tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Karet
Tanaman karet merupakan tanaman yang mempunyai batang yang dapat
menghasilkan getah yang disebut lateks. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar
tanaman karet tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu
menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Fahrozi, 2010).
Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang
tangkai daun utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun antara 3-10 cm dan pada
ujungnya terdapat kelenjar. Anak daun berbentuk elips, memanjang dengan ujung
meruncing. Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Bunga karet
memiliki pembagian ruang yang jelas. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang
sampai enam ruang (Husniyati, 2012).
Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanahtanah vulkanis muda ataupun vulkanis tua, aluvial dan bahkan tanah gambut.
Tanah-tanah vukanis umumnya memiliki sifat-sifat fisika yang cukup baik,
terutama dari segi struktur, tekstur, solom, kedalaman air tanah, aerase, dan
drainasenya (Sianturi, 2001).
Bibit stum mata tidur adalah bibit yang diokulasi di lahan persemaian dan
polibeg, dan dibiarkan tumbuh selama kurang dari dua bulan, setelah itu dilakukan
pemotongan batang atas pada posisi 5-10 cm di atas mata okulasi dengan akar
tunggang tidak bercabang atau bercabang. Akar tunggang tidak bercabang lebih
baik dibandingkan dengan akar tunggang bercabang. Untuk akar tunggang yang
tidak bercabang, akar tunggang dipotong dengan menyisahkan 30-40 cm dan akar
lateral disisakan dengan panjang 5 cm (Shiddiqi et al. 2012).
Universitas Sumatera Utara
Biologi Patogen Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus)
Klasifikasi JAP menurut Jayasuriya et al. (1996) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Fungi
Fillum
: Basidiomycota
Kelas
: Basidiomycetes
Subkelas
: Agaricomycetidae
Ordo
: Polyporales
Famili
: Meripilaceae
Genus
: Rigidoporus
Spesies
: Rigidoporus microporus Swartz
Menurut Semangun (2000) basidiospora bulat, dengan garis tengah 2,8 –
5,0μm, banyak dibentuk pada tubuh buah yang masih muda. Basidium pendek
(buntak), lebih kurang 16 x 4,5-5,0 μm, tidak berwarna, mempunyai 4 sterigma
(tangkai basidiopora) (Gambar 1). Pada permukaan tubuh buah benang-benang
jamur berwarna kuning jingga, tebalnya 2,8 – 4,5 μm, mempunyai banyak sekat
yang tebal.
A
B
Gambar 1 Struktur Mikrokopis (A). R. microporus (B). Basidium (a),
basidiospora, (bs), sistidium (s), (Semangun, 2000)
Menurut Semangun (2000) tubuh buah berbentuk kipas tebal, agak
berkayu, mempunyai zone-zone pertumbuhan, sering mempunyai struktur serat
Universitas Sumatera Utara
yang radier, mempunyai tepi yang tipis. Warna permukaan atas bakal buah dapat
berubah tergantung dari umur dan kandungan airnya. Pada waktu masih muda
berwarna jingga jernih sampai merah kecoklatan, dengan zone berwarna gelap
yang agak menonjol. Permukaan bawah badan buah berwarna jingga, tepinya
berwarna kuning jernih atau putih kekuningan (Gambar 2). Badan buah yang tua
umumnya ditumbuhi ganggang sehingga warnanya kehijauan.
A
B
Gambar 2 Struktur Makrokopis R. microporus
(A) Rhizomorf, (B) Tubuh buah (Basidiocarp) (Situmorang & Budiman, 2003)
Daur Hidup Penyakit
Penyakit JAP merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman karet.
Penyakit ini menimbulkan kematian pada tanaman karet, sehingga serangan
penyakit ini akan menimbulkan kerugian pada produksi kebun. Penurunan
produksi karet kering terjadi rata-rata 2,7 kilogram per pohon per tahun. Serangan
JAP dapat timbul pada karet pada semua umur tanaman, akan tetapi pada kebun
muda yang baru dibuka untuk perkebunan karet (Nugroho, 2010).
Tanaman karet masih muda merupakan periode kritis terhadap penyakit
akar putih. Persentase tanaman terinfeksi naik mulai umur satu tahun, dan
mencapai puncaknya pada umur tanaman 2 tahun kemudian mulai menurun pada
Universitas Sumatera Utara
umur 3 tahun. Pada umur 4 tahun atau lebih, pertambahan tanaman terinfeksi
berlangsung secara lambat dan terus-menerus. Penyakit akar putih dapat
mengakibatkan kematian tanaman umur 3 tahun dalam waktu 6 bulan, dan umur 6
tahun dalam waktu satu tahun (Situmorang, 2004).
