UNIVERSITAS INDONESIA ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN MASALAH RISIKO KERUSAKAN FUNGSI KARDIOVASKULER MELALUI SWEDISH MASSAGE KARYA ILMIAH AKHIR NERS SANTI AYU LESTARI 1006672964 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS DEPOK JUNI 2016 Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 UNIVERSITAS INDONESIA ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN MASALAH RISIKO KERUSAKAN FUNGSI KARDIOVASKULER MELALUI SWEDISH MASSAGE KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Profesi Keperawatan SANTI AYU LESTARI 1006672964 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SARJANA DEPOK JUNI 2016 Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 ii Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 iii Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Penulisan karya ilmiah akhir ners ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Profesi Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari semua pihak dari masa praktik profesi sampai pada penyusunan karya ilmiah akhir ners sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M. App.Sc., Ph.D selaku Dekan FIK UI yang telah memberikan dukungan moral kepada saya; 2. Ibu Dwi Nurviyandari, S.Kep , MN, selaku dosen pembimbing saya yang telah banyak membantu, memberikan bimbingan, serta memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan saya dalam penulisan karya ilmiah akhir ners ini; 3. Ibu Nur Azizah, SKM dan Bapak Sukihananto, S.Kep,. M.Kep, selaku penguji saat pelaksanaan sidang karya ilmiah akhir ners ini; 4. Bapak H. Drs Akmal Towe, M.Si selaku Kepala PSTW Budi Mulia 1 Cipayung; 5. Para perawat dan penanggung jawab wisma di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung; 6. Ayahanda saya, Usodo, Ibunda saya, Susana Darni R, dan Adik saya, Irfan Setio Leksono, terima kasih untuk segala dukungan dan doa yang telah diberikan selama ini; 7. Saudara satu lingkaran saya, Ratih, Danti, Septi, dan Mba Manda yang selalu menemani tiap akhir pekan dan selalu menyemangati saya; 8. Sahabat-sahabat Khumairah saya, Mardhiah, Mindyarina, Zahra, hilda, Isti, Risma, Sopha, dan Rahmi Hayati, yang tidak pernah bosan menyemangati serta memberikan perhatian kepada saya iv Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 9. Saudara Umbrellacans yang saya sayangi, Anggita, Dwanti, Bening, Lia, Gusti, Masreni, Sartika, Dita, dan Lilis yang memberikan semangat dan saling berbagi ilmu selama proses penyelesaian pkkmp gerontik dan kian ini. Terima kasih telah saling menguatkan hingga akhir. 10. Teman-teman FIK UI 2010 “Disiplin”, Teman-teman FIK UI 2011 “Kontributif”, Kelas E Profesi 2015 dan seluruh pihak yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu terima kasih telah banyak memberikan bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini Tidak ada sesuatu yang sempurna. Saya selaku peneliti menyadari bahwa karya ilmiah akhir ners ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan karya ilmiah akhir ners ini. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah ners ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan. Jakarta, 26 Juni 2016 Peneliti v Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 vi Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Santi Ayu Lestari : Profesi Keperawatan Ners : Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Masalah Risiko Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler melalui Swedish Massage Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler semakin meningkat pada lansia yang tinggal di area perkotaan. Lansia di institusi perawatan jangka panjang termasuk populasi yang memiliki risiko tinggi terhadap masalah kardiovaskuler. Studi kasus ini bertujuan untuk menggambarkan hasil intervensi swedish massage yang dilakukan pada lansia dengan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Pemberian intervensi swedish massage dilakukan sebanyak 12 sesi selama 5 minggu dalam durasi 10 menit. Hasil intervensi menunjukkan terjadi penurunan pada tekanan darah sistolik dan diastolik sebanyak 6 dan 5,8 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa swedish massage merupakan intervensi yang efektif, aplikatif, berbiaya efisien, dan aman yang dapat digunakan dalam menurunkan tekanan darah pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Studi ini menyarankan untuk pengaplikasian swedish massage dalam mengoptimalkan perawatan lansia dengan hipertensi di institusi perawatan jangka panjang. Kata Kunci: Kardiovaskuler, Lanjut usia, Hipertensi, Swedish Massage, Intitusi Perawatan Jangka Panjang vii Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 ABSTRACT Name : Santi Ayu Lestari Study Program : Proffesion of nursing, Faculty of Nursing, Univeritas Indonesia Title : Nursing Care in Elderly at Risk for Impaired Cardiovascular Function through Swedish Massage The risk for impaired cardiovascular function increased in elderly in urban areas. Elderly in long term care institutions including populations at high risk for cardiovascular problems. This case study aims to describe the results of swedish massage interventions conducted in the elderly with the risk of impaired cardiovascular function. This intervention performed a total of 12 sessions over 5 weeks in duration of 10 minutes. The results of the intervention showed a decrease in systolic and diastolic blood pressure by 6 and 5.8 mmHg. This findings revealed that the swedish massage is an effective, applicable, cost efficient, and safe intervention, which can be used to lower blood pressure in older adults with risk for impaired cardiovascular functions. This study suggested for the application of swedish massage in optimizing treatment for the elderly with hypertension in long-term care institutions. Keywords: Cardiovascular, Elderly, Hypertension, Long Term Care Institutions, Swedish Massage viii Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii KATA PENGANTAR/ UCAPAN TERIMA KASIH ........................................ iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.............................. vi ABSTRAK .......................................................................................................... vii ABSTRACT .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xii DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii 1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 8 1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 8 1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................... 9 2. TINJAUAN PUTAKA ................................................................................ 10 2.1 Proses Menua .......................................................................................... 10 2.1.1 Definisi Usia Lanjut ....................................................................... 10 2.1.2 Tugas Perkembangan Lansia.......................................................... 11 2.1.3 Teori Penuaan................................................................................. 11 2.2 Risiko Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler pada Lansia .......................... 12 2.2.1 Perubahan Sistem Kardiovaskuler pada Lansia ............................. 12 2.2.2 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Fungsi Kardiovaskuler .......... 15 2.2.2.1 Aterosklerosis ..................................................................... 15 2.2.2.2 Ketidakefektifan aktivitas .................................................. 16 2.2.2.3 Merokok ............................................................................. 18 2.2.2.4 Kebiasaan Makan ............................................................... 19 2.2.2.5 Hipertensi ........................................................................... 19 2.2.2.6 Gangguan Lipid .................................................................. 20 2.2.2.7 Obesitas .............................................................................. 21 2.2.2.8 Faktor Sosial Ekonomi ....................................................... 21 2.3 Pelayanan Lanjut Usia............................................................................. 21 2.3.1 Nursing Home ................................................................................ 22 2.3.2 Hospital Based-Service .................................................................. 22 2.3.3 Community-Based Service for Elderly ........................................... 23 2.3.4 Panti Sosial Tresna Werda ............................................................. 24 2.4 Konsep Keperawatan Gerontik ............................................................... 25 2.4.1 Pengertian Keperawatan Gerontik.................................................. 25 2.4.2 Peran Perawat Gerontik .................................................................. 25 2.4.3 Keperawatan Gerontik pada Area Perkotaan ................................. 27 ix Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 2.4.4 Asuhan Keperawatan Gerontik ...................................................... 28 2.4.4.1 Pengkajian .......................................................................... 28 2.4.4.2 Diagnosis Keperawatan ..................................................... 30 2.4.4.3 Rencana Keperawatan........................................................ 30 2.4.4.3.1 Swedish Massage ................................................ 32 2.4.4.4 Implementasi ...................................................................... 36 2.4.4.5 Evaluasi .............................................................................. 37 3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ............................................. 38 3.1 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Utama ......................................... 38 3.1.1 Pengkajian ...................................................................................... 38 3.1.2 Analisa Data dan Diagnosis Keperawatan ..................................... 46 3.1.3 Rencana Keperawatan .................................................................... 48 3.1.4 Implementasi dan Evaluasi............................................................. 49 3.2 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Resume ....................................... 56 4. ANALISIS SITUASI ................................................................................... 60 4.1 Profil Lahan Praktik ................................................................................ 60 4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Lansia di Perkotaan dengan Masalah Risiko Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler ................................................................ 62 4.3 Analisis Intervensi Swedish Massage ..................................................... 66 4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ......................................... 71 5. PENUTUP ..................................................................................................... 73 5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 73 5.2 Saran ........................................................................................................ 74 7.2.1 Bagi Institusi Pelayanan ................................................................. 74 7.2.2 Bagi Institusi Pendidikan ............................................................... 75 DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 76 LAMPIRAN x Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 DAFTAR GRAFIK Grafik 3.1 Hasil evaluasi intervensi swedish massage pada nenek R ............. 55 xi Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Hasil evaluasi intervensi swedish massage pada nenek P .............. 57 xii Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk lanjut usia (lansia) merupakan isu penting di seluruh dunia sejak awal tahun 2000. Lanjut usia, menurut undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut para ahli gerontologi seseorang dapat dikatakan lansia apabila telah mencapai usia 65 tahun (Miller, 2012). Saat ini peningkatan jumlah penduduk lansia menjadi isu penting di seluruh dunia. Menurut divisi populasi Departement Economy and Social Affair, United Nation tahun 2002, menyatakan populasi lansia dunia pada tahun 2000 berjumlah 622,8 juta jiwa dan akan terus mengalami peningkatan. Di Indonesia, jumlah penduduk lansia menurut Sensus Penduduk diketahui berjumlah 18,04 juta jiwa (BPS, 2012). Angka tersebut pun akan semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan peningkatan usia harapan hidup lansia yang semakin meningkat di Indonesia. Populasi lansia yang meningkat di Indonesia dipengaruhi oleh peningkatan estimasi usia harapan hidup (UHH). Menurut BPS tahun 2012, berdasarkan analisa hasil sensus penduduk dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2010 terjadi peningkatan usia harapan hidup yang sangat jelas di Indonesia. Pada tahun 1980 usia harapan hidup di Indonesia yaitu 52,2 tahun dan meningkat menjadi 59,8 tahun di tahun 1990 kemudian diikuti pada tahun 2000 menjadi 65,4 tahun dan pada tahun 2010 usia harapan hidup di Indonesia telah menjadi 70,7 tahun (BPS, 2012). Pada sensus penduduk tahun 2010, DKI Jakarta menjadi provinsi yang memiliki angka harapan hidup tertinggi di Indonesia melebihi DI Yogyakarta yang merupakan provinsi dengan usia harapan hidup tertinggi sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2000 dan melebihi angka harapan hidup di Indonesia. Angka harapan hidup di provinsi DKI Jakarta mencapai 74,7 tahun. Hal ini menunjukkan peningkatan usia harapan hidup lansia di masyarakat perkotaan, seperti DKI Jakarta. 1 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 2 Peningkatan usia harapan hidup lansia di masyarakat perkotaan memerlukan perhatian lebih dikarenakan populasi lansia merupakan populasi yang rentan mengalami peningkatan gangguan kesehatan dengan banyaknya faktor risiko yang ada di masyarakat perkotaan. Lansia memiliki tingkat probabilitas yang tinggi terhadap gangguan kesehatan yang dapat dibuktikan dengan persentase lansia yang mengalami penyakit kronis dan ketidakmampuan lainnya sebesar 94% (Allender & Spradley, 2005; Stanhope & Lancaster, 2004). Hal tersebut didukung oleh data yang dimiliki BPS pada tahun 2005, diketahui bahwa 195 ribu dari 404 ribu lansia di DKI Jakarta memiliki status kesehatan yang bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa lansia perkotaan banyak yang memiliki masalah kesehatan. Masalah status kesehatan lansia dipicu oleh perubahan fungsi fisiologis pada tubuh lansia serta dipengaruhi oleh pola hidup sewaktu muda. Hal ini sesuai dengan Tear-and-Wear Theory yang dikemukakan August Weismann di akhir tahun 1880-an bahwa sel-sel somatik normal memiliki keterbatasan dalam kemampuannya untuk bereplikasi dan berfungsi seperti sebelumnya dan kematian sel yang terjadi akibat rusaknya jaringan tidak selamanya bisa diperbaharui (Miller, 2012). Berdasarkan teori tersebut kesehatan lansia menjadi rentan sehingga sebagian besar memiliki penyakit kronis. Penyakit kronis merupakan penyakit yang memiliki durasi panjang dan perkembangannya cukup lambat (WHO, 2005). Penyakit kronis yang sering ditemukan pada lansia ialah hipertensi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang diadakan oleh United States National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES). NHANES mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 50% penduduk berusia 60 tahun ke atas memiliki hipertensi (SIGN, 2001). Hal ini juga sejalan dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan data dari Kemenkes RI tahun 2014, urutan pertama penyakit kronis yang di derita lansia di Indonesia adalah hipertensi (Pusdatin Kemenkes RI, 2014). Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 3 Hipertensi merupakan masalah kardiovaskular yang umum terjadi pada individu lansia sebagai dampak dari peningkatan usia (proses penuaan) serta adanya pemicu atau risiko yang turut menyertainya, seperti gaya hidup (Meiner, 2006). Faktor pemicu tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yakni faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan tidak dapat dimodifikasi (non modifiable). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Sedangkan, faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi kebiasaan merokok, tekanan darah normaltinggi, diet tinggi lemak, obesitas, ketidakaktifan fisik, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan stres (Meiner, 2006). Hipertensi umumnya menunjukkan tanda gejala seperti kelelahan, sakit kepala, vertigo, dan palpitasi (Tabloski, 2014). Tanda gejala tersebut dapat memicu masalah keperawatan yang muncul pada lansia seperti masalah gangguan tidur dan ketidaknyamanan. Namun, pada beberapa lansia hipertensi yang diderita tidak dirasakan gejalanya serta tidak menimbulkan masalah keperawatan seperti masalah tidur dan ketidaknyamanan. Tanda hipertensi hanya diketahui dari hasil pemeriksaan tekanan darah yang menunjukkan angka lebih dari 130/80. Hipertensi ini biasa disebut dengan silent hypertension. Hal ini didukung oleh data yang dikemukakan American Heart Association pada tahun 2014, bahwa 50% penderita hipertensi tidak merasakan gejala hipertensi. Berdasarkan survey yang dilakukan National Nursing home Survey diketahui 53,8 % residen memiliki riwayat hipertensi (Simonson, Han, Davidson, 2011). Hal ini menunjukkan adanya prevalensi yang cukup tinggi terkait masalah kardiovaskuler pada lansia yang tinggal di institusi perawatan jangka panjang. Institusi perawatan jangka panjang di Indonesia biasa disebut Panti Werda. Terdapat dua jenis panti werda, yaitu panti erda yang dikelola pemerintah dan panti werda yang dikelola pihak swasta. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 4 Panti Sosial Tresna Werda (PSTW) di bawah naungan pemerintah daerah. PSTW adalah suatu lembaga yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat, yang meliputi perawatan, perlindungan, dan pembinaan fisik, spiritual, sosial, dan psikologis (Kepmensos no. 50/HUK/2004). Lansia terlantar yang dimaksud dalam aturan tersebut tidak sebatas lansia yang tidak memiliki keluarga dan keluyuran di jalan, tetapi juga lansia yang memiliki keluarga namun pihak keluarga tidak mampu mengurus lansia dikarenakan dengan keterbatasan finansial. Hasil praktik profesi KKMP peminatan gerontik menemukan bahwa lansia dengan hipertensi cukup banyak ditemukan di PSTW. Hal ini dikarenakan faktor usia, tingkat stres, pola hidup yang berisiko tinggi terhadap hipertensi banyak ditemui pada lansia di PSTW. Penerapan terapi non farmakologis pada hipertensi yang berupa modifikasi faktor risiko juga sulit dilakukan di PSTW. Hal ini dikarenakan tidak adanya pembedaan menu bagi para lansia hipertensi dan non hipertensi. Selain itu aktifitas dan kegiatan di PSTW yang cenderung sama menyebabkan lansia mengalami gaya hidup yang monoton. Kegiatan aktifitas fisik seperti senam pun diikuti secara langsung pada lansia penderita hipertensi. Berdasarkan hasil pengkajian secara wawancara dan observasi pada para lansia di PSTW juga menunjukkan bahwa sebagian besar lansia memiliki tingkat faktor yang tinggi. Sebagian besar pula lansia memiliki motivasi yang kurang dan tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan PSTW. Hal-hal tersebut menjadikan faktor risiko terjadinya hipertensi, dalam hal ini risiko kerusakan fungsi kardivaskular dirasa tinggi pada lansia di PSTW. Kerusakan fungsi kardiovaskuler dapat dicegah dengan melakukan aktivitas fisik sesuai standar aktifitas fisik yang efektif. Aktifitas fisik terbagi menjadi dua yaitu, aktifitas fisik ringan-sedang dan aktifitas sedang-berat. Berdasarkan panduan praktik berbasis bukti dalam Miller (2012), aktifitas fisik yang efektif adalah aktifitas fisik sedang yang dilakukan minimal 30 menit sebanyak lima Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 5 kali dalam seminggu atau aktifitas fisik berat minimal 20 menit sebanyak tiga kali dalam seminggu. Fenomena yang ditemukan dipanti adalah banyaknya lansia yang tidak optimal dalam melakukan aktifitas fisik. Tidak ada kontrol yang ketat bagi lansia agar dapat melakukan aktifitas fisik yang efektif. Hal ini dilihat dari banyaknya lansia yang tidak mengikuti kegiatan aktifitas fisik seperti senam, bermain aklung, ataupun panggung gembira akibat hambatan mobilitas ataupun kurang motivasi. Selain itu dari semua lansia yang mengikuti akitifitas senam, bermain aklung, ataupun panggung gembira sebagian besar tidak maksimal dalam melakukan kegiatan tersebut. Hal itu terlihat banyaknya lansia yang hanya mengikuti kegiatan tidak sampai selesai atau hanya duduk-duduk saja tanpa melakukan apapun. Hal tersebut membuat kegiatan yang telah disediakan oleh pihak panti belum optimal untuk mencegah kerusakan fungsi kardiovaskuler. Keilmuan keperawatan sebagai salah satu disiplin ilmu di bidang kesehatan memberikan gambaran yang cukup jelas terkait risiko kerusakan fungsi kardivaskular. Risiko kerusakan fungsi kardivaskular adalah kerentanan terhadap penyebab internal atau eksternal yang dapat merusak satu atau lebih organ penting dan sistem peredaran darah itu sendiri (Herdman & Kamitsuru, 2014). Pada Nursing Diagnoses NANDA International 2015-2017 memaparkan bahwa faktor risiko yang mengikuti diagnosis risiko kerusakan fungsi kardivaskular adalah usia lebih dari 64 tahun, menderita hipertensi, menderita diabetes melitus, mengalami dislipidemia, memeiliki riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular, kurang pengetahuan terkait faktor risiko yang dapat di modifikasi, obesitas, riwayat penyakit kardiovaskular, agen farmakologikal, gaya hidup monoton, dan merokok. Berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC) intervensi yang dapat dilakukan terkait masalah risiko kerusakan fungsi kardivaskular salah satunya adalah massage atau pijat. Massage atau pijat adalah stimulasi pada kulit dan jaringan di bawahnya dengan variasi derajat penekanan tangan untuk mengurangi nyeri, menciptakan kondisi rileks, dan/ atau meningkatkan Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 6 sirkulasi (Bulechek, Bucther, & Dochterman, 2013). Berdasarkan jurnal Complementary Therapies in Clinical tahun 2016, dikatehui bahwa terapi massage telah menunjukkan efek menguntungkan di berbagai variasi kondisi, salah satunya adalah hipertensi (Field, 2016). Karena efek yang menguntungkan hampir semua budaya telah