Chapter II - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Sebanyak + 80% perempuan pada usia reproduktif mengeluhkan nyeri
somatis dan gangguan emosi/afektif yang timbul sebelum menstruasi.
Namun karakteristik asal dan tingkat keluhan yang berbeda membuat
penderita
tidak
memperhatikan
setiap
siklus
menstruasinya
dan
menghasilkan dasar yang tidak adekuat untuk mendiagnosis sindroma
prementruasi,
sehingga
diperlukan
suatu
kriteria
diagnosis
yang
disepakati (ISPMD in Montreal Consensus 2010).
B. Definisi Sindroma Premenstruasi
Definisi paling sederhana dari sindroma premenstruasi (Premenstrual
Syndrome/PMS) adalah gejala siklik dari satu atau lebih dari banyak
gejala
(lebih
dari
100)
sebelum
terjadinya
menstruasi,
yang
mempengaruhi pola hidup atau aktivitas, diikuti dengan periode bebas
dari gejala (Speroff & Fritz, 2010).
Gejala yang paling sering dijumpai adalah sebagai berikut perut
kembung/penuh, kecemasan atau ketegangan, nyeri payudara, mudah
sedih, depresi, kelelahan, kekurangan energi, mudah marah, sulit
berkonsentrasi, haus, perubahan nafsu makan, dan terjadi edema
ekstremitas. Biasanya gejala-gejala ini terjadi pada hari ke-7 sampai 10
sebelum terjadi periode menstruasi. Gejala pasti dari individu kadang tidak
relevan, diagnosis yang dibuat bersifat gejala subyektif
yang terjadi
secara siklik. Bagaimanapun, gejala tidak dapat dianggap sebagai suatu
hal yang obyektif, dikarenakan banyak gejala dari sindroma premenstruasi
yang telah dipaparkan dari waktu ke waktu oleh klinisi sebagai suatu
perubahan perasaan yang terjadi "di luar kendali" (Speroff & Fritz, 2010).
Universitas Sumatera Utara
C. Etiologi Sindroma Premenstruasi
Sampai saat ini para ahli masih sulit menentukan etiologi pasti dari
terjadinya
sindroma
premenstruasi.
Beberapa
teori
yang
diduga
menyebabkan terjadinya sindroma premenstruasi adalah sebagai berikut:
(Speroff & Fritz, 2010)
-
Perubahan kadar progesteron
-
Perubahan kadar estrogen
-
Perubahan dari rasio estrogen – progesteron
-
Peningkatan aktivitas adrenal
-
Peningkatan aktivitas aldosteron
-
Peningkatan aktivitas renin-angiotensin
-
Endorphin endogen withdrawl
-
Hipoglikemia subklinis
-
Perubahan katekolamin
-
Respon terhadap prostaglandin
-
Defisiensi vitamin
-
Eksresi prolaktin yang berlebihan
D. Epidemiologi Sindroma Premenstruasi
Insidensi atau angka kejadian dari sindroma premenstruasi sekitar
80%. Studi epidemiologi menunjukkan kurang lebih 20% dari perempuan
usia reproduksi mengalami gejala sindroma premenstruasi sedang sampai
berat. Sekitar 3% - 8% memiliki gejala hingga parah yang disebut
premenstrual dysphoric disorders/PMDD (Freeman, 2003; Knaapen &
Weisz, 2008).
Bentuk
sindroma
premenstruasi
yang
berat
dari
sindroma
premenstruasi ditemukan sebanyak 2,5% - 3% pada perempuan pada
usia reproduktif, sementara sekitar 40% perempuan akan mengalami
keluhan sindroma premenstruasi dengan tingkat yang tidak terlalu parah
(Depkes RI, 2007a).
Universitas Sumatera Utara
E. Diagnosis Sindroma Premenstruasi
Terdapat
banyak
gejala
yang
dihubungkan
dengan
sindroma
premenstruasi namun gejala yang paling sering adalah iritabilitas (mudah
tersinggung) dan disforia (perasaan sedih). Gejala mulai dirasakan 7-10
hari menjelang menstruasi berupa gejala fisik maupun psikis yang
mengganggu aktifitas sehari-hari dan menghilang setelah menstruasi
(Milewicz, Andrzej, 2006).
Menurut American Psychiatry Association – DSM IV dan The National
Institute of Mental Health Criteria menyebutkan bahwa gejala-gejala
sindroma premenstruasi meliputi gejala afektif dan somatis yang di
jelaskan pada tabel berikut (Lihat Tabel 1) : (ACOG 2006; Knaapen &
Weisz, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Diagnostic Criteria for Premenstrual Syndrome/PMS (ACOG,
2006)
American College of Obstetricians and Gynecologist Diagnostic
Criteria for Premenstrual Syndrome (PMS)
Patient reports one or more of the following affective and somatic
symptoms during 5 days before menses in each of 3 prior menstrual
cycles
Affective
-
Depression
-
Angry outbursts
-
Anxiety
-
Irritability
-
Confusion
-
Social withdrawal
Somatic
-
Breast tenderness
-
Abdominal bloating
-
Headache
-
Swelling of extremities
Symptoms relieved within 4 days of menses onset without recurrence
until at least cycle day 13.
Symptoms present in absence of any pharmacologic therapy,
hormone ingestion or drug or alcohol abuse.
Symptoms occur reproducibly during 2 cycles of prospective
recording.
Patient suffers from identifiable dysfunction in social or economic
performance.
Seseorang dapat dikatakan mengalami sindroma premenstruasi
apabila mengalami 1 dari 6 gejala gangguan afektif dan 1 dari 4 gangguan
somatik (ACOG, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Selain itu terdapat 3 (tiga) elemen penting yang menjadi dasar
diagnosis
apakah
seorang
perempuan
mengalami
sindroma
premenstruasi yaitu jika ditemukan:
1. Gejala yang sesuai dengan gejala sindroma premenstruasi.
2. Dialami setiap siklus menstruasi (konsisten).
3. Menimbulkan gangguan dalam aktifitas sehari- hari.
Apabila seorang perempuan mengalami 5 atau lebih dari gejala
sindroma premenstruasi dan sangat menggangu aktivitas sehari-hari,
maka dapat dikategorikan dalam premenstrual dysphoric disorders/PMDD
(Lihat Tabel 2). (DSM IV, 2000)
Tabel 2. DSM-IV Diagnostic Criteria for PMDD(2000)
DSM-IV diagnostic criteria for PMDD
One year duration of symptoms which are present for the
majority of cycles (occur luteal, remit follicular)
Five of the following symptoms (with at least one of these
marked with *) must occur during the week before menses
and remit within days of menses:
Irritability*
Affective lability* (sudden mood swings)
Depressed mood or hopelessness*
Tension or anxiety*
Decreased interest in activities
Difficulty concentrating
Change in sleep
Feeling out of control
Lack of energy
Change in appetite (food cravings)
Other physical symptoms (breast tenderness, bloating)
Seriously interferes with work, social activities, relationship
Not an exacerbation of another disorder
Confirmed by prospective daily ratings at least 2 consecutive
symptomatic cycles
Universitas Sumatera Utara
Untuk
mendiagnosis
sindroma
premenstruasi,
sangat
penting
menyingkirkan apakah ada penyakit lain yang mendasari timbulnya gejala
yang dirasakan. Sindroma premenstruasi dapat diduga pada perempuan
yang mengalami gangguan fisik atau pun psikologis beberapa hari
sebelum menstruasi berlangsung pada setiap siklus (Champagne &
Champagne, 2007; Knaapen & Weisz, 2008; Berga et al, 2009).
Sindroma premenstruasi harus dibedakan dengan perubahan yang
biasa dirasakan sebelum menstruasi (simple premenstrual syndrome)
yang tidak menimbulkan gangguan dalam melaksanakan aktifitas seharihari misalnya rasa tegang pada payudara. Keadaan ini adalah ciri khas
dari siklus ovulasi normal yang terjadi setiap bulan. Untuk mengetahui
apakah gejala yang dialami oleh seorang perempuan adalah gejala
sindroma premenstruasi maka perlu dilakukan secara retrospektif
terhadap keluhan yang dialami minimal 2 - 3 siklus haid
(Milewicz &
Andrzej, 2006).
Menurut Abraham dan Head, gejala-gejala klinis yang di jumpai pada
sindroma premenstruasidi bagi menurut gejala yaitu tipe A (anxiety), H
(hyperhydration), C (craving) dan tipe D (depression). Sekitar 80%
merupakan gangguan sindroma premenstruasi paling banyak adalah tipe
A, sedangkan tipe H sekitar 60%, sindroma premenstruasi tipe C
sebanyak 40%, dan sindroma premenstruasi tipe D sebanyak 20%.
Namun ada kalanya seorang perempuan mengalami gejala kombinasi
misalnya tipe A dan D secara bersamaan (Abraham & Head, 1997).
