PELUANG DAN TANTANGAN PENDIDIKAN PUBLIC RELATIONS PROFESIONAL: STUDI KASUS DI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Sri Hastjarjo Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret [email protected] ABSTRACT The introduction of Public Relations professional standar in Indonesia—known as the SKKNI Bidang Kehumasan—in 2008 have set the standard of competences that needed to be fullfil by every PR practitioners in Indonesia. Although there are nomerous higher education institution that offers the diploma and bachelor degree in Public Relations, but there is no guaranty that the graduates from this institutions will meet the competence standards decreed by the SKKNI. Using the Diploma III Public Relations in Sebelas Maret University as a case, this paper aims to indentified the opportunities and challenges that are faced by the higher education institution in preparing their student to become PR professionals. The studi finds that there are some opportunities, including: the number of students enrolled in the program, the resources that are available, and the motivation by the Government to the education istitution to become a serticification isntitution (LSP). The challanges faced by the higher education institution are: the curriculum that is not comply with the SKKNI, the instructors that haven sertified as assessors, and the unreadiness to become a LSP. Keywords: public relations, professional sertification, higher education institution 1. PENDAHULUAN Tujuan utama dari setiap pendidikan profesional adalah untuk menghasilkan praktisi yang memiliki kompetensi tinggi. Kompetensi tersebut ditentukan oleh pengetahuan dan ketrampilan yang bisa dipahami sebagai dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan proposional dan pengetahuan prosedural (Ryle, 1976). Hal ini sangat jelas terlihat di dalam pendidikan profesi Public Relations (PR). Public Relations Officer (PRO) profesional dituntut untuk memahami dan mengusai berrbagai proposisi (teori/konsep) dan bisa melakukan berbagai macam ketrampilan— baik ketrampilan intelektual maupun fisik, atau bagaimana mendemonstrasikan seperangkat kompetensi (Gagne, 1974). Sebuah program pendidikan yang idel menuntut adanya keseimbangan antara kajian akademik, kapasitas dan kemampuan yang palikatif, dan konteks lingkungan kerja yang relevan untuk mensimulasikan (deBurg, 2003; Utari 2004). Salah satu persoalan utama yang dihadapi oleh kebanyakan lembaga pendidikan PR profesional adalah sekalipun mahasiswa dilengkapi dengan pengetahuan teoritis mengenai PR, namun seringkali mereka tidak memiliki pengetahuan praktis dan kerampilan yang dituntut oleh dunia kerja atau industri. Kebanyakan lembaga pendidikan masih menekankan kepada proses pembelajaran yang mengutamakan metode tatap muka dalam konteks kelas. Di dalam lingkungan belajar semacam itu biaanya tidak bisa dicapai pengalaman belajar mendalam, atau “deep learning” di mana mahasiswa mendapat pengalaman belajar yang terstruktur, ada keterlibatan personal, dan dapat memenuhi tuntutan industri (Biggs, 1987). Terkait dengan profesi di bidang PR, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menetakpan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sektor Komunikasi dan Informatika Bidang Kehumasan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 39/MEN/II/2008. Sekalipun setalh hampir 8 tahun diundangkan, namun SKKNI bidang Kehumasan ini ternyata belum banyak dijadikan acuan oleh penyelenggara pendidikan di bidang PR, baik di dalam menentukan kurikulum, learning outcomes, profil lulusan maupun metode pembelajarannya. Salah satu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program studi Kehumasan atau PR adalah Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). UNS memiliki dua macam program yang ditawarkan, yaitu: Program Diploima III dengan minat utama Kehumasan (PR), dan Program S1 Ilmu Komunikasi dengan Spesialisasi Public Relations. Tulisan ini berusahan untuk mengkaji peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Universitas Sebelas Maret terkait tuntutan mengimplementasikan SKKNI bidang Kehumasan bagi mahasiswa dan lulusannya. 