TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Murbei (Morus alba L.)

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Murbei (Morus alba L.)
2.1.1. Botani
Murbei (Morus alba L.) termasuk dalam famili moraceae yang berasal dari
Cina. Tanaman murbei tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 m diatas
permukaan laut (dpl) dan memerlukan cukup sinar matahari. Tumbuhan yang
sudah dibudidayakan ini menyukai daerah-daerah yang cukup basa seperti di lereng
gunung, tetapi pada tanah yang berdrainase baik. Tanaman ini kadang ditemukan
tumbuh liar. Murbei dikenal dengan nama berbeda-beda, seperti: besaran
(Indonesia), murbai, besaran (Jawa), kerta, kitau (Sumatra), Sang ye (China), may
mon, dau tam (Vietnam), morus leaf, morus bark, morus fruit, murbei fruit
(Dalimartha 2000)
Pohon murbei dapat tumbuh hingga 9 meter, percabangannya banyak,
cabang muda, berambut halus, daun tunggal, letak berselang dan bertangkai dengan
panjang 1-4 cm. Helai daun berbentuk bulat telur sampai berbentuk jantung, ujung
runcing, pangkal tumpul, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, agak menonjol,
permukaan atas dan bawah kasar, panjang 2,0-2,5 cm serta berwarna hijau. Bunga
majemuk berbentuk tandan, keluar dari ketiak daun, mahkota berbentuk tajuk dan
berwarna putih. Dalam satu pohon terdapat bunga jantan, bunga betina dan bunga
sempurna yang terpisah, selain itu tanaman murbei dapat berbunga sepanjang tahun
(Dalimartha 2000).
Buah murbei banyak berupa buah buni, berair dan rasanya enak. Buah muda
berwarna hijau setelah masak menjadi hitam (Gambar 1). Buahnya kecil dan saling
berlekatan (bergerombol), Bijinya kecil dengan ukuran 1-1,2 mm dan berwarna
hitam.
Gambar 1. Buah Murbei (www.ayesha.com)
2.1.2. Komponen kimiawi
Komponen terbesar buah murbei adalah air (71,5 %), lalu total padatan
terlarut 20,4 %, kadar keasaman kurang lebih 0,25 %, pH sekitar 5,6, asam askorbat
sebesar 22,4 mg/100 gram dan lemak total sebesar 1,10 %. Komposisi asam lemak
yang terdapat dalam buah ini adalah asam linoleat (54,2 % dari lemak total 1,1 %)
asam palmitat (19,8 % dari lemak total 1,1 %) dan asam oleat (8,41 % dari lemak
total 1,1 %) (Ercisli dan Orhan 2007) (Tabel 1). Komposisi mineral yang ada pada
buah murbei utamanya adalah kalium sebesar 1141 mg/100 gram buah, lalu fosfor
235 mg/100 gram buah, kalsium 139 mg/100 gram (Ercisli dan Orhan 2007) (Tabel
1).
Tabel 1. Karakteristik kimiawi dan komposisi mineral buah murbei (Ercisli dan
Orhan 2007)
Karakteristik kimiawi
Berat sampel buah (g)
Total berat kering (%)
Kadar air (%)
pH
Total asam (%)
Total padatan terlarut(%)
Total lemak (%)
Asam lemak (%)
C14:0
C 16:0
cis-C16:1
C18:0
cis-C18:1
cis-C18:2
cis-C18:3
cis-C19:1
cis-C18:1
C 22:0
Jumlah Jenis mineral
3,49
29,5
71,5
5,6
0,25
20,4
1,1
0,98
22,42
0,67
4,27
10,49
57,26
0
0,062
0
0,26
Fosfor
Kalium
Kalsium
Magnesium
Natrium
Besi
Tembaga
Mangan
Seng
Konsentrasi (mg/100 gr)
235
1141
139
109
60
4,3
0,4
4,0
3,1
Selain itu buah ini juga mengandung 181 mg total alkaloid /100 gram
sampel buah dan 29 mg total flavonoid /100 gram sampel buah. Jenis alkaloidnya
adalah 1-deoksinojirimisin (DNJ), N-metil-1-deoksinojirimisin, fagomin (FAG),
kalistegin B2, 4-O-D-galaktopiranosil-kalistegin B2, 1,4-dideoksi-1,4-imino-
D-arabinitol
(D-ABA),
1,4-dideoksi-1,4-imino-
(2-O-D-glukopiranosil)
-D-arabinitol, 2,3-dihidroksinortropan, 2,3-dihidroksinortropan, 2,3,6 eksotrihidroksinortropan,
2,3,4-trihidroksinortropan, 3,6 ekso-dihidroksinortropan,
3,6-dihidroksinortropan,
2-O-D-galaktopiranosil-1-deoksinojirimisin
dan
6-O-D-glukopiranosil-1-deoksinojirimisin (Kusano et al. 2002).
Sedangkan jenis flavonoidnya adalah sianidin 3-O-(6-O-x-rhamno
piranosil-β-D-glukopiranosida, sianidin 3-O-(6-O-x-rhamnopiranosil -β-D-galakto
piranosida, sianidin 3-O-β-D-glukopiranosida, sianidin 3-O-β-D-galakopiranosida
dan sianidin 7-O- β-D-glukopiranosida (Du et al. 2008). Sianidin 3 rutinosida,
sianidin-3-monoglukosida dan isoquecertin (Chen et al. 2006).
2.1.3. Fitofarmaka
Murbei merupakan salah satu tanaman yang dikenal memiliki khasiat
dibidang medis baik dari buah, daun dan kulit akar. Buah murbei dalam pengobatan
tradisional China digunakan untuk menurunkan tekanan darah (Bae dan Suh 2006).
