UNIVERSITAS INDONESIA ASUHAN KEPERAWATAN PADA

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN
MASALAH RISIKO KERUSAKAN FUNGSI
KARDIOVASKULER MELALUI SWEDISH MASSAGE
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
SANTI AYU LESTARI
1006672964
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
DEPOK
JUNI 2016
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
UNIVERSITAS INDONESIA
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN
MASALAH RISIKO KERUSAKAN FUNGSI
KARDIOVASKULER MELALUI SWEDISH MASSAGE
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Profesi Keperawatan
SANTI AYU LESTARI
1006672964
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA
DEPOK
JUNI 2016
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
ii
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
iii
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Penulisan karya ilmiah
akhir ners ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Profesi Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari semua pihak dari masa
praktik profesi sampai pada penyusunan karya ilmiah akhir ners sangatlah sulit
bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M. App.Sc., Ph.D selaku Dekan FIK UI
yang telah memberikan dukungan moral kepada saya;
2. Ibu Dwi Nurviyandari, S.Kep , MN, selaku dosen pembimbing saya yang
telah banyak membantu, memberikan bimbingan, serta memberikan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan saya dalam penulisan
karya ilmiah akhir ners ini;
3. Ibu Nur Azizah, SKM dan Bapak Sukihananto, S.Kep,. M.Kep, selaku
penguji saat pelaksanaan sidang karya ilmiah akhir ners ini;
4.
Bapak H. Drs Akmal Towe, M.Si selaku Kepala PSTW Budi Mulia 1
Cipayung;
5. Para perawat dan penanggung jawab wisma di PSTW Budi Mulia 1
Cipayung;
6. Ayahanda saya, Usodo, Ibunda saya, Susana Darni R, dan Adik saya, Irfan
Setio Leksono, terima kasih untuk segala dukungan dan doa yang telah
diberikan selama ini;
7. Saudara satu lingkaran saya, Ratih, Danti, Septi, dan Mba Manda yang
selalu menemani tiap akhir pekan dan selalu menyemangati saya;
8. Sahabat-sahabat Khumairah saya, Mardhiah, Mindyarina, Zahra, hilda,
Isti, Risma, Sopha, dan Rahmi Hayati, yang tidak pernah bosan
menyemangati serta memberikan perhatian kepada saya
iv
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
9. Saudara Umbrellacans yang saya sayangi, Anggita, Dwanti, Bening, Lia,
Gusti, Masreni, Sartika, Dita, dan Lilis yang memberikan semangat dan
saling berbagi ilmu selama proses penyelesaian pkkmp gerontik dan kian
ini. Terima kasih telah saling menguatkan hingga akhir.
10. Teman-teman FIK UI 2010 “Disiplin”, Teman-teman FIK UI 2011
“Kontributif”, Kelas E Profesi 2015 dan seluruh pihak yang namanya tidak
bisa disebutkan satu per satu terima kasih telah banyak memberikan
bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini
Tidak ada sesuatu yang sempurna. Saya selaku peneliti menyadari bahwa karya
ilmiah akhir ners ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi
kesempurnaan karya ilmiah akhir ners ini. Akhir kata, saya berharap Allah SWT
berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga
karya ilmiah ners ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan.
Jakarta, 26 Juni 2016
Peneliti
v
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
vi
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul
: Santi Ayu Lestari
: Profesi Keperawatan Ners
: Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Masalah Risiko
Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler melalui Swedish Massage
Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler semakin meningkat pada lansia
yang tinggal di area perkotaan. Lansia di institusi perawatan jangka panjang
termasuk populasi yang memiliki risiko tinggi terhadap masalah kardiovaskuler.
Studi kasus ini bertujuan untuk menggambarkan hasil intervensi swedish massage
yang dilakukan pada lansia dengan masalah risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler. Pemberian intervensi swedish massage dilakukan sebanyak 12
sesi selama 5 minggu dalam durasi 10 menit. Hasil intervensi menunjukkan terjadi
penurunan pada tekanan darah sistolik dan diastolik sebanyak 6 dan 5,8 mmHg.
Hal ini menunjukkan bahwa swedish massage merupakan intervensi yang efektif,
aplikatif, berbiaya efisien, dan aman yang dapat digunakan dalam menurunkan
tekanan darah pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Studi
ini menyarankan untuk pengaplikasian swedish massage dalam mengoptimalkan
perawatan lansia dengan hipertensi di institusi perawatan jangka panjang.
Kata Kunci: Kardiovaskuler, Lanjut usia, Hipertensi, Swedish Massage, Intitusi
Perawatan Jangka Panjang
vii
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
ABSTRACT
Name
: Santi Ayu Lestari
Study Program : Proffesion of nursing, Faculty of Nursing, Univeritas Indonesia
Title
: Nursing Care in Elderly at Risk for Impaired Cardiovascular
Function through Swedish Massage
The risk for impaired cardiovascular function increased in elderly in urban areas.
Elderly in long term care institutions including populations at high risk for
cardiovascular problems. This case study aims to describe the results of swedish
massage interventions conducted in the elderly with the risk of impaired
cardiovascular function. This intervention performed a total of 12 sessions over 5
weeks in duration of 10 minutes. The results of the intervention showed a
decrease in systolic and diastolic blood pressure by 6 and 5.8 mmHg. This
findings revealed that the swedish massage is an effective, applicable, cost
efficient, and safe intervention, which can be used to lower blood pressure in older
adults with risk for impaired cardiovascular functions. This study suggested for
the application of swedish massage in optimizing treatment for the elderly with
hypertension in long-term care institutions.
Keywords: Cardiovascular, Elderly, Hypertension, Long Term Care Institutions,
Swedish Massage
viii
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR/ UCAPAN TERIMA KASIH ........................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.............................. vi
ABSTRAK .......................................................................................................... vii
ABSTRACT .......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii
1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 8
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................... 9
2. TINJAUAN PUTAKA ................................................................................ 10
2.1 Proses Menua .......................................................................................... 10
2.1.1 Definisi Usia Lanjut ....................................................................... 10
2.1.2 Tugas Perkembangan Lansia.......................................................... 11
2.1.3 Teori Penuaan................................................................................. 11
2.2 Risiko Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler pada Lansia .......................... 12
2.2.1 Perubahan Sistem Kardiovaskuler pada Lansia ............................. 12
2.2.2 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Fungsi Kardiovaskuler .......... 15
2.2.2.1 Aterosklerosis ..................................................................... 15
2.2.2.2 Ketidakefektifan aktivitas .................................................. 16
2.2.2.3 Merokok ............................................................................. 18
2.2.2.4 Kebiasaan Makan ............................................................... 19
2.2.2.5 Hipertensi ........................................................................... 19
2.2.2.6 Gangguan Lipid .................................................................. 20
2.2.2.7 Obesitas .............................................................................. 21
2.2.2.8 Faktor Sosial Ekonomi ....................................................... 21
2.3 Pelayanan Lanjut Usia............................................................................. 21
2.3.1 Nursing Home ................................................................................ 22
2.3.2 Hospital Based-Service .................................................................. 22
2.3.3 Community-Based Service for Elderly ........................................... 23
2.3.4 Panti Sosial Tresna Werda ............................................................. 24
2.4 Konsep Keperawatan Gerontik ............................................................... 25
2.4.1 Pengertian Keperawatan Gerontik.................................................. 25
2.4.2 Peran Perawat Gerontik .................................................................. 25
2.4.3 Keperawatan Gerontik pada Area Perkotaan ................................. 27
ix
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
2.4.4 Asuhan Keperawatan Gerontik ...................................................... 28
2.4.4.1 Pengkajian .......................................................................... 28
2.4.4.2 Diagnosis Keperawatan ..................................................... 30
2.4.4.3 Rencana Keperawatan........................................................ 30
2.4.4.3.1 Swedish Massage ................................................ 32
2.4.4.4 Implementasi ...................................................................... 36
2.4.4.5 Evaluasi .............................................................................. 37
3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ............................................. 38
3.1 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Utama ......................................... 38
3.1.1 Pengkajian ...................................................................................... 38
3.1.2 Analisa Data dan Diagnosis Keperawatan ..................................... 46
3.1.3 Rencana Keperawatan .................................................................... 48
3.1.4 Implementasi dan Evaluasi............................................................. 49
3.2 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Resume ....................................... 56
4. ANALISIS SITUASI ................................................................................... 60
4.1 Profil Lahan Praktik ................................................................................ 60
4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Lansia di Perkotaan dengan Masalah Risiko
Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler ................................................................ 62
4.3 Analisis Intervensi Swedish Massage ..................................................... 66
4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ......................................... 71
5. PENUTUP ..................................................................................................... 73
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 73
5.2 Saran ........................................................................................................ 74
7.2.1 Bagi Institusi Pelayanan ................................................................. 74
7.2.2 Bagi Institusi Pendidikan ............................................................... 75
DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 76
LAMPIRAN
x
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1
Hasil evaluasi intervensi swedish massage pada nenek R ............. 55
xi
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Hasil evaluasi intervensi swedish massage pada nenek P .............. 57
xii
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penduduk lanjut usia (lansia) merupakan isu penting di seluruh dunia sejak
awal tahun 2000. Lanjut usia, menurut undang-undang No. 13 tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia, adalah penduduk yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas. Menurut para ahli gerontologi seseorang dapat dikatakan lansia
apabila telah mencapai usia 65 tahun (Miller, 2012). Saat ini peningkatan
jumlah penduduk lansia menjadi isu penting di seluruh dunia. Menurut divisi
populasi Departement Economy and Social Affair, United Nation tahun 2002,
menyatakan populasi lansia dunia pada tahun 2000 berjumlah 622,8 juta jiwa
dan akan terus mengalami peningkatan. Di Indonesia, jumlah penduduk lansia
menurut Sensus Penduduk diketahui berjumlah 18,04 juta jiwa (BPS, 2012).
Angka tersebut pun akan semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini
dikarenakan peningkatan usia harapan hidup lansia yang semakin meningkat
di Indonesia.
Populasi lansia yang meningkat di Indonesia dipengaruhi oleh peningkatan
estimasi usia harapan hidup (UHH). Menurut BPS tahun 2012, berdasarkan
analisa hasil sensus penduduk dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2010
terjadi peningkatan usia harapan hidup yang sangat jelas di Indonesia. Pada
tahun 1980 usia harapan hidup di Indonesia yaitu 52,2 tahun dan meningkat
menjadi 59,8 tahun di tahun 1990 kemudian diikuti pada tahun 2000 menjadi
65,4 tahun dan pada tahun 2010 usia harapan hidup di Indonesia telah menjadi
70,7 tahun (BPS, 2012). Pada sensus penduduk tahun 2010, DKI Jakarta
menjadi provinsi yang memiliki angka harapan hidup tertinggi di Indonesia
melebihi DI Yogyakarta yang merupakan provinsi dengan usia harapan hidup
tertinggi sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2000 dan melebihi angka
harapan hidup di Indonesia. Angka harapan hidup di provinsi DKI Jakarta
mencapai 74,7 tahun. Hal ini menunjukkan peningkatan usia harapan hidup
lansia di masyarakat perkotaan, seperti DKI Jakarta.
1
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
2
Peningkatan usia harapan hidup lansia di masyarakat perkotaan memerlukan
perhatian lebih dikarenakan populasi lansia merupakan populasi yang rentan
mengalami peningkatan gangguan kesehatan dengan banyaknya faktor risiko
yang ada di masyarakat perkotaan. Lansia memiliki tingkat probabilitas yang
tinggi terhadap gangguan kesehatan yang dapat dibuktikan dengan persentase
lansia yang mengalami penyakit kronis dan ketidakmampuan lainnya sebesar
94% (Allender & Spradley, 2005; Stanhope & Lancaster, 2004). Hal tersebut
didukung oleh data yang dimiliki BPS pada tahun 2005, diketahui bahwa 195
ribu dari 404 ribu lansia di DKI Jakarta memiliki status kesehatan yang
bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa lansia perkotaan banyak yang
memiliki masalah kesehatan.
Masalah status kesehatan lansia dipicu oleh perubahan fungsi fisiologis pada
tubuh lansia serta dipengaruhi oleh pola hidup sewaktu muda. Hal ini sesuai
dengan Tear-and-Wear Theory yang dikemukakan August Weismann di akhir
tahun 1880-an bahwa sel-sel somatik normal memiliki keterbatasan dalam
kemampuannya untuk bereplikasi dan berfungsi seperti sebelumnya dan
kematian sel yang terjadi akibat rusaknya jaringan tidak selamanya bisa
diperbaharui (Miller, 2012). Berdasarkan teori tersebut kesehatan lansia
menjadi rentan sehingga sebagian besar memiliki penyakit kronis.
Penyakit kronis merupakan penyakit yang memiliki durasi panjang dan
perkembangannya cukup lambat (WHO, 2005). Penyakit kronis yang sering
ditemukan pada lansia ialah hipertensi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
yang diadakan oleh United States National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES). NHANES mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari
50% penduduk berusia 60 tahun ke atas memiliki hipertensi (SIGN, 2001).
Hal ini juga sejalan dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan data dari
Kemenkes RI tahun 2014, urutan pertama penyakit kronis yang di derita lansia
di Indonesia adalah hipertensi (Pusdatin Kemenkes RI, 2014).
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
3
Hipertensi merupakan masalah kardiovaskular yang umum terjadi pada
individu lansia sebagai dampak dari peningkatan usia (proses penuaan) serta
adanya pemicu atau risiko yang turut menyertainya, seperti gaya hidup
(Meiner, 2006). Faktor pemicu tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yakni
faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan tidak dapat
dimodifikasi (non modifiable). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
meliputi umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Sedangkan, faktor risiko
yang dapat dimodifikasi meliputi kebiasaan merokok, tekanan darah normaltinggi,
diet
tinggi
lemak,
obesitas,
ketidakaktifan
fisik,
kebiasaan
mengonsumsi alkohol, dan stres (Meiner, 2006).
Hipertensi umumnya menunjukkan tanda gejala seperti kelelahan, sakit
kepala, vertigo, dan palpitasi (Tabloski, 2014). Tanda gejala tersebut dapat
memicu masalah keperawatan yang muncul pada lansia seperti masalah
gangguan tidur dan ketidaknyamanan. Namun, pada beberapa lansia hipertensi
yang diderita tidak dirasakan gejalanya serta tidak menimbulkan masalah
keperawatan seperti masalah tidur dan ketidaknyamanan. Tanda hipertensi
hanya diketahui dari hasil pemeriksaan tekanan darah yang menunjukkan
angka lebih dari 130/80. Hipertensi ini biasa disebut dengan silent
hypertension. Hal ini didukung oleh data yang dikemukakan American Heart
Association pada tahun 2014, bahwa 50% penderita hipertensi tidak
merasakan gejala hipertensi.
Berdasarkan survey yang dilakukan National Nursing home Survey diketahui
53,8 % residen memiliki riwayat hipertensi (Simonson, Han, Davidson, 2011).
Hal ini menunjukkan adanya prevalensi yang cukup tinggi terkait masalah
kardiovaskuler pada lansia yang tinggal di institusi perawatan jangka panjang.
Institusi perawatan jangka panjang di Indonesia biasa disebut Panti Werda.
Terdapat dua jenis panti werda, yaitu panti erda yang dikelola pemerintah dan
panti werda yang dikelola pihak swasta.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
4
Panti Sosial Tresna Werda (PSTW) di bawah naungan pemerintah daerah.
PSTW adalah suatu lembaga yang mempunyai tugas memberikan bimbingan
dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam
kehidupan bermasyarakat, yang meliputi perawatan, perlindungan, dan
pembinaan
fisik,
spiritual,
sosial,
dan
psikologis
(Kepmensos
no.
50/HUK/2004). Lansia terlantar yang dimaksud dalam aturan tersebut tidak
sebatas lansia yang tidak memiliki keluarga dan keluyuran di jalan, tetapi juga
lansia yang memiliki keluarga namun pihak keluarga tidak mampu mengurus
lansia dikarenakan dengan keterbatasan finansial.
Hasil praktik profesi KKMP peminatan gerontik menemukan bahwa lansia
dengan hipertensi cukup banyak ditemukan di PSTW. Hal ini dikarenakan
faktor usia, tingkat stres, pola hidup yang berisiko tinggi terhadap hipertensi
banyak ditemui pada lansia di PSTW. Penerapan terapi non farmakologis pada
hipertensi yang berupa modifikasi faktor risiko juga sulit dilakukan di PSTW.
Hal ini dikarenakan tidak adanya pembedaan menu bagi para lansia hipertensi
dan non hipertensi. Selain itu aktifitas dan kegiatan di PSTW yang cenderung
sama menyebabkan lansia mengalami gaya hidup yang monoton. Kegiatan
aktifitas fisik seperti senam pun diikuti secara langsung pada lansia penderita
hipertensi. Berdasarkan hasil pengkajian secara wawancara dan observasi
pada para lansia di PSTW juga menunjukkan bahwa sebagian besar lansia
memiliki tingkat faktor yang tinggi. Sebagian besar pula lansia memiliki
motivasi yang kurang dan tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan yang
diadakan PSTW. Hal-hal tersebut menjadikan faktor risiko terjadinya
hipertensi, dalam hal ini risiko kerusakan fungsi kardivaskular dirasa tinggi
pada lansia di PSTW.
Kerusakan fungsi kardiovaskuler dapat dicegah dengan melakukan aktivitas
fisik sesuai standar aktifitas fisik yang efektif. Aktifitas fisik terbagi menjadi
dua yaitu, aktifitas fisik ringan-sedang dan aktifitas sedang-berat. Berdasarkan
panduan praktik berbasis bukti dalam Miller (2012), aktifitas fisik yang efektif
adalah aktifitas fisik sedang yang dilakukan minimal 30 menit sebanyak lima
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
5
kali dalam seminggu atau aktifitas fisik berat minimal 20 menit sebanyak tiga
kali dalam seminggu. Fenomena yang ditemukan dipanti adalah banyaknya
lansia yang tidak optimal dalam melakukan aktifitas fisik. Tidak ada kontrol
yang ketat bagi lansia agar dapat melakukan aktifitas fisik yang efektif. Hal ini
dilihat dari banyaknya lansia yang tidak mengikuti kegiatan aktifitas fisik
seperti senam, bermain aklung, ataupun panggung gembira akibat hambatan
mobilitas ataupun kurang motivasi. Selain itu dari semua lansia yang
mengikuti akitifitas senam, bermain aklung, ataupun panggung gembira
sebagian besar tidak maksimal dalam melakukan kegiatan tersebut. Hal itu
terlihat banyaknya lansia yang hanya mengikuti kegiatan tidak sampai selesai
atau hanya duduk-duduk saja tanpa melakukan apapun. Hal tersebut membuat
kegiatan yang telah disediakan oleh pihak panti belum optimal untuk
mencegah kerusakan fungsi kardiovaskuler.
Keilmuan keperawatan sebagai salah satu disiplin ilmu di bidang kesehatan
memberikan gambaran yang cukup jelas terkait risiko kerusakan fungsi
kardivaskular. Risiko kerusakan fungsi kardivaskular adalah kerentanan
terhadap penyebab internal atau eksternal yang dapat merusak satu atau lebih
organ penting dan sistem peredaran darah itu sendiri (Herdman & Kamitsuru,
2014).
Pada
Nursing
Diagnoses
NANDA
International
2015-2017
memaparkan bahwa faktor risiko yang mengikuti diagnosis risiko kerusakan
fungsi kardivaskular adalah usia lebih dari 64 tahun, menderita hipertensi,
menderita diabetes melitus, mengalami dislipidemia, memeiliki riwayat
keluarga dengan penyakit kardiovaskular, kurang pengetahuan terkait faktor
risiko yang dapat di modifikasi, obesitas, riwayat penyakit kardiovaskular,
agen farmakologikal, gaya hidup monoton, dan merokok.
Berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC) intervensi yang dapat
dilakukan terkait masalah risiko kerusakan fungsi kardivaskular salah satunya
adalah massage atau pijat. Massage atau pijat adalah stimulasi pada kulit dan
jaringan di bawahnya dengan variasi derajat penekanan tangan untuk
mengurangi nyeri, menciptakan kondisi rileks, dan/ atau meningkatkan
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
6
sirkulasi (Bulechek, Bucther, & Dochterman, 2013). Berdasarkan jurnal
Complementary Therapies in Clinical tahun 2016, dikatehui bahwa terapi
massage telah menunjukkan efek menguntungkan di berbagai variasi kondisi,
salah
satunya
adalah
hipertensi
(Field,
2016).
Karena
efek
yang
menguntungkan hampir semua budaya telah mengembangkan sistem terapi
massage/pijat. Teknik pijat menjadi bagian penting dalam perawatan medis
tradisional di Cina dan India. European massage atau pijat eropa baru
terbentuk secara sistematis pada awal abad ke-18 oleh Per Hendrik Ling
(Vickers & Zollman, 1999). Per Hendrik Ling mengembangkan 6esicu pijat
eropa yang kini dikenal dengan nama Swedish Massage.
Swedish Massage telah diketahui manfaatnya bagi terkait efek relaksasi
terapeutik yang dihasilkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Swedish
Massage dapat menurunkan ansietas dan nyeri (Benney & Gibbs, 2012;
Sritooma, Moyle, Cooke, & O’Dwyer, 2012). Selain efek penurunan ansietas
dan nyeri Swedish Massage terbukti dapat menurunkan tekanan darah
(Supa’at, Zakaria, Maskon, Aminuddin, & Nordin, 2013). Untuk menurunkan
tekanan darah Swedish Massage terdiri 12 sesi terapi yang dilakukan dengan
masing-masing sesi memiliki durasi selama 10 menit (Mohebbi, Moghadasi,
Homayouni, dan Nikou, 2014). Di awali dengan pengukuran tekanan darah
dan frekuensi nadi radialis di awal sesi dan dilanjutkan pemosisian lansia dan
pemijatan pada punggung lansia. Prosedur yang dilakukan meliputi long
stroke atau usapan panjang dari pinggang ke bahu (diulang beberapa kali),
kneading atau peremasan dari pinggang ke pundak (diulang beberapa kali),
dan tapping atau teknik tapotemen dengan pinggir jemari di pundak,
punggung sampai pinggang (diulang beberapa kali) dan diulangi kembali ke
gerakan awal. Di akhir setiap sesi dilakukan pemeriksaan kembali pada
tekanan darah dan frekuensi nadi lansia.
Swedish Massage merupakan intervensi non farmakologi yang dapat
dilakukan pada kondisi lansia dengan masalah risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler 6esicula. Hal ini dikarenakan penurunan risiko kerusakan
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
7
fungsi kardiovaskuler dengan peningkatan ketahanan fisik jantung dalam
berfungsi melalui aktifitas fisik yang efektif belum dilakukan secara optimal
oleh lansia. Hal ini dikarenakan hambatan-hambatan yang dimiliki oleh lansia,
karakteristik lansia akibat pola hidup kurang sehat dan rendahnya motivasi,
serta kurangnya pengontrolan yang ketat dan optimalisasi latihan fisik oleh
pengurus panti. Sehingga untuk menurunkan risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler pada lansia di panti Swedish Massage adalah intervensi yang
tepat karena dilakukan oleh perawat secara teratur dan dapat diberikan dalam
kondisi sehat maupun sakit pada lansia (Vickers & Zollman, 1999). Hal
tersebut menyebabkan Swedish Massage menjadi terapi yang dapat membantu
mengoptimalkan penurunan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler.
Salah satu lansia di wisma Catleya PSTW Budi Mulia 1 Cipayung diketahui
memiliki masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskular yaitu nenek R (91
tahun) dengan hasil pemeriksaan tekanan darah 150/80 mmHg, kurang
pengetahuan terkait modifikasi faktor risiko, dan gaya hidup monoton. Nenek
R mengatakan dirinya merasa sehat serta tidak merasa pusing dan tidak ada
masalah terakait tidur di malam hari. Nenek R mengalami silent hypertension
dimana hipertensi diketahui dari pengukuran tekanan darah. Dengan masalah
kesehtaan yang dialami nenek R dan situasi PSTW yang telah dijabarkan di
atas maka intervensi Swedish Massage Therapy dapat dilakukan pada nenek
R.