2. KAJIAN PUSTAKA Kajian dan studi yang menelaah bagaimana pendidikan profesional Humas (PR) di perguruan tinggi telah banyak dilakukan di berbagai negara. Shen dan Toth (2013) menemukan bahwa para praktisi PR di Amerika Serikat menginginkan agar mahasiswa dilengkapi dengan pengetahuan dan skill bisnis yang memadai untuk siap terjun ke dunia kerja. Sementara itu, Fitch (2014) melakukan penelitian di perguruan-pergurtuan tinggi di Australia, dan menemukan bahwa ada peran besar yang dilakukan oleh organisasi profesi PR, yaitu Public Relations Institute of Australia (PRIA), di dalam menentukan proses akreditasi profesi bagi mahasiswa dan lulusan dari perguruan tinggi di Australia—artinya, penentuan standar kmpetensi mahasiswa tidak semata-mata ditentukan oleh kampus, melainkan harus melibatkan organisasi profesi. Breit dan Demetrious (2010) meneliti para praktisi PR di Australia dan Selandia Baru, yaitu mereka yang tergabung di dalam organisasi profesi PRIA, Public Relations Institute of New Zealand (PRINZ), dan Global Alliance (GA); dan menemukan bahwa sering terjadi konflik antara penerapan etika komuikasi di dalam melakukan profesi PR. Hal ini menjadi catatan penting untuk dibahas dan dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan profesional di bidang PR yang diselengarakan oleh perguruan tinggi. Li et al. (2012) melakukan penelitian di antara para praktisi PR di China; dalam riset itu mereka menemukan bahwa: The survey results suggest six dimensions of perceived standards of professional performance: (1) role and function in organizational strategic planning, (2) sufficiency in professional training and preparedness, (3) gender and racial equity, (4) situational constraints, (5) licensing and organizational support, and (6) participation in the organizational decision-making team. Four dimensions of public relations roles were also identified by the survey participants: (1) brand promotion facilitator, (2) public information specialist, (3) media relations counsel, and (4) conflict management expert. Welch (2015) melakukan penelitian dengan pendekatan historis mengenai bagaimana topik komunikasi internal (internal communication) diajarkan di dalam pendidikan profesional PR di perguruan tinggi maupun di lembaga pendidikan/pelatihan di Inggris. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa ternyata ada inkonsistensi di dalam pemberian topik komunikasi internal ini. Pada masa-masa awal perkembangan pendidikan PR, topik komunikasi internal mendapatkan posisi yang pentingt di dalam kurikulum. Namun dengan berjalannya waktu, pada perkembangan terakhir didapati bahwa topik komunikasi internal sudah tidak lagi mendapatkan penekanan, bahkan dalam beberapa kasus sudah dihapus dari kurikulum pendidikan profesi PR di Inggris. Terkait dengan kurikulum pendidikan profesi PR, Garcia (2010) memberikan saran untuk memasukan muatan pengetahuan dan manajemen dan praktek bisnis ke dalam kurikulum. Kajian yang dilakukannya atas berbagai pendidikan profesi PR di berbagai kampus di Amerika Serikat ternyata mengabaikan topik yang dipandang penting ini, terutama untuk program pendidikan International Public Relations. Sementara itu, Freberga, Remund dan Keltner-Previsc (2013) menyatakan pentingnya melibatkan pandangan dari pihak eksternal kampus yang menyelenggarakan pendidikan profesi PR untuk mendapatkan perspektif dari praksi PR, perspektif klien, dan perspektif praktek/implementasi di lapangan kerja. Dalam kasus Indonesia, standar kompetensi profesi PR (Kehumasan) telah ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui SKKNI Sektor Komunikasi dan Informatika Bidang Kehumasan. Dengan mengacu kepada SKKNI tersebut, telah disusun Standar Kompetensi Humas Profesional (Jebarus dan Basya, 2013). Berdasar strandar tersebut, ditetapkan 4 (empat) jenjang kualifikasi profesi Humas, yaitu: Humas Junior, Humas Madya, Humas Ahli, dan Humas Managerial. Sedangkan dari sisi sertifikasi, ditetapkan jenjang level kompetensi dalam kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia adalah sebagai berikut: Humas Junior (Sertifikat III), Humas Madya (Sertifikat IV), Humas Ahli (Sertifikat V), dan Humas Manajerial (Serifikat VI). Dalam kaitan dengan jenjang pendidikan di perguran tinggi, maka lulusan program Diploma III Kehumasan mestinya memiliki kompetensi yang setara dengan Humas Manajerial (Sertifikat VI). Namun, ketika diamati kurikulum yang digunakan di dalam Program Pendidikan Diploma DIII bidang Kehumasan, ternyata banyak ketidaksinkronan dengan tuntutan standar kompetensi yang diatur di dalam SKKNI. Berdasar uraian di atas, maka papaer ini berusaha menelaah bagaimana peluang dan tantangan yang dihadapi oleh program pendidikan profesi Humas di Universitas Sebelas Maret terkait dengan tuntutan SKKNI. 3. PEMBAHASAN 1. Kurikulum Program Diploma III Konsentrasi Public Relations FISIP UNS Program Pendidikan Komunikasi Terapan pada FISIP-UNS dibuka berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen dan Kebudayaan Republik Indonesia, No. 348/DIKTI/Kep/1999. Dari Surat Keputusan tersebut kemudian dikembangkan kedalam tiga konsentrasi keahlihan sesuai dengan prediksi kebutuhan pasar akan tenaga ahli dibidang Komunikasi Terapan, yang meliputi Bidang Konsentrasi Broadcasting (Penyiaran), Advertising (Periklanan) dan Public Relations (Kehumasan). Latar belakang dibukanya bidang konsentrasi tersebut adalah bahwa kebutuhan akan tenaga terampil (Ahli Madya) bidang komunikasi dan bidang-bidang terkiat lainnya, semakin hari dirasa semakin meningkat. Kebutuhan tersebut sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan industri komunikasi di Indonesia. Sejak dibuka tahun 1999, Program Diploma Komunikasi Terapan FISIP UNS setiap tahun menerima 100 mahasiswa baru yang mengambil Bidang Konsentrasi PR. Dengan sistem kurikulum paket, di mana dipastikan mahasiswa bisa lulus dalam waktu 3 tahun, maka sejak tahun 1999, Prodi ini telah meluluskan lebih dari 1.300 orang alumni yang berhak menyandang gelar Ahli Madya (Amd.) di bidang Kehumasan. Susunan kurikulum yang dimiliki oleh Program Diploma III Konsentrasi Public Relations FISIP UNS adalah sebagai berikut: Tabel 1. Daftar Mata Kuliah Prodi DIII PR FISIP UNS Semester 1 (Total: 22 SKS) 1. Pendidikan Agama 2. Bahasa Indonesia 3. Bahasa Inggris I 4. Dasar-dasar Komunikasi 5. Aplikasi Komputer Komunikasi 6. Etika Komunikasi 7. Fotografi 8. Pendidikan Pancasila Semester 3 (Total: 21 SKS) 1. Pengantar Public Relations 2. Manajemen Public Relations 3. Teknik Presentasi dan Negosiasi 4. Periklanan dan Publisitas 5. Komunikasi Organisasi Semester 2 (Total: 23 SKS) 1. Komunikasi Massa 2. Riset Khalayak 3. Bahasa Inggris II 4. Teknik Audiovisual 5. Kewirausahaan 6. Psikologi Komunikasi 7. Teknologi Komunikasi 8. Pendidikan Kewarganegaraan Semester 4 (Total: 24 SKS) 1. Marketing Public Relations 2. Komunikasi Antar Budaya 3. Budaya Perusahaan 