Selain itu ekstrak air buah murbei memiliki aktivitas antioksidan yang bekerja
.
dengan cara menangkap elektron radikal pada superoksida (O2 ) dan hidroksi
.
radikal (OH ). Ekstrak etanol buah murbei sejumlah 255 mg memiliki kemampuan
untuk menghambat oksidasi asam linoleat sebesar 52,7–73,3 % dan dapat
menangkap 60 % dari DPPH (Bae dan Suh 2006).
Menurut Chen et al. 2006 senyawa bioaktif yang bertanggungjawab
terhadap aktivitas antioksidan buah murbei utamanya adalah sianidin 3-rutinosida,
sianidin-3-monoglukosida, isoquesertin dan vitamin C. Sianidin 3-rutinosida dan
sianidin-3-monoglukosida termasuk ke dalam kelompok sianidin yang digolongkan
dalam kelompok pewarna alami antosianin, aktivitas antioksidan kelompok ini
diduga berasal dari aglikonnya (Bae dan Suh 2006). Sedangkan isoquecertin
dimasukkan ke dalam kelompok quecertin, menurut Chopra et al. (2000) quecertin
merupakan salah satu jenis flavonoid penting yang dapat mencegah teroksidasinya
LDL dalam darah.
Senyawa bioaktif sianidin 3-rutinosida dan sianidin-3-monoglukosida dari
buah murbei selain berperan dalam aktivitas antioksidan, juga memiliki aktivitas
antikanker dengan cara menghambat migrasi dan invasi metastasis sel karsinoma
kanker paru-paru manusia pada kultur sel (Chen et al. 2006). Buah murbei juga
memiliki senyawa bioaktif sianidin 3-O-β-D-Glukopiranosida (Butt et al. 2008),
menurut Kang et al. (2006) senyawa tersebut dapat mengurangi kerusakan sel
neuronal dan juga dapat melawan iskhemia serebral. Ekstrak buah morus alba juga
dilaporkan memiliki aktivitas antimutagenik terhadap genotoksikan (seperti sinar X,
N-metilnitrosourea, siplofosfamida dan NaF), ekstrak tersebut dapat menurunkan
frekuensi kromosom yang menyimpang (Alekperov 2002).
Chen et al. (2005) melaporkan bahwa 0,5 atau 1 % ekstrak air dari buah
murbei yang ditambahkan dalam pakan kelinci dapat menurunkan kadar trigliserida,
kolesterol dan LDL kelinci tersebut dan juga dapat mengurangi terjadinya
ateroskleriosis dalam aorta sebesar 42-63%. Data-data tersebut menunjukkan
bahwa ekstrak air buah murbei tidak hanya berperan dalam mencegah oksidasi
LDL tapi juga memiliki akivitas antihiperlipidemia. Selain itu menurut Syafutri
(2008) ekstrak air buah murberi dapat meningkatkan konsentrasi HDL darah.
Ekstrak buah murbei juga mempengaruhi aktivitas sistim imun, menurut
Lin dan Tan (2007) murbei memiliki aktivitas sebagai imunomudolator dan
aktivitas tersebut utamanya dipengaruhi oleh tingginya kadar polifenol yang
mencapai 1515,9 mg/100 gram bahan segar. Selain itu 10 μg/ml ekstrak buah ini
diketahui dapat meningkatkan interleukin 2 yang menstimulasi pertumbuhan dan
pembelahan sel T, sedangkan 500 μg/ml ekstrak buah murbei dapat meningkatkan
sekresi interferon γ sampai 106,6 pg/ml, interleukin-4 2,6 pg/ml dan interleukin-5
24,4 pg/ml (Lin dan Tan 2008). Jus buah murbei juga dapat berperan sebagai
antiinflamasi dengan cara menghambat efek profilatik pada inflamasi yang
diinduksi lipopolisakarida pada peritoneal makrofag melalui meningkatkan sekresi
sitokin antiinflamasi atau menurunkan sitokin yang dapat meningkatkan terjadinya
inflamasi (Lin dan Tan 2007).
Ekstrak air dari buah ini juga diketahui dapat menurunkan kandungan
etanol darah setelah pemberian etanol secara oral. Efek tersebut diduga terjadi
karena ekstrak ini menghambat penurunan enzim alkohol dehidrogenase (enzim ini
bekerja bolak-balik yaitu mengubah etanol menjadi asetaldehida dan juga
sebaliknya) dan mensuplai koenzim nikotinamida adenin dinukleotida (koenzim
untuk enzim dalam katabolisme etanol) sehingga dengan keberadaan enzim
tersebut dan juga koenzimnya maka katabolisme etanol menjadi lebih cepat. Efek
tersebut berkaitan dengan kandungan polifenol yang ada pada buah murbei.
Di dalam pemanfaatannya sebagai obat, buah murbei sering diolah dahulu
menjadi jus. Selain itu di negara China buah murbei dikonsumsi dalam bentuk
segar dan diolah menjadi liquor (sejenis minuman buah). Di Eropa buah murbei ini
juga telah diolah menjadi minuman fermentasi (wine) yang banyak dikonsumsi
oleh kaum wanita Eropa.
