7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Mangrove

advertisement
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Mangrove
2.1.1 Definisi Ekosistem Mangrove
Secara umum kata mangrove mempunyai dua arti, pertama mangrove
sebagai komunitas, yaitu komunitas tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap
kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua mangrove sebagai
individu spesies (Macnae 1968 in Supriharyono 2000). Macnae menggunakan
istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas atau hutan dan istilah
“mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering
disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau, namun menurut Giesen
(2006), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena
bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan mangrove yaitu jenis
Rhizophora spp.
Berdasarkan dua pendapat tersebut mengenai definisi dasar
mangrove, sehingga definisi ekosistem mangrove dapat didefinisikan sebagai
suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara
makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut
air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu
tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso 2004).
IUCN (1994) menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik
ekosistem mangrove tergantung pada faktor iklim, bentuk lahan pesisir, jarak
antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar dan jenis substart. Ekosistem
mangrove banyak ditemukan di pesisisr dengan kondisi teluk yang dangkal,
estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung dengan kondisi gelombang dan
arus tidak terlalu deras. Karakteristik habitat ekosistem mangrove pada umumnya
yaitu :

Tumbuh pada daerah intertidal dengan jenis substrat berlumpur, berlempung
dan berpasir.

Tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang
pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi
vegetasi hutan mangrove.
8

Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat yaitu dari aliran sungai
sehingga pada umumnya digenangi oleh air bersalinitas payau (0,5-17 ppt).

Terlindung dari gelombang dan arus pasang surut yang kuat.
Ekosistem Mangrove Bagian dari Ekosistem Lahan Basah
Definisi ekosistem lahan basah sendiri memiliki banyak definisi yang bisa
dibuat oleh pakar di bidang lahan basah untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan, bisa juga oleh para pembuat kebijakan untuk tujuan pengelolaan.
Hampir setiap negara maju bahkan memiliki definisi sendiri mengenai lahan
basah menyesuaikan sistim hukum dan kebiasaan pengelolaan yang berkembang
di negara masing-masing.
Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia tercantum dalam
Keppres mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar.
Definisi tersebut adalah:
“Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau
sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin;
termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter
pada waktu surut.” Lahan basah ”dapat pula mencakup daerah riparian, wilayah
pesisir di sekitar lahan basah, dan pulau-pulau atau laut yang kedalamannya
lebih dari enam meter pada surut terendah tetapi terletak di tengah lahan basah
(Keppres No 48 Tahun 1991).
Menurut definisi Konvensi Ramsar, salah satu bagian dari tipe ekosistem
lahan basah adalah lahan basah pesisir dan laut yang terdiri dari dua belas jenis
atau tipe ekosistem. Keduabelas jenis tersebut dapat ditemukan di Indonesia
antara lain dataran lumpur, gumuk pasir, rawa air asin, mangrove, padang lamun,
laguna dan terumbu karang.
Beberapa produk kebijakan dan kajian ilmiah
mengenai lahan basah pesisir memberi batasan yang lebih luas yaitu mencakup
semua jenis lahan basah yang terletak dipesisir, termasuk rawa gambut pesisir
(NWC 2004).
Sebagai salah satu tipe ekosistem lahan basah pesisir, ekosistem mangrove
memiliki keunikan tersendiri yaitu ditumbuhi vegetasi mangrove yang
keberadaannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan memiliki kemampuan
beradaptasi dari penggennagan air payau (salinitas > 0,5 ppt hingga 17 ppt)
hingga air laut atau salinitas > 17ppt (Nybakken 1992) .
9
Kaitan Mangrove dengan Ekosistem Lahan Basah Pesisir lainnya
Tipe ekosistem lahan basah yang pada umumnya dijumpai di daerah pesisir
adalah ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Namun tidak selalu
ketiga-tiganya dijumpai dalam satu wilayah, namun demikian apabila ketigatiganya dijumpai pada suatu wilayah, maka hubungan saling menguntungkan
antara ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut (Kaswadji 2001).
a. Sifat Fisik Air
Ekosistem mangrove sebagai ekosistem yang berada pada daerah peralihan
antara daratan dan lautan menerima air dari daratan melalui aliran sungan dan
pasokan air laut melalui proses pasang surut. Air dari sungai akan disaring oleh
sistem perakaran mangrove, lalu menuju ekosistem padang lamun. Daun-daun
pada tumbuhan lamun dapat memperlambat aliran air dan menyaring endapan
yang diangkutnya sehingga kondisi perairan pada ekosistem lamun air cenderung
lebih tenang dan bersih sehingga air yang akan mengalir ke ekosistem terumbu
karang relatif lebih jernih dibanding kedua ekosistem sebelumnya sehingga tidak
menganggu kehidupan terumbu karang. Sebaliknya, ekosistem terumbu karang
sebagai pelindung bagi ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove dari
hempasan gelombang dan arus yang datang dari laut lepas.
b. Migrasi Fauna
Migrasi fauna dapat disebabkan oleh meningkatnya predator pada suatu
ekosistem sehingga mencari tempat untuk berlindung, mencari tempat untuk
reproduksi dan persaingan dalam memperbutkan makanan maupun ruang. Ketika
ekosistem mangrove dalam keadaan rusak atau terganggu oleh aktivitas manusia
maupun oleh pengaruh alam, maka fauna yang hidupnya di sekitar mangrove akan
beralih ke ekositem lamun maupun terumbu karang untuk memperoleh
perlindungan.