Berdasarkan analisis paparan data di atas, masalah risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler pada lansia di institusi perawatan jangka panjang menarik
untuk dipelajari. Hal ini disebabkan belum ada studi kasus yang berfokus pada
masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler pada lansia di institusi. Maka
penulis tertarik untuk melakukan studi analisis terkait asuhan keperawatan
pada lansia dengan masalah risiko kerusakan fungsi kardivaskuler melalui
intervensi swedish massage.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
8
1.2 Perumusan Masalah
Peningkatan jumlah penduduk lansia menjadi isu penting di seluruh dunia.
Populasi lansia yang meningkat di Indonesia dipengaruhi oleh peningkatan
estimasi usia harapan hidup (UHH). DKI Jakarta merupakan provinsi yang
memiliki nilai UHH tertinggi di Indonesia. Hal ini menunjukkan tingginya
UHH di masyarakat perkotaan. Peningkatan usia harapan hidup lansia di
masyarakat perkotaan memerlukan perhatian lebih dikarenakan populasi
lansia merupakan populasi yang rentan mengalami peningkatan gangguan
kesehatan dengan banyaknya faktor risiko yang ada di masyarakat perkotaan.
Masalah status kesehatan lansia dipicu oleh perubahan fungsi fisiologis pada
tubuh lansia serta dipengaruhi oleh pola hidup sewaktu muda menjadikan
kesehatan lansia menjadi rentan sehingga sebagian besar memiliki penyakit
kronis. Penyakit kronis yang sering ditemukan pada lansia ialah hipertensi.
Jumlah lansia dengan hipertensi cukup banyak ditemukan di PSTW. Hal ini
dikarenakan faktor usia, tingkat stres, pola hidup yang berisiko tinggi terhadap
hipertensi banyak ditemui pada lansia di PSTW. Penerapan terapi
nonfarmakologis pada hipertensi yang berupa modifikasi faktor risiko juga
sulit dilakukan di PSTW. Hipertensi yang tidak diintervensi dengan baik dapat
menimbulkan masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskular pada lansia.
Salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan dengan kondisi lansia
nenek R (91 tahun) dengan hipertensi di wisma Catleya PSTW Budi Mulia 1
Cipayung adalah massage atau pijat, khususnya Swedish Massage. Oleh
karena itu, rumusan masalah penulisan karya ilmiah akhir ners ini adalah
bagaimana analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan pada lansia nenek R dengan hipertensi di PSTW Budi Mulia 1
Cipayung.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan Umum
1.3.1.1 Memaparkan asuhan keperawatan pada lansia dengan risiko kerusakan
fungsi kardiovaskuler di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
9
1.3.2
Tujuan Khusus
1.3.2.1 Menggambarkan profil PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
1.3.2.2 Menggambarkan hasil pengkajian asuhan keperawatan lansia dengan
risiko kerusakan fungsi kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
1.3.2.3 Memaparkan hasil analisis data pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi
kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
1.3.2.4 Menggambarkan perencanaan tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskular di PSTW
Budi Mulia 1 Cipayung
1.3.2.5 Menggambarkan implementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah
lansia dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular melalui penerapan
asuhan keperawatan di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
1.3.2.6 Menggambarkan intervensi keperawatan Swedish Massage pada lansia
dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1
Cipayung
1.3.2.7 Tergambarkannya evaluasi hasil implementasi yang telah dilakukan untuk
mengatasi
masalah
hipertensi
dengan
risiko
kerusakan
fungsi
kardiovaskular di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1
Bagi Pelayanan PSTW
Penulisan karya ilmiah akhir ners ini diharapkan dapat memberikan
informasi kepada pihak PSTW Budi Mulia 1 Cipayung sebagai masukkan
dalam pemberian pelayanan kesehatan pada lansia khususnya pada lansia
yang mengalami hipertensi dengan risiko kerusakan fungsi kardiovaskular.
1.4.2
Bagi Institusi Pendidikan
Karya ilmiah akhir ners ini diharapkan bermanfaat untuk institusi
pendidikan sebagai masukkan untuk penelitian selanjutnya terkait dengan
penatalaksanaan terapi non farmakologis pada lansia hipertensi dengan
risiko kerusakan fungsi kardiovaskular.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Proses Menua
Proses menua adalah peristiwa yang akan terjadi pada laki-laki dan
perempuan, baik muda maupun tua (Miller,2012). Hal tersebut dikarenakan
proses menua merupakan bagian dari peristiwa siklus kehidupan manusia.
Siklus kehidupan manusia dimulai dari janin dan berakhir pada tahapan
lanjut usia dan kematian. Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan
manusia. Sehingga lansia adalah manusia dewasa yang telah mengalami
proses menua tahap akhir.
2.1.1 Definisi Lanjut Usia
Lanjut usia (lansia) adalah populasi manusia yang telah mencapai usia 65
tahun (Touhy & Jett, 2014). Hal ini serupa dengan yang diemukakan oleh
para ahli gerontologi yang mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan
lansia apabila telah mencapai usia 65 tahun (Miller, 2012). Lansia sendiri
terbagi dalam beberapa tingkatan yaitu lansia muda dengan rentang usia 6574 tahun, lansia pertengahan dengan rentang usia 75-84 tahun, lansia sangat
tua dengan rentang usia 85 tahun ke atas (DeLaune & Ladner, 2002; Mauk,
2006).
Menurut undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut
usia di Indonesia, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lansia adalah
penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sehingga setiap
penduduk Indonesia yang telah berusia 60 tahun atau lebih telah masuk
dalam kategori lansia. Lansia di Indonesia diklasifikasikan menjadi (1)
kelompok usia prasenilis yaitu berusia 45-59 tahun (2) kelompok usia lanjut
yaitu berusia 60 tahun ke atas (3) kelompok usia risiko tinggi yaitu berusia
70 tahun ke atas ataupun berusia 60 tahun ke atas dengan masalah kesehatan
(Departemen Kesehatan RI, 2009)
10
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
11
2.1.2 Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Duvall dalam Wong (2008) tugas perkembangan lansia meliputi (1)
mengalihkan peran bekerja dengan masa senggang dan persiapan pensiun
atau pensiun penuh (2) memelihara fungsi pasangan dan fungsi individu
serta beradaptasi dengan proses penuaan, (3) mempersiapkan diri untuk
menghadapi proses kematian dan kehilangan pasangan hidup dan/atau
saudara kandung maupun teman sebaya. Sedangkan menurut Erickson tugas
perkembangan pada masa lansia adalah integritas ego (Stolte, 2003).
Menerima apa yang telah dilakukan seseorang dengan bijak tanpa
memperhatikan rasa sakit dan proses yang terjadi dalam perjalanannya
menjadi bagian dari tugas ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas
perkembangan lansia berinti pada adaptasi dan penyesuaian terhadap
perubahan yang terjadi pada lansia baik dari fisik, psikologis, dan sosial.
2.1.3 Teori Penuaan
Teori penuaan dibagi menjadi tiga perspektif yaitu perspektif biologis yang
terdiri dari teori wear-and-tear, rantai silang, radikal bebas, neuroendocrine
and immunity, genetik, dan apoptosis, perspektif sosiokultural yang terdiri
atas teori kesinambungan, penarikan diri, aktivitas, subkultur dan stratifikasi
usia, dan person-environtment fit, serta perspektif psikologis terdiri dari teori
kebutuhan manusia, ndividualisme, life-course and personality development,
gerotranscendence, dan selective optimization with compensation (Carlson
& Pfadt, 2009; Mauk, 2006; Miller, 2012)
Teori ini wear and tear dikemukakan oleh August Weismann di akhir tahun
1880an. Teori ini mengemukakan bahwa sel-sel somatik normal memiliki
keterbatasan dalam kemampuannya untuk bereplikasi dan berfungsi seperti
sebelumnya dan kematian sel yang terjadi akibat rusaknya jaringan tidak
selamanya bisa diperbaharui (Carlson & Pfadt, 2009).
Teori ini sangat menggambarkan kerusakan fungsi organ yang terjadi pada
lansia. Pada proses menua terdapat faktor risiko pada lansia yaitu gaya
hidup, genetik, lingkungan, sosial, dan ekonomi (Stanhope & Lancaster,
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
12
2004). Faktor risiko ini apabila bernilai negatif dapat menimbulkan penyakit
kronis akibat tubuh tidak dapat mengkompensasi lagi kerusakan sel yang
terjadi. Penyakit kronis menurut DeLaune & Ladner (2012) merupakan
gangguan pada kemampuan funsional yang biasanya muncul secara bertahap
semakin berbahaya dengan perubahan yang terjadi seumur hidup dan
bersifat ireversibel. Sehingga dapat disimpulkan berdasarkan teori tear-andwear secara biologis sel-sel memiliki keterbatasan kemampuan bereplikasi
dan mengganti sel yang rusak sehingga menimbulkan penyakit kronis dan
menyebabkan kerusakan fungsi kardiovaskular.
2.2
Risiko Kerusakan Fungsi Kardiovaskular pada Lansia
Kerusakan fungsi kardiovaskuler pada lansia dipicu oleh dua hal, yaitu
perubahan sistem kardiovaskuler akibat proses penuaan dan faktor risiko
yang mempengaruhi fungsi kardiovaskuler. Pada pembahasan selanjutnya
penulis akan memaparkan tinjauan pustaka terkait dua hal tersebut.
2.2.1 Perubahan Sistem Kardiovaskular pada Lansia
Sistem kardiovaskular merupakan sistem organ yang terdiri dari jantung dan
pembuluh darah dan berfungsi untuk mengangkut oksigen dan darah kaya
nutrisi ke organ-organ dan mengangkut produk sisa metabolisme ke ginjal
dan usus. Pada lansia sistem kardiovaskular baik struktur dan fungsi akan
mengalami perubahan terkait penuaan. Perubahan terkait usia yang paling
relevan dalam sistem ini adalah perubahan jantung dan pembuluh darah
serta mekanisme barorefleks (Brashers & McCance, 2010).
Perubahan struktur jantung akibat proses menua meliputi terjadinya deposit
amiloid, akumulasi lipofusin, degenerasi basofilik, hipertropi miokardium,
pengakuan dan penebalan katup jantung, dan peningkatan jaringan ikat
(Miller, 2012). Pada lansia terjadi penebalan dinding ventrikel kiri dan
endokardium atrium kiri, selain itu juga terjadi penebalan katub
atrioventrikular dan kalsifikasi pada sebagian anulus mitral katup aorta.
Perubahan ini menggangu kemampuan jantung untuk berkontraksi penuh.
Akibat kontraktilitas yang berkurang, jantung membutuhkan waktu yang
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
13
lebih banyak untuk menyelesaikan siklus pengisian diastolik dan
pengosongongan sistolik. Selain itu, miokardium menjadi kurang responsif
terhadap impuls dari sistem saraf simpatik. Proses menua juga menyebabkan
penurunan fungsi pada jantung khususnya perubahan dalam elektrofisiologi
jantung. Hal ini terjadi dikarenakan oleh pertambahan usia yang
menyebabkan penurunan jumlah sel pacemaker jantung, meningkatnya
ketidakteraturan bentuk sel pacemaker jantung, peningkatan deposit lemak,
kolagen, dan serat elastis di sekitar SA node. Perubahan tidak hanya terjadi
pada struktur sel jantung tetapi juga pada pembuluh darah.
Pembuluh darah terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan tunika intima, tunika
media, dan tunika eksterna (Marieb & Hoen, 2013). Perubahan yang terjadi
pada pembuluh darah akibat proses menua terjadi pada dua dari tiga lapisan
pembuluh darah. Proses menua hanya mempengaruhi lapisan tunika interna
dan tunika media. Berdasarkan lapisan pembuluh darah dampak dari
perubahan akibat proses menua juga berbeda.
Tunika intima terdiri dari satu lapisan sel endotel yang mengontrol
masuknya lipid dan zat lain ke dalam dinding pembuluh darah (Shier,
Butler, & Lewis, 2012). Dalam keadaan utuh sel endotel memungkinkan
darah mengalir tanpa adanya proses pembekuan, namun apabila sel ini rusak
maka akan terjadi proses pembekuan. Struktur tunik intima akan berubah
dengan bertambahnya usia. Tunika intima akan mengalami penebalan
dikarenakan fibrosis, proliferasi sel, dan akumulasi lipid dan kalsium. Selsel endotel pada tunika intima juga mengalami perubahan dalam hal bentuk
dan ukuran yang menjadi tidak teratur. Perubahan pada struktur tunika
intima juga akan berdampak pada pembuluh darah yang menjadi semakin
besar dan panjang. Hal ini menyebabkan dinding pembuluh darah lebih
rentan mengalami aterosklerosis.
Tunika media terdiri dari lapisan sel otot polos yang dikelilingi oleh serat
elastin dan kolagen (Krieger, 2009). Sel otot polos pada pembuluh darah
terlibat dalam fungsi pemebentukan jaringan yang memproduksi kolagen,
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
14
proteoglikan, dan serat elastin menyebabkan tunika media berfungsi sebagai
pemberi dukungan struktur pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
tunika media mengendalikan ekspansi arteri dan kontraksi pembuluh darah.
Proses menua menyebabkan peningkatan kolagen dan penipisan serta
kalsifikasi pada serat elastin sehingga menyebabkan pembuluh darah kaku.
Perubahan ini berakibat pada aorta. Terjadi peningkatan diameter lumen
aorta untuk mengimbangi kekakuan arteri akibat proses menua. Akibat
perubahan pada tunika media terjadi peningkatan resistensi perifer,
gangguan fungsi baroreseptor, dan kemampuan untuk meningkatkan aliran
darah ke organ vital. Peningkatan resistensi aliran darah dari jantung dapat
menyebabkan ventrikel kiri dipaksa bekerja lebih keras. Baroreseptor di
arteri besar menjadi kurangt efektif dalam mengontrol tekanan darah,
terutama selama perubahan postural. Sehingga secara umum peningkatan
kekakuan pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik.
Pada penjelasan di atas menunjukkan bahwa perubahan pada struktur
jantung dan pembuluh darah akibat proses menua dapat mempengaruhi
mekanisme barorefleks.
Mekanisme barorefleks merupakan proses fisiologis yang mengatur tekanan
darah dengan meningkatkan atau menurunkan denyut jantung dan resistensi
pembuluh darah perifer. Hal tersebut dilakukan untuk mengkompensasi
penurunan atau peningkatan sementara pada arteri. Proses menua
menyebabkan perubahan pada mekanisme ini dikarenakan kekakuan arteri
dan mengurangi respon kardiovaskuler terhadap rangsangan adregenik
(Touhy & Jett, 2014). Perubahan tersebut menyebabkan respons kompensasi
untuk rangsangan hipertensi maupun hipotensi berkurang pada lansia. Hal
ini menyebabkan peningkatan ataupun penurunan denyut jantung pada
lansia tidak seefisien seperti pada orang dewasa yang lebih muda.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
15
2.2.2 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Fungsi Kardiovaskuler
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi kardiovaskuler.
Beberapa faktor tersebut antara lain adalah aterosklerosis, ketidakefektifan
aktovitas, merokok, kebiasaan makan, hipertensi, masalah gangguan lipid,
obesitas, dan faktor sosial ekonomi. Berikut merupakan penjelasan dari
masing-masing faktor risiko tersebut.
2.2.2.1 Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan gangguan pada arteri akibat deposit dari lemak
dan plak aterosklerotik yang mengurangi atau menghalangi aliran darah
(Lewis, 2009). Kondisi patologis ini dimulai sejak usia anak-anak, namun
pada anak-anak belum ada gejala yang timbul. Menurut Insull (2009)
aterosklerosis merupakan perubahan yang berkelanjutan di dinding arteri
yang berkermbang dengan urutan sebagai berikut:
Pembentukan awal lapisan lemak pada masa kanak-kanak dan remaja. Pada
periode ini partikel kolesterol low-density lipoprotein (LDL) menumpuk
pada bagian intima di arteri. Proses penumpukan LDL ini menyebabkan
dimulainya proses inflamasi pada pembuluh darah arteri.
Fase fibroatheroma awal pada saat remaja dan dewasa awal. Pada periode
ini sel makrofag dan sel – sel inflamasi lainnya terakumulasi. Hal tersebut
menginisiasi beberapa respon protektif, akan tetapi sisa-sisa nekrotik
menyebabkan inflamasi lebih lanjut. Selanjutnya lipid ekstraseluler
menumpuk dan membentuk lipid yang kaya akan inti nekrotik yang
menempati 30%-50% volume dinding arteri. Sehingga terbentuklah plak
dari inti nekrotik di bawah endotelium.
Fase atheroma lanjut terjadi pada usia 55 tahun ke atas. Pada masa ini
bagian penutup plak di beberapa area menjadi tipis dan lemah.
Fibroatheroma yang memiliki penutup plak yang tipis menjadi rentan pecah
dan menyebabkan trombosis yang mengancam jiwa. Jika fibroatheroma
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
16
tidak pecah, maka ia akan memperbesar ukuran dan mengurangi area lumen
arteri.
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa perubahan aterosklerosis
dimulai pada masa kanak-kanak dan dapat berkembang manjadi plak. Lesi
plak dapat pecah, tetap stabil, ataupun terus tumbuh merupakan menjadi hal
dasar penyebab penyakit jantung. Hal ini tentunya akan mengganggu sistem
kardiovaskular dalam menjalankan fungsinya.
2.2.2.2 Ketidakefektifan aktivitas
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka
yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada
(kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk
penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan
kematian secara global (WHO, 2010). Aktivitas fisik secara teratur memiliki
efek yang menguntungkan terhadap kesehatan, salah satunya mencegah
penyakit kronis. Aktivitas fisik yang teratur dapat membantu seseorang
dalam mengendalikan tekanan darah tinggi. Aktivitas fisik menyebabkan
low density lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat bisa diredam. Aktivitas
fisik yang teratur berpotensi meningkatkan high density lipoprotein (HDL)
atau kolesterol baik, sekaligus mengurangi trigliserida. Hal tersebut
memberikan dua manfaat sekaligus, yaitu darah anda mengalir lancar, dan
sekaligus menurunkan penumpukan plak di arteria. Aktivitas fisik yang
teratur juga dapat membantu mencegah diabetes tipe dua, osteoporosis dan
kanker jenis tertentu.
Aktivitas fisik yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh.
Aktivitas fisik dibagi menjadi dua yaitu aktivitas fisik ringan-sedang dan
sedang-berat. Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI
(2006), aktivitas fisik ringan-sedang terbagi menjadi dua jenis berdasarkan
manfaatnya yaitu aktivitas fisik untuk meningkatkan ketahanan (endurance)
dan untuk meningkatkan kelenturan (flexibility), sedangkan aktivitas fisik
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
17
sedang-berat hanya terdapat satu jenis berdasarkan manfaatnya yaitu untuk
meningkatkan kekuatan (strength).
Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan dapat membantu jantung,
paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat lebih
bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang
dilakukan selama 30 menit dalam 4-7 hari per minggu (Pusat Promosi
Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006). Contoh aktivitas fisik untuk
meningkatkan ketahanan adalah berjaln kaki, lari ringan (jogging),
berenang, senam, bermain tenis, berkebun dan bekerja di taman.
Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan
lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi
berfungsi dengan baik. Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen
Kesehatan RI (2006), untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik
yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh aktivitas
untuk meningkatkan kelenturan yaitu peregangan, senam taichi, dan yoga.
Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot
tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan
mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan
terhadap penyakit seperti osteoporosis. Menurut Pusat Promosi Kesehatan
Departemen Kesehatan RI (2006), untuk mendapatkan kekuatan maka
aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu).
Contoh aktivitas untuk meningkatkan kekuatan adalah push-up, angkat
beban, naik turun tangga, mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur
(fitness).
Ketidakefektifan aktivitas merupakan faktor yang tidak hanya meningkatkan
risiko penyakit kardiovaskuler pada semua usia, tetapi juga mengurangi
fungsi kardiovaskuler pada lansia. Pola aktivitas fisik yang tidak memadai
walaupun tanpa adanya proses patologis akan mengganggu kemampuan
lansia
untuk
beradaptasi
dengan
perubahan
kardiovaskuler
yang
berhubungan dengan proses menua. Berdasarkan panduan praktik berbasis
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
18
bukti aktivitas fisik sedang kurang dari 30 menit dalam lima hari atau
aktivitas fisik berat kurang dari 20 menit dalam tiga hari dalam seminggu
termasuk ketidakefektifan aktivitas yang dapat meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler (Miller, 2012). Kondisi yang sering terjadi pada
lansia dan berkontribusi terhadap terjadinya ketidakefektifan aktivitas ialah
penyakit kronis, gaya hidup yang monoton, keterbatasan mobilitas, dan
kondisi kronis yang mempengaruhi aktivitas fisik ataupun pengaruh faktor
psikososial seperti depresi atau kekurangan motivasi.
2.2.2.3 Merokok
Merokok merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler yang paling dapat
dihindari. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa segala bentuk
penggunaan tembakau (mulai dari merokok dalam bentuk rokok tanpa asap
maupun berasap serta paparan asap rokok) dapat meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular dan kematian. Berdasarkan data nasional United
States menunjukkan bahwa 35% kematian yang terkait penyakit
kardiovaskuler disebabkan oleh merokok (Llyod-Jones et al, 2009).
Beberapa efek pada fungsi kardiovaskuler yang timbul akibat merokok ialah
percepatan proses aterosklerosis, peningkatan tekanan darah sistolik,
peningkatan kadar kolesterol LDL dan penurunan kadar kolesterol highdensity lipopropetin (HDL). Selain itu, orang yang terkena paparan singkat
asap rokok dapat berisiko terkena penyakit jantung. Hal ini didukung oleh
data di Amerika yang menunjukkan bahwa perokok pasif yang terkena
paparan asap rokok di rumah maupun di tempat kerja memiliki risiko
terkena penyakit jantung sebesar 25% sampai 30% (Llyod-Jones et al,
2009).
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
19
2.2.2.4 Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor risiko peningkatan gangguan
pada fungsi kardiovaskular. Hal ini dikarenakan kebiasaan makan
mempengaruhi berat badan, tekanan darah, kadar glukosa darah, kadar
lipoprotein dan trigliserida dalam darah. Setiap 2% kalori dari lemak trans
dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sebesar 23 % (LlyodJones et al, 2009). Selain itu kebiasaan tinggi kalori, tinggi lemak, tinggi
kolesterol, dan tinggi garam dapat memperburuk kerusakan gangguan fungsi
kardiovaskular. Selain itu kebiasaan makan yang rendah serat, sedikit sayur
dan buah meningkatkan risiko gangguan fungsi kardiovaskuler.
2.2.2.5 Hipertensi
Hipertensi merupakan masalah kardiovaskular yang umum terjadi pada
individu lansia sebagai dampak dari peningkatan usia (proses penuaan) serta
adanya faktor pemicu atau risiko yang turut menyertainya, seperti gaya
hidup (Meiner, 2006). Faktor pemicu tersebut diklasifikasikan menjadi dua,
yakni faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan tidak dapat
dimodifikasi
(non modifiable). Faktor risiko tidak dapat dimodifikasi
meliputi umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Sedangkan, faktor
risiko dapat dimodifikasi meliputi kebiasaan merokok, tekanan darah
normal-tinggi, diet tinggi lemak, obesitas, ketidakaktifan fisik, kebiasaan
mengonsumsi alkohol, dan stres (Meiner, 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan responden dengan tekanan darah normal
yang pada awalnya mengalami obesitas, distribusi lemak terpusat, tekanan
darah normal namun dibatas maksimal, hiperglikemia atau diabetes sangat
berisiko terhadap hipertensi di masa yang akan datang (Simmons, DeJoseph,
& Arenson, 2009). Hal ini menujukan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
jika tidak diperhatiakan dengan baik akan memunculkan risiko yang lebih
terhadap hipertensi.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
20
Pada awal hipertensi yaitu hipertensi ringan hingga sedang, tanda dan gejala
penyakit
ini
tidak
akan
terlalu
terlihat.
Namun
seiring
dengan
perkembangan penyakit ini, klien lansia akan mengalami kelelahan, pusing,
sakit kepala, vertigo, dan palpitasi (Tabloski, 2014). Pada hipertensi berat,
klien akan mengalami throbbing occipital headache, kebingungan,
penglihatan yang kabur, epitaksis, dan koma. Hipertensi mungkin akan
memicu kerusakan pada berbagai organ seperti pada jantung yaitu CHF,
hipertrofi ventrikel, MI; pada CNS yaitu stroke; dan lain-lain.
