BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Nepenthes spp. Kantung semar atau dalam nama latinnya Nepenthes spp. pertama kali dikenalkan oleh J.P Breyne pada tahun 1689 di Indonesia, sebutan untuk tumbuhan ini berbeda antara daerah satu dengan yang lain. Masyarakat di Riau mengenal tanaman ini dengan sebutan periuk monyet, di Jambi disebut dengan kantong beruk, di Bangka disebut dengan ketakung, sedangkan nama sorok raja mantri disematkan oleh masyarakat di Jawa Barat pada tanaman unik ini, sementara di Kalimantan setiap suku memiliki istilah sendiri untuk menyebut Nepenthes spp. Suku Dayak Katingan menyebutnya sebagai ketupat napu, suku Dayak Bakumpai dengan telep ujung, sedangkan suku Dayak Tunjung menyebutnya dengan selo bengongong yang artinya sarang serangga (Hernawati, 2001). Saat ini tercatat 82 jenis Nepenthes spp. yang sudah dipublikasikan. Tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai tumbuhan karnivora karena memangsa serangga. Kemampuannya itu disebabkan oleh adanya organ berbentuk kantong yang menjulur dari ujung daunnya. Organ itu disebut pitcher atau kantong. Kemampuannya yang unik dan asalnya yang dari negara tropis itu menjadikan Nepenthes spp. sebagai tanaman hias pilihan yang eksotis di Jepang, Eropa, Amerika dan Australia. Namun, di Indonesia justru tak banyak yang mengenal dan memanfaatkannya. Selain kemampuannya dalam menjebak serangga, keunikan lain dari tanaman ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya. Secara keseluruhan, tumbuhan ini memiliki lima bentuk kantong, yaitu bentuk tempayan, bulat telur atau oval, silinder, corong, dan pinggang (Witarto, 2006). Nepenthes spp. dikenal sebagai tumbuhan yang unik dan merupakan bentuk tumbuhan berbunga yang tidak umum dijumpai. Tumbuhan tersebut sebenarnya tidak memiliki bunga yang memikat, tetapi variasi warna dan bentuk dari kantung-kantung yang dimilikinya, menjadikan Nepenthes spp. memiliki keindahan yang khas. Kantung Universitas Sumatera Utara bernektar tersebut secara ekologis berfungsi sebagai perangkap serangga, beberapa reptil dan hewan kecil lainnya (Kurniawaty, 2006). Hewan yang terperangkap didalam kantung Nepenthes spp. kemudian diproses secara kimiawi oleh mikroorganisme dekomposer yang mendiami cairan di dalam kantung. Proses dekomposisi tersebut menyediakan beberapa nutrisi penting yang mungkin tidak tersedia atau tidak diperoleh secara optimal oleh Nepenthes spp. dari lingkungannya (Frazier, 2000). 2.2 Habitat Nepenthes spp. Nepenthes spp. hidup di tempat-tempat terbuka atau agak terlindung di habitat yang miskin unsur hara dan memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi. Nepenthes spp. bisa hidup di hutan hujan tropik dataran rendah, hutan pegunungan, hutan gambut, hutan kerangas, gunung kapur, dan padang savana. Ketinggian tempat tumbuhnya, Nepenthes spp. dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : Nepenthes spp. dataran rendah, menengah, dan dataran tinggi. Karakter dan sifat Nepenthes spp. berbeda pada tiap habitat. Pada habitat yang cukup ekstrim seperti di hutan kerangas yang suhunya bisa mencapai 30º C pada siang hari, Nepenthes spp. beradaptasi dengan daun yang tebal untuk menekan penguapan air dari daun. Sementara Nepenthes spp. di daerah savana umumnya hidup terestrial, tumbuh tegak dan memiliki panjang batang kurang dari 2 m (Azwar, 2002). 