5 TINJAUAN PUSTAKA Paracoccus marginatus Persebaran Kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama yang berasal dari Amerika Tengah. Di tempat asalnya, serangga tersebut tidak berstatus sebagai hama yang serius karena adanya musuh alami endemik yang kompleks. Spesimen hama tersebut pertama kali dikoleksi di Meksiko pada tahun 1955, kemudian pada tahun 1992 spesimen hama tersebut telah ditemukan dari wilayah neotropik di Belize, Kosta Rika, Guatemala, dan Meksiko (Williams & Granara de Willink 1992). Pada tahun 1994, hama tersebut dilaporkan telah menyerang berbagai jenis tanaman di 14 negara di Kepulauan Karibia. Selanjutnya hama tersebut telah ditemukan di Bradenton, Florida pada tahun 1998 pada tanaman Hibiscus. Pada Januari 2002, hama tersebut telah dapat dikoleksi dari 18 spesies tanaman berbeda dari 30 daerah di Florida. Hama tersebut ditemukan telah berkembang di wilayah Pasifik di Guam dan Republik Palau pada tahun 2002. Pada tahun 2003, hama tersebut ditemukan telah menyebar di Kepulauan Hawaii (Walker et al. 2003; Tanwar et al. 2010). Hama kutu putih pepaya telah menyebar di Asia Selatan dan Tenggara antara tahun 2007 dan 2009. Pada tahun 2007, hama tersebut telah ditemukan di India, menjadi hama penting dan telah menyebar di berbagai daerah di negara tersebut (Tanwar et al. 2010). Di Indonesia, hama tersebut dilaporkan pertama kali ditemukan pada Mei 2008 pada tanaman pepaya di Kebun Raya Bogor (Muniappan et al. 2008). Pada tahun 2009, hama tersebut dilaporkan telah menyerang 21 spesies tanaman dari beberapa famili di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta (Sartiami et al. 2009). Tanaman Inang dan Gejala Kerusakan Di Guam dan Republik Palau, P. marginatus menjadi gangguan utama pada tanaman buah tropik khususnya pepaya (Miller et al. 1999). Menurut Miller & Miller (2002) dan Walker et al. (2003), P. marginatus menyerang lebih dari 25 6 genus tanaman, di antaranya tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti pepaya, alpukat, jarak, jeruk, kamboja, terung, Hibiscus sp., dan ekor kucing. Di Indonesia, pada tahun 2009 P. marginatus dilaporkan menyerang 21 spesies tanaman dari beberapa famili seperti Apocynaceae, Araceae, Caricaceae, Convolvulaceae, Cucurbitaceae, Euphorbiaceae, Fabaceae, Malvaceae, Moraceae, Myrtaceae, Rubiaceae, dan Solanaceae (Sartiami et al. 2009). Di India, Tanwar et al. (2010) melaporkan bahwa P. marginatus ditemukan menyerang dan menyebabkan kerusakan pada beberapa tanaman seperti pepaya, kembang sepatu, jarak, ubi kayu, tomat, terung, kapas, murbei, jambu biji, pohon jati, dan beberapa jenis gulma. Kutu putih pepaya P. marginatus sangat aktif pada kondisi kering dan cuaca panas. P. marginatus mengisap cairan bagian tanaman dengan menusukkan stilet ke dalam jaringan epidermis tanaman (buah, daun, dan batang). Hama tersebut juga memasukkan zat beracun ketika mengisap cairan bagian tanaman sehingga dapat mengakibatkan klorosis, pucuk daun kerdil, daun keriting, dan daun/buah rontok. Embun madu yang dihasilkan oleh P. marginatus memicu tumbuhnya embun jelaga yang dapat menghambat proses fotosintesis. Infestasi berat P. marginatus mengakibatkan buah tidak layak dimakan bahkan dapat menyebabkan tanaman mati (Miller et al. 1999; Walker et al. 2003; Heu et al. 2007; Muniappan et al. 2008). Biologi P. marginatus mengalami metamorfosis bertahap (paurometabola), yaitu melalui fase telur, nimfa, lalu imago. Telur P. marginatus berwarna kuning kehijauan, berada di dalam kantung telur (ovisac), dan keseluruhan telur ditutupi oleh lapisan lilin berwarna