Menurut Joint Nasional Comitte (2003) tekanan darah normal dan hipertensi
diklasifikasifikasikan menjadi empat tahap, yaitu (1) Normal berkisar
≤120mmHg untuk sistolik dan ≤80 mmHg untuk diastolik (2) Prehipertensi
dengan tekanan sistolik sebesar 121-139mmHg dan diastolik sebesar 81-89
mmHg (3) Hipertensi I degan tekanan sistolik 140-159 mmHg dan diastolik
90-99 mmHg, dan (4) Hipertensi II dengan tekanan sistolik ≥160mmHg
dan diastolik sebesar ≥100 mmHg (Simmons, DeJoseph, & Arenson, 2009).
2.2.2.6 Gangguan Lipid
Ganguan lipid atau yang juga disebut dislipidemia atau hiperlidemia
merupakan istilah yang cukup luas mencakup semua kelainan metabolisme
lipoprotein (Tabloski, 2014). Kondisi ini termasuk rendahnya kadar HDL
yang sering disebut sebagai kolesterol baik dan tingginya kadar LDL yang
biasa disebut kolesterol jahat. Kelebihan kadar lipid dalam darah dapat
meningkatkan pertumbuhan plak aterosklerosis yang mengganggu aliran
darah dan mempengaruhi penurunan fungsi kardiovaskular. Hal ini
dibuktikan oleh penelitain terkait reduksi kolesterol dalam tubuh dengan
terapi medikasi statin dapat menurunkan 30% risiko kejadian serangan
jantung (Mauk, 2006)
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
21
2.2.2.7 Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai kondisi dimana tubuhb seseorang memiliki
indeks masa tubuh di atas 30 kg/m2 (Miller, 2012). Kondisi ini erat
kaitannya dengan risiko gangguan kardiovaskuler, terutama abdominal
obsitas atau disebut juga adipositas perut yaitu kondisi dimana jaringan
lemak yang terdiri dari lemak banyak tertimbun pada bagian perut
seseorang. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang mengungkapkan
bahwa jaringan lemak di perut secara biologis dan metabolik berbeda
dengan lemak subkutan. Hal tersebut membuat jaringan adiposa diperut
memiliki dampak yang lebih besar pada penyakit kardiovaskular jika
dibandingkan dengan obesitas pada umumnya (Carr & Tannock, 2009).
2.2.2.8 Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi pada lansia terdiri dari pendapatan, pekerjaan, tingkat
pendidikan, kondisi keluarga, serta lingkungan masyarakat tempat tinggal.
Faktor sosial ekonomi yang paling mempengaruhi terhadap fungsi
kardiovaskuler adalah tingkat pendidikan (Llyod-Jones et al, 2009). Hal ini
dikarenakan tingkat pendidikan mempengaruhi pemahaman seseorang
terkait kondisi kesehatan yang dialaminya. Pemahaman akan mempengaruhi
kesadaran seseorang terkait hidup sehat dan manajemen kesehatan yang
dilakukan.
2.3 Pelayanan Lanjut Usia
Perawatan dan pelayanan usia lanjut berkembang dengan cepat. Pelayanan
lanjut usia yang banyak diberikan pada lansia saat ini adalah nursing home,
hospital base-service, dan community base. Pemerintah Indonesia sendiri
telah mendirikan sebuah lembaga pelayanan berbasis lansia yang dikenal
dengan nama Panti Sosial Tresna Werdha. Berikut penulis akan
menjelaskan perbedaan pada masing-masing pelayanan:
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
22
2.3.1 Nursing home
Nursing home umumnya diperuntukan untuk lansia pada beberapa negara di
dunia. Tennesse Health Care Association (2013) menyebutkan bahwa
nursing home merupakan sebuah tempat tinggal yang memiliki berbagai
fasilitas kesehatan dan sosial yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
dasar lanjut usia seperti makan, berpakaian, dan merawat diri. Nursing home
mengacu pada pengaturan kelembagaan perumahan bagi orang-orang yang
membutuhkan bantuan dalam melakukan beberapa ADL (Miller, 2012).
Nursing home dikelola secara langsung dan terus-menerus oleh registered
nurse atau oleh tenaga perawat terlatih. Nursing home harus memiliki ijin
dari pemerintah pusat dan bersertifikat sebagai pelayanan medis atau
pertolongan medis.
Pelayanan nursing home harus memenuhi standar sertifikasi yang diberikan
oleh California Advocates Health Nursing Reform (2012) dengan ketentuan
terpenuhinya kebutuhan akomodasi untuk lansia, karyawan dan tenaga
kesehatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan lansia, kebutuhan
nutrisi yang memenuhi standar diet yang bagus, makanan yang menarik,
gizi yang seimbang dan pola makan yang teratur dengan peralatan makanan
yang memadai, pemberian obat yang diberikan secara tepat oleh tenaga
kesehatan di nursing home, petugas apoteker yang berlisensi dalam sistem
pengobatan untuk lansia, pelayanan fisioterapi, dan pelayanan mata.
2.3.2 Hospital Based-Service
Hospital based services bertugas memenuhi kebutuhan perawatan akut
dengan fasilitas unit geriatri yang terpisah dari unit-unit lainnya yang ada di
rumah sakit yang dikelola oleh multidisipliner yang terlatih khusus. Alasan
dibentuknya unit ini adalah lansia memiliki kebutuhan yang unik yang dapat
diantisipasi dan ditangani untuk mencegah penurunan fungsional selama
rawat inap berlangsung. Fokus dari program pelayanan unit geriatri adalah
untuk membantu lansia yang memiliki masalah kompleks untuk tetap pada
tingkat tertinggi dari fungsi yang dimiliki. Elemen kunci dari unit geriatri
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
23
adalah adanya lingkungan yang disesuaikan secara khusus; sebuah
pendekatan tim multidisiplin; perawatan berpusat pada klien, termasuk
rencana perawatan untuk rehabilitasi dan pencegahan kecacatan; kajian
intensif perawatan untuk meminimalkan dampak buruk dari obat-obatan dan
prosedur; dan perencanaan pulang dengan tujuan agar klien dapat kembali
lagi ke rumah (Touhy & Jett, 2014). Hal penting yang harus dipahami oleh
perawat gerontik adalah family-centered care.
2.3.3 Community-Based Services for Elderly
Community-base Services adalah suatu kegiatan yang membantu lansia
dalam melakukan Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) agar lansia
tersebut dapat tetap tinggal di rumah masing-masing melalui berbagai
program bantuan seperti berbelanja, mengelola keuangan dan obat-obatan,
membersihkan rumah, dan lain sebagainya (Kassner, 2011). Bentuk
pelayanan keperawatan yang meliputi community-based services terdiri dari
adult day care, respite service, parish nursing program, dan program
promosi kesehatan.
Adult day care menyediakan kegiatan berupa kegiatan sosial dan rekreasi
yang terstruktur disertai dengan penyediaan makanan, transportasi,
manajemen obat, pantuan dalam perawatan diri, dan berbagai pelayanan
kesehatan terkait terapi yang akan dilakukan pada hari kerja dengan jam
kerja 8 jam/hari (Tabloski, 2014). Perawatan yang ada di adult day care
didasarkan atas program kesehatan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan serta keamanan lanjut usia ketika anggota keluarga lansia bekerja
atau sedang tidak dapat membantu lansia tersebut. Progrram lain yang
hampir serupa dengan adult day care adalah respite center.
Respite center adalah suatu lembaga yang memberikan pelayanan yang
sama seperti adult day care, bedanya terletak pada jenis lansia yang
menggunakan layanan tersebut dimana pengguna layanan adult care center
merupakan lansia yang mengalami masalah gangguan fungsional yang lebih
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
24
kompleks dibandingkan lansia di respite care. Respite service adalah jenis
bantuan yang secara langsung bertujuan untuk mengistirahatkan caregiver
dari tugasnya terhadap caregiving (Challis, et al, 2010). Tujuan dari respite
services adalah meningkatkan kesejahteraan caregivers dan menunda
pelembagaan lansia yang ketergantungan.
2.3.4 Panti Sosial Tresna Werdha
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) merupakan salah satu solusi dari
permasalahan lansia perkotaan. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW)
merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas memberikan bimbingan
dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam
kehidupan bermasyarakat, yang meliputi perawatan, perlindungan dan
pembinaan
fisik,
spiritual,
sosial
dan
psikologis
(Kepmensos
no.50/HUK/2004). Lanjut usia terlantar adalah seseorang berusia 60 tahun
atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya baik secara jasmani, rohani, maupun sosial (Kemensos, 2006).
Berdasarkan data Depsos tahun 2004 dalam kemensos (2006), jumlah lanjut
usia tercatat 16.522.311 jiwa, dari jumlah itu, 3.092.910 jiwa atau sekitar
20% diantaranya adalah lanjut usia terlantar yang tidak memiliki pensiun,
aset, maupun tabungan yang menyebabkan lansia-lansia tersebut tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehari-hari.
Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa hal yang membuat lansia dapat dikategorikan sebagai
lansia terlantar, yaitu apabila mengalami sakit tidak adanya kemampuan
untuk melakukan pengobatan, merasakan atau menyadari keberadaannya
ditengah-tengah masyarakat sudah tidak diperlukan lagi, serta merasakan
atau menyadari keberadaannya ditengah-tengah masyarakat sudah tidak
diperlukan lagi (menggantungkan hidupnya pada orang lain).
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
25
2.4 Konsep Keperawatan Gerontik
2.4.1 Pengertian Keperawatan Gerontik
Gerontologi adalah suatu ilmu yang mempelajari proses penuaan dan
masalah yang akan terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2013). Gerontologi
juga merupakan suatu pendekatan ilmiah dari berbagai aspek proses
penuaan, yaitu kesehatan, sosial, ekonomi, perilaku, lingkungan, dan lainlain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gerontologi merupakan keilmuan
yang mempelajari tentang proses penuan dari berbagai aspek terkait
individu lansia.
Keperawatan gerontik merupakan suatu pelayanan profesional keperawatan
yang holistik yang ditujukan kepada klien lanjut usia baik sehat maupun
sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Menurut
Miller (2012) menyatakan keperawatan gerontik adalah ilmu yang
mempelajari tentang perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian
kesehatan dan status fungsional, perencanaan, implementasi, serta evaluasi.
2.4.2 Peran Perawat Gerontik
Peran perawat gerontik untuk meningkatkan kualitas hidup lansia sudah
mulai banyak dirasakan oleh negara-negara maju. Asuhan keperawatan
membantu terwujudnya peningkatan kualitas hidup lansia di beberapa
layanan keperawatan pada lansia. Mauk (2006) membagi perawat gerontik
ke dalam dua kategori, yaitu perawat gerontik spesialis klinis/gerontological
clinical nurse specialist (CNS) dan perawat gerontik pelaksana/geriatric
nurse practitioner (GNP). Peran dari kedua kategori perawat gerontik ini
cukup berbeda.
Peran CNS yaitu perawat klinis secara langsung, pendidik, manajer perawat,
advokat, manajemen kasus, dan peneliti dalam perencanaan perawatan atau
meningkatkan kualitas perawatan bagi klien lansia dan keluarganya pada
setting rumah sakit atau fasilitas perawatan jangka panjang, outreach
programs, dan independent consultant. Sedangkan peran GNP yaitu
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
26
memenuhi kebutuhan klien pada daerah yang sulit untuk dijangkau;
melakukan intervensi untuk promosi kesehatan, mempertahankan dan
mengembalikan status kesehatan klien, manajemen kasus, dan advokat pada
setting klinik ambulatori, fasilitas jangka panjang, dan independent practice.
Perawat di Indonesia terbagi dalam dua kategori, yaitu perawat generalis
dan pearawat spesialis. Peran dari perawat generalis maupun spesialis dalam
setting keperawatan gerontik pada dasarnya sama, perbedaan keduanya
terletak pada lingkup kerja dimana perawat spesialis gerontik meliki lingkup
yang cukup luas terkait manajeman untuk meningkatkan kualitas perawatan
bagi lansia dan keluarganya pada berbagai setting. Dengan kata lain,
perawat spesialis gerontologi secara khas berfokus pada pengetahuan dan
keahlian lanjutan yang dibutuhkan untuk merawat klien lansia dalam
berbagai
macam
kondisi,
dan
siap
untuk
mengambil
peran
kepemimpinandalam pelayanan tersebut. Peran dari perawat gerontik yaitu
diantaranya sebagai pemberi pelayanan, pengajar, manajer, peneliti, dan
advokat (Mauk, 2006).
Peran pertama dan kedua dari perawat gerontik yaitu sebagai pemberi
pelayanan, pengajar dan manajer. Sebagai pemberi pelayanan, perawat
gerontik memberikan perawatan secara langsung kepada lansia dalam
berbagam situasi. Perawat harus mampu memahami proses penyakit yang
umum terjadi pada populasi lansia termasuk pengetahuan tentang latar
belakang dan statistik penyakit, faktor risiko, tanda dan gejala, terapi
medikasi, asuhan keperawatan, dan rehabilitasi yang dapat diberikan pada
lansia tersebut (Mauk, 2006). Sedangkan terkait peran perawat sebagai
pengajar, perawat gerontik fokus untuk mengajarkan lansia pada faktorfaktor risiko yang dapat dimodifikasi melalui health promotion dan health
protection. Perawat memiliki tanggung jawab untuk mendidik populasi
lansia tentang cara-cara untuk mengurangi risiko gangguan seperti penyakit
jantung, kanker, dan stroke yang merupakan penyebab utama kematian
untuk kelompok lansia.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
27
Peran perawat gerontik ketiga dan keempat yaitu sebagai manajer dan
advokat. Sebagai manajer, perawat gerontik bertindak sebagai manajer
dalam perawatan sehari-hari dengan tugas menyeimbangkan antara
kekhawatiran pasien, keluarga, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya
(Mauk, 2006). Perawat manajer juga harus mampu mengembangkan
keterampilan dalam koordinasi staf, manajemen waktu, ketegasan,
komunikasi, dan organisasi. Sedangkan sebagai advokat, perawat gerontik
bertindak atas nama lansia untuk mempromosikan kepentingan terbaik
mereka dalam pengambilan keputusan (Mauk, 2006). Advokasi dapat
berupa keterlibatan aktif membantu untuk menjelaskan prosedur medis atau
keperawatan kepada anggota keluarga. Apapun situasinya, perawat gerontik
harus ingat bahwa menjadi seorang advokat tidak berarti membuat
keputusan untuk lansia, tetapi memberdayakan mereka, membantu mereka
agar tetap independen, dan mempertahankan martabat, bahkan dalam situasi
yang sulit.
Peran kelima perawat gerontik adalah sebagai peneliti. Perawat gerontik
harus menyadari bahwa saat ini riset terkait keperawatan gerontik penting
untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya usia harapan hidup
lansia dan tingginya kebutuhan akan asuhan keperawatan dengan kualitas
yang baik. Perawat gerontik dapat meningkatkan kualitas perawatan pasien
lansia dengan menggunakan praktik berbasis riset (Mauk, 2006). Perawat
juga harus selalu membaca jurnal khusus dan melanjutkan pendidikan
dengan menghadiri seminar dan lokakarya, mengejar pendidikan formal
tambahan, atau memperoleh sertifikasi.
2.4.3 Keperawatan Gerontik pada Area Perkotaan
Menurut Stanhope dan Lancester (2004), perkotaan merupakan pusat urban
dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta orang. Penduduk yang banyak
membuat kota menjadi daerah yang padat, sehingga membuat masyarakat
yang heterogen mulai dari status ekonomi, sosial, aspek fisik, dan aspek
hukum seperti yang dijelaskan pada (Allender, Rector, & Warner, 2010).
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
28
Hal tersebut membuat perkotaan menjadi tempat yang dinamis, baik dari
segi pertumbuhan usia masyarakat kota yang semakin menua, pembangunan
aparatur pemerintahan, pusat perbelanjaan, pusat kesehatan maupun pada
masyarakatnya yang mempunyai gaya hidup, dan kebiasaan yang cenderung
khas dimana mengarah pada gaya hidup yang buruk seperti halnya gemar
mengonsumsi makanan, jarang beraktivitas, dan pola hidup yang monoton
sehingga membuat munculnya masalah kesehatan yang kerap terjadi antara
lain hipertensi atau masalah kardiovaskuler dan penyakit degeneratif atau di
sebut juga penyakit tidak menular yang sering terjadi pada lansia (Stanhope
dan Lancester &, 2004).
Perawat gerontik dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien lansia
di area perkotaan harus dapat memperhatikan nilai perbedaan budaya, ras,
dan status sosial ekonomi. Hal tersebut dikarenakan penduduk lansia di area
perkotan memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Dalam
pemberian asuhan kepada lansia di area perkotaan, perawat gerontik juga
diharapkan dapat melakukan pemberdayaan dan menjalin kerjasama dalam
bentuk pembuatan kebijakan-kebijakan yang mendukung pemberian asuhan
keperawatan yang optimal pada lansia. Hal ini diharapkan dapat
memberikan keadilan sosial bagi lansia (Allender, Rector, & Warner, 2010).
2.4.4 Asuhan Keperawatan Gerontik
Asuhan keperawatan gerontik tidak berbeda dengan asuhan keperawatan
pada umumnya
yang menggunakan prinsip lima langkah proses
keperawatan. Lima proses keperawatan itu antara lain pengkajian
keperawatan, penegakkan diagnosis keperawatan, pembuatan rencana
keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
29
2.4.4.1 Pengkajian
Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional klien pada saat
ini dan riwayat sebelumnya (Potter & Perry, 2013). Pengkajian keperawatan
terdiri dari 2 tahap yaitu mengumpulkan dan verivikasi data dari sumber
primer dan sekunder dan yang kedua adalah menganalisis seluruh data
sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis keperawatan.
Pada asuhan keperawatan gerontik, pengkajian menjadi hal komponen yang
esensial dan kompleks dalam proses keperawatan (Miller, 2012). Pengkajian
geriatri pada lansia menjadi khas pada pengkajian keperawatan gerontik.
Pengkajian gertiatri pada lansia dilakukan dengan menggunakan alat atau
format pengkajian keperawatan seperti IADL, Barthel Index, MNA, MMSE,
MFS, GDS, CDR, PSQI.
Pada lansia pengkajian keperawatan kardiovaskuler lebih banyak berfokus
pada pengidentifikasian faktor risiko penyakit kardiovaskular dan
pengetahuan lansia terkait faktor-faktor risiko yang ada pada dirinya.
Pengkajian fisik terkait aspek fungsi kardiovaskuler pada lansia tidak jauh
berbeda dengan pengkajian fungsi kardiovaskuler pada orang dewasa pada
umumnya. Pengkajian fisik fungsi kardiovaskuler dapat dilakukan dengan
pengukuran tekanan darah, inspeksi prekordium, inspeksi dan palpasi
bagian iktus kordis, palpasi jantung, perkusi jantung, dan asukultasi bunyi
jantung.
Departement of Health and Human Service National Herat, Lung, and
Blood Institute United States pada tahun 2001 mengembangkan format
penilaian yang bertujuan untuk menilai risiko perkembangan penyakit
jantung dan/atau serangan jantung pada lansia (Miller, 2012). Penilaian pada
format tersebut melihat faktor risiko mayor, skor risiko yang didapat dari
data usia, total kolesterol, kebiasan merokok, tekanan darah sistolik. Hasil
penilaian dari format tersebut berbentuk kategori. Terdapat empat kategori
yang terdiri dari kategori risiko rendah-sedang jika lansia memiliki kurang
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
30
dari sama dengan satu faktor risiko mayor. Kategori sedang apabila lansia
memiliki 2 atau lebih faktor risiko mayor dan skor risiko kurang dari 10%.
Kategori ketiga adalah menuju risiko tinggi apabila lansia memiliki 2 atau
lebih faktor risiko mayor dan skor risiko 10%-20%. Kategori keempat
adalah risiko tinggi apabila lansia memiliki penyakit jantung atau diabetes
dan skor risiko lebih dari 20%.
2.4.4.2 Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu,
keluarga, dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan
ataupun kerentanan respon terkait masalah kesehatan (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Diagnosa keperawatan menjadi dasar untuk pemilihan
intervensi keperawatan untuk mencapai kriteria hasil yang diharapkan
selama proses perawatan. Pedoman diagnosa keperawatan yang digunakan
di seluruh dunia saat ini mengacu pada NANDA International (NANDA-I).
Perawat dapat menganalisis hasil pengkajian untuk menegakkan diagnosis
keperawatan yang sesuai dengan kondisi lansia. Apabila hasil pengkajian
menemukan data-data yang mengarah ke masalah kardivaskuler perawat
dapat
menegakkan
diagnosis
keperawatan
yang
terkait
masalah
kardiovaskuler. Pada lansia terdapat beberapa diagnosis keperawatan terkait
masalah kardiovaskuler yaitu intoleransi aktivitas, penurunan curah jantung,
ketidakefektivan perfusi janringan perifer, ketidaefektivan pemeliharaan
kesehatan, dan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler (Miller, 2012).
2.4.4.3 Rencana Keperawatan
Perencaan
keperawatan
merupakan
langkah
ketiga
dalam
proses
keperawatan yang terdiri dari dua langkah (Potter & Perry, 2013). Langkah
pertama adalah menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi klien.
Langkah kedua perencaan keperawatan adalah merencanakan intervensi
keperawatan
yang
akan
diimplementasikan
kepada
klien.
Dalam
menetapkan tujuan dan kriteria hasil perawat menggunakan pedoman
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
31
Nursing Outcomes Classification (NOC). Sedangkan dalam merencanakan
intervensi keperawatan digunakan Nursing Interventions Classification
(NIC) sebagai acuan.
Intervensi keperawatan pada lansia dengan risiko kerusakan fungsi
kardiovaskular
bertujuan
untuk
mempromosikan
kesehatan
fungsi
kardiovaskular (Touhy & Jett, 2014). Intervensi ini berfokus pada
pencegahan primer dan sekunder dari penyakit-penyakit kardiovaskuler.
Intervensi keperawatan juga dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor risiko
tertentu seperti hipertensi, obesitas, merokok, dan gangguan lipid. Intervensi
keperawatan
juga
dilakukan
sebagai
langkah
pencegahan
melalui
peningkatan aktivitas fisik, pola diet jantung sehat, dan tindakan yang
mengurangi stres.
Perawat dapat menggunakan klasifikasi Intervensi keperawatan yang
dikenal dengan sebutan NIC ( Nursing Intervension Classification) dalam
mempromosikan kesehatan kardiovaskuler. Beberapa intervensi yang dapat
dilakukan untuk risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler antara lain ialah
manajemen risiko jantung, peningkatan koping, exercise promotion,
pendidikan kesehatan, memfasilitasi meditasi, konseling gizi, guided
imagery, terapi relaksasi, dan massage (Bulechek, Butcher, & Dochterman,
2013).
Massage merupakan intervensi komplementer yang dapat dilakukan terkait
masalah risiko kerusakan fungsi kardivaskular berdasarkan Nursing
Interventions Classification (NIC) yang hanya dapat diberikan oleh perawat.
Massage adalah stimulasi pada kulit dan jaringan di bawahnya dengan
variasi derajat penekanan tangan untuk mengurangi nyeri, menciptakan
kondisi rileks, dan/ atau meningkatkan sirkulasi (Bulechek, Bucther, &
Dochterman, 2013). Berdasarkan Nursing Interventions Classification
(NIC) prosedur tindakan massage dimulai dengan pemeriksaan untuk
apakah ada kontraindikasi seperti trombosit menurun, penurunan integritas
kulit, trombosis vena dalam, daerah dengan lesi terbuka, kemerahan atau
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
32
peradangan, tumor, dan hipersensitivitas menyentuh. Menilai klien
keinginan untuk dipijat. Membangun periode waktu untuk pijat yang
mencapai respon yang diinginkan. Pilih area tubuh menjadi pijat. Cuci
tangan dengan air hangat. Menyiapkan lingkungan pribadi yang hangat dan
nyaman, tanpa gangguan. Tempatkan klien dalam posisi yang nyaman yang
memudahkan pijat. Menutupi untuk mengekspos hanya area yang dipijat,
sesuai kebutuhan. Menutupi daerah tidak terekspos dengan selimut, seprai,
atau handuk mandi yang diperlukan. Gunakan lotion, minyak, atau bubuk
kering untuk mengurangi gesekan, menilai setiap sensitivitas atau
kontraindikasi. Hangatkan lotion atau minyak di telapak tangan. Pijat secara
terus menerus, dengan gerakan; usapan panjang; meremas; atau getaran
dengan telapak tangan, jari, dan ibu jari. Lakukan adaptasi area, teknik, dan
tekanan pijat pada persepsi kenyamanan pasien dan tujuan pijat. Mendorong
pasien untuk menyarankan setiap bagian dari pijat yang tidak nyaman.
