BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus (DM

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah
penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh
banyak faktor dengan gejala berupa hiperglikemia kronis dan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini
merupakan akibat dari adanya defisiensi sekresi hormon insulin, gangguan
aktivitas insulin maupun defisiensi transportasi glukosa.
DM terdiri atas dua tipe yaitu tipe 1 yang disebabkan keturunan dan tipe 2
yang disebabkan life style atau gaya hidup. Secara umum, hampir 80% prevalensi
diabetes melitus adalah DM tipe 2. Ini berarti gaya hidup/ life style yang tidak
sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi DM (Kemenkes RI,
2011a).
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi DM
di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Penyebab kematian akibat DM pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu
14,7%, sedangkan di daerah pedesaan DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%
(Kemenkes RI, 2011a). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes di Indonesia berdasarkan
wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Diabetes melitus
terdiagnosis dokter atau dengan gejala sebesar 2,1 persen. Prevalensi diabetes
2
melitus yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI
Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi
diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi
Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa
Tenggara Timur (3,3%) (Kemenkes RI, 2013).
Diabetes melitus merupakan faktor risiko penting dalam perkembangan
tuberkulosis. Frekuensi pasien diabetes dengan tuberkulosis dilaporkan berkisar
antara 10-15%, dan prevalensi infeksi tuberkulosis ini 2-5 kali lebih tinggi pada
pasien diabetes daripada kontrol atau individu yang tidak menderita diabetes
melitus (Yamashiro et al., 2005). Pada pengamatan klinis disebutkan bahwa
mekanisme terjadinya peningkatan kerentanan terhadap tuberkulosis pada
penderita DM belum sepenuhnya dimengerti. Kejadian tuberkulosis meningkat
seiring
dengan
meningkatnya
kejadian
diabetes
dan
secara
signifikan
menyebabkan peningkatan kematian. Dilaporkan juga terjadi peningkatan
kejadian reaktivasi lesi tuberkulosis pada penderita diabetes. Survei yang
dilakukan di Philadelphia disebutkan bahwa sekitar 8,4% dari 3.106 pasien
diabetes mengalami tuberkulosis paru dibanding 4,3% dari 71.757 individu
pekerja sehat. Tuberkulosis bisa terjadi sekitar 17% pada penderita yang
mengalami diabetes lebih dari 10 tahun dibandingkan dengan 5% pada penderita
yang mengalami diabetes kurang dari 10 tahun. Prevalensi tuberkulosis dijumpai
tinggi pada penderita yang menggunakan insulin 40 units per hari (Guptan dan
Shah, 2000).
3
Indonesia sekarang berada pada ranking ke lima negara dengan beban
tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah
sebesar 660.000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus
baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per
tahunnya. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru
(lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB
dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR-TB
setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2011b) . Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013
menunjukkan bahwa Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB oleh
tenaga kesehatan tahun 2007 dan 2013 tidak berbeda yaitu sebesar 0,4%. Lima
provinsi dengan TB tertinggi adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo,
Banten, dan Papua Barat. Penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan,
44,4 persen diobati dengan obat program (kemenkes RI, 2013).
Upaya untuk mengontrol infeksi M.tuberculosis diperlukan koordinasi dari
respons imun natural dan adaptif. Kontrol tersebut meliputi juga resolusi terhadap
terhadap infeksi yang meliputi patogen yang masih bertahan hidup di dalam
makrofag atau membentuk granuloma berupa struktur dinamik yang terdiri atas
limfosit aktif dan makrofag yang terus menerus distimulasi
(Ma’at, 2009).
Walaupun infeksi akut dapat dikontrol oleh sistem imun yang sehat, akan tetapi
laten subkronis atau infeksi kronis masih banyak terjadi. Netralisasi terhadap
mediator imun seperti IFN- atau TNF, hambatan terhadap iNOS dan penekanan
terhadap sel T menyebabkan infeksi tuberkulosis semakin berat. Untuk dapat
mengatasi infeksi tersebut diperlukan suatu kerja sama yang berkelanjutan dari
4
aktivitas sistem imun mulai dari aktivitas sel fagosit sampai aktivitas limfosit T
(Scanga et al., 2000).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan hanya berfokus pada peranan
dari netrofil, seperti migrasi netrofil ke jaringan yang mengalami inflamasi,
kemudian proses fagositosis
dan pembunuhan terhadap bakteri tersebut oleh
netrofil, karena infeksi yang disebabkan oleh bakteri ekstraseluler sangat sering
terjadi pada penderita diabetes. Semua fungsi netrofil yang diperoleh dari
pengamatan tersebut menunjukkan adanya gangguan berat pada penderita diabetes
(Yamashiro et al., 2005). Pada studi eksperimental yang dilakukan pada mencit
diberi streptozotocin untuk membuat tikus diabetes dan diinfeksikan kuman
M.tuberculosis secara intravena, menunjukkan adanya penurunan kadar IL-12 dan
IFN- pada organ paru, hati dan limfe pada tikus diabetes dibandingkan dengan
kontrol tikus yang tidak diabetes. Selain itu juga terjadi penurunan ekspresi
inducible nitric oxide synthase (iNOS) dibandingkan dengan kontrol tikus yang
tidak diabetes. Pada mencit diabetes tampak adanya peningkatan jumlah
M.tuberculosis yang hidup dalam organ paru, hati dan limfe (Yamashiro et al.,
2005).