Apabila dalam ekosistem lamun, terjadi persaingan yang ketat dalam
memperbutkan makanan, maka fauna-fauna disekitarnya akan bermigrasi ke
darerah mangrove untuk memperoleh makanan. Ketika terjadi kekeruhan di
ekosistem lamun oleh pengaruh sedimentasi, maka fauna-fauna yang hidup
disekitarnya khususnya ikan akan menghindari daerah tersebut dan menempati
ekosistem terumbu karang yang tidak kecerahan lebih baik.
10
c. Dampak Akibat Kegiatan Manusia
Penebangan hutan mangrove untuk pemukiman, pebukaan lahan pertanian
dan pertambakan dapat mengakibatkan abrasi sehingga mengeruhkan perairan.
Pengaruhnya ini akan berdampak pada ekosistem lamun dan terumbu karang yang
ada disekitarnya, proses fotosintesis akan yang berjalan akan terhambat. Selain
pemanfaatan mangrove yang merusak lingkungan, pemanfaatan lamun dengan
cara yang sama akan menyebabkan sedimentasi, mengingat bahwa lamun
mempunyai rhizoma yang saling melintang, berfungsi untuk mengikat sedimen di
dasar.
Pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan akan mengancam
ekosistem mangrove. Mengingat bahwa secara ekologis terumbu karang berfungsi
untuk menahan gelombang dan arus yang kuat, sehingga tanpa keberadaan
terumbu karang, akan mengancam ekosistem mangrove dari ombak dan arus yang
kuat. Ikan di daerah terumbu karang yang memakan suatu spesies ikan di sekitar
daerah lamun lama kelamaan akan habis apabila terus menerus dieksploitasi
secara besar-besaran oleh manusia sehingga akan terjadi ketidak seimbangan
dalam rantai makanan dan ekosistem (Lawrence 1998).
2.1.2 Daya Adaptasi Ekosistem Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap
lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1.
Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove
memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang
mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp, Xylocarpus sp, dan
Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe
penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp).
2.
Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
a. Memiliki sel-sel khusus di daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
b. Berdaun kuat, tebal dan mengandung banyak air guna mengatur
keseimbangan garam.
c. Daun memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
11
3.
Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut,
dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan
membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh
pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan
menahan sedimen.
2.1.3 Manfaat Ekonomis dan Ekologis Ekosistem Mangrove
Menurut Giesen (2006) dan Santoso (2004), hutan mangrove memiliki
fungsi dan manfaat sebagai berikut.
1. Habitat satwa langka
Ekosistem mangrove merupakan habitat jenis-jenis satwa seperti burung,
mamalia, reptil, dan serangga. Lebih dari 100 jenis burung hidup di ekosistem
mangrove. Pada umumnya burung migran memanfaatkan dataran lumpur (mud
flat) yang berbatasan dengan hutan bakau sebagai tempat mencari makan
(feeding ground).
2. Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi mangrove dapat berfungsi sebagai pelindung garis pantai dari abrasi
melaui kemampuan akar mangrove untuk memerangkap sedimen maupun
fungsi fisik pohon dan akar mangrove dalam meredam gelombang dari laut.
3. Pengendapan lumpur
Bentuk akar mangrove yang melebar dan rapat antar tiap cabang akar satu
sama lain, secara fisik dapat membantu proses pengendapan lumpur sehingga
dapat
mempercepat
perluasan
pantai
melalui
pengendapan
lumpur.
Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur
hara air karena bahan-bahan tersebut dapat terikat pada partikel lumpur.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik ekosistem mangrove cenderung memperlambat aliran air sehingga
memungkinkan terjadinya proses pengendapan padatan tersuspensi yang
mengandung bahan organik.
12
5. Transportasi
Transportasi air melalaui hutan mangrove pada beberapa daerah di Indonesia
memungkinkan para nelayan untuk mengakses sumberdaya alam di perairan.
Hutan mangrove juga di beberapa tempat sering dijadikan tempat untuk
menyimpan/ parkir perahu.
6. Sumber plasma nutfah
Sifat perairan ekosistem mangrove dengan tenang banyak dimanfaatkan oleh
biota akuatik pesisir sebagai tempat memijah, sehingga ekosistem mangrove
merupakan tempat penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang. Plasma
nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenisjenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar.
7. Rekreasi dan pariwisata
Ekosistem mangrove memiliki nilai estetika, baik alamnya maupun dari
kehidupan yang ada di dalamnya.
Ekosistem mangrove yang telah
dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi
Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa
Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah).
Kegiatan wisata ini di samping
memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket
masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di
sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha,
seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu
wisata.
8. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan
laboratorium lapang untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
9. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Ekosistem mangrove berperan dalam proses ekologi karena mangrove
dijadikan habitat, daerah pemijahan dan mencari makanan, dalam proses
geomorfologi, mangrove berperan dalam menghambat abrasi dan memeprcepat
laju sedimentasi.
Pada proses geologi, akar mangrove dapat membantu
menstabilkan substart.
13
10.
Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi dari tanaman mangrove mampu menjaga kelembaban dan
curah hujan kawasan tersebut sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
11.
Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon
organik dalam bentuk bahan vegetasi seperti kayu dan daun. Pada sebagian
besar ekosistem, bahan vegetasi yang sudah mati akan membusuk dan
melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai C02, namun tidak demikian
dengan mangrove, serasah dari hasil pembusukan akan tersimpan didalam
substrat tidak lepas ke atmosfir sehingga ekosistem mangrove lebih
berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
12.
Penyokong kelangsungan sumberdaya perikanan
Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah
partikel bahan organik atau detritus yang dihasilkan dari dekomposisi
serasah mangrove.