Setiap tipe sindroma premenstruasi memiliki gejala sendiri yaitu tipe A
(anxiety) ditandai dengan gejala seperti cemas, sensitif, saraf tegang,
perasaan labil. Bahkan beberapa perempuan mengalami depresi ringan
sampai sedang sebelum terjadi menstruasi. Gejala ini timbul diduga akibat
ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron. (Monteleone et al,
2000; Wyatt et al, 2001).
Sindroma premenstruasi tipe H (hyperhydration) memiliki gejala
edema
(pembengkakan,
perut
kembung,
nyeri
pada
payudara,
Universitas Sumatera Utara
pembengkakan tangan dan kaki, peningkatan berat badan) sebelum
terjadi menstruasi. Gejala dari tipe H ini dapat juga dirasakan bersamaan
dengan tipe sindroma premenstruasi tipe lain. Pembengkakan ini terjadi
akibat retensi cairan pada jaringan di luar sel/ekstrasel karena tingginya
asupan garam atau gula pada diet penderita (Abraham & Head, 1997).
Sindroma premenstruasi tipe C (craving) ditandai dengan rasa lapar
ingin mengkonsumsi makanan yang manis (biasanya coklat) dan
karbohidrat sederhana (biasanya gula). Pada umumnya sekitar 20 menit
setelah mengkonsumsi gula dalam jumlah banyak, timbul gejala
hipoglikemia seperti kelelahan, jantung berdebar, nyeri kepala, terkadang
sampai pingsan. Hipoglikemia timbul karena pengeluaran hormon insulin
dalam tubuh meningkat. Rasa ingin mengkonsumsi makanan manis
diduga karena dipengaruhi stres, diet tinggi garam, tidak terpenuhinya
asam lemak esensial (omega 6), atau kurangnya elektrolit seperti
magnesium (Abraham & Head, 1997).
Sindroma Premenstruasi tipe D (depression) ditandai dengan gejala
depresi, ingin menangis, lemah, gangguan tidur, pelupa, bingung, sulit
dalam mengucapkan kata-kata (verbalisasi), bahkan kadang-kadang
muncul rasa ingin bunuh diri atau mencoba bunuh diri (Burt et al, 2002).
Biasanya sindroma premenstruasi tipe D berlangsung bersamaan dengan
sindroma premenstruasi tipe A. Hanya sekitar 3% dari seluruh tipe
sindroma
premenstruasi
benar-benar
murni
tipe
D.
Sindroma
premenstruasi tipe D murni diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan
hormon progesteron dan estrogen, dimana hormon progesteron dalam
siklus haid terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon estrogen (Collins &
Eneroth, 2005). Kombinasi sindroma premenstruasi tipe A dan tipe D
dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu stres baik fisik maupun psikis
(Kurina, Schneider, Waite,2004). Serta akibat kekurangan asam amino
tyrosine, kekurangan magnesium serta vitamin B terutama B6 (Lihat Tabel
3). (Abraham & Head,1997).
Universitas Sumatera Utara
Tabel
3.
Tipe-tipe
Sindroma
Premenstruasi
(Premenstrual
Syndrome)(Abraham & Head, 1997)
PMS
Typical
Incidence
Subtype
Symtoms
in
Possible
PMS etiologies
Possible
therapies
Sufferers
PMT – A
Nervous
66 – 75 %
Stress
Vitamin B6
tension
Vitamin
B6 Magnesium
Mood swings
deficiency
Progesteron
Irritability
Magnesium
therapy
Anxiety
deficiency
Dopamine
agonists
Anxiolytics
Decreased
intake
of
vitamin D &
calcium
PMT-H
Stress
Aldosterone
Magnesium
antagonists
consecutive
deficiency
Magnesium
cycles
Vitamin
Weight
gain 65 – 72%
>3lb.during
Swelling
3
of
deficiency
extermities
Comsumption
Breast
refined sugar
tenderness
B6 Vitamin B6
Dopamine
of agonist
Diuretics
Decreased
intake
of
vitamin D &
calsium
Sodium intake
limited
to
3
g/day
Universitas Sumatera Utara
PMT-C
Headache
Caving
24 – 35 %
for
Stress
Vitamin B 6
Vitamin
B6 Magnesium
sweets
deficiency
Zinc
Increased
Magnesium
Vitamin C
appetite
deficiency
Incresed
Heart
Zinc deficiency
intake
pounding
VitaminC
linoleic acid
Fatigue
deficiency
Decreased
Dizziness
/
Cis-linoleic
fainting
of
acid intake
deficiency
vitamin
of
D&
calcium
Decreased
alcohol intake
Decreased
intake
of
refined sugar
PMT-D
Depression
23 – 37 %
Stress
Vitamin B6
Forgetfulness
Vitamin
B6 Magnesium
Crying
deficiency
Estrogen
Confusion
Magnesium
Decreased
Insomnia
deficiency
intake
of
vitamin D &
calcium
Beberapa
tipe
dari
sindroma
premenstruasi,
masing-masing
mempunyai gejala yang dianggap spesifik. Belum ada pengobatan yang
pasti menyembuhkan etiologi dari sindroma premenstruasi. Penanganan
yang baik harus mengetahui tipe dari sindroma premenstruasi. (Milewicz &
Andrzej, 2006; Otzurk, Tanriverdi, Erci, 2010).
Lebih
dari
100
gejala
telah
dihubungkan
dengan
sindroma
premenstruasi, namun urutan serta kombinasi dari gejala-gejala dapat
Universitas Sumatera Utara
berbeda-beda diantara para perempuan. Jenis dan parahnya gejala juga
dapat
berbeda-beda
setiap
bulan
dan
diduga
dipengaruhi
oleh
perubahan-perubahan gaya hidup atau tingkat stres (Levin, 2004). Gejalagejala seperti nyeri kepala, keletihan, sakit pinggang, pembesaran dan
nyeri payudara, perasaan penuh pada abdomen, iritabilitas, perubahan
suasana hati, ketakutan, kehilangan kontrol, keinginan makan sangat
berlebihan dan menangis tiba-tiba dapat terjadi. Gejala-gejala sangat
beragam antara satu perempuan dengan perempuan lainnya atau dari
satu siklus haid ke siklus haid berikutnya pada perempuan yang sama (De
Ronchia et al, 2005).
Menurut peneliti lain, gejala-gejala yang paling banyak ditemukan
pada sindroma premenstruasi adalah perasaan bengkak, kenaikan berat
badan, hilangnya efisiensi, sukar konsentrasi, kelelahan, perubahan
suasana hati, depresi, termasuk gangguan tidur/insomnia (Hacker et al,
2004).
Halbreich menyatakan peran psikoneuroendokrin melibatkan gejalagejala sindroma premenstruasi berdasarkan fungsi yang terganggu.
Gangguan psikologis berupa iritabilitas, ketidakseimbangan emosional,
cemas, depresi dan perasaan bermusuhan. Gangguan kognitif dapat
berupa ketidak-mampuan berkonsentrasi dan bingung. Gangguan somatik
berupa mastalgia, kembung, nyeri kepala, kelelahan dan insomnia.
Kebanyakan gejala yang terjadi merupakan gangguan multidimensional
(Halbreich, 2003).
Rayburn mengklasifikasikan gejala-gejala sindroma premenstruasi
berdasarkan gangguan pada fungsi fisik dan emosional. Klasifikasinya
tertera pada tabel berikut ini (Lihat Tabel 4):
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Gejala-Gejala Sindroma Premenstruasi (Rayburn & Carey,
2001)
Gejala fisik
Gejala emosional
a. Perut kembung
q. Depresi
b. Nyeri payudara
r. Cemas
c. Sakit kepala
s. Suka menangis
d. Kejang atau bengkak pada kaki
t. Sifat agresif atau pemberontakan
e. Nyeri panggul
u. Pelupa
f. Hilang koordinasi
v. Tidak bisa tidur
g. Nafsu makan bertambah
w. Merasa tegang
h. Hidung tersumbat
x. Irritabilitas
i. Perubahan defekasi
y. Rasa bermusuhan
j. Tumbuh jerawat
z. Suka marah
k. Sakit pinggul
aa. Paranoid
l. Suka makan manis atau asin
bb. Perubahan dorongan seksual
m. Palpitasi
cc. Konsentrasi berkurang
n. Peka suara atau cahaya
dd. Merasa tidak aman
o. Rasa gatal pada kulit
ee. Pikiran bunuh diri
p. Kepanasan
ff. Keinginan menyendiri
gg. Perasaan bersalah
hh. Kelemahan
F. Beberapa
Penelitian
tentang
Skala
Penilaian
Sindroma
Premenstruasi
Penilaian sindroma premenstruasi terus diteliti dan diukur dengan
bebeberapa skala/alat ukur yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya
serta dipublikasikan secara internasional, seperti yang tertera berikut ini
(Lihat Tabel 5) :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5. Peneliti
enelitian tentang Skala Penilaian Sindroma
Premen
remenstruasi (Öztürk et al , 2010)
*
*
Premenstruall Symptoms
Sy
Screening Tool (PSST)
PSST mencermi
cerminkan dan menerjemahkan kriteria DSM-IV dalam
menilai derajat
jat kkeparahan dari sindroma premenstruas
struasi. Hasil
penilaian sindroma
droma premenstruasi dengan PSST sejalan
jalan dengan
tingkat prevalensi
lensi yang dilaporkan dari beberapa penelitian
litian tentang
sindroma premenst
menstruasi. International Society Premenstrual
al D
Disorders
(ISPMD) yang
g mel
meliputi para ahli ginekologi (ACOG), psikiat
sikiatri (APA)
dan lembaga dunia
dun
WHO pada bulan Oktober 2010
0 me
menyusun
Konsensus Montre
ontreal yang salah satunya menyatakan bahw
bahwa PSST
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu alat ukur yang dinyatakan valid dan reliabel selama
kurun waktu dekade terakhir secara internasional dan meliputi kriteria
sindroma premenstruasi pada DSM IV dan International Classification
of Diseases (ICD-10). PSST dianggap sebagai reference standard.