mengembangkan sistem terapi massage/pijat. Teknik pijat menjadi bagian penting dalam perawatan medis tradisional di Cina dan India. European massage atau pijat eropa baru terbentuk secara sistematis pada awal abad ke-18 oleh Per Hendrik Ling (Vickers & Zollman, 1999). Per Hendrik Ling mengembangkan 6esicu pijat eropa yang kini dikenal dengan nama Swedish Massage. Swedish Massage telah diketahui manfaatnya bagi terkait efek relaksasi terapeutik yang dihasilkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Swedish Massage dapat menurunkan ansietas dan nyeri (Benney & Gibbs, 2012; Sritooma, Moyle, Cooke, & O’Dwyer, 2012). Selain efek penurunan ansietas dan nyeri Swedish Massage terbukti dapat menurunkan tekanan darah (Supa’at, Zakaria, Maskon, Aminuddin, & Nordin, 2013). Untuk menurunkan tekanan darah Swedish Massage terdiri 12 sesi terapi yang dilakukan dengan masing-masing sesi memiliki durasi selama 10 menit (Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou, 2014). Di awali dengan pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi radialis di awal sesi dan dilanjutkan pemosisian lansia dan pemijatan pada punggung lansia. Prosedur yang dilakukan meliputi long stroke atau usapan panjang dari pinggang ke bahu (diulang beberapa kali), kneading atau peremasan dari pinggang ke pundak (diulang beberapa kali), dan tapping atau teknik tapotemen dengan pinggir jemari di pundak, punggung sampai pinggang (diulang beberapa kali) dan diulangi kembali ke gerakan awal. Di akhir setiap sesi dilakukan pemeriksaan kembali pada tekanan darah dan frekuensi nadi lansia. Swedish Massage merupakan intervensi non farmakologi yang dapat dilakukan pada kondisi lansia dengan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler 6esicula. Hal ini dikarenakan penurunan risiko kerusakan Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 7 fungsi kardiovaskuler dengan peningkatan ketahanan fisik jantung dalam berfungsi melalui aktifitas fisik yang efektif belum dilakukan secara optimal oleh lansia. Hal ini dikarenakan hambatan-hambatan yang dimiliki oleh lansia, karakteristik lansia akibat pola hidup kurang sehat dan rendahnya motivasi, serta kurangnya pengontrolan yang ketat dan optimalisasi latihan fisik oleh pengurus panti. Sehingga untuk menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler pada lansia di panti Swedish Massage adalah intervensi yang tepat karena dilakukan oleh perawat secara teratur dan dapat diberikan dalam kondisi sehat maupun sakit pada lansia (Vickers & Zollman, 1999). Hal tersebut menyebabkan Swedish Massage menjadi terapi yang dapat membantu mengoptimalkan penurunan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Salah satu lansia di wisma Catleya PSTW Budi Mulia 1 Cipayung diketahui memiliki masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskular yaitu nenek R (91 tahun) dengan hasil pemeriksaan tekanan darah 150/80 mmHg, kurang pengetahuan terkait modifikasi faktor risiko, dan gaya hidup monoton. Nenek R mengatakan dirinya merasa sehat serta tidak merasa pusing dan tidak ada masalah terakait tidur di malam hari. Nenek R mengalami silent hypertension dimana hipertensi diketahui dari pengukuran tekanan darah. Dengan masalah kesehtaan yang dialami nenek R dan situasi PSTW yang telah dijabarkan di atas maka intervensi Swedish Massage Therapy dapat dilakukan pada nenek R. Berdasarkan analisis paparan data di atas, masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler pada lansia di institusi perawatan jangka panjang menarik untuk dipelajari. Hal ini disebabkan belum ada studi kasus yang berfokus pada masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler pada lansia di institusi. Maka penulis tertarik untuk melakukan studi analisis terkait asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah risiko kerusakan fungsi kardivaskuler melalui intervensi swedish massage. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 8 1.2 Perumusan Masalah Peningkatan jumlah penduduk lansia menjadi isu penting di seluruh dunia. Populasi lansia yang meningkat di Indonesia dipengaruhi oleh peningkatan estimasi usia harapan hidup (UHH). DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki nilai UHH tertinggi di Indonesia. Hal ini menunjukkan tingginya UHH di masyarakat perkotaan. Peningkatan usia harapan hidup lansia di masyarakat perkotaan memerlukan perhatian lebih dikarenakan populasi lansia merupakan populasi yang rentan mengalami peningkatan gangguan kesehatan dengan banyaknya faktor risiko yang ada di masyarakat perkotaan. Masalah status kesehatan lansia dipicu oleh perubahan fungsi fisiologis pada tubuh lansia serta dipengaruhi oleh pola hidup sewaktu muda menjadikan kesehatan lansia menjadi rentan sehingga sebagian besar memiliki penyakit kronis. Penyakit kronis yang sering ditemukan pada lansia ialah hipertensi. Jumlah lansia dengan hipertensi cukup banyak ditemukan di PSTW. Hal ini dikarenakan faktor usia, tingkat stres, pola hidup yang berisiko tinggi terhadap hipertensi banyak ditemui pada lansia di PSTW. Penerapan terapi nonfarmakologis pada hipertensi yang berupa modifikasi faktor risiko juga sulit dilakukan di PSTW. Hipertensi yang tidak diintervensi dengan baik dapat menimbulkan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskular pada lansia. Salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan dengan kondisi lansia nenek R (91 tahun) dengan hipertensi di wisma Catleya PSTW Budi Mulia 1 Cipayung adalah massage atau pijat, khususnya Swedish Massage. Oleh karena itu, rumusan masalah penulisan karya ilmiah akhir ners ini adalah bagaimana analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada lansia nenek R dengan hipertensi di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung. 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum 1.3.1.1 Memaparkan asuhan keperawatan pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 9 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Menggambarkan profil PSTW Budi Mulia 1 Cipayung 1.3.2.2 Menggambarkan hasil pengkajian asuhan keperawatan lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung 1.3.2.3 Memaparkan hasil analisis data pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung 1.3.2.4 Menggambarkan perencanaan tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung 1.3.2.5 Menggambarkan implementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular melalui penerapan asuhan keperawatan di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung 1.3.2.6 Menggambarkan intervensi keperawatan Swedish Massage pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung 1.3.2.7 Tergambarkannya evaluasi hasil implementasi yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah hipertensi dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung 1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1 Bagi Pelayanan PSTW Penulisan karya ilmiah akhir ners ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak PSTW Budi Mulia 1 Cipayung sebagai masukkan dalam pemberian pelayanan kesehatan pada lansia khususnya pada lansia yang mengalami hipertensi dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular. 1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan Karya ilmiah akhir ners ini diharapkan bermanfaat untuk institusi pendidikan sebagai masukkan untuk penelitian selanjutnya terkait dengan penatalaksanaan terapi non farmakologis pada lansia hipertensi dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Menua Proses menua adalah peristiwa yang akan terjadi pada laki-laki dan perempuan, baik muda maupun tua (Miller,2012). Hal tersebut dikarenakan proses menua merupakan bagian dari peristiwa siklus kehidupan manusia. Siklus kehidupan manusia dimulai dari janin dan berakhir pada tahapan lanjut usia dan kematian. Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan manusia. Sehingga lansia adalah manusia dewasa yang telah mengalami proses menua tahap akhir. 2.1.1 Definisi Lanjut Usia Lanjut usia (lansia) adalah populasi manusia yang telah mencapai usia 65 tahun (Touhy & Jett, 2014). Hal ini serupa dengan yang diemukakan oleh para ahli gerontologi yang mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan lansia apabila telah mencapai usia 65 tahun (Miller, 2012). Lansia sendiri terbagi dalam beberapa tingkatan yaitu lansia muda dengan rentang usia 6574 tahun, lansia pertengahan dengan rentang usia 75-84 tahun, lansia sangat tua dengan rentang usia 85 tahun ke atas (DeLaune & Ladner, 2002; Mauk, 2006). Menurut undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia di Indonesia, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lansia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sehingga setiap penduduk Indonesia yang telah berusia 60 tahun atau lebih telah masuk dalam kategori lansia. Lansia di Indonesia diklasifikasikan menjadi (1) kelompok usia prasenilis yaitu berusia 45-59 tahun (2) kelompok usia lanjut yaitu berusia 60 tahun ke atas (3) kelompok usia risiko tinggi yaitu berusia 70 tahun ke atas ataupun berusia 60 tahun ke atas dengan masalah kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2009) 10 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 11 2.1.2 Tugas Perkembangan Lansia Menurut Duvall dalam Wong (2008) tugas perkembangan lansia meliputi (1) mengalihkan peran bekerja dengan masa senggang dan persiapan pensiun atau pensiun penuh (2) memelihara fungsi pasangan dan fungsi individu serta beradaptasi dengan proses penuaan, (3) mempersiapkan diri untuk menghadapi proses kematian dan kehilangan pasangan hidup dan/atau saudara kandung maupun teman sebaya. Sedangkan menurut Erickson tugas perkembangan pada masa lansia adalah integritas ego (Stolte, 2003). Menerima apa yang telah dilakukan seseorang dengan bijak tanpa memperhatikan rasa sakit dan proses yang terjadi dalam perjalanannya menjadi bagian dari tugas ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan lansia berinti pada adaptasi dan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi pada lansia baik dari fisik, psikologis, dan sosial. 2.1.3 Teori Penuaan Teori penuaan dibagi menjadi tiga perspektif yaitu perspektif biologis yang terdiri dari teori wear-and-tear, rantai silang, radikal bebas, neuroendocrine and immunity, genetik, dan apoptosis, perspektif sosiokultural yang terdiri atas teori kesinambungan, penarikan diri, aktivitas, subkultur dan stratifikasi usia, dan person-environtment fit, serta perspektif psikologis terdiri dari teori kebutuhan manusia, ndividualisme, life-course and personality development, gerotranscendence, dan selective optimization with compensation (Carlson & Pfadt, 2009; Mauk, 2006; Miller, 2012) Teori ini wear and tear dikemukakan oleh August Weismann di akhir tahun 1880an. Teori ini mengemukakan bahwa sel-sel somatik normal memiliki keterbatasan dalam kemampuannya untuk bereplikasi dan berfungsi seperti sebelumnya dan kematian sel yang terjadi akibat rusaknya jaringan tidak selamanya bisa diperbaharui (Carlson & Pfadt, 2009). Teori ini sangat menggambarkan kerusakan fungsi organ yang terjadi pada lansia. Pada proses menua terdapat faktor risiko pada lansia yaitu gaya hidup, genetik, lingkungan, sosial, dan ekonomi (Stanhope & Lancaster, Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 12 2004). Faktor risiko ini apabila bernilai negatif dapat menimbulkan penyakit kronis akibat tubuh tidak dapat mengkompensasi lagi kerusakan sel yang terjadi. Penyakit kronis menurut DeLaune & Ladner (2012) merupakan gangguan pada kemampuan funsional yang biasanya muncul secara bertahap semakin berbahaya dengan perubahan yang terjadi seumur hidup dan bersifat ireversibel. Sehingga dapat disimpulkan berdasarkan teori tear-andwear secara biologis sel-sel memiliki keterbatasan kemampuan bereplikasi dan mengganti sel yang rusak sehingga menimbulkan penyakit kronis dan menyebabkan kerusakan fungsi kardiovaskular. 2.2 Risiko Kerusakan Fungsi Kardiovaskular pada Lansia Kerusakan fungsi kardiovaskuler pada lansia dipicu oleh dua hal, yaitu perubahan sistem kardiovaskuler akibat proses penuaan dan faktor risiko yang mempengaruhi fungsi kardiovaskuler. Pada pembahasan selanjutnya penulis akan memaparkan tinjauan pustaka terkait dua hal tersebut. 2.2.1 Perubahan Sistem Kardiovaskular pada Lansia Sistem kardiovaskular merupakan sistem organ yang terdiri dari jantung dan pembuluh darah dan berfungsi untuk mengangkut oksigen dan darah kaya nutrisi ke organ-organ dan mengangkut produk sisa metabolisme ke ginjal dan usus. Pada lansia sistem kardiovaskular baik struktur dan fungsi akan mengalami perubahan terkait penuaan. Perubahan terkait usia yang paling relevan dalam sistem ini adalah perubahan jantung dan pembuluh darah serta mekanisme barorefleks (Brashers & McCance, 2010). Perubahan struktur jantung akibat proses menua meliputi terjadinya deposit amiloid, akumulasi lipofusin, degenerasi basofilik, hipertropi miokardium, pengakuan dan penebalan katup jantung, dan peningkatan jaringan ikat (Miller, 2012). Pada lansia terjadi penebalan dinding ventrikel kiri dan endokardium atrium kiri, selain itu juga terjadi penebalan katub atrioventrikular dan kalsifikasi pada sebagian anulus mitral katup aorta. Perubahan ini menggangu kemampuan jantung untuk berkontraksi penuh. Akibat kontraktilitas yang berkurang, jantung membutuhkan waktu yang Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 13 lebih banyak untuk menyelesaikan siklus pengisian diastolik dan pengosongongan sistolik. Selain itu, miokardium menjadi kurang responsif terhadap impuls dari sistem saraf simpatik. Proses menua juga menyebabkan penurunan fungsi pada jantung khususnya perubahan dalam elektrofisiologi jantung. Hal ini terjadi dikarenakan oleh pertambahan usia yang menyebabkan penurunan jumlah sel pacemaker jantung, meningkatnya ketidakteraturan bentuk sel pacemaker jantung, peningkatan deposit lemak, kolagen, dan serat elastis di sekitar SA node. Perubahan tidak hanya terjadi pada struktur sel jantung tetapi juga pada pembuluh darah. Pembuluh darah terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan tunika intima, tunika media, dan tunika eksterna (Marieb & Hoen, 2013). Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah akibat proses menua terjadi pada dua dari tiga lapisan pembuluh darah. Proses menua hanya mempengaruhi lapisan tunika interna dan tunika media. Berdasarkan lapisan pembuluh darah dampak dari perubahan akibat proses menua juga berbeda. Tunika intima terdiri dari satu lapisan sel endotel yang mengontrol masuknya lipid dan zat lain ke dalam dinding pembuluh darah (Shier, Butler, & Lewis, 2012). Dalam keadaan utuh sel endotel memungkinkan darah mengalir tanpa adanya proses pembekuan, namun apabila sel ini rusak maka akan terjadi proses pembekuan. Struktur tunik intima akan berubah dengan bertambahnya usia. Tunika intima akan mengalami penebalan dikarenakan fibrosis, proliferasi sel, dan akumulasi lipid dan kalsium. Selsel endotel pada tunika intima juga mengalami perubahan dalam hal bentuk dan ukuran yang menjadi tidak teratur. Perubahan pada struktur tunika intima juga akan berdampak pada pembuluh darah yang menjadi semakin besar dan panjang. Hal ini menyebabkan dinding pembuluh darah lebih rentan mengalami aterosklerosis. Tunika media terdiri dari lapisan sel otot polos yang dikelilingi oleh serat elastin dan kolagen (Krieger, 2009). Sel otot polos pada pembuluh darah terlibat dalam fungsi pemebentukan jaringan yang memproduksi kolagen, Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 14 proteoglikan, dan serat elastin menyebabkan tunika media berfungsi sebagai pemberi dukungan struktur pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan tunika media mengendalikan ekspansi arteri dan kontraksi pembuluh darah. Proses menua menyebabkan peningkatan kolagen dan penipisan serta kalsifikasi pada serat elastin sehingga menyebabkan pembuluh darah kaku. Perubahan ini berakibat pada aorta. Terjadi peningkatan diameter lumen aorta untuk mengimbangi kekakuan arteri akibat proses menua. Akibat perubahan pada tunika media terjadi peningkatan resistensi perifer, gangguan fungsi baroreseptor, dan kemampuan untuk meningkatkan aliran darah ke organ vital. Peningkatan resistensi aliran darah dari jantung dapat menyebabkan ventrikel kiri dipaksa bekerja lebih keras. Baroreseptor di arteri besar menjadi kurangt efektif dalam mengontrol tekanan darah, terutama selama perubahan postural. Sehingga secara umum peningkatan kekakuan pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik. Pada penjelasan di atas menunjukkan bahwa perubahan pada struktur jantung dan pembuluh darah akibat proses menua dapat mempengaruhi mekanisme barorefleks. Mekanisme barorefleks merupakan proses fisiologis yang mengatur tekanan darah dengan meningkatkan atau menurunkan denyut jantung dan resistensi pembuluh darah perifer. Hal tersebut dilakukan untuk mengkompensasi penurunan atau peningkatan sementara pada arteri. Proses menua menyebabkan perubahan pada mekanisme ini dikarenakan kekakuan arteri dan mengurangi respon kardiovaskuler terhadap rangsangan adregenik (Touhy & Jett, 2014). Perubahan tersebut menyebabkan respons kompensasi untuk rangsangan hipertensi maupun hipotensi berkurang pada lansia. Hal ini menyebabkan peningkatan ataupun penurunan denyut jantung pada lansia tidak seefisien seperti pada orang dewasa yang lebih muda. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 15 2.2.2 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Fungsi Kardiovaskuler Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi kardiovaskuler. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah aterosklerosis, ketidakefektifan aktovitas, merokok, kebiasaan makan, hipertensi, masalah gangguan lipid, obesitas, dan faktor sosial ekonomi. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing faktor risiko tersebut. 2.2.2.1 Aterosklerosis Aterosklerosis merupakan gangguan pada arteri akibat deposit dari lemak dan plak aterosklerotik yang mengurangi atau menghalangi aliran darah (Lewis, 2009). Kondisi patologis ini dimulai sejak usia anak-anak, namun pada anak-anak belum ada gejala yang timbul. Menurut Insull (2009) aterosklerosis merupakan perubahan yang berkelanjutan di dinding arteri yang berkermbang dengan urutan sebagai berikut: Pembentukan awal lapisan lemak pada masa kanak-kanak dan remaja. Pada periode ini partikel kolesterol low-density lipoprotein (LDL) menumpuk pada bagian intima di arteri. Proses penumpukan LDL ini menyebabkan dimulainya proses inflamasi pada pembuluh darah arteri. Fase fibroatheroma awal pada saat remaja dan dewasa awal. Pada periode ini sel makrofag dan sel – sel inflamasi lainnya terakumulasi. Hal tersebut menginisiasi beberapa respon protektif, akan tetapi sisa-sisa nekrotik menyebabkan inflamasi lebih lanjut. Selanjutnya lipid ekstraseluler menumpuk dan membentuk lipid yang kaya akan inti nekrotik yang menempati 30%-50% volume dinding arteri. Sehingga terbentuklah plak dari inti nekrotik di bawah endotelium. Fase atheroma lanjut terjadi pada usia 55 tahun ke atas. Pada masa ini bagian penutup plak di beberapa area menjadi tipis dan lemah. Fibroatheroma yang memiliki penutup plak yang tipis menjadi rentan pecah dan menyebabkan trombosis yang mengancam jiwa. Jika fibroatheroma Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 16 tidak pecah, maka ia akan memperbesar ukuran dan mengurangi area lumen arteri. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa perubahan aterosklerosis dimulai pada masa kanak-kanak dan dapat berkembang manjadi plak. Lesi plak dapat pecah, tetap stabil, ataupun terus tumbuh merupakan menjadi hal dasar penyebab penyakit jantung. Hal ini tentunya akan mengganggu sistem kardiovaskular dalam menjalankan fungsinya. 2.2.2.2 Ketidakefektifan aktivitas Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010). Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan, salah satunya mencegah penyakit kronis. Aktivitas fisik yang teratur dapat membantu seseorang dalam mengendalikan tekanan darah tinggi. Aktivitas fisik menyebabkan low density lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat bisa diredam. Aktivitas fisik yang teratur berpotensi meningkatkan high density lipoprotein (HDL) atau kolesterol baik, sekaligus mengurangi trigliserida. Hal tersebut memberikan dua manfaat sekaligus, yaitu darah anda mengalir lancar, dan sekaligus menurunkan penumpukan plak di arteria. Aktivitas fisik yang teratur juga dapat membantu mencegah diabetes tipe dua, osteoporosis dan kanker jenis tertentu. Aktivitas fisik yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Aktivitas fisik dibagi menjadi dua yaitu aktivitas fisik ringan-sedang dan sedang-berat. Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006), aktivitas fisik ringan-sedang terbagi menjadi dua jenis berdasarkan manfaatnya yaitu aktivitas fisik untuk meningkatkan ketahanan (endurance) dan untuk meningkatkan kelenturan (flexibility), sedangkan aktivitas fisik Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 17 sedang-berat hanya terdapat satu jenis berdasarkan manfaatnya yaitu untuk meningkatkan kekuatan (strength). Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan dapat membantu jantung, paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat lebih bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit dalam 4-7 hari per minggu (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006). Contoh aktivitas fisik untuk meningkatkan ketahanan adalah berjaln kaki, lari ringan (jogging), berenang, senam, bermain tenis, berkebun dan bekerja di taman. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006), untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh aktivitas untuk meningkatkan kelenturan yaitu peregangan, senam taichi, dan yoga. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis. Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006), untuk mendapatkan kekuatan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu). Contoh aktivitas untuk meningkatkan kekuatan adalah push-up, angkat beban, naik turun tangga, mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness). Ketidakefektifan aktivitas merupakan faktor yang tidak hanya meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler pada semua usia, tetapi juga mengurangi fungsi kardiovaskuler pada lansia. Pola aktivitas fisik yang tidak memadai walaupun tanpa adanya proses patologis akan mengganggu kemampuan lansia untuk beradaptasi dengan perubahan kardiovaskuler yang berhubungan dengan proses menua. Berdasarkan panduan praktik berbasis Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 18 bukti aktivitas fisik sedang kurang dari 30 menit dalam lima hari atau aktivitas fisik berat kurang dari 20 menit dalam tiga hari dalam seminggu termasuk ketidakefektifan aktivitas yang dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler (Miller, 2012). Kondisi yang sering terjadi pada lansia dan berkontribusi terhadap terjadinya ketidakefektifan aktivitas ialah penyakit kronis, gaya hidup yang monoton, keterbatasan mobilitas, dan kondisi kronis yang mempengaruhi aktivitas fisik ataupun pengaruh faktor psikososial seperti depresi atau kekurangan motivasi. 