Fauna akuatik yang memanfaatkan detritus seperti
moluska, kepiting dan cacing selanjutnya akan dikonsumsi oleh konsumen
tingkat dua yang biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil.
Ikan-ikan kecil tersebut selanjutnya akan dikonsumsi konsumen tingkat tiga
dan seterusnya.
Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam
menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis komoditi penting
perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya.
13.
Penghasil keperluan rumah tangga
Kayu mangrove dimanfaatkan sebagai kayu bakar, arang, bahan bangunan,
bahan makanan dan obat-obatan tradisional.
14.
Penghasil keperluan industri
Mangrove dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas, tekstil, kosmetik,
penyamak kulit dan pewarna
14
2.2 Kawasan Konservasi dan Fungsinya
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN) 1994 mendefinisikan kawasan dilindungi (proected area) adalah suatu
areal, baik darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan
dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya dan dikelola melalui upayaupaya legal atau suatu upaya yang efektif. Terdapat lebih dari 140 kategori
kawasan konservasi yang dipakai di berbagai negara sehingga terdapat kesulitan
dalam mengkomunikasikannya dari satu negara ke negara lain. Berdasarkan hasil
proses diskusi yang panjang, sejak diperkenalkannya definisi Taman Nasional
(National Park) pada tahun 1969, IUCN berhasil mengelompokkan kawasan
konservasi menjadi enam kategori seperti disajikan pada Tabel 1 dan lebih lanjut,
pengkategorian tersebut dikaji kembali dalam konvensi IUCN pada tahun 1994.
Tabel 1 Kategori kawasan konservasi dan status perlindungan
Kategori
Status perlindungan
I.
Strict Nature Reserve/Wilderness Area,
Ia = strict nature reserva; Ib = wilderness area
National Park
Natural Monument
Habitat/Spesies Management Area
Protected Landscape/Seascape
Managed Resource Protected Area
II.
III.
IV.
V.
VI.
Sumber : (IUCN 1994)
Kategori I
Suatu area baik daratan maupun laut memiliki atau mewakili beberapa tipe
ekosistem, karakteristik geologi, fisiologis dan / atau keberadaan suatu spesies
utama yang dapat digunakan untuk penelitian dan / atau pemantauan lingkungan.
Karakteristik keaslian wilayah yang dimaksud tidak dimodifikasi atau dapat
dimodifikasi sedikit namun mempertahankan karakter keasliannya dan modifikasi
yang dilakukan tidak megaggu proses kehidupan alami di dalamnya.
Kategori II
Sebuah wilayah alami baik berupa daratan dan / atau laut yang ditetapkan
untuk (a) melindungi integritas ekologi satu atau lebih jenis ekosistem untuk
generasi
sekarang
dan
mendatang;
(b)
menghentikan
eksploitasi
atau
pengalihfungsian lahan, dan (c) memberikan fasilitasi akses bagi kegiatan
spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi yang berwawasan lingkungan.
15
Kategori III
Suatu daerah yang memiliki satu atau lebih komponen alam atau budaya
yang khas dan unik tertentu, memiliki nilai kelangkaan atau estetika kualitas atau
signifikansi budaya.
Kategori IV
Suatu area berupa daratan dan atau laut yang mmeperbolehkan adanya
intervensi pengelolaan aktif untuk tujuan pemeliharaan habitat dan / atau untuk
memenuhi persyaratan kondisi habitat bagi suatu spesies tertentu.
Kategori V
Suatu wilayah pesisir (pantai dan laut), di mana interaksi antara manusia dan
alam dari waktu ke waktu telah menghasilkan suatu keunikan secara estetika
tertentu mencakup nilai ekologi dan budaya dan juga terkadang suatu estetika yan
berkaitan dengan pemeliharaan keanekaragaman hayati.
Kategori VI
Suatu area yang mayoritas wilayahnya masih alami (tidak dimodifikasi)
untuk
memastikan
perlindungan
jangka
panjang
dan
pemeliharaan
keanekaragaman hayati dan pada saat yang bersamaan juga dapat menyediakan
produk-produk alam dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pengelompokan kategori kawasan berdasarkan tujuan pengelolaan masing-masing
kawasan bisa dijelaskan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Kategori kawasan konservasi berdasarkan tujuan pengelolaan
Tujuan Pengelolaan
Penelitian ilmiah
Perlindungan satwa liar
Pemeliharaan keanekaragaman spesies dan genetik
Pemeliharaan jasa lingkungan
Perlindungan sumberdaya alam spesifik dan perkembangan
budaya
Wisata dan rekreasi
Pendidikan
Kelestarian sumberdaya alam dalam sistem alami
Memelihara sifat tradisional
Keterangan:
1 = tujuan primer
2 = tujuan sekunder
3 = berpotensi menjadi sebuah tujuan dan
- = tidak relevan
Ia
1
2
1
2
-
Kategori Kawasan
Ib II III IV V
3
2 2
2
2
1
2 3
3
2
1 1
1
2
1
1 1
2
2 1
3
1
VI
3
2
1
1
3
-
-
3
3
1
2
-
1
2
-
3
2
2
-
1
2
2
1
16
Istilah ”kawasan konservasi” yang digunakan dalam tulisan ini merujuk
pada “kawasan pelestarian alam” yang tercantum dalam Undang-undang No 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan
Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan Undangundang tersebut dapat dibuat batasan bahwa kawasan konservasi adalah kawasan
yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memelihara proses alami antara unsur
hayati dan non hayati yang merupakan sistem penyangga kehidupan.
Kawasan konservasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) kawasan
pelestarian alam dan (2) kawasan suaka alam. Secara detail pembagian tersebut
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 bisa dijelaskan sebagai
berikut.
