BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendahuluan Sebanyak + 80% perempuan pada usia reproduktif mengeluhkan nyeri somatis dan gangguan emosi/afektif yang timbul sebelum menstruasi. Namun karakteristik asal dan tingkat keluhan yang berbeda membuat penderita tidak memperhatikan setiap siklus menstruasinya dan menghasilkan dasar yang tidak adekuat untuk mendiagnosis sindroma prementruasi, sehingga diperlukan suatu kriteria diagnosis yang disepakati (ISPMD in Montreal Consensus 2010). B. Definisi Sindroma Premenstruasi Definisi paling sederhana dari sindroma premenstruasi (Premenstrual Syndrome/PMS) adalah gejala siklik dari satu atau lebih dari banyak gejala (lebih dari 100) sebelum terjadinya menstruasi, yang mempengaruhi pola hidup atau aktivitas, diikuti dengan periode bebas dari gejala (Speroff & Fritz, 2010). Gejala yang paling sering dijumpai adalah sebagai berikut perut kembung/penuh, kecemasan atau ketegangan, nyeri payudara, mudah sedih, depresi, kelelahan, kekurangan energi, mudah marah, sulit berkonsentrasi, haus, perubahan nafsu makan, dan terjadi edema ekstremitas. Biasanya gejala-gejala ini terjadi pada hari ke-7 sampai 10 sebelum terjadi periode menstruasi. Gejala pasti dari individu kadang tidak relevan, diagnosis yang dibuat bersifat gejala subyektif yang terjadi secara siklik. Bagaimanapun, gejala tidak dapat dianggap sebagai suatu hal yang obyektif, dikarenakan banyak gejala dari sindroma premenstruasi yang telah dipaparkan dari waktu ke waktu oleh klinisi sebagai suatu perubahan perasaan yang terjadi "di luar kendali" (Speroff & Fritz, 2010). Universitas Sumatera Utara C. Etiologi Sindroma Premenstruasi Sampai saat ini para ahli masih sulit menentukan etiologi pasti dari terjadinya sindroma premenstruasi. Beberapa teori yang diduga menyebabkan terjadinya sindroma premenstruasi adalah sebagai berikut: (Speroff & Fritz, 2010) - Perubahan kadar progesteron - Perubahan kadar estrogen - Perubahan dari rasio estrogen – progesteron - Peningkatan aktivitas adrenal - Peningkatan aktivitas aldosteron - Peningkatan aktivitas renin-angiotensin - Endorphin endogen withdrawl - Hipoglikemia subklinis - Perubahan katekolamin - Respon terhadap prostaglandin - Defisiensi vitamin - Eksresi prolaktin yang berlebihan D. Epidemiologi Sindroma Premenstruasi Insidensi atau angka kejadian dari sindroma premenstruasi sekitar 80%. Studi epidemiologi menunjukkan kurang lebih 20% dari perempuan usia reproduksi mengalami gejala sindroma premenstruasi sedang sampai berat. Sekitar 3% - 8% memiliki gejala hingga parah yang disebut premenstrual dysphoric disorders/PMDD (Freeman, 2003; Knaapen & Weisz, 2008). Bentuk sindroma premenstruasi yang berat dari sindroma premenstruasi ditemukan sebanyak 2,5% - 3% pada perempuan pada usia reproduktif, sementara sekitar 40% perempuan akan mengalami keluhan sindroma premenstruasi dengan tingkat yang tidak terlalu parah (Depkes RI, 2007a). Universitas Sumatera Utara E. Diagnosis Sindroma Premenstruasi Terdapat banyak gejala yang dihubungkan dengan sindroma premenstruasi namun gejala yang paling sering adalah iritabilitas (mudah tersinggung) dan disforia (perasaan sedih). Gejala mulai dirasakan 7-10 hari menjelang menstruasi berupa gejala fisik maupun psikis yang mengganggu aktifitas sehari-hari dan menghilang setelah menstruasi (Milewicz, Andrzej, 2006). Menurut American Psychiatry Association – DSM IV dan The National Institute of Mental Health Criteria menyebutkan bahwa gejala-gejala sindroma premenstruasi meliputi gejala afektif dan somatis yang di jelaskan pada tabel berikut (Lihat Tabel 1) : (ACOG 2006; Knaapen & Weisz, 2008). Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Diagnostic Criteria for Premenstrual Syndrome/PMS (ACOG, 2006) American College of Obstetricians and Gynecologist Diagnostic Criteria for Premenstrual Syndrome (PMS) Patient reports one or more of the following affective and somatic symptoms during 5 days before menses in each of 3 prior menstrual cycles Affective - Depression - Angry outbursts - Anxiety - Irritability - Confusion - Social withdrawal Somatic - Breast tenderness - Abdominal bloating - Headache - Swelling of extremities Symptoms relieved within 4 days of menses onset without recurrence until at least cycle day 13. Symptoms present in absence of any pharmacologic therapy, hormone ingestion or drug or alcohol abuse. Symptoms occur reproducibly during 2 cycles of prospective recording. Patient suffers from identifiable dysfunction in social or economic performance. Seseorang dapat dikatakan mengalami sindroma premenstruasi apabila mengalami 1 dari 6 gejala gangguan afektif dan 1 dari 4 gangguan somatik (ACOG, 2006). Universitas Sumatera Utara Selain itu terdapat 3 (tiga) elemen penting yang menjadi dasar diagnosis apakah seorang perempuan mengalami sindroma premenstruasi yaitu jika ditemukan: 1. Gejala yang sesuai dengan gejala sindroma premenstruasi. 2. Dialami setiap siklus menstruasi (konsisten). 3. Menimbulkan gangguan dalam aktifitas sehari- hari. Apabila seorang perempuan mengalami 5 atau lebih dari gejala sindroma premenstruasi dan sangat menggangu aktivitas sehari-hari, maka dapat dikategorikan dalam premenstrual dysphoric disorders/PMDD (Lihat Tabel 2). (DSM IV, 2000) Tabel 2. DSM-IV Diagnostic Criteria for PMDD(2000) DSM-IV diagnostic criteria for PMDD One year duration of symptoms which are present for the majority of cycles (occur luteal, remit follicular) Five of the following symptoms (with at least one of these marked with *) must occur during the week before menses and remit within days of menses: Irritability* Affective lability* (sudden mood swings) Depressed mood or hopelessness* Tension or anxiety* Decreased interest in activities Difficulty concentrating Change in sleep Feeling out of control Lack of energy Change in appetite (food cravings) Other physical symptoms (breast tenderness, bloating) Seriously interferes with work, social activities, relationship Not an exacerbation of another disorder Confirmed by prospective daily ratings at least 2 consecutive symptomatic cycles Universitas Sumatera Utara Untuk mendiagnosis sindroma premenstruasi, sangat penting menyingkirkan apakah ada penyakit lain yang mendasari timbulnya gejala yang dirasakan. Sindroma premenstruasi dapat diduga pada perempuan yang mengalami gangguan fisik atau pun psikologis beberapa hari sebelum menstruasi berlangsung pada setiap siklus (Champagne & Champagne, 2007; Knaapen & Weisz, 2008; Berga et al, 2009). Sindroma premenstruasi harus dibedakan dengan perubahan yang biasa dirasakan sebelum menstruasi (simple premenstrual syndrome) yang tidak menimbulkan gangguan dalam melaksanakan aktifitas seharihari misalnya rasa tegang pada payudara. Keadaan ini adalah ciri khas dari siklus ovulasi normal yang terjadi setiap bulan. Untuk mengetahui apakah gejala yang dialami oleh seorang perempuan adalah gejala sindroma premenstruasi maka perlu dilakukan secara retrospektif terhadap keluhan yang dialami minimal 2 - 3 siklus haid (Milewicz & Andrzej, 2006). Menurut Abraham dan Head, gejala-gejala klinis yang di jumpai pada sindroma premenstruasidi bagi menurut gejala yaitu tipe A (anxiety), H (hyperhydration), C (craving) dan tipe D (depression). Sekitar 80% merupakan gangguan sindroma premenstruasi paling banyak adalah tipe A, sedangkan tipe H sekitar 60%, sindroma premenstruasi tipe C sebanyak 40%, dan sindroma premenstruasi tipe D sebanyak 