2.2.2.3 Merokok Merokok merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler yang paling dapat dihindari. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa segala bentuk penggunaan tembakau (mulai dari merokok dalam bentuk rokok tanpa asap maupun berasap serta paparan asap rokok) dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan kematian. Berdasarkan data nasional United States menunjukkan bahwa 35% kematian yang terkait penyakit kardiovaskuler disebabkan oleh merokok (Llyod-Jones et al, 2009). Beberapa efek pada fungsi kardiovaskuler yang timbul akibat merokok ialah percepatan proses aterosklerosis, peningkatan tekanan darah sistolik, peningkatan kadar kolesterol LDL dan penurunan kadar kolesterol highdensity lipopropetin (HDL). Selain itu, orang yang terkena paparan singkat asap rokok dapat berisiko terkena penyakit jantung. Hal ini didukung oleh data di Amerika yang menunjukkan bahwa perokok pasif yang terkena paparan asap rokok di rumah maupun di tempat kerja memiliki risiko terkena penyakit jantung sebesar 25% sampai 30% (Llyod-Jones et al, 2009). Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 19 2.2.2.4 Kebiasaan Makan Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor risiko peningkatan gangguan pada fungsi kardiovaskular. Hal ini dikarenakan kebiasaan makan mempengaruhi berat badan, tekanan darah, kadar glukosa darah, kadar lipoprotein dan trigliserida dalam darah. Setiap 2% kalori dari lemak trans dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sebesar 23 % (LlyodJones et al, 2009). Selain itu kebiasaan tinggi kalori, tinggi lemak, tinggi kolesterol, dan tinggi garam dapat memperburuk kerusakan gangguan fungsi kardiovaskular. Selain itu kebiasaan makan yang rendah serat, sedikit sayur dan buah meningkatkan risiko gangguan fungsi kardiovaskuler. 2.2.2.5 Hipertensi Hipertensi merupakan masalah kardiovaskular yang umum terjadi pada individu lansia sebagai dampak dari peningkatan usia (proses penuaan) serta adanya faktor pemicu atau risiko yang turut menyertainya, seperti gaya hidup (Meiner, 2006). Faktor pemicu tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yakni faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan tidak dapat dimodifikasi (non modifiable). Faktor risiko tidak dapat dimodifikasi meliputi umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Sedangkan, faktor risiko dapat dimodifikasi meliputi kebiasaan merokok, tekanan darah normal-tinggi, diet tinggi lemak, obesitas, ketidakaktifan fisik, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan stres (Meiner, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan responden dengan tekanan darah normal yang pada awalnya mengalami obesitas, distribusi lemak terpusat, tekanan darah normal namun dibatas maksimal, hiperglikemia atau diabetes sangat berisiko terhadap hipertensi di masa yang akan datang (Simmons, DeJoseph, & Arenson, 2009). Hal ini menujukan faktor risiko yang dapat dimodifikasi jika tidak diperhatiakan dengan baik akan memunculkan risiko yang lebih terhadap hipertensi. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 20 Pada awal hipertensi yaitu hipertensi ringan hingga sedang, tanda dan gejala penyakit ini tidak akan terlalu terlihat. Namun seiring dengan perkembangan penyakit ini, klien lansia akan mengalami kelelahan, pusing, sakit kepala, vertigo, dan palpitasi (Tabloski, 2014). Pada hipertensi berat, klien akan mengalami throbbing occipital headache, kebingungan, penglihatan yang kabur, epitaksis, dan koma. Hipertensi mungkin akan memicu kerusakan pada berbagai organ seperti pada jantung yaitu CHF, hipertrofi ventrikel, MI; pada CNS yaitu stroke; dan lain-lain. Menurut Joint Nasional Comitte (2003) tekanan darah normal dan hipertensi diklasifikasifikasikan menjadi empat tahap, yaitu (1) Normal berkisar ≤120mmHg untuk sistolik dan ≤80 mmHg untuk diastolik (2) Prehipertensi dengan tekanan sistolik sebesar 121-139mmHg dan diastolik sebesar 81-89 mmHg (3) Hipertensi I degan tekanan sistolik 140-159 mmHg dan diastolik 90-99 mmHg, dan (4) Hipertensi II dengan tekanan sistolik ≥160mmHg dan diastolik sebesar ≥100 mmHg (Simmons, DeJoseph, & Arenson, 2009). 2.2.2.6 Gangguan Lipid Ganguan lipid atau yang juga disebut dislipidemia atau hiperlidemia merupakan istilah yang cukup luas mencakup semua kelainan metabolisme lipoprotein (Tabloski, 2014). Kondisi ini termasuk rendahnya kadar HDL yang sering disebut sebagai kolesterol baik dan tingginya kadar LDL yang biasa disebut kolesterol jahat. Kelebihan kadar lipid dalam darah dapat meningkatkan pertumbuhan plak aterosklerosis yang mengganggu aliran darah dan mempengaruhi penurunan fungsi kardiovaskular. Hal ini dibuktikan oleh penelitain terkait reduksi kolesterol dalam tubuh dengan terapi medikasi statin dapat menurunkan 30% risiko kejadian serangan jantung (Mauk, 2006) Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 21 2.2.2.7 Obesitas Obesitas didefinisikan sebagai kondisi dimana tubuhb seseorang memiliki indeks masa tubuh di atas 30 kg/m2 (Miller, 2012). Kondisi ini erat kaitannya dengan risiko gangguan kardiovaskuler, terutama abdominal obsitas atau disebut juga adipositas perut yaitu kondisi dimana jaringan lemak yang terdiri dari lemak banyak tertimbun pada bagian perut seseorang. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa jaringan lemak di perut secara biologis dan metabolik berbeda dengan lemak subkutan. Hal tersebut membuat jaringan adiposa diperut memiliki dampak yang lebih besar pada penyakit kardiovaskular jika dibandingkan dengan obesitas pada umumnya (Carr & Tannock, 2009). 2.2.2.8 Faktor Sosial Ekonomi Faktor sosial ekonomi pada lansia terdiri dari pendapatan, pekerjaan, tingkat pendidikan, kondisi keluarga, serta lingkungan masyarakat tempat tinggal. Faktor sosial ekonomi yang paling mempengaruhi terhadap fungsi kardiovaskuler adalah tingkat pendidikan (Llyod-Jones et al, 2009). Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan mempengaruhi pemahaman seseorang terkait kondisi kesehatan yang dialaminya. Pemahaman akan mempengaruhi kesadaran seseorang terkait hidup sehat dan manajemen kesehatan yang dilakukan. 2.3 Pelayanan Lanjut Usia Perawatan dan pelayanan usia lanjut berkembang dengan cepat. Pelayanan lanjut usia yang banyak diberikan pada lansia saat ini adalah nursing home, hospital base-service, dan community base. Pemerintah Indonesia sendiri telah mendirikan sebuah lembaga pelayanan berbasis lansia yang dikenal dengan nama Panti Sosial Tresna Werdha. Berikut penulis akan menjelaskan perbedaan pada masing-masing pelayanan: Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 22 2.3.1 Nursing home Nursing home umumnya diperuntukan untuk lansia pada beberapa negara di dunia. Tennesse Health Care Association (2013) menyebutkan bahwa nursing home merupakan sebuah tempat tinggal yang memiliki berbagai fasilitas kesehatan dan sosial yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar lanjut usia seperti makan, berpakaian, dan merawat diri. Nursing home mengacu pada pengaturan kelembagaan perumahan bagi orang-orang yang membutuhkan bantuan dalam melakukan beberapa ADL (Miller, 2012). Nursing home dikelola secara langsung dan terus-menerus oleh registered nurse atau oleh tenaga perawat terlatih. Nursing home harus memiliki ijin dari pemerintah pusat dan bersertifikat sebagai pelayanan medis atau pertolongan medis. Pelayanan nursing home harus memenuhi standar sertifikasi yang diberikan oleh California Advocates Health Nursing Reform (2012) dengan ketentuan terpenuhinya kebutuhan akomodasi untuk lansia, karyawan dan tenaga kesehatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan lansia, kebutuhan nutrisi yang memenuhi standar diet yang bagus, makanan yang menarik, gizi yang seimbang dan pola makan yang teratur dengan peralatan makanan yang memadai, pemberian obat yang diberikan secara tepat oleh tenaga kesehatan di nursing home, petugas apoteker yang berlisensi dalam sistem pengobatan untuk lansia, pelayanan fisioterapi, dan pelayanan mata. 2.3.2 Hospital Based-Service Hospital based services bertugas memenuhi kebutuhan perawatan akut dengan fasilitas unit geriatri yang terpisah dari unit-unit lainnya yang ada di rumah sakit yang dikelola oleh multidisipliner yang terlatih khusus. Alasan dibentuknya unit ini adalah lansia memiliki kebutuhan yang unik yang dapat diantisipasi dan ditangani untuk mencegah penurunan fungsional selama rawat inap berlangsung. Fokus dari program pelayanan unit geriatri adalah untuk membantu lansia yang memiliki masalah kompleks untuk tetap pada tingkat tertinggi dari fungsi yang dimiliki. Elemen kunci dari unit geriatri Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 23 adalah adanya lingkungan yang disesuaikan secara khusus; sebuah pendekatan tim multidisiplin; perawatan berpusat pada klien, termasuk rencana perawatan untuk rehabilitasi dan pencegahan kecacatan; kajian intensif perawatan untuk meminimalkan dampak buruk dari obat-obatan dan prosedur; dan perencanaan pulang dengan tujuan agar klien dapat kembali lagi ke rumah (Touhy & Jett, 2014). Hal penting yang harus dipahami oleh perawat gerontik adalah family-centered care. 2.3.3 Community-Based Services for Elderly Community-base Services adalah suatu kegiatan yang membantu lansia dalam melakukan Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) agar lansia tersebut dapat tetap tinggal di rumah masing-masing melalui berbagai program bantuan seperti berbelanja, mengelola keuangan dan obat-obatan, membersihkan rumah, dan lain sebagainya (Kassner, 2011). Bentuk pelayanan keperawatan yang meliputi community-based services terdiri dari adult day care, respite service, parish nursing program, dan program promosi kesehatan. Adult day care menyediakan kegiatan berupa kegiatan sosial dan rekreasi yang terstruktur disertai dengan penyediaan makanan, transportasi, manajemen obat, pantuan dalam perawatan diri, dan berbagai pelayanan kesehatan terkait terapi yang akan dilakukan pada hari kerja dengan jam kerja 8 jam/hari (Tabloski, 2014). Perawatan yang ada di adult day care didasarkan atas program kesehatan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan serta keamanan lanjut usia ketika anggota keluarga lansia bekerja atau sedang tidak dapat membantu lansia tersebut. Progrram lain yang hampir serupa dengan adult day care adalah respite center. Respite center adalah suatu lembaga yang memberikan pelayanan yang sama seperti adult day care, bedanya terletak pada jenis lansia yang menggunakan layanan tersebut dimana pengguna layanan adult care center merupakan lansia yang mengalami masalah gangguan fungsional yang lebih Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 24 kompleks dibandingkan lansia di respite care. Respite service adalah jenis bantuan yang secara langsung bertujuan untuk mengistirahatkan caregiver dari tugasnya terhadap caregiving (Challis, et al, 2010). Tujuan dari respite services adalah meningkatkan kesejahteraan caregivers dan menunda pelembagaan lansia yang ketergantungan. 2.3.4 Panti Sosial Tresna Werdha Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) merupakan salah satu solusi dari permasalahan lansia perkotaan. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat, yang meliputi perawatan, perlindungan dan pembinaan fisik, spiritual, sosial dan psikologis (Kepmensos no.50/HUK/2004). Lanjut usia terlantar adalah seseorang berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani, maupun sosial (Kemensos, 2006). Berdasarkan data Depsos tahun 2004 dalam kemensos (2006), jumlah lanjut usia tercatat 16.522.311 jiwa, dari jumlah itu, 3.092.910 jiwa atau sekitar 20% diantaranya adalah lanjut usia terlantar yang tidak memiliki pensiun, aset, maupun tabungan yang menyebabkan lansia-lansia tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehari-hari. Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang membuat lansia dapat dikategorikan sebagai lansia terlantar, yaitu apabila mengalami sakit tidak adanya kemampuan untuk melakukan pengobatan, merasakan atau menyadari keberadaannya ditengah-tengah masyarakat sudah tidak diperlukan lagi, serta merasakan atau menyadari keberadaannya ditengah-tengah masyarakat sudah tidak diperlukan lagi (menggantungkan hidupnya pada orang lain). Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 25 2.4 Konsep Keperawatan Gerontik 2.4.1 Pengertian Keperawatan Gerontik Gerontologi adalah suatu ilmu yang mempelajari proses penuaan dan masalah yang akan terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2013). Gerontologi juga merupakan suatu pendekatan ilmiah dari berbagai aspek proses penuaan, yaitu kesehatan, sosial, ekonomi, perilaku, lingkungan, dan lainlain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gerontologi merupakan keilmuan yang mempelajari tentang proses penuan dari berbagai aspek terkait individu lansia. Keperawatan gerontik merupakan suatu pelayanan profesional keperawatan yang holistik yang ditujukan kepada klien lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Menurut Miller (2012) menyatakan keperawatan gerontik adalah ilmu yang mempelajari tentang perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan status fungsional, perencanaan, implementasi, serta evaluasi. 2.4.2 Peran Perawat Gerontik Peran perawat gerontik untuk meningkatkan kualitas hidup lansia sudah mulai banyak dirasakan oleh negara-negara maju. Asuhan keperawatan membantu terwujudnya peningkatan kualitas hidup lansia di beberapa layanan keperawatan pada lansia. Mauk (2006) membagi perawat gerontik ke dalam dua kategori, yaitu perawat gerontik spesialis klinis/gerontological clinical nurse specialist (CNS) dan perawat gerontik pelaksana/geriatric nurse practitioner (GNP). Peran dari kedua kategori perawat gerontik ini cukup berbeda. Peran CNS yaitu perawat klinis secara langsung, pendidik, manajer perawat, advokat, manajemen kasus, dan peneliti dalam perencanaan perawatan atau meningkatkan kualitas perawatan bagi klien lansia dan keluarganya pada setting rumah sakit atau fasilitas perawatan jangka panjang, outreach programs, dan independent consultant. Sedangkan peran GNP yaitu Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 26 memenuhi kebutuhan klien pada daerah yang sulit untuk dijangkau; melakukan intervensi untuk promosi kesehatan, mempertahankan dan mengembalikan status kesehatan klien, manajemen kasus, dan advokat pada setting klinik ambulatori, fasilitas jangka panjang, dan independent practice. Perawat di Indonesia terbagi dalam dua kategori, yaitu perawat generalis dan pearawat spesialis. Peran dari perawat generalis maupun spesialis dalam setting keperawatan gerontik pada dasarnya sama, perbedaan keduanya terletak pada lingkup kerja dimana perawat spesialis gerontik meliki lingkup yang cukup luas terkait manajeman untuk meningkatkan kualitas perawatan bagi lansia dan keluarganya pada berbagai setting. Dengan kata lain, perawat spesialis gerontologi secara khas berfokus pada pengetahuan dan keahlian lanjutan yang dibutuhkan untuk merawat klien lansia dalam berbagai macam kondisi, dan siap untuk mengambil peran kepemimpinandalam pelayanan tersebut. Peran dari perawat gerontik yaitu diantaranya sebagai pemberi pelayanan, pengajar, manajer, peneliti, dan advokat (Mauk, 2006). Peran pertama dan kedua dari perawat gerontik yaitu sebagai pemberi pelayanan, pengajar dan manajer. Sebagai pemberi pelayanan, perawat gerontik memberikan perawatan secara langsung kepada lansia dalam berbagam situasi. Perawat harus mampu memahami proses penyakit yang umum terjadi pada populasi lansia termasuk pengetahuan tentang latar belakang dan statistik penyakit, faktor risiko, tanda dan gejala, terapi medikasi, asuhan keperawatan, dan rehabilitasi yang dapat diberikan pada lansia tersebut (Mauk, 2006). Sedangkan terkait peran perawat sebagai pengajar, perawat gerontik fokus untuk mengajarkan lansia pada faktorfaktor risiko yang dapat dimodifikasi melalui health promotion dan health protection. Perawat memiliki tanggung jawab untuk mendidik populasi lansia tentang cara-cara untuk mengurangi risiko gangguan seperti penyakit jantung, kanker, dan stroke yang merupakan penyebab utama kematian untuk kelompok lansia. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 27 Peran perawat gerontik ketiga dan keempat yaitu sebagai manajer dan advokat. Sebagai manajer, perawat gerontik bertindak sebagai manajer dalam perawatan sehari-hari dengan tugas menyeimbangkan antara kekhawatiran pasien, keluarga, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya (Mauk, 2006). Perawat manajer juga harus mampu mengembangkan keterampilan dalam koordinasi staf, manajemen waktu, ketegasan, komunikasi, dan organisasi. Sedangkan sebagai advokat, perawat gerontik bertindak atas nama lansia untuk mempromosikan kepentingan terbaik mereka dalam pengambilan keputusan (Mauk, 2006). Advokasi dapat berupa keterlibatan aktif membantu untuk menjelaskan prosedur medis atau keperawatan kepada anggota keluarga. Apapun situasinya, perawat gerontik harus ingat bahwa menjadi seorang advokat tidak berarti membuat keputusan untuk lansia, tetapi memberdayakan mereka, membantu mereka agar tetap independen, dan mempertahankan martabat, bahkan dalam situasi yang sulit. Peran kelima perawat gerontik adalah sebagai peneliti. Perawat gerontik harus menyadari bahwa saat ini riset terkait keperawatan gerontik penting untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya usia harapan hidup lansia dan tingginya kebutuhan akan asuhan keperawatan dengan kualitas yang baik. Perawat gerontik dapat meningkatkan kualitas perawatan pasien lansia dengan menggunakan praktik berbasis riset (Mauk, 2006). Perawat juga harus selalu membaca jurnal khusus dan melanjutkan pendidikan dengan menghadiri seminar dan lokakarya, mengejar pendidikan formal tambahan, atau memperoleh sertifikasi. 2.4.3 Keperawatan Gerontik pada Area Perkotaan Menurut Stanhope dan Lancester (2004), perkotaan merupakan pusat urban dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta orang. Penduduk yang banyak membuat kota menjadi daerah yang padat, sehingga membuat masyarakat yang heterogen mulai dari status ekonomi, sosial, aspek fisik, dan aspek hukum seperti yang dijelaskan pada (Allender, Rector, & Warner, 2010). Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 28 Hal tersebut membuat perkotaan menjadi tempat yang dinamis, baik dari segi pertumbuhan usia masyarakat kota yang semakin menua, pembangunan aparatur pemerintahan, pusat perbelanjaan, pusat kesehatan maupun pada masyarakatnya yang mempunyai gaya hidup, dan kebiasaan yang cenderung khas dimana mengarah pada gaya hidup yang buruk seperti halnya gemar mengonsumsi makanan, jarang beraktivitas, dan pola hidup yang monoton sehingga membuat munculnya masalah kesehatan yang kerap terjadi antara lain hipertensi atau masalah kardiovaskuler dan penyakit degeneratif atau di sebut juga penyakit tidak menular yang sering terjadi pada lansia (Stanhope dan Lancester &, 2004). Perawat gerontik dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien lansia di area perkotaan harus dapat memperhatikan nilai perbedaan budaya, ras, dan status sosial ekonomi. Hal tersebut dikarenakan penduduk lansia di area perkotan memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Dalam pemberian asuhan kepada lansia di area perkotaan, perawat gerontik juga diharapkan dapat melakukan pemberdayaan dan menjalin kerjasama dalam bentuk pembuatan kebijakan-kebijakan yang mendukung pemberian asuhan keperawatan yang optimal pada lansia. Hal ini diharapkan dapat memberikan keadilan sosial bagi lansia (Allender, Rector, & Warner, 2010). 2.4.4 Asuhan Keperawatan Gerontik Asuhan keperawatan gerontik tidak berbeda dengan asuhan keperawatan pada umumnya yang menggunakan prinsip lima langkah proses keperawatan. Lima proses keperawatan itu antara lain pengkajian keperawatan, penegakkan diagnosis keperawatan, pembuatan rencana keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 29 2.4.4.1 Pengkajian Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional klien pada saat ini dan riwayat sebelumnya (Potter & Perry, 2013). Pengkajian keperawatan terdiri dari 2 tahap yaitu mengumpulkan dan verivikasi data dari sumber primer dan sekunder dan yang kedua adalah menganalisis seluruh data sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis keperawatan. Pada asuhan keperawatan gerontik, pengkajian menjadi hal komponen yang esensial dan kompleks dalam proses keperawatan (Miller, 2012). Pengkajian geriatri pada lansia menjadi khas pada pengkajian keperawatan gerontik. Pengkajian gertiatri pada lansia dilakukan dengan menggunakan alat atau format pengkajian keperawatan seperti IADL, Barthel Index, MNA, MMSE, MFS, GDS, CDR, PSQI. Pada lansia pengkajian keperawatan kardiovaskuler lebih banyak berfokus pada pengidentifikasian faktor risiko penyakit kardiovaskular dan pengetahuan lansia terkait faktor-faktor risiko yang ada pada dirinya. Pengkajian fisik terkait aspek fungsi kardiovaskuler pada lansia tidak jauh berbeda dengan pengkajian fungsi kardiovaskuler pada orang dewasa pada umumnya. Pengkajian fisik fungsi kardiovaskuler dapat dilakukan dengan pengukuran tekanan darah, inspeksi prekordium, inspeksi dan palpasi bagian iktus kordis, palpasi jantung, perkusi jantung, dan asukultasi bunyi jantung. Departement of Health and Human Service National Herat, Lung, and Blood Institute United States pada tahun 2001 mengembangkan format penilaian yang bertujuan untuk menilai risiko perkembangan penyakit jantung dan/atau serangan jantung pada lansia (Miller, 2012). Penilaian pada format tersebut melihat faktor risiko mayor, skor risiko yang didapat dari data usia, total kolesterol, kebiasan merokok, tekanan darah sistolik. Hasil penilaian dari format tersebut berbentuk kategori. Terdapat empat kategori yang terdiri dari kategori risiko rendah-sedang jika lansia memiliki kurang Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 30 dari sama dengan satu faktor risiko mayor. Kategori sedang apabila lansia memiliki 2 atau lebih faktor risiko mayor dan skor risiko kurang dari 10%. Kategori ketiga adalah menuju risiko tinggi apabila lansia memiliki 2 atau lebih faktor risiko mayor dan skor risiko 10%-20%. Kategori keempat adalah risiko tinggi apabila lansia memiliki penyakit jantung atau diabetes dan skor risiko lebih dari 20%. 