Selain buahnya, daun dan kulit akar murbei juga memiliki manfaat medis,
daun murbei diketahui efektif untuk menurunkan gula darah (hipoglikemik),
menurunkan tekanan darah (hipotensif) dan diuretik (Kim et al. 2006). Menurut
Sohn et al. (2004) senyawa aktif kuwanon C, mulberrofuran G dan albanol B pada
daun murbei memiliki aktivitas antibakteri dengan konsentrasi minimal yang dapat
menghambat (MIC) antara 5 sampai 30 µg/ml. Komponen quecertin 3 (6-malonil
glikosida) yang ada pada daun murbei menyebabkan daun ini juga memiliki
aktivitas antioksidan.
Ekstrak metanol kulit akar murbei dapat menurunkan kandungan gula darah
hal ini berkaitan dengan keberadaan senyawa bioaktif moran A (Butt et al. 2008),
sedangkan senyawa bioaktif leachinone G dan mulberroside C yang diisolasi dari
kulit akar murbei memiliki aktivitas antiviral terhadap virus herpes simplek tipe 1
(HSV-1) (Du et al. 2003), selain itu menurut Moon et al. (1983) ekstrak komponen
polisakarida dari kulit akar murbei dapat melawan aktivitas sarcoma 108 mencit.
2.2. Toksisitas
Toksisitas didefinisikan sebagai efek bahaya yang ditimbulkan oleh suatu
zat /senyawa/bahan terhadap organisme yang terpapar zat/senyawa/bahan tersebut.
Efek bahaya tersebut dapat terkena pada keseluruhan organisme tersebut (misalnya
kematian) atau pada bagian kecil dari organisme tersebut misalnya organ dan sel
seperti hati, ginjal dan lain-lain. Menurut Hodgson dan Levi (2000) untuk menilai
efek bahaya suatu zat/senyawa/bahan maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah
dosisnya, karena bahan uji tersebut pada dosis tertentu tidak berbahaya tetapi pada
dosis yang lebih tinggi mungkin berbahaya.
Pada umumnya pengujian toksisitas dibagi menjadi dua kelompok yaitu uji
toksikologi umum dan uji toksikologi khusus, uji toksikologi umum meliputi
pengujian toksisitas akut, sub kronis dan kronis.
2.2.1. Uji toksikologi umum
2.2.1.1.Toksisitas akut
Toksisitas akut merupakan derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi
dalam tempo singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal atau pemberian
berulang dalam waktu terbatas (umumnya 24 jam). Batasan waktu singkat adalah
bisa dalam rentang 24 jam ataupun paling lama adalah 14 hari (Hodgson dan Levi
2000). Tujuan utama dilakukan pengujian ini adalah untuk menetapkan potensi
ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik bahan uji pada satu
hewan uji atau lebih. Selain itu pengujian toksisitas akut juga ditujukan untuk
menilai bebagai macam gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan
mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji (Omaye 2004).
Jadi, dalam ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur
ketoksikan kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan
kualitatif (gejala klinis, wujud dan mekanisme efek toksik). Tolok ukur kuantitatif
yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal/toksik adalah nilai
Lethal dosis 50 % (LD 50), artinya dosis tunggal sesuatu senyawa yang
diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik terhadap 50% hewan
uji.
Data yang di dapat dari pengujian ketoksikan akut dapat sebagai acuan
untuk melakukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama sehingga dapat
memprediksi, mendiagnosa dan menentukan treatment yang tepat untuk
menanggulangi dampak tersebut. Selain itu data tersebut juga dapat menjadi acuan
bagi pemangku kebijakan untuk menentukan regulasi dan bagi peneliti data
tersebut dapat digunakan untuk menentukan mekanisme toksisitasnya (Omaye
2004).
2.2.1.2. Ketoksikan sub kronis dan kronis
Uji ketoksikan sub kronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama jangka waktu
kurang lebih 10 % dari masa hidup hewan uji, misalnya 3 bulan untuk tikus dan 1
atau 2 tahun untuk anjing. Pengujian sub kronis ini bertujuan untuk menyelidiki
efek toksik yang timbul karena pemberian berulang dari zat/senyawa/bahan
tersebut dalam jangka waktu tertentu. Data pengujian sub kronis dapat memberikan
informasi berharga mengenai efek kumulatif dari suatu zat pada organ sasaran,
toleransi fisiologis dan metabolik pada dosis rendah dalam jangka waktu tertentu
(Yossa 2008).
Sedangkan uji ketoksikan kronis merupakan uji ketoksikan suatu
zat/bahan/senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu
selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari
hidupnya, misal 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus (Lu 1995, Omaye
2004). Jadi uji toksisitas sub kronis dan akut hanya dibedakan berdasarkan
waktunya saja.
Kedua pengujian ini utamanya ditujukan untuk mengungkapkan spektrum
efek toksik sampel terkait dengan jenis organ yang terkena maupun kekerabatan
antara dosis dan spektrum efek toksik. Selain itu, seringkali uji ini juga ditujukan
untuk mengevaluasi keterbalikan (reversibilitas spektrum efek toksik yang terjadi).
Dengan dilakukannya uji ini, memungkinkan terliputnya wujud dan sifat efek
toksik yang munculnya lambat dan tidak muncul atau teramati pada uji ketoksikan
akut.
2.2.2. Parameter pengamatan
Parameter yang biasa digunakan dalam toksisitas akut, sub kronis dan
kronis adalah
1.
LD 50
Tolok ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran
dosis letal/toksik adalah nilai Lethal dosis 50 % (LD 50), artinya dosis
tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau
menimbulkan efek toksik terhadap 50% hewan uji (Akhila et al. 2007)
2.