4. Komunikasi Antar Pribadi 5. Teknik Protokoler dan MC 6. Asas-Asas Manajemen 7. Etika Humas 6. Teknik Penulisan Humas 7. Human Relation 8. Produksi Media Cetak Semester 6 (Total: 6 SKS) 1. Magang 2. Tugas Akhir Semester 5 (Total: 21 SKS) 1. Produksi Media Audio Visual 2. Media Relations 3. Manajemen Krisis 4. Internal Relations 5. Kapita Selekta Humas 6. Community Relations 7. Produksi Media Online Sumber: Buku Panduan Prodi DIII Komunikasi Terapan, 2013 Dari sisi tenaga pengajar, para dosen pengampu Program Studi DIII Konsentrasi Public Relations ini sebagian besar berasal dari dosen-dosen yang mengampu di Program S1 Ilmu Komunikasi. Hal ini tentu saja akan menimbulkan persolan substansi isi matra kuliah, mengingat dosen-dosen yang mengajar di Prodi S1 akan lebih memberikan tekanan kepada aspek teoritis dan konseptual; sementara sebenarnya tuntutan dari prodgram vokasi justru lebih menekankan praktek daripada teori. Selain tenaga pengajar yang berasal dari dosen pengampu Prodi S1 Ilmu Komunikasi, Prodi ini juga memiliki beberapa dosen tamu yang berasal dari praktisi PR maupun periklanan. Biasanya yang diundang sebagai dosen pengampu adalah praktisi PR di bidang Perhotelan dan PNS di bidang Kehumasan di Pemerintahan Daerah setempat. Tidak ada praktisi yang berasal dari industri, mengingat tidak begitu banyak perusahaan berskala nasional—apalagi internasional— yang berlokasi di kota Surakarta dan sekitarnya; dan tidak ada praktisi yang berasal dari perusahaan/konsultas Public Relations; sebab di Surakarta masih belum ada lembaga profesional yang demikian. 2. Peluang Pendidikan PR Profesional Pertama, kalau dilihat dari jumlah intake mahasiswa baru yang dimiliki oleh Program Diploma III Konsentrasi Public Relations FISIP UNS. Angka kompetisi dan keketatan untuk masuk ke programn studi ini sukup tinggi. Dari sekitar 1.500 orang pelamar, hanya diterima 100 orang mahasiswa baru setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa Prodi ini memiliki peminat yang sangat tinggi, sehingga peluang untuk terus memperoleh mahasiswa sangat besar dari tahun ke tahun. Kedua, Prodi ini didukung oleh sarana prasarana yang sangat memadai, terutama yang berhubungan dengan laboratorium praktek. Dengan sistem resources sharing, mahasiswa Prodi ini memiliki akses kepada berbagai laboratorium yang dimiliki oleh FISIP UNS, yaitu: Laboratorium Fotografi, Laboratorium Produksi Audio-Visual, Laboratorium Radio Siaran, dan Laboratorium Siaran Televisi. Dengan demikian, dari sisi peralatan dan sarana pendukung kerja praktek, tidak ada persoalan akses yang berarti. Ketiga, sejak masa pemerintahan Joko Widodo sebagai Walikota Surakarta, telah dicanangkan Kota Surakarta sebagai salah satu destinasi pariwisata utama. Pembangunan hotelhotel dan convention center terjadi sangat pesat pada 5 tahun terakhir, karena memang targetnya adalah menjadi Surakarta sebagai kota MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Terkait dengan hal tersebut, ada berbagai cultural event yang berskala nasional—bahkan internasional—digelar di Kota Surakarta, misalnya: Solo International Ethnic Music Festival (SIEM), Solo International Performing Arts festival (SIPA), Solo Batik Carnival (SBC), Festival Payung, Festival Jenang, dan sebagainya. Kondisi ini memungkinkan Kota Surakarta berpotensi sebagai laboratorium masyarakat yang menantang untuk mengasah kompetensi mahasiswa di bidang PR. Keempat, adanya peluang kerjasama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk menjadikan lembaga pendidikan tinggi sekaligus sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Dengan demikian, ketika mahasiswa telah selesai menempuh semua proses pembelajaran, maka mahasiswa tersebut akan mendapatkan dokumen pengakuan akademik berupa ijazah, sekaligus dokumen pengakuan kompetensi dalam bentuk Sertifikat Profesi dari BNSP. Saat ini, baru ada 2 lembaga yang dipandang kompeten melakukan uji kompetensi bidang Kehumasan dengan standar SKKNI, yaitu LSPRRI (Lembaga Sertifikasi Profesi Public Relations Indonesia) yang dibentuk oleh Kemenkominfo dan Perhumas Indonesia; dan LSP London School of Public Relations (LSP Tingkat 1). 