BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE ISKEMIK II.1.1. Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. STROKE ISKEMIK
II.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang
disebabkan oleh iskemik atau perdarahan yang berlangsung 24 jam atau
meninggal, tetapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan
(Sacco dkk, 2013).
Stroke
iskemik
adalah
episode
disfungsi
neurologis
yang
disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana
infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medula
spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan :
-
Patologi, pencitraan atau bukti objektif dari injury fokal iskemik
pada serebral, medula spinalis atau retina pada suatu distribusi
vaskular tertentu.
-
Atau bukti klinis dari injury fokal iskemk pada serebral, medula
spinalis atau retina berdasarkan gejala yang bertahan ≥ 24 jam
atau meninggal dan etiologi lainnya telah disingkirkan (Sacco
dkk, 2013).
Universitas Sumatera Utara
II.1.2. Epidemiologi
Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000
orang per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama.
Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050.
Secara internasional insidens global dari stroke tidak diketahui (Becker
dkk, 2010).
Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari
data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka
morbiditas stroke, yang seiring dengan semakin panjangnya
life
expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul Neurovaskular
PERDOSSI, 2009).
Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan
bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan
tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan
naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100
penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian
Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di
rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecendrungan
meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan
dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100
penderita) (Sjahrir, 2003).
Universitas Sumatera Utara
II.1.3. Klasifikasi Stroke
Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap
jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa
yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach,2011)
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
1. Stroke iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Thrombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subarachnoid
II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebrobasiler
IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu (Soertidewi, 2007) :
1. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
2. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
3. Lacunar Infarct (LACI)
Universitas Sumatera Utara
4. Posterior Circulation Infarct (POCI)
V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti
TOAST (Sjahrir, 2003)
1. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis
atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan
oleh proses aterosklerosis. Gambaran computed tomography (CT) scan
kepala MRI menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang
otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya
berasal dari aterosklerosis arteri besar.
2. Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari
jantung terdiri dari :
a. Resiko tinggi
• Prostetik katub mekanik
• Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
• Fibrilasi atrial (other than lone atrial fibrillation)
• Atrial kiri / atrial appendage thrombus
• Sick sinus syndrome
• Miokard infark baru (<4 minggu)
• Thrombus ventrikel kiri
• Kardiomiopati dilatasi
• Segmen ventricular kiri akinetik
Universitas Sumatera Utara
• Atrial myxoma
• Infeksi endokarditis
b. Resiko sedang
• Prolapsus katub mitral
• Kalsifikasi annulus mitral
• Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
• Turbulensi atrial kiri
• Aneurisma septal atrial
• Paten foramen ovale
• Atrial flutter
• Lone atrial fibrillation
• Katub kardiak bioprostetik
• Trombotik endokarditis nonbacterial
• Gagal jantung kongestif
• Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
• Miokard infark (> 4minggu, < 6 bulan)
3. Oklusi Arteri Kecil
Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunya satu
gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan
disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT
Scan/MRI kepala normal atau infark lakunar dengan diameter <1,5 mm di
daerah batang otak atau subkortikal.
Universitas Sumatera Utara
4. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Menentukan
a. Non-aterosklerosis Vaskulopati
• Noninflamiasi
• Inflamasi non infeksi
• Infeksi
b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi
5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan
II.1.4. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke yang pertama dapat
diklasifikasikan berdasarkan pada kemungkinannya untuk dimodifikasi
(nonmodifiable, modifiable, or potentially modifiable) dan bukti yang kuat
(well documented or less well documented) (Goldstein, 2006)
1. Non-modifiable risk factors :
1. Age
2. Sex
3. Low birth weight
4. Race / ethnicity
5. Genetic
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factor
1. Hipertensi
2. Terpapar asap rokok
Universitas Sumatera Utara
3. Diabetes
4. Atrial fibrillation and certain other cardiac condition
5. Dislipidemia
6. Stenosis arteri carotis
7. Sickle cell disease
8. Terapi hormon postmenopause
9. Poor diet
10. Physical inactivity
11. Obesitas dan distribusi lemak tubuh
b. Less well-documented and modifiable risk factor
1. Sindroma metabolik
2. Alcohol abuse
3. Penggunaan kontrasepsi oral
4. Slepp-disordered breathing
5. Nyeri kepala migren
6. Hiperhomosisteinemia
7. Peningkatan lipoprotein (a)
8. Elevated lipoprotein-associated phospholipase
9. Hypercoagulability
10. Inflamasi
11. Infeksi
Universitas Sumatera Utara
II.1.5. Patofisiologi
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian
inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah
ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di
luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel - sel otak
dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang
fungsi - fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat
iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di
luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran
darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah
yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi
dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor
waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsurangsur mengalami kematian (Misbach, 2011).