1.
Kawasan Suaka Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai
wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ada dua macam
yaitu (1) Cagar Alam dan (2) Suaka Margasatwa yang biasanya lebih
ditujukan untuk perlindungan satwa.
2.
Kawasan Pelestarian Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu
yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kawasan
pelestarian alam ada tiga macam yaitu: (1) Taman Nasional; (2) Taman
Hutan Raya; dan (3) Taman Wisata Alam.
Ketentuan mengenai kawasan konservasi cukup detil dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tetapi beberapa peraturan perundangundangan lain membuat klasifikasi atau istilah yang berbeda.
Hal tersebut
misalnya terlihat dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 yang
menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan membaginya dalam 4 jenis yaitu: (1)
Kawasan
yang
memberikan
perlindungan
di
bawahnya;
(2)
Kawasan
perlindungan setempat; (3) Kawasan rawan bencana alam; dan (4) Kawasan suaka
alam dan cagar budaya. Undang-Undang No 41 tahun 1999 menggunakan istilah
17
”kawasan hutan konservasi” yang dibagi dalam tiga jenis kawasan yaitu: hutan
suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undang-Undang No 24
Tahun 1994 mengenai Penataan Ruang membagi tiga jenis kawasan yaitu (1)
Kawasan Lindung; (2) Kawasan Budidaya; dan (3) Kawasan dengan Peruntukan
Khusus.
Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut terkadang menjadi kendala
tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen
yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda.
Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam
beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat
program dapat terjadi kompromi.
Tujuan pengelolaan kawasan konservasi diturunkan dari kriteria fungsi
kawasan yang terdapat dalam Undang-Undang No 5. Tahun 1990 yaitu sebagai
pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan
pemanfaatan secara lestari.
Tujuan pengelolaan kawasan konservasi tersebut
adalah:
1. Terwujudnya kegiatan
pengelolaan kawasan konservasi
dan potensi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan kelestarian.
2. Terjaganya fungsi kawasan konservasi yang optimal bagi kemakmuran
masyarakat di dalam dan di sekitarnya,
3. Terkendalinya keseimbangan populasi flora dan fauna hidupan liar dan prosesproses alami di dalam maupun di luar kawasan konservasi.
4. Terkendalinya pemanfaatan flora dan fauna hidupan liar, jasa wisata alam dan
lingkungan
secara
bijaksana
dan
berkelanjutan
untuk
kepentingan
pembangunan dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
5. Terwujudnya pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan
konservasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem
yang terdapat di dalam kawasan konservasi.
18
Selama sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan besar-besaran dalam
paradigma pengelolaan sumberdaya alam.
Hal ini antara lain dipicu oleh
munculnya issu pengelolaan yang baru maupun penemuan-penemuan ilmiah
berkaitan dengan sifat biosfisik seperti perubahan iklim.
Perubahan tersebut
terjadi di semua tingkat pengelolaan, internasional, regional, nasional, dan daerah
(Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah 2004).
Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut menjadi kendala tersendiri
dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat
dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa
upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level
pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat
terjadi kompromi.
2.3 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam
Konsep valuasi ekonomi mulai muncul pada dekade tujuh puluhan yang
diinisiasi oleh kalangan economic environmentalist dengan mengembangkan suatu
kerangka fikir dalam menilai sumberdaya alam dan lingkungan secara holistik.
Kerangka fikir tersebut dimaksudkan untuk melestarikan sumberdaya alam dan
lingkungan agar tetap tersedia dan bermanfaat bagi generasi sekarang dan
generasi mendatang atau dikenal dengan istilah sustainable development concept
(Adrianto 2006).
Konsep nilai (value) adalah harga yang diberikan seseorang terhadap
sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Ukuran harga ditentukan oleh
waktu, barang atau uang yang dikorbankan sesorang untuk dan atau menggunakan
barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah kegiatan yang
berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai
barang dan jasa. Kajian valuasi ekonomi lingkungan membahas masalah nilai
lingkungan (valuating the environment) atau harga (pricing the environment)
(Fauzi 2004).
19
Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai
ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut
pandang masyarakat. Menurut Thampapillai in Alfian (2004) tujuan utama dari
valuasi ekonomi barang-banrang dan jasa lingungan (environmental goods and
services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai komponen integral
dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi ekonomi lingkungan hidup
harus merupakan suatu bagian integral dan prioritas dalam mendeterminasi
keseimbangan pembangunan dan konservasi
Menurut Fauzi (2004) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya
untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value)
maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya
merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik
penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang
diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain
digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam
dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan
penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan itu sendiri. Tiga ciri sumberdaya yaitu:
1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah
mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan,maka
kecenderungannya akan musnah.
2. Adanya ketidakpastian, misalnya ekosistem mangrove rusak atau hilang. Akan
ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut
mengalami kepunahan.
3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya
akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya.
Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang
komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang
tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam.
Barton (1994) menyatakan bahwa untuk mengukur nilai sumberdaya maka
20
digunakan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau
pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use values.
Konsep use value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual
maupun konsumsi potensial dari suatu sumberdaya.
Lebih lanjut Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai
langsung (direct use value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah
nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai
pilihan (option value). Sementara nilai non use value meliputi nilai keberadaan
existence values dan nilai warisan (bequest values) jika nilai-nilai tersebut
dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values).
Nilai guna langsung (direct value) meliputi seluruh manfaat dari
sumberdaya yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi
dimana harga ditentukan oleh mekanisme pasar. nilai guna ini dibayar oleh orang
secara langsung mengunakan sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya.