Anjurkan pasien di penyelesaian pijat untuk beristirahat sampai siap dan
kemudian bergerak perlahan-lahan. Gunakan pijat sendiri atau bersama
dengan langkah-langkah lainnya, yang sesuai. Mengevaluasi dan respon
dokumen untuk memijat.
Berdasarkan prosedur massage yang terdapat dalam Nursing Interventions
Classification (NIC) bahwa teknik gerakan massage dan area yang
diberikan massage disesuaikan dengan tujuan pemijatan (Bulechek,
Bucther, & Dochterman, 2013). Salah satu tujuan pemijatan adalah
melancarkan
sirkulasi
dan
menurunkan
risiko
kerusakan
fungsi
kardiovaskuler. Berdasarkan studi literatur dan beberapa penelitian
ditemukan bahwa Swedish massage yang dapat bermanfaat sebagai
intervensi untuk menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler dengan
menurunkan tekanan darah.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
33
2.4.4.3.1 Swedish Massage
Swedish Massage adalah massage tradisional masyarakat swedia yang
dikembangkan secara sistematis sebagai sistem European massage pada
awal abad ke-18 oleh Per Hendrik Ling (Vickers & Zollman, 1999). Ling
percaya bahwa pijat bisa membawa kesembuhan dengan meningkatkan
sirkulasi darah dan getah bening. Dalam 20-30 tahun terakhir terapis
komplementer telah mengadaptasi Swedish Massage sehingga untuk
menempatkan penekanan lebih besar pada aspek psikologis dan spiritual
Manfaat pengobatan pijat sekarang dijelaskan lebih dalam hal seperti
“ketenangan” atau “keutuhan” dari segi melonggarkan sendi kaku atau
meningkatkan aliran darah.
Adapun beberapa gerakan yang digunakan oleh Per Hendrik Ling dalam
melakukan Swedish Massage pada seluruh tubuh adalah Long strokes atau
Effleurage, Kneading atau Petrissage, Friction, dan Tapping atau Hacking
(Vickers & Zollman, 1999). Gerakan Long strokes atau Effleurage adalah
usapan lembut sepanjang otot. Gerakan Kneading atau Petrissage adalah
Peremasan dengan tekanan diterapkan di seluruh otot. Gerakan Friction
adalah pijat dalam diterapkan oleh gerakan melingkar dari jempol atau jari.
Gerakan Tapping atau Hacking adalah menampar tipis atau seperti gerakan
mencacah dalam karate.
Berikut adalah format prosedur Swedish Massage pada seluruh tubuh yang
dikembangkan oleh Per Hendrik Ling. (1) Klien diminta untuk berbaring
telungkup dengan hanya kaki kanan yang terlihat. Minyak pijat dioleskan
pada kaki terbuka. (2) Usapan panjang dilakukan pada kaki kanan posterior.
(3) Otot gastrocnemius diremas menggunakan kedua jempol. (4) Langkah
(2) diulang. (5) Bagian-bagian medial dan lateral belakang paha diremas
menggunakan telapak tangan; lalu dilakukan tapping atau dipukul dengan
sisi medial tangan; dilakukan tapping menggunakan sisi medial kepalan
tinju. (6) Lalu pada limfatik drainase kemudian dilakukan usapan panjang
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
34
sepanjang vena atau pembuluh limfatik menuju kelenjar getah bening
terdekat. (7) Langkah (2) diulang. (8) Lakukan langkah 1-7 diulang pada
kaki kiri. (9) Pijat kemudian dilakukan di bagian belakang. Minyak pijat
oleskan di seluruh permukaan punggung. (10) Usapan panjang dilakukan
dengan menggunakan telapak tangan terapis dari bawah kembali ke bahu.
(11) Kneading atau peremasan menggunakan jari diterapkan sejajar dengan
tulang belakang dari punggung bawah ke antara skapula. (12) Langkah (10)
diulang. (13) Kneading atau peremasan menggunakan telapak tangan
diterapkan pada kedua daerah pinggang dan posterior ke paru- paru. (14)
Lalu pada limfatik drainase dilakukan usapan panjang dari bawah kembali
ke aksila dan kelenjar getah bening subclavicular. (15) Langkah (10)
diulang. (16) Subjek diminta untuk berbalik dan berbaring terlentang
dengan kaki kanan terbuka. Minyak pijat diterapkan pada seluruh kaki. (17)
Usapan panjang yang diterapkan pada kaki kanan anterior. (18) Otot tibialis
anterior diremas menggunakan kedua jempol. (19) Langkah (17) diulang.
(20) Otot bisep femoris diremas menggunakan telapak tangan. (21) Langkah
(6) dan Langkah (17) yang berulang. (22) Pijat kemudian dilakukan pada
perut dengan mengoleskan minyak pijat. (23) Usapan panjang yang
diterapkan dari umbilikus ke xiphisternum, sepanjang batas bawah tulang
rusuk terhadap lateral perut dan inferior terhadap daerah inguinal. (24)
Usapan diterapkan sepanjang menaik, melintang, dan turun usus. (25)
Lakukan remasan kecil dan melingkar menggunakan ujung jari adalah
searah jarum jam diterapkan di sekitar umbilikus. (26) Lalu pada limfatik
drainase dilakukan usapan panjang dari daerah pinggang posterior ke
inguinal yang wilayah. (27) Langkah (23) diulang. (28) Pijat kemudian
dilakukan di lengan kanan dengan mengoleskan minyak pijat. (29)
Effleurage diterapkan menggunakan satu tangan untuk mendukung lengan
klien dan sisi lain melakukan usapan panjang dari pergelangan tangan ke
daerah tulang belikat. (30) Lengan bawah diremas menggunakan ibu jari.
(31) Lengan atas diremas menggunakan telapak tangan tersebut. (32)
Langkah (29) diulang. (33) Klien diminta untuk duduk dengan punggung
mengarah ke terapis pijat. (34) Pijat berakhir dengan pijat ke kulit kepala,
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
35
leher, dan bahu. (35) Kulit kepala ini diremas dari daerah frontal ke daerah
oksipital menggunakan jari. (36) Pelipis yang diremas dengan gerakan
memutar menggunakan ujung jari tangan. (37) Otot-otot trapezius dan
deltoid yang diremas menurut untuk orientasi serat otot menggunakan jari.
Pemberian intervensi Swedish Massage dapat mengambil berbagai bentuk
gerakan dan area tubuh mana pun dengan durasi 10 sampai 90 menit
(Vickers & Zollman, 1999). Hal ini dikarenakan pemberian Swedish
Massage disesuaikan dengan tujuan hasil yang diharapkan. Misalnya
pemijatan pada area abdomen saja ditunjukkan untuk mengatasi masalah
konstipasi atau pemijatan pada area-area lengan, leher, kepala, kaki,
punggung, dan area torso dapat membantu dalam menurunkan kadar gula
dalam darah (Sajedi et.all, 2011; Baghrabadi et.al, 2015).
Swedish Massage telah diketahui manfaatnya bagi terkait efek relaksasi
terapeutik yang dihasilkan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
Swedish Massage dapat menurunkan ansietas dan nyeri (Benney & Gibbs,
2012; Sritooma, Moyle, Cooke, & O’Dwyer, 2012). Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan di Malaysia pada tahun 2013, Swedish Massage
terbukti dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 12 mmHg dan
tekanan darah sistolik sebesar 5 mmHg (Supa’at, Zakaria, Maskon,
Aminuddin, Nordin, 2013). Selain penelitian di Malaysia, keefektifan
Swedish Massage dalam menurunkan tekanan darah juga telah diteliti di
Iran oleh Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou pada tahun 2014.
Prosedur Swedish Massage yang dilakukan dalam penelitian Mohebbi,
Moghadasi, Homayouni, dan Nikou pada tahun 2014 untuk menurunkan
tekanan darah diawali dengan pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi
radialis di awal sesi dan dilanjutkan pemosisian lansia dan pemijatan pada
punggung lansia. Prosedur yang dilakukan meliputi long stroke atau usapan
panjang dari pinggang ke bahu (diulang beberapa kali), kneading atau
peremasan dari pinggang ke pundak (diulang beberapa kali), dan tapping
atau teknik tapotemen dengan pinggir jemari di pundak, punggung sampai
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
36
pinggang (diulang beberapa kali) dan diulangi kembali ke gerakan awal. Di
akhir setiap sesi dilakukan pemeriksaan kembal pada tekanan darah dan
frekuensi nadi lansia. Terdapat 12 sesi terapi yang dilakukan dengan
masing-masing sesi memiliki durasi selama 10 menit (Mohebbi, Moghadasi,
Homayouni, dan Nikou, 2014).
Swedish
massage
dapat
menurunkan
tekanan
darah
dikarenakan
peningkatan aktivitas saraf parasimpatis yang disebabkan oleh penekananpenekanan dalam massage (Ouchi, Kanno, & Okada, 2006). Gerakangerakan pada swedish massage seperti usapan panjang (long stroke),
peremasan (kneading), dan tapotemen (tapping) membuat aktivitas saraf
parasimpatis terstimulasi. Peningkatan stimulasi saraf simpatis dapat
membuat serat-serat pascagangglion parasimpatis melepaskan asetilkolin.
Asetilkolin akan berikatan dengan reseptor kolinergik muskarinik
menyebabkan peningkatan konduktansi K+ di dalam sel pacemaker (Shier,
Butler, & Lewis, 2012). Hal ini menyebabkan hiperpolarisasi potensial
membran dan menurunkan kecepatan pada fase keempat depolarisasi dan
otomatisasi pada sel pacemaker. Hal tersebut menyebabkan perlambatan
kontraksi ventrikel kiri pada jantung. Perlambatan kontraksi ventrikel kiri
menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga terjadi penurunan
tekanan darah.
2.4.4.4 Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan tahap keempat proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Potter &
Perry, 2013). Pada tahap ini perawat akan mengimplementasikan intervensi
yang telah direncanakan berdasarkan hasil pengkajian dan penegakan
diagnosis keperawatan. Implementasi dari rencana keperawatan yang dibuat
berdasarkan diagnosis yang tepat diharapkan dapat mencapai tujuan dan
hasil sesuai yang diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status
kesehatan klien.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
37
Penerapan implementasi keperawatan yang dilakukan perawat harus
berdasarkan intervensi berbasis bukti atau telah ada penelitian yang
dilakukan terkait intervensi tersebut. Hal ini dilakukan agar menjamin
bahwa intervensi yang diberikan aman dan efektif bagi lansia (Miller,
2012). Pada tahap implemtasi ini perawat juga harus kritis dalam menilai
dan mengevaluasi respon lansia terhadap pengimplementasian intervensi
yang diberikan.
2.4.4.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap kelima dari proses keperawatan. Tahap ini
sangat penting untuk menentukan adanya perbaikan kondisi atau
kesejahteraan klien (Potter & Perry, 2013). Hal yang perlu diingat adalah
evaluasi merupakan proses kontinu yang terjadi saat perawat melakukan
kontak dengan klien. Selama proses evaluasi perawat membuat keputusankepusan kinis dan secara terus menerus mengarah kembali ke asuhan
keperawatan. Tujuan asuhan keperawatan adalah membantu klien
menyelesaikan masalah kesehatan aktual, mencegah terjadinya masalah
risiko, dan mempertahankan status kesehatan sejahtera. Proses evaluasi
menentukan keefektivitasan asuhan keperawatan yang diberikan.
Pada klien lansia perawat harus kritis dan cermat dalam menilai dan
mengevaluasi respon klien terhadap intervensi yang diberikan. Hal ini
dikarenakan pada lansia terjadi proses penuaan yang mengakibatkan
adanya perubahan biologis yang mempengaruhi fungsi organ dan
fungsional lansia itu sendiri (Touhy & Jett,2014). Perawat dapat
menggunakan format evaluasi SOAP untuk mengevaluasi hasil intervensi
yang dilakukan. Poin S merujuk pada respon subjektif lansia setelah
diberikan intervensi. Poin O melihat pada respon objektif yang dapat
diukur pada lansia setelah dilakukannya intervensi. Poin A adalah analisis
perawat terhadap intervensi yang dilakukan. Poin P adalah perencanaan
terkait tindakan selanjutnya sesuai analisis yang telah dilakukan
sebelumnya.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Pada bab ini penulis akan memaparkan asuhan keperawatan pada empat klien
lansia yang terdiri dari satu orang klien kelolaan utama dan tiga orang klien
kelolaan resume dengan masalah keperawatan risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler. Pemaparan asuhan keperawatan akan berfokus pada masalah
utama yang diangkat, sedangkan masalah keperawatan lainnya akan dipaparkan di
lampiran.
3.1 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan Utama
Pada sub bab ini akan dijelaskan asuhan keperawatan yang diberikan
kepada klien kelolaan utama nenek R secara lengkap. Penjelasan asuhan
keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana
keperawatan, implementasi, dan evaluasi.
3.1.1 Pengkajian
Pengkajian pada klien lansia yang dilakukan meliputi wawancara,
pemeriksaan fisik, observasi, dan pengkajian menggunakan format
penilaian khusus geriatri.
3.1.1.1 Identitas Klien
Nenek R berusia 91 tahun merupakan salah satu warga binaan dari PSTW
Budi Mulia 1 Cipayung. Nenek R sudah tiga tahun tinggal di wisma,
tepatnya sejak tanggal 25 Februari 2013. Saat ini klien tinggal di wisma
catleya PSTW Budi Mulia 1 Cipayung. Sebelum tinggal di wisma nenek R
tinggal di jalan veteran no.32 bersama suami dan anak-anaknya. Klien
pernah bersekolah sampai dengan kelas 4 sekolah rakyat. Klien
mengatakan tidak melanjutkan sekolah dikarenakan merantau ke Jakarta
dari daerah asalnya Cirebon. Semasa hidupnya klien bekerja sebagai
pedagang. Klien memeluk agama Islam dan dalam keseharian nenek R
38
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
39
masih rajin untuk melaksanakan sholat lima waktu dan mengikuti
pengajian iqro di panti.
Nenek menceritakan bahwa klien tinggal di panti dikarenakan di bawa
oleh mobil biru saat kabur dari suami. Klien mengatakan semenjak
suaminya pensiun sebagai PNS di departemen pertahanan suasana di
rumahnya menjadi kurang harmonis dan sering terjadi konflik. Nenek R
kabur dari rumah karena tidak nyaman dengan perilaku suami. Klien
menceritakan bahwa pada dasarnya suaminya adalah orang yang baik dan
penyayang, namun ada perilaku-perilaku yang kurang berkenan di hati
klien semenjak suami pensiun. Klien merasa kesal karena ketika klien
bekerja keras mencari uang dengan berdagang suami klien tidak pernah
membantu dan hanya bermalas-malasan dan melakukan perilaku yang
tidak disukai klien. Saat ini nenek R tidak mengetahui bagaimana kabar
suami dan anak-anaknya karena tidak ada keluarga yang tahu nenek R
tinggal di panti dan klien tidak memiliki nomor telepon keluarga yang
dapat di hubungi.
3.1.1.2 Riwayat Kesehatan Klien
Pada saat pengkajian secara subjektif klien tidak banyak mengeluhkan
kondisi kesehatannya. Klien merasa sehat, namun klien sering merasa
pegal-pegal di badan, tengkuk merasa tegang, akan tetapi tidak disertai
pusing dan kesulitan tidur di malam hari. Berdasarkan rekam medis klien
diketahui bahwa klien memiliki penyakit hipertensi. Hal tersebut terlihat
dari hasil pencatatan tekanan darah harian dan resep obat yang diberikan
oleh dokter Puskesmas. Pada rekam medis tersebut tercatat bahwa klien
mendapatkan obat antihipertensi amlodipin 10mg yang diminum satu kali
sehari setiap pagi.
Klien mengatakan bahwa selama hidupnya klien tidak pernah sakit dan
dibawa ke rumah sakit. Adapun nenek R pernah merasakan badan tidak
enak karena batuk pilek. Pada saat melahirkan dulu, klien melahirkan di
rumah dengan memanggil bidan. Ketika klien ditanya terkait masalah
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
40
kesehatan yang dialami oleh keluarganya klien menjawab kurang tahu. Hal
tersebut dikarenakan orang tua nenek R meninggal karena tua. Selain itu
koien mengatakan bahwa pada zaman dahulu orang tuanya tidak pernah
memeriksakan kesehatan ke rumah sakit dan pelayanan kesehatan karena
pelayanan kesehatan masih sangat terbatas. Kondisi kesehatan suami dan
anak-anaknya pun baik pada saat klien meninggalkan rumah. Tidak ada
anggota keluarganya yang sakit atau memiliki riwayat penyakit keturunan.
3.1.1.3 Kebiasaan Sehari-hari
Berdasarkan observasi yang dilakukan diketahui bahwa nenek makan 3
kali sehari dengan makanan yang disediakan panti. Makan yang
disediakan oleh pihak berupa nasi, sayur, lauk pauk, dan buah yang
dibagikan setiap pukul 07.00 untuk makan pagi, 12.00 untuk makan siang,
dan jam 16.00 untuk makan sore. Hasil observasi pada pola makan klien
menunjukkan klien hanya makan sedikit dengan porsi kecil. Hal ini
terlihat dari jumlah nasi yang diambil klien hanya satu centong pada
makan pagi dan siang, sedangkan untuk makan sore kien tidak pernah
mengambil nasi. Apabila nasi diambilkan petugas seringkali nasi tidak
habis di makan karena kebanyakan. Pola makan klien juga cukup menarik,
hal ini dikarenakan menu makanan pagi di makan oleh klien saat siang,
menu makanan siang di makan sore atau malam, dan menu makanan sore
di makan keesokan paginya. Nenek R juga mengonsumsi makanan
selingan selain makanan berat. Makanan selingan seperti bubur kacang
hijau biasanya diberikan setiap hari selasa dan jumat seusai senam. Klien
juga sesekali makan makanan ringan apabila ada tamu yang memberikan
kue atau biskuit.
Observasi juga dilakukan pada pola minum dan eliminasi nenek R. Nenek
R setiap hari minum air putih kurang lebih sebanyak 1950 cc. Hal ini
dilihat dari setiap setelah makan nenek R selalu minum air segelas kurang
lebih 250 cc dan klien juga memiliki stok air yang disimpan pada 2 botol
air ukuran 600 cc yang biasanya diminum pada jarak anatar waktu makan
dan malam hari. Minuman kesukaan klien adalah es teh tapi klien sangat
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
41
jarang minum es teh. Terkadang jika klien ingin minuman yang manis
klien minum teh hangat yang diseduh sendiri.
Hasil observasi dan wawancara terkait pola eliminasi diketahui bahwa
nenek R memiliki pola BAB 1 kali setiap 2 hari. Nenek R mengatakan
setiap BAB tidak pernah merasa keras tetapi dulu pernah mengalami BAB
cair tapi tidak lebih dari 3 kali sehari. Selain konsistensi feses yang padat
lunak klien juga mengatakan warna fesesnya biasanya coklat tua atau
terkadang coklat kekuningan. Nenek R juga tidak memiliki masalah pada
pola BAK. Klien biasanya BAK lebih dari 3 kali dalam sehari. Klien juga
tidak mengalami inkontinensia karena klien tidak pernah mengompol dan
mampu menahan sampai tiba di kamar mandi.
Berdasarkan hasil pengkajian diketahui pola aktivitas sehari-hari klien
tidak memiliki banyak variasi. Kegiatan yang biasa diikuti nenek R adalah
senam setiap selasa dan jumat akan tetapi saat senam klien biasanya hanya
duduk di tempat duduk yang disediakan di lapangan dan hanya
menggerakkan tangan hanya sampai pertengahan kegiatan senam. Selain
senam kien juga mengikuti pengajian iqro. Selain itu klien juga mengikuti
TAK apabila ada mahasiswa keperawatan yang menyelenggarakan. Selain
itu nenek R juga selalu hadir di panggung gembira tetapi tidak pernah
sampai akhir dan hanya duduk saja. Menurut nenek R, ia kurang menyukai
kegiatan pangggung gembira yang isinya hanya joget-joget saja. Selain
kegiatan-kegiatan tersebut nenek R lebih sering menghabiskan waktunya
untuk duduk-duduk di kamar ataupun di teras. Terkadang klien juga suka
berjalan-jalan sore ke depan panti.
Kondisi emosi nenek R sehari-hari terlihat stabil. Klien dapat mengontrol
emosi dan tidak suka beradu mulut dengan lansia lainnya. Apabila ada
lansia yang membicarakan dan mengejek biasanya nenek R tidak terlalu
ambil pusing dan tidak membalasnya. Jika ada hal yang tidak disukainya
hal yang biasa dilakukan klien adalah merengutkan wajahnya, tetapi hal
itu tidak berlangsung lama. Jika berbicara tentang rumah dan anakanaknya terkadang nenek R terlihat sedih karena kangen dengan
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
42
keluarganya tetapi klien merasakan dilema karena tidak suka dengan
perilaku suaminya.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara didapati hasil terkait kondisi
sosial nenek R yaitu selama di panti klien belum pernah dijenguk keluarga
karena tidak ada yang mengetahui keberadaannya di panti. Hubungan
antar keluarga khususnya dengan suami kurang harmonis semenjak suami
pensiun. Selama di panti klien kadang-kadang mengobrol dan jarang
bertengkar dengan lansia lainnya. Bukan berarti hal tersebut membuat
nenek R tidak memiliki orang yang tidak suka kepada dirinya. Ada
beberapa lansia yang tidak suka dengan nenek R tetapi nenek R tidak
pernah memikirkannya.
3.1.1.4 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan kepada klien dengan pemeriksaan tanda-tanda
vital. Pemeriksaan tanda-tanda vital terdiri dari keadaan umum, kesadaran,
suhu tubuh, nadi, tekanan darah, frekuensi napas, tinggi badan dan berat
badan. Selain pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan juga pemeriksaan
fisik head-to-toe. Pemeriksaan fisk head-to-toe dimulai dari pemeriksaan
pada area kepala sampai dengan kaki. Pemeriksaan fisik head-to-toe
menggunakan prosedur inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada nenek R menunjukkan keadaan
umum klien baik, tampak rapi dan bersih dan kesadaran klien berada pada
tingkat compos mentis. Hasil pengukuran suhu tubuh klien dengan
menggunakan termometer menunjukkan angka 36,8oC. Pengukuran
tekanan darah klien menggunakan sfignomanometer jarum dan stetoskop
menunjukkan hasil 150/80mmHg. Penghitungan nadi dan frekuensi napas
dalam waktu satu menit menunjukkan hasil 96 kali per menit untuk nadi
dan 21 kali per menit untuk frekuensi napas. Pengukuran berat badan
menggunakan timbangan berat badan manual (jarum) menunjukkan berat
badan klien adalah 45 kg. Pengukuran tinggi badan menggunakan meteran
tinggi badan menunjukkan tinggi badan klien adalah 143 cm. Hasil
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
43
penghitungan indeks massa tubuh (IMT) menunjukkan skor IMT klien
22,01 yang diartikan bahwa IMT klien normal.