20%. Namun ada kalanya seorang perempuan mengalami gejala kombinasi misalnya tipe A dan D secara bersamaan (Abraham & Head, 1997). Setiap tipe sindroma premenstruasi memiliki gejala sendiri yaitu tipe A (anxiety) ditandai dengan gejala seperti cemas, sensitif, saraf tegang, perasaan labil. Bahkan beberapa perempuan mengalami depresi ringan sampai sedang sebelum terjadi menstruasi. Gejala ini timbul diduga akibat ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron. (Monteleone et al, 2000; Wyatt et al, 2001). Sindroma premenstruasi tipe H (hyperhydration) memiliki gejala edema (pembengkakan, perut kembung, nyeri pada payudara, Universitas Sumatera Utara pembengkakan tangan dan kaki, peningkatan berat badan) sebelum terjadi menstruasi. Gejala dari tipe H ini dapat juga dirasakan bersamaan dengan tipe sindroma premenstruasi tipe lain. Pembengkakan ini terjadi akibat retensi cairan pada jaringan di luar sel/ekstrasel karena tingginya asupan garam atau gula pada diet penderita (Abraham & Head, 1997). Sindroma premenstruasi tipe C (craving) ditandai dengan rasa lapar ingin mengkonsumsi makanan yang manis (biasanya coklat) dan karbohidrat sederhana (biasanya gula). Pada umumnya sekitar 20 menit setelah mengkonsumsi gula dalam jumlah banyak, timbul gejala hipoglikemia seperti kelelahan, jantung berdebar, nyeri kepala, terkadang sampai pingsan. Hipoglikemia timbul karena pengeluaran hormon insulin dalam tubuh meningkat. Rasa ingin mengkonsumsi makanan manis diduga karena dipengaruhi stres, diet tinggi garam, tidak terpenuhinya asam lemak esensial (omega 6), atau kurangnya elektrolit seperti magnesium (Abraham & Head, 1997). Sindroma Premenstruasi tipe D (depression) ditandai dengan gejala depresi, ingin menangis, lemah, gangguan tidur, pelupa, bingung, sulit dalam mengucapkan kata-kata (verbalisasi), bahkan kadang-kadang muncul rasa ingin bunuh diri atau mencoba bunuh diri (Burt et al, 2002). Biasanya sindroma premenstruasi tipe D berlangsung bersamaan dengan sindroma premenstruasi tipe A. Hanya sekitar 3% dari seluruh tipe sindroma premenstruasi benar-benar murni tipe D. Sindroma premenstruasi tipe D murni diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen, dimana hormon progesteron dalam siklus haid terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon estrogen (Collins & Eneroth, 2005). Kombinasi sindroma premenstruasi tipe A dan tipe D dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu stres baik fisik maupun psikis (Kurina, Schneider, Waite,2004). Serta akibat kekurangan asam amino tyrosine, kekurangan magnesium serta vitamin B terutama B6 (Lihat Tabel 3). (Abraham & Head,1997). Universitas Sumatera Utara Tabel 3. Tipe-tipe Sindroma Premenstruasi (Premenstrual Syndrome)(Abraham & Head, 1997) PMS Typical Incidence Subtype Symtoms in Possible PMS etiologies Possible therapies Sufferers PMT – A Nervous 66 – 75 % Stress Vitamin B6 tension Vitamin B6 Magnesium Mood swings deficiency Progesteron Irritability Magnesium therapy Anxiety deficiency Dopamine agonists Anxiolytics Decreased intake of vitamin D & calcium PMT-H Stress Aldosterone Magnesium antagonists consecutive deficiency Magnesium cycles Vitamin Weight gain 65 – 72% >3lb.during Swelling 3 of deficiency extermities Comsumption Breast refined sugar tenderness B6 Vitamin B6 Dopamine of agonist Diuretics Decreased intake of vitamin D & calsium Sodium intake limited to 3 g/day Universitas Sumatera Utara PMT-C Headache Caving 24 – 35 % for Stress Vitamin B 6 Vitamin B6 Magnesium sweets deficiency Zinc Increased Magnesium Vitamin C appetite deficiency Incresed Heart Zinc deficiency intake pounding VitaminC linoleic acid Fatigue deficiency Decreased Dizziness / Cis-linoleic fainting of acid intake deficiency vitamin of D& calcium Decreased alcohol intake Decreased intake of refined sugar PMT-D Depression 23 – 37 % Stress Vitamin B6 Forgetfulness Vitamin B6 Magnesium Crying deficiency Estrogen Confusion Magnesium Decreased Insomnia deficiency intake of vitamin D & calcium Beberapa tipe dari sindroma premenstruasi, masing-masing mempunyai gejala yang dianggap spesifik. Belum ada pengobatan yang pasti menyembuhkan etiologi dari sindroma premenstruasi. Penanganan yang baik harus mengetahui tipe dari sindroma premenstruasi. (Milewicz & Andrzej, 2006; Otzurk, Tanriverdi, Erci, 2010). Lebih dari 100 gejala telah dihubungkan dengan sindroma premenstruasi, namun urutan serta kombinasi dari gejala-gejala dapat Universitas Sumatera Utara berbeda-beda diantara para perempuan. Jenis dan parahnya gejala juga dapat berbeda-beda setiap bulan dan diduga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan gaya hidup atau tingkat stres (Levin, 2004). Gejalagejala seperti nyeri kepala, keletihan, sakit pinggang, pembesaran dan nyeri payudara, perasaan penuh pada abdomen, iritabilitas, perubahan suasana hati, ketakutan, kehilangan kontrol, keinginan makan sangat berlebihan dan menangis tiba-tiba dapat terjadi. Gejala-gejala sangat beragam antara satu perempuan dengan perempuan lainnya atau dari satu siklus haid ke siklus haid berikutnya pada perempuan yang sama (De Ronchia et al, 2005). Menurut peneliti lain, gejala-gejala yang paling banyak ditemukan pada sindroma premenstruasi adalah perasaan bengkak, kenaikan berat badan, hilangnya efisiensi, sukar konsentrasi, kelelahan, perubahan suasana hati, depresi, termasuk gangguan tidur/insomnia (Hacker et al, 2004). Halbreich menyatakan peran psikoneuroendokrin melibatkan gejalagejala sindroma premenstruasi berdasarkan fungsi yang terganggu. Gangguan psikologis berupa iritabilitas, ketidakseimbangan emosional, cemas, depresi dan perasaan bermusuhan. Gangguan kognitif dapat berupa ketidak-mampuan berkonsentrasi dan bingung. Gangguan somatik berupa mastalgia, kembung, nyeri kepala, kelelahan dan insomnia. Kebanyakan gejala yang terjadi merupakan gangguan multidimensional (Halbreich, 2003). Rayburn mengklasifikasikan gejala-gejala sindroma premenstruasi berdasarkan gangguan pada fungsi fisik dan emosional. Klasifikasinya tertera pada tabel berikut ini (Lihat Tabel 4): Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Gejala-Gejala Sindroma Premenstruasi (Rayburn & Carey, 2001) Gejala fisik Gejala emosional a. Perut kembung q. Depresi b. Nyeri payudara r. Cemas c. Sakit kepala s. Suka menangis d. Kejang atau bengkak pada kaki t. Sifat agresif atau pemberontakan e. Nyeri panggul u. Pelupa f. Hilang koordinasi v. Tidak bisa tidur g. Nafsu makan bertambah w. Merasa tegang h. Hidung tersumbat x. Irritabilitas i. Perubahan defekasi y. Rasa bermusuhan j. Tumbuh jerawat z. Suka marah k. Sakit pinggul aa. Paranoid l. Suka makan manis atau asin bb. Perubahan dorongan seksual m. Palpitasi cc. Konsentrasi berkurang n. Peka suara atau cahaya dd. Merasa tidak aman o. Rasa gatal pada kulit ee. Pikiran bunuh diri p. Kepanasan ff. Keinginan menyendiri gg. Perasaan bersalah hh. Kelemahan F. Beberapa Penelitian tentang Skala Penilaian Sindroma Premenstruasi Penilaian sindroma premenstruasi terus diteliti dan diukur dengan bebeberapa skala/alat ukur yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya serta dipublikasikan secara internasional, seperti yang tertera berikut ini (Lihat Tabel 5) : Universitas Sumatera Utara Tabel 5. Peneliti enelitian tentang Skala Penilaian Sindroma Premen remenstruasi (Öztürk et al , 2010) * * Premenstruall Symptoms Sy Screening Tool (PSST) PSST mencermi cerminkan dan menerjemahkan kriteria