2.4.4.2 Diagnosis Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu, keluarga, dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan ataupun kerentanan respon terkait masalah kesehatan (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosa keperawatan menjadi dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai kriteria hasil yang diharapkan selama proses perawatan. Pedoman diagnosa keperawatan yang digunakan di seluruh dunia saat ini mengacu pada NANDA International (NANDA-I). Perawat dapat menganalisis hasil pengkajian untuk menegakkan diagnosis keperawatan yang sesuai dengan kondisi lansia. Apabila hasil pengkajian menemukan data-data yang mengarah ke masalah kardivaskuler perawat dapat menegakkan diagnosis keperawatan yang terkait masalah kardiovaskuler. Pada lansia terdapat beberapa diagnosis keperawatan terkait masalah kardiovaskuler yaitu intoleransi aktivitas, penurunan curah jantung, ketidakefektivan perfusi janringan perifer, ketidaefektivan pemeliharaan kesehatan, dan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler (Miller, 2012). 2.4.4.3 Rencana Keperawatan Perencaan keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan yang terdiri dari dua langkah (Potter & Perry, 2013). Langkah pertama adalah menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi klien. Langkah kedua perencaan keperawatan adalah merencanakan intervensi keperawatan yang akan diimplementasikan kepada klien. Dalam menetapkan tujuan dan kriteria hasil perawat menggunakan pedoman Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 31 Nursing Outcomes Classification (NOC). Sedangkan dalam merencanakan intervensi keperawatan digunakan Nursing Interventions Classification (NIC) sebagai acuan. Intervensi keperawatan pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular bertujuan untuk mempromosikan kesehatan fungsi kardiovaskular (Touhy & Jett, 2014). Intervensi ini berfokus pada pencegahan primer dan sekunder dari penyakit-penyakit kardiovaskuler. Intervensi keperawatan juga dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor risiko tertentu seperti hipertensi, obesitas, merokok, dan gangguan lipid. Intervensi keperawatan juga dilakukan sebagai langkah pencegahan melalui peningkatan aktivitas fisik, pola diet jantung sehat, dan tindakan yang mengurangi stres. Perawat dapat menggunakan klasifikasi Intervensi keperawatan yang dikenal dengan sebutan NIC ( Nursing Intervension Classification) dalam mempromosikan kesehatan kardiovaskuler. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler antara lain ialah manajemen risiko jantung, peningkatan koping, exercise promotion, pendidikan kesehatan, memfasilitasi meditasi, konseling gizi, guided imagery, terapi relaksasi, dan massage (Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Massage merupakan intervensi komplementer yang dapat dilakukan terkait masalah risiko kerusakan fungsi kardivaskular berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC) yang hanya dapat diberikan oleh perawat. Massage adalah stimulasi pada kulit dan jaringan di bawahnya dengan variasi derajat penekanan tangan untuk mengurangi nyeri, menciptakan kondisi rileks, dan/ atau meningkatkan sirkulasi (Bulechek, Bucther, & Dochterman, 2013). Berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC) prosedur tindakan massage dimulai dengan pemeriksaan untuk apakah ada kontraindikasi seperti trombosit menurun, penurunan integritas kulit, trombosis vena dalam, daerah dengan lesi terbuka, kemerahan atau Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 32 peradangan, tumor, dan hipersensitivitas menyentuh. Menilai klien keinginan untuk dipijat. Membangun periode waktu untuk pijat yang mencapai respon yang diinginkan. Pilih area tubuh menjadi pijat. Cuci tangan dengan air hangat. Menyiapkan lingkungan pribadi yang hangat dan nyaman, tanpa gangguan. Tempatkan klien dalam posisi yang nyaman yang memudahkan pijat. Menutupi untuk mengekspos hanya area yang dipijat, sesuai kebutuhan. Menutupi daerah tidak terekspos dengan selimut, seprai, atau handuk mandi yang diperlukan. Gunakan lotion, minyak, atau bubuk kering untuk mengurangi gesekan, menilai setiap sensitivitas atau kontraindikasi. Hangatkan lotion atau minyak di telapak tangan. Pijat secara terus menerus, dengan gerakan; usapan panjang; meremas; atau getaran dengan telapak tangan, jari, dan ibu jari. Lakukan adaptasi area, teknik, dan tekanan pijat pada persepsi kenyamanan pasien dan tujuan pijat. Mendorong pasien untuk menyarankan setiap bagian dari pijat yang tidak nyaman. Anjurkan pasien di penyelesaian pijat untuk beristirahat sampai siap dan kemudian bergerak perlahan-lahan. Gunakan pijat sendiri atau bersama dengan langkah-langkah lainnya, yang sesuai. Mengevaluasi dan respon dokumen untuk memijat. Berdasarkan prosedur massage yang terdapat dalam Nursing Interventions Classification (NIC) bahwa teknik gerakan massage dan area yang diberikan massage disesuaikan dengan tujuan pemijatan (Bulechek, Bucther, & Dochterman, 2013). Salah satu tujuan pemijatan adalah melancarkan sirkulasi dan menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Berdasarkan studi literatur dan beberapa penelitian ditemukan bahwa Swedish massage yang dapat bermanfaat sebagai intervensi untuk menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler dengan menurunkan tekanan darah. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 33 2.4.4.3.1 Swedish Massage Swedish Massage adalah massage tradisional masyarakat swedia yang dikembangkan secara sistematis sebagai sistem European massage pada awal abad ke-18 oleh Per Hendrik Ling (Vickers & Zollman, 1999). Ling percaya bahwa pijat bisa membawa kesembuhan dengan meningkatkan sirkulasi darah dan getah bening. Dalam 20-30 tahun terakhir terapis komplementer telah mengadaptasi Swedish Massage sehingga untuk menempatkan penekanan lebih besar pada aspek psikologis dan spiritual Manfaat pengobatan pijat sekarang dijelaskan lebih dalam hal seperti “ketenangan” atau “keutuhan” dari segi melonggarkan sendi kaku atau meningkatkan aliran darah. Adapun beberapa gerakan yang digunakan oleh Per Hendrik Ling dalam melakukan Swedish Massage pada seluruh tubuh adalah Long strokes atau Effleurage, Kneading atau Petrissage, Friction, dan Tapping atau Hacking (Vickers & Zollman, 1999). Gerakan Long strokes atau Effleurage adalah usapan lembut sepanjang otot. Gerakan Kneading atau Petrissage adalah Peremasan dengan tekanan diterapkan di seluruh otot. Gerakan Friction adalah pijat dalam diterapkan oleh gerakan melingkar dari jempol atau jari. Gerakan Tapping atau Hacking adalah menampar tipis atau seperti gerakan mencacah dalam karate. Berikut adalah format prosedur Swedish Massage pada seluruh tubuh yang dikembangkan oleh Per Hendrik Ling. (1) Klien diminta untuk berbaring telungkup dengan hanya kaki kanan yang terlihat. Minyak pijat dioleskan pada kaki terbuka. (2) Usapan panjang dilakukan pada kaki kanan posterior. (3) Otot gastrocnemius diremas menggunakan kedua jempol. (4) Langkah (2) diulang. (5) Bagian-bagian medial dan lateral belakang paha diremas menggunakan telapak tangan; lalu dilakukan tapping atau dipukul dengan sisi medial tangan; dilakukan tapping menggunakan sisi medial kepalan tinju. (6) Lalu pada limfatik drainase kemudian dilakukan usapan panjang Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 34 sepanjang vena atau pembuluh limfatik menuju kelenjar getah bening terdekat. (7) Langkah (2) diulang. (8) Lakukan langkah 1-7 diulang pada kaki kiri. (9) Pijat kemudian dilakukan di bagian belakang. Minyak pijat oleskan di seluruh permukaan punggung. (10) Usapan panjang dilakukan dengan menggunakan telapak tangan terapis dari bawah kembali ke bahu. (11) Kneading atau peremasan menggunakan jari diterapkan sejajar dengan tulang belakang dari punggung bawah ke antara skapula. (12) Langkah (10) diulang. (13) Kneading atau peremasan menggunakan telapak tangan diterapkan pada kedua daerah pinggang dan posterior ke paru- paru. (14) Lalu pada limfatik drainase dilakukan usapan panjang dari bawah kembali ke aksila dan kelenjar getah bening subclavicular. (15) Langkah (10) diulang. (16) Subjek diminta untuk berbalik dan berbaring terlentang dengan kaki kanan terbuka. Minyak pijat diterapkan pada seluruh kaki. (17) Usapan panjang yang diterapkan pada kaki kanan anterior. (18) Otot tibialis anterior diremas menggunakan kedua jempol. (19) Langkah (17) diulang. (20) Otot bisep femoris diremas menggunakan telapak tangan. (21) Langkah (6) dan Langkah (17) yang berulang. (22) Pijat kemudian dilakukan pada perut dengan mengoleskan minyak pijat. (23) Usapan panjang yang diterapkan dari umbilikus ke xiphisternum, sepanjang batas bawah tulang rusuk terhadap lateral perut dan inferior terhadap daerah inguinal. (24) Usapan diterapkan sepanjang menaik, melintang, dan turun usus. (25) Lakukan remasan kecil dan melingkar menggunakan ujung jari adalah searah jarum jam diterapkan di sekitar umbilikus. (26) Lalu pada limfatik drainase dilakukan usapan panjang dari daerah pinggang posterior ke inguinal yang wilayah. (27) Langkah (23) diulang. (28) Pijat kemudian dilakukan di lengan kanan dengan mengoleskan minyak pijat. (29) Effleurage diterapkan menggunakan satu tangan untuk mendukung lengan klien dan sisi lain melakukan usapan panjang dari pergelangan tangan ke daerah tulang belikat. (30) Lengan bawah diremas menggunakan ibu jari. (31) Lengan atas diremas menggunakan telapak tangan tersebut. (32) Langkah (29) diulang. (33) Klien diminta untuk duduk dengan punggung mengarah ke terapis pijat. (34) Pijat berakhir dengan pijat ke kulit kepala, Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 35 leher, dan bahu. (35) Kulit kepala ini diremas dari daerah frontal ke daerah oksipital menggunakan jari. (36) Pelipis yang diremas dengan gerakan memutar menggunakan ujung jari tangan. (37) Otot-otot trapezius dan deltoid yang diremas menurut untuk orientasi serat otot menggunakan jari. Pemberian intervensi Swedish Massage dapat mengambil berbagai bentuk gerakan dan area tubuh mana pun dengan durasi 10 sampai 90 menit (Vickers & Zollman, 1999). Hal ini dikarenakan pemberian Swedish Massage disesuaikan dengan tujuan hasil yang diharapkan. Misalnya pemijatan pada area abdomen saja ditunjukkan untuk mengatasi masalah konstipasi atau pemijatan pada area-area lengan, leher, kepala, kaki, punggung, dan area torso dapat membantu dalam menurunkan kadar gula dalam darah (Sajedi et.all, 2011; Baghrabadi et.al, 2015). Swedish Massage telah diketahui manfaatnya bagi terkait efek relaksasi terapeutik yang dihasilkan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa Swedish Massage dapat menurunkan ansietas dan nyeri (Benney & Gibbs, 2012; Sritooma, Moyle, Cooke, & O’Dwyer, 2012). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Malaysia pada tahun 2013, Swedish Massage terbukti dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 12 mmHg dan tekanan darah sistolik sebesar 5 mmHg (Supa’at, Zakaria, Maskon, Aminuddin, Nordin, 2013). Selain penelitian di Malaysia, keefektifan Swedish Massage dalam menurunkan tekanan darah juga telah diteliti di Iran oleh Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou pada tahun 2014. Prosedur Swedish Massage yang dilakukan dalam penelitian Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou pada tahun 2014 untuk menurunkan tekanan darah diawali dengan pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi radialis di awal sesi dan dilanjutkan pemosisian lansia dan pemijatan pada punggung lansia. Prosedur yang dilakukan meliputi long stroke atau usapan panjang dari pinggang ke bahu (diulang beberapa kali), kneading atau peremasan dari pinggang ke pundak (diulang beberapa kali), dan tapping atau teknik tapotemen dengan pinggir jemari di pundak, punggung sampai Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 36 pinggang (diulang beberapa kali) dan diulangi kembali ke gerakan awal. Di akhir setiap sesi dilakukan pemeriksaan kembal pada tekanan darah dan frekuensi nadi lansia. Terdapat 12 sesi terapi yang dilakukan dengan masing-masing sesi memiliki durasi selama 10 menit (Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou, 2014). Swedish massage dapat menurunkan tekanan darah dikarenakan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis yang disebabkan oleh penekananpenekanan dalam massage (Ouchi, Kanno, & Okada, 2006). Gerakangerakan pada swedish massage seperti usapan panjang (long stroke), peremasan (kneading), dan tapotemen (tapping) membuat aktivitas saraf parasimpatis terstimulasi. Peningkatan stimulasi saraf simpatis dapat membuat serat-serat pascagangglion parasimpatis melepaskan asetilkolin. Asetilkolin akan berikatan dengan reseptor kolinergik muskarinik menyebabkan peningkatan konduktansi K+ di dalam sel pacemaker (Shier, Butler, & Lewis, 2012). Hal ini menyebabkan hiperpolarisasi potensial membran dan menurunkan kecepatan pada fase keempat depolarisasi dan otomatisasi pada sel pacemaker. Hal tersebut menyebabkan perlambatan kontraksi ventrikel kiri pada jantung. Perlambatan kontraksi ventrikel kiri menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga terjadi penurunan tekanan darah. 2.4.4.4 Implementasi Implementasi keperawatan merupakan tahap keempat proses keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Potter & Perry, 2013). Pada tahap ini perawat akan mengimplementasikan intervensi yang telah direncanakan berdasarkan hasil pengkajian dan penegakan diagnosis keperawatan. Implementasi dari rencana keperawatan yang dibuat berdasarkan diagnosis yang tepat diharapkan dapat mencapai tujuan dan hasil sesuai yang diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status kesehatan klien. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 37 Penerapan implementasi keperawatan yang dilakukan perawat harus berdasarkan intervensi berbasis bukti atau telah ada penelitian yang dilakukan terkait intervensi tersebut. Hal ini dilakukan agar menjamin bahwa intervensi yang diberikan aman dan efektif bagi lansia (Miller, 2012). Pada tahap implemtasi ini perawat juga harus kritis dalam menilai dan mengevaluasi respon lansia terhadap pengimplementasian intervensi yang diberikan. 2.4.4.5 Evaluasi Evaluasi merupakan tahap kelima dari proses keperawatan. Tahap ini sangat penting untuk menentukan adanya perbaikan kondisi atau kesejahteraan klien (Potter & Perry, 2013). Hal yang perlu diingat adalah evaluasi merupakan proses kontinu yang terjadi saat perawat melakukan kontak dengan klien. Selama proses evaluasi perawat membuat keputusankepusan kinis dan secara terus menerus mengarah kembali ke asuhan keperawatan. Tujuan asuhan keperawatan adalah membantu klien menyelesaikan masalah kesehatan aktual, mencegah terjadinya masalah risiko, dan mempertahankan status kesehatan sejahtera. Proses evaluasi menentukan keefektivitasan asuhan keperawatan yang diberikan. Pada klien lansia perawat harus kritis dan cermat dalam menilai dan mengevaluasi respon klien terhadap intervensi yang diberikan. Hal ini dikarenakan pada lansia terjadi proses penuaan yang mengakibatkan adanya perubahan biologis yang mempengaruhi fungsi organ dan fungsional lansia itu sendiri (Touhy & Jett,2014). Perawat dapat menggunakan format evaluasi SOAP untuk mengevaluasi hasil intervensi yang dilakukan. Poin S merujuk pada respon subjektif lansia setelah diberikan intervensi. Poin O melihat pada respon objektif yang dapat diukur pada lansia setelah dilakukannya intervensi. Poin A adalah analisis perawat terhadap intervensi yang dilakukan. Poin P adalah perencanaan terkait tindakan selanjutnya sesuai analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA Pada bab ini penulis akan memaparkan asuhan keperawatan pada empat klien lansia yang terdiri dari satu orang klien kelolaan utama dan tiga orang klien kelolaan resume dengan masalah keperawatan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Pemaparan asuhan keperawatan akan berfokus pada masalah utama yang diangkat, sedangkan masalah keperawatan lainnya akan dipaparkan di lampiran. 3.1 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Utama Pada sub bab ini akan dijelaskan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien kelolaan utama nenek R secara lengkap. Penjelasan asuhan keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana keperawatan, implementasi, dan evaluasi. 3.1.1 Pengkajian Pengkajian pada klien lansia yang dilakukan meliputi wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, dan pengkajian menggunakan format penilaian khusus geriatri. 3.1.1.1 Identitas Klien Nenek R berusia 91 tahun merupakan salah satu warga binaan dari PSTW Budi Mulia 1 Cipayung. Nenek R sudah tiga tahun tinggal di wisma, tepatnya sejak tanggal 25 Februari 2013. Saat ini klien tinggal di wisma catleya PSTW Budi Mulia 1 Cipayung. Sebelum tinggal di wisma nenek R tinggal di jalan veteran no.32 bersama suami dan anak-anaknya. Klien pernah bersekolah sampai dengan kelas 4 sekolah rakyat. Klien mengatakan tidak melanjutkan sekolah dikarenakan merantau ke Jakarta dari daerah asalnya Cirebon. Semasa hidupnya klien bekerja sebagai pedagang. Klien memeluk agama Islam dan dalam keseharian nenek R 38 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 39 masih rajin untuk melaksanakan sholat lima waktu dan mengikuti pengajian iqro di panti. Nenek menceritakan bahwa klien tinggal di panti dikarenakan di bawa oleh mobil biru saat kabur dari suami. Klien mengatakan semenjak suaminya pensiun sebagai PNS di departemen pertahanan suasana di rumahnya menjadi kurang harmonis dan sering terjadi konflik. Nenek R kabur dari rumah karena tidak nyaman dengan perilaku suami. Klien menceritakan bahwa pada dasarnya suaminya adalah orang yang baik dan penyayang, namun ada perilaku-perilaku yang kurang berkenan di hati klien semenjak suami pensiun. Klien merasa kesal karena ketika klien bekerja keras mencari uang dengan berdagang suami klien tidak pernah membantu dan hanya bermalas-malasan dan melakukan perilaku yang tidak disukai klien. Saat ini nenek R tidak mengetahui bagaimana kabar suami dan anak-anaknya karena tidak ada keluarga yang tahu nenek R tinggal di panti dan klien tidak memiliki nomor telepon keluarga yang dapat di hubungi. 3.1.1.2 Riwayat Kesehatan Klien Pada saat pengkajian secara subjektif klien tidak banyak mengeluhkan kondisi kesehatannya. Klien merasa sehat, namun klien sering merasa pegal-pegal di badan, tengkuk merasa tegang, akan tetapi tidak disertai pusing dan kesulitan tidur di malam hari. Berdasarkan rekam medis klien diketahui bahwa klien memiliki penyakit hipertensi. Hal tersebut terlihat dari hasil pencatatan tekanan darah harian dan resep obat yang diberikan oleh dokter Puskesmas. Pada rekam medis tersebut tercatat bahwa klien mendapatkan obat antihipertensi amlodipin 10mg yang diminum satu kali sehari setiap pagi. Klien mengatakan bahwa selama hidupnya klien tidak pernah sakit dan dibawa ke rumah sakit. Adapun nenek R pernah merasakan badan tidak enak karena batuk pilek. Pada saat melahirkan dulu, klien melahirkan di rumah dengan memanggil bidan. Ketika klien ditanya terkait masalah Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 40 kesehatan yang dialami oleh keluarganya klien menjawab kurang tahu. Hal tersebut dikarenakan orang tua nenek R meninggal karena tua. Selain itu koien mengatakan bahwa pada zaman dahulu orang tuanya tidak pernah memeriksakan kesehatan ke rumah sakit dan pelayanan kesehatan karena pelayanan kesehatan masih sangat terbatas. Kondisi kesehatan suami dan anak-anaknya pun baik pada saat klien meninggalkan rumah. Tidak ada anggota keluarganya yang sakit atau memiliki riwayat penyakit keturunan. 3.1.1.3 Kebiasaan Sehari-hari Berdasarkan observasi yang dilakukan diketahui bahwa nenek makan 3 kali sehari dengan makanan yang disediakan panti. Makan yang disediakan oleh pihak berupa nasi, sayur, lauk pauk, dan buah yang dibagikan setiap pukul 07.00 untuk makan pagi, 12.00 untuk makan siang, dan jam 16.00 untuk makan sore. Hasil observasi pada pola makan klien menunjukkan klien hanya makan sedikit dengan porsi kecil. Hal ini terlihat dari jumlah nasi yang diambil klien hanya satu centong pada makan pagi dan siang, sedangkan untuk makan sore kien tidak pernah mengambil nasi. Apabila nasi diambilkan petugas seringkali nasi tidak habis di makan karena kebanyakan. Pola makan klien juga cukup menarik, hal ini dikarenakan menu makanan pagi di makan oleh klien saat siang, menu makanan siang di makan sore atau malam, dan menu makanan sore di makan keesokan paginya. Nenek R juga mengonsumsi makanan selingan selain makanan berat. Makanan selingan seperti bubur kacang hijau biasanya diberikan setiap hari selasa dan jumat seusai senam. Klien juga sesekali makan makanan ringan apabila ada tamu yang memberikan kue atau biskuit. Observasi juga dilakukan pada pola minum dan eliminasi nenek R. Nenek R setiap hari minum air putih kurang lebih sebanyak 1950 cc. Hal ini dilihat dari setiap setelah makan nenek R selalu minum air segelas kurang lebih 250 cc dan klien juga memiliki stok air yang disimpan pada 2 botol air ukuran 600 cc yang biasanya diminum pada jarak anatar waktu makan dan malam hari. Minuman kesukaan klien adalah es teh tapi klien sangat Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 41 jarang minum es teh. Terkadang jika klien ingin minuman yang manis klien minum teh hangat yang diseduh sendiri. Hasil observasi dan wawancara terkait pola eliminasi diketahui bahwa nenek R memiliki pola BAB 1 kali setiap 2 hari. Nenek R mengatakan setiap BAB tidak pernah merasa keras tetapi dulu pernah mengalami BAB cair tapi tidak lebih dari 3 kali sehari. Selain konsistensi feses yang padat lunak klien juga mengatakan warna fesesnya biasanya coklat tua atau terkadang coklat kekuningan. Nenek R juga tidak memiliki masalah pada pola BAK. Klien biasanya BAK lebih dari 3 kali dalam sehari. Klien juga tidak mengalami inkontinensia karena klien tidak pernah mengompol dan mampu menahan sampai tiba di kamar mandi. Berdasarkan hasil pengkajian diketahui pola aktivitas sehari-hari klien tidak memiliki banyak variasi. Kegiatan yang biasa diikuti nenek R adalah senam setiap selasa dan jumat akan tetapi saat senam klien biasanya hanya duduk di tempat duduk yang disediakan di lapangan dan hanya menggerakkan tangan hanya sampai pertengahan kegiatan senam. Selain senam kien juga mengikuti pengajian iqro. Selain itu klien juga mengikuti TAK apabila ada mahasiswa keperawatan yang menyelenggarakan. Selain itu nenek R juga selalu hadir di panggung gembira tetapi tidak pernah sampai akhir dan hanya duduk saja. Menurut nenek R, ia kurang menyukai kegiatan pangggung gembira yang isinya hanya joget-joget saja. Selain kegiatan-kegiatan tersebut nenek R lebih sering menghabiskan waktunya untuk duduk-duduk di kamar ataupun di teras. Terkadang klien juga suka berjalan-jalan sore ke depan panti. Kondisi emosi nenek R sehari-hari terlihat stabil. Klien dapat mengontrol emosi dan tidak suka beradu mulut dengan lansia lainnya. Apabila ada lansia yang membicarakan dan mengejek biasanya nenek R tidak terlalu ambil pusing dan tidak membalasnya. Jika ada hal yang tidak disukainya hal yang biasa dilakukan klien adalah merengutkan wajahnya, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Jika berbicara tentang rumah dan anakanaknya terkadang nenek R terlihat sedih karena kangen dengan Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 42 keluarganya tetapi klien merasakan dilema karena tidak suka dengan perilaku suaminya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara didapati hasil terkait kondisi sosial nenek R yaitu selama di panti klien belum pernah dijenguk keluarga karena tidak ada yang mengetahui keberadaannya di panti. Hubungan antar keluarga khususnya dengan suami kurang harmonis semenjak suami pensiun. Selama di panti klien kadang-kadang mengobrol dan jarang bertengkar dengan lansia lainnya. Bukan berarti hal tersebut membuat nenek R tidak memiliki orang yang tidak suka kepada dirinya. Ada beberapa lansia yang tidak suka dengan nenek R tetapi nenek R tidak pernah memikirkannya. 