Pemeriksaan fisik head-to-toe pada bagian kepala meliputi pemeriksaan
bentuk kepala, rambut, mata, hidung, telinga, dan mulut. Bentuk kepala
nenek R bulat simetris dan tidak ditemukan peubahan bentuk, lesi, nyeri,
ataupun bengkak. Sejumlah 80% rambut klien sudah memutih atau
beruban dengan pesebaran cukup merata dan kondisi kebersihan rambut
bersih. Tekstur rambut klien halus, tidak bercabang, tidak ditemukan kutu
dan rambut kloien hanya seleher. Pada meriksaan mata didatapi hasil pupil
mata klien memiliki refleks pada cahaya dan refleks pupil mata kanan dan
kiri isokor. Sklera mata klien tidak ikterik dan pada konjungtiva mata klien
tidak menunjukkan tanda-tanda anemia. Pada pemeriksaan telinga klien
tidak ditemukan serumen yang mengeras atau pun yang mengental dan
tidak ditemukan juga benda asing. Pada saat dipalpasi pada bagian
belakang telinga tidak ditemukan benjolan dan klien tidak merasakan sakit
dan tidak merasakan telinga berdenging. Pada pemeriksaan hidung
didapati hasil bahwa hidung klien bersih, tidak ditemukan kotoran hidung,
benda asing, dan sekret. Pada pemeriksaan mulut diketahui bahwa mukosa
mulut nenek R lembab dan berwarna pink, lidah berwarna merah muda
keputihan, dan tidak ditemukan lesi atau sariawan. Kondisi gigi nenek R
sudah ompong sebagian. Klien tidak memiliki gigi berlubang tetapi pada
beberapa gigi didapati karang gigi. Ketika diperintahkan untuk menelan
air, klien tidak merasa nyeri ketika menelan.
Pada pemeriksaan leher secara inspeksi tidak didapati bentuk abnormal
pada leher dan tulang leher. Distensi vena jugularis juga tidak tampak pada
leher klien. Pada leher tidak ditemukan benjolan kelenjar getah bening
atau masa saat dilakukan palpasi. Saat pemeriksaan bagian leher juga tidak
ditemukan lesi dan bengkak. Pada saat dipalpasi pada bagian tengkuk
belakang otot yang teraba cukup tegang dan klien mengeluh nyeri pada
bagian tersebut. Posisi trakea klien normal berada pada posisi midline.
Pada saat diperiksa terkait pergerakan leher diketahui bahwa leher klien
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
44
dapat bergerak dengan baik, seperti fleksi, ekstensi, hiperekstensi, dan
rotasi.
Pada bagian dada dilakukan pemeriksaan fisik morfologi dada serta
pemeriksaan fisik jantung dan paru. Secara inspeksi bagian dada klien
tampak bersih dan terlihat hiperpigmentasi dibeberapa bagian kulit dada.
Bentuk konfugurasi dada klien menunjukkan sedikit perubahan kifosis
dimana timbul sedikit elevasi pada skapula. Konfigurasi dada klien tidak
menunjukkan barrel chest, pigeon chest maupun funnel chest. Pada saat
melakukan
inspeksi
pada
bagian
prekordium
ditemukan
bentuk
prekordium yang sedikit cembung. Selain inspeksi prekordium, juga
dilakukan inspeksi sekaligus palpasi pada iktus kordis (denyut apeks
jantung) dengan posisi klien berbaring sambil meraba arteri karotis
komunis untuk merasakan adanya gelombang sistolik. Hal ini dilakukan
karena iktus kordis hanya ternyadi selama periode sistolik. Hasil inspeksi
iktus kordis menunjukkan iktus kordis klien meluas ke arah lateral-bawah
dari midklavikular kiri. Pada saat mempalpasi jantung tidak dirasakan
adanya getaran jantung maupun getaran pada area trakea. Pada
pemeriksaan dengan melakukan perkusi untuk menentukan batas jantung
ditemukan suara redup terdapat pada batas kiri jantung bagian atas pada
interkosta kedua agak mengarah ke bagian lateral dan batas kiri bawah
pada interkosta kelima agak ke lateral bawah midklavikula kiri, sedangkan
pada batas kanan jantung agak sulit dideteksi karena suara perkusi kurang
jelas. Pada saat mengauskultasi jantung didapati bahwa bunyi jantung 1
klien normal akan tetapi bunyi jantung 2 intensitasnya lebih tinggi. Tidak
ditemukan bunyi jantung 3 dan 4. Irama jantung yang terdengar tidak
teratur (aritmia). Pada auskultasi paru suara paru yang terdengar vesikular
dan tidak ditemukan suara ronchi dan wheezing.
Pemeriksaan abdomen menujukkan bahwa keempat kuadran abdomen
bersih, tidak terdapat lesi, terdapat bekas garis striae, dan perut tidak
tampak asites. Pada saat di auskultasi tidak ditemukan bunyi bruit dan
bising usus klien hanya 3 kali per menit. Pada saat di palpasi pada keempat
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
45
kuadran klien tidak mengeluhkan nyeri. Pada saat pemeriksaan kandung
kemih di area simfisis pubis hasil palpasi menunjukkan simfisis tidak
kencang atau menegang dan hasil perkusi didapati suara hipersonor.
Pada pemeriksaan muskuloskletal menunjukkan keadaan umum tungkai
atas dan bawah klien bersih. Tidak ditemukan kontraktur dan edema pada
tungkai klien. Hasil pemeriksaan kekuaran otot pada klien menunjukan
bahwa kekuatan otot klien pada seluruh anggota gerak tubuh dapat
bergerak melawan tahan, akan tetapi kekuatannya berkurang yaitu
4444 4444
.
. Skor tersebut menunjukkan bahwa kekuatan otot yang dimiliki
4444 4444
klien masih baik.
3.1.1.5 Informasi Penunjang
Informasi penunjang kondisi klien didapatkan dari pemeriksaan penunjang
nilai laboratorium seperti pengecekan kadar gula darah, asam urat, dan
kolesterol dan pengkajian khusus geriatri seperti pemeriksaan MMSE
(Mini Mental Status Exam), GDS (Geriatric Depression Scale), MFS
(Morse Fall Scale), BBT (Berg Balance Test), dan Barthel Index. Berikut
merupakan hasil pemeriksaan kondisi nenek R terkait informasi penunjang
yang dibutuhkan.
Pada pengukuran kadar gula darah sewaktu (GDS) didapatkan hasil kadar
GDS klien sejumlah 121 gr/dL. Hasil pengukuran asam urat menunjukkan
bahwa kadar asam urat yang dimiliki klien adalah 3,5 gr/dL. Pengukuran
kolesterol pada klien menunjukkan hasil sejumlah 189 gr/dL. Berdasarkan
hasil pemeriksaan di atas disimpulkan nilai laboratorium klien termasuk
dalam batas normal.
Pada risiko perkembangan penyakit jantung dan/ serangan jantung klien
masuk kategori menuju risko tinggi. Hal tersebut dikarenakan klien
memiliki 2 faktor risiko mayor dan skor risiko sebesar 17%. Pada
pemeriksan MMSE (Mini Mental Status Exam) skor yang didapatkan
klien adalah 24. Skor MMSE yang dimiliki klien termasuk kategori
normal dikarenakan rentang nilai norma MMSE berada pada nilai 24-30.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
46
Hasil pemeriksaan risiko jatuh menggunakan format MFS (Morse Fall
Scale) menunjukkan skor 30. Skor tersebut menunjukkan bahwa klien
memiliki
risiko
jatuh rendah. Pada
pemeriksaan status
depresi
menggunakan format penilaian GDS (Geriatric Depression Scale) didapati
bahwa skor klien adalah 3 yang berarti klien tidak mengalami depresi. Hal
tersebut dikarenakan
rentang nilai normal GDS adalah 0-4. Pada
pemeriksaan keseimbangan tubuh klien menggunakan skala pengukuran
BBT (Berg Balance Test) didapati hasil 44 yang diartikan bahwa risiko
gangguan keseimbangan pada klien rendah dan klien tidak memerlukan
alat bantu. Hasil pemeriksaan terkait ketergantungan klien menggunakan
skala Barthel Index 20 menunjukkan klien termasuk kategori mandiri
dikarenakan skor yang diperoleh klien adalah 20.
Pada saat minggu ke-4 praktik KKMP peminatan gerontik di PSTW Budi Mulia 1
Cipayung muncul masalah baru pada nenek R. Pada bagian kulit lengan bawah di
area dekat siku terdapat lesi-lesi kemerahan tidak disertai pus. Nenek R juga
mengeluh gatal dan perih. Keluhan pada area kulit ini merupakan kejadian baru
yang dirasakan klien selama tinggal di panti sejak 3 tahun yang lalu.
3.1.2 Analisa Data dan Diagnosis Keperawatan
Masalah keperawatan yang dialami oleh nenek R berdasarkan hasil
pengkajian yang telah dijabarkan sebelumnya aada tiga. Tiga masalah
keperawatan tersebut ialah ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan, risiko
kerusakan fungsi kardiovaskuler dan masalah yang baru muncul pada
minggu keempat yaitu kerusakan integritas kulit. Penegakan masalah
keperawatan dilakukan berdasarkan karakteristik yang didapati pada klien
sesuai dengan diagnosis keperawatan NANDA Internasional 2015-2017.
Masalah keperawatan utama yang dimiliki klien adalah risiko kerusakan
fungsi kardiovaskuler. Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler
merupakan suatu kondisi kerentanan internal atau eksternal yang dapat
menyebabkan kerusakan minimal satu organ vital dan sistem sirkulasi
sendiri (Herdman & Kamitsuru, 2014). Beberapa faktor risiko yang dapat
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
47
menimbulkan masalah keperawatan ini antara lain usia lebih dari sama
dengan 65 tahun, hipertensi, diabetes, dislipidemia, riwayat keluarga denga
penyakit kardiovaskular, memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, kurang
pengetahuan terkait modifikasi faktor risiko, obesitas, agen farmatikal, gaya
hidup yang monoton, dan merokok.
Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler menjadi masalah utama
yang dialami nenek R dikarenakan pada klien ditemukan beberapa faktor
risiko yang sesuai. Usia klien yang telah mencapai 91 tahun, memiliki
riwayat hipertensi, gaya hidup monoton, dan kurangnya pengetahuan terkait
modifikasi faktor risiko. Hal ini dikarenakan klien belum memahami apa
yang dimaksud penyakit hipertensi dan bagaimana memodifikasi kebiasaan
untuk menurunkan faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskular. Dalam
kebiasaan sehari-hari kegiatan klien cenderung tidak bervariasi. Klien
memiliki banyak waktu kosong yang lebih sering dihabiskan dengan duduk
atau berbaring.
Masalah kedua yang diangkat adalah risiko kesepian. Masalah risiko
kesepian merupakan kondisi rentan mengalami ketidaknyamanan yang
berkaitan dengan keinginan atau kebutuhan untuk melakukan lebih banyak
kontak dengan orang lain (Herdman & Kamitsuru, 2014). Beberapa faktor
risiko yang dapat menimbalkan masalah risiko ini adalah deprivasi afek,
deprivasi katelektis, isolasi fisik, dan isolasi sosial. Tanda gejala masalah
risiko kesepian yang ditemukan pada klien adalah kurangnya klien
berinteraksi dengan wbs lain. Klien tidak memiliki teman dekat sehingga
tidak memiliki teman bicara yang dapat menjadi tempat mencurahkan isi
perasaan. Klien juga terlihat lebih sering melakukan kegiatan sehari-hari
sendiri. Ketika mengikuti senam ataupun panggung gembira klien tidak
mengobrol dengan lansia lain.
Masalah ketiga yang diangkat adalah masalah yang baru muncul pada klien
di minggu keempat. Masalah ketiga yang dimiliki klien adalah kerusakan
integritas kulit(Herdman & Kamitsuru, 2014). Masalah kerusakan integritas
kulit merupakan perubahan kondisi atau gangguan yang terjadi di epidermis
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
48
dan/atau dermis. Batasan karakteristik dari masalah ini adalah kerusakan
lapisan kulit, gangguan permukaan kulit, dan invasi struktur tubuh. Tanda
gejala yang muncul pada klien adalah gangguan permukaan kulit yang
ditunjukkan dengan adanya beberapa lesi kemerahan yang dirasa gatal dan
perih oleh klien di bagian kulit lengan bawah di area dekat dengan siku.
3.1.3 Rencana Keperawatan
Perencanaan asuhan keperawatan pada nenek R dibuat berdasarkan panduan
pembuatan rencana asuhan keperawatan yang berpedoman kepada nursing
outcomes classification (NOC) dan nursing interventions calssification
(NIC) yang telah terintegrasi dengan NANDA Internasional 2015-2017.
Perencanaan asuhan keperawatan yang akan dijabarkan adalah diagnosa
masalah keperawatan utama yang diangkat, sedangkan asuhan keperawatan
untuk masalah lainnya akan dipaparkan dalam lampiran. Diagnosa utama
yang diangkat pada nenek R ialah masalah risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler.
Diagnosis keperawatan pertama pada klien adalah masalah risiko kerusakan
fungsi kardiovaskuler. Tujuan dari asuhan keperawatan pada klien dengan
diagnosis ini adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi
kardiovaskular yang kerusakan organ vital dan sistem sirkulasi. Indikator
hasil dari tujuan asuhan di atas adalah tekanan darah sistolik menurun,
tekanan darah diastolik menurun dan tekanan denyut nadi normal.
Intervensi unggulan yang diberikan kepada klian adalah massage dengan
jenis swedish massage pada area punggung klien. Swedish massage
dilakukan dalam 12 sesi yang dibagi menjadi 3 sesi perminggunya. Setiap
sesi swedish massage berdurasi selama 15 menit. Sebelum memulai
intervensi swedish massage, perawat membangun bina hubungan saling
percaya dan memberikan pendidikan kesehatan terkait intervensi unggulan
yang akan dilakukan sehingga klien memahami manfaat intervensi yang
akan dilakukan. Setelah klien setuju untuk dilakukan intervensi swedish
massage maka perawat membuat kontak waktu dan tempat. Jadwal
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
49
intervensi swedish massage yang disepakati dengan klien adalah selasa,
kamis, dan sabtu setiap sore hari bertempat di kamar klien.
Diagnosis keperawatan kedua pada klien adalah risiko kesepian. Tujuan dari
asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosis ini adalah untuk mencegah
terjadinya kondisi kesepian yang dirasakan oleh klien. Indikator hasil tujuan
asuhan keperawatan ini adalah meningkatnya skor keterlibatan sosial dari
skor 2 (jarang dilakukan) menjadi 3 (kadang-kadang dilakukan) pada poin
interaksi dengan teman dekat. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi
masalah ini adalah mendengarkan aktif dan peningkatan sosialisasi dengan
TAK.
Diagnosis keperawatan ketiga pada klien adalah kerusakan integritas kulit.
Tujuan dari asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosis ini adalah
untuk menagatasi masalah integritas kulit dan hilangnya lesi di area kulit.
Indikator hasil tujuan asuhan keperawatan ini adalah meningkatnya skor
integritas kulit dari skor 4 (ringan) menjadi 5 (tidak ditemukan) pada poin
lesi kulit. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah
dengan pendidikan kesehatan tentang cara mandi, sabun yang digunakan,
dan perawatan kulit, selain pendidikan kesehatan penulis juga memberikan
sabun dove untuk digunakan klien mandi dan baby oil untuk perawatan kulit
setelah mandi.
3.1.4 Implementasi dan Evaluasi
Implementasi keperawatan dilakukan oleh penulis selama 5 minggu
terhitung sejak minggu ketiga sampai dengan minggu ketujuh sesuai dengan
masalah yang ditemui. Sebelum melakukan implementasi, penulis membina
hubungan saling percaya pada minggu pertama dan pengkajian lengkap
mulai dari observasi, pengkajian fisik, pengkajian khusus geriatri, dan
wawancara di minggu kedua. Berikut akan dijelaskan implementasi dan
evaluasi terkait intervensi unggulan yang dilakukan yaitu swedish massage,
sedangkan implementasi dan evaluasi intervensi lainnya dituliskan secara
lengkap di lampiran.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
50
Pada minggu pertama intervensi swedish massage dilaksanakan 3 sesi
terapi. Sesi pertama dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 10 Mei 2016
pada pukul 17.00 WIB. Sesi kedua dilaksanakan pada Kamis, 12 Mei 2016
pada pukul 17.15 WIB. Sesi ketiga dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 Mei
2016 pada pukul 16.30 WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan
darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien
mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis
memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan
menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk
memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang
atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang
kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua
adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang
sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik
gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan
pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10
kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil
dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah
selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali
lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali.
Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 1,2,dan 3 mendapat evaluasi
subjektif yang baik dari nenek R. Pada sesi pertama nenek R mengatakan
bahwa dipijit enak tapi biasa aja rasanya karena gak biasa dipijit
sebelumnya. Pada sesi kedua klien hanya mengatakan “enak, ya gitu” dan
pada sesi ketiga klien mengatakan “lebih enakan dari sebelumnya,
alhamdulillah turun ya tensinya”. Hasil evaluasi secara objektif didapati
bahwa pada sesi pertama tekanan darah setelah dilakukan swedish massage
turun menjadi 149/70 mmHg dari sebelumnya 150/70 mmHg dengan pulsasi
nadi yang sama yaitu 90 kali per menit dengan karakteristik tekanan denyut
yang kuat menjadi sedang. Pada sesi kedua setelah intervensi tekanan darah
klien turun menjadi 140/70 mmHg dari pemeriksaan sebelum intervesi yaitu
150/80 mmHg dengan pulsasi nadi yang menurun dari 91 kali per menit
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
51
menjadi 84 kali per menit dengan karakteristik denyut nadi yang mulainya
kuat menjadi sedang. Pada sesi ketiga setelah intervensi tekanan darah klien
menjadi 140/70 mmHg dari sebelumnya 142/70 mmHg dengan pulsasi nadi
menjadi 81 kali per menit dari sebelumnya 86 kali permenit dengan
kekuatan denyut kuat.
Pada minggu kedua intervensi swedish massage dilaksanakan 3 sesi terapi.
Sesi keempat dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 17 Mei 2016 pada
pukul 16.30 WIB. Sesi kelima dilaksanakan pada Kamis, 19 Mei 2016 pada
pukul 16.45 WIB. Sesi keenam dilaksanakan pada hari Sabtu, 21 Mei 2016
pada pukul 17.00 WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan darah
lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien
mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis
memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan
menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk
memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang
atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang
kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua
adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang
sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik
gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan
pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10
kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil
dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah
selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali
lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali.
Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 4,5, dan 6 mendapat evaluasi
subjektif yang lebih baik dari sebelummnya oleh klien. Pada sesi keempat
nenek R mengatakan bahwa badannya mulai enak dipijit gak pegel-pegel
lagi. Pada sesi kelima klien mengatakan “alhamdulillah enak abis dipijit”
dan pada sesi keenam klien mengatakan “rasanya enak, bagus ya turun
tensinya”. Hasil evaluasi secara objektif didapati bahwa pada sesi keempat
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
52
tekanan darah setelah dilakukan swedish massage turun menjadi 138/75
mmHg dari sebelumnya 140/90 mmHg dengan pulsasi nadi yang sama yaitu
88 kali per menit dengan karakteristik tekanan denyut yang kuat. Pada sesi
kelima tidak ada perubahan dari sebelum intervensi dan setelah intervensi
tekanan darah klien sama yaitu 130/80 mmHg dengan pulsasi nadi yang
menurun dari 88 kali per menit menjadi 80 kali per menit dengan
karakteristik denyut nadi yang kekuatannya sedang. Pada sesi keenam
setelah intervensi tekanan darah klien menjadi 140/70 mmHg dari
sebelumnya 142/80 mmHg dengan pulsasi nadi sama 86 kali per menit
dengan kekuatan denyut kuat.
Pada minggu ketiga intervensi swedish massage dilaksanakan 3 sesi terapi.
Sesi ketujuh dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 24 Mei 2016 pada pukul
16.30 WIB. Sesi kedelapan dilaksanakan pada Kamis, 26 Mei 2016 pada
pukul 17.35 WIB. Sesi kesembilan dilaksanakan pada hari Sabtu, 28 Mei
2016 pada pukul 15.30 WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan
darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu klien
mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis
memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan
menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk
memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan panjang
atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang
kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua
adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang
sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik
gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan
pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10
kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil
dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah
selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali
lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
53
Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 7,8, dan 9 mendapat evaluasi
subjektif yang sangat positif dari klien. Pada sesi ketujuh nenek R
mengatakan “enak banget sekarang dipijit apalagi turun 6”. Pada sesi
kedelapan klien mengatakan “alhamdulillah badannya enak tensinya turun”
dan pada sesi kesembilan klien mengatakan “yang dirasa badannya lebih
segeran sekarang”. Hasil evaluasi secara objektif didapati bahwa pada sesi
ketujuh tekanan darah setelah dilakukan swedish massage turun dari 156/90
mmHg menjadi 150/70 mmHg dengan pulsasi nadi yang sama yaitu 82 kali
per menit dengan karakteristik tekanan denyut yang kuat sedang. Pada sesi
kedelapan terjadi penurunan 8mmHg pada tekanan darah diastolik yaitu dari
144 mmHg menjadi 136 mmHg akan tetapi
tidak ada perubahan dari
tekanan darah sistolik yaitu tetap 80mmHg sebelum intervensi dan setelah
intervensi dengan pulsasi nadi yang menurun dari 82 kali per menit menjadi
80 kali per menit dengan karakteristik denyut nadi yang kekuatannya
sedang. Pada sesi kesembilan setelah intervensi tekanan darah klien menjadi
146/80 mmHg dari sebelumnya 150/80 mmHg dengan pulsasi nadi sama 84
kali per menit dengan kekuatan denyut kuat sedang.
Pada minggu keempat intervensi swedish massage dilaksanakan hanya 2
sesi terapi yaitu sesi kesepuluh dan kesebelas. Hal tersebut dikarenakan
terjadi penjadwalan ulang pada sesi kesebelas akibat kegiatan presentasi
TOP dan sosialisasi yang memakan waktu cukup lama. Sesi kesepuluh
dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 31 Mei 2016 pada pukul 17.00 WIB.
Sesi kesebelas dilaksanakan pada hari Sabtu, 4 Juni 2016 pada pukul 17.30
WIB. Intervensi dimulai dengan memeriksa tekanan darah lalu mengatur
posisi klien secara tengkurap dan membantu klien mendapatkan posisi yang
nyaman. Pada saat melakukan intervensi penulis memperhatikan privasi
klien. Penulis menggunakan sarung tangan dan menuangkan baby oil ke
telapak tangan yang selanjutnya digunakan untuk memijat klien. Gerakan
pertama swedish massage adalah usapan panjang atau long strokes yang
dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu yang kurang lebih dilakuakn
berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan kedua adalah gerakan meremas
atau kneading yang dilakukan mulai dari pinggang sampai ke pundak dan
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
54
diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga adalah teknik gerakan tapotemen
atau tapping dengan pinggiran jemari yang dilakukan pada area pundak,
punggung, hingga ke pinggang dan diulangi sampai 10 kali. Setelah tiga
gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali baby oil dan mengulangi
kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga. setelah selesai melakukan
massage, klien dianjurkan menggunakan baju kembali lalu dilakukan
pemeriksaan tekanan darah kembali.
Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 10 dan 11 mendapat evaluasi
subjektif yang sangat baik dari nenek R. Pada sesi kesepuluh klien
mengatakan “enak lah dipijitin” sambil mengacungkan jempol. Pada sesi
kesebelas klien mengatakan “enak, badannya semakin seger rasanya
tensinya turun banyak lagi 10”. Hasil evaluasi secara objektif didapati
bahwa pada sesi kesepuluh tekanan darah setelah dilakukan swedish
massage turun menjadi 150/75 mmHg dari sebelumnya 158/80 mmHg
dengan pulsasi nadi yang sama yaitu 80 kali per menit dengan karakteristik
tekanan denyut yang kuat sedang. Pada sesi kesebelas terjadi penurunan 10
mmHg pada tekanan darah diastolik yaitu dari 156 mmHg menjadi 146
mmHg akan tetapi tidak ada perubahan dari tekanan darah sistolik yaitu
tetap 80 mmHg sebelum intervensi dan setelah intervensi dengan pulsasi
nadi yang sama yaitu 80 kali per menit dengan karakteristik denyut nadi
yang kekuatannya sedang.