2.3 Klasifikasi Nepenthes spp. Nepenthes spp. termasuk kedalam family Nepenthaceae yang monogenerik, yaitu family yang hanya memiliki satu genus (Keng, 1969). Family tersebut merupakan satu dari tiga family Tumbuhan berbunga yang ketiga-tiganya dikenal sebagai tumbuhan pemangsa (Benson, 1957). Morfologi kantung Nepenthes spp. adalah kunci utama dalam determinasi jenis-jenis tumbuhan tersebut. Namun untuk beberapa jenis, karakteristik akar dan daun juga sangat penting untuk diperhatikan dalam menentukan jenis Nepenthes spp. (Danser, 1928 dalam Lauffenburger & Walker, 2000). Universitas Sumatera Utara Menurut Qronquist (1981) dalam Jones & Luchsinger (1989), kalasifikasi lengkap Nepenthes spp. berdasarkan system klasifikasi Tumbuhan berbunga yang disusun oleh Qronquist adalah sebagai berikut: Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subclas : Dilleniidae Ordo : Nepenthales Family : Nepenthaceae Genus : Nepenthes Jenis : Nepenthes spp. 2.4 Deskripsi Umum Nepenthes spp. Tumbuhan dewasa Nepenthes spp. tumbuh memanjat pada tumbuhan lain. Anakan dan tumbuhan yang belum dewasa daunnya tersusun dalam bentuk roset akar yang dilengkapi dengan tendril pada setiap ujungnya. Sebahagian besar daun dalam roset membentuk kantung yang membulat dan lonjong dengan dua sayap yang terletak didepan tabung. Setelah dua sampai tiga tahun pertumbuhannya relativ lambat, tumbuhan mulai masuk pada tahap memanjat. Internodus batang memiliki jarak yang lebih panjang dari pada internodus pada roset (Clarke, 2001). a. Akar Menurut Clarke (2001) akar Nepenthes spp. merupakan akar tunggang, sebagaimana tanaman dikotil lainnya. Perakaran tumbuh dari pangkal batang, memanjang, dengan akar-akar sekunder di sekitarnya. Akar yang sehat berwarna hitam dan tampak berisi (gemuk), tetapi perakaran Nepenthes spp. rata-rata kurus dan sedikit, bahkan hanya terbenam sampai kedalaman 10 cm dari permukaan tanah. Hal itu wajar karena Tumbuhan Nepenthes spp. umumnya tumbuh di lahan yang miskin unsur hara sehingga diduga fungsi utama akar bukan untuk menyerap unsur hara. Universitas Sumatera Utara b. Batang Batang Nepenthes spp. termasuk batang memanjat (Scandens), yaitu batang nya tumbuh ke atas dengan menggunakan penunjang. Penunjang dapat berupa benda mati atau tumbuhan lain. Pada saat memanjat batang menggunakan alat khusus untuk berpegangan, berupa sulur daun. Bentuk batang Nepenthes spp. bervariasi ada yang segitiga, segiempat, membulat, bersudut, dan lain-lain, tergantung jenis nya. Diameter batang pun sangat kecil yaitu antara 3-30 mm dengan warna bervariasi yaitu hijau, merah, ungu tua (Clarke, 2001). c. Daun dan kantung Bentuk daun Nepenthes spp. rata-rata lanset (Ovatus) dan lonjong (Oblongus). Permukaan daun licin dan tidak berbulu. Tepi daun bervariasi, ada yang rata, bergelombang dan bergerigi. Dari ujung daun muncul kantung dengan bermacammacam bentuk tergantung jenisnya. Menurut Mansur (2006), kantung Nepenthes spp. dibedakan menjadi tiga yaitu kantung roset, kantung bawah dan kantung atas. Kantung roset keluar dari ujung daun roset. Kantung atas keluar dari ujung daun bagian atas, berbentuk corong, pinggang atau silinder, dan tidak memiliki sayap. Bentuk tersebut memungkinkan serangga yang sedang terbang pun dapat terperangkap oleh kantung. Kantung bawah muncul dari ujung daun