3. Tantangan Pendidikan PR Profesional Sekalipun ada beberapa faktor yang menjadi peluang bagi pendidikan PR Profesional di Kota Surakarta, namun ada beberapa tantangan dan hambatan yang harus dihadapi. Tantangan itu lebih banyak bersifat internal di dalam Prodi Diploma 3 Bidang Public relations FISIP UNS sendiri, sekalipun ada juga tantangan yang bersifat eksternal dari lingkungan. Pertama, dari sisi kurikulum. Kalau dibandingkan antara daftar mata kuliah yang ditawarkan dalam Kurikulum, nampak kurikulum ini belum mengakomodasi standar kompetensi bidang Kehumasan yang ditetapkan di dalam SKKNI. Berdasar sejumlah wawancara yang dilakukan kepada Pengelola Prodi maupun beberapa dosen pengampu, sebagian terbesar dosen bahkan belum pernah membaca dokumen SKKNI Bidang Kehumasan itu sendiri. Dapat dipahami kalau kurikulum yang ditawarkan tidak akan mendukung pencapaian standar kompetensi SKKNI, karena para penyusun kurikulumnya sendiri belum mengetahui tentang standar tersebut. Terkait dengan kurikulum, dosen menjadi aktor kunci; mengingat dosen pengampu tiap mata kuliah tersebut harus menyusun silabus dan rencana pembelajaran selama 1 semester, dengan profil (output) kompetensi yang jelas. Ketika pembuat kurikulum tersebut tidak menggunakan SKKNI sebagai acuan, maka daftar dan isi mata kuliah yang ditawarkan tidak bisa diharapkan akan membangun kompetensi yang dituntut oleh SKKNI. Kedua, dari sisi dosen pengampu, tidak ada satupun yang telah memiliki Sertifikat Asesor Kompetensi di bidang kehumasan dari BNSP. Padahal, hanya mereka yang telah disertifikasi sebagai Asesor Kompetensi yang berhak melakukan penilaian (assessment) pada kompetensi profesi tertentu. Syarat yang ditentukan oleh BNSP adalah: minimal ada 3 orang assesor kompetensi yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan untuk bisa melakukakan kegiatan uji komptensi internal atas peserta didiknya sendiri sebagai LSP Tingkat 1. Kepentingan untuk melengkapi dosen pengampu dengan sertifikat Asesor Kompetensi belum menjadi prioritas bagi Prodi, sehingga belum ada inisiatif untuk mengirimkan dosen-dosennya mengikuti pelatihan dan mengikuti uji kompetensi sebagai Asesor Kompetensi. Ketiga, dari sisi kelembagaan, Prodi Diploma III Bidang Public Relations FISIP UNS belum bisa berperan sebagai LSP Tingkat 1. Sehingga, apabila mahasiswa atau lulusannya ingin memperoleh Sertifikasi Profesi bidang Kehumasan, mereka harus mengikuti uji kompetensi di salah satu LSP yang berhak untuk mengadakannya. Dan dengan persoalan ketidaksesuaian kurikulum di atas, tidak dapat diberi jaminan, bahwa mahasiswa atau lulusan Prodi ini akan dapat lulus uji kompetensi yang dilakukan oleh LSP sesuai dengan level kompetensinya (Sertifikat VI atau Humas Manajerial). Keempat, faktor eskternal yang adalah adalah karen memang impelemtasi SKKNI di Bidang Kehumasan ini masih belum tersosialisasi dengan baik kepada lembaga/industri yang akan menggunakan lulusan dari perguruan tinggi. Oleh karena lembaga dan industri tidak menuntut Sertifikat Profesi untuk bekerja di bidang Kehumasan, maka hal ini akan menyurutkan langkah lembaga pendidikan tinggi untuk melakukan perbaikan kurikulum maupun mengembangkan diri untuk menjadi sebuah LSP, minimal bagi mahasiswanya sendiri. 