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap (Sjahrir, 2003) :
Tahap 1 : a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostatsis ion
Tahap 2. : a. Eksitoksitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Universitas Sumatera Utara
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
II.2. MARKER INFLAMASI
II.2.1. LEUKOSIT
Leukosit adalah sistem pertahanan tubuh yang merupakan
kumpulan unit yang bergerak. Sistem daya tahan tubuh ini adalah
kemampuan tubuh untuk bertahan dan menyingkirkan material yang
berbahaya dan sel-sel abnormal dalam tubuh (Sherwood dkk,2012).
Leukosit dan turunannya serta protein plasma membentuk sistem
immun yang merupakan sistem yang dapat mengenal, menghancurkan
dan menetralisir material yang seharusnya tidak terdapat dalam tubuh.
Secara spesifik sistem pertahanan tubuh berperan dalam :
1. Melawan patogen yang menginvasi tubuh seperti mikroorganisme yang
menimbulkan penyakit.
2. Menyingkirkan sel yang tidak dibutuhkan oleh tubuh seperti eritrosit
yang sudah tua ataupun jaringan debris
3. Mengidentifikasi dan menghancurkan sel yang abnormal yang muncul
dalam tubuh. Dalam hal ini leukosit berperan sebagai mekanisme
pertahanan pertama dalam melawan kanker (Sherwood dkk,2012).
Jumlah normal sel darah putih adalah 4500-11.000/µl darah
manusia,
dimana
diantara
ini
semua,
sel
granulosit
(sel
polimorfonuklear/PMS) adalah yang paling banyak. Sel granulosit muda ini
Universitas Sumatera Utara
memiliki bentuk seperti tapal kuda dan akan berubah menjadi sel
multilobus. Sebagian besar dari sel polimorfonuklear ini terdiri dari granul
(neutrofil), dan sebagian kecil lagi adalah eusinofil, basophil, limposit yang
memiliki inti sel yang lebar dengan sedikit sitoplasma serta monosit
dengan sitoplasma dalam jumlah besar dan nukleus berbentuk ginjal.
Seluruh sel ini akan melindungi tubuh dengan bekerja sama melawan
tumor, virus, bakteri dan infeksi parasit (Ganong, 2003).
Tabel 1. Nilai Normal Leukosit pada Sirkulasi Darah(sel/µl)
Tipe Sel
Leukosit
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Nilai
4500-11000
4000-7000
2000-5000
100-1000
0-500
0-100
Dikutip dari : English, D. 2003. Components, Immunity, and Hemostasis.
In Rhoades RA, Tanner GA, editors. Medical Physiology. 2sd
edition.Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Available
at: http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/e-book/fisiologi%20%20faal%20%20phisiology%20%20pathofisiology/medical%20physiology%202nd%20
edition%20-%20rhoades.pdf
Peran leukosit secara spesifik
1. Neutrofil
Neutrofil berperan dalam sistem fagosit dengan cara memakan dan
merusak bakteri secara intraselular. Neutrofil juga berperan sebagai
“suicide bombers” dan mengatur kematian sel bakteri dengan
menggunakan material dalam sel untuk membentuk serat yang disebut
dengan neutrophil extracellular traps (NETs) yang akan dibuang ke
Universitas Sumatera Utara
cairan ektraselular. Lebih jauh lagi neutrofil akan membersihkan
jaringan debris. Melalui seluruh fungsi ini neutrofil akan berperan dalam
infeksi bakteri akut.
2. Eusinofil
Jumlah eusinofil yang meningkat dalam sirkulasi berhubungan dengan
kondisi alergi dan adanya infeksi parasit seperti cacing. Eusinofil tidak
dapat memakan parasit yang berukuran besar melainkan dengan cara
menempel
pada
parasit
dan
mensekresikan
substan
untuk
menghancurkan parasit tersebut.
3. Basofil
Basofil adalah bagian dari leukosit yang paling sedikit yang memiliki
fungsi dan struktur yang hampir sama seperti sel mast. Basofil tidak ikut
bersirkulasi dalam darah namun tersebar di jaringan ikat. Basofil dan
sel mast mensintesa dan menyimpan histamin dan heparin yang
merupakan substans kimia yang akan dikeluarkan pada stimulus
tertentu. Produksi histamin berperan penting pada reaksi alergi
sedangkan heparin berperan untuk mempercepat perpindahan partikel
lemak dalam darah serta mencegah proses pembekuan darah
sehingga digunakan sebagai obat antikoagulasi namun hal ini masih
bersifat kontroversi. Basofil ini diproduksi di sum-sum tulang, setelah itu
akan beredar di sirkulasi selama kurang dari satu hari, memasuki
jaringan ikat dan bertahan selama 3-4 hari.
Universitas Sumatera Utara
4. Monosit
Bekerja seperti neutrofil dengan cara memfagosit. Monosit akan
berpindah dari sum-sum tulang saat masih immature dan bersirkulasi
dalam darah selama 1-2 hari sebelum memasuki jaringan. Dalam
jaringan inilah monosit akan berkembang menjadi matur dan disebut
sebagai makrofag. Makrofag ini akan bertahan beberapa bulan sampai
beberapa tahun jika mereka tidak melakukan aktivitas fagosit.