Nilai guna tidak langsung (indirect value) terdiri dari manfaat - manfaat
fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi
kepada masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh ekosistem mangrove terus
menerus memberikan perlindungan kepada pantai, serta peranannya dalam
mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan terkait dengan fungsinya
sebagai spawning ground, nursery ground dan feeding ground.
Nilai pilihan (optional value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam
yang disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi
kepentingan yang akan datang. Contohnya spesies, habitat dan biodiversity.
Nilai keberadaan (existance values) adalah nilai yang diberikan
masyarakat kepada sumberdaya tertentu atas manfaat spiritual, estetika, dan
kultural. Nilai guna ini tidak berkaitan dengan penggunaan oleh manusia baik
untuk sekarang maupun masa datang namun semata-mata sebagai bentuk
kepedulian atas keberadaan sumberdaya sebagai obyek. Contohnya nilai yang
diberikan atas keberadaan karang penghalang di Taman Nasional Laut
Takabonerate.
21
Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang
hidup saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan
kepada generasi selanjutnya.Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa
datang, atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.
2.3.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove
Penilaian ekonom ekosistem mangrove sebagai pensuplai barang dan jasa di
wilayah pesisir penting dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat ancaman
konversi hutan mangrove untuk tujuan pemanfaatan lain. Penilaian bisa
dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai yang
mempunyai nilai pasar. Terdapat tiga kategori penilaian ekonomi yang digunakan
dalam memecahkan masalah-masalah kebijakan wilayah pesisir (Barbier 1993)
yakni :
1. Impact analysis, yaitu menilai tingkat kerugian ekonomi akibat kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh suatu kegiatan pada sistem pesisir.
Misalnya penilaian kerusakan lingkungan pesisir karena tumpahan minyak.
2. Partial valuation, yaitu menilai tingkat kerugian ekonomi akibat kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh suatu yaitu penilaian alternatif alokasi
sumberdaya yang menggunakan sistem atau sumberdaya pesisir. Misalnya
pemilihan alternatif pemanfaatan kolom air untuk budidaya periakanan
atau pariwisata bawah air.
3. Total valuation, yaitu penilaian ekonomi secara keseluruhan dari sistem
pesisir. Pendekatan ini dilakukan dalam menentukan nilai ekonomi total dari
ekosistem pesisir.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem mangrove merupakan
nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk mangrove sebagai
sumber makanan dan penyedia jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang
terdapat pada ekosistem mangrove dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi
ekonomi total (Total Economic Valuation/ TEV) sebagaimana disajikan dalam
bentuk diagram pada Gambar 2.
22
PKSPL-IPB in Santoso et al. (2004) mendapatkan nilai manfaat total
ekosistem hutan mangrove Total Economic Value (TEV), di Pulau Madura yang
sebesar Rp 49 trilyun untuk wilayah madura, sebesar Rp. 329 trilyun untuk Papua,
Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jawa Barat Rp. 1,36 trilyun.
Perhitungan mencakup nilai pemanfaatan (use value) maupun bukan pemanfaatan
(non use value).
Total TEV untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun. Nilai TEV
ekosistem mangrove Indonesia tersebut terancam jauh berkurang akibat tingginya
tingkat kehilangan luasan hutan mangrove Indonesia.
Giesen (1993)
menunjukkan bahwa luas mangrove Indonesia pada tahun 1992 adalah 4,13 juta
hektar. Bakosurtanal (2009) mendapatkan bahwa luas mangrove Indonesia pada
tahun 2009 adalah 3,2 juta hektar. Berdasarkan kedua data tersebut dapat ditarik
kesimpulan selama enam belas tahun terdapat pengurangan luasan hutan
mangrove Indonesia sekitar satu juta hektar.
Nilai Ekonomi Total
Ekosistem Mangrove
Nilai Manfaat
Nilai Manfaat
Langsung
Nilai Bukan Manfaat
Nilai Manfaat
Tidak
Langsung
Nilai Pilihan
Manfaatmanfaat
fungsional
Nilai guna
langsung dan
tidak langsung
masa datang
 Tegakan
mangrove
 Pencegah
abrasi
 Kenaekaragam
an hayati
 Perikanan
 Penyedia
nutrien
 Konservasi
habitat
Output yang
dapat
dikonsumsi
langsung
 Satwa liar
 Sumber
pangan
 Penyerap
 Bahan obatobatan
 Wisata alam
Nilai Warisan
Nilai Keberadaan
Nilai warisan
kepada
generasi
mendatang
Nilai dari
pengetahu
an
terhadap
keberadaa
Habitat
 Habitat
 Spesies
langka
karbon
Gambar 2 Pendekatan penghitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove
Diadaptasi dari Millenium Ecosystem Assessment (2005)
23
2.3.2 Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Effect on Production
Setiap ekosistem memiliki jasa dan produk yang dihasilkan berbeda-beda.
Sebagai contoh, ekosistem mangrove mampu menyediakan jasa perlindungan dari
angin laut dan abrasi serta produk akhir berupa ikan, udang, kepiting, satwa liar,
kayu bakar, dan sebagainya. Dalam konteks valuasi ekonomi, jasa dan produkproduk akhir tersebut merupakan produktivitas ekosistem mangrove. Sehingga
penghitungan nilai manfaat ekonomi (valuasi ekonomi) dari ekosistem mangrove
dapat dilakukan dengan pendekatan metode effect on production atau Brabier
(1993) mengisitilahkan dengan pendekatan impact analysis.