DSM-IV dalam menilai derajat jat kkeparahan dari sindroma premenstruas struasi. Hasil penilaian sindroma droma premenstruasi dengan PSST sejalan jalan dengan tingkat prevalensi lensi yang dilaporkan dari beberapa penelitian litian tentang sindroma premenst menstruasi. International Society Premenstrual al D Disorders (ISPMD) yang g mel meliputi para ahli ginekologi (ACOG), psikiat sikiatri (APA) dan lembaga dunia dun WHO pada bulan Oktober 2010 0 me menyusun Konsensus Montre ontreal yang salah satunya menyatakan bahw bahwa PSST Universitas Sumatera Utara merupakan suatu alat ukur yang dinyatakan valid dan reliabel selama kurun waktu dekade terakhir secara internasional dan meliputi kriteria sindroma premenstruasi pada DSM IV dan International Classification of Diseases (ICD-10). PSST dianggap sebagai reference standard. Penilaian PSST berdasarkan gejala-gejala sindroma premenstruasi yang dialami, yaitu: tidak ada gejala, ringan, dan sedang-berat dari 14 butir pertanyaan tentang gejala sindroma premenstruasi dan 5 butir pertanyaan tentang aktivitas sehari-hari. Derajat sindroma premenstruasi adalah sindroma premenstruasi ringan, sedang sampai berat dan premenstrual dysphoric disorders/PMDD (Steiner, Macdougall, Brown, 2003., ISPMD in Montreal Consensus, 2010). (lihat lampiran 8) G. Manajemen Terapi Sindroma Premenstruasi Sebaiknya seorang perempuan yang diduga menderita sindroma premenstruasi mencatat keluhan yang dirasakannya dalam sebuah catatan harian. Dengan adanya catatan tersebut membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis serta pengobatan. Tujuan dari pengobatan sindroma premenstruasi adalah untuk mengurangi bahkan menghilangkan gejala sindroma premenstruasi yang dialami saat melakukan aktivitas sehari-hari secara intrapersonal, serta mengusahakan agar efek samping minimal dari terapi medisinal simptomatik yang diberikan (Cohen, 2003; Campagne & Campagne, 2007; Rapkin & Winer, 2009). Terapi yang diberikan dapat berupa terapi farmakologi dengan menggunakan obat-obatan untuk mengatasi rasa nyeri maupun terapi non farmakologi seperti konseling suportif yang meliputi aspek psikologis, modifikasi pola hidup dan asupan nutrisi yang seimbang (Mayo, 1997; Henshaw, 2007; Lustyk et al, 2009). 1. Non-farmakologi Terapi non farmakologi memegang peranan penting dalam penanganan sindroma premenstruasi berupa edukasi penderita, terapi Universitas Sumatera Utara suportif dan modifikasi gaya hidup. Perubahan pola psikologis merupakan efek yang bermakna karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abraham & Head, tipe sindroma premenstruasi A dan D merupakan tipe yang paling banyak terjadi. Sehingga para penderita sindroma premenstruasi sebaiknya menghindari stres berkepanjangan. Terapi suportif seperti terapi konseling, cognitive behavioural theraphy, hipnoterapi, dan terapi yang mencakup aspek psikologis lainnya dapat membantu mengurangi gejala sindroma premenstruasi (Abraham & Head, 1997; Chau & Chang, 1999; Levin, 2004). 2. Farmakologi Obat-obatan yang biasa digunakan dalam mengobati sindroma premenstruasi adalah suplementasi vitamin B dan mineral seperti kalsium dan magnesium (Khine et al, 2006; Siregar, Adenin, Abdillah, 2010). Suplementasi ini diduga mengurangi gejala-gejala sindroma premenstruasi. Selain itu, juga terdapat obat-obatan yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri/ketidak-nyamanan penderita, yaitu golongan obat-obatan analgetik (parasetamol), anti inflamasi non steroid (asam mefenamat, ibuprofen, natrium diklofenak), golongan obat penenang (minor tranquilizer), anti depresan dan hormonal (Khine et al, 2006). H. Aspek Hormonal dalam Siklus Menstruasi Seorang perempuan, pada siklus reproduksinya melibatkan berbagai organ, yaitu hipotalamus, hipofisis, ovarium, uterus dan payudara yang berlangsung dalam waktu tertentu melalui proses sinkronisasi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya sistem pengaturan dan koordinasi dari suatu sistem yang disebut sistem hormon (endokrin). (Lihat Gambar 1) Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Siklus Haid (Greenspan& Strewler, 2007). Hormon adalah ah suatu sua protein yang dihasilkan oleh kelenjar njar endokrin yang langsung dialirka ialirkan ke dalam peredaran darah dan mempe empengaruhi organ tertentu yang ng dis disebut organ target (Greenspan & Strewler rewler, 2007). Hormon-hormon yang berhubungan dengan siklus menstruasi truasi adalah sebagai berikut: 1. Hormon-hormon hor yang Dihasilkan Hipofisis Anterior erior a. Luteinizin izing Hormon (LH) LH dihasil ihasilkan oleh sel-sel asidofilik (afinitas terhadap hadap asam), FSH berfungsi mematangkan folikel bersama a dengan den olikel dan sel telur, meran erangsang terjadinya ovulasi, pembentukan tukan korpus luteum, serta sintesis steroid seks. Folikel yang mele melepaskan ovum selama elama ovulasi disebut korpus rubrum yang disus disusun oleh Universitas Sumatera Utara sel-sel lutein dan disebut korpus luteum (Greenspan & Strewler, 2007). b. Folicle Stimulating Hormon (FSH) FSH dihasilkan oleh sel-sel basofilik (afinitas terhadap basa). Hormon ini mempengaruhi ovarium sehingga dapat berkembang dan berfungsi pada saat pubertas. FSH mengembangkan folikel primer yang mengandung oosit primer dan keadaan padat (solid) tersebut menjadi folikel yang menghasilkan estrogen. (Greenspan & Strewler, 2007). c. Prolactin Releasing Hormon (PRH) Secara pilogenetis, prolaktin adalah suatu hormon yang sangat tua serta memiliki susunan yang sama dengan hormon pertumbuhan (growth hormone, Somatotropic hormone, thyroid stimulating hormone). Secara sinergis dengan estradiol, prolaktin mempengaruhi payudara dan laktasi, serta berperan pada pembentukan dan fungsi korpus luteum (Greenspan & Strewler, 2007). 2. Hormon Steroid Ovarium Ovarium menghasilkan progesteron, androgen, dan estrogen. Banyak dari steroid yang dihasilkan ini juga disekresi oleh kelenjar adrenal atau dapat dibentuk di jaringan perifer melalui pengubahan prekursor-prekursor steroid lain. Konsekuensinya, kadar plasma dari hormon-hormon ini tidak dapat langsung mencerminkan aktivitas steroidogenik dari ovarium. a. Estrogen Pada fase pubertas terjadi perkembangan sifat seks primer. Kemudian juga terjadi perkembangan sifat seks sekunder. Selanjutnya akan berlangsung siklus haid. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hormon estrogen. Terhadap uterus, hormon estrogen menyebabkan endometrium mengalami proliferasi, Universitas Sumatera Utara yaitu lapisan endometrium berkembang dan menjadi lebih tebal. Hal ini diikuti dengan lebih banyak kelenjar-kelenjar, pembuluh darah arteri maupun vena. Hormon estrogen dihasilkan oleh sel granulose folikel. Estradiol (E2) merupakan produk yang paling penting yang disekresi oleh ovarium karena memiliki potensi biologis dan efek fisiologis yang beragam terhadap jaringan perifer sasaran. Peningkatan kadar estradiol plasma berkorelasi erat dengan peningkatan ukuran folikel pra-ovulasi. Setelah lonjakan LH, kadar estradiol akan mencapai kadar terendah selama beberapa hari dan terjadi peningkatan kedua kadar estradiol plasma yang akan mencapai puncaknya pada pertengahan fase luteal, yang akan mencerminkan sekresi estrogen oleh korpus luteum. Studi kateterisasi telah menunjukkan bahwa peningkatan kadar estradiol plasma pada fase pra-ovulasi dan pertengahan fase luteal dari siklus. Kadar estradiol dalam darah berkisar antara 20-500 pg/ml dan estron 50-400 