Pada minggu kelima intervensi swedish massage dilaksanakan hanya 1 sesi
terapi yaitu keduabelas. Hal tersebut dikarenakan terjadi penjadwalan ulang
satu sesi pada minggu keempat. Sesi keduabelas dilaksanakan pada hari
Selasa, tanggal 7 Juni 2016 pada pukul 16.30 WIB. Intervensi dimulai
dengan memeriksa tekanan darah lalu mengatur posisi klien secara
tengkurap dan membantu klien mendapatkan posisi yang nyaman. Pada sesi
keduabelas penulis menggunakan minyak zaitun aromaterapi sekaligus
massage oil karena baby oil sudah habis. Gerakan pertama swedish massage
adalah usapan panjang atau long strokes yang dilakukan mulai dari
pinggang sampai bahu yang kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
55
10 kali. Gerakan kedua adalah gerakan meremas atau kneading yang
dilakukan mulai dari pinggang sampai ke pundak dan diulang hingga 10
kali. Gerakan ketiga adalah teknik gerakan tapotemen atau tapping dengan
pinggiran jemari yang dilakukan pada area pundak, punggung, hingga ke
pinggang dan diulangi sampai 10 kali. Setelah tiga gerakan dilakukan
penulis menuangkan kembali baby oil dan mengulangi kembali gerakan
pertama sampai dengan ketiga. setelah selesai melakukan massage, klien
dianjurkan menggunakan baju kembali lalu dilakukan pemeriksaan tekanan
darah kembali.
Hasil evaluasi intervensi swedish massage sesi 12 mendapat evaluasi
subjektif yang sangat baik dari nenek R. Pada sesi keduabelas klien
mengatakan “rasanya banyak terima kasih udah mau ngurusin nenek selama
ini, pijitannya enak, bikin tensi jadi turun” sambil menjabat tangan dan
memijat tangan penulis. Hasil evaluasi secara objektif didapati bahwa pada
sesi kesepuluh setelah dilakukan swedish massage terjadi penurunan
tekanan darah yang cukup signifikan yaitu tekanan darah turun menjadi
120/80 mmHg dari sebelumnya 140/90 mmHg dengan pulsasi nadi yang
sama yaitu 80 kali per menit dengan karakteristik tekanan denyut yang kuat
sedang.
mmHg
atau
x/mnt
Grafik. 3.1 Hasil Evaluasi Intervensi Swedish Massage pada Nenek R
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
56
3.2 Asuhan Keperawatan Klien Kelolan Resume
Pada sub bab ini akan dijelaskan asuhan keperawatan yang diberikan kepada
tiga klien kelolaan resume. Penjelasan asuhan keperawatan terdiri dari
pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana keperawatan, implementasi,
dan evaluasi disajikan dalam bentuk yang ringkas.
3.2.1 Klien Resume Nenek P
Nenek P berusia 68 tahun, sering mengeluhkan nyeri tengkuk dan badan
terasa pegal. Berdasarkan pemeriksaan tekanan darah didapati tekanan darah
155/90 mmHg dengan pulsasi nadi 84 kali per menit. Berdasarkan rekam
medis yang terdapat di panti nenek P memiliki hipertensi dan mengonsumsi
obat antihipertensi captopril 25 mg. Berdasarkan pemeriksaan fisik jantung
didapati batas jantung kiri melebar ke arah lateral bawah. Bunyi jantung S2
lebih intens daripada bunyi jantung normal. Nenek P sangat kurang aktif
pada kegiatan sehari-hari. Nenek P selalu menolak untuk mengikuti senam
dan
TAK
serta
panggung
gembira
juga
kegiatan-kegiatan
yang
diselenggarakan di panti. Nenek P menyukai minum minuman yang manis.
Berdasarkan data-data maladaptif yang ditemukan, nenek P memiliki
masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Diagnosis yang dimiliki
oleh nenek P sama dengan klien kelolaan nenek R, maka nenek P juga akan
mendapatkan rencana asuhan keperawatan yang sama dengan nenek R
terkait masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler.
Implementasi dilakukan selama lima minggu sejak minggu ketiga praktik
sampai dengan minggu ketujuh. Intervensi unggulan yang dilakukan kepada
nenek P adalah swedish massage. Intervensi dimulai dengan memeriksa
tekanan darah lalu mengatur posisi klien secara tengkurap dan membantu
klien mendapatkan posisi yang nyaman. Pada saat melakukan intervensi
penulis memperhatikan privasi klien. Penulis menggunakan sarung tangan
dan menuangkan baby oil ke telapak tangan yang selanjutnya digunakan
untuk memijat klien. Gerakan pertama swedish massage adalah usapan
panjang atau long strokes yang dilakukan mulai dari pinggang sampai bahu
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
57
yang kurang lebih dilakuakn berulang sampai dengan 10 kali. Gerakan
kedua adalah gerakan meremas atau kneading yang dilakukan mulai dari
pinggang sampai ke pundak dan diulang hingga 10 kali. Gerakan ketiga
adalah teknik gerakan tapotemen atau tapping dengan pinggiran jemari yang
dilakukan pada area pundak, punggung, hingga ke pinggang dan diulangi
sampai 10 kali. Setelah tiga gerakan dilakukan penulis menuangkan kembali
baby oil dan mengulangi kembali gerakan pertama sampai dengan ketiga.
setelah selesai melakukan massage, klien dianjurkan menggunakan baju
kembali lalu dilakukan pemeriksaan tekanan darah kembali.
Hasil evaluasi terhadap intervensi unggulan swedish massage yang
dilakukan dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel. 3.1 Hasil Evaluasi Intervensi Swedish Massage pada Nenek P
Sebelum Intervensi
Sesi
Tekanan
Darah
Pulsasi Nadi
Setelah Intervensi
Tekanan
Darah
Pulsasi Nadi
1
150/95
90
140/90
90
2
155/80
92
152/80
92
3
145/90
88
142/85
87
4
150/90
90
140/80
88
5
140/90
88
130/90
88
6
140/90
86
14080
86
7
150/100
94
140/100
92
8
150/90
88
140/90
88
9
144/90
86
130/90
84
10
150/100
96
142/90
92
11
146/80
90
140/80
90
12
142/80
90
130/80
88
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
58
3.2.2 Klien Resume Nenek SS
Klien resume nenek SS berusia 65 tahun memiliki diagnosis yang tegak
berdasarkan data maladaptif salah satunya masalah risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler. Faktor risiko yang ditemukan pada klien resume nenek SS
adalah usia lebih dari 64 tahun, berdaasarkan rekam medis klien memiliki
hipertensi ditandai dengan tekanan darah 150/90 mmHg, memiliki diabetes
melitus ditandai dengan gds 241 gr/dL, dislipidemia ditandai dengan kadar
kolesterol 260 gr/dL, dan gaya hidup yang monoton. Implementasi
intervensi unggulan yang dilakukan sama dengan klien lainnya yaitu
swedish massage dengan tata cara dan prosedur yang sama deng klien yang
lain.
Intervensi dilakukan pada klien hanya dua sesi pada minggu pertama. Hal
tersebut dikarena pada hari sesi ketiga klien dirujuk ke rumah sakit akibat
demam lebih dari tiga hari dan sempat terjatuh lemas. Hasil evaluasi
menunjukkan penurun tekanan darah pada klien setelah dilakukan intervensi
swedish massage. Pada sesi 1 tekanan darah klien turun dari 150/90 mmHg
menjadi 140/90 mmHg dengan pulsasi nadi 90 kali per menit. Pada sesi 2
tekanan darah juga mengalami penurunan menjadi 138/90 mmHg dengan
pulsasi nadi 88 kali per menit.
3.2.3 Klien Resume Nenek SA
Klien resume nenek SA berusia 68 tahun didapati memiliki diagnosis yang
tegak berdasarkan data maladaptif salah satunya masalah risiko kerusakan
fungsi kardiovaskuler. Faktor risiko yang ditemukan pada klien resume
nenek SA adalah usia lebih dari 65 tahun, berdasarkan rekam medis klien
memiliki hipertensi ditandai dengan tekanan darah 150/80 mmHg, kurang
memiliki pengetahuan terkait modifikasi faktor risiko hipertensi dan gaya
hidup yang monoton. Implementasi intervensi unggulan yang dilakukan
sama dengan klien lainnya yaitu swedish massage dengan tata cara dan
prosedur yang sama deng klien yang lain.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
59
Intervensi dilakukan pada klien dimulai dari minggu kelima karena klien
menggantikan resume nenek SS karena nenek SS meninggal satu jam
setelah pulang dari rumah sakit pada tanggal 21 Mei 2016. Hal tersebut
membuat klien hanya merasakan enam sesi intervensi swedish massage.
Hasil evaluasi menunjukkan ada penurun tekanan darah pada klien setelah
dilakukan intervensi swedish massage selama enam sesi. Pada sesi 1
tekanan darah klien tidak terjadi penurunan yaitu tetap 150/90 mmHg
pulsasi nadi 88 kali per menit. Pada sesi 2 tekanan darah mengalami
penurunan menjadi 146/90mmHg dari sebelumnya 150/90 mmHg dengan
pulsasi nadi 88 kali per menit. Pada sesi 3 tekanan darah klien turun dari
150/80 mmHg menjadi 145/80 mmHg pulsasi nadi 86 kali per menit. Pada
sesi 4 tekanan darah mengalami penurunan menjadi 142/90mmHg dari
sebelumnya 148/90 mmHg dengan pulsasi nadi 84 kali per menit. Pada sesi
5 tekanan darah klien turun dari 148/80 mmHg menjadi 136/80 mmHg
pulsasi nadi 84 kali per menit. Pada sesi 6 tekanan darah mengalami
penurunan menjadi 140/80mmHg dari sebelumnya 148/90 mmHg dengan
pulsasi nadi 86 kali per menit.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
BAB 4
ANALISIS SITUASI
4.1. Profil Lahan Praktik
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung merupakan salah satu
lembaga pelayanan sosial yand diberikan kepada lansia. Panti Sosial Tresna
Werdha (PSTW) merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas
memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat
hidup secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat, yang meliputi perawatan,
perlindungan dan pembinaan fisik, spiritual, sosial dan psikologis (Kepmensos
no.50/HUK/2004). Berdasarkan tugas pokok dan fungsi PSTW Budi Mulia 1
Cipayung bertugas untuk menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial
bagi lansia terlantar meliputi perawatan, pembinaan fisik, mental dan sosial.
PSTW Budi Mulia 1 Cipayung merupakan salah satu unit pelaksanaan teknis
dinas sosial provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan kegiatan pelayanan
kesejahteraan sosial lanjut usia. PSTW Budi Mulia 1 Cipayung memiliki visi
yaitu mengangkat harkat dan martabat lansia terlantar menuju kehidupan
layak, sehat, normatif, dan manusiawi. Berdasarkan visi tersebut PSTW Budi
Mulia 1 Cipayung ingin memberikan pelayanan terbaik bagi lansia. Hal
tersebut membuat PSTW menyediakan beberapa pelayanan seperti yang
diberikan di nursing home. Beberapa pelayanan tersebut diataranya adalah
pemberian akomodasi untuk keperluan kehidupan sehari-hari, layanan asuhan
keperawatan, konsultasi dokter, layanan fisioterapi, layanan farmasi, sistem
rujukan ke rumah sakit, layanan sosial, layanan kegiatan fisik dan jasmani,
serta layanan spiritual.
PSTW Budi Mulia 1 Cipayung juga mempunyai beberapa perbedaan dengan
konsep nursing home yaitu pada bagian pengkategorian warga binaan sosial
(wbs),
ketenagakejaan
dan
kulaifikasinya,
serta
standar
perawatan.
Berdasarkan Guidelines dari kementrian kesehatan singapura terkait nursing
home pada tahun 2002, terdapat pengkategorian residen berdasarkan tingkat
status fungsional residen. Kategori status fungsional residen terbagi menjadi
60
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
61
empat kategori yaitu mandiri, memiliki ketergantungan ringan sedang,
memiliki ketergantungan sedang berat, dan memiliki ketergantungan total
(Ministry of Health Singapore, 2002). Pada awalnya sistem penempatan wbs
di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung masih belum memiliki standar yang jelas.
Penempatan wbs baru dilakukan dengan melihat ketersediaan tempar tidur
yang kosong yang dimiliki oleh panti. Setelah mahasiswa profesi peminatan
kkmp gerontik 2016 FIK UI praktik di panti tersebut, telah dilaksanakan
relokasi wbs dan pembuatan sop penerimaan wbs baru sesuai tingkat
kemandirian. Saat ini penempatan wbs di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
menjadi tiga kategori yaitu mandiri, parsial, dan total.
Perbedaan yang jelas anata konsep PSTW Budi Mulia 1 Cipayung dan nursing
home adalah pada bagian ketenagakerjaan dan kualifikasi staf. Berdasarkan
Guidelines of Nursing Home Singapore (2002) care staf yang memberikan
pelayanan dan perawatan pada lansia adalah registered nurse, enrolled nurse,
health care assistant, dan social worker. Staf perawatan lansia di PSTW Budi
Mulia 1 Cipayung disebut sebagai pramusosial. Saat ini pramusosial yang ada
memiliki latar belakang yang berbeda-beda, terdapat satu lulusan sarjana
kesehatan masyarakat, lulusan D3 keperawatan, dan SMK Keperawatan.
Berdasarkan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda membuat
kualifikasi staf menjadi berbeda. Kualifikasi staf menjadi penting untuk
memberikan asuhan keperawatan yang holistik bagi para wbs sesuai dengan
perannya sebagai perawat gerontik yaitu sebagai pemberi layanan, edukator,
manajer, dan advokator. Selama tujuh minggu observasi terhadap kinerja
pramusosial di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung peran yang baru dilaksanakan
adalah sebagai pemberian pelayanan dan advokat. Apabila lihat dari latar
belakang pendidikan serta peran yang dilakukan oleh pramusosial di PSTW
Budi Mulia 1 Cipayung dapat disimpulkan belum sesuai dengan kualifikasi
seorang care staf di nursing home.
Standar perawatan yang dilakukan oleh PSTW Budi Mulia 1 Cipayung juga
berbeda dengan nursing home. Hal ini terlihat dari standar perawatan yang
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
62
belum holistik dan memperhatikan wbs sebagai individu yang memiliki
kebutuhan yang berbeda dengan wbs lansia. Saat ini belum ada pembedaan
menu makan untuk wbs yang memiliki kebutuhan khusus terkait kondisi
kesehatan seperti diet rendah garam untuk wbs dengan hipertensi, diet rendah
kalori dan gula bagi wbs penderita diabetes. Hal tersebut sanagt berbeda
dengan pengelolaan menu makanan yang dilakukan di nursing home. Pada
nursing home pemberian makan pada setiap residennya sesuai dengan kondisi
kesehatan residen.
4.2. Analisis Asuhan Keperawatan Lansia di Perkotaan dengan Masalah
Risiko
Kerusakan Fungsi Kardiovaskuler
Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler menjadi masalah yang
banyak ditemui pada lansia yang tinggal di perkotaan. Hal tersebut terjadi
akibat cukup tingginya faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskluer di area
perkotaan seperti DKI Jakarta. Faktor risiko area perkotaan pada lansia yang
memicu masalah kerusakan fungsi kardiovaskuler adalah
aterosklerosis,
ketidakefektifan aktivitas fisik, merokok, kebiasaan makan, hipertensi,
masalah gangguan lipid, obesitas dan faktor stres yang tinggi serta faktor
sosial ekonomi. Faktor risiko terjadinya kerusakan fungsi kardiovaskuler
yang ditemukan pada nenek R adalah usia lebih dari 65 tahun, riwayat
hipertensi, ketidakefektifan aktifitas fisik, dan faktor sosial ekonomi.
Faktor risiko pertama yang dimiliki oleh klien adalah usia yang lebih dari 65
tahun. Pada usia ini terjadi perubahan struktur pada sistem kardiovaskuler.
Hal ini sesuai dengan teori penuaan tear and wear yang diungkapkan oleh
August Weistman. Teori ini mengatakan bahwa sel-sel somatik memiliki
keterbatasan kemampuan untuk bereplikasi dan berfungsi seperti sebelumnya
dan kerusakan jaringan tidak dapat diperbaiki (Carlson & Pfadt, 2009). Salah
satu perubahan jaringan yang tidak dapat diperbaiki pada lansia adalah
pengakuan pada pembuluh darah. Hal tersebut terjadi akibat penipisan serta
kalsifikasi pada tunika media pembuluh darah yang menyebabkan
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
63
peningkatan resistensi perifer. Peningkatan resistensi aliran darah dari jantung
menyebabkan ventrikel dipaksa bekerja lebih keras karena aliran darah
kembali ke aorta toraks sebelum periode pemompaan pada ventrikel kiri
berakhir (Maddens, Imam, & Ashkar, 2005).
Hal tersebut menimbulkan
kenaikan tekanan darah pada lansia. Hasil pemeriksaan tekanan darah pada
klien didapati bahwa tekanan darah klien adalah 150/80mmHg. Berdasarkan
pemeriksaan tersebut tekanan darah klien termasuk klasidifikasi hipertensi I
atau ringan.
Faktor risiko kedua yang dimiliki oleh klien adalah riwayat hipertensi.
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskuler yang paling umum pada
lansia, termasuk residen di unit perawatan lansia jangka panjang (long-term
care) seperti PSTW. Berdasarkan National Nursing Home Survey sebanyak
53,8% residen pada nursing home di Amerika terdiagnosis hipertensi
(Simonson,
Han,
&
Davidson,
2011).
Berdasarkan
pemeriksaan
kardiovaskuler yang dilakukan pada klien didapati bahwa terjadi perbesaran
jantung pada area ventrikel kiri dan bunyi jantung S2 mengalami peningkatan
intensitas. Tanda gejala tersebut menunjukkan klien mengalami peningkatan
tekanan darah. Peningkatan tekanan darah melebihi 130/80 mmHg pada
lansia dikategorikan sebagai hipertensi (Simmons, DeJoseph, & Arenson,
2009). Hipertensi disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu usia, etnik,
faktor genetik, kelebihan berat badan, ketidakefektifan aktivitas, sleep anea,
stres psikososial, tingkat pendidikan yang rendah, dan status sosial ekonomi.
Hasil observasi yang dilakukan pada klien didapati bahwa selain usia klien
memiliki faktor risiko ketidakefektifan aktivitas.
Faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler ketiga yang dimiliki oleh klien
adalah ketidakefektifan aktifitas fisik. Aktifitas fisik dipercaya dapat
membantu mempertahankan kondisi kardiovaskuler dengan baik. Hal ini
dikarenakan dengan aktifitas fisik yang efektif memberikan manfaat pada
sistem sirkulasi yang baik dan mencegah menumpuknya lemak pada organ
kardiovaskular juga menurunkan dan menstabilkan tekanan darah. Hal ini
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
64
dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa peningkatan
aktifitas fisik dapat menurunkan 4-9 mmHg tekanan darah (Turgut, Yesil,
Balogun, & Rahman, 2013). Berdasarkan observasi yang dilakukan kepada
klien, diketahui bahwa aktifitas klien kurang efektif karena banyak waktu
klien yang dihabiskan dengan duduk ataupun tiduran di dalam kamar. Selain
itu, walaupun klien mengikuti senam, akan tetapi klien juga hanya
menggerakkan tangan sambil duduk dan tidak mengikuti gerakan sampai
selesai. Berdasarkan wawancara hal tersebut dilakukan klien karena kurang
adanya motivasi untuk mengikuti gerakan senam sampai akhir.
Faktor keempat yang didapati pada klien adalah faktor sosial ekonomi. Faktor
sosial ekonomi dapat menjadi faktor risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler
dikarenakan faktor sosial ekonomi sangat mempengaruhi akses lansia dalam
mendapatkan
kardiovaskuler.
informasi
dan
pelayanan
Faktor
sosial
ekonomi
kesehatan
juga
terkait
mempengaruhi
masalah
tingkat
pengetahuan lansia untuk merawat diri dalam hal mengelola faktor-faktor
risiko yang berkaitan dengan masalah kardiovaskuler. Hal ini dibuktikan dari
penelitian yang menyebutkan bahwa lansia yang memiliki tingkat pendidikan
kurang dari sekolah menengah atas (SMA) memiliki faktor risiko lebih
banyak daripada lansia dengan tingkat pendidikan SMA ke atas (Llyod-Jones
et al., 2009). Hasil wawancara yang dilakukan pada klien diketahui bahwa
klien bersekolah hanya sampai kelas 4 sekolah rakyat (SR). Tingkat
pendidikan klien mempengaruhi pengetahuan klien terkait masalah kesehatan
dan pengelolaannya. Hal ini terlihat dari pemahaman klien yang masih
kurang terkait hipertensi dan modifikasi terkait faktor risikonya.
Berdasarkan analisa data pengkajian pada klien diketahui faktor risiko yang
memicu keruakan fungsi kardiovaskuler pada nenek R adalah proses penuaan,
hipertensi, aktivitas fisik yang tidak efektif, dan faktor sosial ekonomi
khususnya terkait tingkat pendidikan. Hal tersebut menyebabkan penulis
dalam pemberian intervensi untuk mengatasi masalah risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler pada nenek R melakukan intervensi keperawatan yaitu
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
65
manajemen risiko jantung dan massage dengan jenis swedish massage.
Manajemen risiko jantung adalah pencegahan episode akut dari gangguan
fungsi dengan meminimalkan kontribusi peristiwa dan perilaku berisiko
(Bulechek, Butcher, & Dochterman, 2013). Kegiatan yang dilakukan dalam
pemberian intervensi manajemen risiko jantung antara lain melakukan
pendidikan kesehatan terkait hipertensi, memonitoring tekanan darah,
mengontrol pemberian obat antihipertensi, memotivasi untuk meningkatkan
aktivitas fisik, dan memonitoring asupan makanan. Selama pelaksanaan
manajemen risiko jantung kegiatan yang sulit mencapai hasil yang
diharapkan adalah peningkatan aktivitas fisik pada klien.
Aktivitas fisik kilen yang tidak efektif sulit dimotivasi dan dikontrol untuk
ditingkatkan. Aktivitas fisik klien cenderung ringan dan kurang dari standar
Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun
2006
sebagaimana dilakukan untuk menghasilkan tingkat ketahanan (endurance)
yang membantu fungsi jantung dan paru yaitu minimal dilakukan 30 menit
dalam 5 hari per minggu dengan aktivitas fisik ringan-sedang. Aktivitas yang
direncanakan sebagai bagian dari intervensi kegiatan senam dan berjalan
kaki selama 30 menit dalam waktu 5 hari. Pada pelaksanannya kegiatan ini
tidak berjalan sesuai dengan rencana, walaupun penulis telah memotivasi dan
dan berupaya agar klien mau meningkatkan aktivitas fisiknya. Hal ini
dikarenakan banyak faktor yang menyebabkan lansia tidak mampu dan
terdistraksi dalam melaksanakan aktifitas fisik yang optimal. Hambatan yang
paling sering adalah kurangnya motivasi baik karena pengaruh internal diri
maupun faktor eksternal sehingga klien tidak menjalankan aktivitas fisik yang
telah dijadwalkan secara optimal. Tidak optimalnya pelaksanaaan aktivitas
fisik yang telah direncanakan menyebabkan hasil untuk meningkatkan
ketahanan klien juga tidak optimal. Hal ini terlihat masih tingginya tekanan
darah yang belum mencapai standar aman tekanan darah pada lansia dengan
hipertensi. Selain itu, pengontrolan asupan dan pengontrolan pemberian terapi
farmakologi setiap hari juga belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam
menurunkan tekanan darah yang terlihat dari monitoring tekanan darah yang
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
66
dilakukan setiap hari. Oleh karena itu penulis juga melakukan intervensi
keperawatan komplementer berupa massage dengan jenis Swedish Massage
agar dapat mengoptimalkan hasil yang ingin dicapai untuk menurunkan risiko
kerusakan fungsi kardiovaskuler.
4.3. Analisis Intervensi Swedish Massage
Intervensi unggulan yang diberikan untuk mengatasi masalah risiko
kerusakan fungsi lardiovaskuler pada nenek R adalah Swedish Massage.