Penilaian PSST berdasarkan gejala-gejala sindroma premenstruasi
yang dialami, yaitu: tidak ada gejala, ringan, dan sedang-berat dari 14
butir pertanyaan tentang gejala sindroma premenstruasi dan 5 butir
pertanyaan
tentang
aktivitas
sehari-hari.
Derajat
sindroma
premenstruasi adalah sindroma premenstruasi ringan, sedang sampai
berat
dan
premenstrual
dysphoric
disorders/PMDD
(Steiner,
Macdougall, Brown, 2003., ISPMD in Montreal Consensus, 2010).
(lihat lampiran 8)
G. Manajemen Terapi Sindroma Premenstruasi
Sebaiknya seorang perempuan yang diduga menderita sindroma
premenstruasi mencatat keluhan yang dirasakannya dalam sebuah
catatan harian. Dengan adanya catatan tersebut membantu klinisi dalam
menegakkan diagnosis serta pengobatan. Tujuan dari pengobatan
sindroma premenstruasi adalah untuk mengurangi bahkan menghilangkan
gejala sindroma premenstruasi yang dialami saat melakukan aktivitas
sehari-hari secara intrapersonal, serta mengusahakan agar efek samping
minimal dari terapi medisinal simptomatik yang diberikan (Cohen, 2003;
Campagne & Campagne, 2007; Rapkin & Winer, 2009).
Terapi yang diberikan dapat berupa terapi farmakologi dengan
menggunakan obat-obatan untuk mengatasi rasa nyeri maupun terapi non
farmakologi seperti konseling suportif yang meliputi aspek psikologis,
modifikasi pola hidup dan asupan nutrisi yang seimbang (Mayo, 1997;
Henshaw, 2007; Lustyk et al, 2009).
1. Non-farmakologi
Terapi
non
farmakologi
memegang
peranan
penting
dalam
penanganan sindroma premenstruasi berupa edukasi penderita, terapi
Universitas Sumatera Utara
suportif dan modifikasi gaya hidup. Perubahan pola psikologis
merupakan efek yang bermakna karena berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Abraham & Head, tipe sindroma premenstruasi A dan
D merupakan tipe yang paling banyak terjadi. Sehingga para penderita
sindroma premenstruasi sebaiknya menghindari stres berkepanjangan.
Terapi suportif seperti terapi konseling, cognitive behavioural theraphy,
hipnoterapi, dan terapi yang mencakup aspek psikologis lainnya dapat
membantu mengurangi gejala sindroma premenstruasi (Abraham &
Head, 1997; Chau & Chang, 1999; Levin, 2004).
2. Farmakologi
Obat-obatan yang biasa digunakan dalam mengobati sindroma
premenstruasi adalah suplementasi vitamin B
dan mineral seperti
kalsium dan magnesium (Khine et al, 2006; Siregar, Adenin, Abdillah,
2010). Suplementasi ini diduga mengurangi gejala-gejala sindroma
premenstruasi. Selain itu, juga terdapat obat-obatan yang bertujuan
untuk mengurangi rasa nyeri/ketidak-nyamanan penderita, yaitu
golongan obat-obatan analgetik (parasetamol), anti inflamasi non
steroid (asam mefenamat, ibuprofen, natrium diklofenak), golongan
obat penenang (minor tranquilizer), anti depresan dan hormonal (Khine
et al, 2006).
H. Aspek Hormonal dalam Siklus Menstruasi
Seorang perempuan, pada siklus reproduksinya melibatkan berbagai
organ, yaitu hipotalamus, hipofisis, ovarium, uterus dan payudara yang
berlangsung dalam waktu tertentu
melalui proses sinkronisasi. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena adanya sistem pengaturan dan koordinasi
dari suatu sistem yang disebut sistem hormon (endokrin). (Lihat Gambar
1)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Siklus Haid (Greenspan& Strewler, 2007).
Hormon adalah
ah suatu
sua protein yang dihasilkan oleh kelenjar
njar endokrin
yang langsung dialirka
ialirkan ke dalam peredaran darah dan mempe
empengaruhi
organ tertentu yang
ng dis
disebut organ target (Greenspan & Strewler
rewler, 2007).
Hormon-hormon yang berhubungan dengan siklus menstruasi
truasi adalah
sebagai berikut:
1. Hormon-hormon
hor
yang Dihasilkan Hipofisis Anterior
erior
a. Luteinizin
izing Hormon (LH)
LH dihasil
ihasilkan oleh sel-sel asidofilik (afinitas terhadap
hadap asam),
FSH berfungsi mematangkan folikel
bersama
a dengan
den
olikel dan sel
telur, meran
erangsang terjadinya ovulasi, pembentukan
tukan korpus
luteum, serta sintesis steroid seks. Folikel yang mele
melepaskan
ovum selama
elama ovulasi disebut korpus rubrum yang disus
disusun oleh
Universitas Sumatera Utara
sel-sel lutein dan disebut korpus luteum (Greenspan & Strewler,
2007).
b. Folicle Stimulating Hormon (FSH)
FSH dihasilkan oleh sel-sel basofilik (afinitas terhadap basa).
Hormon ini mempengaruhi ovarium sehingga dapat berkembang
dan berfungsi pada saat pubertas. FSH mengembangkan folikel
primer yang mengandung oosit primer dan keadaan padat
(solid) tersebut menjadi folikel yang menghasilkan estrogen.
(Greenspan & Strewler, 2007).
c. Prolactin Releasing Hormon (PRH)
Secara pilogenetis, prolaktin adalah suatu hormon yang
sangat tua serta memiliki susunan yang sama dengan hormon
pertumbuhan (growth hormone, Somatotropic hormone, thyroid
stimulating
hormone).
Secara
sinergis
dengan
estradiol,
prolaktin mempengaruhi payudara dan laktasi, serta berperan
pada pembentukan dan fungsi korpus luteum (Greenspan &
Strewler, 2007).
2. Hormon Steroid Ovarium
Ovarium menghasilkan progesteron, androgen, dan estrogen.
Banyak dari steroid yang dihasilkan ini juga disekresi oleh kelenjar
adrenal atau dapat dibentuk di jaringan perifer melalui pengubahan
prekursor-prekursor steroid lain. Konsekuensinya, kadar plasma
dari hormon-hormon ini tidak dapat langsung mencerminkan
aktivitas steroidogenik dari ovarium.
a. Estrogen
Pada fase pubertas terjadi perkembangan sifat seks primer.
Kemudian juga terjadi perkembangan sifat seks sekunder.
Selanjutnya akan berlangsung siklus haid. Hal ini disebabkan
oleh pengaruh hormon estrogen. Terhadap uterus, hormon
estrogen menyebabkan endometrium mengalami proliferasi,
Universitas Sumatera Utara
yaitu lapisan endometrium berkembang dan menjadi lebih tebal.
Hal ini diikuti dengan lebih banyak kelenjar-kelenjar, pembuluh
darah arteri maupun vena. Hormon estrogen dihasilkan oleh sel
granulose folikel. Estradiol (E2) merupakan produk yang paling
penting yang disekresi oleh ovarium karena memiliki potensi
biologis dan efek fisiologis yang beragam terhadap jaringan
perifer sasaran. Peningkatan kadar estradiol plasma berkorelasi
erat dengan peningkatan ukuran folikel pra-ovulasi. Setelah
lonjakan LH, kadar estradiol akan mencapai kadar terendah
selama beberapa hari dan terjadi peningkatan kedua kadar
estradiol plasma yang akan mencapai puncaknya pada
pertengahan fase luteal, yang akan mencerminkan sekresi
estrogen
oleh
korpus
luteum.