5. Limfosit
Limfosit melakukan aktivitas sistem imun dengan melawan target yang
secara spesifik mengaktifkan mereka. Terdapat dua limfosit yaitu
limfosit B dan limfosit T (Sel B dan sel T) yang terlihat sama. Limfosit B
akan memproduksi antibodi yang bersirkulasi dalam darah sehingga
disebut antibody-mediated atau hummoral immunity. Antibodi ini akan
berikatan dan menandai sel asing yang menginduksi mereka dan
kemudian akan merusak sel asing itu. Limfosit T tidak memproduksi
antibodi, namun secara langsung merusak sel target yang spesifik
degan mengeluarkan substansi kimia. Proses ini disebut dengan cell
mediated immunity. Limfosit ini akan bertahan hidup 100-300 hari.
Hanya limfosit dalam jumlah kecillah yang bersirkulasi dalam darah di
waktu tertentu selebihnya tinggal di jaringan getah bening. (Ganong,
2003)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Perbedaan Limfosit B dan Limfosit T
Dikutip dari : Ganong, W., F. 2003. Review of Medical Physiology . 21th
edition . Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division.
USA.
Gambar 1 . Element dan Tipe Leukosit Normal pada Manusia
Dikutip dari : Ganong, W., F. 2003. Review of Medical Physiology . 21th
edition . Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division.
USA.
Universitas Sumatera Utara
II.2.2 C-REACTIVE PROTEIN
C-reactive protein (CRP) pertama kali ditemukan pada tahun 1930
oleh William Tillet dan Thomas Francis. Pada penelitian, di dalam darah
pasien-pasien yang menderita infeksi akut Streptococcus pneumonia
ditemukan serum yang membentuk presipitan dengan ekstrak dari bakteri
streptokokus. Ekstrak ini mula-mula dinamakan fraksi C yang kemudian
diketahui sebagai polisakarida. Oleh karena itu substansi dalam serum
hasil dari reaktivitas C-polisakarida dari dinding sel streptokokus disebut
CRP. Ikatan kalsium dari CRP yang berikatan dengan afinitas tinggi
terhadap
phoshocholine
(unsur dasar membran
sel
phospholipid,
phosphatidylcholine). Jika terjadi kerusakan sel maka phosphatidylcholine
akan terekspos dan mudah terjangkau oleh CRP (Semple, 2006; Husain
dkk, 2002).
C-Reactive Protein merupakan protein fase akut dengan struktur
homopentametric dan ikatan kalsium yang spesifik untuk phospocholine
(PCh). C-Reactive protein
merupakan bagian dari famili pentraxin
nonglikosilasi yang termasuk dalam “lectin fold superfamily”. Molekul
human CRP terdiri dari 5 subunit polipeptida nonglikosilasi (promoter)
yang berkeliling non kovalen, tersusun secara cyclic pentametric simetris
dan dirakit keliling dengan sebuah poros sentral dengan konfigurasi
seperti sebuah piringan. Setiap subunit mempunya massa 23,027 Da
(terdiri dari 206 asam amino residu) dan secara keseluruhan massa
human CRP adalah 115,135 Da (Pepys dkk, 2003; Hirschfield dkk, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Struktur Molekuler dan Morfologi dari CRP
Dikutip dari : Mark B. Pepys and Gideon M. Hirschfield. 2003. C-reactive
protein: a critical update. J. Clin. Invest; 111:1805–1812
C-Reactive Protein disintesa dalam bentuk pecahan dari hepatosit
lalu disekresikan kedalam sirkulasi darah. Produksi dari CRP di induksi
oleh sitokin pro inflamasi IL-1 dan IL-17 di hati. Sitokin menekan efek
bilologisnya terhadap CRP dengan memberikan sinyal melalui reseptor
pada sel hepatik dan mengaktivasi kinase dan fosfatase yang berbeda,
mengarah paa translokasi dari berbagai faktor transkripsi pada gen
promoter dan produksi dari CRP (Di Napoli dkk, 2011).
Konsentrasi CRP sistemik dikatakan normal bila kurang dari 5 mg/L
namun konsentrasi rata-rata pada populasi umum dan sedentary adalah 2
mg/L. Tidak ditemukan perbedaan konsentrasi ada pria maupun wanita.
Tidak ditemukan pula perbedaan konsentrasi diurnal ataupun berdasarkan
musim (Semple, 2006).
Konsentrasi CRP serum akan meningkat dalam 4 – 6 jam setelah
injury jaringan dimulai dan akan meningkat sampai ratusan kali lipat dalam
Universitas Sumatera Utara
24-48 jam. Konsentrasi CRP akan tetap tinggi selama respon fase akut,
dan akan kembali normal dengan pulihnya struktur dan fungsi jaringan.
Kenaikan CRP bersifat eksponensial, dan menjadi dua kali lipat setiap 8–
9 jam. Waktu paruh (half-life) dari CRP kurang dari 24 jam. Pengukuran
CRP dapat dilakukan secara langsung dan kuantitatif. Pengukuran CRP
serial dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk infeksi, kemajuan
pengobatan, atau deteksi awal peradangan ulang (Husain dkk,2002).