3.1.1.4 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan kepada klien dengan pemeriksaan tanda-tanda vital. Pemeriksaan tanda-tanda vital terdiri dari keadaan umum, kesadaran, suhu tubuh, nadi, tekanan darah, frekuensi napas, tinggi badan dan berat badan. Selain pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan juga pemeriksaan fisik head-to-toe. Pemeriksaan fisk head-to-toe dimulai dari pemeriksaan pada area kepala sampai dengan kaki. Pemeriksaan fisik head-to-toe menggunakan prosedur inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada nenek R menunjukkan keadaan umum klien baik, tampak rapi dan bersih dan kesadaran klien berada pada tingkat compos mentis. Hasil pengukuran suhu tubuh klien dengan menggunakan termometer menunjukkan angka 36,8oC. Pengukuran tekanan darah klien menggunakan sfignomanometer jarum dan stetoskop menunjukkan hasil 150/80mmHg. Penghitungan nadi dan frekuensi napas dalam waktu satu menit menunjukkan hasil 96 kali per menit untuk nadi dan 21 kali per menit untuk frekuensi napas. Pengukuran berat badan menggunakan timbangan berat badan manual (jarum) menunjukkan berat badan klien adalah 45 kg. Pengukuran tinggi badan menggunakan meteran tinggi badan menunjukkan tinggi badan klien adalah 143 cm. Hasil Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 43 penghitungan indeks massa tubuh (IMT) menunjukkan skor IMT klien 22,01 yang diartikan bahwa IMT klien normal. Pemeriksaan fisik head-to-toe pada bagian kepala meliputi pemeriksaan bentuk kepala, rambut, mata, hidung, telinga, dan mulut. Bentuk kepala nenek R bulat simetris dan tidak ditemukan peubahan bentuk, lesi, nyeri, ataupun bengkak. Sejumlah 80% rambut klien sudah memutih atau beruban dengan pesebaran cukup merata dan kondisi kebersihan rambut bersih. Tekstur rambut klien halus, tidak bercabang, tidak ditemukan kutu dan rambut kloien hanya seleher. Pada meriksaan mata didatapi hasil pupil mata klien memiliki refleks pada cahaya dan refleks pupil mata kanan dan kiri isokor. Sklera mata klien tidak ikterik dan pada konjungtiva mata klien tidak menunjukkan tanda-tanda anemia. Pada pemeriksaan telinga klien tidak ditemukan serumen yang mengeras atau pun yang mengental dan tidak ditemukan juga benda asing. Pada saat dipalpasi pada bagian belakang telinga tidak ditemukan benjolan dan klien tidak merasakan sakit dan tidak merasakan telinga berdenging. Pada pemeriksaan hidung didapati hasil bahwa hidung klien bersih, tidak ditemukan kotoran hidung, benda asing, dan sekret. Pada pemeriksaan mulut diketahui bahwa mukosa mulut nenek R lembab dan berwarna pink, lidah berwarna merah muda keputihan, dan tidak ditemukan lesi atau sariawan. Kondisi gigi nenek R sudah ompong sebagian. Klien tidak memiliki gigi berlubang tetapi pada beberapa gigi didapati karang gigi. Ketika diperintahkan untuk menelan air, klien tidak merasa nyeri ketika menelan. Pada pemeriksaan leher secara inspeksi tidak didapati bentuk abnormal pada leher dan tulang leher. Distensi vena jugularis juga tidak tampak pada leher klien. Pada leher tidak ditemukan benjolan kelenjar getah bening atau masa saat dilakukan palpasi. Saat pemeriksaan bagian leher juga tidak ditemukan lesi dan bengkak. Pada saat dipalpasi pada bagian tengkuk belakang otot yang teraba cukup tegang dan klien mengeluh nyeri pada bagian tersebut. Posisi trakea klien normal berada pada posisi midline. Pada saat diperiksa terkait pergerakan leher diketahui bahwa leher klien Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 44 dapat bergerak dengan baik, seperti fleksi, ekstensi, hiperekstensi, dan rotasi. Pada bagian dada dilakukan pemeriksaan fisik morfologi dada serta pemeriksaan fisik jantung dan paru. Secara inspeksi bagian dada klien tampak bersih dan terlihat hiperpigmentasi dibeberapa bagian kulit dada. Bentuk konfugurasi dada klien menunjukkan sedikit perubahan kifosis dimana timbul sedikit elevasi pada skapula. Konfigurasi dada klien tidak menunjukkan barrel chest, pigeon chest maupun funnel chest. Pada saat melakukan inspeksi pada bagian prekordium ditemukan bentuk prekordium yang sedikit cembung. Selain inspeksi prekordium, juga dilakukan inspeksi sekaligus palpasi pada iktus kordis (denyut apeks jantung) dengan posisi klien berbaring sambil meraba arteri karotis komunis untuk merasakan adanya gelombang sistolik. Hal ini dilakukan karena iktus kordis hanya ternyadi selama periode sistolik. Hasil inspeksi iktus kordis menunjukkan iktus kordis klien meluas ke arah lateral-bawah dari midklavikular kiri. Pada saat mempalpasi jantung tidak dirasakan adanya getaran jantung maupun getaran pada area trakea. Pada pemeriksaan dengan melakukan perkusi untuk menentukan batas jantung ditemukan suara redup terdapat pada batas kiri jantung bagian atas pada interkosta kedua agak mengarah ke bagian lateral dan batas kiri bawah pada interkosta kelima agak ke lateral bawah midklavikula kiri, sedangkan pada batas kanan jantung agak sulit dideteksi karena suara perkusi kurang jelas. Pada saat mengauskultasi jantung didapati bahwa bunyi jantung 1 klien normal akan tetapi bunyi jantung 2 intensitasnya lebih tinggi. Tidak ditemukan bunyi jantung 3 dan 4. Irama jantung yang terdengar tidak teratur (aritmia). Pada auskultasi paru suara paru yang terdengar vesikular dan tidak ditemukan suara ronchi dan wheezing. Pemeriksaan abdomen menujukkan bahwa keempat kuadran abdomen bersih, tidak terdapat lesi, terdapat bekas garis striae, dan perut tidak tampak asites. Pada saat di auskultasi tidak ditemukan bunyi bruit dan bising usus klien hanya 3 kali per menit. Pada saat di palpasi pada keempat Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 45 kuadran klien tidak mengeluhkan nyeri. Pada saat pemeriksaan kandung kemih di area simfisis pubis hasil palpasi menunjukkan simfisis tidak kencang atau menegang dan hasil perkusi didapati suara hipersonor. Pada pemeriksaan muskuloskletal menunjukkan keadaan umum tungkai atas dan bawah klien bersih. Tidak ditemukan kontraktur dan edema pada tungkai klien. Hasil pemeriksaan kekuaran otot pada klien menunjukan bahwa kekuatan otot klien pada seluruh anggota gerak tubuh dapat bergerak melawan tahan, akan tetapi kekuatannya berkurang yaitu 4444 4444 . . Skor tersebut menunjukkan bahwa kekuatan otot yang dimiliki 4444 4444 klien masih baik. 3.1.1.5 Informasi Penunjang Informasi penunjang kondisi klien didapatkan dari pemeriksaan penunjang nilai laboratorium seperti pengecekan kadar gula darah, asam urat, dan kolesterol dan pengkajian khusus geriatri seperti pemeriksaan MMSE (Mini Mental Status Exam), GDS (Geriatric Depression Scale), MFS (Morse Fall Scale), BBT (Berg Balance Test), dan Barthel Index. Berikut merupakan hasil pemeriksaan kondisi nenek R terkait informasi penunjang yang dibutuhkan. Pada pengukuran kadar gula darah sewaktu (GDS) didapatkan hasil kadar GDS klien sejumlah 121 gr/dL. Hasil pengukuran asam urat menunjukkan bahwa kadar asam urat yang dimiliki klien adalah 3,5 gr/dL. Pengukuran kolesterol pada klien menunjukkan hasil sejumlah 189 gr/dL. Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas disimpulkan nilai laboratorium klien termasuk dalam batas normal. Pada risiko perkembangan penyakit jantung dan/ serangan jantung klien masuk kategori menuju risko tinggi. Hal tersebut dikarenakan klien memiliki 2 faktor risiko mayor dan skor risiko sebesar 17%. Pada pemeriksan MMSE (Mini Mental Status Exam) skor yang didapatkan klien adalah 24. Skor MMSE yang dimiliki klien termasuk kategori normal dikarenakan rentang nilai norma MMSE berada pada nilai 24-30. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 46 Hasil pemeriksaan risiko jatuh menggunakan format MFS (Morse Fall Scale) menunjukkan skor 30. Skor tersebut menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh rendah. Pada pemeriksaan status depresi menggunakan format penilaian GDS (Geriatric Depression Scale) didapati bahwa skor klien adalah 3 yang berarti klien tidak mengalami depresi. Hal tersebut dikarenakan rentang nilai normal GDS adalah 0-4. Pada pemeriksaan keseimbangan tubuh klien menggunakan skala pengukuran BBT (Berg Balance Test) didapati hasil 44 yang diartikan bahwa risiko gangguan keseimbangan pada klien rendah dan klien tidak memerlukan alat bantu. Hasil pemeriksaan terkait ketergantungan klien menggunakan skala Barthel Index 20 menunjukkan klien termasuk kategori mandiri dikarenakan skor yang diperoleh klien adalah 20. Pada saat minggu ke-4 praktik KKMP peminatan gerontik di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung muncul masalah baru pada nenek R. Pada bagian kulit lengan bawah di area dekat siku terdapat lesi-lesi kemerahan tidak disertai pus. Nenek R juga mengeluh gatal dan perih. Keluhan pada area kulit ini merupakan kejadian baru yang dirasakan klien selama tinggal di panti sejak 3 tahun yang lalu. 3.1.2 Analisa Data dan Diagnosis Keperawatan Masalah keperawatan yang dialami oleh nenek R berdasarkan hasil pengkajian yang telah dijabarkan sebelumnya aada tiga. Tiga masalah keperawatan tersebut ialah ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan, risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler dan masalah yang baru muncul pada minggu keempat yaitu kerusakan integritas kulit. Penegakan masalah keperawatan dilakukan berdasarkan karakteristik yang didapati pada klien sesuai dengan diagnosis keperawatan NANDA Internasional 2015-2017. Masalah keperawatan utama yang dimiliki klien adalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler merupakan suatu kondisi kerentanan internal atau eksternal yang dapat menyebabkan kerusakan minimal satu organ vital dan sistem sirkulasi sendiri (Herdman & Kamitsuru, 2014). Beberapa faktor risiko yang dapat Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 47 menimbulkan masalah keperawatan ini antara lain usia lebih dari sama dengan 65 tahun, hipertensi, diabetes, dislipidemia, riwayat keluarga denga penyakit kardiovaskular, memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, kurang pengetahuan terkait modifikasi faktor risiko, obesitas, agen farmatikal, gaya hidup yang monoton, dan merokok. Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler menjadi masalah utama yang dialami nenek R dikarenakan pada klien ditemukan beberapa faktor risiko yang sesuai. Usia klien yang telah mencapai 91 tahun, memiliki riwayat hipertensi, gaya hidup monoton, dan kurangnya pengetahuan terkait modifikasi faktor risiko. Hal ini dikarenakan klien belum memahami apa yang dimaksud penyakit hipertensi dan bagaimana memodifikasi kebiasaan untuk menurunkan faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskular. Dalam kebiasaan sehari-hari kegiatan klien cenderung tidak bervariasi. Klien memiliki banyak waktu kosong yang lebih sering dihabiskan dengan duduk atau berbaring. Masalah kedua yang diangkat adalah risiko kesepian. Masalah risiko kesepian merupakan kondisi rentan mengalami ketidaknyamanan yang berkaitan dengan keinginan atau kebutuhan untuk melakukan lebih banyak kontak dengan orang lain (Herdman & Kamitsuru, 2014). Beberapa faktor risiko yang dapat menimbalkan masalah risiko ini adalah deprivasi afek, deprivasi katelektis, isolasi fisik, dan isolasi sosial. Tanda gejala masalah risiko kesepian yang ditemukan pada klien adalah kurangnya klien berinteraksi dengan wbs lain. Klien tidak memiliki teman dekat sehingga tidak memiliki teman bicara yang dapat menjadi tempat mencurahkan isi perasaan. Klien juga terlihat lebih sering melakukan kegiatan sehari-hari sendiri. Ketika mengikuti senam ataupun panggung gembira klien tidak mengobrol dengan lansia lain. Masalah ketiga yang diangkat adalah masalah yang baru muncul pada klien di minggu keempat. Masalah ketiga yang dimiliki klien adalah kerusakan integritas kulit(Herdman & Kamitsuru, 2014). Masalah kerusakan integritas kulit merupakan perubahan kondisi atau gangguan yang terjadi di epidermis Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 48 dan/atau dermis. Batasan karakteristik dari masalah ini adalah kerusakan lapisan kulit, gangguan permukaan kulit, dan invasi struktur tubuh. Tanda gejala yang muncul pada klien adalah gangguan permukaan kulit yang ditunjukkan dengan adanya beberapa lesi kemerahan yang dirasa gatal dan perih oleh klien di bagian kulit lengan bawah di area dekat dengan siku. 3.1.3 Rencana Keperawatan Perencanaan asuhan keperawatan pada nenek R dibuat berdasarkan panduan pembuatan rencana asuhan keperawatan yang berpedoman kepada nursing outcomes classification (NOC) dan nursing interventions calssification (NIC) yang telah terintegrasi dengan NANDA Internasional 2015-2017. Perencanaan asuhan keperawatan yang akan dijabarkan adalah diagnosa masalah keperawatan utama yang diangkat, sedangkan asuhan keperawatan untuk masalah lainnya akan dipaparkan dalam lampiran. Diagnosa utama yang diangkat pada nenek R ialah masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Diagnosis keperawatan pertama pada klien adalah masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Tujuan dari asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosis ini adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi kardiovaskular yang kerusakan organ vital dan sistem sirkulasi. Indikator hasil dari tujuan asuhan di atas adalah tekanan darah sistolik menurun, tekanan darah diastolik menurun dan tekanan denyut nadi normal. Intervensi unggulan yang diberikan kepada klian adalah massage dengan jenis swedish massage pada area punggung klien. Swedish massage dilakukan dalam 12 sesi yang dibagi menjadi 3 sesi perminggunya. Setiap sesi swedish massage berdurasi selama 15 menit. Sebelum memulai intervensi swedish massage, perawat membangun bina hubungan saling percaya dan memberikan pendidikan kesehatan terkait intervensi unggulan yang akan dilakukan sehingga klien memahami manfaat intervensi yang akan dilakukan. Setelah klien setuju untuk dilakukan intervensi swedish massage maka perawat membuat kontak waktu dan tempat. Jadwal Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 49 intervensi swedish massage yang disepakati dengan klien adalah selasa, kamis, dan sabtu setiap sore hari bertempat di kamar klien. Diagnosis keperawatan kedua pada klien adalah risiko kesepian. Tujuan dari asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosis ini adalah untuk mencegah terjadinya kondisi kesepian yang dirasakan oleh klien. Indikator hasil tujuan asuhan keperawatan ini adalah meningkatnya skor keterlibatan sosial dari skor 2 (jarang dilakukan) menjadi 3 (kadang-kadang dilakukan) pada poin interaksi dengan teman dekat. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah mendengarkan aktif dan peningkatan sosialisasi dengan TAK. Diagnosis keperawatan ketiga pada klien adalah kerusakan integritas kulit. Tujuan dari asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosis ini adalah untuk menagatasi masalah integritas kulit dan hilangnya lesi di area kulit. Indikator hasil tujuan asuhan keperawatan ini adalah meningkatnya skor integritas kulit dari skor 4 (ringan) menjadi 5 (tidak ditemukan) pada poin lesi kulit. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan pendidikan kesehatan tentang cara mandi, sabun yang digunakan, dan perawatan kulit, selain pendidikan kesehatan penulis juga memberikan sabun dove untuk digunakan klien mandi dan baby oil untuk perawatan kulit setelah mandi. 3.1.4 Implementasi dan Evaluasi Implementasi keperawatan dilakukan oleh penulis selama 5 minggu terhitung sejak minggu ketiga sampai dengan minggu ketujuh sesuai dengan masalah yang ditemui. Sebelum melakukan implementasi, penulis membina hubungan saling percaya pada minggu pertama dan pengkajian lengkap mulai dari observasi, pengkajian fisik, pengkajian khusus geriatri, dan wawancara di minggu kedua. Berikut akan dijelaskan implementasi dan evaluasi terkait intervensi unggulan yang dilakukan yaitu swedish massage, sedangkan implementasi dan evaluasi intervensi lainnya dituliskan secara lengkap di lampiran. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 50 Pada minggu pertama intervensi swedish massage dilaksanakan 3 sesi terapi. Sesi pertama dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 10 Mei 2016 pada pukul 17.00 WIB. Sesi kedua dilaksanakan pada Kamis, 12 Mei 2016 pada pukul 17.15 WIB. Sesi ketiga dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 Mei 2016 pada pukul 16.30 WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10 kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali. Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 1,2,dan 3 mendapat evaluasi subjektif yang baik dari nenek R. Pada sesi pertama nenek R mengatakan bahwa dipijit enak tapi biasa aja rasanya karena gak biasa dipijit sebelumnya. Pada sesi kedua klien hanya mengatakan “enak, ya gitu” dan pada sesi ketiga klien mengatakan “lebih enakan dari sebelumnya, alhamdulillah turun ya tensinya”. Hasil evaluasi secara objektif didapati bahwa pada sesi pertama tekanan darah setelah dilakukan swedish massage turun menjadi 149/70 mmHg dari sebelumnya 150/70 mmHg dengan pulsasi nadi yang sama yaitu 90 kali per menit dengan karakteristik tekanan denyut yang kuat menjadi sedang. Pada sesi kedua setelah intervensi tekanan darah klien turun menjadi 140/70 mmHg dari pemeriksaan sebelum intervesi yaitu 150/80 mmHg dengan pulsasi nadi yang menurun dari 91 kali per menit Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 51 menjadi 84 kali per menit dengan karakteristik denyut nadi yang mulainya kuat menjadi sedang. Pada sesi ketiga setelah intervensi tekanan darah klien menjadi 140/70 mmHg dari sebelumnya 142/70 mmHg dengan pulsasi nadi menjadi 81 kali per menit dari sebelumnya 86 kali permenit dengan kekuatan denyut kuat. Pada minggu kedua intervensi swedish massage dilaksanakan 3 sesi terapi. Sesi keempat dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 17 Mei 2016 pada pukul 16.30 WIB. Sesi kelima dilaksanakan pada Kamis, 19 Mei 2016 pada pukul 16.45 WIB. Sesi keenam dilaksanakan pada hari Sabtu, 21 Mei 2016 pada pukul 17.00 WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10 kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali. Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 4,5, dan 6 mendapat evaluasi subjektif yang lebih baik dari sebelummnya oleh klien. Pada sesi keempat nenek R mengatakan bahwa badannya mulai enak dipijit gak pegel-pegel lagi. Pada sesi kelima klien mengatakan “alhamdulillah enak abis dipijit” dan pada sesi keenam klien mengatakan “rasanya enak, bagus ya turun tensinya”. Hasil evaluasi secara objektif didapati bahwa pada sesi keempat Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 52 tekanan darah setelah dilakukan swedish massage turun menjadi 138/75 mmHg dari sebelumnya 140/90 mmHg dengan pulsasi nadi yang sama yaitu 88 kali per menit dengan karakteristik tekanan denyut yang kuat. Pada sesi kelima tidak ada perubahan dari sebelum intervensi dan setelah intervensi tekanan darah klien sama yaitu 130/80 mmHg dengan pulsasi nadi yang menurun dari 88 kali per menit menjadi 80 kali per menit dengan karakteristik denyut nadi yang kekuatannya sedang. Pada sesi keenam setelah intervensi tekanan darah klien menjadi 140/70 mmHg dari sebelumnya 142/80 mmHg dengan pulsasi nadi sama 86 kali per menit dengan kekuatan denyut kuat. Pada minggu ketiga intervensi swedish massage dilaksanakan 3 sesi terapi. Sesi ketujuh dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 24 Mei 2016 pada pukul 16.30 WIB. Sesi kedelapan dilaksanakan pada Kamis, 26 Mei 2016 pada pukul 17.35 WIB. Sesi kesembilan dilaksanakan pada hari Sabtu, 28 Mei 2016 pada pukul 15.30 WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10 kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 53 Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 7,8, dan 9 mendapat evaluasi subjektif yang sangat positif dari klien. Pada sesi ketujuh nenek R mengatakan “enak banget sekarang dipijit apalagi turun 6”. Pada sesi kedelapan klien mengatakan “alhamdulillah badannya enak tensinya turun” dan pada sesi kesembilan klien mengatakan “yang dirasa badannya lebih segeran sekarang”. Hasil evaluasi secara objektif didapati bahwa pada sesi ketujuh tekanan darah setelah dilakukan swedish massage turun dari 156/90 mmHg menjadi 150/70 mmHg dengan pulsasi nadi yang sama yaitu 82 kali per menit dengan karakteristik tekanan denyut yang kuat sedang. Pada sesi kedelapan terjadi penurunan 8mmHg pada tekanan darah diastolik yaitu dari 144 mmHg menjadi 136 mmHg akan tetapi tidak ada perubahan dari tekanan darah sistolik yaitu tetap 80mmHg sebelum intervensi dan setelah intervensi dengan pulsasi nadi yang menurun dari 82 kali per menit menjadi 80 kali per menit dengan karakteristik denyut nadi yang kekuatannya sedang. Pada sesi kesembilan setelah intervensi tekanan darah klien menjadi 146/80 mmHg dari sebelumnya 150/80 mmHg dengan pulsasi nadi sama 84 kali per menit dengan kekuatan denyut kuat sedang. Pada minggu keempat intervensi swedish massage dilaksanakan hanya 2 sesi terapi yaitu sesi kesepuluh dan kesebelas. Hal tersebut dikarenakan terjadi penjadwalan ulang pada sesi kesebelas akibat kegiatan presentasi TOP dan sosialisasi yang memakan waktu cukup lama. Sesi kesepuluh dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 31 Mei 2016 pada pukul 17.00 WIB. Sesi kesebelas dilaksanakan pada hari Sabtu, 4 Juni 2016 pada pukul 17.30 WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang sampai ke pundak dan Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 54 diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10 kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali. Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 10 dan 11 mendapat evaluasi subjektif yang sangat baik dari nenek R. Pada sesi kesepuluh klien mengatakan “enak lah dipijitin” sambil mengacungkan jempol. Pada sesi kesebelas klien mengatakan “enak, badannya semakin seger rasanya tensinya turun banyak lagi 10”. Hasil evaluasi secara objektif didapati bahwa pada sesi kesepuluh tekanan darah setelah dilakukan swedish massage turun menjadi 150/75 mmHg dari sebelumnya 158/80 mmHg dengan pulsasi nadi yang sama yaitu 80 kali per menit dengan karakteristik tekanan denyut yang kuat sedang. Pada sesi kesebelas terjadi penurunan 10 mmHg pada tekanan darah diastolik yaitu dari 156 mmHg menjadi 146 mmHg akan tetapi tidak ada perubahan dari tekanan darah sistolik yaitu tetap 80 mmHg sebelum intervensi dan setelah intervensi dengan pulsasi nadi yang sama yaitu 80 kali per menit dengan karakteristik denyut nadi yang kekuatannya sedang. Pada minggu kelima intervensi swedish massage dilaksanakan hanya 1 sesi terapi yaitu keduabelas. Hal tersebut dikarenakan terjadi penjadwalan ulang satu sesi pada minggu keempat. Sesi keduabelas dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 7 Juni 2016 pada pukul 16.30 WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien mendapatkan posisi yang nyaman. Pada sesi keduabelas penulis menggunakan minyak zaitun aromaterapi sekaligus massage oil karena baby oil sudah habis. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 55 10 kali. Gerakan kedua adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10 kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali. Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 12 mendapat evaluasi subjektif yang sangat baik dari nenek R. Pada sesi keduabelas klien mengatakan “rasanya banyak terima kasih udah mau ngurusin nenek selama ini, pijitannya enak, bikin tensi jadi turun” sambil menjabat tangan dan memijat tangan penulis. Hasil evaluasi secara objektif didapati bahwa pada sesi kesepuluh setelah dilakukan swedish massage terjadi penurunan tekanan darah yang cukup signifikan yaitu tekanan darah turun menjadi 120/80 mmHg dari sebelumnya 140/90 mmHg dengan pulsasi nadi yang sama yaitu 80 kali per menit dengan karakteristik tekanan denyut yang kuat sedang. mmHg atau x/mnt Grafik. 3.1 Hasil Evaluasi Intervensi Swedish Massage pada Nenek R Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 56 3.2 Asuhan Keperawatan Klien Kelolan Resume Pada sub bab ini akan dijelaskan asuhan keperawatan yang diberikan kepada tiga klien kelolaan resume. Penjelasan asuhan keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana keperawatan, implementasi, dan evaluasi disajikan dalam bentuk yang ringkas. 3.2.1 Klien Resume Nenek P Nenek P berusia 68 tahun, sering mengeluhkan nyeri tengkuk dan badan terasa pegal. Berdasarkan pemeriksaan tekanan darah didapati tekanan darah 155/90 mmHg dengan pulsasi nadi 84 kali per menit. Berdasarkan rekam medis yang terdapat di panti nenek P memiliki hipertensi dan mengonsumsi obat antihipertensi captopril 25 mg. Berdasarkan pemeriksaan fisik jantung didapati batas jantung kiri melebar ke arah lateral bawah. Bunyi jantung S2 lebih intens daripada bunyi jantung normal. Nenek P sangat kurang aktif pada kegiatan sehari-hari. Nenek P selalu menolak untuk mengikuti senam dan TAK serta panggung gembira juga kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di panti. Nenek P menyukai minum minuman yang manis. Berdasarkan data-data maladaptif yang ditemukan, nenek P memiliki masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Diagnosis yang dimiliki oleh nenek P sama dengan klien kelolaan nenek R, maka nenek P juga akan mendapatkan rencana asuhan keperawatan yang sama dengan nenek R terkait masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Implementasi dilakukan selama lima minggu sejak minggu ketiga praktik sampai dengan minggu ketujuh. Intervensi unggulan yang dilakukan kepada nenek P adalah swedish massage. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 57 yang kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10 kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali. Hasil evaluasi terhadap intervensi unggulan swedish massage yang dilakukan dipaparkan dalam tabel berikut: Tabel. 3.1 Hasil Evaluasi Intervensi Swedish Massage pada Nenek P Sebelum Intervensi Sesi Tekanan Darah Pulsasi Nadi Setelah Intervensi Tekanan Darah Pulsasi Nadi 1 150/95 90 140/90 90 2 155/80 92 152/80 92 3 145/90 88 142/85 87 4 150/90 90 140/80 88 5 140/90 88 130/90 88 6 140/90 86 14080 86 7 150/100 94 140/100 92 8 150/90 88 140/90 88 9 144/90 86 130/90 84 10 150/100 96 142/90 92 11 146/80 90 140/80 90 12 142/80 90 130/80 88 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 58 3.2.2 Klien Resume Nenek SS Klien resume nenek SS berusia 65 tahun memiliki diagnosis yang tegak berdasarkan data maladaptif salah satunya masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Faktor risiko yang ditemukan pada klien resume nenek SS adalah usia lebih dari 64 tahun, berdaasarkan rekam medis klien memiliki hipertensi ditandai dengan tekanan darah 150/90 mmHg, memiliki diabetes melitus ditandai dengan gds 241 gr/dL, dislipidemia ditandai dengan kadar kolesterol 260 gr/dL, dan gaya hidup yang monoton. Implementasi intervensi unggulan yang dilakukan sama dengan klien lainnya yaitu swedish massage dengan tata cara dan prosedur yang sama deng klien yang lain. Intervensi dilakukan pada klien hanya dua sesi pada minggu pertama. Hal tersebut dikarena pada hari sesi ketiga klien dirujuk ke rumah sakit akibat demam lebih dari tiga hari dan sempat terjatuh lemas. Hasil evaluasi menunjukkan penurun tekanan darah pada klien setelah dilakukan intervensi swedish massage. Pada sesi 1 tekanan darah klien turun dari 150/90 mmHg menjadi 140/90 mmHg dengan pulsasi nadi 90 kali per menit. Pada sesi 2 tekanan darah juga mengalami penurunan menjadi 138/90 mmHg dengan pulsasi nadi 88 kali per menit. 3.2.3 Klien Resume Nenek SA Klien resume nenek SA berusia 68 tahun didapati memiliki diagnosis yang tegak berdasarkan data maladaptif salah satunya masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Faktor risiko yang ditemukan pada klien resume nenek SA adalah usia lebih dari 65 tahun, berdasarkan rekam medis klien memiliki hipertensi ditandai dengan tekanan darah 150/80 mmHg, kurang memiliki pengetahuan terkait modifikasi faktor risiko hipertensi dan gaya hidup yang monoton. Implementasi intervensi unggulan yang dilakukan sama dengan klien lainnya yaitu swedish massage dengan tata cara dan prosedur yang sama deng klien yang lain. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 59 Intervensi dilakukan pada klien dimulai dari minggu kelima karena klien menggantikan resume nenek SS karena nenek SS meninggal satu jam setelah pulang dari rumah sakit pada tanggal 21 Mei 2016. Hal tersebut membuat klien hanya merasakan enam sesi intervensi swedish massage. Hasil evaluasi menunjukkan ada penurun tekanan darah pada klien setelah dilakukan intervensi swedish massage selama enam sesi. Pada sesi 1 tekanan darah klien tidak terjadi penurunan yaitu tetap 150/90 mmHg pulsasi nadi 88 kali per menit. Pada sesi 2 tekanan darah mengalami penurunan menjadi 146/90mmHg dari sebelumnya 150/90 mmHg dengan pulsasi nadi 88 kali per menit. Pada sesi 3 tekanan darah klien turun dari 150/80 mmHg menjadi 145/80 mmHg pulsasi nadi 86 kali per menit. Pada sesi 4 tekanan darah mengalami penurunan menjadi 142/90mmHg dari sebelumnya 148/90 mmHg dengan pulsasi nadi 84 kali per menit. Pada sesi 5 tekanan darah klien turun dari 148/80 mmHg menjadi 136/80 mmHg pulsasi nadi 84 kali per menit. Pada sesi 6 tekanan darah mengalami penurunan menjadi 140/80mmHg dari sebelumnya 148/90 mmHg dengan pulsasi nadi 86 kali per menit. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 BAB 4 ANALISIS SITUASI 4.1. Profil Lahan Praktik Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung merupakan salah satu lembaga pelayanan sosial yand diberikan kepada lansia. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat, yang meliputi perawatan, perlindungan dan pembinaan fisik, spiritual, sosial dan psikologis (Kepmensos no.50/HUK/2004). Berdasarkan tugas pokok dan fungsi PSTW Budi Mulia 1 Cipayung bertugas untuk menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia terlantar meliputi perawatan, pembinaan fisik, mental dan sosial. PSTW Budi Mulia 1 Cipayung merupakan salah satu unit pelaksanaan teknis dinas sosial provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia. PSTW Budi Mulia 1 Cipayung memiliki visi yaitu mengangkat harkat dan martabat lansia terlantar menuju kehidupan layak, sehat, normatif, dan manusiawi. Berdasarkan visi tersebut PSTW Budi Mulia 1 Cipayung ingin memberikan pelayanan terbaik bagi lansia. Hal tersebut membuat PSTW menyediakan beberapa pelayanan seperti yang diberikan di nursing home. Beberapa pelayanan tersebut diataranya adalah pemberian akomodasi untuk keperluan kehidupan sehari-hari, layanan asuhan keperawatan, konsultasi dokter, layanan fisioterapi, layanan farmasi, sistem rujukan ke rumah sakit, layanan sosial, layanan kegiatan fisik dan jasmani, serta layanan spiritual. PSTW Budi Mulia 1 Cipayung juga mempunyai beberapa perbedaan dengan konsep nursing home yaitu pada bagian pengkategorian warga binaan sosial (wbs), ketenagakejaan dan kulaifikasinya, serta standar perawatan. Berdasarkan Guidelines dari kementrian kesehatan singapura terkait nursing home pada tahun 2002, terdapat pengkategorian residen berdasarkan tingkat status fungsional residen. Kategori status fungsional residen terbagi menjadi 60 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 61 empat kategori yaitu mandiri, memiliki ketergantungan ringan sedang, memiliki ketergantungan sedang berat, dan memiliki ketergantungan total (Ministry of Health Singapore, 2002). Pada awalnya sistem penempatan wbs di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung masih belum memiliki standar yang jelas. Penempatan wbs baru dilakukan dengan melihat ketersediaan tempar tidur yang kosong yang dimiliki oleh panti. Setelah mahasiswa profesi peminatan kkmp gerontik 2016 FIK UI praktik di panti tersebut, telah dilaksanakan relokasi wbs dan pembuatan sop penerimaan wbs baru sesuai tingkat kemandirian. Saat ini penempatan wbs di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung menjadi tiga kategori yaitu mandiri, parsial, dan total. Perbedaan yang jelas anata konsep PSTW Budi Mulia 1 Cipayung dan nursing home adalah pada bagian ketenagakerjaan dan kualifikasi staf. Berdasarkan Guidelines of Nursing Home Singapore (2002) care staf yang memberikan pelayanan dan perawatan pada lansia adalah registered nurse, enrolled nurse, health care assistant, dan social worker. Staf perawatan lansia di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung disebut sebagai pramusosial. Saat ini pramusosial yang ada memiliki latar belakang yang berbeda-beda, terdapat satu lulusan sarjana kesehatan masyarakat, lulusan D3 keperawatan, dan SMK Keperawatan. Berdasarkan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda membuat kualifikasi staf menjadi berbeda. Kualifikasi staf menjadi penting untuk memberikan asuhan keperawatan yang holistik bagi para wbs sesuai dengan perannya sebagai perawat gerontik yaitu sebagai pemberi layanan, edukator, manajer, dan advokator. Selama tujuh minggu observasi terhadap kinerja pramusosial di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung peran yang baru dilaksanakan adalah sebagai pemberian pelayanan dan advokat. Apabila lihat dari latar belakang pendidikan serta peran yang dilakukan oleh pramusosial di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung dapat disimpulkan belum sesuai dengan kualifikasi seorang care staf di nursing home. Standar perawatan yang dilakukan oleh PSTW Budi Mulia 1 Cipayung juga berbeda dengan nursing home. Hal ini terlihat dari standar perawatan yang Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 62 belum holistik dan memperhatikan wbs sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda dengan wbs lansia. Saat ini belum ada pembedaan menu makan untuk wbs yang memiliki kebutuhan khusus terkait kondisi kesehatan seperti diet rendah garam untuk wbs dengan hipertensi, diet rendah kalori dan gula bagi wbs penderita diabetes. Hal tersebut sanagt berbeda dengan pengelolaan menu makanan yang dilakukan di nursing home. Pada nursing home pemberian makan pada setiap residennya sesuai dengan kondisi kesehatan residen. 4.2. Analisis Asuhan Keperawatan Lansia di Perkotaan dengan Masalah Risiko Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler menjadi masalah yang banyak ditemui pada lansia yang tinggal di perkotaan. Hal tersebut terjadi akibat cukup tingginya faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskluer di area perkotaan seperti DKI Jakarta. Faktor risiko area perkotaan pada lansia yang memicu masalah kerusakan fungsi kardiovaskuler adalah aterosklerosis, ketidakefektifan aktivitas fisik, merokok, kebiasaan makan, hipertensi, masalah gangguan lipid, obesitas dan faktor stres yang tinggi serta faktor sosial ekonomi. Faktor risiko terjadinya kerusakan fungsi kardiovaskuler yang ditemukan pada nenek R adalah usia lebih dari 65 tahun, riwayat hipertensi, ketidakefektifan aktifitas fisik, dan faktor sosial ekonomi. Faktor risiko pertama yang dimiliki oleh klien adalah usia yang lebih dari 65 tahun. Pada usia ini terjadi perubahan struktur pada sistem kardiovaskuler. Hal ini sesuai dengan teori penuaan tear and wear yang diungkapkan oleh August Weistman. Teori ini mengatakan bahwa sel-sel somatik memiliki keterbatasan kemampuan untuk bereplikasi dan berfungsi seperti sebelumnya dan kerusakan jaringan tidak dapat diperbaiki (Carlson & Pfadt, 2009). Salah satu perubahan jaringan yang tidak dapat diperbaiki pada lansia adalah pengakuan pada pembuluh darah. Hal tersebut terjadi akibat penipisan serta kalsifikasi pada tunika media pembuluh darah yang menyebabkan Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 63 peningkatan resistensi perifer. Peningkatan resistensi aliran darah dari jantung menyebabkan ventrikel dipaksa bekerja lebih keras karena aliran darah kembali ke aorta toraks sebelum periode pemompaan pada ventrikel kiri berakhir (Maddens, Imam, & Ashkar, 2005). Hal tersebut menimbulkan kenaikan tekanan darah pada lansia. Hasil pemeriksaan tekanan darah pada klien didapati bahwa tekanan darah klien adalah 150/80mmHg. Berdasarkan pemeriksaan tersebut tekanan darah klien termasuk klasidifikasi hipertensi I atau ringan. Faktor risiko kedua yang dimiliki oleh klien adalah riwayat hipertensi. Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskuler yang paling umum pada lansia, termasuk residen di unit perawatan lansia jangka panjang (long-term care) seperti PSTW. Berdasarkan National Nursing Home Survey sebanyak 53,8% residen pada nursing home di Amerika terdiagnosis hipertensi (Simonson, Han, & Davidson, 2011). Berdasarkan pemeriksaan kardiovaskuler yang dilakukan pada klien didapati bahwa terjadi perbesaran jantung pada area ventrikel kiri dan bunyi jantung S2 mengalami peningkatan intensitas. Tanda gejala tersebut menunjukkan klien mengalami peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah melebihi 130/80 mmHg pada lansia dikategorikan sebagai hipertensi (Simmons, DeJoseph, & Arenson, 2009). Hipertensi disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu usia, etnik, faktor genetik, kelebihan berat badan, ketidakefektifan aktivitas, sleep anea, stres psikososial, tingkat pendidikan yang rendah, dan status sosial ekonomi. Hasil observasi yang dilakukan pada klien didapati bahwa selain usia klien memiliki faktor risiko ketidakefektifan aktivitas. Faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler ketiga yang dimiliki oleh klien adalah ketidakefektifan aktifitas fisik. Aktifitas fisik dipercaya dapat membantu mempertahankan kondisi kardiovaskuler dengan baik. Hal ini dikarenakan dengan aktifitas fisik yang efektif memberikan manfaat pada sistem sirkulasi yang baik dan mencegah menumpuknya lemak pada organ kardiovaskular juga menurunkan dan menstabilkan tekanan darah. Hal ini Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 64 dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa peningkatan aktifitas fisik dapat menurunkan 4-9 mmHg tekanan darah (Turgut, Yesil, Balogun, & Rahman, 2013). Berdasarkan observasi yang dilakukan kepada klien, diketahui bahwa aktifitas klien kurang efektif karena banyak waktu klien yang dihabiskan dengan duduk ataupun tiduran di dalam kamar. Selain itu, walaupun klien mengikuti senam, akan tetapi klien juga hanya menggerakkan tangan sambil duduk dan tidak mengikuti gerakan sampai selesai. Berdasarkan wawancara hal tersebut dilakukan klien karena kurang adanya motivasi untuk mengikuti gerakan senam sampai akhir. Faktor keempat yang didapati pada klien adalah faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi dapat menjadi faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler dikarenakan faktor sosial ekonomi sangat mempengaruhi akses lansia dalam mendapatkan kardiovaskuler. informasi dan pelayanan Faktor sosial ekonomi kesehatan juga terkait mempengaruhi masalah tingkat pengetahuan lansia untuk merawat diri dalam hal mengelola faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan masalah kardiovaskuler. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang menyebutkan bahwa lansia yang memiliki tingkat pendidikan kurang dari sekolah menengah atas (SMA) memiliki faktor risiko lebih banyak daripada lansia dengan tingkat pendidikan SMA ke atas (Llyod-Jones et al., 2009). Hasil wawancara yang dilakukan pada klien diketahui bahwa klien bersekolah hanya sampai kelas 4 sekolah rakyat (SR). Tingkat pendidikan klien mempengaruhi pengetahuan klien terkait masalah kesehatan dan pengelolaannya. Hal ini terlihat dari pemahaman klien yang masih kurang terkait hipertensi dan modifikasi terkait faktor risikonya. Berdasarkan analisa data pengkajian pada klien diketahui faktor risiko yang memicu keruakan fungsi kardiovaskuler pada nenek R adalah proses penuaan, hipertensi, aktivitas fisik yang tidak efektif, dan faktor sosial ekonomi khususnya terkait tingkat pendidikan. Hal tersebut menyebabkan penulis dalam pemberian intervensi untuk mengatasi masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler pada nenek R melakukan intervensi keperawatan yaitu Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 65 manajemen risiko jantung dan massage dengan jenis swedish massage. Manajemen risiko jantung adalah pencegahan episode akut dari gangguan fungsi dengan meminimalkan kontribusi peristiwa dan perilaku berisiko (Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Kegiatan yang dilakukan dalam pemberian intervensi manajemen risiko jantung antara lain melakukan pendidikan kesehatan terkait hipertensi, memonitoring tekanan darah, mengontrol pemberian obat antihipertensi, memotivasi untuk meningkatkan aktivitas fisik, dan memonitoring asupan makanan. Selama pelaksanaan manajemen risiko jantung kegiatan yang sulit mencapai hasil yang diharapkan adalah peningkatan aktivitas fisik pada klien. Aktivitas fisik kilen yang tidak efektif sulit dimotivasi dan dikontrol untuk ditingkatkan. Aktivitas fisik klien cenderung ringan dan kurang dari standar Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun 2006 sebagaimana dilakukan untuk menghasilkan tingkat ketahanan (endurance) yang membantu fungsi jantung dan paru yaitu minimal dilakukan 30 menit dalam 5 hari per minggu dengan aktivitas fisik ringan-sedang. Aktivitas yang direncanakan sebagai bagian dari intervensi kegiatan senam dan berjalan kaki selama 30 menit dalam waktu 5 hari. Pada pelaksanannya kegiatan ini tidak berjalan sesuai dengan rencana, walaupun penulis telah memotivasi dan dan berupaya agar klien mau meningkatkan aktivitas fisiknya. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang menyebabkan lansia tidak mampu dan terdistraksi dalam melaksanakan aktifitas fisik yang optimal. Hambatan yang paling sering adalah kurangnya motivasi baik karena pengaruh internal diri maupun faktor eksternal sehingga klien tidak menjalankan aktivitas fisik yang telah dijadwalkan secara optimal. Tidak optimalnya pelaksanaaan aktivitas fisik yang telah direncanakan menyebabkan hasil untuk meningkatkan ketahanan klien juga tidak optimal. Hal ini terlihat masih tingginya tekanan darah yang belum mencapai standar aman tekanan darah pada lansia dengan hipertensi. Selain itu, pengontrolan asupan dan pengontrolan pemberian terapi farmakologi setiap hari juga belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam menurunkan tekanan darah yang terlihat dari monitoring tekanan darah yang Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 66 dilakukan setiap hari. Oleh karena itu penulis juga melakukan intervensi keperawatan komplementer berupa massage dengan jenis Swedish Massage agar dapat mengoptimalkan hasil yang ingin dicapai untuk menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. 