putih (Miller et al. 1999). Kantung telur berkembang di bawah tubuh imago betina dan panjangnya terus berkembang (biasanya dalam waktu 2 minggu) hingga mencapai 3-4 kali panjang tubuhnya dan akan menetas dalam waktu sekitar 10 hari (Walker et al. 2003). Setelah telur menetas, instar pertama (crawler) yang merupakan fase paling aktif bergerak langsung aktif mencari makan. Pada fase ini, jenis kelamin P. marginatus belum dapat dibedakan dan berukuran sangat kecil yaitu panjang sekitar 0.4 mm dan lebar 7 sekitar 0.2 mm. Setelah sekitar 4 hari, crawler berganti kulit dan disebut nimfa instar II. Pada fase ini, jenis kelamin P. marginatus sudah dapat dibedakan. Nimfa instar II betina berwarna kuning dengan panjang tubuh sekitar 0.7 mm dan lebar sekitar 0.4 mm, sedangkan yang jantan biasanya berwarna merah muda dengan panjang sekitar 0.6 mm dan lebar sekitar 0.3 mm. Lama stadium rata-rata nimfa betina instar II betina dan jantan masing-masing 3.74 dan 4.12 hari. Pada fase nimfa instar III, ukuran tubuh betina lebih besar dibandingkan dengan jantan, tubuh nimfa betina masih berwarna kuning. Fase ini merupakan stadium nimfa paling akhir sebelum menjadi imago dengan lama stadium rata-rata 4 hari. Sementara itu, fase nimfa instar III pada individu jantan merupakan fase prapupa dan setelah 2.25 hari berkembang menjadi instar IV atau disebut dengan pupa. Lama stadium pupa adalah 4.86 hari (Friamsa 2009). Imago betina berwarna kuning dengan lapisan lilin berwarna putih pada permukaan tubuhnya dan berukuran panjang kira-kira 2.2 mm dan lebar 1.4 mm. Di sekitar tepi tubuh imago betina bagian posterior terdapat sejumlah filamen pendek berlilin dengan panjang kurang dari ¼ kali panjang tubuhnya, tidak memiliki sayap dan bergerak dengan cara merayap atau terbawa oleh tiupan angin. Imago betina meletakkan telur sebanyak 100 sampai 600 butir telur (Miller & Miller 2002). Imago betina memikat imago jantan dengan feromon seks. Karakter penting yang membedakan imago betina P. marginatus dari spesies Paracoccus lainnya adalah terdapatnya saluran oral-rim pada bagian dorsal yang hanya ada pada pinggiran tubuh dan tidak adanya pori-pori pada tibia belakang (Walker et al. 2003). Sementara itu, imago jantan memiliki sayap dan dapat terbang untuk perpindahannya. Imago jantan berwarna merah muda, khususnya pada saat masa prapupa dan pupa. Ukuran tubuh imago jantan lebih kecil dan lebih ramping daripada imago betina, yaitu panjang kira-kira 1.0 mm, bentuk tubuh oval memanjang dengan bagian terlebar pada bagian toraks 0.3 mm. Imago jantan memiliki antena dengan 10 ruas, aedeagus terlihat jelas, sejumlah pori lateral, toraks dan kepala mengeras, dan sayap berkembang dengan baik. Karakter yang membedakan imago jantan dengan spesies Paracoccus lainnya adalah adanya seta yang basar dan kuat pada antena sedangkan pada tungkai tidak 8 terdapat seta besar (Miller & Miller 2002). Pada kondisi rumah kaca, reproduksi P. marginatus berlangsung sepanjang tahun (Walker et al. 2003). Pengendalian Di Hawaii, terdapat musuh alami endemik yang kompleks, seperti predator Cryptolaemus montrouzieri Mulsant, Curinus coeruleus Mulsant, Hyperaspis silvestrii Weise, Symnobius bilucernarius (Mulsant), dan Scymnus sp. (Coleoptera: Coccinellidae), serta Chrysopa sp. (Neuroptera: Chrysopidae); parasitoid Acerophagous papayae Noyes & Schauff, Anagyrus loecki Noyes & Menezes, dan Pseudleptomastix mexicana Noyes & Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae); serta cendawan Neozygytes fumosa sehingga P. marginatus tidak berstatus sebagai hama yang serius (Meyerdirk