Fungsi utama CRP adalah berikatan dan detoksifikasi terhadap
toksik endogen yang diproduksi sebagai hasil dari kerusakan jaringan. CReactive Protein juga membantu pemindahan sel yang mati, sel-sel asing
(seperti mikroba) melalui ikatan fosfokolin pada permukaan sel, aktivasi
sistem komplemen dan inisiasi, opsoniasi dan fagositosis (Volanakis,2001;
Coric dkk, 2012).
II. 3 PROCALCITONIN
Procalcitonin adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam amino
dan merupakan prohormon calcitonin. Calcitonin terdiri dari 32 asam
amino, sedangkan PCT dibentuk oleh prePCT yang terdiri dari 141 asam
amino dengan bobot molekul 16 kDa. Pemecahan terjadi di sel C kelenjar
tiroid. Pemeriksaan semikuantitatif PCT sangat praktis dan dapat
digunakan secara bed-side. Peningkatan PCT yang cukup besar terjadi
bila
terdapat
reaksi
peradangan
sistemik yang
disebabkan
oleh
endotoksin bakteri, eksotoksin, dan beberapa jenis sitokin. Beberapa
Universitas Sumatera Utara
penyakit di luar infeksi yang dapat meningkatkan PCT antara lain malaria
penyakit jamur,penyakit autoimun, bedah jantung, pankreatitis, luka bakar,
penyakit Kawasaki dan syok kardiogenik. Terjadi peningkatan sedikit
kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik, dan penyakit autoimun,
sedangkan pada infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi alergi, dan
infeksi bacterial yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT.
Konsentrasi normal PCT dalam serum/plasma di bawah 0,5 ng/ml. Pada
keadaan inflamasi kronik dan penyakit autoimun, infeksi virus, dan infeksi
lokal kadar PCT <0,5 ng/ml, sedangkan pada keadaan SIRS, multipel
trauma, dan luka bakar kadar PCT 0,5–2 ng/ml dan kadar PCT >2 (paling
sering 10–100) ng/ml merupakan prediktor infeksi berat, sepsis, dan
kegagalan beberapa organ (multiple organ failure) (Iskandar dkk, 2010).
Pemeriksaan PCT merupakan surrogate marker untuk infeksi,
dalam kaadaan normal PCT dimetabolisme menjadi kalsitonin, pada
keadaan infeksi atau stres lain perubahan PCT menjadi kalsitonin
terganggu sehingga kadar PCT meningkat (Iskandar dkk,2010).
Mekanisme tentang sintesa dan peran PCT setelah peradangan
sampai sekarang sama sekali tidak diketahui. Selama infeksi mikroba,
akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan
pelepasan PCT dari seluruh jaringan parenkim dan seluruh sel
terdiferensiasi di seluruh tubuh. Pelepasan PCT pada saat peradangan
diinduksi dalam dua jalur utama yaitu: cara langsung diinduksi oleh toksin
atau lipopolisakarida yang dilepaskan oleh mikroba, dan induksi tidak
Universitas Sumatera Utara
langsung melalui respon immun pejamu yang bersifat cell-mediated yang
dimediasi oleh sitokin inflamasi (seperti interleukin-1b [IL-1b], interleukin-6
[IL-6], tumor necrosis factor-α [TNF-α]) (Hatzizsilianou, 2011).
Pada infeksi bakteri, serum PCT nilainya akan meningkat 4 jam
setelah onset infeksi bakteri, dan puncaknya antara 8 dan 24 jam (Kibe
dkk,2011). Procalcitonin bukan hanya merupakan marker spesifik untuk
infeksi, tetapi juga dapat digunakan sebagai monitoring respon penjamu
terhadap infeksi dan pengobatan. Jika nilai PCT turun lebih dari 30% dari
nilai
awal
setelah
onset
24
jam
pengobatan
antibakteri,
ini
mengindikasikan bahwa pengobatan sesuai dan infeksi dapat dikontrol.
Tetapi jika nilai PCT meningkat, ini menunjukkan pengobatan anti mikroba
harus diganti. Jika nilai PCT secara terus menerus meningkat, ini
menunjukkan respon penjamu untuk terserang infeksi sangat buruk dan
sistem imun penjamu harus diperkuat (Hatzizsilianou, 2011).
Pada gambaran endokrin yang lalu, kalsitonin matur kebanyakan
dihasilkan pada neuroendokrin sel C dari tiroid. Jika tidak ada infeksi,
transkripsi ekstratiroid dari gen CALC-1 akan tertekan dan terbatas
ekspresi selektif pada sel neuroendokrin yang dijumpai pada tiroid dan
paru. Pada sel neuroendokrin, hormon yang matur akan diproses dan
disimpan pada granul sekretoris. Jika ada infeksi mikroba akan
menginduksi peningkatan dari ekspresi gen CALC-1 dan melepaskan PCT
dari semua jaringan parenkim dan perbedaan tipe sel dalam tubuh (ChristCrain M dan Müller B, 2005).