Pengamatan tingkah laku hewan percobaan
Pada dosis tertentu paparan senyawa toksik terhadap suatu hewan uji tidak
sampai mematikan hewan tersebut tetapi tetap dapat merusak organ
sasarannya. Kerusakan terhadap organ tersebut kadang kala akan terlihat
pada aktivitas dan tingkah laku keseharian hewan percobaan (Tabel 2).
Tabel 2. Tanda toksik pada organ atau sistem fisiologi tubuh (Lu 1995)
Sistim atau organ
Autonomik
Perilaku
Sensorik
Neuromuskuler
Kardiovaskuler
Pernafasan
Mata
Gastrointestinal
Sistim kemih
Kulit
Tanda toksik
Membran niktitans melemah, eksoftalmos, hipersekresi
hidung, salivasi, diare, keluar air seni, piloereksi
Sedasi, gelisah, kepala tertunduk, kuku siap mencakar,
terengah-engah, iritabilitas, sikap agresif atau defensif,
ketakutan, bingung, aktivitas yang aneh
Reflek kornea, reflek penempatan, reflek tungkai belakang,
peka terhadap bunyi dan sentuhan, nistagmus
Aktivitas meningkat atau berkurang, fasikulasi tremor,
konvulsi, ataksia, lemas, opistotonus, respon
Denyut jantung meningkat atau berkurang, sianosis,
vasokontriksi, vasodilatasi, pendarahan
Hipopnea, dispnea, terengah-engah, apnea
Warna mata, pemeriksaaan oftalmologik,
Diare, muntah, feses, nafsu makan
Volume urin, konsistensi, warna
Warna, penampilan, bulu, eritema, bengkak
3. Pengamatan terhadap berat badan dan konsumsi pakan
Pengamatan ini dilakukan untuk menilai apakah percobaan yang dilakukan
akan mempengaruhi konsumsi pakan hewan coba yang nantinya juga
berkaitan dengan berat badan tikus tersebut.
4. Analisis kimiawi darah, serum atau urin
Analisa kimiawi darah biasanya mencakup hematokrit, hemoglobin,
menghitung jumlah eritosit, leukosit dan trombosit. Pengujian yang
dilakukan pada serum biasanya mencakup glukosa darah, SGOT, SGPT,
alkalin fosfatase, protein total, lipid total, albumin, bilirubin, urea darah,
kreatinin dan unsur-unsur anorganik seperti fosfor, kalium, kalsium,
natrium dan klorida. Sedangkan pada urin mencakup pemeriksaan fisik
warna, berat jenis, dan pH, selain itu dilakukan juga pemeriksaan kimiawi
biasanya mencakup protein, glukosa, keton, kreatinin, sel darah merah dan
kristal serta benda amorf.
Data hasil pengujian tersebut pada beberapa analisis dapat digunakan untuk
menilai kerusakan organ tertentu, misalnya keberadaan enzim SGPT dan
SGOT dan juga bilirubin yang tinggi dalam serum sampel maka
mengindikasikan kerusakan hati, sedangkan jumlah kreatinin dan juga urea
yang tinggi dalam serum dan juga urin mengindikasikan adanya kerusakan
pada ginjal.
5. Pengamatan histologi terhadap organ/jaringan yang diduga menjadi sasaran
senyawa toksik.
Pengamatan histologi terhadap organ sasaran aksi senyawa toksik
dilakukan untuk mengkonfirmasi kerusakan dan juga menghitung paparan
kerusakan terhadap sel organ tersebut. Pengamatan biasanya dilakukan
terhadap sel yang normal dan juga sel yang mengalami degradasi, nekrosis
dan juga apoptosis.
Parameter LD 50 dipakai hanya dalam pengujian toksisitas akut sedangkan
parameter yang lainnya bisa dipakai baik dalam pengamatan toksisitas akut, sub
kronis maupun kronis. Pada pengujian toksisitas akut kadang kala hanya dilakukan
dengan menggunakan parameter LD 50 seperti penelitian yang dilakukan oleh
Rasekh et al. (2005), ada yang menggunakan parameter LD 50 dan juga
pengamatan tingkah laku hewan percobaan (Joshi et al. 2007, Alade et al. 2009)
dan ada yang menggunakan parameter LD 50, pengamatan tingkah laku hewan
percobaan, berat badan dan konsumsi ransum dan pengamatan histologi terhadap
organ (Somfai-relle et al. 2005).
Sedangkan pengujian toksisitas sub kronis maupun kronis ada yang hanya
menggunakan paremeter analisis kimiawi serum (Amanvermez et al. 2009), ada
yang menggunakan parameter analisis serum dan paraneter pengamatan histologi
(Alade et al. 2009) dan ada yang menggunakan parameter kematian, pengamatan
tingkah laku hewan percobaan, berat badan dan konsumsi pakan, analisis kimiawi
terhadap darah, serum dan urin dan juga pengamatan histologi terhadap organ
(Somfai-relle et al. 2005).
2.2.3. Adsorbsi, distribusi dan metabolisme toksikan
Umumnya racun masuk ke dalam tubuh melalui 3 cara, yaitu sistim
pernafasan, mulut (pencernaan) dan kulit. Meskipun demikian racun tidak bisa
begitu saja masuk ke dalam tubuh. Sistim ataupun organ tempat masuknya racun
tersebut memiliki pertahanan-pertahanan, baik yang bersifat fisik maupun
enzimatis. Membran sel merupakan sawar (barrier) yang menghalangi masuknya
racun pada semua semua sistim organ, artinya racun harus melalui
membran-membran sel tersebut untuk dapat diserap, didistribusi, dimetabolisme
tubuh. Membran sel mempunyai sifat semipermeabel artinya hanya melewatkan
senyawa tertentu yang dikehendaki sel tersebut. Senyawa toksikan melewati
membran sel melalui empat mekanisme yaitu difusi pasif, filtrasi oleh pori-pori
membran, transport aktif dengan perantara carrier dan pencaplokan oleh sel
(pinositosis) (Hodgson dan Levi 2000).