Studi
kateterisasi
telah
menunjukkan bahwa peningkatan kadar estradiol plasma pada
fase pra-ovulasi dan pertengahan fase luteal dari siklus. Kadar
estradiol dalam darah berkisar antara 20-500 pg/ml dan estron
50-400 pg/ml. Pada awal siklus ovulasi, produksi estradiol akan
menurun sampai titik terendah, tetapi karena pengaruh hormon
FSH, estradiol akan mulai meningkat. Sebelum fase mid cycle
kadar estradiol di bawah 50 pg/ml, tetapi akan terus meningkat
sejalan dengan pematangan ovum. Estradiol akan mencapai
puncaknya sebesar 250-500 pg/ml pada hari ke 13-15 siklus
ovulasi. Pada fase luteal, kadar estrogen akan menurun sampai
125 pg/ml. Hormon estradiol dipengaruhi oleh ritme sirkadian
yaitu adanya variasi diurnal, salah satunya karena dipengaruhi
kelenjar adrenal (Speroff & Fritz, 2010).
b. Progesteron
Kadar progesteron adalah rendah selama fase folikuler,
kurang dari 1 ng/ml (3,8 mmol/l) dan kadar progesteron akan
mencapai puncak yaitu antara 10-20 ng/ml (32-64 mmol/l) pada
pertengahan fase luteal. Selama fase luteal, hampir semua
Universitas Sumatera Utara
progesteron dalam sirkulasi merupakan hasil sekresi langsung
korpus luteum. Pengukuran kadar progesteron plasma banyak
dimanfaatkan untuk memantau ovulasi. Kadar progesteron di
atas 4-5 ng/ml (12,7-15.9 mmol/l) mengisyaratkan bahwa
ovulasi telah terjadi. Perkembangan uterus yang sudah
dipengaruhi
hormon
estrogen
selanjutnya
dipengaruhi
progesteron yang dihasilkan korpus luteum menjadi stadium
sekresi, yang mempersiapkan endometrium mencapai optimal.
Kelenjar mensekresi zat yang berguna untuk makanan dan
proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi. Pembuluh
darah akan menjadi lebih panjang dan lebar (Greenspan &
Strewler, 2007).
c. Androgen
Androgen terbentuk selama sintesis steroid di ovarium dan
adrenal,
sebagai
pembakal
estrogen.
Androgen
pada
perempuan dapat berakibat maskulinisasi, maka pembentukan
yang berlebih akan menyebabkan gangguan yang berarti. Fase
folikuler dan fase luteal kadar rata-rata testosteron plasma
berkisar antara 0,2 ng/ml - 0,4 ng/ml (0,69-1,39 mmol/l) dan
sedikit meningkat pada fase pra-ovulasi (Greenspan & Strewler,
2007).
I.
Psikoneuroendokrin pada Sindroma Premenstruasi
Psikoneuroendokrin merupakan bagian dari sistem endokrin (Lihat:
Gambar 2) yaitu ilmu dasar fisiologi tubuh yang mempelajari keterkaitan
antara aspek psikologis, sistem saraf dan sistem endokrin (hormonal).
Telah dilakukan suatu penelitian tentang tingkat stres pada perempuan
yang mempunyai siklus menstruasi normal, baik pada fase folikulisasi
maupun pada fase luteal. Stres psikologis yang terjadi diduga diinduksi
oleh beban kognitif. Hasil pemeriksaan laboratorium secara radioimmuno
assay, ditemukan kadar 17β-estradiol, progesteron, LH, FSH, testosteron,
Universitas Sumatera Utara
kortisol dan androsten
ostenedion dari spesimen darah, dan kadar
dar ad
adrenalin,
nor-adrenalin dan
n kortisol
ko
dari spesimen urin ternyata
a me
mengalami
perubahan.
Sehingga
ingga
dapat
disimpulkan
bahwa
keadaan
adaan
stres
menimbulkan respon
pon terhadap perubahan psikoneuroendokrin.
okrin. Gejala
somatis dan gangguan
guan mood telah diperlihatkan dari kuesioner self
se -report
bahwa terdapat perbedaan
perbe
di antara fase-fase menstruasi
uasi tertentu.
Dimana, gejala ganggu
angguan mood paling besar ditemukan pada
da fas
fase luteal
dan fase menstruasi
asi ssedangkan pada fase folikulisasi dan fase ovulasi
gejalanya berkurang (Halbreich,
(H
2003; Collins & Eneroth, 2005;
005; Cohen &
Herbert, 2005).
Gamb 2. Neuroendocrine (Demers, 1999)
Gambar
1. Sistem Endokrin
Pada tahun
n 1969,
1969 Rodbell et al, menyampaikan hasil pene
penelitiannya
bahwa satu seri
ri hormon,
hor
seluruhnya mengaktifkan adenilat
lat sikl
siklase dan
beraksi dengan
n cara
car berikatan dengan suatu reseptor spesi
spesifik yang
tergandeng dengan
engan adenilat siklase intraseluler dalam suatu
atu sistem
Universitas Sumatera Utara
transduksi. Interaks
eraksi antara reseptor spesifik tersebut dengan
engan protein
target diperantarai
tarai oleh
o
suatu protein heterotrimeric guanine
e nu
nucleotide
binding protein atau disebut G-protein. Reseptor spesifik tadi ke
kemudian
disebut G-Protein
ein-Coupled Reseptor (GPCR) atau disebut
diseb
juga
reseptor metabotro
abotropik, merupakan famili terbesar dari reseptor
membran sel.. Reseptor
Res
ini menjadi mediator dari respon
espon seluler
terhadap berbagai
agai molekul, seperti hormon, neurotransmitt
nsmitter, dan
mediator lokal.
Sistem endokrin
okrin melibatkan hormon sebagai chemical me
messenger,
dimana reseptor
or hormon
hor
bekerja melalui sistem second messe
ssenger :
1. cAMP (cyclic adenosine
ade
monophosphate)
2. cGMP (cyclic gu
guanosine monophosphate)
3. Phospholipase
e – diacylglycerol +IP3 Third messenger – calcium
Protein dalam
lam transmembran (TM) berupa G protein
tein-coupled
receptor (GPCR)
R) mempunyai
me
fungsi yang beragam, termasuk
asuk reseptor
cAMP untuk neurot
eurotransmiter dan reseptor glikoprotein hormon
rmon. Agonis
dari membran plasm
plasma protein mengarah pada aktivasi protein
tein G, yang
pada akhirnya
a me
memodulasi aktivitas efektor enzim yang
ang berbeda
melalui saluran
n ion (Lihat: Gambar 3). (Cui et al, 2004; Anwar
nwar , 2005).
Gambar 3. Diacylglyc
lglycerol (DAG) Pathway and Inositol Tripho
Triphosphate
(IP3) Pathway
Pathw (Demers, 1999)
Universitas Sumatera Utara
Hormon glikopro
likoprotein spesifik terikat pada protein-coupled
led receptor
(GPCR) membran
bran sel target untuk mengaktifkan jalur cAMP-protein
kinase. Respon
on aktivasi
akt
sekresi hormon memerlukan reseptor
septor protein
G
(Hsu,
Liang,
ang,
Hsueh,
1998)
dan
pemasukan
ion
kalsium
ekstraseluler ke da
dalam intraseluler bekerjasama dengan
n kalm
kalmodulin,
protein kinase
e dan cyclic AMP sebagai mediator. Di mana sistem
endokrin menjalin
jalin komunikasi internal dengan sistem saraf dengan
memfungsikan
n secara
sec
bersama-sama neurotransmitter dan hormon
yang pada akhirnya
hirnya dapat menimbulkan efek overlapping pada sel-sel
target yang sama
ma (Cui & Matkovich, 2004).
Gamb
ambar 4. Cyclic AMP (Demers, 1999)
Sistem ini melib
melibatkan protein G, suatu protein intraseluler
eluler perifer,
dimana aktivasi
asi p
protein G berfungsi sebagai efektor enzi
enzim yang
berperan sebagai
agai katalisator hormonal, sehingga akan
n terja
terjadi efek
sistemik (Lihat: Gambar
Gam
4 dan Gambar 5) (Cui& Matkovich
h 200
2004).
Universitas Sumatera Utara
Gambar
bar 5 . Hormone Cascade (Cui& Matkovich
h 2004
2004).
Mekanisme lain dengan cara hormon steroid berdifusi
difusi melalui
membran sel untuk masuk ke dalam sel. Hormon berikatan
katan dengan
reseptor intraselule
seluler, sehingga terjadi suatu kompleks horm
hormon dan
reseptor memasuk
asuki inti sel, kompleks hormon dan resept
eseptor akan
berikatan dengan
gan reseptor pada DNA (hormone responss e
element),
kemudian terjadi
jadi tr
transkripsi DNA yang mengubah mRNA,
A, ke
kemudian
terjadi translasi
asi oleh
o
mRNA dan akan terbentuk suatu
uatu protein.
Sehingga akan
an m
menyebabkan terjadinya aksi hormonal
al pa
pada sel.
(Lihat: gambarr 6) (King,
(K
2012)
Gambar 6. Mekanisme
Me
kerja intraselular dari hormon
on s
steroid
(M
(Medchrome
2011)
Universitas Sumatera Utara
Sistem endokrin yang melibatkan kelenjar adrenal dan gonad
diregulasi oleh inhibisi negative feedback yang dikontrol oleh aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium dan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.
Aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium mempunyai sistem GnRH sebagai
mekanisme utama. Namun peptida hipotalamus yang lain juga dapat
mempengaruhi sekresi GnRH (Rocaet al, 2002; Raison & Miller, 2003;
Rabin et al, 2011).
Peptida-peptida ini dapat berinteraksi dengan GnRH pada hipofisis
atau dibawa ke kelenjar hipofisis yang akan mengakibatkan sekresi
FSH dan LH melalui aktifitas autokrin-parakrin yang melibatkan peptida
lain dalam sel-sel hipofisis. Peptida yang tidak secara langsung
menstimulasi zat aktif pada hipofisis yaitu interleukin (Hsu , Liang ,
Hsueh , 1998 ; Roca et al, 2002; Raison , Miller, 2003; Rabin et al,
2011).
Sitokin dan growth factor intra-hipofisis mempunyai peranan besar
dalam sistem autokrin-parakrin untuk mengatur perkembangan dan
replikasi sel hipofisis dalam hal sintesis dan sekresi hormon. Di dalam
hipofisis juga terdapat interleukin (IL1 dan IL-6), epidermal growth
factor, fibroblast growth factor, insulin-like growth factors, nerve growth
factor, aktivin, inhibin, endothelin, dan banyak peptida lain yang akan
berinteraksi secara kompleks.
Aktivin dan inhibin adalah golongan
peptida anggota transforming growth factor. Inhibin terdiri dari dua
subunit A dan B, segera setelah melalui purifikasi menjadi tiga subunit
yaitu alpha, beta A, dan beta B (Raison & Miller, 2003).
Setiap subunit merupakan hasil mRNA yang berbeda. Inhibin juga
mempunyai pengaruh terhadap growth hormone, adenocorticotropin
hormone (ACTH) dan prolaktin. Aktivin yang dihasilkan oleh sel
granulosa folikel mengandung dua subunit yang identik dengan inhibin
A dan B. Terdapat varian subunit lain yaitu C, D dan E. Aktivin akan
meningkatkan sekresi FSH dan menghambat prolaktin, growth
hormone, dan adenocorticotropin hormone/ACTH (Anwar, 2004).
Universitas Sumatera Utara
J. Kelenjar Adrenal dan Hormon Kortisol
Terdapat 2 (dua) organ endokrin dalam kelenjar adrenal yaitu medulla
pada bagian dalam dan korteks pada bagian luar. Korteks adrenal
mempunyai kemampuan untuk mensintesis lebih dari 25 hormon steroid.
Sel-sel korteks terdiri dari 3 lapisan (Lihat: Gambar 6) (Stewart, 2008;
Barrett et al, 2010), yaitu :
Gambar 7. Kelenjar Adrenal (Barrett et al, 2010)
1. Zona Glomerulosa (lapisan luar) menghasilkan mineralokortikoid
Menghasilkan
hormon
aldosteron
dalam
meregulasi
keseimbangan elektrolit cairan ekstraseluler terutama Na+ dan K+.
Kelainan hiposekresi dari mineralokortikoid dan glukokortikoid
disebut Addison’s disease bermanifestasi pada hipoglikemia,
dehidrasi
berat,
ketidak-seimbangan
elektrolit,
hiperkalemia,
hipotensi dan kulit mengkilap.
Universitas Sumatera Utara
2. Zona Fasikulata (lapisan tengah) menghasilkan glukokortikoid
Mempengaruhi metabolisme sel-sel tubuh terkait stres. Hormon
kortisol yang dihasilkan dari trigger ACTH dari hipofisis anterior
berperan dalam proses glukoneogenesis (menyimpan cadangan
gula pada otak, katabolisme protein, berperan dalam perbaikan
jaringan, dan sistesis enzim). Hormon kortisol juga membantu kerja
vasokonstriktor adrenalin untuk meningkatkan tekanan darah terkait
distribusi nutrisi. Kadar kortisol yang berlebihan mengganggu
metabolisme
tubuh,
diantaranya
menurunkan formasi tulang,
menekan
menghambat
sistem
imun,
inflamasi, serta
berpengaruh pada fungsi gastrointestinal dan jantung. Gangguan
hipersekresi dari glukokortikoid disebut Cushing’s Syndrome
bermanifestasi pada hiperglikemia, penurunan densitas tulang,
retensi cairan dan garam menimbulkan hipertensi dan edema,
penyembuhan luka yang buruk, dan mencetus terjadinya infeksi.
3. Zona Retikularis (lapisan dalam) menghasilkan gonadokortikoid
Paling banyak menghasilkan dehydroepiandrosterone (DHEA)
dan androgen yang berperan dalam fisiologi reproduktif pria dan
perempuan. DHEA dikonversi menjadi testosteron (terutama pada
perempuan) dan dikonversi lagi menjadi estrogen (estradiol).
Berperan menghasilkan adrenal sex hormone, di mana adrenal
androgen kadarnya meningkat pada usia 7-13 tahun sehingga
menstimulasi onset pubertas, menstimulasi pertumbuhan bulu
pubis dan aksila, juga menstimulasi libido.
Hormon steroid berasal dari kolesterol dan dibangun oleh kerja
enzim yang khas. Seluruh jaringan penghasil steroid dapat
menghasilkan androgen dan estrogen, tetapi hanya korteks adrenal
yang memiliki enzim yang diperlukan bagi pembentukan kortisol.
Kortisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal yang
disintesis pada zona fasikulata dapat mempengaruhi metabolisme
Universitas Sumatera Utara
protein, karbohidrat, dan lipid serta berbagai fungsi fisiologis lainnya
(Raison & Miller, 2003).
Pada
tahap
keseimbangan
selanjutnya
metabolisme
akan
berpengaruh
terhadap
tubuh
seluruhnya,
sehingga
pemahaman terhadap anatomi, fisiologi dan metabolisme dari
glukokortikoid khususnya kortisol sangat diperlukan (Barrett et al,
2010).
Banyak senyawa telah dihasilkan oleh korteks adrenal (lebih
kurang 40 macam). Namun, hanya sebagian yang dijumpai di
dalam darah vena adrenal. Kerja fisiologis utama dari hormonhormon adrenal khususnya glukokortikoid adalah sebagai berikut
(Raison & Miller, 2003) :
a. Mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,
yaitu memacu glikogenolisis, ketogenesis, katabolisme protein,
dan fungsi hormonal lain.
b. Memiliki kerja anti insulin, di mana glukokortikoid menaikkan
glukosa, asam-asam lemak dan asam-asam amino dalam
sirkulasi. Dalam jaringan perifer seperti otot, adiposa dan
jaringan limfoid, steroid adalah katabolik dan cenderung
menghemat glukosa, pengambilan glukosa, dan glikolisis
ditekan.
c. Terhadap pembuluh darah meningkatkan respon terhadap
katekolamin.
d. Terhadap jantung memacu kekuatan kontraksi (inotropik
positif).
e. Terhadap saluran cerna meningkatkan sekresi asam lambung
dan absorbsi lemak, menyebabkan erosi selaput lendir.
f. Terhadap tulang dan metabolisme menyebabkan terjadinya
osteoporosis, oleh karena menghambat aktifitas osteoblast dan
absorbsi kalsium di usus.
Universitas Sumatera Utara
g. Meningkatkan aliran darah ginjal dan memacu eksresi air oleh
ginjal.
h. Pada
dosis
farmakologis
menurunkan
intensitas
reaksi
peradangan, dimana pada konsentrasi tinggi glukokortikoid
menurunkan
reaksi
pertahanan
seluler
dan
khususnya
memperlambat migrasi leukosit ke dalam daerah trauma.
K. Metabolisme Kortisol
Sintesis steroid adrenal bermula dari kolesterol dan melalui beragam
langkah-langkah enzimatik dalam proses pembentukan glukokortikoid.
Jalannya reaksi diawali dari sintesis kolesterol dari bahan dasar protein
(30-d protein), yaitu: steroidogenic acute regulatory protein (StAR), yang
akan mengalami pembelahan dan proses oksidasi dari serangkaian rantai
samping, yang selanjutnya diubah menjadi A5-pregnenolon (Stewart,
2008).
Korteks adrenal mengandung relatif banyak kolesterol, sebagian besar
merupakan gugus ester-kolesterol yang berasal dari
sintesis de nuvo
enzim dan sumber-sumber ekstra adrenal. Perubahan ester-kolesterol
menjadi kolesterol merupakan langkah yang diperlukan dalam sintesis
steroid dan diatur oleh adenocorticotropic hormone (ACTH). Dalam hal ini,
ACTH melalui cAMP mengaktifkan protein kinase, suatu enzim yang
selanjutnya mengaktifkan protein-protein melalui
proses
fosforilasi
(penambahan fosfat) untuk mengkatalisis hidrolisis ester-kolesterol.
Protein kinase ini awalnya juga meningkatkan gugus 20-hidroksilasi
kolesterol. Hasil akhir dari reaksi ini adalah C-27 steroid 20α, 22βdihidroksikolesterol dan 17α, 20α-dihidroksikolesterol. Senyawa ini diubah
langsung menjadi pregnenolon atau 17α-pregnenolon dengan kehilangan
bagian isokaproat-aldehid yang terdapat pada rantai samping (Barrett et
al, 2010).
Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang beredar di
dalam darah. Pada manusia, kortisol adalah regulator yang paling penting.
Universitas Sumatera Utara
Kortisol bebas di dalam darah memiliki umpan balik negatif terhadap
pelepasan
hormon
pelepas
kortikotropin
(corticotropin
releasing
hormone/CRH) dari hipothalamus. CRH turun melalui vena-vena sistem
portal hipotalamus ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH.
Respon CRH terhadap umpan balik negatif mengikuti irama diurnal,
sehingga pada pagi hari ACTH dan kortisol dapat ditemukan dalam jumlah
yang lebih besar dan lebih kecil pada malam hari. Namun dalam keadan
stres baik fisik maupun psikologis seperti rasa nyeri, ketakutan, infeksi,
beban fisik yang berat, trauma, hipoglikemia atau tumor otak dan obatobatan kortikosteroid, irama sirkadian dari ACTH dan kortisol ini dapat
berubah (Stewart , 2008; Barrett et al, 2010).
Kortisol dimetabolisme di dalam hati, yang merupakan organ utama
tempat terjadinya katabolisme glukokortikoid, sebagian besar kortisol
direduksi
menjadi
dihidrokortisol
yang
selanjutnya
menjadi
tetrahidrokortisol yang dikonyugasikan dengan asam glukoronat sehingga
mudah larut. Glukoronida ini tidak terikat oleh protein, sehingga senyawa
tersebut mudah dieksresikan oleh ginjal bersama urin (Lihat: Gambar 7).
(Stewart, 2008; Barrett et al, 2010).
Kira-kira 5% - 10% kortisol dipecah menjadi 11-hidroksi-17ketosteroid
dan selanjutnya menjadi 11-β-hidroksiandrosteron. Eksresi kortisol bebas
hanya sebesar 1% - 3% jumlahnya di dalam darah dan hanya 10% jumlah
yang difiltrasi lalu dikeluarkan bersama urin, karena telah terlebih dahulu
direabsorbsi di tubulus ginjal. Pada orang dewasa normal dalam urin 24
jam ditemukan kortisol tidak lebih dari 80 µg, kortison 50
µg,
tetrahidrokortisol 3 mg, tetrahidrokortison 5 mg, dan 11-hidroksi-17ketosteroid 1 mg. Kecepatan clearance metabolik kortisol adalah 65 ± 12
ml/menit/m2,
kecepatan
pembersihan
metabolik
yang
rendah
menyebabkan waktu paruh memanjang.
Ini perlu diperhatikan pada pengobatan dengan kortikosteroid, karena
efek sampingnya menjadi lebih besar (Roy-Byrne et al, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8. Biosintesis
ntesis Adrenokortikosteroid dan Androgen
en Ad
Adrenal
(Stewart,
art, 2008)
20
L. Stres, Kortisol,
ol, dan
da Sindroma Premenstruasi
Stresorpsikososial
osial meliputi faktor psikologis dan faktor biolo
biologisyang
dapat mempengaruhi
ruhi tingkat stres seorang perempuan. Banyak
yak p
penelitian
dewasa ini dilakukan
ukan untuk mengetahui hubungan faktor
tor ps
psikologis
terhadap reaktifitas dari
dar sistem neuroendokrin terhadap perubaha
ubahan kadar
kortisol. Salah satunya
tunya adalah penelitian yang dilakukan Taylor
lor et al, yang
membuktikan dua hipotesis, bahwa:
1. Stresor psikososia
ososial terkait dengan penurunan sensitifitas tterhadap
pengendalian
n psikologis.
psik
2. Faktor psikososia
sosial tersebut meliputi aspek pola hidup
p dan beban
kerja. Hasil penel
penelitian menunjukkan bahwa faktor psikosos
kososial lebih
besar secara signifikan
sig
menyebabkan perubahan kadar
adar kortisol
(Taylor et al, 2003).
2003
Universitas Sumatera Utara
Keadaan stres fisik seperti: cedera, infeksi, trauma, temperatur
ekstrim, serta keadaan stres emosional seperti: cemas dan depresi
menimbulkan reaksi tubuh dalam suatu jalur stres respon berupa general
adaptation syndrome/GAS (Anderson & David, 2008) dan menimbulkan
stimulus pada sistem limbik yang melibatkan hipokampus dan amigdala.
Adaptasi terhadap stres ini dimediasi oleh saraf otonom dalam sistem
neuroendokrin sampai ke kelenjar adrenal, yang pada akhirnya terjadi
sekresi kortisol (Lihat: Gambar 8). (Taylor et al, 2003).
Melalui suatu mediator yaitu neurotransmitter: Gamma Amino Butyric
Acid (GABA), serotonin (5-HT), katekolamin, dopamin, terjadi perubahan
homeostasis yang melibatkan intercellular signaling, dan merangsang
neuron-neuron pada hipotalamus. Perangsangan diteruskan melalui
median eminence (ME) sampai mencapai sel neuroendokrin tertentu di
dalam
hipotalamus
yang
mengakibatkan
terjadinya
sekresi
CRH
(corticotropin releasing hormone) dan AVP (arginine vasopressin) oleh
Paraventricular Nucleus (PVN) di hipotalamus. Dengan cara ini,
rangsangan diteruskan ke hipofisis anterior yang menyebabkan sekresi
ACTH (adrenocorticotrophin hormone) ke sirkulasi sistemik. ACTH
kemudian mencapai korteks adrenal dan terjadi sekresi hormon kortikoid,
khususnya glukokortikoid yaitu: kortisol atau kortikosteron.
Hormon–hormon ini memicu proses glukoneogenesis, yang memecah
molekul karbohidrat, protein, lemak, menjadi glukosa
yang dapat
dipergunakan sebagai sumber energi. Rangkaian ini juga dikontrol oleh
mekanisme feedback. Apabila terdapat kelebihan sekresi kortisol maka
akan
terjadi
menghambat
feedback
sekresi
ke
aksis
ACTH
hipotalamus-hipofisis
(Stewart,
2008).
yang
Bersamaan
akan
dengan
terjadinya proses glukoneogenesis, hormon-hormon kortikoid ini akan
memacu
noradrenalin
untuk
mengeluarkan
hormon
katekolamin
(adrenalin) dari medulla adrenal. Adrenalin ini akan memacu terjadinya
keadaan “fight or flight”, yang merangsang susunan saraf simpatis untuk
Universitas Sumatera Utara
mempercepat denyut
nyut nadi dan meningkatkan tekanan darah
rah ((Stewart,
2008).
Gambar 9. The
he Hormonal Cascade Caused by Stress
ss (Tallbott
& Kraemer, 2007).
Pada
satu
deka
dekade
terakhir,
telah
diteliti
bahwa
a
ssindroma
premenstruasi berkaita
rkaitan erat dengan tingkat stres seorang
g pere
perempuan.
Telah dipostulasikan,
kan, bahwa
b
stres menimbulkan keadaan adrena
renal stress
dan
menginduksi
si
sekresi
se
hormon
kortisol
yang
pada
da
a
akhirnya
menghasilkan suatu
atu kaskade
k
perubahan fisiologis akibat aktiv
aktivasi dari
pusat neuroendokrin
rin pada
pa hipotalamus (Anderson & David, 2008).
008).
Pada perempuan,
uan, hormon
h
kortisol sebagian besar diikatt oleh globulin
pengikat kortisol (cortis
ortisol binding globulin/CBG). Pada Saliva,
a, CB
CBG tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat melewati duktus acinar kelenjar saliva, sehingga kortisol yang
terdapat pada saliva merupakan bentuk kortisol bebas. Pada tingkat
seluler, glucocorticoid berikatan dengan reseptornya ditentukan oleh :
a. Cortisol binding globulin (CBG) di dalam darah dan cairan
interstitial.
b. Enzim 11-β-hydroxysteroid dehydrogenase (11β-HSD), yang
memetabolisme kortisol memasuki sel.
c. Multi Drug Resistance (MDR) pump, yang mengeluarkan kortisol
keluar dari sel.
Kecepatan dan konsentrasi sekresi kortisol merupakan bagian dari
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA-axis), yang berperan penting
dalam merespon berbagai bentuk stres baik fisik maupun psikologis.
Komponen lain yang merupakan bagian dari aksis ini adalah corticotrophin
releasing hormone (CRH) yang mengatur pengeluaran ACTH dari hipofisis
anterior dan sebagai umpan balik dari sintesis dan pengeluaran kortisol
(Anderson, 2008).
