BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Jakarta seperti menjadi magnet yang menarik orang untuk datang dan tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala kemudahan dan serba praktis. Kehidupan manusia perkotaan sekarang ini semakin sulit serta semakin bertambah banyaknya faktor pemicu stress akibat budaya masyarakat modern dan perkotaan yang cenderung menyebabkan manusia tidak dapat menghindari tekanan-tekanan hidup yang mereka alami, sehingga memicu munculnya gangguan jiwa yang lebih tinggi dibandingkan yang hidup di pedesaan (Lidenberg dalam Nurlaila, 2011). Masalah gangguan jiwa tidak lepas dari berbagai masalah ekonomi, sosial, budaya, maupun psikologis yang satu sama lain saling berkesinambungan dan saling memberi efek. Meningkatnya angka kejadian gangguan jiwa, menerangkan bahwa betapa beratnya beban yang masyarakat kota rasakan selama ini, menurunnya kesehatan mental, meningkatnya kelelahan dan kecemasan menjadi faktor penyebab gangguan jiwa (Wicaksana, 2008) Manusia memiliki kemampuan adaptasi tersendiri pada lingkungannya, baik psikis, fisik maupun sosial. Selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa angka tertinggi terjadinya gangguan terdapat di berbagai wilayah pusat kota yang dihuni oleh masyarakat dari kelas sosial rendah. Beberapa orang percaya bahwa stressor yang berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat menjadi pencetus 1 http://digilib.mercubuana.ac.id/ terjadinya gangguan. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah, dan kurangnya penghargaan serta kesempatan, secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kondisi yang penuh stress, bila terjadi dalam jangka waktu lama dapat membuat seseorang memiliki predisposisi menderita gangguan (Davison, 2004). Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang serius. WHO (2001) menyatakan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Gangguan jiwa yang terjadi dimasyarakat perkotaan ini bisa diketahui melalui hasil penelitian WHO yang dilakukan di empat kabupaten atau kota, diantaranya di Jakarta dan Bogor. Dua kota itu, sekitar 20-30 % pasien yang berobat di Puskesmas dan Dokter Umum menunjukkan gangguan jiwa. Berdasarkan fakta itu, banyak Psikiater memprediksi, angka gangguan jiwa akan terus naik jika tidak diantisipasi sejak awal (Wicaksana, 2008). Salah satu kondisi psikotis yang banyak dijumpai karena ketidakseimbangan daya tahan seseorang dalam menghadapi stressor di lingkungannya adalah Skizofrenia (Prie, 2009). The Indonesian Psychiatric Epidemologic pada tahun 2004, pernah membuat survei yang menunjukkan, 18,5% orang dewasa mengalami gangguan jiwa. Artinya, hampir satu diantara lima orang, pernah atau masih mengalami gangguan jiwa ringan hingga parah (Kristianto dalam Anna, 2011). 2 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Skizofrenia merupakan penyakit gangguan jiwa terberat yang dialami manusia terutama di kota besar seperti Jakarta. Prevalensi seumur hidup dari penyakit Skizofrenia ini adalah kurang dari 1 %, kemungkinan berada pada rentang 0,5 - 0,8 % (Kaplan dan Sadock dalam Prie, 2009). Waham merupakan keyakinan salah yang secara kokoh dipertahankan, walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas sosial. Waham muncul sebagai usaha untuk menurunkan kepanikan (Carpenito dalam Prie, 2009). Waham kebesaran yaitu bahwa dia mempunyai kekuatan, pendidikan, kepandaian, atau kekayaan yang luar biasa, seperti mempunyai puluhan rumah atau mobil. Waham sulit untuk dipatahkan, sehingga pada pasien dengan waham kebesaran mempunyai kecenderungan melakukan tindak kekerasan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain (Maramis dalam Prie, 2009). Menurut Kaplan dan Sadock dalam Prie (2009), usia onset rata-rata penderita waham adalah sekitar 40 tahun. Sedangkan usia rentan untuk onset adalah dari 18 tahun sampai 90 tahun. Insiden pada wanita lebih banyak daripada pria. Gangguan waham diperkirakan merupakan diagnosis yang cukup stabil. Kurang dari 25 % dari semua klien waham menjadi Skizofrenia dan kurang dari 20 % menjadi gangguan mood. Sedangkan 50 % klien pulih pada follow-up jangka panjang. Orang skizofrenia sering kali kurang diperhatikan, dalam masyarakat orang skizofrenia sering dianggap berbahaya padahal mereka juga orang yang sangat membutuhkan perhatian dari Dokter, Perawat, keluarga serta masyarakat. 