Sistim pencernaan umumnya dapat dimasuki toksikan karena toksikan
tersebut berada dalam makanan ataupun minuman yang dikonsumsi. Sebelum
diabsorsi, toksikan akan mengalami interaksi dengan komponen kimiawi yang ada
pada saluran pencernaan seperti HCl pada lambung. Absorsi utamanya terjadi
diusus halus dan senyawa-senyawa tertentu dapat diserap dilambung. Faktor
penting yang mempengaruhi perjalanan toksikan di saluran pencernaan sampai
akhirnya dapat diserap di lambung ataupun usus adalah pH lingkungan pencernaan
(Hodgson dan Levi 2000), hal ini terjadi karena dari mulut sampai usus halus terjadi
perbedaan pH, mulut memiliki pH 7 sedangkan lambung pH nya 1 sampai 2 karena
sekresi HCl dan usus halus pH nya sekitar 6.
Adanya perbedaan pH saat toksikan melalui jalur pencernaan tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi pada toksikan, sehingga saat mencapai
usus halus akan mempengaruhi dapat atau tidaknya suatu toksikan diserap dan juga
cara penyerapannya. Racun yang tidak terionisasi dan larut dalam lipid akan
diserap melalui cara difusi pasif. Disamping itu dalam usus juga terdapat protein
pembawa yang tugas normalnya adalah membawa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan
tubuh, namun beberapa toksikan seperti 5-fluorourasil dan timbal dapat
menggunakan protein carier tersebut untuk memasuki membran usus halus,
sedangkan pewarna azo dan latek polistirena dapat memasuki usus dengan cara
pinositosis (Lu 1995).
Jalur pernafasan juga dapat dimasuki toksikan yang biasanya ada dalam
udara yang diserap tubuh. Bentuknya bisa gas seperti karbon monoksida dan
belerang dioksida dan juga bisa berupa uap cairan seperti benzen dan karbon
tetraklorida. Tempat utama penyerapannya adalah alveoli paru-paru yang memiliki
permukaan luas, tempat ini mudah diserang karena (1) memiliki banyak pembuluh
darah kapiler tempat terjadinya pertukaran gas (2) memiliki lapisan cair yang tipis
yang dapat mudah dilewati gas (Hodgson dan Levi 2000). Disamping itu menurut
Donatus (2001) ukuran partikel menjadi faktor penentu utama absorsi racun pada
alveolus. Misalkan racun timah dengan garis tengah ukuran partikel 0,25 μm dapat
dengan mudah diabsorbi di alveoli, sedangkan uranuim dioksida dengan diameter 3
μm tidak bisa diabsorsi di alveoli.
Kulit merupakan salah satu tempat yang bisa menjadi jalan masuknya
toksikan ke dalam tubuh. Walaupun demikian, umumnya kulit relatif impermeabel
sehingga merupakan sawar (barrier) yang baik bagi tubuh terhadap toksikan.
Meskipun demikian senyawa toksik insektisida paration yang bisa masuk melalui
kulit dapat menyebabkan dampak yang fatal bagi tubuh (Donatus 2001). Zat-zat
asam, basa, gas mustard dan beberapa pelarut seperti dimetil sulfoksida (DMSO)
akan merusak sawar kulit sehingga memudahkan masuknya toksikan melalui kulit.
Absorbsi toksikan pada kulit dapat terjadi melalui folikel rambut atau lewat
kelenjar keringat tetapi absorbsinya kecil. Absorpsi toksikan melalui kulit
umumnya terjadi ketika toksikan tersebut dapat menembus lapisan kulit yang
terdiri atas epidermis dan dermis (Lu 1995).
Setelah melewati sawar-sawar yang ada pada jalur masuknya toksikan
tersebut, maka toksikan akan masuk ke darah dan didistribusikan ke tempat yang
menjadi target aksinya. Laju distribusi ke tiap-tiap organ tubuh berhubungan
dengan laju aliran darah, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler
dan membran sel serta afinitas target aksi dengan toksikan tersebut (Lu 1995).
Tempat yang biasanya dapat mengikat dan menyimpan toksikan tersebut adalah
protein plasma, hati, ginjal, jaringan lemak dan tulang.
Komponen protein plasma umumnya berperan mengikat toksikan
anorganik, contoh protein plasma adalah albumin yang dapat mengikat aneka
ragam senyawa misalnya kalsium, tembaga dan seng; celuloplasmin yang dapat
mengikat tembaga dan litium; dan alfa glikoprotein yang dapat mengikat senyawa
yang bersifat basa. Jaringan lemak berperan dalam mengikat dan menyimpan
toksikan yang larut dalam lipid contohnya DDT, dieldrin dan bifenilpoliklorin
(PCB). Tulang merupakan tempat penimbunan utama dari toksikan flourida, timbal
dan strongsium. Hati dan ginjal merupakan tempat penyimpanan toksikan yang
paling besar karena organ tersebut merupakan tempat terjadinya metabolisme (hati)
dan jalur eliminasi (ginjal) yang utama bagi toksikan.