bagian bawah dan biasanya menyentuh tanah. Kantung bawah memiliki sayap yang berfungsi sebagai tempat berpijak bagi serangga hingga mencapai mulut kantung. Kantung merupakan alat pencernaan tanaman. Di dalam kantung, serangga akan terbenam dalam cairan kantung. Cairan tersebut mengandung ion-ion positif sehingga bersifat asam, juga mengandung enzim proteolase, dan enzim kitinase (Purwanto, 2007). Fungsi taji pada kantung Nepenthes spp. belum diketahui secara pasti. Keberadaan bentuk dan banyaknya gerigi pada taji sering menjadi kunci penanda jenis. Hanya satu jenis dari tumbuhan ini yang tidak memiliki spur, yaitu N. Ephippiata. Pada N. lowii struktur ini hampir hilang karena mengalami rudimenter (Clarke, 2001). Adapun sketsa bentuk umum kantung Nepenthes spp. ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini: Universitas Sumatera Utara a b c g d e h f Keterangan : a. Kelenjar atas b. Penutup c. Ujung tambahan d. Sulur e. Bibir f. Sayap g. Taji h. Zona berlilin i. Zona Pencernaan i Gambar 1. Morfologi Kantung Nepenthes spp. Menurut Clarke (2001), Bagian yang terdapat dipermukaan bawah penutup tersebut sering disebut juga kepala (Boss) atau terbalik (Keel) dalam beberapa literature. Bagian ini merupakan daerah pembentukan dan konsentrasi nectar yang kadang bias membasahi keseluruhan bagian penutup. Nektar ini bisa selalu ada atau kadang tidak tergantung jenisnya. Lid atau operkulum merupakan penutup kantung yang menaungi material didalamnya dari curahan hujan atau incaran hewan pemakan bangkai seperti burung, tikus dan beberapa primate kecil, tetapi tidak selalu demikian. Contohnya pada kantung N. ampullaria Jack, N. dubia Danser, dan N. inermis Danser yang sering dijumpai dalam keadaan penuh dengan air karena penutupnya tidak berkembang sesuai dengan ukuran silindris kantung. Bentuk dan ukuran penutup merupakan karakter yang sangat perlu diperhatikan dalam membedakan dua atau lebih jenis yang cenderung memiliki bentuk dan warna kantung yang mirip. Bentuk dan ukuran penutup yang umumnya orbicular ini sangat penting fungsinya sebagai pelindung material yang ada didalam kantung (ICPS. 2003). Ujung tambahan (Filiform appendage) merupakan juluran sempit memanjang yang bergantungan di ujung penutup dan hanya dimiliki oleh beberapa jenis. Bentuknya yang khas tersebut penting dalam identifikasi. Bibir (Lip) dan gerigi pada bibir (Peristome) merupakan bagian yang paling menarik dari kantung Nepenthes spp. Universitas Sumatera Utara Bentuknya melingkar dan sering bergerigi, bervariasi dari ukuran yang sangat kecil dan tidak jelas seperti N. ampullaria dan N. gracilis hingga yang sangat lebar dan tampak dengan jelas seperti N. hamata dan N. edwarsiana. Gerigi pada bibir merupakan bagian yang licin namun menarik perhatian serangga karena selain warnanya yang mencolok, bagian ini bernektar berasal dari glandular crest yang berada tepat di atasnya (Purwanto, 2007). Zona berlilin (Waxy zone) berada dibagian kantung sebelah dalam. Warna antara sisi sebelah luar dan sisi sebelah dalam bisa sangat jauh berbeda. Contohnya pada N. rajah yang sisi luarnya berwarna kuning terang sedangkan pada sisi sebelah dalam berwarna merah keunguan. Perbedaan warna antara bagian luar dan dalam ini diduga untuk lebih menarik perhatian serangga. Pada beberapa jenis zona ini hampir tidak dapat ditentukan