Interaksi antara kuman Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis)
dengan sel tubuh manusia cukup komplek, walaupun beberapa studi yang
mendalam telah dilakukan, namun belum sepenuhnya bisa diungkap. Toll-like
receptors (TLR) diketahui berperan dalam pengenalan M.tuberculosis. TLR yang
terlibat dalam pengenalan M.tuberculosis meliputi TLR2, TLR4, TLR9 , dan
kemungkinan juga TLR8. TLR2 membentuk heterodimer dengan TLR1 atau
5
TLR6 untuk peranannya dalam pengenalan glikolipid dinding sel mikobakterium
seperti LAM, LM, glikoprotein
38-kDa dan 19-kDa, phosphatidylinositol
mannoside (PIM), triacylated lipoproteins (TLR2/TLR1), atau diacylated
lipoproteins (TLR2/TLR6). TLR2 diyakini berperan penting dalam tahap awal
pertahanan tubuh alamiah melalui efek rangsangan produksi TNF- oleh
makrofag. TLR2 bersama dengan TLR6 ditemukan berperan dalam stimulasi
produksi IL-1β. TLR2 juga berperan untuk pengeluaran IL-12 dalam makrofag
namun tidak pada sel dendritik (Kleinnijenhuis et al., 2011). Penelitian pada
mencit yang mengalami defisiensi TLR2 menunjukkan pembentukan granuloma
yang tidak sempurna, dan ketika diinfeksikan dengan M.tuberculosis dosis tinggi,
terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi dibandingkan dengan mencit
normal. Mencit dengan defisiensi TLR2 juga menunjukkan gangguan pada
kontrol infeksi kronik M.tuberculosis.(Drennan et al., 2004).
Pada penderita DM tipe 1 penelitian menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan ekspresi mRNA TLR2 dan TLR4 permukaan monosit darah tepi
dibandingkan dengan individu sehat. Target akhir TLR seperti nuclear factor B,
myeloid differentiation factor
88 (MyD 88), Trif, dan phosphorylated IL-1
receptor-associated kinase secara signifikan meningkat pada diabetes tipe 1.
Terjadi peningkatan TNF- dan IL-1β pada penderita tersebut. Ekspresi TLR2
dan TLR4
secara signifikan berhubungan dengan kadar haemoglobin yang
terglikosilasi (Devaraj et al., 2008). Keadaan serupa ditemukan pada penderita
DM tipe 2 dengan memeriksa pada darah tepi, dikemukakan bahwa terjadi
peningkatan respon sitokin tipe 1 (IL-12, IL-2, dan IFN-) dan sitokin alamiah
6
(IL-1β, IL-6, TNF-, IL-8, dan granulocyte monocyte-CSF) pada DM tipe 2 yang
mengalami tuberkulosis dibandingkan dengan penderita tuberkulosis tanpa DM.
Sitokin tersebut secara konsisten dan signifikan meningkat pada penderita DM
dengan hiperglikemia kronis (Restrepo et al., 2008). Studi mengenai ekspresi
TLR2 pada DM dengan infeksi M.tuberculosis pada manusia maupun pada
binatang belum pernah diungkap, juga belum ada data mengenai ekspresi TLR2
pada jaringan paru penderita DM dengan infeksi kuman mikobakterium.
Diasumsikan bahwa terjadi peningkatan ekspresi TLR khususnnya TLR2 pada
individu DM dengan infeksi M.tuberculosis. Hal ini mungkin disebabkan
banyaknya faktor inflamasi yang berperan sebagai ligan dari TLR pada darah tepi
yang dapat memacu peningkatan ekspresi TLR, namun di satu sisi ekspresi TLR
pada jaringan paru juga akan mengalami peningkatan namun tidak efektif dalam
perannya dalam memperkenalkan kuman ke sel fagositosis.