Setiap tanaman karet yang terserang oleh JAP akan segera mati jika tidak
segera ditanggulangi. Tanaman terinfeksi yang mati akan menjadi sumber infeksi
bagi tanaman disekitarnya, menyebabkan populasi pohon persatuan luas menjadi
berkurang dan sebagai akibatnya produktifitas kebun menjadi sangat rendah. JAP
dapat menyerang tanaman pada semua stadia pertumbuhan, dan serangan terberat
umumnya terjadi pada tanaman berumur 2-5 tahun (Rahayu et al. 2006).
Daur penyakit JAP terutama menular karena adanya kontak antara akar
tanaman sehat dengan akar tanaman yang sakit, atau dengan kayu yang
mengandung sumber infeksi. JAP dapat menular dengan perantara rizomorf yang
dapat menjalar bebas dalam tanah, terlepas dari akar atau kayu yang menjadi
makanannya. Setelah mencapai akar yang sehat rizomorf tumbuh secara epifitik
pada permukaan akar sampai agak jauh sebelum mengadakan penetrasi ke dalam
akar. Lamanya jamur bertahan hidup dalam tanah tergantung dari banyak
sedikitnya sisa-sisa kayu yang tertinggal di dalam tenah dan berbagai faktor yang
mempengaruhi pembusukan sisa kayu tersebut (Semangun, 2000).
Gejala serangan
Serangan dini JAP ditunjukkan dengan adanya miselia atau rizomorf pada
perakaran tanaman tetapi gejala pada tajuk belum tampak. Dalam stadia ini JAP
hanya
menempel
di
permukaan
akar
tetapi
belum
mengakibatkan
kerusakan/pembusukan pada bagian kulit atau kayu. Jika pembusukan/kerusakan
Universitas Sumatera Utara
telah terjadi pada kulit atau kayu, daun tajuk akan memucat atau menguning, dan
tingkat serangan akan berlanjut (Situmorang, 2004).
Penyakit jamur akar putih disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus
merupakan penyakit utama pada pertanaman karet yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada akar tanaman. Gejala pada daun terlihat pucat kuning dan tepi
atau ujung daun terlipat ke dalam. Kemudian daun gugur dan ujung ranting
menjadi mati. Pada perakaran tanaman sakit tampak benang-benang jamur
berwarna putih dan agak tebal (rizomorf). Jamur kadang-kadang membentuk
badan buah mirip topi berwarna jingga kekuning-kuningan pada pangkal akar
tanaman. Pada serangan berat, akar tanaman menjadi busuk sehingga tanaman
mudah tumbang dan mati. Kematian tanaman sering merambat pada tanaman
tetangganya (Semangun, 2000).
Penyakit akar putih karet disebabkan oleh R.microporus merupakan
penyakit akar yang paling merusak baik pada perkebunan karet muda maupun
pada pohon dewasa. Tanaman yang diserang umumnya mati, sehingga populasi
tanaman karet menjadi berkurang dan terkena dampak langsung pada
produktivitas karet. Selanjutnya, R.microporus adalah jamur yang bersifat parasit
dan saprofit, yang dapat hidup di tunggul dan akar terkubur di dalam tanah untuk
waktu
yang
lama
sampai
tunggul
telah
membusuk
sepenuhnya
(Situmorang & Budiman, 2003).
Tanaman yang terinfeksi akar putih mula-mula daunnya tampak kusam,
kurang mengkilat, dan melengkung ke bawah (daun yang sehat berbentuk seperti
perahu). Setelah itu daun-daun menguning dan rontok. Pada pohon dewasa
gugurnya daun, yang disertai dengan matinya ranting, menyebabkan pohon
Universitas Sumatera Utara
mempunyai mahkota yang jarang. Pohon yang terinfeksi kadang-kadang
membentuk bunga dan buah sebelum masanya. Akar-akar busuk, sehingga pohon
mudah rebah. JAP sering membentuk tubuh buah pada leher akar tanaman sakit,
pada tunggul, pada akar sakit yang terbuka (Semangun, 2000).
Gejala serangan JAP pada tanaman karet ditandai dengan adanya
perubahan warna pada daun-daun muda. Daun berwarna hijau kusam, permukaan
daun lebih tebal dari yang normal, adakalanya tanaman membentuk bunga/buah
lebih awal. R. microporus termasuk kategori jamur yang bersifat parasit fakultatif
artinya patogen dapat hidup sebagai saprofit yang kemudian menjadi parasit.
Patogen ini tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya sumber makanan, hal ini
menunjukkan bahwa timbulnya jap sangat ditentukan oleh adanya sisa-sisa
tunggul dan akar di lapangan (Rahayu et al. 2006).