4. PENUTUP Dari pembahasan yang telah dilakukan pada bagian terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Ada kesenjangan antara proses pembelajaran di perguruan tinggi pada program studi Kehumasan dengan standar yang ditetapkan dalam SKKNI Bidang kehumasan; (2) Ada beberapa peluang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan, yaitu jumlah peminat pendidikan di Bidang Kehumasan, ketersediaan sarana prasarana, dan dorongan dari Pemerintah— dalam hal ini BNSP—untuk menambah jumlah LSP di Indonesia; (3) Tantangan yang harus dihadapi oleh lembaga pendidikan di bidang kehumasan meliputi aspek kurikulum yang belum mengacu kepada SKKNI Bidang kehumasan; tenaga pengajar yang belum tersertifikasi sebagai asesor kompetensi, dan lembaga pendidikan yang kurang berminat untuk menjadi LSP karena belum ada tuntutan dari pasar kerja. Saran yang bisa diberikan kepada Program Studi Diploma 3 Public Relations FISIP UNS adalah: (1) melakukan peninjauan kurikulum dengan menggunakan SKKNI Bidang kehumasan sebagai salah satu acuan, sehingga output lulusannya telah memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan; (2) melakukan pengembangan SDM dosen pengampu dengan cara melengkapi mereka dengan Sertifikat Asesor Kompetensi dari BNSP; (3) merintis untuk megembangkan lembaga pendidikan sebagai LSP, minimal LSP Tingkat 1 untuk bisa memberikan sertifikat profesi kepada para mahasiswanya. DAFTAR PUSTAKA Biggs, J.B. (1987). Student Approaches to Learning and Studying. Melbourne: Australian Council for Educational Research. Breit, R.; Demetrious, K. (2010). Professionalisation and public relations : an ethical mismatch. Ethical Space: The International Journal of Communication Ethics, vol. 7, no. 4, hal. 2029. De Burgh, H. (2003). Skill are Not Enough: The Case of Journalism as an Academic Discipline. Journalism, no. 4(1), pp. 47-63. Fitch, K. (2014). Professionalisation and public relations education: Industry accreditation of Australian cources in the early 1990s. Public Relations Review 40 (623-631). Freberg, K., Remund, D., Keltner-Previs, K. (2013). Integrating evidence based practices into public relations education. Public Relations Review 39 hal. 235-237. Gagne, R.M. (1974). Principles of Instructional Design. New York: Holt, Rinehart and Winston. Garcia, C. (2010). Integrating management practices in international public relations cource: A proposal of contents. Public Relations Review 36 hal. 272-277. Jebarus, F. Dan Basya, M. (2013). Standar Kompetensi Menuju Humas Profesional. Jakarta: LSP LSPR. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. (2008). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 39/MEN/II/2008 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Komunikasi dan Informatika Bidang Kehumasan. Li, C., Cropp, F., Sims, W., Jin, Y. (2012). Percieved professional standars and roles of public relations in China: Through the lens of Chinese public relations practitioners. Public Relations Review 38 hal. 704-710. Ryle, G. (1966). Knowing How and Knowing That. In I. Scheffler Philosophy and Education. Boston: Allyn and Bacon. Shen, H.; Toth, E. (2013). Public relations master’s education deliverables: How practitioners and educators view strategic practice curriculum. Public Relations Review 39 hal. 618-620. Utari, P. (2004). The Gap between Indonesian Media Training and the Profession: Factors Affecting Young Women in Communication Studies and Media Careers. PhD Thesis. Newcastle: The University of Newcastle. Welch, M. (2015). Internal communication education: a historical study. Journal of Communication Management, Vol. 19 Iss 4 hal. 388 – 405.