pg/ml. Pada awal siklus ovulasi, produksi estradiol akan menurun sampai titik terendah, tetapi karena pengaruh hormon FSH, estradiol akan mulai meningkat. Sebelum fase mid cycle kadar estradiol di bawah 50 pg/ml, tetapi akan terus meningkat sejalan dengan pematangan ovum. Estradiol akan mencapai puncaknya sebesar 250-500 pg/ml pada hari ke 13-15 siklus ovulasi. Pada fase luteal, kadar estrogen akan menurun sampai 125 pg/ml. Hormon estradiol dipengaruhi oleh ritme sirkadian yaitu adanya variasi diurnal, salah satunya karena dipengaruhi kelenjar adrenal (Speroff & Fritz, 2010). b. Progesteron Kadar progesteron adalah rendah selama fase folikuler, kurang dari 1 ng/ml (3,8 mmol/l) dan kadar progesteron akan mencapai puncak yaitu antara 10-20 ng/ml (32-64 mmol/l) pada pertengahan fase luteal. Selama fase luteal, hampir semua Universitas Sumatera Utara progesteron dalam sirkulasi merupakan hasil sekresi langsung korpus luteum. Pengukuran kadar progesteron plasma banyak dimanfaatkan untuk memantau ovulasi. Kadar progesteron di atas 4-5 ng/ml (12,7-15.9 mmol/l) mengisyaratkan bahwa ovulasi telah terjadi. Perkembangan uterus yang sudah dipengaruhi hormon estrogen selanjutnya dipengaruhi progesteron yang dihasilkan korpus luteum menjadi stadium sekresi, yang mempersiapkan endometrium mencapai optimal. Kelenjar mensekresi zat yang berguna untuk makanan dan proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi. Pembuluh darah akan menjadi lebih panjang dan lebar (Greenspan & Strewler, 2007). c. Androgen Androgen terbentuk selama sintesis steroid di ovarium dan adrenal, sebagai pembakal estrogen. Androgen pada perempuan dapat berakibat maskulinisasi, maka pembentukan yang berlebih akan menyebabkan gangguan yang berarti. Fase folikuler dan fase luteal kadar rata-rata testosteron plasma berkisar antara 0,2 ng/ml - 0,4 ng/ml (0,69-1,39 mmol/l) dan sedikit meningkat pada fase pra-ovulasi (Greenspan & Strewler, 2007). I. Psikoneuroendokrin pada Sindroma Premenstruasi Psikoneuroendokrin merupakan bagian dari sistem endokrin (Lihat: Gambar 2) yaitu ilmu dasar fisiologi tubuh yang mempelajari keterkaitan antara aspek psikologis, sistem saraf dan sistem endokrin (hormonal). Telah dilakukan suatu penelitian tentang tingkat stres pada perempuan yang mempunyai siklus menstruasi normal, baik pada fase folikulisasi maupun pada fase luteal. Stres psikologis yang terjadi diduga diinduksi oleh beban kognitif. Hasil pemeriksaan laboratorium secara radioimmuno assay, ditemukan kadar 17β-estradiol, progesteron, LH, FSH, testosteron, Universitas Sumatera Utara kortisol dan androsten ostenedion dari spesimen darah, dan kadar dar ad adrenalin, nor-adrenalin dan n kortisol ko dari spesimen urin ternyata a me mengalami perubahan. Sehingga ingga dapat disimpulkan bahwa keadaan adaan stres menimbulkan respon pon terhadap perubahan psikoneuroendokrin. okrin. Gejala somatis dan gangguan guan mood telah diperlihatkan dari kuesioner self se -report bahwa terdapat perbedaan perbe di antara fase-fase menstruasi uasi tertentu. Dimana, gejala ganggu angguan mood paling besar ditemukan pada da fas fase luteal dan fase menstruasi asi ssedangkan pada fase folikulisasi dan fase ovulasi gejalanya berkurang (Halbreich, (H 2003; Collins & Eneroth, 2005; 005; Cohen & Herbert, 2005). Gamb 2. Neuroendocrine (Demers, 1999) Gambar 1. Sistem Endokrin Pada tahun n 1969, 1969 Rodbell et al, menyampaikan hasil pene penelitiannya bahwa satu seri ri hormon, hor seluruhnya mengaktifkan adenilat lat sikl siklase dan beraksi dengan n cara car berikatan dengan suatu reseptor spesi spesifik yang tergandeng dengan engan adenilat siklase intraseluler dalam suatu atu sistem Universitas Sumatera Utara transduksi. Interaks eraksi antara reseptor spesifik tersebut dengan engan protein target diperantarai tarai oleh o suatu protein heterotrimeric guanine e nu nucleotide binding protein atau disebut G-protein. Reseptor spesifik tadi ke kemudian disebut G-Protein ein-Coupled Reseptor (GPCR) atau disebut diseb juga reseptor metabotro abotropik, merupakan famili terbesar dari reseptor membran sel.. Reseptor Res ini menjadi mediator dari respon espon seluler terhadap berbagai agai molekul, seperti hormon, neurotransmitt nsmitter, dan mediator lokal. Sistem endokrin okrin melibatkan hormon sebagai chemical me messenger, dimana reseptor or hormon hor bekerja melalui sistem second messe ssenger : 1. cAMP (cyclic adenosine ade monophosphate) 2. cGMP (cyclic gu guanosine monophosphate) 3. Phospholipase e – diacylglycerol +IP3 Third messenger – calcium Protein dalam lam transmembran (TM) berupa G protein tein-coupled receptor (GPCR) R) mempunyai me fungsi yang beragam, termasuk asuk reseptor cAMP untuk neurot eurotransmiter dan reseptor glikoprotein hormon rmon. Agonis dari membran plasm plasma protein mengarah pada aktivasi protein tein G, yang pada akhirnya a me memodulasi aktivitas efektor enzim yang ang berbeda melalui saluran n ion (Lihat: Gambar 3). (Cui et al, 2004; Anwar nwar , 2005). Gambar 3. Diacylglyc lglycerol (DAG) Pathway and Inositol Tripho Triphosphate (IP3) Pathway Pathw (Demers, 1999) Universitas Sumatera Utara Hormon glikopro likoprotein spesifik terikat pada protein-coupled led receptor (GPCR) membran bran sel target untuk mengaktifkan jalur cAMP-protein kinase. Respon on aktivasi akt sekresi hormon memerlukan reseptor septor protein G (Hsu, Liang, ang, Hsueh, 1998) dan pemasukan ion kalsium ekstraseluler ke da dalam intraseluler bekerjasama dengan n kalm kalmodulin, protein kinase e dan cyclic AMP sebagai mediator. Di mana sistem endokrin menjalin jalin komunikasi internal dengan sistem saraf dengan memfungsikan n secara sec bersama-sama neurotransmitter dan hormon yang pada akhirnya hirnya dapat menimbulkan efek overlapping pada sel-sel target yang sama ma (Cui & Matkovich, 2004). Gamb ambar 4. Cyclic AMP (Demers, 1999) Sistem ini melib melibatkan protein G, suatu protein intraseluler eluler perifer, dimana aktivasi asi p protein G berfungsi sebagai efektor enzi enzim yang berperan sebagai agai katalisator hormonal, sehingga akan n terja terjadi efek sistemik (Lihat: Gambar Gam 4 dan Gambar 5) (Cui& Matkovich h 200 2004). Universitas Sumatera Utara Gambar bar 5 . Hormone Cascade (Cui& Matkovich h 2004 2004). Mekanisme lain dengan cara hormon steroid berdifusi difusi melalui membran sel untuk masuk ke dalam sel. Hormon berikatan katan dengan reseptor intraselule seluler, sehingga terjadi suatu kompleks horm hormon dan reseptor memasuk asuki inti sel, kompleks hormon dan resept eseptor akan berikatan dengan gan reseptor pada DNA (hormone responss e element), kemudian terjadi jadi tr transkripsi DNA yang mengubah mRNA, A, ke kemudian terjadi translasi asi oleh o mRNA dan akan terbentuk suatu uatu protein. Sehingga akan an m menyebabkan terjadinya aksi hormonal al pa pada sel. (Lihat: gambarr 6) (King, (K 2012) Gambar 6. Mekanisme Me kerja intraselular dari hormon on s steroid (M (Medchrome 2011) Universitas Sumatera Utara Sistem endokrin yang melibatkan kelenjar adrenal dan gonad diregulasi oleh inhibisi negative feedback yang dikontrol oleh aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium dan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium mempunyai sistem GnRH sebagai mekanisme utama. Namun peptida hipotalamus yang lain juga dapat mempengaruhi sekresi GnRH (Rocaet al, 2002; Raison & Miller, 2003; Rabin et al, 2011). Peptida-peptida ini