Universitas Sumatera Utara
II.3.1 Kelompok Protein CAPA
Procalcitonin, calcitonin gene-related peptides (CGRP) I dan II,
amylin, adrenomedullin, calcitonin dan prekursornya adalah satu kelompok
protein. Calcitonin gene-related peptides (CGRP) I dan mRNA yang
merupakan prekursor kalsitonin I dan II akan dikode di gen CALC-1 pada
kromosom 11. Gen ini akan mengkode calcitonin, PCT-I, PCT-II dan
produk lainnya. calcitonin gene-related peptides (CGRP) II diproduksi dari
gen CALC-II pada kromosom 11, sedangkan amilin diproduksi pada
kromosom 12. Semua protein ini akan disekresikan. Untuk mendapatkan
akses ke sistem golgi, protein ini akan diproduksi dengan menggunakan
sekitar 100 asam amino yang terdiri dari residu sistein. Produk yang
dihasilkan ini akan aktif dan berikatan pada reseptor G-Coupled 7TM dan
disebut sebagai ―calcitonin gene-related peptideamylin (pro)calcitoninadrenomedullin family,’’ atau „„CAPA protein family” yang merupakan cikal
bakal kalsitonin (Kibe dkk, 2011).
II.3.2 Sintesis mRNA pada beberapa tipe sel
Procalcitonin mRNA disintesis di gen CALC-I pada kromosom 11
pada saat sepsis atau inflamasi. Gen CALC-I ini merupakan sumber
calcitonin matur pada individu normal. Gen ini terdapat pada beberapa
mamalia dan spesies lainnya. Kalsitonin, PCT-I, PCT-II, dan calcitoningene-related peptide (CGRP) I dikode pada urutan DNA di gen ini. Dua
tipe PCT mRNA disintesis pada sel yang memproduksi PCT dan
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan dua protein yang berbeda yaitu PCT I dan PCT II yang
dibedakan pada asam amino C-terminal. (Sherwood dkk,2012)
Mekanisme tentang sintesis dan peran PCT setelah peradangan
sampai sekarang sama sekali tidak diketahui. Selama infeksi mikroba,
akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan
pelepasan PCT dari seluruh jaringan parenkim dan seluruh sel
terdiferensiasi di seluruh tubuh. Pelepasan PCT pada saat peradangan
diinduksi dalam dua jalur utama yaitu: cara langsung diinduksi oleh toksin
atau lipopolisakarida yang dilepaskan oleh mikroba, dan induksi tidak
langsung melalui respon immun pejamu yang bersifat cell-mediated yang
dimediasi oleh sitokin inflamasi (seperti interleukin-1b [IL-1b], interleukin-6
[IL-6], tumor necrosis factor-α [TNF-α]) (Kibe dkk, 2011).
II. 4. STROKE-ASSOCIATED INFECTIONS (SAI)
II. 4.1. Definisi Stroke-associated infections (SAI)
Stroke-associated infections ialah infeksi yang terjadi selama tujuh
hari pertama daripada onset stroke (Vargas dkk, 2006)
Infeksi dapat terjadi setelah hari pertama stroke iskemik pada
sekitar 25-65% pasien. Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)
merupakan komplikasi infeksi yang sering terjadi setelah stroke iskemik.
Insiden untuk pneumonia yang berhubungan dengan stroke sekitar 5-22%
sedangkan untuk infeksi saluran kemih sekitar 6-27%. Untuk pasien
Universitas Sumatera Utara
dengan infeksi saluran kemih biasanya 3-10% pasien perhari setelah
pemasangan kateter (Harms dkk, 2010; Fluri dkk, 2012).
A. Pneumonia setelah stroke
Diagnosis pneumonia ditentukan oleh :
1. Pemeriksaan paru yang abnormal, infiltrasi paru pada foto thorak
2. batuk yang produktif dengan sputum purulen, pada kultur
ditemukan moikrobiologi positif ataupun kultur darah (Harms
dkk,2010 )
Tabel 3. Kriteria untuk Definisi Klinis Pneumonia berdasarkan
Centers for Disease Control
Dikutip dari : Harms H, Halle E, Andreas Meisel A. 2010. PostStroke Infections – Diagnosis, Prediction, Prevention And
Treatment To Improve Patient Outcomes. European Neurological
Review;5(1):39–43
Diagnosis lain dapat dibuat dengan kriteria The Center for Disease
Control (CDC-Atlanta) yang telah diadaptasi oleh PDPI (Perhimpunan
Universitas Sumatera Utara
Dokter Paru Indonesia), yaitu: (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2003)
Pneumonia ditegakkan atas dasar:
1.
Gambaran foto toraks terdapat infiltrat baru atau progresif.
2.
Ditambah dua di antara kriteria berikut:
a. Batuk – batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/ sekret purulen
c.