secara pasti, khususnya pada N. Ampullaria, N. dubia dan N. inermis. Lilin tersebut berfungsi untuk menghalau serangga yang ingin keluar dari dalam kantung. Hewan atau seranga yang terjebak jarang yang dapat keluar dari zona ini (Witarto, 2006). Menurut Clarke (2001), zona pencernaan (Degestive zone) merupakan daerah dekomposisi. Bagian tersebut mengandung cairan sarat mikroorganisme decomposer. Keadaan pH cairan tidak dapat ditentukan secara pasti untuk setiap jenisnya, karena sering berfariasi antara 2-7 tergantung musim dan keadaan lingkungannya. Sayap (Wing) dimiliki semua kantung Nepenthes spp. pada kantung anakan atau kantung rosetnya. Fungsi dari sayap ini tidak sepenuhnya dimengerti. Suatu percobaan dengan menghilangkan bagian ini dari kantung roset N. rafflesiana yang dilakukan oleh Moran (1993), tidak menunjukan perbedaan signifikan pada hasil penangkapan serangga dengan kantung roset yang masih memiliki sayap. Pada kantung atas, sayap tereduksi dan hilang. Sulur daun (Tendril) adalah bagian yang menghubungkan kantung dengan helaiaan daun. Panjangnya berbeda antara kedua jenis kantung. Kantung atas biasanya memiliki sulur daun yang lebih panjang dibandingkan dengan kantung roset (JGNC, 2000). Universitas Sumatera Utara Bentuk kantung Nepenthes spp. pada umumnya menyerupai kendi, piala, terompet ataupun periuk. Setiap jenis Nepenthes spp. setidaknya memiliki dua bentuk kantung, karena antara kantung bawah (Lower pitcher) dan kantung atas (Upper pitcher) menunjukkan bentuk yang jauh berbeda (Laufferenburger & Walker, 2000). Menurut Mansur (2006), adapun sketsa beberapa bentuk umum kantung Nepenthes spp. ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini: Gambar 2. Sketsa Beberapa Bentuk Kantung Nepenthes spp. Keterangan Gambar (A)Bentuk kendi (Ventricose). A-1 kendi berleher panjang seperti pada kantung atas (upper pitcher) N. diatas Jebb & Cheek., A-2 kendi gentong, bentuk umum kantung bawah (lower pitcher), A-3 kendi bermulut lebar sepetri N. clipeata Danser., A-4 kendi berperut besar , bentuk kantung pada Nepenthes spp.,(B) bentuk piala / gelas. B-1 bentuk cawan piala (strikingly infundibular) seperti pada N. dubia Denser. dan N. inermis Denser., B-2 bentuk gelas tambun (globose), khas pada N. ampullaria Jack., B-3 bentuk bola-tambun(urceolate) bermulut seperti pada N. aristolochiodes Jebb & Cheek., (C) bentuk terompet(infundibular). C-1 bentuk terompet panjang / langsing, bentuk khas pada N.spectabilis Danser., C-2 bentuk terompet pendek/tambun seperti pada N. rafflesiana Danser. dan N. rafflesiana Jack. Universitas Sumatera Utara 2.5 Pemanfaatan Nepenthes spp. Nepenthes spp. memang belum sepopuler tanaman hias lainnya seperti anggrek, dan aglaonema. Namun, saat ini kepopuleran Nepenthes spp. sebagai tanaman hias yang unik semakin meningkat seiring dengan minat masyarakat pecinta tanaman hias untuk menangkarkannya. Nama tanaman dari famili Nepenthaceae ini sudah terkenal hingga ke mancanegara. Bahkan di Negara-negara seperti Australia, Eropa, Amerika, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Sri Lanka budidaya tanaman ini sudah berkembang menjadi skala industri. Ironisnya, tanamanan pemakan serangga ini kebanyakan jenisnya berasal dari Indonesia. Selain berpotensi sebagai tanaman hias, Nepenthes spp. juga dapat digunakan sebagai obat tradisional (Hernawati & Akhriadi , 2006). Sementara itu, kandungan protein didalam kantongnya berpotensi untuk pengembangan bertani protein menggunakan tanaman endemik Indonesia (Witarto, 2006). Dalam penelitiannya baru-baru ini Witarto (2006), berhasil mengisolasi protein dalam cairan kantong atas dan kantong bawah dari Nepenthes gymnamphora dari Taman Nasional Gunung Halimun. Pemanfaatan Nepenthes spp. oleh masyarakat lokal beranekaragam. Contohnya: N. ampullaria di daerah Bangka digunakan untuk mengantikan rotan. Batangnya yang panjang dikupas kemudian dijemur untuk dapat digunakan. Didaerah tersebut jenis ini mendapatkan perlakuan yang sama dengan rotan. Selain itu, cairan yang terdapat di dalam kantung dapat digunakan sebagai obat batuk, selain campuran cairan kantung N. ampullaria dengan bunga kenanga dan garam juga dapat digunakan sebagai obat untuk mencuci mata (Heyne, 1987 dalam Akmalia, 1999) 2.6 Hibrid Alami Nepenthes spp. dan Penentuannya Frazier (2001) dalam Clarke (2001), mengemukakan bahwa Nepenthes spp. merupakan tumbuhan diocious, sehingga tidak diragukan lagi bahwa semua jenis Nepenthes spp. melakukan regenerasi generatif melalui penyerbukan silang (Cross-pollinating). Yang menarik, penyerbukan silang tersebut tidak hanya terjadi antar individu dalam satu jenis (allogamylintara-species), tetapi juga lintas jenis Universitas Sumatera Utara (hybridogamy). Clarke (1977) menambahkan, banyaknya jenis hybrid alami Nepenthes spp. yang telah membuktikan hal tersebut. Penyerbukan lintas jenis atau sering juga disebut dengan penyerbukan bastar, dapat terjadi dengan sendirinya di alam. Pembasteran belum tentu menghasilkan keturunan baru, oleh sebab itu hasil dari pembastaran tersebut sering kali dipakai sebagai pengukuran jauh dekatnya hubungan kekerabatan antara dua jenis tumbuhan yang dibastarkan. Selain itu tumbuhan baru hasil pembastaran belum tentu subur (Fertil), atau dengan kata lain tidak dapat menghasilkan biji (Tjitrosoepomo, 1985) Namun, Clarke (2000) mengungkapkan bahwa, semua jenis hibrid alami Nepenthes spp. yang diamati bersifat fertil, walaupun belum diketahui apakah tingkat fertilitas semua jenis hibrid alami tersebut sama atau berbeda dengan tetuanya. Ia melanjutkan bahwa, kebanyakan dari hibrid alami Nepenthes spp. ditentukan ataupun diduga sebagai jenis hibrit alami setelah hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis hibrid yang dimaksut memiliki ciri-ciri gabungan antara keduanya. Stace (1982) dalam Clarke (2001), menyatakan bahwa kemampuan suatu jenis hybrid alami meregenerasi dirinya sehingga membentuk populasi yang terpisah satu sama lain ( Independent) dari tetunya merupakan suatu mekanisme yang penting bagi proses spesiasi. Akan tetepi pada Nepenthes spp., menurut Clarke (2001), hibrid alami pada jenis ini sering sekali gagal bertahan dan mencapai jumlah populasi yang besar dan mandiri. 