2.2.4. Organ sasaran utama
2.2.4.1. Hati
a. Morfologi hati
Hati merupakan salah satu organ besar dalam tubuh. Beratnya rata-rata
sekitar 2,5% dari berat badan normal. Hati terletak pada rongga perut kanan
bagian atas dibawah diafragma. Permukaan hati diliputi oleh lapisan jaringan
ikat padat dan ditutupi oleh peritoneum. Hati terbagi menjadi beberapa lobus
tergantung spesiesnya, hati tikus terbagi menjadi empat lobus, yaitu lobus kiri,
lobus median, lobus kanan dan lobus kaudatus. Secara mikrokopis, setiap
lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus yang
merupakan unit fungsional dari organ hati dan letaknya mengelilingi sebuah
vena sentralis. Setiap lobulus hati terbangun dari beberapa komponen yaitu
sel-sel parenkim hati (sel hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang
vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel kuppfer dan kanakuli billiaris.
Gambar 2. Anatomi hati (www.enjoylongerhealth.com)
Sel hepatosit berbentuk polihedral dengan inti bulat terletak ditengah,
sel tersebut tersusun radial kearah luar vena sentralis. Diantara hepatosit
terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagi sinusoid yang merupakan cabang
vena porta dan arteri hepatika (Gambar 2). Pada beberapa sinusoid akan
ditemukan sel kuppfer yang berfungsi sebagai makrofag yang memiliki fungsi
fagositik (Delman dan Eurell 1998).
Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri (dari arteri
hepatika kiri dan kanan) dan darah vena porta yang mengalir dari saluran
pencernaan dan abdomen lain yaitu limpa dan kantung empedu (Delman dan
Eurell 1998). Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru
diserap oleh saluran pencernaan, selain itu turut masuk juga berbagai bakteri,
darah merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau
disimpan. Sebanyak 75-80% darah pada organ hati berasal dari vena porta
sedangkan 20-25% darah yang masuk ke hati berasal dari arteri hepatika dan
darah tersebut kaya akan oksigen (Duffus dan Worth 2006).
Hati mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi metabolisme diantaranya
karbohidrat, lipid, vitamin, zat besi dan darah; fungsi sintesis dan fungsi
detoksifikasi. Fungsi metabolisme karbohidrat dilakukan hati dengan cara
mengatur pembentukan, penyimpanan, dan pemecahan glikogen. Sedangkan
dalam metabolisme lipid hati berperan dalam mensintesis, menyimpan dan
mengeluarkan lemak untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Berkaitan
dengan vitamin larut lemak (ADEK) dan zat besi hati berperan sebagai organ
penyimpanan bagi keduanya (Delman dan Eurell 1998).
Fungsi sintesis dilakukan hati dengan melakukan beberapa proses
diantaranya mensintesis protein plasma seperti albumin dan globulin dan juga
mensintesis
empedu
yang
memungkinkan
makanan
berlemak
dan
mengandung vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dapat
diserap oleh usus halus.
Fungsi detoksifikasi dapat dilakukan oleh hati karena hati memiliki
enzim-enzim yang dapat melakukan proses tersebut. Proses detoksifikasi
dilakukan melalui dua tahap, yaitu: 1. mengubah senyawa xenobiotik melalui
reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan hidrasi yang dikatalisis oleh enzim
hepatik (contohnya sitokrom P450 (Hukkanen et al. 2001)), 2. mengikatnya
dengan senyawa yang lebih larut air (konjugasi) misalnya glukoronat, asam
sulfat,
dan
glutation
yang
dikatilisis
oleh
enzim.
Contohnya
glutation-S-transferase yang mengkatalisis mengikatan senyawa glutation
pada senyawa xenobiotik (Fanucchi et al. 2000).
b. Patologi hati
Hati merupakan organ yang umumnya paling sering mengalami
kerusakan akibat adanya toksikan, kondisi tersebut berkaitan dengan peran
dan posisi hati dalam sirkulasi cairan tubuh. Sebagian besar toksikan
memasuki tubuh melalui sistem pencernaan, setelah diserap lalu memasuki
darah di sistim vena porta dan di distribusikan ke hati. Kondisi tersebut
diperparah dengan kenyataan bahwa 80% darah yang masuk ke hati berasal
dari vena porta tersebut (Harlina 2007).
Berdasarkan proses sirkulasi toksikan yang masuk melalui pencernaan,
maka hati merupakan organ yang pertama kali menerima toksikan tersebut dan
juga organ yang pertama kali akan memetabolismenya. Proses metabolisme
tersebut dalam beberapa kasus dapat meningkatkan toksisitas toksikan
sehingga dapat merusak hati, contohnya senyawa epoksida yang setelah
dimetabolisme dengan komplek enzim fase I ternyata menjadi senyawa yang
lebih reaktif dan dapat melekat pada DNA hati membentuk “DNA adduct”
sehingga menyebabkan kanker.
Keberadaan toksikan tersebut dapat menyebabkan beberapa perubahan
pada berbagai komponen sel hati seperti bocornya membran sel dan
mitokondria yang membesar. Perubahan pada komponen sel hati ada yang
bersifat reversibel dan ada yang irreversibel. Degenerasi merupakan
kerusakan sel yang reversibel karena hati dapat melakukan proses regenerasi
sel dengan cara melakukan replikasi (Guyton dan Hall 1997). Meskipun
demikian proses degenerasi yang berlangsung secara terus menerus dapat
menyebabkan kematian sel (nekrosis) dan nekrosis merupakan kerusakan sel
yang bersifat irreversibel.