dapat berinteraksi dengan GnRH pada hipofisis atau dibawa ke kelenjar hipofisis yang akan mengakibatkan sekresi FSH dan LH melalui aktifitas autokrin-parakrin yang melibatkan peptida lain dalam sel-sel hipofisis. Peptida yang tidak secara langsung menstimulasi zat aktif pada hipofisis yaitu interleukin (Hsu , Liang , Hsueh , 1998 ; Roca et al, 2002; Raison , Miller, 2003; Rabin et al, 2011). Sitokin dan growth factor intra-hipofisis mempunyai peranan besar dalam sistem autokrin-parakrin untuk mengatur perkembangan dan replikasi sel hipofisis dalam hal sintesis dan sekresi hormon. Di dalam hipofisis juga terdapat interleukin (IL1 dan IL-6), epidermal growth factor, fibroblast growth factor, insulin-like growth factors, nerve growth factor, aktivin, inhibin, endothelin, dan banyak peptida lain yang akan berinteraksi secara kompleks. Aktivin dan inhibin adalah golongan peptida anggota transforming growth factor. Inhibin terdiri dari dua subunit A dan B, segera setelah melalui purifikasi menjadi tiga subunit yaitu alpha, beta A, dan beta B (Raison & Miller, 2003). Setiap subunit merupakan hasil mRNA yang berbeda. Inhibin juga mempunyai pengaruh terhadap growth hormone, adenocorticotropin hormone (ACTH) dan prolaktin. Aktivin yang dihasilkan oleh sel granulosa folikel mengandung dua subunit yang identik dengan inhibin A dan B. Terdapat varian subunit lain yaitu C, D dan E. Aktivin akan meningkatkan sekresi FSH dan menghambat prolaktin, growth hormone, dan adenocorticotropin hormone/ACTH (Anwar, 2004). Universitas Sumatera Utara J. Kelenjar Adrenal dan Hormon Kortisol Terdapat 2 (dua) organ endokrin dalam kelenjar adrenal yaitu medulla pada bagian dalam dan korteks pada bagian luar. Korteks adrenal mempunyai kemampuan untuk mensintesis lebih dari 25 hormon steroid. Sel-sel korteks terdiri dari 3 lapisan (Lihat: Gambar 6) (Stewart, 2008; Barrett et al, 2010), yaitu : Gambar 7. Kelenjar Adrenal (Barrett et al, 2010) 1. Zona Glomerulosa (lapisan luar) menghasilkan mineralokortikoid Menghasilkan hormon aldosteron dalam meregulasi keseimbangan elektrolit cairan ekstraseluler terutama Na+ dan K+. Kelainan hiposekresi dari mineralokortikoid dan glukokortikoid disebut Addison’s disease bermanifestasi pada hipoglikemia, dehidrasi berat, ketidak-seimbangan elektrolit, hiperkalemia, hipotensi dan kulit mengkilap. Universitas Sumatera Utara 2. Zona Fasikulata (lapisan tengah) menghasilkan glukokortikoid Mempengaruhi metabolisme sel-sel tubuh terkait stres. Hormon kortisol yang dihasilkan dari trigger ACTH dari hipofisis anterior berperan dalam proses glukoneogenesis (menyimpan cadangan gula pada otak, katabolisme protein, berperan dalam perbaikan jaringan, dan sistesis enzim). Hormon kortisol juga membantu kerja vasokonstriktor adrenalin untuk meningkatkan tekanan darah terkait distribusi nutrisi. Kadar kortisol yang berlebihan mengganggu metabolisme tubuh, diantaranya menurunkan formasi tulang, menekan menghambat sistem imun, inflamasi, serta berpengaruh pada fungsi gastrointestinal dan jantung. Gangguan hipersekresi dari glukokortikoid disebut Cushing’s Syndrome bermanifestasi pada hiperglikemia, penurunan densitas tulang, retensi cairan dan garam menimbulkan hipertensi dan edema, penyembuhan luka yang buruk, dan mencetus terjadinya infeksi. 3. Zona Retikularis (lapisan dalam) menghasilkan gonadokortikoid Paling banyak menghasilkan dehydroepiandrosterone (DHEA) dan androgen yang berperan dalam fisiologi reproduktif pria dan perempuan. DHEA dikonversi menjadi testosteron (terutama pada perempuan) dan dikonversi lagi menjadi estrogen (estradiol). Berperan menghasilkan adrenal sex hormone, di mana adrenal androgen kadarnya meningkat pada usia 7-13 tahun sehingga menstimulasi onset pubertas, menstimulasi pertumbuhan bulu pubis dan aksila, juga menstimulasi libido. Hormon steroid berasal dari kolesterol dan dibangun oleh kerja enzim yang khas. Seluruh jaringan penghasil steroid dapat menghasilkan androgen dan estrogen, tetapi hanya korteks adrenal yang memiliki enzim yang diperlukan bagi pembentukan kortisol. Kortisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal yang disintesis pada zona fasikulata dapat mempengaruhi metabolisme Universitas Sumatera Utara protein, karbohidrat, dan lipid serta berbagai fungsi fisiologis lainnya (Raison & Miller, 2003). Pada tahap keseimbangan selanjutnya metabolisme akan berpengaruh terhadap tubuh seluruhnya, sehingga pemahaman terhadap anatomi, fisiologi dan metabolisme dari glukokortikoid khususnya kortisol sangat diperlukan (Barrett et al, 2010). Banyak senyawa telah dihasilkan oleh korteks adrenal (lebih kurang 40 macam). Namun, hanya sebagian yang dijumpai di dalam darah vena adrenal. Kerja fisiologis utama dari hormonhormon adrenal khususnya glukokortikoid adalah sebagai berikut (Raison & Miller, 2003) : a. Mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yaitu memacu glikogenolisis, ketogenesis, katabolisme protein, dan fungsi hormonal lain. b. Memiliki kerja anti insulin, di mana glukokortikoid menaikkan glukosa, asam-asam lemak dan asam-asam amino dalam sirkulasi. Dalam jaringan perifer seperti otot, adiposa dan jaringan limfoid, steroid adalah katabolik dan cenderung menghemat glukosa, pengambilan glukosa, dan glikolisis ditekan. c. Terhadap pembuluh darah meningkatkan respon terhadap katekolamin. d. Terhadap jantung memacu kekuatan kontraksi (inotropik positif). e. Terhadap saluran cerna meningkatkan sekresi asam lambung dan absorbsi lemak, menyebabkan erosi selaput lendir. f. Terhadap tulang dan metabolisme menyebabkan terjadinya osteoporosis, oleh karena menghambat aktifitas osteoblast dan absorbsi kalsium di usus. Universitas Sumatera Utara g. Meningkatkan aliran darah ginjal dan memacu eksresi air oleh ginjal. h. Pada dosis farmakologis menurunkan intensitas reaksi peradangan, dimana pada konsentrasi tinggi glukokortikoid menurunkan reaksi pertahanan seluler dan khususnya memperlambat migrasi leukosit ke dalam daerah trauma. K. Metabolisme Kortisol Sintesis steroid adrenal bermula dari kolesterol dan melalui beragam langkah-langkah enzimatik dalam proses pembentukan glukokortikoid. Jalannya reaksi diawali dari sintesis kolesterol dari bahan dasar protein (30-d protein), yaitu: steroidogenic acute regulatory protein (StAR), yang akan mengalami pembelahan dan proses oksidasi dari serangkaian rantai samping, yang selanjutnya diubah menjadi A5-pregnenolon (Stewart, 2008). Korteks adrenal mengandung relatif banyak kolesterol, sebagian besar merupakan gugus ester-kolesterol yang berasal dari sintesis de nuvo enzim dan sumber-sumber ekstra adrenal. Perubahan ester-kolesterol menjadi kolesterol merupakan langkah yang diperlukan dalam sintesis steroid dan diatur oleh adenocorticotropic hormone (ACTH). Dalam hal ini, ACTH melalui cAMP mengaktifkan protein kinase, suatu enzim yang selanjutnya mengaktifkan protein-protein melalui proses fosforilasi (penambahan fosfat) untuk mengkatalisis hidrolisis ester-kolesterol. Protein kinase ini awalnya juga meningkatkan gugus 20-hidroksilasi kolesterol. Hasil akhir dari reaksi ini adalah C-27 steroid 20α, 22βdihidroksikolesterol dan 17α, 20α-dihidroksikolesterol. Senyawa ini diubah langsung menjadi pregnenolon atau 17α-pregnenolon dengan kehilangan bagian isokaproat-aldehid yang terdapat pada rantai samping (Barrett et al, 2010). Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang beredar di dalam darah. Pada manusia, kortisol adalah regulator yang paling penting. Universitas Sumatera Utara Kortisol bebas di dalam darah memiliki umpan balik negatif terhadap pelepasan hormon pelepas kortikotropin (corticotropin releasing hormone/CRH) dari hipothalamus. CRH turun melalui vena-vena sistem portal hipotalamus ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH. Respon CRH terhadap umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi hari ACTH dan kortisol dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih besar dan lebih kecil pada malam hari. Namun dalam keadan stres baik fisik maupun psikologis seperti rasa nyeri, ketakutan, infeksi, beban fisik yang berat, trauma, hipoglikemia atau tumor otak dan obatobatan kortikosteroid, irama sirkadian dari ACTH dan kortisol ini dapat berubah (Stewart , 2008; Barrett et al, 2010). Kortisol dimetabolisme di dalam hati, yang merupakan organ utama tempat terjadinya katabolisme glukokortikoid, sebagian besar kortisol direduksi menjadi dihidrokortisol yang selanjutnya menjadi tetrahidrokortisol yang dikonyugasikan dengan asam glukoronat sehingga mudah larut. Glukoronida ini tidak terikat oleh protein, sehingga senyawa tersebut mudah dieksresikan oleh ginjal bersama urin (Lihat: Gambar 7). (Stewart, 2008; Barrett et al, 2010). Kira-kira 5% - 10% kortisol dipecah menjadi 11-hidroksi-17ketosteroid dan selanjutnya menjadi 11-β-hidroksiandrosteron. Eksresi kortisol bebas hanya sebesar 1% - 3% jumlahnya di dalam darah dan hanya 10% jumlah yang difiltrasi lalu dikeluarkan bersama urin, karena telah terlebih dahulu direabsorbsi di tubulus ginjal. Pada orang dewasa normal dalam urin 24 jam ditemukan kortisol tidak lebih dari 80 µg, kortison 50 µg, tetrahidrokortisol 3 mg, tetrahidrokortison 5 mg, dan 11-hidroksi-17ketosteroid 1 mg. Kecepatan clearance metabolik kortisol adalah 65 ± 12 ml/menit/m2, kecepatan pembersihan metabolik yang rendah menyebabkan waktu paruh memanjang. Ini perlu diperhatikan pada pengobatan dengan kortikosteroid, karena efek sampingnya menjadi lebih besar (Roy-Byrne et al, 1996). Universitas Sumatera Utara Gambar 8. Biosintesis ntesis Adrenokortikosteroid dan Androgen en Ad Adrenal (Stewart, art, 2008) 20 L. Stres, Kortisol, ol, dan da Sindroma Premenstruasi Stresorpsikososial osial meliputi faktor psikologis dan faktor biolo biologisyang dapat mempengaruhi ruhi tingkat stres seorang perempuan. Banyak yak p penelitian dewasa ini dilakukan ukan untuk mengetahui hubungan faktor tor ps psikologis terhadap reaktifitas dari dar sistem neuroendokrin terhadap perubaha ubahan kadar kortisol. Salah satunya tunya adalah penelitian yang dilakukan Taylor lor et al, yang membuktikan dua hipotesis, bahwa: 1. Stresor psikososia ososial terkait dengan penurunan sensitifitas tterhadap pengendalian n psikologis. psik 2. Faktor psikososia sosial tersebut meliputi aspek pola hidup p dan beban kerja. Hasil penel penelitian menunjukkan bahwa faktor psikosos kososial lebih besar secara signifikan sig menyebabkan perubahan kadar adar kortisol (Taylor et al, 2003). 2003 Universitas Sumatera Utara Keadaan stres fisik seperti: cedera, infeksi, trauma, temperatur ekstrim, serta keadaan stres emosional seperti: cemas dan depresi menimbulkan reaksi tubuh dalam suatu jalur stres respon berupa general adaptation syndrome/GAS (Anderson & David, 2008) dan menimbulkan stimulus pada sistem limbik yang melibatkan hipokampus dan amigdala. Adaptasi terhadap stres ini dimediasi oleh saraf otonom dalam sistem neuroendokrin sampai ke kelenjar adrenal, yang pada akhirnya terjadi sekresi kortisol (Lihat: Gambar 8). (Taylor et al, 2003). Melalui suatu mediator yaitu neurotransmitter: Gamma Amino Butyric Acid (GABA), serotonin (5-HT), katekolamin, dopamin, terjadi perubahan homeostasis yang melibatkan intercellular signaling, dan merangsang neuron-neuron pada hipotalamus. Perangsangan diteruskan melalui median eminence (ME) sampai mencapai sel neuroendokrin tertentu di dalam hipotalamus yang mengakibatkan terjadinya sekresi CRH (corticotropin releasing hormone) dan AVP (arginine vasopressin) oleh Paraventricular Nucleus (PVN) di hipotalamus. Dengan cara ini, rangsangan diteruskan ke hipofisis anterior yang menyebabkan sekresi ACTH (adrenocorticotrophin hormone) ke sirkulasi sistemik. ACTH kemudian mencapai korteks adrenal dan terjadi sekresi hormon kortikoid, khususnya glukokortikoid yaitu: kortisol atau kortikosteron. Hormon–hormon ini memicu proses glukoneogenesis, yang memecah molekul karbohidrat, protein, lemak, menjadi glukosa yang dapat dipergunakan sebagai sumber energi. Rangkaian ini juga dikontrol oleh mekanisme feedback. Apabila terdapat kelebihan sekresi kortisol maka akan terjadi menghambat feedback sekresi ke aksis ACTH hipotalamus-hipofisis (Stewart, 2008). yang Bersamaan akan dengan terjadinya proses glukoneogenesis, hormon-hormon kortikoid ini akan memacu noradrenalin untuk mengeluarkan hormon katekolamin (adrenalin) dari medulla adrenal. Adrenalin ini akan memacu terjadinya keadaan “fight or flight”, yang merangsang susunan saraf simpatis untuk Universitas Sumatera Utara mempercepat denyut nyut nadi dan meningkatkan tekanan darah rah ((Stewart, 2008). Gambar 9. The he Hormonal Cascade Caused by Stress ss (Tallbott & Kraemer, 2007). Pada satu deka dekade terakhir, telah diteliti bahwa a ssindroma premenstruasi berkaita rkaitan erat dengan tingkat stres seorang g pere perempuan. Telah dipostulasikan, kan, bahwa b stres menimbulkan keadaan adrena renal stress dan menginduksi si sekresi se hormon kortisol yang pada da a akhirnya menghasilkan suatu atu kaskade k perubahan fisiologis akibat aktiv aktivasi dari pusat neuroendokrin rin pada pa hipotalamus (Anderson & David, 2008). 008). Pada perempuan, uan, hormon h kortisol sebagian besar diikatt oleh globulin pengikat kortisol (cortis ortisol binding globulin/CBG). Pada Saliva, a, CB CBG tidak Universitas Sumatera Utara dapat melewati duktus acinar kelenjar saliva, sehingga kortisol yang terdapat pada saliva merupakan bentuk kortisol bebas. Pada tingkat seluler, glucocorticoid berikatan dengan reseptornya ditentukan oleh : a. Cortisol binding globulin (CBG) di dalam darah dan cairan interstitial. b. Enzim 11-β-hydroxysteroid dehydrogenase (11β-HSD), yang memetabolisme kortisol memasuki sel. c. Multi Drug Resistance (MDR) pump, yang mengeluarkan kortisol keluar dari sel. Kecepatan dan konsentrasi sekresi kortisol merupakan bagian dari aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA-axis), yang berperan penting dalam merespon berbagai bentuk stres baik fisik maupun psikologis. Komponen lain yang merupakan bagian dari aksis ini adalah corticotrophin releasing hormone (CRH) yang mengatur pengeluaran ACTH dari hipofisis anterior dan sebagai umpan balik dari sintesis dan pengeluaran kortisol (Anderson, 2008). Pada keadaan normal, dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) yang dihasilkan zona retikularis kelenjar adrenal, disekresi secara sinkron dengan kortisol dari zona fasikulata kelenjar adrenal akibat stimulasi ACTH, di mana kadarnya hampir sama pada siklus diurnal. Pada keadaaan stres, terjadi peningkatan progresif dari CRH dan ACTH untuk merangsang sekresi kortisol yang berlebihan, sehingga DHEA-S berkompetisi dengan kadar kortisol yang tinggi untuk molekul prekursor mereka; pregnenolon dan 17-OH-progesteron. Akibatnya, kadar DHEA menurun, demikian pula kadar testosteron, estradiol dan aldosteron (Lihat : Gambar 9) (Anderson & David, 2008). Universitas Sumatera Utara Gambar 10. Stre tress induced adrenal dysfunction (Anderson (Ande & David, David 2008) M. Adrenal Stress Qu Questionnaire Untuk Menilai Keterlibatan atan Kelenjar K Adrenal Akibat at Pengaruh Pe Stress Suatu penelitian yang dilakukan Hompes, seorang ahli hli gi ginekologi Inggris pada tahun n 2009, 20 menjelaskan pengaruh stres fisik, ik, em emosi dan lingkungan yang dialami diala oleh seseorang terhadap perubahan ahan kelenjar adrenal dalam mense ensekresi hormon kortisol (adrenal stress). Hompes menyusun suatu alat ukur berupa Adrenal Stress Questionna naire yang telah diuji validitass dan reliabilitasnya untuk menilai keterlibatan atan kelenjar adrenal akibat pengaru ngaruh stres untuk mensekresi hormon kortisol ortisol. Tubuh secara fisiologis akan memberikan respon terhadap stres res fi fisik dan psikologi dengan kaskade kas perubahan hormonal yang terjad terjadi akibat keterpaparan stres. s. Respon Re tubuh terhadap stres melibatkan n me mekanisme biofeedback hormonal onal (Tallbott & Kraemer, 2007). Beberapa ahlili fisio fisiologi menyatakan bahwa tingkat variabili riabilitas dari kadar kortisol merupak rupakan respon terhadap keadaan stres. Kadar kortisol tinggi atau rendah h ditemukan dit fluktuatif secara normal sesuai esuai dengan perubahan keadaan an stres st atau keadaan relaksasi. Penelitian an ilm ilmiah dan bukti klinis menjelaska laskan bahwa terjadi peningkatan kadar kortiso kortisol akibat Universitas Sumatera Utara trigger keadaan stres tres kronis. kr Di antara pengaruh yang terjadii (Liha (Lihat: Tabel 6) sebagai berikut : (Tallbott Ta & Kraemer, 2007 Tabel 6. Elevated cortisol co levels resulting from chronic stre tress have been assoc sociated with the following condition (Ta Tallbott & Kraemer, er, 200 2007) 2. Kortisol Saliva aliva Kortisol adalah hormon horm steroid yang merupakan glukokortikoi ortikoid utama yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Kortisol secara fisiologis iologis efektif dalam pemeliharaan tekanan darah dan bersifat antiinflamasi. Se te Selain itu, terlibat dalam penyerap nyerapan kalsium, glukoneogenesis serta sekre sekresi asam lambung dan pepsin. Kadarnya meningkat akibat situasi stres, latihan fisik lati dan pemberian ACTH CTH eksternal. Pengukuran kadar kortisol secara secar umum dapat digunakan sebagai indikator fungsi adrenal dan diagnosis seb diferensial terhadap ap Addison Disease dan Cushing Syndrom ome, serta hiperplasia adrenal dan karsinoma adrenal. Kortisol terikat pada globulin, Universitas Sumatera Utara transkortin dan albumin. Kortisol bebas yang dianggap sebagai zat aktif di dalam darah adalah sekitar 1% - 2%. Pada saliva tidak terdapat protein pengikat kortisol, sehingga kortisol saliva dianggap bebas dan hampir sama kadarnya dengan kadar kortisol bebas di dalam darah (Anderson & David, 2008). Kadar kortisol saliva menunjukkan irama diurnal dengan tingkat tertinggi dipagi haridan tingkat terendah di malam hari (Kalman & Grahn, 2004; Anderson & David , 2008). N. Kadar Kortisol Saliva dan Hubungannya dengan Sindroma Premenstruasi Pengukuran tingkat stres dapat dievaluasi dari kadar kortisol saliva. Pemeriksaan ini selain mudah juga bersifat non invasif (Hellhammer, Wüst, Kudielka, 2009). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kadar kortisol saliva dapat dianggap mewakili kadar kortisol di dalam darah. Sejumlah penelitian telah menyatakan hubungan antara dua spesimen (kortisol saliva dan kortisol serum) menunjukkan nilai koefisien korelasi yang sangat baik (r>0,91; p<0.0001), yang berarti kadar kortisol saliva mewakili kadar kortisol bebas di dalam darah (Lihat: Tabel 7) (Kirschbaum, 2008). Universitas Sumatera Utara Tabel 7. Salivary ary Cortisol Expected Ranges Dalam satu dek dekade terakhir, telah diteliti bahwa a ssindroma premenstruasi berkaita rkaitan erat dengan tingkat stres seorang g pere perempuan. Telah dipostulasikan, an, bahwa b stres menginduksi adrenal stress da dan terjadi peningkatan sekresi esi ho hormon kortisol yang pada akhirnya meng menghasilkan suatu kaskade perubah rubahan fisiologis, dimana aktivasi ini dimulai ulai da dari pusat (Anderson & David , 2008). neuroendokrin di hipotalamus hipota Peran psikoneuro neuroendokrin terlibat dalam kejadian n ssindroma premenstruasi, dalam alam hal ini hormon kortisol dianggap sebagai bagai master stress hormone yang berhubungan dengan kejadian stres res fi fisik dan psikologis. Sehingga gga kortisol digunakan sebagai biomarke rker untuk mempelajari stres (Raison Rais & Miller, 2003). Universitas Sumatera Utara Neuron yang menghasilkan corticotrophin releasing hormone (CRH) dan Arginiine Vasopressin (AVP) di hipotalamus diaktifkan oleh peristiwa psikologis dengan tingkat aktivasi yang bervariasi. Hubungan CRH dan AVP terhadap ACTH dan kortisol, serta aktivasi neurotransmiter dan saraf otonom sangat kompleks. Terdapat pengaruh stres psikologis terhadap perubahan kadar kortisol saliva pada perempuan yang mengalami sindroma premenstruasi (Tallbott & Kraemer, 2007; Anderson & David, 2008). O. Remaja/Adolescence dan Sindroma Premenstruasi 1. Batasan Usia Remaja Mengenai batasan usia remaja itu sendiri, para ahli memasukkannya dalam beberapa periode. Menurut Hurlock (2004), masa remaja dibagi kedalam dua periode : a. Remaja awal (early adolescence), antara usia 13 – 17 tahun untuk perempuan dan usia 14 – 17 untuk laki-laki. b. Remaja akhir (late adolescence), antara 17 – 21 tahun. Menurut Mappiare (1992) batasan usia remaja di Indonesia: a. Remaja awal, antara 12/13 – 17/18 tahun, b. Remaja akhir, antara 17/18 – 21/22 tahun. Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, dikutip dari Whalley & Wong’s (1999), tahap perkembangan manusia menurut umur dibagi dalam delapan tahapan. Tiga diantaranya yang berkaitan dengan sindroma premenstruasi, yaitu : a. Remaja / Adolescence (13-20 tahun)\ b. Dewasa Awal / Early adult hood (21-35 tahun) c. Dewasa pertengahan / Young and middle adulthood (36-45 tahun) 2. Karakteristik Remaja Ciri khas remaja/adolescence, sering disebut “storm and stress”, remaja sangat peka dan sering berubah sikap (Mappiare, Universitas Sumatera Utara 1992; Hurlock, 2004). Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, karena pada periode ini terjadi perubahan fisik dan perkembangan psikologis yang pesat, sehingga masa ini sering disertai dengan gejala dan permasalahan baik fisiologis tubuh maupun psikologis (Chau & Chang ,1999; Pudigjogyanti, 1995). Karakteristik perempuan yang berhubungan dengan sindroma premenstruasi salah satunya adalah pada rentang usia ini (remaja), nyeri haid paling sering terjadi tanpa adanya kelainan ginekologis yang nyata (dismenore primer). Sindroma premenstruasi dapat dihubungkan dengan beban fisik dan psikologis terhadap siklus menstruasi. Gejala-gejala ini dapat terjadi kapan saja setelah menarche dan berlanjut hingga berhenti pada saat menopause. Sebagian besar pasien yang mencari pengobatan untuk sindroma premenstruasi berusia antara pertengahan 20-an (Chau & Chang, 1999), meskipun banyak perempuan melaporkan mengalami gejala-gejala sindroma premenstruasi lebih awal (Freeman, 2005). Faktor risiko yang paling berhubungan dengan sindroma premenstruasi adalah faktor umur. Penelitian menemukan bahwa sebagian besar perempuan yang mencari pengobatan sindroma premenstruasi adalah mereka yang berusia kurang dari 30 tahun (Chau & Chang, 1999). Walaupun ada fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gelaja yang sama dengan tingkat keparahan sindroma premenstruasi yang dialami oleh perempuan yang lebih tua (Freeman , Schweizer , Rickels, 2003). Dalam suatu penelitian pada tahun 2004 yang melibatkan 874 perempuan di Virginia Amerika, menggambarkan bahwa perempuan yang berusia antara 35-44 tahun lebih jarang menderita sindroma premenstruasi jika dibandingkan dengan perempuan yang lebih muda (Hurlock , 2004). Universitas Sumatera Utara P. Stresor Psikosial Berdasarkan Hawari, stresor psikososial adalah keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan pada kehidupan seseorang, sehingga orang terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Contoh stresor psikososial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari antara lain (Hawari, 2006) : 1. Hubungan interpersonal/antar pribadi Hubungan antara sesama (perorangan/individu) yang tidak baik dapat merupakan sumber stres, misalnya hubungan yang tidak serasi atau terjadi perselisihan dengan saudara, tidak baik dengan teman dekat dan sebagainya. 