Pada keadaan normal, dehydroepiandrosterone
sulfate (DHEA-S)
yang dihasilkan zona retikularis kelenjar adrenal, disekresi secara sinkron
dengan kortisol dari zona fasikulata kelenjar adrenal akibat stimulasi
ACTH, di mana kadarnya hampir sama pada siklus diurnal. Pada
keadaaan stres, terjadi peningkatan progresif dari CRH dan ACTH untuk
merangsang
sekresi
kortisol
yang
berlebihan,
sehingga
DHEA-S
berkompetisi dengan kadar kortisol yang tinggi untuk molekul prekursor
mereka; pregnenolon dan 17-OH-progesteron. Akibatnya, kadar DHEA
menurun, demikian pula kadar testosteron, estradiol dan aldosteron (Lihat
: Gambar 9) (Anderson & David, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 10. Stre
tress induced adrenal dysfunction (Anderson
(Ande
&
David,
David 2008)
M. Adrenal Stress Qu
Questionnaire Untuk Menilai Keterlibatan
atan Kelenjar
K
Adrenal Akibat
at Pengaruh
Pe
Stress
Suatu penelitian yang dilakukan Hompes, seorang ahli
hli gi
ginekologi
Inggris pada tahun
n 2009,
20
menjelaskan pengaruh stres fisik,
ik, em
emosi dan
lingkungan yang dialami
diala
oleh seseorang terhadap perubahan
ahan kelenjar
adrenal dalam mense
ensekresi hormon kortisol (adrenal stress). Hompes
menyusun suatu alat ukur berupa Adrenal Stress Questionna
naire yang
telah diuji validitass dan reliabilitasnya untuk menilai keterlibatan
atan kelenjar
adrenal akibat pengaru
ngaruh stres untuk mensekresi hormon kortisol
ortisol. Tubuh
secara fisiologis akan memberikan respon terhadap stres
res fi
fisik dan
psikologi dengan kaskade
kas
perubahan hormonal yang terjad
terjadi akibat
keterpaparan stres.
s. Respon
Re
tubuh terhadap stres melibatkan
n me
mekanisme
biofeedback hormonal
onal (Tallbott & Kraemer, 2007).
Beberapa ahlili fisio
fisiologi menyatakan bahwa tingkat variabili
riabilitas dari
kadar kortisol merupak
rupakan respon terhadap keadaan stres. Kadar kortisol
tinggi atau rendah
h ditemukan
dit
fluktuatif secara normal sesuai
esuai dengan
perubahan keadaan
an stres
st
atau keadaan relaksasi. Penelitian
an ilm
ilmiah dan
bukti klinis menjelaska
laskan bahwa terjadi peningkatan kadar kortiso
kortisol akibat
Universitas Sumatera Utara
trigger keadaan stres
tres kronis.
kr
Di antara pengaruh yang terjadii (Liha
(Lihat: Tabel
6) sebagai berikut : (Tallbott
Ta
& Kraemer, 2007
Tabel 6. Elevated cortisol
co
levels resulting from chronic stre
tress have
been assoc
sociated with the following condition (Ta
Tallbott &
Kraemer,
er, 200
2007)
2. Kortisol Saliva
aliva
Kortisol adalah hormon
horm steroid yang merupakan glukokortikoi
ortikoid utama
yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Kortisol secara fisiologis
iologis efektif
dalam pemeliharaan tekanan
darah dan bersifat antiinflamasi. Se
te
Selain itu,
terlibat dalam penyerap
nyerapan kalsium, glukoneogenesis serta sekre
sekresi asam
lambung dan pepsin. Kadarnya meningkat akibat situasi stres, latihan
fisik
lati
dan pemberian ACTH
CTH eksternal. Pengukuran kadar kortisol secara
secar umum
dapat digunakan sebagai
indikator fungsi adrenal dan diagnosis
seb
diferensial terhadap
ap Addison Disease dan Cushing Syndrom
ome, serta
hiperplasia adrenal dan karsinoma adrenal. Kortisol terikat pada globulin,
Universitas Sumatera Utara
transkortin dan albumin. Kortisol bebas yang dianggap sebagai zat aktif di
dalam darah adalah sekitar 1% - 2%. Pada saliva tidak terdapat protein
pengikat kortisol, sehingga kortisol saliva dianggap bebas dan hampir
sama kadarnya dengan kadar kortisol bebas di dalam darah (Anderson &
David, 2008). Kadar kortisol saliva menunjukkan irama diurnal dengan
tingkat tertinggi dipagi haridan tingkat terendah di malam hari (Kalman &
Grahn, 2004; Anderson & David , 2008).
N. Kadar Kortisol Saliva dan Hubungannya dengan Sindroma
Premenstruasi
Pengukuran tingkat stres dapat dievaluasi dari kadar kortisol saliva.
Pemeriksaan ini selain mudah juga bersifat non invasif (Hellhammer,
Wüst, Kudielka, 2009). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kadar
kortisol saliva dapat dianggap mewakili kadar kortisol di dalam darah.
Sejumlah penelitian telah menyatakan hubungan antara dua spesimen
(kortisol saliva dan kortisol serum) menunjukkan nilai koefisien korelasi
yang sangat baik (r>0,91; p<0.0001), yang berarti kadar kortisol saliva
mewakili kadar kortisol bebas di dalam darah (Lihat: Tabel 7)
(Kirschbaum, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7. Salivary
ary Cortisol Expected Ranges
Dalam
satu
dek
dekade
terakhir,
telah
diteliti
bahwa
a
ssindroma
premenstruasi berkaita
rkaitan erat dengan tingkat stres seorang
g pere
perempuan.
Telah dipostulasikan,
an, bahwa
b
stres menginduksi adrenal stress da
dan terjadi
peningkatan sekresi
esi ho
hormon kortisol yang pada akhirnya meng
menghasilkan
suatu kaskade perubah
rubahan fisiologis, dimana aktivasi ini dimulai
ulai da
dari pusat
(Anderson & David , 2008).
neuroendokrin di hipotalamus
hipota
Peran
psikoneuro
neuroendokrin
terlibat
dalam
kejadian
n
ssindroma
premenstruasi, dalam
alam hal ini hormon kortisol dianggap sebagai
bagai master
stress hormone yang berhubungan dengan kejadian stres
res fi
fisik dan
psikologis. Sehingga
gga kortisol
digunakan sebagai biomarke
rker untuk
mempelajari stres (Raison
Rais & Miller, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Neuron yang menghasilkan corticotrophin releasing hormone (CRH)
dan Arginiine Vasopressin (AVP) di hipotalamus diaktifkan oleh peristiwa
psikologis dengan tingkat aktivasi yang bervariasi. Hubungan CRH dan
AVP terhadap ACTH dan kortisol, serta aktivasi neurotransmiter dan saraf
otonom sangat kompleks. Terdapat pengaruh stres psikologis terhadap
perubahan kadar kortisol saliva pada perempuan yang mengalami
sindroma premenstruasi (Tallbott & Kraemer, 2007; Anderson & David,
2008).
O. Remaja/Adolescence dan Sindroma Premenstruasi
1. Batasan Usia Remaja
Mengenai
batasan
usia
remaja
itu
sendiri,
para
ahli
memasukkannya dalam beberapa periode. Menurut Hurlock (2004),
masa remaja dibagi kedalam dua periode :
a. Remaja awal (early adolescence), antara usia 13 – 17 tahun untuk
perempuan dan usia 14 – 17 untuk laki-laki.
b. Remaja akhir (late adolescence), antara 17 – 21 tahun.
Menurut Mappiare (1992) batasan usia remaja di Indonesia:
a. Remaja awal, antara 12/13 – 17/18 tahun,
b. Remaja akhir, antara 17/18 – 21/22 tahun.
Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, dikutip dari
Whalley & Wong’s (1999), tahap perkembangan manusia menurut
umur dibagi dalam delapan tahapan. Tiga diantaranya yang berkaitan
dengan sindroma premenstruasi, yaitu :
a. Remaja / Adolescence (13-20 tahun)\
b. Dewasa Awal / Early adult hood (21-35 tahun)
c. Dewasa pertengahan / Young and middle adulthood (36-45 tahun)
2. Karakteristik Remaja
Ciri khas remaja/adolescence, sering disebut “storm and
stress”, remaja sangat peka dan sering berubah sikap (Mappiare,
Universitas Sumatera Utara
1992; Hurlock, 2004). Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa
sulit, karena pada periode
ini
terjadi
perubahan
fisik dan
perkembangan psikologis yang pesat, sehingga masa ini sering
disertai dengan gejala dan permasalahan baik fisiologis tubuh
maupun psikologis (Chau & Chang ,1999; Pudigjogyanti, 1995).
Karakteristik perempuan yang berhubungan dengan sindroma
premenstruasi salah satunya adalah pada rentang usia ini (remaja),
nyeri haid paling sering terjadi tanpa adanya kelainan ginekologis
yang nyata (dismenore primer). Sindroma premenstruasi dapat
dihubungkan dengan beban fisik dan psikologis terhadap siklus
menstruasi. Gejala-gejala ini dapat terjadi kapan saja setelah
menarche dan berlanjut hingga berhenti pada saat menopause.
Sebagian besar pasien yang mencari pengobatan untuk sindroma
premenstruasi berusia antara pertengahan 20-an (Chau & Chang,
1999), meskipun banyak perempuan melaporkan mengalami
gejala-gejala sindroma premenstruasi lebih awal (Freeman, 2005).