et al. 2004; Heu et al. 2007). Di Amerika Serikat, belum ada insektisida kimia spesifik untuk mengendalikan P. marginatus namun beberapa insektisida yang dapat menjadi alternatif adalah insektisida berbahan aktif asefat, karbaril, klorpirifos, diazinon, dimetoat, malation, dan minyak mineral putih. Dosis aplikasi insektisida kimia tersebut sama seperti dosis aplikasi untuk jenis kutu putih lainnya. Akan tetapi untuk mengoptimumkan potensi dan melestarikan alam, pada tahun 1999 Departemen Pertanian Amerika Serikat mengimplementasikan pengendalian secara biologi dengan menggunakan empat spesies parasitoid dari famili Encyrtidae, yaitu A. loecky, A. californicus Compere, A. papayae, dan Pseudaphycus sp. Spesimen parasitoid tersebut kemudian diintroduksi ke Puerto Rico untuk dikembangbiakan dan diteliti di Puerto Rico dan Republik Dominika, kemudian parasitod tersebut diintroduksikan ke Florida pada Oktober 2000. Pada tahun 2002, parasitoid tersebut diintroduksi ke Guam dan dapat menekan populasi P. marginatus hingga 99% serta dapat beradaptasi dengan baik (Meyerdirk et al. 2004). Curinus coeruleus Persebaran Kumbang predator Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) merupakan salah satu musuh alami yang berasal dari Kolombia dan Trinidad. Pada tahun 1922, serangga ini didatangkan dari Meksiko ke Hawaii untuk 9 mengendalikan hama kutu putih pada kelapa, Nipaecoccus nipae (Oka et al. 1987). Menurut Nakahara et al. (1987), ternyata serangga ini juga dapat berasosiasi dan dapat menurunkan populasi hama kutu loncat Heteropsylla cubana di Hawaii. Pada tahun 1986, serangga ini diintroduksikan ke Spanyol, Indonesia, Filipina, dan Thailand untuk mengendalikan hama kutu loncat H. cubana (MacDicken 1990). Kumbang predator tersebut pertama kali diintroduksi dari Hawaii ke Indonesia pada Agustus 1986 untuk mengendalikan H. cubana. Pada November 1986 predator tesebut disebarkan ke 50 tempat di Indonesia dan pada tahun 1987 dapat menetap baik (Oka 1990). Biologi C. coeruleus mengalami metamofosis sempurna (holometabola), yaitu melalui fase telur, larva, pupa, dan imago. Telur C. coeruleus berbentuk lonjong berwarna putih kusam (krem) terang, semakin lama semakin gelap. Lama stadium telur C. coeruleus berlangsung selama 7 hari. Fase larva melewati empat instar, yaitu instar I sampai IV yang dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuhnya. Lama stadium rata-rata instar I sampai IV berturut-turut 3.11, 2.89, 3.11, dan 6.41 hari, dengan lama perkembangan larva rata-rata 15.53 hari. Fase pupa C. coeruleus dibagi menjadi dua tahap, yaitu prapupa yang berlangsung selama 2.18 hari dan tahap pupa yang berlangsung selama 6.70 hari. Tahap prapupa adalah tahap saat larva dalam kondisi telah diam, menempelkan bagian ujung abdomennya dan melengkungkan badannya, sehingga berbentuk agak membulat, sedangkan tahap pupa adalah tahap saat prapupa akan membuka bagian punggungnya. Tahap pupa berakhir bila kulit pupa terbuka dan keluar serangga dewasa dengan elitra berwarna putih dan dalam waktu 2-3 jam warna elitra tersebut menjadi biru pekat mengkilat (Mahrub & Hartanti 1987; Oka et al. 1987; Rauf et al. 1990). Imago C. coeruleus berbentuk oval dengan bagian dorsal (elitra) cembung dan bagian ventral datar. Elitra imago C. coeruleus yang baru keluar dari pupa berwarna biru pekat mengkilat dan lama kelamaan semakin buram. Perbedaan jenis kelamin imago kumbang predator ini dapat dibedakan melalui bentuk mulutnya. Dalam posisi telentang, bentuk mulut imago betina terlihat lebih 10 menonjol dan berwarna gelap kehitaman sedangkan