4.3. Analisis Intervensi Swedish Massage Intervensi unggulan yang diberikan untuk mengatasi masalah risiko kerusakan fungsi lardiovaskuler pada nenek R adalah Swedish Massage. Tujuan pemberian intervensi ini adalah untuk mempertahankan skor 4 (penyimpangan ringan dari rentang normal) atau meningkatkan skor menjadi 5 (tidak ada penyimpangan dari rentang normal) pada poin tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan pulsasi nadi. Swedish massage merupakan pengembangan teknik pijat tradisional eropa yang dikembangkan oleh Per Hendrik Ling pada awal abad ke-18 (Vickers & Zollman, 1999). Ada tiga metode yagang dapat digunakan dalam pemberian swedish massage untuk menurunkan tekanan darah berdasarkan sesi, durasi tiap sesi, dan area yang dipijat. Pada metode pertama swedish massage dilakukan selama 12 sesi dengan durasi pemijatan selama 10 menit pada area punggung. Metode kedua swedish massage dilakukan selama 12 sesi dengan durasi pemijatan selama 30 menit pada area tangan, kaki, dan wajah. Metode ketiga swedish massage dilakukan selama 4 sesi dengan durasi pemijatan selama 60 menit pada area seluruh tubuh mulai dari kepala sampai dengan kaki. Penulis menggunakan metode pertama dalam pemberian intervensi swedish massage kepada klien. Hasil pemberian intervensi ini sebanyak 12 sesi selama 5 minggu akan ditampilkan pada grafik berikut. Berdasarkan grafik 3.1 diketahui bahwa dalam 12 sesi pemberian intervensi swedish massage pada nenek R terjadi penurunan rata-rata sebanyak 6 mmHg pada tekanan darah sistolik dan 5,8 mmHg pada tekanan darah diastolik. Hal tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan skor 4 (penyimpangan ringan dari rentang normal) atau meningkatkan skor menjadi 5 (tidak ada Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 67 penyimpangan dari rentang normal) pada poin tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik. Berdasarkan grafik di atas juga diketahui bahwa pemberian swedish massage sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah pada klien sesuai target tekanan darah pada penderita hipertensi. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai tekanan darah awal pada sesi pertama jika dibandingkan dengan hasil pengukuran tekanan darah setelah intervensi pada sesi terakhir yang mencapai 120/80 mmHg. Hasil tersbut menggambarkan pemberian intervensi swedish massage dapat mengoptimalisasi penurunan tekanan darah sehingga mencapai target aman tekanan darah bagi lansia penderita hipertensi. Target tekanan darah bagi lansia hipertensi yang direkomendasikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of Hypertension adalah dibawah 140/90 mmHg (Simonson, Han, & Davidson, 2011). Hal ini juga menunjukkan bahwa swedish massage dapat mengoptimalkan hasil yang diinginkan dalam pengobatan pada lansia dengan hipertensi. Hasil intervensi swedish massage yang dilakukan pada nenek R di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung ini sejalan dengan beberapa penelitian kuasi eksperimen yang dilakukan di Iran. Pada eksperimen yang dilakukan oleh Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou (2014) dengan metode yang sama didapati penurunan tekanan darah sistolik dan diastoslik berturut-turut adalah 6,44 mmHg dan 4,77 mmHg. Perbedaan yang intervensi swedish massage yang dilakukan penulis dengan swedish massage yang dilakukan Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou adalah periode pemberian intervensi. Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou melakukan intervensi swedish massage sebanyak 12 sesi dalam jangka waktu 6 minggu, sedangkan penulis melakukan 12 sesi dalam 5 minggu. Hasil intervensi swedish massage yang dilakukan penulis juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Supa’at, Zakaria, Maskon, Aminuddin, & Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 68 Nordin (2013) di Malaysia. Pada penelitian tersebut intervensi swedish massage yang dilakukan berhasil menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik berturut-turut sebanyak 12 mmHg dan 5 mmHg. Pada penelitian tersebut terlihat penurunan tekanan darah sistolik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil intervensi yang dilakukan penulis. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan pada penelitian tersebut dengan penulis. Metode yang digunakan oleh Supa’at, Zakaria, Maskon, Aminuddin, & Nordin adalah metode swedish massage yang ketiga yaitu massage dilakukan di seluruh area tubuh dari kepala sampai kaki selama 60 menit dalam 4 sesi. Penurunan tekanan sistolik yang cukup tinggi dapat disebabkan oleh efek relaksasi yang lebih tinggi yang dihasilkan oleh swedish massage metode ketiga. Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah yang dilakukan selama pemberian intervensi swedish massage terlihat rata-rata terjadi penurunan tekanan darah preintervensi antar sesi. Hal tersebut menunjukkan swedish massage memiliki efek yang bertahan beberapa hari sehingga apabila intervensi secara rutin dilakukan dapat membantu lansia dengan hipertensi menjaga tekanan darahnya sesuai target. Pendapat penulis ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Givi (2013) di Iran tentang daya tahan efek pemberian swedish massage terhadap tekanan darah. Penelitian tersebut mengevaluasi efek pemberian swedish massage selama 10-15 menit pada 10 sesi intervensi. Penelitian tersebut mengatakan bahwa berdasarkan hasil evaluasi daya tahan efek pemberian swedish massage terhadap tekanan darah memiliki efek yang bertahan sampai dengan 72 jam setelah pemberian pemijatan. Berdasarkan hasil studi literatur yang dilakukan penulis, tidak ada penelitian yang tidak sejalan dengan hasil intervensi yang dilakukan oleh penulis. Semua penelitian baik dalam bentuk literature review maupun kuasi eksperimen menunjukkan bahwa swedish massage dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik. Hal ini menunjukkan bahwa Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 69 swedish massage merupakan intervensi yang efektif dan aplikatif dalam upaya mengontrol dan menurunkan tekanan darah pada masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler yang banyak disebabkan oleh hipertensi. Hal tersebut dikarenakan swedish massage merupakan pengobatan komplementer yang dipercaya dapat memberika efek relaksasi sehingga dapat mengurangi tekanan darah (Fritz, 2009). Penurunan tekanan darah setelah intervensi swedish massage didapatkan dari perasaan nyaman dan relaksasi dikarenakan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis yang disebabkan oleh penekanan-penekanan dalam massage (Ouchi, Kanno, & Okada, 2006). Gerakan-gerakan pada swedish massage seperti usapan panjang (long stroke), peremasan (kneading), dan tapotemen (tapping) membuat aktivitas saraf parasimpatis terstimulasi. Peningkatan stimulasi saraf simpatis dapat membuat serat-serat pascagangglion parasimpatis melepaskan asetilkolin. Asetilkolin akan berikatan dengan reseptor kolinergik muskarinik menyebabkan peningkatan konduktansi K+ di dalam sel pacemaker (Shier, Butler, & Lewis, 2012). Hal ini menyebabkan hiperpolarisasi potensial membran dan menurunkan kecepatan pada fase keempat depolarisasi dan otomatisasi pada sel pacemaker. Hal tersebut menyebabkan perlambatan kontraksi ventrikel kiri pada jantung. Perlambatan kontraksi ventrikel kiri menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Penurunan kecepatan aliran darah pada swedish massage tidak akan mengganggu aliran darah ke perifer. Hal ini dikarenakan gerakan seperti usapan panjang (long stroke) dan peremasan (kneading) membantu meningkatkan aliran darah pada area perifer (Fritz, 2009; Braun & Simonson, 2008). Berdasarkan grafik 3.1 dapat dilihat bahwa selama pemberian swedish massage terjadi penurunan dan kenaikan tekanan darah antara hasil tekanan darah pasca intervensi sesi sebelumnya dengan hasil tekanan darah pra intervensi sesi berikutnya. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 70 penurunan tekanan darah selama lima minggu pemberian intervensi swedish massage adalah terdapat jeda dalam pemberian swedish massage dimana dapat terjadi peningkatan faktor risiko lain selama jeda waktu terjadi. Selama 5 minggu pemberian intervensi swedish massage terdapat faktor risiko yang dapat mengganggu kestabilan hasil penurunan tekanan darah yaitu faktor psikososial pada waktu jeda pemberian intervensi. Faktor psikososial merupakan faktor yang miliki hubungan dengan peningkatan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler (Miller, 2012). Hal ini dikarenakan faktor psikososial seperti stres, ansietas, depresi, isolasi sosial, lemahnya dukungan sosial, dan karakter personal dapat meningkatkan risiko terjadinya kemaranahan dan permusuhan. Berdasarkan hasil pengkajian diketahui bahwa klien tidak memiliki sahabat dekat untuk mencurahkan perasaan juga dukungan kelompok yang kuat. Hal ini menyebabkan klien juga memiliki risiko kesepian. Klien cenderung menahan amarah dalam perasaan dan tidak memiliki koping yang efektif untuk melepaskan stres yang dirasa. Hal-hal seperti itu menyebabkan teraktivasinya saraf simpatis yang meningkatkan adrenalin sehingga memacu detak jantung sehingga dapat meningkatkan tekanan darah kembali. Berdasarkan analisis terhadap intervensi swedish massage yang telah dijabarkan dalam penjelasan di atas menunjukkan bahwa swedish massage merupakan terapi komplementer yang efektif, mudah diaplikasikan, aman, dan murah untuk menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler dengan menurunkan salah satu faktor risiko terbanyaknya yaitu hipertensi. Karena banyaknya faktor risiko yang dapat memicu kerusakan fungsi kardiovaskuler maka swedish massage merupakan intervensi komplementer atau pelengkap yang tidak dapat berdiri sendiri dalam menurunkan faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler sehingga perlu juga dilakukan intervensi lainnya untuk mengoptimalkan hasil yang ingin dicapai. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 71 4.4. Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler bukan masalah yang dipicu oleh satu hal. Masalah ini disebabkan oleh beberapa faktor risiko. Berdasarkan asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler untuk hasil yang optimal tidak dapat dilakukan dengan satu intervensi saja. Agar dapat menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler secara optimal diperlukan integrasi beberapa intervensi yang dilakukan pada lansia. Berdasarkan karakteristik lansia yang tinggal di panti berikut merupakan intervensi yang dapat dilakukan sebagai alternatif pemecahan masalah. Berdasarkan NIC terdapat beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pemecahan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler, antara lain cardiac care, manajemen risiko jantung, peningkatan koping, exercise promotion, pendidikan kesehatan, meditasi, konseling gizi, guided imagery, dan terapi relaksasi. Berdasarkan situasi dan kondisi PSTW Budi Mulia 1 Cipayung, intervensi yang dapat dilakukan antara lain manajemen risiko jantung, peningkatan koping, exercise promotion, pendidikan kesehatan, meditasi, konseling gizi, dan terapi relaksasi. Manajemen risiko jantung merupakan pencegahan periode akut kerusakan fungsi kardiovaskuler dengan meminimalkan perilaku yang berisiko dan halhal yang berkontribusi terhadap kerusakan fungsi kardiovaskuler (Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Alteratif ini dapat dilakukan sebagai program pencegahan yang diberikan pada lansia-lansia yang memiliki faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Program ini dapat berisikan aktivitas dan intervensi lain yang disebutkan di atas seperti peningkatan koping, exercise promotion, pendidikan kesehatan, meditasi, manajemen gizi dalam bentuk pengaturan modifikasi diet, guided imagery, dan terapi relaksasi. Peningkatan koping, meditasi, guide imagery, dan terapi relaksasi dapat dilakukan sebagai manajemen stres pada lansia hipertensi. Berdasarkan Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 72 analisa hasil pemberian intervensi pada klien nenek R, terjadi ketidakstabilan penurunan tekanan darah selama jeda intervensi komplementer yang diberikan menunjukkan pentingnya lansia untik dapat mengelola stres yang dimilikinya agar dapat mengoptimalkan penurunan tekanan darah. Hal ini dikarenakan peningkatan stres pada lansia dapat menimbulkan peningkatan tekanan darah sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Pemberian intervensi-intervensi tersbut yang merupakan bagian dari manajemen risiko jantung dapat mengoptimalkan penurunan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler dari faktor psikososial. Manajemen gizi merupakan tindakan yang digunakan memfasilitasi keseimbangan nutrisi yang masuk ke tubuh (Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Pada klien dengan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler sangat membutuhkan pengaturan menu makan yang tepat. Manajemen gizi dapat dilakukan dengan penyediaan menu diet rendah garam untuk lansia dengan faktor risiko hipertensi. Penyediaan menu diet rendah kalori dan gula dapat diberikan pada lansia dengan faktor risiko diabetes melitus. Penyediaan menu diet rendah kalori dan lemak dapat diberikan pada lansia dengan faktor risiko dislipidemia. Berdasarkan faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler terdapat dua faktor yaitu aterosklerosis dan kebiasaan makan yang berhubungan dengan manajemen gizi yang berhubungan dengan peningkatan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Pentingnya manajemen gizi ini dikarenakan manajemen gizi ini akan sangat mempengaruhi pencapaian hasil yang optimal dalam menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler menjadi masalah yang banyak ditemui pada lansia yang tinggal di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor pemicu masalah ini dialami penduduk lansia di DKI Jakarta. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung sebagai salah satu bentuk pelayanan lanjut usia dengan konsep perawatan jangka panjang di DKI Jakarta memiliki tanggung jawab untuk memberikan perawatan bagi lansia warga binaan sosial (WBS) yang memiliki masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Hasil pengkajian pada klien didapatkan bahwa klien memiliki beberapa faktor risiko seperti usia yang telah lebih dari 65 tahun, kurang pengetahuan, riwayat hipertensi, dan gaya hidup yang monoton. Berdasarkan pemeriksaan tanda vital dan fisik diketahui klien memiliki tekanan darah tinggi, perbesaran batas jantung kiri, terjadi peningkatan intensitas bunyi jantung S2, dan irama jantung yang tidak teratur. Selain itu berdasarkan pengkajian menggunakan format penilaian risiko perkembangan penyakit jantung klien berada dalam kategori menuju risiko tinggi. Hasil analisis data pada nenek R menunjukkan masalah keperawatan utama pada kien adalah masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler merupakan suatu kondisi kerentanan internal atau eksternal yang dapat menyebabkan kerusakan minimal satu organ vital dan sistem sirkulasi sendiri. Rencana keperawatan yang disusun oleh penulis menggunakan intervensi bersadasarkan NIC yaitu massage dengan jenis swedish massage sebagai intervensi unggulan. Tujuan dari rencana keperawatan yang disusun ialah mencegah terjadinya kerusakan fungsi kardiovaskular yang kerusakan organ vital dan sistem sirkulasi. Indikator hasil dari tujuan di atas adalah mempertahankan skor 4 (penyimpangan ringan dari rentang normal) atau 73 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 74 meningkatkan skor menjadi 5 (tidak ada penyimpangan dari rentang normal) pada poin tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan pulsasi nadi. Implementasi dari intervensi swedish massage dilakukan sebanyak 12 sesi dalam waktu 5 minggu dengan durasi setiap sesinya 10 menit. Swedish massage terdiri dari tiga gerakan yaitu usapan panjang (long stroke), peremasan (kneading), dan tapotemen (tapping). Pada setiap sesi diawali dan diakhiri dengan pemeriksaan tekanan darah untuk melihat hasil intervensi yang dilakukan. Evaluasi terhadap intervensi swedish massage yang menunjukkan adanya penurunan tekanan darah yang dialami klien. Berdasarkan pengitungan ratarata penurunan tekanan darah diketahui penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik berturut-turut sebesar 6 mmHg dan 5,8 mmHg. Hal tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan skor 4 (penyimpangan ringan dari rentang normal) atau meningkatkan skor menjadi 5 (tidak ada penyimpangan dari rentang normal) pada poin tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik. 5.2 Saran 5.2.1 Bagi Institusi Pelayanan Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia di PSTW. Berdasarkan hasil analisis ini diketahui masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler bukan masalh yang dapat diatasi hanya dengan satu intervensi seperti pemberian terapi medis yang telah berjalan selama ini di lingkungan PSTW. Sehingga dibutuhkan intervensi yang terintegrasi seperti manajemen risiko jantung yang meliputi pengontrolan rutin, peningkatan aktivitas fisik, pengelolaan stres, dan pengontrolan nutrisi yang diberikan. Selain manajemen risiko jantung untuk mendapatkan hasil yang optimal pihak PSTW dapat menambahkan pemberian terapi komplementer yang dilakukan oleh perawat yaitu swedish massage pada lansia yang memiliki hipertensi. Berdasarkan asuhan keperawatan yang dilakukan selama tujuh minggu pada lansia dengan risiko Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 75 kerusakan fungsi kardiovaskuler menunjukkan bahwa swedish massage dapat membantu mengoptimalkan hasil dalam menurunkan salah satu faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Berdasarkan hasil praktik yang dilakukan swedish massage hanya dapat dijadikan terapi komplementer sehingga pemberian terapi farmakologi pada lansia dengan hipertensi tetap harus dilaksanakan. 5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan Hasil dari analisis Praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ini diharap dapat menjadi pertimbangan bagi institusi untuk melakukan penelitian selanjutnya terkait intervensi non farmakologi dalam mengatasi masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler melalui massage. Selain itu institusi juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih terkait massage dan meningkatkan kemampuan mahasiswanya dalam melakukan intervensi non farmakologi pada klien dengan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler dengan melakukan pelatihan. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 76 DAFTAR PUSTAKA Allender, J. A. & Spradley, B. W. (2005). Community health nursing: Promoting and protecting the publics health (6th Ed). Philadelphia: Lippincott Allender, J. A., Rector, C., & Warner, K.D. (2010). Community health nursing: promoting and protecting the public’s health. Lippincott: Williams & Wilkins. Benney, S., & Gibbs, V. (2012) A literature review evaluating the role of swedish massage and aromatherapy massage to alleviate the anxiety of oncology patients. Elsevier: Radiography Journal 19. BPS. (2012). Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi Indonesia. Jakarta: BPS Braun, M.B., & Simonson, S. J,. (2008). Introduction to Massage Therapy 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Bulechek, G.M, Butcher, H.K., & Dochterman, J.M. (2013). Nursing intervention classification (NIC) Sixth edition. St. Louis, Missouri: Elsevier California Advocates Health Nursing Reform. (2012). Nursing home care standards. http://www.canhr.org/index.html Carlson, D. S. & Pfadt, E. (2009). Clinical coach for effective nursing for older adults. Philadelphia: F. A. Davis Company Carr, M. C., & Tannock, L. L. (2009). Body-fat distribution and mortality risk: Thinking Small Circulation 119 Challis, et al. (2010). Community support services for people with dementia: The relative costs and benefits of specialist and generic domicillary care services. Personal Sosial Services Research Unit (PSSRU) DeLaune, S. C. & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: standards and practice 2nd edition. New York: Delmar/ Thomson learning Departement Economy and Social Affair, United Nation. (2002). Word population ageing: 1950-2050 (executive summary). New York: United Nation. Diperoleh dari www.un.org/esa/population/publications/worldageing19502050/pdf/62exe cutivesummary_english.pdf Field, T. (2016). Massage therapy research review. Elsevier: Complementary Therapies in Clinical Practice 24. 19-31. Fritz, S. (2009). Fundamental of therapeutic massage. St. Louis: Mosby Elsevier Givi, M. (2013). Durability of Effect of Massage Therapy on Blood Pressure. International J Prev Med. 4: 511-16 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 77 Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA International, Nursing diagnoses: Definitions and classification, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell Insull, W. (2009). The pathology of atherosclerosis: Plaque development and plaque responses to medical treatment. The American Jurnal of Medicine, 122 Kassner, E. (2011). Home and community-based long-term services and supports for older people. Assets.aarp.org/rgcenter/ppi/ltc/fs222-health.pdf Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 50/HUK/2004 Krieger, P. A. (2009). A visual analogy guide to human anatomy & physiology. US: Morton Publishing Company Lewis, S. J. (2009). Prevention and treatment of atherosclerosis: A practioner’s guided for 2008. The American Jurnal of Medicine, 122 Llyod-Jones et al,. (2009). American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Heart diseases and stroke statistics 2009 update Circulation, 199 Maddens, M., Imam, K., & Ashkar, A. (2005). Hypertension in Elderly. Elsevier Saunders: Primary Care Clinics Office Practice 32, 723-753 Marieb, E. N., & Hoen, K. (2013). Human anatomy & Physiology 9nd edition. Boston: Pearson Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing: Competencies for care. Massachusetts: Jones and Bartlett publishers Meiner, S. E. (2006). Gerontologic nursing (3rd Ed.). St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older adults (6th Ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer-Williams and Wilkins Ministry of Health Singapore. (2002). A guidelines of nursing home in singapore. Singapore: Singapore 77esicular77 Mohebbi, Z., Moghadasi, M., Homayouni, K., dan Nikou, M. H. (2014). The Effect of Back Massage on Blood Pressure in the Patients with Primary Hypertension in 2012-2013: A Randomized Clinical Trial. www.researchgate.net/publication/267729619 Ouchi, Y., Kanno, T., & Okada, H. (2006). Changes in cerebral blood flow under the prone condition with and without massage. Neuroscience Letter, vol. 407, no.2. Potter, P. A. & Perry, A. G. (2013). Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice 8th edition. Missouri: Mosby Elsevier Inc Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 78 Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI. (2006). Buku saku gaya hidup sehat. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI Pusdatin Kemenkes RI. (2014). Situasi dan analisis: Lanjut usia. Jakarta: Kemenkes RI Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). (2001). Hypertension in older people. Diperoleh dari http://lyf.landlaeknir.is/downloads/SIGN49.pdf Shier, D., Butler, J., & Lewis, R. (2012). Hole’s essentials of human anatomy & physiology. New York: McGraw-Hill Simmons, B. B., DeJoseph, D., Arenson, C. (2009). Hypertension. In C. Arenson (Ed.), Reichel,s care of the elderly: Clinical aspects of aging (pp. 96 – 101). New York: Cambridge University Press Simonson, W., Han, L. F., & Davidson, E. (2011). Hypertension Treatment and Outcomes in US Nursing homes: Results From The US National Nursing home Survey. American Medical Directors Association. DOI: 10.1016/j.jamda.20.10.02.009 Sritooma, N., Moyle, W., Cooke, M., & O’Dwyer, S. (2012). The effectiveness of 78esicul massage and traditional thai massage in treating chronic low bback pain: A review of the literature. Elsevier: Complementasry Therapies in Clinical Practice 18. Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Philadelphia: Mosby Elsevier Supa’at, I., Zakaria, Z., Maskon, O., Aminuddin, A., & Nordin, N.A.M.M. (2013). Effects of Swedish Massage Therapy on Blood Pressure, Heart Rate, and Inflammatory Markers in Hypertensive Women. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine Vol. 2013. Doi.org/10.1155/2013/171852 Tabloski, P. A. (2014). Gerontological nursing. New Jersey: Pearson Education Tennesse Health Care Association. (2013). Nursing home. Diunduh pada 28 Juni 2013 dari http://www.thca.org/forconsumers/selectnursinghome.html Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI. (2007). Ilmu dan aplikasi pendidikan. Grasindo Intima : Bandung. Touhy, T. A., & Jett, K., F. (2014). Ebersole and hess’s gerontological & health aging. St. Louis: Elsevier Turgut, F., Yesil, Y., Balogun, R. A., Rahman, E.M.A. (2013). Hypertension in Elderly: Unique Challanges and Management. Elsevier: Clinical Geriatric Medicine 29. Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 79 Vickers, A., & Zollman, C. (1999). ABC of Complementary Medicine: Massage Therapies. British Medical Journal, vol. 319, no.7219. www.jstor.org/stable/25186301 Wong, D. L,., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz, P. (2008). Buku ajar keperawatan pediatric wong edisi 6. (terj. Agus Sutarna, Neti Juniarti, & H. Y. Kuncara). Jakarta: EGC WHO. (2005). Chronic diseases and their common risk factors. Geneva: Word Health Organization. Diperoleh dari http://www.who.int/topics/chronic_diseases/en/ WHO. (2010). Global recomendation on physical activity for health. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44399/1/9789241599979_eng.pdf Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 Lampiran: Surat Izin Praktik 80 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 81 Lampiran: Pengkajian Klien Kelolaan LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN INDIVIDU LANSIA DI PSTW BUDI MULIA 1 CIPAYUNG I. Pengkajian Individu Nama Panti : PSTW BUDI MULIA 1 CIPAYUNG Alamat Panti : Jalan Bina Marga no.58 Cipayung, Jakarta Timur Tanggal Masuk : 25 Februari 2013 No. Register : A. Identitas 1. Nama : Nenek R 2. Jenis Kelamin : Perempuan : 91 tahun 3. Umur 4. Agama : Islam 5. Status Perkawinan : Kawin 6. Pendidikan Terakhir : Kelas 4 SR 7. Pekerjaan Terakhir : Pedagang 8. Alamat Rumah : Jalan Veteran 1 no.32 B. Alasan Masuk ke Panti Nenek menceritakan bahwa klien tinggal di panti dikarenakan di bawa oleh mobil biru saat kabur dari suami. Klien mengatakan semenjak suaminya pensiun sebagai PNS di departemen pertahanan suasana di rumahnya menjadi kurang harmonis dan sering terjadi konflik. Nenek R kabur dari rumah karena tidak nyaman dengan perilaku suami. Klien menceritakan bahwa pada dasarnya suaminya adalah orang yang baik dan penyayang, namun ada perilaku-perilaku yang kurang berkenan di hati klien semenjak suami pensiun. Klien merasa kesal karena ketika klien bekerja keras mencari uang dengan berdagang suami klien tidak pernah membantu dan hanya bermalas-malasan dan melakukan perilaku yang tidak disukai klien. C. Riwayat Kesehatan 1. Masalah kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini Pada saat pengkajian secara subjektif klien tidak banyak mengeluhkan kondisi kesehatannya. Klien merasa sehat, namun klien sering merasa pegal-pegal di badan, tengkuk merasa tegang, akan tetapi tidak disertai pusing dan kesulitan tidur di malam hari. Berdasarkan rekam medis klien diketahui bahwa klien memiliki penyakit hipertensi. Hal tersebut terlihat dari hasil pencatatan tekanan darah harian dan resep obat yang diberikan oleh dokter Puskesmas. Pada rekam medis tersebut tercatat bahwa klien mendapatkan obat antihipertensi amlodipin 10 mg yang diminum satu kali sehari setiap pagi. Klien mengatakan bahwa selama Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 82 hidupnya klien tidak pernah sakit dan dibawa ke rumah sakit. Adapun nenek R pernah merasakan badan tidak enak karena batuk pilek. Pada saat melahirkan dulu, klien melahirkan di rumah dengan memanggil bidan. 2. Masalah kesehatan keluarga/ keturunan Ketika klien ditanya terkait masalah kesehatan yang dialami oleh keluarganya klien menjawab kurang tahu. Hal tersebut dikarenakan orang tua nenek R meninggal karena tua. Selain itu koien mengatakan bahwa pada zaman dahulu orang tuanya tidak pernah memeriksakan kesehatan ke rumah sakit dan pelayanan kesehatan karena pelayanan kesehatan masih sangat terbatas. Kondisi kesehatan suami dan anakanaknya pun baik pada saat klien meninggalkan rumah. Tidak ada anggota keluarganya yang sakit atau memiliki riwayat penyakit keturunan. D. Kebiasaan Sehari-hari 1. Biologis a. Pola makan: Berdasarkan observasi yang dilakukan diketahui bahwa nenek makan 3 kali sehari dengan makanan yang disediakan panti. Makan yang disediakan oleh pihak berupa nasi, sayur, lauk pauk, dan buah yang dibagikan setiap pukul 07.00 untuk makan pagi, 12.00 untuk makan siang, dan jam 16.00 untuk makan sore. Hasil observasi pada pola makan klien menunjukkan klien hanya makan sedikit dengan porsi kecil. Hal ini terlihat dari jumlah nasi yang diambil klien hanya satu centong pada makan pagi dan siang, sedangkan untuk makan sore kien tidak pernah mengambil nasi. Apabila nasi diambilkan petugas seringkali nasi tidak habis di makan karena kebanyakan. Pola makan klien juga cukup menarik, hal ini dikarenakan menu makanan pagi di makan oleh klien saat siang, menu makanan siang di makan sore atau malam, dan menu makanan sore di makan keesokan paginya. Nenek R juga mengonsumsi makanan selingan selain makanan berat. Makanan selingan seperti bubur kacang hijau biasanya diberikan setiap hari selasa dan jumat seusai senam. Klien juga sesekali makan makanan ringan apabila ada tamu yang memberikan kue atau 82esicul. b. Pola minum: Observasi juga dilakukan pada pola minum dan eliminasi nenek R. Nenek R setiap hari minum air putih kurang lebih sebanyak 1950 cc. Hal ini dilihat dari setiap setelah makan nenek R selalu minum air segelas kurang lebih 250 cc dan klien juga memiliki Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 83 stok air yang disimpan pada 2 botol air ukuran 600 cc yang biasanya diminum pada jarak anatar waktu makan dan malam hari. Minuman kesukaan klien adalah es teh tapi klien sangat jarang minum es teh. Terkadang jika klien ingin minuman yang manis klien minum teh hangat yang diseduh sendiri. c. Pola tidur: Klien mengatakan tidak memiliki masalah tidur. Klien terbiasa mulai tidur jam 8 malam dan terbangun pada jam 4 pagiuntuk mandi. Setelah mandi klien tidur kembali sembari menunggu sholat shubuh dan terbangun untuk sholat shubuh pada jam 5 pagi. Kadang klien terbangun tengah malam untuk BAK namun mudah tertidur kembali. Klien tidak pernah tidur pada siang hari. d. Pola eliminasi (BAB/BAK): Hasil observasi dan wawancara terkait pola eliminasi diketahui bahwa nenek R memiliki pola BAB 1 kali setiap 2 hari. Nenek R mengatakan setiap BAB tidak pernah merasa keras tetapi dulu pernah mengalami BAB cair tapi tidak lebih dari 3 kali sehari. Selain konsistensi feses yang padat lunak klien juga mengatakan warna fesesnya biasanya coklat tua atau terkadang coklat kekuningan. Nenek R juga tidak memiliki masalah pada pola BAK. Klien biasanya BAK lebih dari 3 kali dalam sehari. Klien juga tidak mengalami inkontinensia karena klien tidak pernah mengompol dan mampu menahan sampai tiba di kamar mandi. e. Aktifitas sehari-hari: Berdasarkan hasil pengkajian diketahui pola aktivitas sehari-hari klien tidak memiliki banyak variasi. Kegiatan yang biasa diikuti nenek R adalah senam setiap selasa dan jumat akan tetapi saat senam klien biasanya hanya duduk di tempat duduk yang disediakan di lapangan dan hanya menggerakkan tangan hanya sampai pertengahan kegiatan senam. Selain senam kien juga mengikuti pengajian iqro. Selain itu klien juga mengikuti TAK apabila ada mahasiswa keperawatan yang menyelenggarakan. Selain itu nenek R juga selalu hadir di panggung gembira tetapi tidak pernah sampai akhir dan hanya duduk saja. Menurut nenek R, ia kurang menyukai kegiatan pangggung gembira yang isinya hanya joget-joget saja. Selain kegiatan-kegiatan tersebut nenek R lebih sering menghabiskan waktunya untuk duduk-duduk di kamar ataupun di teras. Terkadang klien juga suka berjalan-jalan sore ke depan panti. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 84 f. Rekreasi: Sejak tinggal di panti klien tidak pernah pulang atau dijemput pulang ketika lebaran. 2. Psikologis a. Keadaan emosi: Kondisi emosi nenek R sehari-hari terlihat stabil. Klien dapat mengontrol emosi dan tidak suka beradu mulut dengan lansia lainnya. Apabila ada lansia yang membicarakan dan mengejek biasanya nenek R tidak terlalu ambil pusing dan tidak membalasnya. Jika ada hal yang tidak disukainya hal yang biasa dilakukan klien adalah merengutkan wajahnya, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Jika berbicara tentang rumah dan anakanaknya terkadang nenek R terlihat sedih karena kangen dengan keluarganya tetapi klien merasakan dilema karena tidak suka dengan perilaku suaminya. 3. Sosial a. Dukungan keluarga: Berdasarkan hasil observasi dan wawancara didapati hasil terkait kondisi sosial nenek R yaitu selama di panti klien belum pernah dijenguk keluarga karena tidak ada yang mengetahui keberadaannya di panti. b. Hubungan antar keluarga: Hubungan antar keluarga khususnya dengan suami kurang harmonis semenjak suami pensiun. c. Hubungan dengan orang lain: Selama di panti klien kadang-kadang mengobrol dan jarang bertengkar dengan lansia lainnya. Bukan berarti hal tersebut membuat nenek R tidak memiliki orang yang tidak suka kepada dirinya. Ada beberapa lansia yang tidak suka dengan nenek R tetapi nenek R tidak pernah memikirkannya. 4. Spiritual/ Kultural a. Pelaksanaan ibadah: Sholat 5 waktu dilaksanakan awal waktu ketika selesai adzan kecuali shubuh, kadang agak kesiangan. Sholat dilakukan di dalam kamar sambil duduk di tempat tidur. Klien juga mengikuti pengajian iqra yang biasanya didatangi oleh ustadzah ke kamarnya. b. Keyakinan tentang kesehatan: Nenek R merasa dirinya sehat wal afiat, tidak ada keluhan kesehatan dan masalah penyakit sehingga tidak perlu minum obat. Menurut nenek R tekanan darah tinggi bukan penyakit tapi hal biasa pada orang tua. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 85 E. Pemeriksaan Fisik 1. Tanda Vital a. Keadaan umum : baik b. Kesadaran : compos mentis c. Suhu : 36,8oC : 96 x/menit d. Nadi e. Tekanan darah : 150/80 mmHg f. Pernapasan : 21 x/menit g. Tinggi badan : 143 cm : 45 kg h. Berat badan 2. Kebersihan Perorangan a. Kepala Pemeriksaan fisik head-to-toe pada bagian kepala meliputi pemeriksaan bentuk kepala, rambut, mata, hidung, telinga, dan mulut. Bentuk kepala nenek R bulat simetris dan tidak ditemukan peubahan bentuk, lesi, nyeri, ataupun bengkak. Sejumlah 80% rambut klien sudah memutih atau beruban dengan pesebaran cukup merata dan kondisi kebersihan rambut bersih. Tekstur rambut klien halus, tidak bercabang, tidak ditemukan kutu dan rambut kloien hanya seleher. Pada meriksaan mata didatapi hasil pupil mata klien memiliki refleks pada cahaya dan refleks pupil mata kanan dan kiri isokor. Sklera mata klien tidak ikterik dan pada konjungtiva mata klien tidak menunjukkan tanda-tanda anemia. Pada pemeriksaan telinga klien tidak ditemukan serumen yang mengeras atau pun yang mengental dan tidak ditemukan juga benda asing. Pada saat dipalpasi pada bagian belakang telinga tidak ditemukan benjolan dan klien tidak merasakan sakit dan tidak merasakan telinga berdenging. Pada pemeriksaan hidung didapati hasil bahwa hidung klien bersih, tidak ditemukan kotoran hidung, benda asing, dan sekret. Pada pemeriksaan mulut diketahui bahwa mukosa mulut nenek R lembab dan berwarna pink, lidah berwarna merah muda keputihan, dan tidak ditemukan lesi atau sariawan. Kondisi gigi nenek R sudah ompong sebagian. Klien tidak memiliki gigi berlubang tetapi pada beberapa gigi didapati karang gigi. Ketika diperintahkan untuk menelan air, klien tidak merasa nyeri ketika menelan. b. Leher Pada pemeriksaan leher secara inspeksi tidak didapati bentuk abnormal pada leher dan tulang leher. Distensi vena jugularis juga tidak tampak pada leher klien. Pada leher tidak ditemukan benjolan kelenjar getah bening atau masa saat dilakukan palpasi. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 86 Saat pemeriksaan bagian leher juga tidak ditemukan lesi dan bengkak. Pada saat dipalpasi pada bagian tengkuk belakang otot yang teraba cukup tegang dan klien mengeluh nyeri pada bagian tersebut. Posisi trakea klien normal berada pada posisi midline. Pada saat diperiksa terkait pergerakan leher diketahui bahwa leher klien dapat bergerak dengan baik, seperti fleksi, ekstensi, hiperekstensi, dan rotasi. c. Dada/thorax Pada bagian dada dilakukan pemeriksaan fisik morfologi dada serta pemeriksaan fisik jantung dan paru. Secara inspeksi bagian dada klien tampak bersih dan terlihat hiperpigmentasi dibeberapa bagian kulit dada. Bentuk konfugurasi dada klien menunjukkan sedikit perubahan kifosis dimana timbul sedikit elevasi pada skapula. Konfigurasi dada klien tidak menunjukkan barrel chest, pigeon chest maupun funnel chest. Pada saat melakukan inspeksi pada bagian prekordium ditemukan bentuk prekordium yang sedikit cembung. Selain inspeksi prekordium, juga dilakukan inspeksi sekaligus palpasi pada iktus kordis (denyut apeks jantung) dengan posisi klien berbaring sambil meraba arteri karotis komunis untuk merasakan adanya gelombang sistolik. Hal ini dilakukan karena iktus kordis hanya ternyadi selama periode sistolik. Hasil inspeksi iktus kordis menunjukkan iktus kordis klien meluas ke arah lateral-bawah dari midklavikular kiri. Pada saat mempalpasi jantung tidak dirasakan adanya getaran jantung maupun getaran pada area trakea. Pada pemeriksaan dengan melakukan perkusi untuk menentukan batas jantung ditemukan suara redup terdapat pada batas kiri jantung bagian atas pada interkosta kedua agak mengarah ke bagian lateral dan batas kiri bawah pada interkosta kelima agak ke lateral bawah midklavikula kiri, sedangkan pada batas kanan jantung agak sulit dideteksi karena suara perkusi kurang jelas. Pada saat mengauskultasi jantung didapati bahwa bunyi jantung 1 klien normal akan tetapi bunyi jantung 2 intensitasnya lebih tinggi. Tidak ditemukan bunyi jantung 3 dan 4. Irama jantung yang terdengar tidak teratur (aritmia). Pada auskultasi paru suara paru yang terdengar 86esicular dan tidak ditemukan suara ronchi dan wheezing. d. Abdomen Pemeriksaan abdomen menujukkan bahwa keempat kuadran abdomen bersih, tidak terdapat lesi, terdapat bekas garis striae, dan perut tidak tampak asites. Pada saat di auskultasi tidak Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 87 ditemukan bunyi bruit dan bising usus klien hanya 3 kali per menit. Pada saat di palpasi pada keempat kuadran klien tidak mengeluhkan nyeri. Pada saat pemeriksaan kandung kemih di area simfisis pubis hasil palpasi menunjukkan simfisis tidak kencang atau menegang dan hasil perkusi didapati suara hipersonor. e. Muskuloskeletal Pada pemeriksaan muskuloskletal menunjukkan keadaan umum tungkai atas dan bawah klien bersih. Tidak ditemukan kontraktur dan edema pada tungkai klien. Hasil pemeriksaan kekuaran otot pada klien menunjukan bahwa kekuatan otot klien pada seluruh anggota gerak tubuh dapat bergerak melawan tahan, akan tetapi kekuatannya berkurang yaitu 4444 4444 . . 4444 4444 Skor tersebut menunjukkan bahwa kekuatan otot yang dimiliki klien masih baik F. Informasi Penunjang 1. Diagnosa Medis Hipertensi 2. Laboratorium Pada pengukuran kadar gula darah sewaktu (GDS) didapatkan hasil kadar GDS klien sejumlah 121 gr/dL. Hasil pengukuran asam urat menunjukkan bahwa kadar asam urat yang dimiliki klien adalah 3,5 gr/dL. Pengukuran kolesterol pada klien menunjukkan hasil sejumlah 189 gr/dL. Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas disimpulkan nilai laboratorium klien termasuk dalam batas normal. 3. Terapi Medis Amlodipin 10 mg 1x1 4. Pengkajian Geriatri MMSE: 24 (normal 24-30) MFS: 30 (risiko jatuh rendah 25-50) Barthel Index:20 (mandiri: 20) BBT: 44 (risiko gangguan keseimbangan rendah & tidak perlu alat bantu 41-56) GDS: 3 (normal 0-4) 5. Keadaan Lingkungan Kamar nenek R cukup terang, lantai tidak licin, kamar mandi dekat dengan tempat tidur dan terdapat handrail dalam kamar mandi, namun tidak terdapat karpet antiselip di dalam kamar mandi. Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 88 Lampiran Pengkajian Geriatri Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 89 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 90 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 91 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 92 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 93 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 94 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 95 Lampiran Analisa Data Analisa Data Data Masalah Keperawatan Data Subjektif: Risiko Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler Nenek R mengatakan sehat, tidak pusing, tidak ada masalah untuk tidur Menurut nenek R tekanan darah tinggi bukan penyakit tapi hal biasa pada orang tua Data Objektif Usia ≥ 65 tahun TD 150/80 mmHg Irama jantung aritmia Pelebaran batas jantung kiri ke arah lateral bawah Peningkatan intensitas bunyi jantung S2 Kurang pengetahuan terkait modifikasi faktor risiko Gaya hidup monoton dan aktivitas kurang efektif Skor Kategori Penilaian Perkembangan Penyakit Jantung dan Serangan Jantung: Menuju Risiko Tinggi Data Subjektif: Risiko Kesepian Nenek R sering merasa kesepian Menurut nenek R ia adalah orang yang pendiam dan tidak banyak bicara agar tidak menimbulkan masalah dengan orang lain Data Objektif Klien tidak memiliki teman dekat sehingga tidak memiliki teman bicara yang dapat menjadi tempat mencurahkan isi perasaan. Klien juga terlihat lebih sering melakukan kegiatan sehari-hari sendiri. Ketika mengikuti senam ataupun panggung gembira klien tidak mengobrol dengan lansia lain Data Subjektif: Kerusakan Integritas Kulit Nenek R mengeluh gatal dan perih di area siku Nenek R mengatakan selama tinggal di panti belum pernah gatal seperti ini Data Objektif Terdapat beberapa lesi kemerahan yang dirasa gatal dan perih oleh klien di bagian kulit lengan bawah di area dekat dengan siku Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 96 Lampiran Rencana Asuhan Keperawatan Rencana Asuhan Keperawatan Diagnosis Keperawatan Domain 4: Aktivitas/ Istirahat Kelas 4: Respon Kardiovaskular/ Pulmonal Risiko gangguan fungsi kardivaskular/ pulmonal (00239) NOC Domain II : Kesehatan Fisiologis Kelas E: Kardiopulmonal Hasil : 0414 Status kardiopulmonal Indikator: 041401 TD sistolik menurun 041402 TD diastolik menurun 041403 Pulsasi nadi normal NIC Domain 2: Fisiologis: Kompleks Kelas N: Manajemen Perfusi Jaringan Intervensi: 4050 Manajemen Risiko Jantung - Melakukan pendidikan terkait hipertensi - Memonitoring tekanan darah - Mengontrol pemberian obat antihipertensi - Memotivasi untuk meningkatkan aktivitas fisik - Memonitoring asupan makanan Domain 1: Fisiologis: Dasar Kelas E: Promosi Kenyamanan Fisik Intervensi: 1480 Massage - Melakukan swedish massage sebanyak 12 sesi dengan durasi 10 menit Domain12: Kenyaman Kelas 3: Kenyamanan Sosial Risiko kesepian (00054) Domain III: Kesehatan Psikososial Kelas P: Interaksi sosial Hasil: 1503 Keterlibatan sosial Indikator: 150301 interaksi dengan teman dekat meningkat 150311 mengikuti kegiatan yang menyenangkan Domain 3: Perilaku Kelas Q: Peningkatan komunikasi Intervensi: 4920 Mendengarkan aktif - Melakukan aktifitas mengobrol - Melakukan aktifitas reminiscene 5100 Peningkatan sosialisasi - Memotivasi klien untuk terlibat dalam aktivitas kelompok - Membantu hubungan atau Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 97 interaksi dengan orang yang memiliki minat yang sama Domain 11: Keamanan/Perlindu ngan Kelas 2: Cedera fisik Kerusakan Integritas Kulit (00046) Domain II : Kesehatan Fisiologis Kelas L: Integritas Jaringan Hasil: 1101 Integritas jaringan: kulit & membran mukosa Indikator: 110115 Berkurangnya lesi pada kulit 110121 berkurangnya eritema pada kulit Domain 3: Perilaku Kelas S: Edukasi Pasien Intervensi: 5510 Edukasi Kesehatan - Mengajarkan cara mandi yang benar - Memberikan sabun dengan pH seimbang dan kelembapan tinggi - Mengajarkan perawatan kulit setelah mandi dengan baby oil Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016 98 BIODATA PENELITI Nama : Santi Ayu Lestari Tempat, tanggal lahir : Negara, 28 Agustus 1992 Alamat : Jl. Kesatrian IX rt.017/rw.003 blok. M, no. 9, Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur 13150 No. Handphone : 085776461482 email : [email protected] Riwayat pendidikan : S1 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Th Lulus 2015 SMA SMA Negeri 31 Jakarta Th Lulus 2010 SMP SMP Negeri 7 Jakarta Th Lulus 2007 SD SD No. 15 Dauh Puri, Denpasar Barat Th Lulus 2004 Universitas Indonesia Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016