Suhu tubuh ≥ 38 0C (diukur di aksila)
d. Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda – tanda konsolidasi, suara
nafas bronkial dan ronki
e. Leukositosis (≥10.000) atau leukopenia (<4500)
B. Infeksi Saluran Kemih
Diagnosis infeksi saluran kemih ditentukan oleh :
1. Demam ≥ 380 C
2. Pemeriksaan urin dijumpai positif untuk nitrat
3. Leukosituria > 40/µL ataupun ada bakteriuria ≥ 10 4/mL
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Kriteria untuk Infeksi Saluran Kemih berdasarkan Centers for
Disease Control
Dikutip dari : Harms H, Halle E, Andreas Meisel A. 2010. Post-Stroke
Infections – Diagnosis, Prediction, Prevention And Treatment To Improve
Patient Outcomes. European Neurological Review;5(1):39–43
C. Infeksi lainnya
Diagnosis ini ditentukan oleh :
1. Suhu ≥ 380 C
2. Leukosit ≥ 11000/mL
3. CRP ≥ 10 mg/L (Fluri, dkk, 2012)
Universitas Sumatera Utara
II.4.2. Patogenesa Stroke-Associated Infections (SAI)
Keadaan infeksi dapat ditemukan pada pasien stroke dan
dihubungkan dengan outcome stroke yang lebih buruk. Bagaimana infeksi
menyebabkan perburukan outcome stroke masih belum jelas sampai
sekarang. Satu penelitian menunjukkan bahwa respon inflamasi yang
berhubungan dengan infeksi sistemik menjadi predisposi perkembangan
respon autoimun dari sel T helper 1 terhadap antigen SSP yang terpapar
oleh limfosit dari sirkulasi akibat kerusakan sawar darah otak yang
diinduksi oleh stroke atau keadaan iskemik otak. Sebagai tambahan,
strategi untuk menghambat perkembangan respon T helper 1 ini
berhubungan dengan outcome yang lebih baik. Hubungan antara infeksi
yang terjadi paska stroke dan outcome klinis yang lebih buruk adalah
perkembangan respon autoimun di SSP yang dicetuskan oleh infeksi
(Becker, 2012).
Suatu penelitian menemukan perubahan otonom dihubungkan
dengan frekuensi infeksi yang tinggi dan keparahan stroke, ataupun
volume darah intraserebral. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
yang menunjukkan hubungan antara katekolamin dan infeksi paska stroke
yang tidak bergantung pada keparahan stroke. Pada beberapa penelitian
sederhana ditemukan localization-dependent pattern pada disfungsi
imunitas setelah stroke. Hal lain yang lebih penting adalah semua
penelitian ini dilakukan terhadap pasien stroke iskemik. Akan tetapi pada
perdarahan
intraserebral
faktor
lain
seperti
perdarahan
disekitar
Universitas Sumatera Utara
intraventrikel pada autonomic and immunoregulatory centers (talamus,
hipotalamus, peri-aqueductal gray, formasio retikularis) mungkin berperan
penting dalam aktivasi saraf simpatik dan dalam proses immunodepresi
setelahnya. Penelitian ini menyimpulkan hubungan kuat antara luasnya
perdarahan intraventrikular dan aktivasi saraf simpatis yang tidak
bergantung pada volume perdarahan dan keparahan stroke awal (Sykora
dkk, 2011).
Sebagai biomarker diagnostik pada sepsis bakterial, substansi yang
diukur harus naik melebihi nilai normal pada awal proses infeksi. Pada
infeksi bakteri, konsentrasi PCT serum akan mulai naik sejak 4 jam
setelah onset infeksi, dan mencapai puncaknya 8 atau 24 jam setelahnya.
Kebalikannya,
CRP
dengan
leukosit
sebagai
pengecualiannya
merupakan biomarker infeksi yang paling sering digunakan di Inggris
ditentukan meningkat secara perlahan dan mencapai puncaknya hingga
36 jam setelah terjadi perubahan endotoksin (Kibe dkk, 2011).
II.4.2.1. Perubahan Imunologis Setelah Iskemik Otak Akut
Pada pasien-pasien dengan stroke akut, konsentrasi ACTH dan
kortisol yang tinggi atau terlalu rendah dihubungkan dengan daerah infark
yang lebih besar, outcome fungsional yang lebih buruk, dan peningkatan
kematian. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua respon aksis HPA yang
sangat ekstrim bersifat mengganggu. Pasien dengan peningkatan kortisol
mungkin memiliki respon peradangan yang kuat, dengan peningkatan
suhu tubuh, fibrinogen, jumlah sel darah putih, tromboglobuin, dan
Universitas Sumatera Utara
konsentrasi IL-6. Konsentrasi kortisol yang tinggi pada beberapa
penelitian, tapi tidak di penelitian lainnya, juga telah dihubungkan dengan
ekspresi katekolamin yag lebih tinggi, dan infark lobus frontal atau infark
insular. Tetapi, rerata infeksi dan keadaan imun pasien tidak digambarkan
di dalamnya. Pada mencit yang mengalami iskemik otak, stroke
menginduksi depresi imunitas selular yang berlangsung lama, seperti
deaktivasi monosit, limfopenia, dan perubahan (shift) sel Th1/ Th2 yang
dihubungkan dengan bakterimia spontan, dan pneumonia. Pada tikus,
iskemia serebri fokal akan menurunkan selularitas limfa dan respon
terhadap mitogen sehingga menghasilkan produksi faktor inflamasi yang
cepat dan luas oleh splenosit dalam hubungannya dengan sinyal
adrenergik.
