya.
Kelompok yang terkena stigma pada umumnya sulit untuk menghindari
kenyataan bahwa citra diri mereka maupun kelompok mereka dipandang negatif oleh
masyarakat. Anggota kelompok yang terkena stigma ini akan cenderung
menginternalisasi evaluasi negatif tersebut, dan akhirnya akan membentuk self-image
yang tidak baik pula atau memiliki self-esteem yang rendah (Hogg, 2011). Hal ini
sejalan dengan pendapat Mickelson dan Williams (2008) yang mengatakan bahwa
ketika seseorang merasakan pengalaman stigmatisasi dari orang lain, individu
tersebut membentuk suatu perasaan dan penilaian tersendiri mengenai dirinya yang
3
Universitas Sumatera Utara
telah terkena stigma dan hal ini bisa menyebabkan self esteem seseorang menjadi
rendah.
Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauh mana individu
mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Definisi ini
lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu sendiri yang
mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan kriteria tertentu.
Dengan kata lain self-esteem adalah bagaimana seseorang memandang dirinya
sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan self esteem menurut
Coopersmith (1967) adalah perlakuan dari orang lain. Apabila individu mendapatkan
perlakuan yang buruk, diremehkan atau ditolak, maka akan membentuk self esteem
yang rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa ketika seseorang merasakan pengalaman
stigmatisasi dari orang lain, individu tersebut membentuk suatu perasaan dan
penilaian tersendiri mengenai dirinya yang telah terkena stigma dan hal ini bisa
menyebabkan self esteem seseorang menjadi rendah.
Di beberapa daerah yang ada di Sumatera Utara, suku Nias cukup banyak
mendapat anggapan yang negatif atau stigma. Ariesta (2011) mengatakan bahwa suku
Nias cenderung dinilai negatif, seperti kasar, pembuat onar, kebiasaan buruk seperti
senangnya menerima gratisan dan sejenisnya, mental yang kurang berwirausaha,
pasrah pada keadaan, keras kepala dan tidak mau diajari, dengki. Salah satu contoh
yang terkait akibat dari stigma terhadap suku Nias adalah di Kampung Susuk,
Kecamatan Medan Baru, Medan. Pada awal memasuki wilayah Kampung Susuk,
suku bangsa Nias mengalami penolakan oleh masyarakat setempat, sehingga
4
Universitas Sumatera Utara
terjadilah konflik. Di dalam kehidupan sehari-hari pun mereka dari dahulu sampai
sekarang masih saja di diskriminasi. Setiap ada masalah di Kampung Susuk dan
kebetulan salah seorang suku bangsa Nias yang membuat masalah, suku bangsa Karo
akan mencap atau menandai semua suku bangsa Nias yang ada di daerah Kampung
Susuk yang berbuat salah dan pantas untuk dihukum. Hukuman itu bisa berupa
cemoohan, pukulan, ditelanjangi dan dikeroyok dengan massa (Ariesta, 2011).
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara peneliti secara personal ke beberapa
orang mengenai pandangan terhadap suku Nias, didapatkan hasil, yaitu: orang-orang
dengan suku ini dianggap kasar, jahat, punya ilmu hitam yang kuat, dan tidak mau
maju, tertutup kepada setiap orang dan tidak mau tidak mau berbagi, iri dan dendam
yang berkelanjutan, dan tidak jujur.
Berdasarkan data wawancara kepada beberapa suku Nias, diperoleh bahwa
peneliti mendapatkan data bahwa mereka menyadari dan beberapa mendapatkan
pengalaman stigma. Berikut hasil wawancara tersebut.
“Banyak orang yang anggap kami (Suku Nias) punya pegangan ilmu hitam.
Kalau di masa kakekku emang masih ada, tapi kan sekarang gak lagi, kan
udah ada agama dan pengetahuan pun berkembang loh. Karena stigma kek
gini, orang –orang ngelihat kami kayak sesat dan terkutuk.”
(Wawancara Personal, PZ, Januari 2016)
“Kalau dari pengalamanku, banyak kawan yang bilang kalau Nias itu gak
manusialah, punya pegangan ilmu hitamlah, bahkan ada yang bilang kalau
nenek moyang kami dari anjing. Padahal gak loh, kalau dari sejarah kami ya,
justru kami ini berasal dari manusia titisan dewa gitu.. hahaha, kalau udah
kek gitu aku jelasin ajalah yang sebenarnya..”