Tujuan pemberian intervensi ini adalah untuk mempertahankan skor 4
(penyimpangan ringan dari rentang normal) atau meningkatkan skor menjadi
5 (tidak ada penyimpangan dari rentang normal) pada poin tekanan darah
sistolik, tekanan darah diastolik, dan pulsasi nadi. Swedish massage
merupakan pengembangan teknik pijat tradisional eropa yang dikembangkan
oleh Per Hendrik Ling pada awal abad ke-18 (Vickers & Zollman, 1999). Ada
tiga metode yagang dapat digunakan dalam pemberian swedish massage
untuk menurunkan tekanan darah berdasarkan sesi, durasi tiap sesi, dan area
yang dipijat. Pada metode pertama swedish massage dilakukan selama 12 sesi
dengan durasi pemijatan selama 10 menit pada area punggung. Metode kedua
swedish massage dilakukan selama 12 sesi dengan durasi pemijatan selama
30 menit pada area tangan, kaki, dan wajah. Metode ketiga swedish massage
dilakukan selama 4 sesi dengan durasi pemijatan selama 60 menit pada area
seluruh tubuh mulai dari kepala sampai dengan kaki. Penulis menggunakan
metode pertama dalam pemberian intervensi swedish massage kepada klien.
Hasil pemberian intervensi ini sebanyak 12 sesi selama 5 minggu akan
ditampilkan pada grafik berikut.
Berdasarkan grafik 3.1 diketahui bahwa dalam 12 sesi pemberian intervensi
swedish massage pada nenek R terjadi penurunan rata-rata sebanyak 6 mmHg
pada tekanan darah sistolik dan 5,8 mmHg pada tekanan darah diastolik. Hal
tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan skor 4 (penyimpangan ringan
dari rentang normal) atau meningkatkan skor menjadi 5 (tidak ada
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
67
penyimpangan dari rentang normal) pada poin tekanan darah sistolik, tekanan
darah diastolik.
Berdasarkan grafik di atas juga diketahui bahwa pemberian swedish massage
sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah pada klien sesuai target
tekanan darah pada penderita hipertensi. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai
tekanan darah awal pada sesi pertama jika dibandingkan dengan hasil
pengukuran tekanan darah setelah intervensi pada sesi terakhir yang
mencapai 120/80 mmHg. Hasil tersbut menggambarkan pemberian intervensi
swedish massage dapat mengoptimalisasi penurunan tekanan darah sehingga
mencapai target aman tekanan darah bagi lansia penderita hipertensi. Target
tekanan darah bagi lansia hipertensi yang direkomendasikan oleh Joint
National
Committee
on
Detection,
Evaluation,
and
Treatment
of
Hypertension adalah dibawah 140/90 mmHg (Simonson, Han, & Davidson,
2011). Hal ini juga menunjukkan bahwa swedish massage dapat
mengoptimalkan hasil yang diinginkan dalam pengobatan pada lansia dengan
hipertensi.
Hasil intervensi swedish massage yang dilakukan pada nenek R di PSTW
Budi Mulia 1 Cipayung ini sejalan dengan beberapa penelitian kuasi
eksperimen yang dilakukan di Iran. Pada eksperimen yang dilakukan oleh
Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou (2014) dengan metode yang
sama didapati penurunan tekanan darah sistolik dan diastoslik berturut-turut
adalah 6,44 mmHg dan 4,77 mmHg. Perbedaan yang intervensi swedish
massage yang dilakukan penulis dengan swedish massage yang dilakukan
Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou adalah periode pemberian
intervensi. Mohebbi, Moghadasi, Homayouni, dan Nikou melakukan
intervensi swedish massage sebanyak 12 sesi dalam jangka waktu 6 minggu,
sedangkan penulis melakukan 12 sesi dalam 5 minggu.
Hasil intervensi swedish massage yang dilakukan penulis juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Supa’at, Zakaria, Maskon, Aminuddin, &
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
68
Nordin (2013) di Malaysia. Pada penelitian tersebut intervensi swedish
massage yang dilakukan berhasil menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik berturut-turut sebanyak 12 mmHg dan 5 mmHg. Pada penelitian
tersebut terlihat penurunan tekanan darah sistolik yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil intervensi yang dilakukan penulis. Hal tersebut
dapat disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan pada penelitian
tersebut dengan penulis. Metode yang digunakan oleh Supa’at, Zakaria,
Maskon, Aminuddin, & Nordin adalah metode swedish massage yang ketiga
yaitu massage dilakukan di seluruh area tubuh dari kepala sampai kaki selama
60 menit dalam 4 sesi. Penurunan tekanan sistolik yang cukup tinggi dapat
disebabkan oleh efek relaksasi yang lebih tinggi yang dihasilkan oleh swedish
massage metode ketiga.
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah yang dilakukan selama
pemberian intervensi swedish massage terlihat rata-rata terjadi penurunan
tekanan darah preintervensi antar sesi. Hal tersebut menunjukkan swedish
massage memiliki efek yang bertahan beberapa hari sehingga apabila
intervensi secara rutin dilakukan dapat membantu lansia dengan hipertensi
menjaga tekanan darahnya sesuai target. Pendapat penulis ini didukung
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Givi (2013) di Iran tentang daya
tahan efek pemberian swedish massage terhadap tekanan darah. Penelitian
tersebut mengevaluasi efek pemberian swedish massage selama 10-15 menit
pada 10 sesi intervensi. Penelitian tersebut mengatakan bahwa berdasarkan
hasil evaluasi daya tahan efek pemberian swedish massage terhadap tekanan
darah memiliki efek yang bertahan sampai dengan 72 jam setelah pemberian
pemijatan.
Berdasarkan hasil studi literatur yang dilakukan penulis, tidak ada penelitian
yang tidak sejalan dengan hasil intervensi yang dilakukan oleh penulis.
Semua penelitian baik dalam bentuk literature review maupun kuasi
eksperimen menunjukkan bahwa swedish massage dapat menurunkan
tekanan darah baik sistolik maupun diastolik. Hal ini menunjukkan bahwa
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
69
swedish massage merupakan intervensi yang efektif dan aplikatif dalam
upaya mengontrol dan menurunkan tekanan darah pada masalah risiko
kerusakan fungsi kardiovaskuler yang banyak disebabkan oleh hipertensi. Hal
tersebut dikarenakan swedish massage merupakan pengobatan komplementer
yang dipercaya dapat memberika efek relaksasi sehingga dapat mengurangi
tekanan darah (Fritz, 2009).
Penurunan tekanan darah setelah intervensi swedish massage didapatkan dari
perasaan nyaman dan relaksasi dikarenakan peningkatan aktivitas saraf
parasimpatis yang disebabkan oleh penekanan-penekanan dalam massage
(Ouchi, Kanno, & Okada, 2006). Gerakan-gerakan pada swedish massage
seperti usapan panjang (long stroke), peremasan (kneading), dan tapotemen
(tapping) membuat aktivitas saraf parasimpatis terstimulasi. Peningkatan
stimulasi
saraf
simpatis
dapat
membuat
serat-serat
pascagangglion
parasimpatis melepaskan asetilkolin. Asetilkolin akan berikatan dengan
reseptor kolinergik muskarinik menyebabkan peningkatan konduktansi K+ di
dalam sel pacemaker (Shier, Butler, & Lewis, 2012). Hal ini menyebabkan
hiperpolarisasi potensial membran dan menurunkan kecepatan pada fase
keempat depolarisasi dan otomatisasi pada sel pacemaker. Hal tersebut
menyebabkan perlambatan kontraksi ventrikel kiri pada jantung. Perlambatan
kontraksi ventrikel kiri menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah
sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Penurunan kecepatan aliran darah
pada swedish massage tidak akan mengganggu aliran darah ke perifer. Hal ini
dikarenakan gerakan seperti usapan panjang (long stroke) dan peremasan
(kneading) membantu meningkatkan aliran darah pada area perifer (Fritz,
2009; Braun & Simonson, 2008).
Berdasarkan grafik 3.1 dapat dilihat bahwa selama pemberian swedish
massage terjadi penurunan dan kenaikan tekanan darah antara hasil tekanan
darah pasca intervensi sesi sebelumnya dengan hasil tekanan darah pra
intervensi sesi berikutnya. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
70
penurunan tekanan darah selama lima minggu pemberian intervensi swedish
massage adalah terdapat jeda dalam pemberian swedish massage dimana
dapat terjadi peningkatan faktor risiko lain selama jeda waktu terjadi. Selama
5 minggu pemberian intervensi swedish massage terdapat faktor risiko yang
dapat mengganggu kestabilan hasil penurunan tekanan darah yaitu faktor
psikososial pada waktu jeda pemberian intervensi.
Faktor psikososial merupakan faktor yang miliki hubungan dengan
peningkatan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler (Miller, 2012). Hal ini
dikarenakan faktor psikososial seperti stres, ansietas, depresi, isolasi sosial,
lemahnya dukungan sosial, dan karakter personal dapat meningkatkan risiko
terjadinya kemaranahan dan permusuhan. Berdasarkan hasil pengkajian
diketahui bahwa klien tidak memiliki sahabat dekat untuk mencurahkan
perasaan juga dukungan kelompok yang kuat. Hal ini menyebabkan klien
juga memiliki risiko kesepian. Klien cenderung menahan amarah dalam
perasaan dan tidak memiliki koping yang efektif untuk melepaskan stres yang
dirasa. Hal-hal seperti itu menyebabkan teraktivasinya saraf simpatis yang
meningkatkan adrenalin sehingga memacu detak jantung sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah kembali.
Berdasarkan analisis terhadap intervensi swedish massage yang telah
dijabarkan dalam penjelasan di atas menunjukkan bahwa swedish massage
merupakan terapi komplementer yang efektif, mudah diaplikasikan, aman,
dan murah untuk menurunkan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler dengan
menurunkan salah satu faktor risiko terbanyaknya yaitu hipertensi. Karena
banyaknya faktor risiko yang dapat memicu kerusakan fungsi kardiovaskuler
maka swedish massage merupakan intervensi komplementer atau pelengkap
yang tidak dapat berdiri sendiri dalam menurunkan faktor risiko kerusakan
fungsi kardiovaskuler sehingga perlu juga dilakukan intervensi lainnya untuk
mengoptimalkan hasil yang ingin dicapai.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
71
4.4. Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan
Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler bukan masalah yang dipicu
oleh satu hal. Masalah ini disebabkan oleh beberapa faktor risiko.
Berdasarkan asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah risiko
kerusakan fungsi kardiovaskuler untuk hasil yang optimal tidak dapat
dilakukan dengan satu intervensi saja. Agar dapat menurunkan risiko
kerusakan fungsi kardiovaskuler secara optimal diperlukan integrasi beberapa
intervensi yang dilakukan pada lansia. Berdasarkan karakteristik lansia yang
tinggal di panti berikut merupakan intervensi yang dapat dilakukan sebagai
alternatif pemecahan masalah. Berdasarkan NIC terdapat beberapa intervensi
yang dapat dilakukan sebagai pemecahan masalah risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler, antara lain cardiac care, manajemen risiko jantung,
peningkatan koping, exercise promotion, pendidikan kesehatan, meditasi,
konseling gizi, guided imagery, dan terapi relaksasi. Berdasarkan situasi dan
kondisi PSTW Budi Mulia 1 Cipayung, intervensi yang dapat dilakukan
antara lain manajemen risiko jantung, peningkatan koping, exercise
promotion, pendidikan kesehatan, meditasi, konseling gizi, dan terapi
relaksasi.
Manajemen risiko jantung merupakan pencegahan periode akut kerusakan
fungsi kardiovaskuler dengan meminimalkan perilaku yang berisiko dan halhal yang berkontribusi terhadap kerusakan fungsi kardiovaskuler (Bulechek,
Butcher, & Dochterman, 2013). Alteratif ini dapat dilakukan sebagai program
pencegahan yang diberikan pada lansia-lansia yang memiliki faktor risiko
kerusakan fungsi kardiovaskuler. Program ini dapat berisikan aktivitas dan
intervensi lain yang disebutkan di atas seperti peningkatan koping, exercise
promotion, pendidikan kesehatan, meditasi, manajemen gizi dalam bentuk
pengaturan modifikasi diet, guided imagery, dan terapi relaksasi.
Peningkatan koping, meditasi, guide imagery, dan terapi relaksasi dapat
dilakukan sebagai manajemen stres pada lansia hipertensi. Berdasarkan
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
72
analisa hasil pemberian intervensi pada klien nenek R, terjadi ketidakstabilan
penurunan tekanan darah selama jeda intervensi komplementer yang
diberikan menunjukkan pentingnya lansia untik dapat mengelola stres yang
dimilikinya agar dapat mengoptimalkan penurunan tekanan darah. Hal ini
dikarenakan peningkatan stres pada lansia dapat menimbulkan peningkatan
tekanan darah sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Pemberian intervensi-intervensi tersbut yang merupakan bagian dari
manajemen risiko jantung dapat mengoptimalkan penurunan risiko kerusakan
fungsi kardiovaskuler dari faktor psikososial.
Manajemen gizi merupakan tindakan yang digunakan memfasilitasi
keseimbangan nutrisi yang masuk ke tubuh (Bulechek, Butcher, &
Dochterman, 2013). Pada klien dengan masalah risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler sangat membutuhkan pengaturan menu makan yang tepat.
Manajemen gizi dapat dilakukan dengan penyediaan menu diet rendah garam
untuk lansia dengan faktor risiko hipertensi. Penyediaan menu diet rendah
kalori dan gula dapat diberikan pada lansia dengan faktor risiko diabetes
melitus. Penyediaan menu diet rendah kalori dan lemak dapat diberikan pada
lansia dengan faktor risiko dislipidemia. Berdasarkan faktor risiko kerusakan
fungsi kardiovaskuler terdapat dua faktor yaitu aterosklerosis dan kebiasaan
makan yang berhubungan dengan manajemen gizi yang berhubungan dengan
peningkatan risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Pentingnya manajemen
gizi ini dikarenakan manajemen gizi ini akan sangat mempengaruhi
pencapaian hasil yang optimal dalam menurunkan risiko kerusakan fungsi
kardiovaskuler.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler menjadi masalah yang
banyak ditemui pada lansia yang tinggal di perkotaan. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya faktor pemicu masalah ini dialami penduduk lansia di DKI
Jakarta. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung sebagai
salah satu bentuk pelayanan lanjut usia dengan konsep perawatan jangka
panjang di DKI Jakarta memiliki tanggung jawab untuk memberikan
perawatan bagi lansia warga binaan sosial (WBS) yang memiliki masalah
risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler.
Hasil pengkajian pada klien didapatkan bahwa klien memiliki beberapa faktor
risiko seperti usia yang telah lebih dari 65 tahun, kurang pengetahuan,
riwayat hipertensi, dan gaya hidup yang monoton. Berdasarkan pemeriksaan
tanda vital dan fisik diketahui klien memiliki tekanan darah tinggi, perbesaran
batas jantung kiri, terjadi peningkatan intensitas bunyi jantung S2, dan irama
jantung yang tidak teratur. Selain itu berdasarkan pengkajian menggunakan
format penilaian risiko perkembangan penyakit jantung klien berada dalam
kategori menuju risiko tinggi.
Hasil analisis data pada nenek R menunjukkan masalah keperawatan utama
pada kien adalah masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Masalah
risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler merupakan suatu kondisi kerentanan
internal atau eksternal yang dapat menyebabkan kerusakan minimal satu
organ vital dan sistem sirkulasi sendiri.
Rencana keperawatan yang disusun oleh penulis menggunakan intervensi
bersadasarkan NIC yaitu massage dengan jenis swedish massage sebagai
intervensi unggulan. Tujuan dari rencana keperawatan yang disusun ialah
mencegah terjadinya kerusakan fungsi kardiovaskular yang kerusakan organ
vital dan sistem sirkulasi. Indikator hasil dari tujuan di atas adalah
mempertahankan skor 4 (penyimpangan ringan dari rentang normal) atau
73
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
74
meningkatkan skor menjadi 5 (tidak ada penyimpangan dari rentang normal)
pada poin tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan pulsasi nadi.
Implementasi dari intervensi swedish massage dilakukan sebanyak 12 sesi
dalam waktu 5 minggu dengan durasi setiap sesinya 10 menit. Swedish
massage terdiri dari tiga gerakan yaitu usapan panjang (long stroke),
peremasan (kneading), dan tapotemen (tapping). Pada setiap sesi diawali dan
diakhiri dengan pemeriksaan tekanan darah untuk melihat hasil intervensi
yang dilakukan.
Evaluasi terhadap intervensi swedish massage yang menunjukkan adanya
penurunan tekanan darah yang dialami klien. Berdasarkan pengitungan ratarata penurunan tekanan darah diketahui penurunan tekanan darah sistolik dan
diastolik berturut-turut sebesar 6 mmHg dan 5,8 mmHg. Hal tersebut
menunjukkan terjadinya peningkatan skor 4 (penyimpangan ringan dari
rentang normal) atau meningkatkan skor menjadi 5 (tidak ada penyimpangan
dari rentang normal) pada poin tekanan darah sistolik, tekanan darah
diastolik.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Institusi Pelayanan
Masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler merupakan masalah yang
sering terjadi pada lansia di PSTW. Berdasarkan hasil analisis ini diketahui
masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler bukan masalh yang dapat
diatasi hanya dengan satu intervensi seperti pemberian terapi medis yang
telah berjalan selama ini di lingkungan PSTW. Sehingga dibutuhkan
intervensi yang terintegrasi seperti manajemen risiko jantung yang meliputi
pengontrolan rutin, peningkatan aktivitas fisik, pengelolaan stres, dan
pengontrolan nutrisi yang diberikan. Selain manajemen risiko jantung untuk
mendapatkan hasil yang optimal pihak PSTW dapat menambahkan
pemberian terapi komplementer yang dilakukan oleh perawat yaitu swedish
massage pada lansia yang memiliki hipertensi. Berdasarkan asuhan
keperawatan yang dilakukan selama tujuh minggu pada lansia dengan risiko
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
75
kerusakan fungsi kardiovaskuler menunjukkan bahwa swedish massage
dapat membantu mengoptimalkan hasil dalam menurunkan salah satu faktor
risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler. Berdasarkan hasil praktik yang
dilakukan swedish massage hanya dapat dijadikan terapi komplementer
sehingga pemberian terapi farmakologi pada lansia dengan hipertensi tetap
harus dilaksanakan.
5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil dari analisis Praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
ini diharap dapat menjadi pertimbangan bagi institusi untuk melakukan
penelitian selanjutnya terkait intervensi non farmakologi dalam mengatasi
masalah risiko kerusakan fungsi kardiovaskuler melalui massage. Selain itu
institusi juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih terkait
massage dan meningkatkan kemampuan mahasiswanya dalam melakukan
intervensi non farmakologi pada klien dengan masalah risiko kerusakan
fungsi kardiovaskuler dengan melakukan pelatihan.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
76
DAFTAR PUSTAKA
Allender, J. A. & Spradley, B. W. (2005). Community health nursing: Promoting
and protecting the publics health (6th Ed). Philadelphia: Lippincott
Allender, J. A., Rector, C., & Warner, K.D. (2010). Community health nursing:
promoting and protecting the public’s health. Lippincott: Williams &
Wilkins.
Benney, S., & Gibbs, V. (2012) A literature review evaluating the role of swedish
massage and aromatherapy massage to alleviate the anxiety of oncology
patients. Elsevier: Radiography Journal 19.
BPS. (2012). Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi Indonesia.
Jakarta: BPS
Braun, M.B., & Simonson, S. J,. (2008). Introduction to Massage Therapy 2nd
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Bulechek, G.M, Butcher, H.K., & Dochterman, J.M. (2013). Nursing intervention
classification (NIC) Sixth edition. St. Louis, Missouri: Elsevier
California Advocates Health Nursing Reform. (2012). Nursing home care
standards. http://www.canhr.org/index.html
Carlson, D. S. & Pfadt, E. (2009). Clinical coach for effective nursing for older
adults. Philadelphia: F. A. Davis Company
Carr, M. C., & Tannock, L. L. (2009). Body-fat distribution and mortality risk:
Thinking Small Circulation 119
Challis, et al. (2010). Community support services for people with dementia: The
relative costs and benefits of specialist and generic domicillary care
services. Personal Sosial Services Research Unit (PSSRU)
DeLaune, S. C. & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: standards and
practice 2nd edition. New York: Delmar/ Thomson learning
Departement Economy and Social Affair, United Nation. (2002). Word population
ageing: 1950-2050 (executive summary). New York: United Nation.
Diperoleh dari
www.un.org/esa/population/publications/worldageing19502050/pdf/62exe
cutivesummary_english.pdf
Field, T. (2016). Massage therapy research review. Elsevier: Complementary
Therapies in Clinical Practice 24. 19-31.
Fritz, S. (2009). Fundamental of therapeutic massage. St. Louis: Mosby Elsevier
Givi, M. (2013). Durability of Effect of Massage Therapy on Blood Pressure.
International J Prev Med. 4: 511-16
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
77
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA International, Nursing
diagnoses: Definitions and classification, 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell
Insull, W. (2009). The pathology of atherosclerosis: Plaque development and
plaque responses to medical treatment. The American Jurnal of Medicine,
122
Kassner, E. (2011). Home and community-based long-term services and supports
for older people. Assets.aarp.org/rgcenter/ppi/ltc/fs222-health.pdf
Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 50/HUK/2004
Krieger, P. A. (2009). A visual analogy guide to human anatomy & physiology.
US: Morton Publishing Company
Lewis, S. J. (2009). Prevention and treatment of atherosclerosis: A practioner’s
guided for 2008. The American Jurnal of Medicine, 122
Llyod-Jones et al,. (2009). American Heart Association Statistics Committee and
Stroke Statistics Subcommittee. Heart diseases and stroke statistics 2009
update Circulation, 199
Maddens, M., Imam, K., & Ashkar, A. (2005). Hypertension in Elderly. Elsevier
Saunders: Primary Care Clinics Office Practice 32, 723-753
Marieb, E. N., & Hoen, K. (2013). Human anatomy & Physiology 9nd edition.
Boston: Pearson
Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing: Competencies for care.
Massachusetts: Jones and Bartlett publishers
Meiner, S. E. (2006). Gerontologic nursing (3rd Ed.). St. Louis, Missouri: Mosby
Elsevier
Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older adults (6th Ed.). Philadelphia:
Wolters Kluwer-Williams and Wilkins
Ministry of Health Singapore. (2002). A guidelines of nursing home in singapore.
Singapore: Singapore 77esicular77
Mohebbi, Z., Moghadasi, M., Homayouni, K., dan Nikou, M. H. (2014). The
Effect of Back Massage on Blood Pressure in the Patients with Primary
Hypertension in 2012-2013: A Randomized Clinical Trial.
www.researchgate.net/publication/267729619
Ouchi, Y., Kanno, T., & Okada, H. (2006). Changes in cerebral blood flow under
the prone condition with and without massage. Neuroscience Letter, vol.
407, no.2.
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2013). Fundamentals of nursing: Concepts, process,
and practice 8th edition. Missouri: Mosby Elsevier Inc
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
78
Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI. (2006). Buku saku gaya
hidup sehat. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Pusdatin Kemenkes RI. (2014). Situasi dan analisis: Lanjut usia. Jakarta:
Kemenkes RI
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). (2001). Hypertension in
older people. Diperoleh dari
http://lyf.landlaeknir.is/downloads/SIGN49.pdf
Shier, D., Butler, J., & Lewis, R. (2012). Hole’s essentials of human anatomy &
physiology. New York: McGraw-Hill
Simmons, B. B., DeJoseph, D., Arenson, C. (2009). Hypertension. In C. Arenson
(Ed.), Reichel,s care of the elderly: Clinical aspects of aging (pp. 96 –
101). New York: Cambridge University Press
Simonson, W., Han, L. F., & Davidson, E. (2011). Hypertension Treatment and
Outcomes in US Nursing homes: Results From The US National Nursing
home Survey. American Medical Directors Association. DOI:
10.1016/j.jamda.20.10.02.009
Sritooma, N., Moyle, W., Cooke, M., & O’Dwyer, S. (2012). The effectiveness of
78esicul massage and traditional thai massage in treating chronic low
bback pain: A review of the literature. Elsevier: Complementasry
Therapies in Clinical Practice 18.
Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing.
Philadelphia: Mosby Elsevier
Supa’at, I., Zakaria, Z., Maskon, O., Aminuddin, A., & Nordin, N.A.M.M. (2013).