2. Lingkungan hidup Kondisi lingkungan hidup atau tempat tinggal yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang, misalnya masalah perumahan, populasi, penghijauan, dan lain-lain yang merupakan sarana dan prasarana pemukiman hendaknya memenuhi syarat kesehatan lingkungan. 3. Keuangan Masalah keuangan dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu sumber stress. 4. Perkembangan Adalah tahapan perkembangan fisik maupun mental seseorang (siklus kehidupan), masa kanak-kanak, remaja, dewasa, menopause, dan usia lanjut yang secara alamiah akan dialami oleh seseorang dan apabila tahapan perkembangan tersebut tidak dilalui dengan baik, yang bersangkutan rentan terhadap stres. 5. Faktor keluarga Anak dan remaja yang mengalami stres salah satunya dapat disebabkan oleh kondisi keluarga yang tidak harmonis. 6. Trauma Universitas Sumatera Utara Seseorang yang mengalami bersangkutan akan dapat pengalaman traumatis, yang mengalami stres. Q. Penatalaksanaan Stres Untuk mengatasi konflik-konflik atau gangguan-gangguan stres antara lain (Chau &Chang, 1999; Nevid 2005; Campagne & Campagne ,2007) : 1. Pendekatan psikodinamika yang modern yaitu lebih berfokus pada gangguan-gangguan relasi yang ada dalam kehidupan klien saat ini dan mendorong klien untuk lebih mengembangkan pola tingkah laku yang lebih adaptif. 2. Terapi humanistika yaitu berfokus pada membantu klien mengidentifikasi dan menerima dirinya yang sejati dan bukan dengan bereaksi pada kecemasan setiap kali perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhannya yang sejati mulai muncul ke permukaan. 3. Terapi obat atau farmakoterapi yaitu berfokus pada penggunaan benzodiazepin dan obat-obat antidepresan. 4. Pendekatan-pendekatan dengan dasar belajar dalam menangani kecemasan melibatkan berbagai teknik behavioral dan terapi kognitif-behavioral, termasuk teori pemaparan dan pencegahan respon, serta pelatihan keterampilan relaksasi. 5. Psikoterapi, lamanya terapi minimal dilakukan adalah selama 12 minggu, biasanya dipilih group terapi dengan kondisi anggota group adalah sama dengan pasien dianggap lebih efektif dalam penyembuhan. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi ketika menghadapi kecemasan, dalam terapi ini terapis berusaha membantu pasien menemukan ketenangan dengan menciptakan rileks dalam diri individu, bersamaan dengan itu pasien juga diberikan sugesti bahwa kecemasan-kecemasan yang muncul itu tidak realistis. Universitas Sumatera Utara 6. Pendekatan agama Pendekatan agama akan memberikan rasa tenang terhadap pikiran dan memberikan harapan-harapan positif. 7. Pendekatan keluarga dukungan (suportif) keluarga efektif mengurangi kecemasan. 8. Olahraga Olahraga tidak hanya baik untuk kesehatan. Olahraga akan menyalurkan tumpukan stres secara positif. R. Hubungan Stres Psikososial Dengan Sindroma Premenstruasi Telah disebutkan sebelumnya, bahwa stresor psikososial dapat mempengaruhi proses menstruasi, salah satunya diduga mempengaruhi terjadinya sindroma premenstruasi. Teori psikoneuroendokrin menyatakan bahwa pusat stres dikontrol di dalam otak dan memberikan respon terhadap sekresi hormonal sistemik. Dimana, pusat pengaturan hormonal terdapat di dalam otak yaitu pada hipotalamus dan hipofisis. Adanya rangsangan stresor psikososial mengakibatkan jaringan neuron di sistem limbik yaitu pada hipokampus ikut serta dalam memberikan sinyal interseluler Aminobutyric yang dimediasi Acid oleh (GABA), neurotransmiter Serotonin seperti (5HT), Gamma katekolamin (noradrenalin/adrenalin), dopamin dan neuropeptida lainnya (Lathe, 2001). Sistem saraf pusat secara konstan mengirim sinyal agar sistem biologis tubuh memberikan respon. Hal ini menimbulkan pikiran-pikiran kecemasan, obsesional dan tingkah laku kompulsif representatif, yang kemudian melibatkan organ-organ dari sistem neuroendokrin yang memegang peranan dalam respon emosional (Lathe, 2001; Nevid, 2005; Campagne & Campange, 2007; Anderson & David, 2008). Berhubungan dengan hal di atas, mempengaruhi sistem neuroendokrin yang bahwa faktor psikologis meneruskan sinyalnya ke sistem saraf pusat pada sistem limbik yang terdiri dari hipokampus, amigdala dan korteks limbik yang berfungsi mengatur emosi dan tingkah Universitas Sumatera Utara laku, selanjutnya melalui saraf otonom (saraf simpatis danparasimpatis). Transmisi impuls saraf akan diteruskan ke nukleusparaventrikel (PVN) dihipotalamus, untuk menyekresikan Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) dan Arginine Vasopressin (AVP), lalu ke hipofisis anterior melalui sistem portal yang terdapat di mediance eminence yang akan mempengaruhi sekresi Adenocorticotrophin Hormone (ACTH) dan sekresi kortisol dari kelenjar adrenal (Lathe, 2001; Matsumoto et al, 2007; Anderson & David, 2008). Produksi hormon-hormon ini dibawah pengaruh aksis hipotalamushipofisis-adrenal dan juga aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium. Dimana, sekresi ACTH, serta FSH dan LH sangat dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik kortisol, estrogen, progesteron terhadap hipotalamus, sistem limbik termasuk hipokampus yang banyak memiliki reseptor glukokortikoid, mineralokortikoid, gonadokortikoid. Juga terjadi mekanisme umpan balik terhadap neurotransmiter di susunan saraf pusat yang berperan termasuk GABA, serotonin (5HT), adrenalin, noradrenalin dan dopamin yang akan menimbulkan gejala-gejala sindroma premenstruasi yang meliputi tipe A/anxiety, H/hyperhydration, C/craving, dan D/depression (Abraham & Head ,1997; Lathe , 2001; Stewart, 2008; Barrett et al, 2010). Hormon kortisol adalah regulator yang penting. Respon CRH terhadap umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi hari ACTH dan kortisol dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih besar, sedangkan pada malam hari kadarnya lebih kecil. Namun pada keadan stres baik fisik maupun psikologis seperti cemas, depresi, rasa nyeri, infeksi, beban fisik yang berat, trauma, hipoglikemia, tumor otak dan obatobatan kortikosteroid, irama sirkadian dari ACTH dan kortisol ini dapat berubah dan kadarnya akan meningkat, sehingga menimbulkan mekanisme kompetisi dengan DHEA-S, terhadap molekul precursor mereka yaitu pregnenolon, akhirnya menurunkan produksi DHEA, testosterone, estradiol dan aldosterone (Anderson & David , 2008; Stewart, 2008; Barrett et al, 2010). Universitas Sumatera Utara