Keberadaan toksikan juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ
hati secara umum (yang juga berhubungan dengan kerusakan pada sel hati)
seperti nekrosis, perlemakan hati dan sirosis (Lu 1995). Nekrosis merupakan
kematian sel hati (hepatosit), berdasarkan penyebabnya dapat disebabkan
karena dua hal yaitu (1) karena pengaruh langsung zat toksik (2) karena
kekurangan O2 dan nutrisi.
Perlemakan hati terjadi jika berat lipid yang ada pada hati lebih dari 5%
(Lu 1995). Lemak yang menumpuk dihati merupakan lemak netral dalam
bentuk trigliserida. Menurut Farrel dan Larter (2006) secara garis besar
penumpukan tersebut bisa disebabkan karena konsumsi alkohol yang
berlebihan ataupun bukan karena alkohol seperti tetrasiklin, etionin (Lu 1995)
dan defisiensi kolin (Rinella et al. 2008). Mekanisme yang paling umum yang
menyebabkan penumpukan trigliserida tersebut adalah terganggunya
pelepasan trigliserida dari hati ke dalam plasma darah (Carlton dan McGavin
1995).
Sirosis merupakan bentuk peradangan kronis yang ditandai dengan
pembentukan jaringan. Sirosis ditandai dengan adanya septa kolagen yang
tersebar disebagian besar hati sehingga hati menjadi keras. Beberapa senyawa
karsinogen dan juga CCl 4 dapat menjadi penyebab sirosis, selain itu konsumsi
alkohol dan dibarengi dengan diet yang kurang kolin, protein, metionin,
vitamin B12, dan asam folat juga dapat menyebabkan sirosis pada hati (Lu
1995).
Pendeteksian gangguan fungsi hati dapat dilihat terhadap kandungan
bilirubin total hati yang meningkat dan kadar protein plasma (albumin dan
globulin) yang menurun. Menurut Harlina (2007) penurunan kadar albumin
dan peningkatan kadar globulin sering terjadi pada sindrom nefrotik, patah
tulang, infeksi, tumor dan kondisi-kondisi peradangan. Sedangkan gangguan
terhadap proses detoksifikasi dalam hati ditandai dengan peningkatan kadar
enzim-enzim transaminase yaitu serum glutamat oksaloasetat transaminase
(SGOT), serum glutamat piruvat transaminase (SGPT) dan juga enzim alkalin
fosfatase. Gangguan fungsi hati juga dapat dilihat dari kandungan total lemak,
protein, kolesterol dan trigliserida.
Gangguan yang diidentifikasi pada profil biokimiawi serum darah
tersebut dapat dikorelasikan dengan profil histopatologi hati yang berkaitan
dengan kondisi sel yang mengalami lesio degenerasi hidropik, degenerasi
lemak, nekrosis ataupun apoptosis. Pengamatan dilakukan pada bagian
perilobuler yang dekat dengan vena hepatika dan arteri hepatika, karena
bagian ini yang pertama kali berinteraksi dengan darah yang berasal dari usus
(membawa zat gizi dan juga xenobiotik). Dengan mengkorelasikan kedua
parameter tersebut maka akan didapat gambaran yang lebih utuh terkait
dampak toksisitas dari suatu senyawa terhadap organ hati.
2.2.4.2. Ginjal
a. Morfologi ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama di daerah
lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang dibungkus lapisan lemak
dengan jumlah sepasang. Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang
dengan warna merah kecoklatan. Bagian luar ginjal yang beraspek gelap
disebut kortek dan bagian dalam yang beraspek agak cerah disebut medula
yang di dalamnya terdapat unit fungsional ginjal yang disebut nefron dengan
jumlah ribuan. Nefron memiliki fungsi dasar untuk membersihkan plasma
darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh yang biasanya berasal
dari hasil metabolisme urea, kreatinin, asam urat, ion-ion natrium, kalium,
klorida serta ion hidrogen dalam jumlah yang berlebih (Guyton dan Hall 1997).
Secara struktur nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus.
Glomerulus terdapat dalam ruang bowman dan mendapat aliran darah
dari arteri aferen yang merupakan sistim kapiler bertekanan tinggi (Lu 1995).
Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau
penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang
berpori dari glomerulus dan ruang Bowman karena adanya tekanan dari darah
yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalam
tubulus ginjal mengalir melalui tubulus proksimal, ansa henle dan ke tubulus
distal (Gambar 3). Dari sini cairan akan mengalir kesistem pengumpul yang
terdiri dari tubulus penghubung, tubulus kolektivus kortikal dan tubulus
kolektivus medularis. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan
saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih
melewati ureter (Delman dan Eurell 1998).
Fungsi ginjal adalah menyingkirkan hasil metabolisme normal (seperti
urea, asam urat dan kreatinin) dan juga senyawa xenobiotik yang tidak
dibutuhkan tubuh. Disamping itu ginjal juga berperan penting dalam menjaga
homeostasis tubuh berkaitan dengan pH, cairan dan juga komposisi mineral
seperti sodium, potasium, klorida, kalsium dan fosfor.
Gambar 3. Antomi Ginjal (www.uic.edu).
Proses pengaturan cairan dan juga mineral dilakukan oleh ginjal dengan
perantara 2 hormon yaitu hormon vasopresin dan hormon aldosteron yang
pengeluarannya diperantarai oleh sistem renin-angiotensin. ketika tubuh
kekurangan cairan salah satunya ditandai dengan ketika osmolalitas plasma
yang meningkat maka parat juxtaglomerulat pada ginjal akan mengeluarkan
enzim proteolitik renin. Enzim tersebut akan mengkatalisis perubahan
angiotensin plasma menjadi angiotensin I yang selanjutnya akan diubah
menjadi angiotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting enzim (ACE).