bentuk mulut imago jantan hampir rata mengikuti garis tepi elitra pada tubuhnya dan berwarna lebih terang (Sudarmadji 1987). Rata-rata lama hidup imago betina 73.75 hari sedangkan imago jantan 71.25 hari. Imago betina mengalami masa praoviposisi yang berlangsung selama rata-rata 14.75 hari dan pascaoviposisi (masa tidak bertelur) yang berlangsung selama rata-rata 11.00 hari. Jumlah telur rata-rata yang diletakkan per betina per hari adalah 13.68 butir. Selama hidupnya rata-rata per betina meletakkan 454 butir telur (Mahrub & Hartanti 1987; Oka et al. 1987; Rauf et al. 1990). C. coeruleus memiliki kemampuan memangsa cukup tinggi. Serangga ini dapat dimanfaatkan sebagai musuh alami berbagai jenis hama, di antaranya Nipaecoccus nipae, Paracoccus marginatus, Heteropsylla cubana, Diaphorina citri (Hodek & HonÄ›k 2009). Bahkan berdasarkan penelitian oleh Yang (2006), C. coeruleus dapat memangsa telur dan jentik nyamuk Aedes albopictus dengan baik. Tephrosia vogelii Deskripsi Tanaman Tephrosia vogelii J.D. Hooker (kacang babi, Leguminosae) merupakan tanaman endemik Afrika Barat, yang kemudian dapat ditemukan di India, Asia, dan daerah tropik lainnya, termasuk di Indonesia (Gaskin et al. 1972; Heyne 1987). Tumbuhan tersebut berbentuk perdu atau pohon kecil, tumbuh tegak dengan tinggi 3-5 m, dan bercabang banyak. Tumbuhan yang berumur kurang dari 1 tahun tersebut dapat tumbuh pada ketinggian 300-1200 m dpl (Heyne 1987). T. vogelii berakar tunggang dan ada yang memiliki bunga berwarna putih dan ada yang ungu (Gaskin et al. 1972; Kardinan 2002). T. vogelii memiliki biji kecil, keras, berwarna hitam, dan terbungkus polong dengan rambut lembut kecokelatan seperti rambut babi. T. vogelii termasuk tanaman menyerbuk sendiri dan dapat diperbanyak dengan penanaman biji (Gaskin et al. 1972). 11 Sifat Insektisida T. vogelii dapat digunakan sebagai insektisida, moluskida, rodentisida, dan racun ikan (Morallo-Rejesus 1986; Minja et al. 2002). T. vogelii memiliki aktivitas insektisida terhadap berbagai jenis hama Lepidoptera dan hama kumbang gudang (Grainge & Ahmed 1988; Prakash & Rao 1997). Koona & Dorn (2005) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii dapat menyebabkan kematian dan bersifat sebagai penghambat peneluran terhadap kumbang Acanthoscelides obtectus Say, Callosobruchus maculatus (F.), dan C. chinensis (L.) (Coleoptera: Bruchidae). Baru-baru ini, ekstrak daun T. vogelii juga telah diteliti dan memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) (Wulan 2008; Panggraito 2011) dan larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) (Febrianni 2011). Abizar dan Prijono (2010), melaporkan bahwa ekstrak daun dan biji T. vogelii berpotensi sebagai insektisida nabati; ekstrak daun T. vogelii berbunga ungu lebih aktif terhadap C. pavonana dibandingkan dengan ekstrak daun T. vogelii berbunga putih maupun ekstrak biji T. vogelii berbunga ungu dan putih. Sartiami et al. (2009) melaporkan bahwa perlakuan air sabun yang diikuti ekstrak T. vogelii mampu menekan populasi P. marginatus sebesar 35%. Ekstrak daun T. vogelii bersifat sebagai racun perut yang kuat dengan efek kontak yang lebih terbatas (Wulan 2008). Senyawa aktif insektisida yang terkandung dalam T. vogelii adalah golongan rotenoid, seperti rotenon, tefrosin, dan deguelin (Delfel et al. 1970; Lambert et al. 1993). Rotenon memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga, yaitu sebagai racun perut dan racun kontak (Prakash & Rao 1997; Djojosumarto 2008). Rotenon bekerja dengan menghambat proses respirasi sel di dalam mitokondria (Hollingworth 