Konsep dasar dari metode valusi dengan menggunakan metode effect on
production adalah pendekatan produktivitas yang dilatar belekaangi pemikiran
bahwa apabila ada gangguan terhadap sistem sumberdaya alam (misal polusi),
maka kemampuan sumberdaya alam untuk menghasilkan aliran barang atau jasa
menjadi terganggu (injured). Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi
barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut sehingga akan
mengubah pola pemanfaatannya, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai
dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006).
Lebih jelas konsep valuasi
ekonomi melalui pendekatan effect on production dijelaskan dalam bentuk
diagram pada Gambar 3.
Gangguan terhadap SDA
Fungsi sistem
SDA tergangu
Aliran produksi barang dan jasa
terganggu
Perubahan produksi barang dan
jasa
Perubahan perilaku pemanfaatan
SDA
Perubahan nilai manfaat SDA
Gambar 3 Konsep valuasi ekonomi SDA dengan pendekatan effect on production
Sumber : Adrianto (2005)
24
Pendekatan produktivitas memandang sumberdaya alam sebagai input dari
produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas. Dengan demikian,
langkah pertama dari pendekatan ini adalah menentukan aliran jasa dari
sumberdaya alam yang dinilai kemudian dianalisis hubungannya dengan produk
akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Menurut Grigalunas and Congar (1995) in Adrianto (2006), pendekatan
produktivitas dapat digunakan apabila tersedia informasi mengenai aliran barang
dan jasa yang dihasilkan oleh SDA tersebut.
namun demikian, terkadang
konsumen tidak terlalu perhatian terhadap aliran barang dan jasa yang dihasilkan
oleh sumberdaya alam, sehingga informasi aliran produk suatu SDA menjadi
bagian yang terpenting dalam proses valuasi ekonomi dengan menggunakan
pendekatan
2.4 Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
2.4.1 Definisi Perubahan Iklim
Terdapat banyak definisi yang telah dikembangakan baik oleh lembaga
penelitian maupun pembuat kebijakan untuk untuk menyatakan perubahan iklim
sebagai suatu permasalahan yang terjadi secara global dan dalam kurun waktu
yang tidak singkat. Beberapa definisi perubahan iklim yang dibuat oleh badan
dunia dan umum digunakan di Indonesia yaitu :
a.
IPCC (2001) mendefinisikan perubahan iklim sebagai any change in climate
over time, whether due to natural variability or as a result of human
activity. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai setiap perubahan pada
iklim dari waktu ke waktu, baik karena variabilitas alam atau akibat
aktivitas manusia.
b.
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC 2001),
perubahan iklim didefinisikan sebagai a change of climate that is attributed
directly or indirectly to human activity that alters the composition of the
global atmosphere and that is in addition to natural climate variability
observed over comparable time periods. Definisi tersebut dapat diartikan
sebagai perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak
25
langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer global,
mempengaruhi variabilitas iklim alami serta diamati selama periode waktu
yang dapat dibandingkan.
c.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI (2007), perubahan iklim adalah
perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang
terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50
sampai 100 tahun (inter centenial). Perubahan tersebut disebabkan oleh
kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan
pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Perubahan yang
disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tambahan aerosol dari letusan
gunung berapi, tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim,
termasuk fenomena alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti
siklon yang dapat terjadi di dalam suatu tahun (inter annual) dan El-Nino
serta La-Nina yang dapat terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal)
tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan iklim global.
d.
Mudiayarso (2010), pakar iklim Institut Pertanian Bogor mendefinisikan
perubahan iklim sebagai perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka waktu
panjang (lima puluh sampai seratus tahun) yang dipengaruhi kegiatan
manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Ilustrasi yang
diberikan yaitu hangatnya suhu udara pada pertengahan Oktober 2008 di
Surabaya, Jakarta bukan termasuk perubahan iklim.
Hal tersebut
dikarenakan pada masa itu jarak anatara matahari dan bumi paling dekat
dibandingkan dengan periode lainnya.
Periode terdekat inilah yang
mangakibatkan suhu permukaan bumi di berbagai wilayah tropis mengalami
kenaikan tajam. Ketika bumi menjauhi matahari maka suhu permukaan
bumi akan menurun lagi.
Dari ilustrasi tersebut diketahui bahwa
kejadiannya bersifat temporer dan alami dan tidak dipengaruhi oleh gas
rumah kaca di atmosfer. Fenomena tersebut lebih tepat disebut sebagai
penyimpangan atau anomali iklim, demikian juga halnya dengan fenomena
El Nino (musim kemarau yang berkepanjangan)
26
Pada penelitian ini definisi perubahan iklim yang digunakan mengacu pada
Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI (2007) yaitu perubahan variabilitas
unsur iklim dalam kurun waktu panjang (lima puluh hingga seratus tahun) yang
disebabkan oleh aktivitas antropogenik.
Apabila dalam periode waktu yang
panjang (lima puluh hingga seratus tahun) terlihat adanya kecenderungan
perubahan nilai dari unsur iklim (seperti suhu udara, curah hujan) dari waktu ke
waktu dengan fluktuasi yang semakin membesar atau kejadian anomali iklim
semakin sering jika dibanding periode waktu sebelumnya, maka dapat dikatakan
bahwa perubahan iklim sudah terjadi sebagaiamana diilustrasikan pada Gambar 4.
Gambar 4
Ilustrasi perubahan iklim yang ditunjukkan oleh perubahan rata-rata
dan keragaman suhu dari dua periode waktu yang panjang
Sumber : Diposaptono et al.( 2009)
Salah satu unsur iklim yang berfungsi sebagai pengendali cuaca adalah suhu
udara.