2.7 Daerah distribusi Nepenthes spp. Nepenthes spp. tumbuh dan tersebar mulai dari Australia bagian utara, Asia Tenggara, hingga Cina bagian Selatan. Indonesia sendiri memiliki Pulau Kalimantan dan Sumatera sebagai surga habitat tanaman ini. Dari 64 jenis yang hidup di Indonesia, 32 jenis diketahui terdapat di Borneo (Kalimantan, Serawak, Sabah, dan Brunei) sebagai pusat distribusi Nepenthes spp. Pulau Sumatera menempati urutan kedua dengan 29 jenis yang sudah berhasil diidentifikasi. Keragaman jenis Nepenthes spp. di pulau lainnya belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan hasil penelusuran spesimen herbarium di Herbarium Bogoriense, Bogor, ditemukan bahwa Universitas Sumatera Utara di Sulawesi minimum 10 jenis, Papua 9 jenis, Maluku 4 jenis, dan Jawa 2 jenis (Hernawati & Akhriadi 2006). Sampai dengan tahun 1997, telah teridentifikasi 86 jenis Nepenthes spp. (Rischer, 2001). Tumbuhan ini kebanyakan tersebar di regional Malaysia-Indonesia dan Filipina dengan daerah kelimpahan utama di Borneo 34 jenis (Core, 1962, Keng, 1969 & Rischer, 2001). Jenis-jenis yang sangat terisolasi dijumpai di Madagaskar, Kaledonia (Selandia Baru), Cina Utara, Cape York di Australia Utara dan dibeberapa tempat lainya di wilayah tropika (Handerson, 1959). Didaerah Sumatera Nepenthes dapt ditemukan di Jawa, Kalimantan (Borneo), Sulawesi, Papua dan beberapa pulau lainnya (Clarke, 1977). 2.8 Status Perlindungan Nepenthes spp. Status Nepenthes spp. termasuk tanaman yang dilindungi berdasarkan UndangUndang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Hal ini sejalan dengan regulasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dari 103 jenis Nepenthes spp. di dunia yang sudah dipublikasikan, 2 jenis: N. rajah dan N. khasiana masuk dalam kategori Appendix-1. Sisanya berada dalam kategori Appendix-2. Itu berarti segala bentuk kegiatan perdagangan sangat dibatasi (Azwar, 2002) 2.9 Strategi Konservasi Nepenthes spp. Nepenthes spp. di alam diprediksikan akan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya : kebakaran hutan, penebangan kayu secara eksploitatif, pengembangan pemukiman, pertanian, dan perkebunan serta eksploitasi yang berlebihan untuk tujuan komersil (Hernawati & Akhriadi 2006). Hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan sebagai salah satu habitat alami Nepenthes spp., hampir setiap tahun mengalami kebakaran. Konversi lahan hutan untuk pengembangan pemukiman, pertanian, dan perkebunan menjadi suatu hal Universitas Sumatera Utara yang harus dilakukan seiring dengan semakin bertambahnya populasi penduduk. Hal ini pulalah yang ditengarai sebagai penyebab makin berkurangnya habitat Nepenthes spp. di alam. Oleh sebab itu, diperlukan usaha konservasi, baik in-situ maupun ex-situ dengan cara budidaya dan pemuliaan. (Azwar, 2002). Gentry (1989) mengajukan suatu konsep konservasi regional yang menyeluruh pada suatu kawasan tempat jenis-jenis endemik bertahan, sehingga mengurangi resiko kerusakan habitat dan memperbesar peluang kelestarian jenis-jenis tersebut. Disisi lain, pengetehuan tentang daerah distribusi suatu jenis tumbuhan sangat berguna bagi konservasi untuk kepentingan taksonomi tumbuhan tersebut. Oleh sebab itu, inventarisasi dan pemetaan geografis Nepenthes spp. sebagai jenis yang tidak umum dan langka dipandang penting bagi tujuan konservasi Tumbuhan tersebut (Clarke, 1977). Pengawasan perdagangan Nepenthes spp. perlu dilakukan. Convention on International trade in Endangered Species of Wild fauna and Flota (CITES) Appendix II telah memasukkan seluruh jenis Nepenthes spp. sebagai tumbuhan yang perdagangannya perlu diawasi. Konservasi ini menghimbau kepada semua pihak untuk berupaya meningkatkan dukungan konservasi terhadap jenis-jenis langka tersebut (AGROLING, 2002). Universitas Sumatera Utara