Fagositosis merupakan tahapan penting dari sistem ketahanan tubuh
terhadap mikobakterium, baik untuk tujuan mematikan patogen maupun
mendegradasi patogen dan selanjutnya mempresentasikan peptide patogen ke
limfosit T. Pengenalan TLR pada patogen berakibat ekspresi gen, seperti sitokin
inflamasi dan molekul ko-stimulator. Fagositosis patogen yang dilanjutkan
dengan presentasi peptida bersama dengan ekspresi gen sitokin inflamasi dan
molekul ko-stimulator membangkitkan imunitas adaptif yang bersifat antigen
spesifik (Blander dan Medzhitov, 2004). TLR penting dalam proses pembunuhan
mikobakterium intraseluler oleh makrofag melalui induksi antimicrobial peptide
cathelicidin. Polymorphism TLR secara signifikan berhubungan dengan penyakit
7
tuberkulosis pada manusia. Pada keadaan M.tuberculosis hidup lama dalam sel
jaringan inangnya, diperkirakan bahwa bagian patogen tersebut memproduksi
faktor virulens seperti phosphatase SapM dan protein kinase PknG, menyusun
mekanisme
dengan
memanfaatkan
molekul
inangnya
untuk
menjaga
kelangsungan hidupnya di dalam sel. Pada analisis komposisi protein dari
fagosom dengan mikobakterial menunjukkan bahwa adanya protein eksklusif
yang sangat kuat berperan dalam mempertahankan hidup M.tuberculosis dalam
fagosom. Protein tersebut diberi nama TACO (tryptophan-aspartatecontaining
coat protein) yang sekarang disebut sebagai Coronin-1. Pada penderita
tuberkulosis aktif dan tuberkulosis laten menunjukkan adanya peningkatan kadar
Coronin-1A dibandingkan dengan individu sehat (Constantoulakis et al., 2010).
Belum ada studi mengenai protein ini pada diabetes dengan infeksi M.tuberculosis
baik pada manusia maupun pada binatang.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan:
1.2.1 Apakah ekspresi mRNA TLR2 pada jaringan paru mencit Balb/c yang
menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa menderita
DM yang terinfeksi M.tuberculosis?
1.2.2 Apakah kadar Coronin-1A pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita
DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa DM yang terinfeksi
M.tuberculosis?
8
1.2.3 Apakah bacterial load pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita
DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa menderita DM yang
terinfeksi M.tuberculosis?
1.2.4 Apakah
terdapat hubungan ekspresi mRNA TLR2 dan bacterial load
jaringan paru mencit Balb/c dengan DM yang terinfeksi M.tuberculosis?
1.2.5 Apakah terdapat hubungan kadar Coronin-1A dan bacterial load jaringan
paru mencit Balb/c dengan DM yang terinfeksi M.tuberculosis?
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1
Tujuan umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk menjelaskan mekanisme perubahan
respon imunitas terhadap M.tuberculosis melalui peran TLR2 dan Coronin-1A
pada mencit yang menderita DM.
1.3.2
Tujuan khusus
1.3.2.1 Untuk membuktikan adanya ekspresi mRNA TLR2 pada jaringan paru
mencit Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan
mencit tanpa DM yang terinfeksi M.tuberculosis
1.3.2.2 Untuk membuktikan adanya kadar Coronin-1A pada jaringan paru mencit
Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa
DM yang terinfeksi M.tuberculosis
1.3.2.3 Untuk membuktikan adanya bacterial load pada jaringan paru mencit
Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa
DM yang terinfeksi M.tuberculosis.
9
1.3.2.4 Untuk membuktikan adanya hubungan antara ekspresi mRNA dan
bacterial load jaringan paru mencit Balb/c dengan DM yang terinfeksi
M.tuberculosis.
1.3.2.5 Untuk membuktikan adanya hubungan antara kadar Coronin-1A dan
bacterial load jaringan paru mencit Balb/c dengan DM yang terinfeksi
M.tuberculosis.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1
Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi pemahaman mendalam
terjadinya peningkatan bacterial load jaringan paru pada infeksi M.tuberculosis
dengan DM melalui mekanisme fagositosis dan peran TLR2 dalam tahap awal
innate immunity sehingga berguna bagi klinisi untuk memperkaya khasanah ilmu
dalam pemahaman secara teoritis.
1.4.2
Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai acuan oleh para klinisi dalam
memberikan edukasi kepada penderita tuberkulosis paru dengan DM maupun
tanpa DM agar dapat menjaga kualitas hidupnya lebih lama dengan jalan
mengontrol kadar gula darah atau haemoglobin yang terglikosilasi sehingga
memperlambat terjadinya kerusakan paru yang berlebih akibat dari gangguan
respon imun seluler khususnya proses fagositosis.
Download