Fakta menunjukkan temperatur udara rata-rata pada tahun 1850 jauh
berubah jika dibandingkan dengan situasi saat ini.
Diposaptono (2009)
Bolin et al. (1986) in
menunjukkan perubahan suhu udara antara tahun 1900
sampai dengan 1940, telah terjadi terjadi kenaikan suhu udara, walaupun pada
tahun 1940 sampai dengan 1970 pernah mengalami penurunan dan kemudian naik
lagi. Model yang dikembangkan IPCC untuk menduga anomali suhu setelah
tahun 2000 dikembangkan dengan memasukkan faktor tekanan alam dan aktivitas
manusia (antropogenik) sebagaiamana ditunjukkan pada Gambar 5.
27
Gambar 5 Variasi perbedaan suhu rata-rata permukaan bumi
Sumber : IPCC (2007)
Menurut UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009), kenaikan suhu
udara rata-rata dipicu semakin tingginya konsentrasi GRK di atmosfer diantaranya
adalah karbon dioksida (CO2). Hasil penilitian UNESCO, 1992 menunjukkan
bahwa terdapat korelasi antara konsentrasi CO2 di udara dengan suhu udara.
Semakin tiggi konsentrasi CO2 di atmosfer kian tinggi pula suhu udara rata-rata
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Perubahan suhu udara dan konsetrasi GRK di udara selama 1000 tahun
Sumber : http://www.acia.uaf.edu (diunduh Januari 2011)
28
2.4.2 Perubahan Iklim di Indonesia
Sebagaimana definisi dari perubahan iklim, berikut ini akan dijelaskan
kondisi dari beberapa unsur iklim di Indonesia yang dapat dijadikan indikasi telah
terjadi perubahan iklim.
a. Perubahan Suhu
Hasil studi UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009) di beberapa kota
pesisir di Indonesia, mendapatkan bahwa Indonesia tidak luput dari perubahan
iklim. Hasil studi menunjukkan bahwa suhu udara di Jakarta dan Semarang terus
mengalami kenaikan tajam sejak tahun 1865. Pada tahun 1865 rata-rata suhu
udara bulanan di dua kota tersebut adalah 25,7oC. Namun pada tahun 2000 suhu
rata-rata udara bulanan mencapai 27,5o C.
Dalam waktu sekitar 135 tahun
terdapat kenaikan suhu rata-rata bulanan sebesar 2oC. Hasil kajian tersebut juga
sejalan dengan hasil penelitian dari NOAA (2008) yang mengkaji data kenaikan
suhu permukaan air laut di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 1950 sampai
dengan tahun 2005.
Gambar 7 Kecenderungan kenaikan suhu udara di Jakarta dan Semarang
Sumber : UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009)
29
b. Perubahan Curah Hujan
Selain kenaikan suhu permukaan bumi, indikator lainnya dalam perubahan
iklim adalah perubahan pola curah hujan. Namun demikian secara global data
curah hujan tidak terdokumentasi dengan baik sehingga publikasi ilmiah
mengenai tren perubahan curah hujan dunia tidak dapat ditampilkan pada Bab ini.
Naylor et al. (2006) in Diposaptono et al. (2009) mengemukakan bahwa
perubahan iklim mengakibatkan perubahan pola curah hujan. Perubahan tersebut
ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan. Sedangkan akhir musim hujan
terjadi lebih cepat. Di sisi lain, walaupun musim hujan itu berlangsung singkat
namun memiliki intensitas curah hujan yang tinggi. Dengan demikian pendeknya
periode musim hujan membuat periode musim kemarau lebih panjang. Hal ini
terutama terjadi di kawasan selatan khatulistiwa.
Gambar 8
Perubahan pola curah hujan sebagai indikator perubahan
Sumber : Naylor et al.(2006) in Diposaptono et al. (2009)
iklim
Informasi dari BMG Serang (2010) menyebutkan bahwa pada tahun 2010
terdapat anomali curah hujan di daerah Pantai Utara Banten.
Curah hujan
semakin tinggi namun lamanya musim penghujan semakin pendek dan lama
musim kemarau semakin panjang.
30
c. Kenaikan Muka Laut dan Pemunduran Garis Pantai
Indikator perubahan iklim lainnya adalah kenaikan muka laut. Walaupun
masih menjadi perdebatan antara ilmuwan mengenai penyebab kenaikan muka
laut, namun demikian disepakati bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan
kenaikan paras muka laut secara eustasis melalui pemuaian massa air karena suhu
permukaan laut yang meningkat serta mencairnya es di kutub. Kenaikan paras
muka laut yang bersifat lokal dapat disebabkan oleh lima faktor berikut.
1.
Penurunan kerak bumi (crustal subsidence) atau naiknya permukaan tanah
akibat aktivitas tektonik (neotectonic).
Contoh gempa dasar laut yang
terjadi di Pulau Simeulue, Pulau Nias dan Mentawai mengakibatkan dasar
laut menjadi naik, sehingga seolah-olah air laut menjadi dangkal (penurunan
muka laut).
2.
Penurunan seismik permukaan tanah akibat adanya gempa bumi. Contoh
terjadi di Pantai Barat NAD, yang mengalami pemurunan permukaan tanah
akibat gempa bumi 26 Desember 2004. Tanah yang turun menyebabkan
seolah-olah muka air laut naik.
3.
Penurunan yang terjadi secara alami akibat adanya konsolidasi atau
pemampatan tanah yang masih labil atau sedimen lunak di bawah
permukaan.
Contoh di pantai utara Jawa seperti di DKI Jakarta dan
Semarang, tanahnya turun (land subsidence) maka seolah-olah air laut naik.
4.