Angiotensin II akan memerintahkan hipotalamus melakukan 2 hal, yaitu
(1) menstimulasi rasa haus, (2) memerintahkan jaringan ptuitari posterior
untuk melepaskan hormon vasopresin ke dalam plasma, selanjutnya hormon
ini menuju sel-sel duktus koligenites ginjal untuk meningkatkan permeabilitas
terhadap air sehingga mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air. Air yang
direabsorbsi ini meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan
ekstraseluler (CES), jadi secara singkat hormon vasopresin mempunyai fungsi
antidiuretik. Tetapi jika osmolalitas tubuh normal kembali maka sekresi
hormon vasopresin dihentikan.
Selain itu angiotensin II juga memerintahkan kortek adrenal untuk
mengeluarkan hormon aldosteron. Hormon ini berfungsi meningkatkan
reabsorpsi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium pada bagian
tubulus distal ginjal (Guyton dan Hall 1997).
b. Patologi ginjal
Ginjal juga merupakan salah satu organ utama yang menjadi sasaran
aksi toksikan karena beberapa hal, yaitu: (1) Mempunyai volume aliran darah
yang tinggi, darah tersebut umumnya membawa zat-zat yang tidak diperlukan
tubuh termasuk toksikan, (2) Mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, (3)
Membawa toksikan melalui tubulus dan, (4) Mengaktifkan toksikan tertentu
(Lu 1995). Keberadaan senyawa toksik dan juga peranan ginjal terhadap
senyawa toksik tersebut menyebabkan terjadi interaksi antara toksikan dengan
sel-sel pada ginjal, interaksi tersebut dapat menyebabkan efek buruk pada
semua bagian ginjal.
Gangguan yang umumnya terjadi pada glomerulus adalah gangguan
filtrasi yang bisa diakibatkan karena pori-pori glomerulus mudah dilakui oleh
senyawa sehingga ketika filtrat yang sampai di tubuli berada dalam jumlah
yang tidak normal (Harlina 2007), selain itu pada glomerulus juga sering
terjadi endapan protein maupun amiloid yang dapat melebar sehingga
mempersempit ruang Bowman (McGavin dan Zachary 2007). Sedangkan
kelainan pada tubulus biasanya berkaitan dengan tidak sempurnanya fungsi
reabsorpsi dan keberadaan senyawa toksik. Beberapa kelainan yang umumnya
terjadi berkaitan dengan tidak sempurnya reabsoprsi diantaranya adalah
degenerasi hidropik, degenerasi hialin dan degenerasi lemak pada tubulus
proksimal (Thomas 1979). Degenerasi tersebut bersifat reversibel, artinya jika
penyebabnya hilang maka degenerasi pun akan hilang, tetapi jika
penyebabnya terus-menerus ada maka sel yang mengalami degenerasi lama
kelamaan akan berubah menjadi sel nekrosis (McGavin dan Zachary 2007).
Gangguan-gangguan yang terjadi pada ginjal dapat menyebabkan
terhambatnya proses pembentukan urin yang bisa diakibatkan karena
kemampuan filtrasi glomerulus menurun. Kondisi ini akan mengakibatkan
tekanan darah meningkat dan timbul racun metabolisme dalam darah terutama
ureum dan kreatinin.
Pengujian untuk mendeteksi kerusakan ginjal dapat diamati secara
kimiawi pada urin dan serum darah. Analisis dapat dilakukan pada kandungan
kreatinin, urea, beberapa ion elektrolit seperti potasium, sodium, kalsium,
fosfor dan klorida. Kreatinin merupakan hasil degradasi dari kreatin dan juga
merupakan produk akhir dari metabolisme otot. Kreatinin disintesis dari asam
amino arginin dan glisin di dalam hati dan ginjal. Kreatinin difiltrasi
glomerulus dan tidak disekresikan ataupun direasorbsi tubulus, sehingga
kreatinin sering dijadikan indikator untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus
(Harlina 2007).
Sedangkan urea merupakan hasil metabolisme tubuh terhadap amonia
dari protein atau dengan kata lain urea merupakan bentuk buangan amonia
yang dihasilkan dari katabolisme protein. Sehingga kadar ureum akan
tergantung dari kadar amonia yang tentunya tergantung dari banyaknya asam
amino yang dikatabolisme oleh tubuh. Pada kondisi normal kandungan ureum
yang berlebih akan dikeluarkan tubuh lewat ginjal, sehingga jika kadar urea
dalam serum darah tinggi berarti ada indikasi kelainan ginjal dalam
menjalankan fungsinya untuk mengeluarkan ureum lewat urin.
Peranan ginjal dalam menjaga hemostasis pH dan cairan tubuh sangat
erat kaitannya dengan keberadaan ion-ion elektrolit dalam tubuh khususnya
pada serum darah (yang mudah diamati). Jumlahnya pada serum darah yang
lebih rendah ataupun lebih tinggi dari normal, mengindikasikan adanya
permasalahan pada ginjal khususnya pada bagian tubulus dalam mereabsorbi
ion-ion tersebut.
Kelainan-kelainan yang diamati pada profil biokimia serum darah,
dapat dikorelasikan dengan profil histologi ginjal yang berkaitan dengan
terjadinya lesio degenerasi hialin pada tubulus dan endapan protein pada
glomerulus. Pengamatan terhadap preparat histologi ginjal dilakukan pada
bagian glomerulus yang menjalankan fungsi filtrasi dan tubulus proksimal
karena bagian ini yang pertama kali menerima filtrat hasil filtrasi glomerulus.
Download