Kenaikan Harga dan Fungsi Negara

advertisement
Republika : Selasa, 05 Februari 2008
Kenaikan Harga dan Fungsi Negara
DR Ir Andi Irawan MSi
Dosen Ekonomi Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia
Apa arti kenaikan harga-harga bahan pangan pokok seperti sekarang ini bagi mayoritas masyarakat kita?
Para ekonom mengatakan kenaikan harga identik dengan pajak terhadap pendapatan masyarakat yang
menyebabkan pendapatan riil mereka turun.
Di satu sisi pendapatan relatif tetap, sedangkan di sisi lain harga-harga barang meningkat. Permasalahan
lebih lanjut dari kenaikan harga-harga pangan pokok adalah ketika kenaikan tersebut bukan saja
menyebabkan masyarakat menjadi sulit mendapatkan bahan pangan, tetapi juga menyebabkan mereka
semakin sulit atau bahkan kehilangan akses untuk kebutuhan primer nonpangan, seperti kesehatan,
sandang, dan pendidikan.
Tentulah yang paling merasakan kegetiran dari kenaikan harga-harga ini adalah mereka yang berada
pada strata ekonomi terendah, seperti buruh. Terlebih lagi mereka yang berpenghasilan tidak tetap,
seperti petani, nelayan, dan pengangguran.
Pertanyaan utama yang perlu kita ajukan adalah di mana negara ketika rakyat miskin membutuhkannya?
Para pemikir menggarisbawahi bahwa setidaknya ada dua fungsi negara dalam menyejahterakan
rakyatnya. Pertama, fungsi alokatif yang dalam fungsi ini negara mengalokasikan anggarannya dengan
tujuan menyediakan secara memadai barang-barang publik kepada masyarakat.
Barang-barang publik ini penyediaannya diserahkan kepada negara. Barang-barang ini sangat
dibutuhkan publik (antara lain infrastruktur, pendidikan, fasilitas kesehatan, keamanan). Jika diserahkan
pada swasta melalui mekanisme pasar maka akan terjadi minimal dua peristiwa. Pertama, jumlahnya
tidak tersedia secara memadai karena sifat suatu barang publik yang umumnya sulit memberikan harga
atasnya akibat sulitnya memisahkan atau mentransfer hak kepemilikan dari mereka yang bersedia
membayar dengan mereka yang tidak mau membayar barang tersebut (contoh barang yang sedemikian
adalah jalan raya). Kedua, kalaupun sektor swasta mau menyediakannya, pastilah dengan jumlah yang
terbatas karena investasi untuk menyediakan barang publik ini sangat besar.
Akibatnya, harga barang-barang ini akan menjadi mahal jika penyediaannya diserahkan pada swasta
(contohnya pendidikan dan kesehatan). Kalaulah negara berhasil menjalankan fungsi alokatifnya secara
baik maka kenaikan harga bahan pangan pokok ini tentulah tidak menyakitkan bagi masyarakat.
Bayangkan suatu keadaan di mana rakyat mendapatkan pendidikan gratis dengan kuantitas dan kualitas
yang baik, akses kesehatan dan perumahan dibantu negara, maka proporsi pendapatan rumah tangga
mereka akan semakin banyak tersedia.
Kedua, fungsi distributif yang bertujuan untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat yang terpaksa
terpinggirkan dan termaginalisasi dalam interaksi ekonomi melalui mekanisme pasar. Kenyataannya
dalam konteks kekinian kita, kegagalan negara juga kita lihat dalam fungsi ini.
Entah telah berapa puluh triliun rupiah uang rakyat yang kita alokasikan untuk beragam subsidi, tetapi
pada kenyataannya efektivitas subsidi itu menjadi tanda tanya besar ketika dihadapkan pada dua
pertanyaan. Apakah subsidi itu telah sampai kepada yang berhak menerimanya? Apakah subsidi itu
berkorelasi positif dengan berkurangnya jumlah orang miskin di masyarakat.
Kegagalan
negara
Kegagalan negara dalam fungsi-fungsi ekonominya tersebut sebenarnya identik dengan kegagalan
penyelenggaraan negara oleh para elite. Salah satu penyebab utama kegagalan elite dalam mengelola
negara ini adalah ketika mereka gagal memisahkan misi dan motivasi publik dengan misi dan motif
pribadi.
Sebagai contoh dalam kasus proteksi untuk petani. Salah satu poin penting agar produksi pertanian
meningkat maka para petani harus diproteksi, antara lain dengan mencegah masuknya komoditas
pertanian impor. Kebijakan proteksi komoditas pertanian domestik ini akan gagal total ketika motif para
pengambil kebijakan mengalahkan misi publiknya. Terutama ketika mereka melihat gelimangan uang rent
seeking yang sangat menggiurkan dari bisnis impor ini.
Betapa tidak, dengan hanya memberi lisensi kepada para eksportir mitra di luar negeri untuk
memasukkan komoditas pertanian ke dalam negeri, tanpa memerlukan energi dan biaya ekonomi yang
berarti, akan diperoleh rente ratusan miliar rupiah. Ambil contoh sederhana dalam kasus impor beras.
Kalau kita ambil saja nilai rente yang diminta pada setiap perusahaan eksportir beras yang ingin
memasukkan beras ke Indonesia itu adalah Rp 100 per kg maka dari 1-1,5 juta ton impor beras yang
diizinkan untuk dilakukan sepanjang 2007 hingga awal 2008, akan didapatkan rente ekonomi sebesar Rp
100 miliar hingga Rp 150 miliar. Ini tentu nilai yang spektakuler.
Ketika seseorang masuk menjadi elite negara menyewakan motivasi pribadi dan kelompoknya dengan
motivasi publik maka yang terjadi adalah vested interest pribadi dan kelompok dalam kebijakan-kebijakan
publik. Semakin besar dominansi kepentingan pribadi dan kelompok dalam kebijakan publik maka
semakin jauh pula wujudnya pada kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat.
Download