(Wawancara Personal, DH, Januari 2016)
“Teman-teman yang bukan suku Nias sering memang mengejek gitu.. dikit –
dikit dibilang ehh Nias! Gitu.. terus sering ditanyain apa emang orang Nias
5
Universitas Sumatera Utara
suka balas dendam, pake ilmu hitam, jahat, gitu-gitu.. tapi aku bawa ke
becandaan aja sih”
(Wawancara Personal, MY, April 2016)
“Pernah sekali ke pajak, mau beli apa gitu.. ehh, karena gak jadi beli di
tempat itu, diteriakin memanglah kau Nias!! Gitu.. ahhaha tapi itu biasa
ajalah, gak aku masukkan ke hati”
(Wawancara Personal, M, Juni 2016)
Jika dilihat dari hasil wawancara di atas, diperoleh bahwa responden yang
bersuku Nias mendapatkan pengalaman-pengalaman stigma dari lingkungan
sekitarnya, seperti diejek, dianggap memiliki ilmu hitam, dan jahat, akan tetapi tidak
menginternalisasi penilaian tersebut. Mereka tidak membentuk evaluasi negatif
terhadap dirinya sendiri meskipun ada stigma yang diberikan kepada mereka. Hal ini
sejalan dengan pendapat Luoma et al., (2013) yang mengatakan bahwa meskipun
individu
menyadari
bahwa
mereka
terkena
stigma,
belum
tentu
mereka
menginternalisasi stigma atau penilaian negatif tersebut.
Peneliti juga menemukan bahwa sebenarnya mereka sudah membentuk suatu
penilaian tersendiri terhadap perilaku orang lain kepadanya. Hal ini ditunjukkan dari
hasil wawancara berikut.
“aku pernah dipukul tiba-tiba kak.. gak tau aku kenapa.. jadi ku lapor ke
bapak lah kan, trus kata bapak gak usah balas, diamin aja, mungkin karena
kita bukan satu suku sama orang itu, makanya jadi kek gitu, dianggapnya kita
jahat…”
(Wawancara Personal, R, April 2016)
“pas baru merantau, jarang orang sekantor cakapin aku duluan atau
menyapa duluan gitu, keknya karena mereka tahu aku asalnya dari Nias ya
hahaa..”
(Wawancara Personal, OL, Januari 2016)
6
Universitas Sumatera Utara
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa sebenarnya suku Nias sudah
membentuk penilaian bahwa mereka diperlakukan secara buruk dikarenakan kondisi
stigma yang ada pada mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Donaldson (2015)
yang mengatakan bahwa seseorang yang terstigmatisasi akan memiliki keyakinan
tersendiri mengenai bagaimana perilaku dan perasaan orang lain terhadap kondisi
stigma yang ada pada dirinya.
Berdasarkan data wawancara yang telah dipaparkan sebelumnya, suku Nias
menyadari kalau mereka dinilai secara negatif oleh orang lain, seperti orang bersuku
Nias jahat, mempunyai ilmu hitam, dan lain sebagainya. Namun, meskipun
menyadari hal tersebut, mereka tidak menginternalisasi penilaian yang muncul
kepada dirinya sendiri. Sementara itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
perceived stigma merupakan perasaan negatif yang terbentuk akibat dari internalisasi
stigma yang diterima dan persepsi individu tersebut terhadap perilaku orang lain
kepadanya sebagai orang yang terkena stigma. Dalam hal ini, Mickelson dan William
(2008) membaginya kedalam dua dimensi, yaitu internalized stigma (perasaan negatif
yang muncul karena internalisasi stigma) dan experienced stigma (persepsi individu
tersebut terhadap perilaku orang lain kepadanya).
Jika dilihat dari pengalaman dan respon suku Nias terhadap stigma yang ada
pada mereka dan merujuk kepada pengertian perceived stigma seperti yang dijelaskan
sebelumnya, peneliti merasa bahwa stigma yang dirasakan suku Nias ini lebih
mengarah kepada experienced stigma, yaitu persepsi atau keyakinan tersendiri
mengenai bagaimana perasaan orang lain terhadap dirinya sebagai kelompok yang
7
Universitas Sumatera Utara
terkena stigma, dalam hal ini sebagai orang yang bersuku Nias. Mickelson (2008)
juga mengungkapkan bahwa experienced stigma berhubungan secara tidak langsung
dengan penurunan self esteem. Sehingga, peneliti memilih untuk melihat bagaimana
peran experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias.
B. Pertanyaan penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Apakah ada peran Experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias?
2. Berapa besar peran Experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias?
C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui peran Experienced
stigma terhadap self esteem pada suku Nias.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Memberi sumbangan informasi, memperkaya hasil penelitian yang telah ada
mengenai peran Experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias.
8
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan bacaan
bagi masyarakat terkhusus pada suku Nias untuk mendapatkan informasi
mengenai peran Experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari :
BAB I
Pendahuluan : berisikan latar belakang permasalahan, tujuan
dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
Landasan Teori : berisikan teori-teori yang menjelaskan data
penelitian, dinamika teori dan paradigm teoritis.
BAB III
Metode Penelitian : berisikan subjek penelitian, informan
penelitian dan lokasi penelitian, teknik pengambilan sampel
yang dipergunakan dalam penelitian dan metode pengambilan
data.
BAB IV
Analisis Data dan Pembahasan : Pada bab ini, akan diuraikan
keseluruhan hasil analisa data penelitian, diawali dengan
gambaran umum subjek penelitian, hasil uji hipotesa,
kemudian pembahasan mengenai hasil penelitian.
9
Universitas Sumatera Utara
BAB V
Kesimpulan dan Saran : Pada bab ini berisi kesimpulan dan
saran bagi penelitian selanjutnya berdasarkan hasil penelitian
yang diperoleh.
10
Universitas Sumatera Utara
Download