Penurunan tanah akibat aktivitas manusia seperti beban bangunan,
pengambilan air tanah berlebihan serta ekstasi minyak dan gas bumi.
Contoh terjadi di Jakarta.
Karena adanya struktur bangunan dan
pengambilan air tanah yang berlebihan mangakibatkan tanah turun tidak
kuat menaggung beban bangunan sehingga solah-olah air laut naik.
5.
Variasi yang disebabkan fluktuasi iklim sebagai konsekuensi faktor
samudera seperti La Nina. Diduga La Nina akan membawa aliran masa air
ke wilayah Indonesia. Aliran air hangat menyebabkan pemuaian air laut dan
juga dengan barasosiasi dengan tekanan rendah menyebabkan mudahnya
proses penguapan atau konveksi.
Namun demikian faktor La Nina ini
masih membutuhkan kajian lebih lanjut.
31
Hasil kajian NASA (2001) dapat memprediksikan tren kenaikan muka laut
global dari tahunn 2000 hingga tahun 2100. Prediksi ini didasarkan pada hasil
pengukuran sejak tahun 1990 hingga 2000. Adapun proyeksi kenaikan muka laut
mengikuti skenario yang dikembangkan oleh IPCC (2007) pada Gambar 9. Hasil
pengukuran prediksi kenaikan muka laut sangat bervariasi tergantung pada
metode simulasi yang digunakan. Skenario yang dianggap paling mungkin terjadi
di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan muka laut rata-rata akan mencapai 60
sentimeter pada tahun 2100 dengan rentang nilai kenaikan muka laut 23cm hingga
96cm (Gambar 10).
Gambar 9 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125
Sumber : http://rst.gsfc.nasa.gov (diunduh 2009)
Gambar 10 Simulasi kenaikan muka laut rata-rata tahun 2000 dan 2100
Sumber : IPCC (2001)
32
Sebagian besar wilayah pesisir Indonesia akan terpengaruh oleh kenaikan
muka air laut (lihat Gambar 11). Hal ini terutama disebabkan karena Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang dan
beberapa daerah memiliki topografi wilayah pesisir yang landai. Kenaikan muka
laut antara lain akan menyebabkan kerusakan ekologis wilayah pesisir, kehilangan
lahan, intrusi air laut, dan kerusakan sektor-sektor produktif seperti konstruksi
jalan, jembatan, bangunan, dan lahan pertanian.
Publikasi Kelompok Kerja
(Working Group) II IPCC tahun 2001 mengungkapkan bahwa kenaikan muka laut
hingga 60 sentimeter akan menyebabkan Indonesia kehilangan sekitar 34.000 km2
wilayah dan mengancam kehidupan sekitar 2 juta penduduk.
Hal ini
menyebabkan isu penaikan muka laut menjadi salah satu isu utama dalam
perubahan iklim global karena memiliki dampak ekonomi nasional yang sangat
besar.
Gambar 11 Perubahan tinggi muka laut tahun 1870- 2000. Sumber : IPCC (2001)
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya dampak dari naiknya muka
laut terhadap pemunduran garis pantai baik kenaikan muka air laut yang bersifat
global maupun lokal kejadiannya. Trident Engineering (1979) in Sutrisno (2005)
menjelaskan bahwa hasil penelitian di Ocean City Maryland USA menunjukan
33
pada wilayah ini telah terjadi pemunduran garis pantai sebesar 0,58m per tahun
(pada pengamatan selama 130 tahun) yang disebabkan oleh naiknya muka air laut.
Akan tetapi pemunduran garis pantai tidaklah sama pada setiap tahunnya. Pada
periode tahun 1850 sampai dengan 1965 terjadi pemunduran garis pantai yang
ekstrim dibandingkan dengan laju pemunduran yang terjadi pada tahun-tahun
lainnya. Ren (1993) in Sutrisno (2005) dalam penelitiannya di Delta Sungai
Kuning Cina juga membuktikan adanya pemunduran garis pantai sejaun 20km
dan hilangnya lahan pantai seluas 1400km2 selama 137 tahun (1855-1992) yang
disebabkan oleh fenomena kenaikan muka laut.
2.5 Analisis SWOT
Menurut Salusu (1996) analisis SWOT adalah analisis yang mencoba
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Lebih lanjut Salusu (1996) menyatakan bahwa analisis SWOT dapat dilakukan
dengan menggunakan salah satu dari 2 model matrik yaitu: MATRIK SWOT atau
MATRIK TOWS. Dalam penelitian ini digunakan Matriks SWOT dengan
mendahulukan menaggulangi permasalahan baik faktor internal yaitu maupun
eksternal yaitu ancaman.
Rangkuti (2004) menyatakan bahwa matriks SWOT menghasilkan 4 strategi
yaitu: 1). Strategi SO (Strategi kekuatan-peluang), menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, 2). Strategi WO (Strategi
kelemahan-peluang), menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang yang ada, 3). Strategi ST (Strategi kekuatan-ancaman),
menciptakan strategi dengan memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau
memperkecil dampak dari ancaman eksternal, dan 4). Strategi WT (strategi
kelemahan-ancaman), didasarkan pada kegiatan yang bersifat
Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan
keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi
34
dan kebijakan (Marimin 2004). Analisis SWOT didahului dengan identifikasi
posisi suatu institusi melalui evaluasi nilai faktor internal dan evaluasi nilai faktor
eksternal. Selanjutnya Marimin (2004) menjelaskan proses yang harus dilakukan
dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu
melalui berbagai tahapan sebagai berikut:
1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal.
2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matrik SWOT.
3. Tahap pengambilan keputusan.
Download