2001). Annona squamosa Deskripsi Tanaman Annona squamosa (L.) (srikaya, Annonaceae) merupakan tanaman perdu yang tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 2-3 m dan dapat tumbuh pada ketinggian 1-800 m dpl (Heyne 1987). Srikaya ditanam terutama untuk diambil 12 buahnya yang dapat langsung dikonsumsi. A. squamosa memiliki daun tunggal, kaku, bertangkai, bunga tunggal, buah majemuk, dan biji berwarna hitam mengkilat (Kardinan 2002). Buah majemuk berbentuk bulat dengan ukuran jari tengah 5-10 cm, kulit luar berlilin. Buah masak memiliki kulit luar berwarna hijau kebiru-biruan, biji dari buah masak berwarna hitam mengkilat dan daging buah berwarna putih (van Steenis et al. 1975). Pembiakan A. squamosa secara generatif dilakukan dengan penanaman biji. Sifat Insektisida Sediaan biji A. squamosa memiliki aktivitas insektisida terhadap berbagai jenis serangga pemakan daun dan pengisap cairan tanaman (Grainge & Ahmed 1988; Prakash & Rao 1997). Prijono et al. (1997) melaporkan bahwa ekstrak biji srikaya memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dan lebih aktif daripada ekstrak akar tuba, Derris elliptica. Berdasarkan penelitian Rejeki (1996), ekstrak biji A. squamosa memiliki aktivitas insektisida terhadap kumbang kacang, Callosobruchus maculatus (F.) (Colleoptera: Bruchidae). Pada penelitian lain, Rahmawati (2011) melaporkan bahwa ekstrak biji A. squmosa aktif terhadap hama gudang Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae) dengan LC50 2.8% dan Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebrionidae) dengan LC50 1.84%. Biji A. squamosa mengandung senyawa asetogenin, terutama skuamosin dan asimisin yang bersifat sebagai racun perut dan racun kontak yang kuat terhadap beberapa jenis serangga (Ohsawa et al. 1994; Zafra-Polo et al. 1996). Senyawa tersebut merupakan racun respirasi sel yang dapat menghambat transfer elektron pada proses respirasi sel sehingga serangga kekurangan energi dan akhirnya mengakibatkan kematian serangga (Zafra-Polo et al. 1996). Cinnamomum multiforum Deskripsi Tanaman Cinnamomum multiforum Wight. (Lauraceae) merupakan pohon dengan tinggi 10-15 m. Beberapa spesies Cinnamomum lain merupakan tumbuhan yang berasal dari India, Sri Langka, Bangladesh, dan Nepal, sedangkan C. multiforum 13 merupakan spesies yang dapat ditemukan di Asia Selatan dan Tenggara. Di Indonesia, tumbuhan dari genus ini biasa disebut dengan kayu manis. Pembiakan secara generatif dapat dilakukan dengan penanaman biji yang diperoleh dari pohon induk yang memiliki umur minimal 10 tahun dan telah masak sempurna (Towaha & Indriati 2008). Sifat Insektisida Minyak atsiri daun C. multiforum telah dilaporkan memiliki aktivitas insektisida terhadap larva C. pavonana (Hertika 2011) dan Plutella xylostella (Febrianni 2011) dengan efek kerja yang cepat. Selain itu, spesies lain seperti C. camphora memiliki aktivitas insektisida terhadap beberapa hama gudang seperti Sitophilus oryzae dan Bruchus rugimanus (Liu et al. 2005). Kandungan benzil benzoat dan benzilsalisilat pada minyak atsiri daun Cinnamomum spp. dari Malaysia diketahui memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva dan imago nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Jantan et al. 2005). Thantsin et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak eter kulit batang C. multiflorum mengandung senyawa sinamaldehida 29.6%, eugenol 2.95%, dan asam palmitat 4.18%, sedangkan menurut penelitian Hertika (2011) minyak atsiri daun C. multiflorum mengandung metileugenol (area puncak GC 49,4%) sebagai komponen utama.