3 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Mereka sering disebut masyarakat sebagai orang gila. Stigma yang begitu melekat pada pasien gangguan skizofrenia adalah mereka berbahaya (Wicaksana, 2008). Sebanyak 80 % orang skizofrenia, tidak diobati bahkan ditelantarkan keluarganya di jalanan, Rumah Sakit Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental (Lucia dalam Fauzi, 2011). Dukungan keluarga menurut Francis dan Satiadarma dalam Fauzi (2011) merupakan bantuan yang diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat dalam sebuah keluarga. Pemberian obat di Rumah Sakit menjadi kurang efektif apabila tidak ditunjang oleh peran serta dukungan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Jenkins, et al dalam Fauzi (2011) menunjukkan bahwa family caregivers adalah sumber yang sangat potensial untuk menunjang pemberian obat pada pasien Skizofrenia. “Berdasarkan survei Kementerian Sosial tahun 2008, penderita Skizofrenia di Indonesia ada 650.000 orang dan sekitar 30.000 orang, dipasung bahkan ditelantarkan dengan alasan agar tidak membahayakan orang lain atau menutupi aib keluarga” (Tjipto dalam Fauzi, 2011). Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk meneliti penderita skizofrenia yang ditelantarkan keluarganya. Bagaimanakah kira-kira kondisi psikologis seorang penderita skizofrenia yang ditelantarkan. Gambaran tentang penderita skizofrenia sangat menarik untuk dibahas lebih dalam. Penulis mencoba untuk menggambarkan kepada pembaca tentang bagaimana kondisi psikologis penderita skizofrenia yang ditelantarkan keluarganya melalui sebuah tulisan ilmiahnya. 4 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 1.2. Rumusan Masalah Bagaimanakah kondisi psikologis penderita Skizofrenia yang ditelantarkan keluarganya ke Panti Rehabilitasi Mental di Jakarta? 1.3. Tujuan Penelitian Mengetahui gambaran kondisi psikologis penderita Skizofrenia yang ditelantarkan keluarganya ke Panti Rehabilitasi Mental di Jakarta. 1.4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Manfaat dan kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : a. Manfaat teoritis Menambah wawasan baru mengenai kondisi psikologis penderita Skizofrenia yang ditelantarkan keluarganya ke Panti Rehabilitasi Mental di Jakarta, dimana masih sedikit ilmu psikologi yang membahas tentang penderita Skizofrenia yang ditelantarkan keluarganya. b. Manfaat praktis Dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam menerapkan penanganan yang tepat untuk penderita Skizofrenia yang ditelantarkan keluarganya ke Panti Rehabilitasi Mental di Jakarta. 5 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 1.5. Sistematika Penelitian Untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan dari skripsi ini maka disusun sistematika penelitian sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang , perumusan masalah , tujuan penelitian , manfaat dan kegunaan penelitian , dan sistematika penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas teori – teori tentang Skizofrenia, penelitian-penelitian sebelumnya serta teori yang berkaitan dengan penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan mengenai jenis penelitian , pendekatan penelitian, subjek penelitian , dan metode pengumpulan data. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisikan tentang gambaran umum subjek penelitian, latar belakang subjek, hasil observasi, sejarah perawatan subjek, analisis kasus tiap subjek penelitian dan analisis kasus antar kasus subjek penelitian. BAB V PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan, diskusi dan saran. 6 http://digilib.mercubuana.ac.id/