Preconditioning
lipopolisakarida
terbukti
menginduksi
neuroproteksi yang signifikan terhadap oklusi arteri serebri media,
penekanan infiltrasi kedua jenis netrofil, dan aktivasi mikroglia/ makrofag
pada keadaan iskemik hemisfer, dan aktivasi monosit pada darah tepi
(Chamorro dkk, 2007).
II.4.2.2. Sistem Pertahanan Tubuh yang Diinduksi oleh Stroke
Penyebab kematian yang paling tinggi pada pasien stroke adalah
infeksi. Hampir 85% pasien stroke mengalami komplikasi, dan paling
banyak diantaranya adalah infeksi. Pada masa rehabilitasi, infeksi adalah
komplikasi yang paling sering dan merupakan penyebab kematian nomor
satu pada perawatan stroke hari pertama. Pada kerusakan sistem saraf
pusat secara spesifik dan signifikan dapat menimbulkan risiko infeksi. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini juga terjadi pada injury susunan saraf pusat yang mengakibatkan
immunodepresi sekunder (CNS injury-induced immunodepression/CIDS).
Penelitian pada mencit menunjukkan, dalam tiga hari setelah iskemia fokal
otak akan muncul pneumonia dan sepsis. Keadaan ini terjadi karena
terjadinya apoptosis luas, hilangnya limfosit dan perubahan T Helper I
menjadi T Helper II, atrofi pada organ limpatik seperti limpa dan tymus,
penurunan jumlah dan fungsi monosit. Keadaan immunodepression
setelah terjadinya stroke dapat dideteksi mulai saat terjadinya iskemik dan
berlangsung sampai beberapa minggu. Berdasarkan penelitian ini
menunjukkan kerusakan katekolamin yang terjadi pada saat aktivasi
limfosit memegang peranan penting dalam terganggunya respon imun
terhadap infeksi bakteri setelah terjadinya stroke (Dirnagl dkk, 2007).
II.4.2.3. Penyebab Immunodepresi Pada Pasien Stroke
Walaupun fenomena terjadinya imunodepresi setelah stroke sudah
banyak
dinilai
namun
mekanisme
penyampaian
signal
yang
mempengaruhi sistem saraf simpatis dan aksis hypothalamic-pituitari yang
meregulasi penurunan respon imun setelah iskemia sel otak masih belum
jelas. Beberapa percobaan klinik menunjukkan adanya produksi cytokine
proinflamatory
oleh
jaringan
otak
yang
rusak
secara
langsung
menimbulkan aktivasi central nervous system dan aksis hypothalamic–
pituitary. Peningkatan nilai cytokine seperti interleukin 1, TNF α dan
interleukin 6 telah tebukti terjadi pada kerusakan parenkim otak dan cairan
serebrospinal. Karena sistem otonom pada sistem saraf pusat merupakan
Universitas Sumatera Utara
organ limfoid sekunder, kerusakan yang terjadinya pada daerah ini dapat
menimbulkan
imunodefisiensi.
Pada
keadaan
stroke
akan
terjadi
kerusakan struktur susunan saraf pusat simpatis yang meliputi vegetative
neuroimmunomodulation. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan adanya
stres pada sistem saraf pusat dan peradangan pada sistem saraf pusat
merupakan penyebab terjadinya immunodepresion sistemik (Dirnagl dkk,
2007).
Gambar 3. Hipotesa Terjadinya Immunodepresi Akibat Terjadinya
Stroke
Dikutip dari : Dirnagl U, Klehmet J, Braun J.S, Harms H, Meisel C,
Ziemssen T, Prass K, Meisel A. 2007. Stroke-Induced Immunodepression
Experimental Evidence And Clinical Relevance. Stroke;38(Part 2):770-3.
Stroke fase akut dapat menginduksi terjadinya stroke-induced
immunodepression (SIID) syndrome. Jumlah kasus SIID yang timbul pada
infeksi
poststroke
diperkirakan
sampai
30%.
Manifestasi
sistem
immunodepresi ini tidak hanya terjadi pada keadaan stroke atau rusaknya
sel saraf pusat namun juga dapat terjadi pada traumatic injury, luka bakar
ataupun operasi besar di daerah otak. Kondisi ini tampaknya terjadi akibat
Universitas Sumatera Utara
terjadinya peningkatan reaksi sistem saraf otonom yang akhirnya memicu
respon imun yang adaptive dan innate akibat adanya infeksi bakteri
tertentu. Kerusakan sistem saraf pusat secara langsung juga menginduksi
terjadinya immunodepresi. Keadaan ini terjadi akibat adanya respon imun
yang berbeda jika dibandingkan pada trauma jaringan lain pada tubuh, hal
ini masih dalam proses penelitian sampai saat ini. Pada suatu penelitian
terhadap mencit diketahui bahwa pada saat terjadinya SIID, sel invariant
natural killer T (iNKT) hepatic dan memory T cells limpa memegang
peranan penting. Sindrom SIID ini juga merupakan respon immun adaptif
untuk mengurangi peradangan pada otak yang diinduksi oleh adanya
iskemia walaupun pada akhirnya keadaan ini memfasilitasi terjadinya
infeksi akibat berkurangnya reaksi inflamasi (Chamorro dkk, 2012).