Effects of Swedish Massage Therapy on Blood Pressure, Heart Rate, and
Inflammatory Markers in Hypertensive Women. Evidence-Based
Complementary
and
Alternative
Medicine
Vol.
2013.
Doi.org/10.1155/2013/171852
Tabloski, P. A. (2014). Gerontological nursing. New Jersey: Pearson Education
Tennesse Health Care Association. (2013). Nursing home. Diunduh pada 28 Juni
2013 dari http://www.thca.org/forconsumers/selectnursinghome.html
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI. (2007). Ilmu dan aplikasi
pendidikan. Grasindo Intima : Bandung.
Touhy, T. A., & Jett, K., F. (2014). Ebersole and hess’s gerontological & health
aging. St. Louis: Elsevier
Turgut, F., Yesil, Y., Balogun, R. A., Rahman, E.M.A. (2013). Hypertension in
Elderly: Unique Challanges and Management. Elsevier: Clinical Geriatric
Medicine 29.
Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
79
Vickers, A., & Zollman, C. (1999). ABC of Complementary Medicine: Massage
Therapies.
British
Medical
Journal,
vol.
319,
no.7219.
www.jstor.org/stable/25186301
Wong, D. L,., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., &
Schwartz, P. (2008). Buku ajar keperawatan pediatric wong edisi 6. (terj.
Agus Sutarna, Neti Juniarti, & H. Y. Kuncara). Jakarta: EGC
WHO. (2005). Chronic diseases and their common risk factors. Geneva: Word
Health Organization. Diperoleh dari
http://www.who.int/topics/chronic_diseases/en/
WHO. (2010). Global recomendation on physical activity for health.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44399/1/9789241599979_eng.pdf
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
Lampiran: Surat Izin Praktik
80
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
81
Lampiran: Pengkajian Klien Kelolaan
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN INDIVIDU LANSIA
DI PSTW BUDI MULIA 1 CIPAYUNG
I.
Pengkajian Individu
Nama Panti
: PSTW BUDI MULIA 1 CIPAYUNG
Alamat Panti
: Jalan Bina Marga no.58 Cipayung, Jakarta Timur
Tanggal Masuk : 25 Februari 2013
No. Register
:
A. Identitas
1. Nama
: Nenek R
2. Jenis Kelamin
: Perempuan
: 91 tahun
3. Umur
4. Agama
: Islam
5. Status Perkawinan
: Kawin
6. Pendidikan Terakhir
: Kelas 4 SR
7. Pekerjaan Terakhir
: Pedagang
8. Alamat Rumah
: Jalan Veteran 1 no.32
B. Alasan Masuk ke Panti
Nenek menceritakan bahwa klien tinggal di panti dikarenakan di bawa
oleh mobil biru saat kabur dari suami. Klien mengatakan semenjak
suaminya pensiun sebagai PNS di departemen pertahanan suasana di
rumahnya menjadi kurang harmonis dan sering terjadi konflik. Nenek R
kabur dari rumah karena tidak nyaman dengan perilaku suami. Klien
menceritakan bahwa pada dasarnya suaminya adalah orang yang baik dan
penyayang, namun ada perilaku-perilaku yang kurang berkenan di hati
klien semenjak suami pensiun. Klien merasa kesal karena ketika klien
bekerja keras mencari uang dengan berdagang suami klien tidak pernah
membantu dan hanya bermalas-malasan dan melakukan perilaku yang
tidak disukai klien.
C. Riwayat Kesehatan
1. Masalah kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini
Pada saat pengkajian secara subjektif klien tidak banyak mengeluhkan
kondisi kesehatannya. Klien merasa sehat, namun klien sering merasa
pegal-pegal di badan, tengkuk merasa tegang, akan tetapi tidak disertai
pusing dan kesulitan tidur di malam hari. Berdasarkan rekam medis
klien diketahui bahwa klien memiliki penyakit hipertensi. Hal tersebut
terlihat dari hasil pencatatan tekanan darah harian dan resep obat yang
diberikan oleh dokter Puskesmas. Pada rekam medis tersebut tercatat
bahwa klien mendapatkan obat antihipertensi amlodipin 10 mg yang
diminum satu kali sehari setiap pagi. Klien mengatakan bahwa selama
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
82
hidupnya klien tidak pernah sakit dan dibawa ke rumah sakit. Adapun
nenek R pernah merasakan badan tidak enak karena batuk pilek. Pada
saat melahirkan dulu, klien melahirkan di rumah dengan memanggil
bidan.
2. Masalah kesehatan keluarga/ keturunan
Ketika klien ditanya terkait masalah kesehatan yang dialami oleh
keluarganya klien menjawab kurang tahu. Hal tersebut dikarenakan
orang tua nenek R meninggal karena tua. Selain itu koien mengatakan
bahwa pada zaman dahulu orang tuanya tidak pernah memeriksakan
kesehatan ke rumah sakit dan pelayanan kesehatan karena pelayanan
kesehatan masih sangat terbatas. Kondisi kesehatan suami dan anakanaknya pun baik pada saat klien meninggalkan rumah. Tidak ada
anggota keluarganya yang sakit atau memiliki riwayat penyakit
keturunan.
D. Kebiasaan Sehari-hari
1. Biologis
a. Pola makan:
Berdasarkan observasi yang dilakukan diketahui bahwa nenek
makan 3 kali sehari dengan makanan yang disediakan panti.
Makan yang disediakan oleh pihak berupa nasi, sayur, lauk pauk,
dan buah yang dibagikan setiap pukul 07.00 untuk makan pagi,
12.00 untuk makan siang, dan jam 16.00 untuk makan sore. Hasil
observasi pada pola makan klien menunjukkan klien hanya makan
sedikit dengan porsi kecil. Hal ini terlihat dari jumlah nasi yang
diambil klien hanya satu centong pada makan pagi dan siang,
sedangkan untuk makan sore kien tidak pernah mengambil nasi.
Apabila nasi diambilkan petugas seringkali nasi tidak habis di
makan karena kebanyakan. Pola makan klien juga cukup menarik,
hal ini dikarenakan menu makanan pagi di makan oleh klien saat
siang, menu makanan siang di makan sore atau malam, dan menu
makanan sore di makan keesokan paginya. Nenek R juga
mengonsumsi makanan selingan selain makanan berat. Makanan
selingan seperti bubur kacang hijau biasanya diberikan setiap hari
selasa dan jumat seusai senam. Klien juga sesekali makan
makanan ringan apabila ada tamu yang memberikan kue atau
82esicul.
b. Pola minum:
Observasi juga dilakukan pada pola minum dan eliminasi nenek
R. Nenek R setiap hari minum air putih kurang lebih sebanyak
1950 cc. Hal ini dilihat dari setiap setelah makan nenek R selalu
minum air segelas kurang lebih 250 cc dan klien juga memiliki
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
83
stok air yang disimpan pada 2 botol air ukuran 600 cc yang
biasanya diminum pada jarak anatar waktu makan dan malam
hari. Minuman kesukaan klien adalah es teh tapi klien sangat
jarang minum es teh. Terkadang jika klien ingin minuman yang
manis klien minum teh hangat yang diseduh sendiri.
c. Pola tidur:
Klien mengatakan tidak memiliki masalah tidur. Klien terbiasa
mulai tidur jam 8 malam dan terbangun pada jam 4 pagiuntuk
mandi. Setelah mandi klien tidur kembali sembari menunggu
sholat shubuh dan terbangun untuk sholat shubuh pada jam 5
pagi. Kadang klien terbangun tengah malam untuk BAK namun
mudah tertidur kembali. Klien tidak pernah tidur pada siang hari.
d. Pola eliminasi (BAB/BAK):
Hasil observasi dan wawancara terkait pola eliminasi diketahui
bahwa nenek R memiliki pola BAB 1 kali setiap 2 hari. Nenek R
mengatakan setiap BAB tidak pernah merasa keras tetapi dulu
pernah mengalami BAB cair tapi tidak lebih dari 3 kali sehari.
Selain konsistensi feses yang padat lunak klien juga mengatakan
warna fesesnya biasanya coklat tua atau terkadang coklat
kekuningan. Nenek R juga tidak memiliki masalah pada pola
BAK. Klien biasanya BAK lebih dari 3 kali dalam sehari. Klien
juga tidak mengalami inkontinensia karena klien tidak pernah
mengompol dan mampu menahan sampai tiba di kamar mandi.
e. Aktifitas sehari-hari:
Berdasarkan hasil pengkajian diketahui pola aktivitas sehari-hari
klien tidak memiliki banyak variasi. Kegiatan yang biasa diikuti
nenek R adalah senam setiap selasa dan jumat akan tetapi saat
senam klien biasanya hanya duduk di tempat duduk yang
disediakan di lapangan dan hanya menggerakkan tangan hanya
sampai pertengahan kegiatan senam. Selain senam kien juga
mengikuti pengajian iqro. Selain itu klien juga mengikuti TAK
apabila ada mahasiswa keperawatan yang menyelenggarakan.
Selain itu nenek R juga selalu hadir di panggung gembira tetapi
tidak pernah sampai akhir dan hanya duduk saja. Menurut nenek
R, ia kurang menyukai kegiatan pangggung gembira yang isinya
hanya joget-joget saja. Selain kegiatan-kegiatan tersebut nenek R
lebih sering menghabiskan waktunya untuk duduk-duduk di
kamar ataupun di teras. Terkadang klien juga suka berjalan-jalan
sore ke depan panti.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
84
f. Rekreasi:
Sejak tinggal di panti klien tidak pernah pulang atau dijemput
pulang ketika lebaran.
2. Psikologis
a. Keadaan emosi:
Kondisi emosi nenek R sehari-hari terlihat stabil. Klien dapat
mengontrol emosi dan tidak suka beradu mulut dengan lansia
lainnya. Apabila ada lansia yang membicarakan dan mengejek
biasanya nenek R tidak terlalu ambil pusing dan tidak
membalasnya. Jika ada hal yang tidak disukainya hal yang biasa
dilakukan klien adalah merengutkan wajahnya, tetapi hal itu tidak
berlangsung lama. Jika berbicara tentang rumah dan anakanaknya terkadang nenek R terlihat sedih karena kangen dengan
keluarganya tetapi klien merasakan dilema karena tidak suka
dengan perilaku suaminya.
3. Sosial
a. Dukungan keluarga:
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara didapati hasil terkait
kondisi sosial nenek R yaitu selama di panti klien belum pernah
dijenguk keluarga karena tidak ada yang mengetahui
keberadaannya di panti.
b. Hubungan antar keluarga:
Hubungan antar keluarga khususnya dengan suami kurang
harmonis semenjak suami pensiun.
c. Hubungan dengan orang lain:
Selama di panti klien kadang-kadang mengobrol dan jarang
bertengkar dengan lansia lainnya. Bukan berarti hal tersebut
membuat nenek R tidak memiliki orang yang tidak suka kepada
dirinya. Ada beberapa lansia yang tidak suka dengan nenek R
tetapi nenek R tidak pernah memikirkannya.
4. Spiritual/ Kultural
a. Pelaksanaan ibadah:
Sholat 5 waktu dilaksanakan awal waktu ketika selesai adzan
kecuali shubuh, kadang agak kesiangan. Sholat dilakukan di
dalam kamar sambil duduk di tempat tidur. Klien juga mengikuti
pengajian iqra yang biasanya didatangi oleh ustadzah ke
kamarnya.
b. Keyakinan tentang kesehatan:
Nenek R merasa dirinya sehat wal afiat, tidak ada keluhan
kesehatan dan masalah penyakit sehingga tidak perlu minum obat.
Menurut nenek R tekanan darah tinggi bukan penyakit tapi hal
biasa pada orang tua.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
85
E. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital
a. Keadaan umum
: baik
b. Kesadaran
: compos mentis
c. Suhu
: 36,8oC
: 96 x/menit
d. Nadi
e. Tekanan darah
: 150/80 mmHg
f. Pernapasan
: 21 x/menit
g. Tinggi badan
: 143 cm
: 45 kg
h. Berat badan
2. Kebersihan Perorangan
a. Kepala
Pemeriksaan fisik head-to-toe pada bagian kepala meliputi
pemeriksaan bentuk kepala, rambut, mata, hidung, telinga, dan
mulut. Bentuk kepala nenek R bulat simetris dan tidak ditemukan
peubahan bentuk, lesi, nyeri, ataupun bengkak. Sejumlah 80%
rambut klien sudah memutih atau beruban dengan pesebaran
cukup merata dan kondisi kebersihan rambut bersih. Tekstur
rambut klien halus, tidak bercabang, tidak ditemukan kutu dan
rambut kloien hanya seleher. Pada meriksaan mata didatapi hasil
pupil mata klien memiliki refleks pada cahaya dan refleks pupil
mata kanan dan kiri isokor. Sklera mata klien tidak ikterik dan
pada konjungtiva mata klien tidak menunjukkan tanda-tanda
anemia. Pada pemeriksaan telinga klien tidak ditemukan serumen
yang mengeras atau pun yang mengental dan tidak ditemukan
juga benda asing. Pada saat dipalpasi pada bagian belakang
telinga tidak ditemukan benjolan dan klien tidak merasakan sakit
dan tidak merasakan telinga berdenging. Pada pemeriksaan
hidung didapati hasil bahwa hidung klien bersih, tidak ditemukan
kotoran hidung, benda asing, dan sekret. Pada pemeriksaan mulut
diketahui bahwa mukosa mulut nenek R lembab dan berwarna
pink, lidah berwarna merah muda keputihan, dan tidak ditemukan
lesi atau sariawan. Kondisi gigi nenek R sudah ompong sebagian.
Klien tidak memiliki gigi berlubang tetapi pada beberapa gigi
didapati karang gigi. Ketika diperintahkan untuk menelan air,
klien tidak merasa nyeri ketika menelan.
b. Leher
Pada pemeriksaan leher secara inspeksi tidak didapati bentuk
abnormal pada leher dan tulang leher. Distensi vena jugularis juga
tidak tampak pada leher klien. Pada leher tidak ditemukan
benjolan kelenjar getah bening atau masa saat dilakukan palpasi.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
86
Saat pemeriksaan bagian leher juga tidak ditemukan lesi dan
bengkak. Pada saat dipalpasi pada bagian tengkuk belakang otot
yang teraba cukup tegang dan klien mengeluh nyeri pada bagian
tersebut. Posisi trakea klien normal berada pada posisi midline.
Pada saat diperiksa terkait pergerakan leher diketahui bahwa leher
klien dapat bergerak dengan baik, seperti fleksi, ekstensi,
hiperekstensi, dan rotasi.
c. Dada/thorax
Pada bagian dada dilakukan pemeriksaan fisik morfologi dada
serta pemeriksaan fisik jantung dan paru. Secara inspeksi bagian
dada klien tampak bersih dan terlihat hiperpigmentasi dibeberapa
bagian kulit dada. Bentuk konfugurasi dada klien menunjukkan
sedikit perubahan kifosis dimana timbul sedikit elevasi pada
skapula. Konfigurasi dada klien tidak menunjukkan barrel chest,
pigeon chest maupun funnel chest. Pada saat melakukan inspeksi
pada bagian prekordium ditemukan bentuk prekordium yang
sedikit cembung. Selain inspeksi prekordium, juga dilakukan
inspeksi sekaligus palpasi pada iktus kordis (denyut apeks
jantung) dengan posisi klien berbaring sambil meraba arteri
karotis komunis untuk merasakan adanya gelombang sistolik. Hal
ini dilakukan karena iktus kordis hanya ternyadi selama periode
sistolik. Hasil inspeksi iktus kordis menunjukkan iktus kordis
klien meluas ke arah lateral-bawah dari midklavikular kiri. Pada
saat mempalpasi jantung tidak dirasakan adanya getaran jantung
maupun getaran pada area trakea. Pada pemeriksaan dengan
melakukan perkusi untuk menentukan batas jantung ditemukan
suara redup terdapat pada batas kiri jantung bagian atas pada
interkosta kedua agak mengarah ke bagian lateral dan batas kiri
bawah pada interkosta kelima agak ke lateral bawah midklavikula
kiri, sedangkan pada batas kanan jantung agak sulit dideteksi
karena suara perkusi kurang jelas. Pada saat mengauskultasi
jantung didapati bahwa bunyi jantung 1 klien normal akan tetapi
bunyi jantung 2 intensitasnya lebih tinggi. Tidak ditemukan bunyi
jantung 3 dan 4. Irama jantung yang terdengar tidak teratur
(aritmia). Pada auskultasi paru suara paru yang terdengar
86esicular dan tidak ditemukan suara ronchi dan wheezing.
d. Abdomen
Pemeriksaan abdomen menujukkan bahwa keempat kuadran
abdomen bersih, tidak terdapat lesi, terdapat bekas garis striae,
dan perut tidak tampak asites. Pada saat di auskultasi tidak
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
87
ditemukan bunyi bruit dan bising usus klien hanya 3 kali per
menit. Pada saat di palpasi pada keempat kuadran klien tidak
mengeluhkan nyeri. Pada saat pemeriksaan kandung kemih di
area simfisis pubis hasil palpasi menunjukkan simfisis tidak
kencang atau menegang dan hasil perkusi didapati suara
hipersonor.
e. Muskuloskeletal
Pada pemeriksaan muskuloskletal menunjukkan keadaan umum
tungkai atas dan bawah klien bersih. Tidak ditemukan kontraktur
dan edema pada tungkai klien. Hasil pemeriksaan kekuaran otot
pada klien menunjukan bahwa kekuatan otot klien pada seluruh
anggota gerak tubuh dapat bergerak melawan tahan, akan tetapi
kekuatannya berkurang yaitu 4444 4444
.
.
4444 4444
Skor tersebut menunjukkan bahwa kekuatan otot yang dimiliki
klien masih baik
F. Informasi Penunjang
1. Diagnosa Medis
Hipertensi
2. Laboratorium
Pada pengukuran kadar gula darah sewaktu (GDS) didapatkan hasil
kadar GDS klien sejumlah 121 gr/dL. Hasil pengukuran asam urat
menunjukkan bahwa kadar asam urat yang dimiliki klien adalah 3,5
gr/dL. Pengukuran kolesterol pada klien menunjukkan hasil sejumlah
189 gr/dL. Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas disimpulkan nilai
laboratorium klien termasuk dalam batas normal.
3. Terapi Medis
Amlodipin 10 mg 1x1
4. Pengkajian Geriatri
MMSE: 24 (normal 24-30)
MFS: 30 (risiko jatuh rendah 25-50)
Barthel Index:20 (mandiri: 20)
BBT: 44 (risiko gangguan keseimbangan rendah & tidak perlu alat
bantu 41-56)
GDS: 3 (normal 0-4)
5. Keadaan Lingkungan
Kamar nenek R cukup terang, lantai tidak licin, kamar mandi dekat
dengan tempat tidur dan terdapat handrail dalam kamar mandi, namun
tidak terdapat karpet antiselip di dalam kamar mandi.
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
88
Lampiran Pengkajian Geriatri
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
89
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
90
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
91
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
92
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
93
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
94
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
95
Lampiran Analisa Data
Analisa Data
Data
Masalah Keperawatan
Data Subjektif:
Risiko Kerusakan Fungsi
Kardiovaskuler
 Nenek R mengatakan sehat, tidak pusing,
tidak ada masalah untuk tidur
 Menurut nenek R tekanan darah tinggi bukan
penyakit tapi hal biasa pada orang tua
Data Objektif
 Usia ≥ 65 tahun
 TD 150/80 mmHg
 Irama jantung aritmia
 Pelebaran batas jantung kiri ke arah lateral
bawah
 Peningkatan intensitas bunyi jantung S2
 Kurang pengetahuan terkait modifikasi
faktor risiko
 Gaya hidup monoton dan aktivitas kurang
efektif
 Skor Kategori Penilaian Perkembangan
Penyakit Jantung dan Serangan Jantung:
Menuju Risiko Tinggi
Data Subjektif:
Risiko Kesepian
 Nenek R sering merasa kesepian
 Menurut nenek R ia adalah orang yang
pendiam dan tidak banyak bicara agar tidak
menimbulkan masalah dengan orang lain
Data Objektif
 Klien tidak memiliki teman dekat sehingga
tidak memiliki teman bicara yang dapat
menjadi tempat mencurahkan isi perasaan.
 Klien juga terlihat lebih sering melakukan
kegiatan sehari-hari sendiri.
 Ketika mengikuti senam ataupun panggung
gembira klien tidak mengobrol dengan lansia
lain
Data Subjektif:
Kerusakan Integritas
Kulit
 Nenek R mengeluh gatal dan perih di area
siku
 Nenek R mengatakan selama tinggal di panti
belum pernah gatal seperti ini
Data Objektif
 Terdapat beberapa lesi kemerahan yang
dirasa gatal dan perih oleh klien di bagian
kulit lengan bawah di area dekat dengan siku
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
96
Lampiran Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosis
Keperawatan
Domain 4:
Aktivitas/ Istirahat
Kelas 4:
Respon
Kardiovaskular/
Pulmonal
Risiko gangguan
fungsi
kardivaskular/
pulmonal (00239)
NOC
Domain II :
Kesehatan Fisiologis
Kelas E:
Kardiopulmonal
Hasil :
0414 Status kardiopulmonal
Indikator:
 041401 TD sistolik
menurun
 041402 TD diastolik
menurun
 041403 Pulsasi nadi
normal
NIC
Domain 2:
Fisiologis: Kompleks
Kelas N:
Manajemen Perfusi Jaringan
Intervensi:
4050 Manajemen Risiko Jantung
- Melakukan pendidikan
terkait hipertensi
- Memonitoring tekanan
darah
- Mengontrol pemberian
obat antihipertensi
- Memotivasi untuk
meningkatkan aktivitas
fisik
- Memonitoring asupan
makanan
Domain 1:
Fisiologis: Dasar
Kelas E:
Promosi Kenyamanan Fisik
Intervensi:
1480 Massage
- Melakukan swedish
massage sebanyak 12 sesi
dengan durasi 10 menit
Domain12:
Kenyaman
Kelas 3:
Kenyamanan Sosial
Risiko kesepian
(00054)
Domain III:
Kesehatan Psikososial
Kelas P:
Interaksi sosial
Hasil:
1503 Keterlibatan sosial
Indikator:
 150301 interaksi dengan
teman dekat meningkat
 150311 mengikuti
kegiatan yang
menyenangkan
Domain 3: Perilaku
Kelas Q: Peningkatan
komunikasi
Intervensi:
4920 Mendengarkan aktif
- Melakukan aktifitas
mengobrol
- Melakukan aktifitas
reminiscene
5100 Peningkatan sosialisasi
- Memotivasi klien untuk
terlibat dalam aktivitas
kelompok
- Membantu hubungan atau
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
97
interaksi dengan orang
yang memiliki minat yang
sama
Domain 11:
Keamanan/Perlindu
ngan
Kelas 2:
Cedera fisik
Kerusakan
Integritas Kulit
(00046)
Domain II :
Kesehatan Fisiologis
Kelas L:
Integritas Jaringan
Hasil:
1101 Integritas jaringan: kulit
& membran mukosa
Indikator:
 110115 Berkurangnya lesi
pada kulit
110121 berkurangnya eritema
pada kulit
Domain 3: Perilaku
Kelas S:
Edukasi Pasien
Intervensi:
5510 Edukasi Kesehatan
- Mengajarkan cara mandi
yang benar
- Memberikan sabun
dengan pH seimbang dan
kelembapan tinggi
- Mengajarkan perawatan
kulit setelah mandi
dengan baby oil
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
98
BIODATA PENELITI
Nama
: Santi Ayu Lestari
Tempat, tanggal lahir
: Negara, 28 Agustus 1992
Alamat
: Jl. Kesatrian IX rt.017/rw.003 blok. M, no. 9, Kebon
Manggis, Matraman, Jakarta Timur 13150
No. Handphone
: 085776461482
email
: [email protected]
Riwayat pendidikan
:
S1
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Th Lulus
2015
SMA
SMA Negeri 31 Jakarta
Th Lulus
2010
SMP
SMP Negeri 7 Jakarta
Th Lulus
2007
SD
SD No. 15 Dauh Puri, Denpasar Barat
Th Lulus
2004
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan ..., Santi Ayu Lestari, FIK UI, 2016
Download