Faktor risiko yang paling berhubungan dengan sindroma
premenstruasi adalah faktor umur. Penelitian menemukan bahwa
sebagian besar perempuan yang mencari pengobatan sindroma
premenstruasi adalah mereka yang berusia kurang dari 30 tahun
(Chau & Chang, 1999). Walaupun ada fakta yang mengungkapkan
bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gelaja yang sama
dengan tingkat keparahan sindroma premenstruasi yang dialami
oleh perempuan yang lebih tua (Freeman , Schweizer , Rickels,
2003).
Dalam suatu penelitian pada tahun 2004 yang melibatkan
874 perempuan di Virginia Amerika, menggambarkan bahwa
perempuan yang berusia antara 35-44 tahun lebih jarang menderita
sindroma premenstruasi
jika dibandingkan dengan perempuan
yang lebih muda (Hurlock , 2004).
Universitas Sumatera Utara
P. Stresor Psikosial
Berdasarkan Hawari, stresor psikososial adalah keadaan atau
peristiwa yang menyebabkan perubahan pada kehidupan seseorang,
sehingga orang terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri
untuk menanggulanginya. Contoh stresor psikososial yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari antara lain (Hawari, 2006) :
1. Hubungan interpersonal/antar pribadi
Hubungan antara sesama (perorangan/individu) yang tidak baik
dapat merupakan sumber stres, misalnya hubungan yang tidak
serasi atau terjadi perselisihan dengan saudara, tidak baik dengan
teman dekat dan sebagainya.
2. Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan hidup atau tempat tinggal yang buruk besar
pengaruhnya
bagi
kesehatan
seseorang,
misalnya
masalah
perumahan, populasi, penghijauan, dan lain-lain yang merupakan
sarana dan prasarana pemukiman hendaknya memenuhi syarat
kesehatan lingkungan.
3. Keuangan
Masalah keuangan dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah
satu sumber stress.
4. Perkembangan
Adalah
tahapan perkembangan fisik maupun mental seseorang
(siklus
kehidupan),
masa
kanak-kanak,
remaja,
dewasa,
menopause, dan usia lanjut yang secara alamiah akan dialami oleh
seseorang dan apabila tahapan perkembangan tersebut tidak
dilalui dengan baik, yang bersangkutan rentan terhadap stres.
5. Faktor keluarga
Anak dan remaja yang mengalami stres salah satunya dapat
disebabkan oleh kondisi keluarga yang tidak harmonis.
6. Trauma
Universitas Sumatera Utara
Seseorang
yang
mengalami
bersangkutan akan dapat
pengalaman
traumatis,
yang
mengalami stres.
Q. Penatalaksanaan Stres
Untuk mengatasi konflik-konflik atau gangguan-gangguan stres antara
lain (Chau &Chang, 1999; Nevid 2005; Campagne & Campagne ,2007) :
1. Pendekatan psikodinamika yang modern yaitu lebih berfokus pada
gangguan-gangguan relasi yang ada dalam kehidupan klien saat ini
dan mendorong klien untuk lebih mengembangkan pola tingkah
laku yang lebih adaptif.
2. Terapi
humanistika
yaitu
berfokus
pada
membantu
klien
mengidentifikasi dan menerima dirinya yang sejati dan bukan
dengan bereaksi pada kecemasan setiap kali perasaan-perasaan
dan kebutuhan-kebutuhannya
yang sejati mulai muncul ke
permukaan.
3. Terapi obat atau farmakoterapi yaitu berfokus pada penggunaan
benzodiazepin dan obat-obat antidepresan.
4. Pendekatan-pendekatan dengan dasar belajar dalam menangani
kecemasan melibatkan
berbagai teknik behavioral dan terapi
kognitif-behavioral, termasuk teori pemaparan dan pencegahan
respon, serta pelatihan keterampilan relaksasi.
5. Psikoterapi, lamanya terapi minimal dilakukan adalah selama 12
minggu, biasanya dipilih group terapi dengan kondisi anggota group
adalah sama dengan pasien dianggap lebih efektif dalam
penyembuhan. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi ketika
menghadapi kecemasan, dalam terapi ini terapis berusaha
membantu pasien menemukan ketenangan dengan menciptakan
rileks dalam diri individu, bersamaan dengan itu pasien juga
diberikan sugesti bahwa kecemasan-kecemasan yang muncul itu
tidak realistis.
Universitas Sumatera Utara
6. Pendekatan agama
Pendekatan agama akan memberikan rasa tenang terhadap pikiran
dan memberikan harapan-harapan positif.
7. Pendekatan
keluarga
dukungan
(suportif)
keluarga
efektif
mengurangi kecemasan.
8. Olahraga
Olahraga tidak hanya baik untuk kesehatan. Olahraga akan
menyalurkan tumpukan stres secara positif.
R. Hubungan Stres Psikososial Dengan Sindroma Premenstruasi
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa stresor psikososial dapat
mempengaruhi proses menstruasi, salah satunya diduga mempengaruhi
terjadinya sindroma premenstruasi. Teori psikoneuroendokrin menyatakan
bahwa pusat stres dikontrol di dalam otak dan memberikan respon
terhadap sekresi hormonal sistemik. Dimana, pusat pengaturan hormonal
terdapat di dalam otak yaitu pada hipotalamus dan hipofisis. Adanya
rangsangan stresor psikososial mengakibatkan jaringan neuron di sistem
limbik yaitu pada hipokampus ikut serta dalam memberikan sinyal
interseluler
Aminobutyric
yang
dimediasi
Acid
oleh
(GABA),
neurotransmiter
Serotonin
seperti
(5HT),
Gamma
katekolamin
(noradrenalin/adrenalin), dopamin dan neuropeptida lainnya (Lathe, 2001).
Sistem saraf pusat secara konstan mengirim sinyal agar sistem
biologis tubuh memberikan respon. Hal ini menimbulkan pikiran-pikiran
kecemasan, obsesional dan tingkah laku kompulsif representatif, yang
kemudian melibatkan organ-organ dari sistem neuroendokrin yang
memegang peranan dalam respon emosional (Lathe, 2001; Nevid, 2005;
Campagne & Campange, 2007; Anderson & David, 2008).
Berhubungan
dengan
hal
di
atas,
mempengaruhi sistem neuroendokrin yang
bahwa
faktor
psikologis
meneruskan sinyalnya ke
sistem saraf pusat pada sistem limbik yang terdiri dari hipokampus,
amigdala dan korteks limbik yang berfungsi mengatur emosi dan tingkah
Universitas Sumatera Utara
laku, selanjutnya melalui saraf otonom (saraf simpatis danparasimpatis).
Transmisi impuls saraf akan diteruskan ke nukleusparaventrikel (PVN)
dihipotalamus, untuk menyekresikan Corticotrophin Releasing Hormone
(CRH) dan Arginine Vasopressin (AVP), lalu ke hipofisis anterior melalui
sistem
portal
yang
terdapat
di
mediance
eminence
yang
akan
mempengaruhi sekresi Adenocorticotrophin Hormone (ACTH) dan sekresi
kortisol dari kelenjar adrenal (Lathe, 2001; Matsumoto et al, 2007;
Anderson & David, 2008).
Produksi hormon-hormon ini dibawah pengaruh aksis hipotalamushipofisis-adrenal dan juga aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium. Dimana,
sekresi ACTH, serta FSH dan LH sangat dipengaruhi oleh mekanisme
umpan balik kortisol, estrogen, progesteron terhadap hipotalamus, sistem
limbik termasuk hipokampus yang banyak memiliki reseptor glukokortikoid,
mineralokortikoid, gonadokortikoid. Juga terjadi mekanisme umpan balik
terhadap neurotransmiter di susunan saraf pusat yang berperan termasuk
GABA, serotonin (5HT), adrenalin, noradrenalin dan dopamin yang akan
menimbulkan gejala-gejala sindroma premenstruasi yang meliputi tipe
A/anxiety, H/hyperhydration, C/craving, dan D/depression (Abraham &
Head ,1997; Lathe , 2001; Stewart, 2008; Barrett et al, 2010).
Hormon kortisol adalah regulator yang penting. Respon CRH terhadap
umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi hari
ACTH dan kortisol dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih besar,
sedangkan pada malam hari kadarnya lebih kecil. Namun pada keadan
stres baik fisik maupun psikologis seperti cemas, depresi, rasa nyeri,
infeksi, beban fisik yang berat, trauma, hipoglikemia, tumor otak dan obatobatan kortikosteroid, irama sirkadian dari ACTH dan kortisol ini dapat
berubah
dan
kadarnya
akan
meningkat,
sehingga
menimbulkan
mekanisme kompetisi dengan DHEA-S, terhadap molekul precursor
mereka yaitu pregnenolon, akhirnya menurunkan produksi DHEA,
testosterone, estradiol dan aldosterone (Anderson & David , 2008;
Stewart, 2008; Barrett et al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Download