Adanya lymphocytopenia merupakan penanda adanya SIID.
Secara spesifik pada penelitian terdahulu ditemukan bahwa sel T
proinflamasi pada pasien SIID menimbulkan efek yang lebih lemah pada
stimulus in vitro dibandingkan pada kontrol yang sehat, namun pada
penelitian terbaru pada mencit dan manusia ditemukan bahwa sel T
proinflamasi akan mempertahankan kemampuan proliferasi setelah
terjadinya stroke. Komponen yang berperan pada SIID pada pasien yang
mengalami stroke akan mengalami overactivation akibat sistem adrenergik
yang bekerja pada sel pertahan tubuh primer yang menyebabkan
pergantian respon TH 1 proinflamasi menjadi respon TH2 antiinflamasi.
Aktivasi
simpatis
juga
dapat
terjadi
pada
keadaan
dismotilitas
Universitas Sumatera Utara
gastrointestinal yang akhirnya dapat menimbulkan resiko aspirasi
pneumonia (Chamorro dkk, 2012).
Respon antiinflamasi pada keadaan infeksi paska stroke terjadi
akibat modulasi sistem saraf pusat yang mengaktifkan sistem pertahanan
tubuh lewat komplek humoral dan aksis hypothalamic–pituitary–adrenal,
persarafan vagus dan sistem saraf simpatis. Hipotalamus secara
fungsional
berhubungan
memungkinkan
terjadinya
erat
dengan
sinkronisasi
pusat
otonom
respon
sehingga
neuroendocrine
(glucocorticoid) dengan aktivitas kolinergik yang secara bersama-sama
akan menekan produksi sitokin inflamasi oleh sel T, monosit dan makrofag
serta menghasilkan sitokin antiinflamasi seperti IL-10. Diproduksinya
neuroadrenalin oleh jaringan saraf otak dan organ perifer seperti kelenjar
adrenal, hati dan limpa juga menginduksi respon antiinflamasi pada
limfosit, monosit dan makrofag. Secara bersamaan seluruh mekanisme ini
akan membatasi respon inflamasi namun menimbulkan resiko terjadinya
infeksi seperti pneumonia ataupun infeksi saluran kemih.
Selain itu
dihasilkannya katekolamin oleh saraf terminal dapat menginduksi
perubahan pada sel iNKT hati serta dihasilkannya asetilkolin oleh sel T
memori di spleen yang pada akhirnya mengurangi reaksi peradangan
namun meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi (Chamorro dkk,
2012).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Reflek antiinflamasi dan infeksi pada Stroke Associated
Infections
Dikutip dari : Chamorro A, Meisel A, Planas A.M, Urra X, Van De Beek D,
Roland Veltkamp R. 2012. The Immunology Of Acute Stroke. Nat. Rev.
Neurol:1-10
Universitas Sumatera Utara
II. 5. KERANGKA TEORI
STROKE
Aksis HPA
Sistem Saraf Simpatis
Nervus Vagus
Chamorro dkk, 2007; Fluri dkk, 2012: CNS memodulasi sistem
imun melalui jalur aksis HPA, sistem saraf simpatis dan nervus
vagus
Glukokortikoi
d
Darah: Sel T (↓IFN γ,
↑ apoptosis), Monosit
(↓TNF, ↑IL-10)
Chamorro dkk,2012:
Glukokortikoid
↓sitokin inflamasi
Johnsen dkk 2012; Wani dkk
2012:↓lymphocyte count,
gangguan limfosit T dan aktivitas
sel NK (natural killer), ↓IFN γ
Dirnagl dkk,2007: injury SSP 
immunodepresi
Chamorro dkk,2012,
Dirnagl dkk, 2007 :
katekolamin
↑
infeksi
Katekolami
n
Liver :sel iNKT
(↓IFN γ, ↑ IL-10)
Chamorro
dkk,
2012: Asetikolin
menyebabkan
inflamasi
Disfungsi sistem immune
(immunodepresi)
PCT, Leukosit,
Monosit, HsCRP
Infeksi
Spleen  Asetikolin
Monosit (↓TNF, ↑IL-10)
Wartenberg dkk,2011:
leukosit,CRP,monosit,
PCT berhub SAI
Di Napoli dkk, 2011: CRP disintesa
dr hepatosit
Iskandar dkk, 2010 : PCT 
dipecah pd sel C tiroid
Universitas Sumatera Utara
II.6. KERANGKA KONSEP
Stroke Iskemik Akut
Marker Inflamasi
(Leukosit, Monosit,
HsCRP) dan Procalcitonin
INFEKSI
Universitas Sumatera Utara
Download