Intensitas serangan jamur akar putih dapat dikategorikan menjadi tiga
golongan yaitu tingkat serangan ringan (1 – 25 %), dimana tajuk tanaman
terserang dan miselium jamur, baru menempel dan mulai menginfeksi kulit akar
atau pangkal batang, tingkat serangan sedang (25–50%), tajuk tanaman terserang
dan miselium jamur telah menginfeksi kulit akar dan akar mulai membusuk, daun
kusam dan mulai mengering serta tingkat serangan berat (50 %), dimana tajuk
tanaman terserang, dan menginfeksi sampai kebagian kayu pada akar, daun
tanaman kusam dan menguning (Hutagaol dan Melin, 2004).
Faktor Perkembangan Penyakit
Masalah yang sering muncul pada tanaman karet kebanyakan adalah
masalah patologis, terutama penyakit akar yang disebabkan jamur. Di perkebunan
penyakit akar menimbulkan masalah serius terutama di beberapa tahun pertama
Universitas Sumatera Utara
setelah tanam. Selama periode umur tanaman, hampir setengah produksi karet
hilang disebabkan oleh penyakit ini (Omurusi, et al. 2014).
Tunggul atau sisa tanaman karet dan kayu hutan primer merupakan
sumber infeksi JAP yang paling penting pada pertanaman karet, karena menjadi
sumber penularan yang sangat efektif. Pada tunggul tersebut jamur membentuk
badan buah yang membebaskan banyak spora ke udara, dan mendarat ke
permukaan tunggul lain. Tunggul yang terinfeksi ini menjadi sumber infeksi baru
lagi, JAP menular ke tanaman muda di dekatnya melalui kontak akar (
Situmorang, 2004).
JAP dapat menyerang tanaman karet pada bermacam-macam umur. Pada
umumnya gejala mulai tampak pada tahun ke-2, tahun ke-5 dan ke-6 infeksi baru
mulai berkurang, meskipun dalam kebun-kebun tua penyakit dapat berkembang
terus. Penyebaran melalui pembibitan juga dapat terjadi pada pengolahan lahan
pembibitan yang tidak baik pada bekas pertanaman karet yang terserang berat oleh
jamur akar putih (Semangun, 2000).
Penyakit JAP berkembang lebih baik pada tanah bertekstur kasar/berpasir
atau berstruktur gembur berpasir dari pada bertekstur halus/liat atau berstruktur
padat. Miselia atau rizomorf JAP akan lebih mudah bergerak menembus tanah
berpori daripada tanah padat sehingga penularan patogen berlangsung dengan
cepat. Kondisi iklim yaitu kelembapan tinggi secara terus-menerus sangat disukai
oleh JAP bagi perkembangannya. (Situmorang, 2004)
Penyebaran jarak jauh R. microporus utamanya terjadi dengan spora
dengan perantara angin. Spora yang jatuh pada tunggul akan tumbuh menjadi dan
membentuk koloni baru. Jamur tersebut mulanya tumbuh sebagai saprofit, tetapi
Universitas Sumatera Utara
jika bertemu atau menemukan tanaman inangnya berubah menjadi patogen dan
hidup sebagai parasit yang dapat meyebabkan kematian tanaman. Tanah yang
lebih berpasir serta gembur memudahkan penyebaran rizomorf patogen. Intensitas
dan luas serangan tinggi pada musim hujan karena rizomorf aktif menyebar pada
musim hujan. Pada musim kemarau cenderung membentuk basidiokarp. Tanaman
sakit cenderung berkelompok dengan pusat tanaman terinfeksi berat, tunggul
bekas tanaman sakit yang belum dibongkar dan juga lubang bekas tanaman sakit
yang telah dibongkar (Nugroho, 2010)
Tanaman yang terinfeksi di pertanaman akan menjadi sumber infeksi
jamur ke tanaman tetangganya. Tanaman tersebut lambat laun mati, dan jumlah
kematian tananaman akan makin bertambah. Pada kebun bertunggul yang berasal
dari tanaman karet tua atau hutan primer menunjukkan bahwa laju perkembangan
kematian tanaman sangat cepat. Hal ini disebabkan tunggul-tunggul terinfeksi
sebagai
sumber
infeksi
jamur
cukup
banyak
tersebar
dalam
kebun.
(Situmorang, 2004)
Pengendalian
Pengendalian JAP sangat sulit dilakukan karena jamur ini dapat bertahan
hidup di tanah selama 25 tahun tanpa adanya tanaman inang. Jamur ini bertahan
dengan memanfaatkan kayu yang sudah lapuk sebagai tempat tumbuhnya.
Mekanisme pengendalian hayati patogen tanaman bisa terjadi melalui berbagai
mekanisme,
diantaranya
adalah
antagonisme
dan
ketahanan
terimbas.
Antagonisme dengan mamanfaatkan organisme antagonis yang mempunyai
pengaruh merugikan terhadap mikroorganisme lain yang hidup berasosiasi
dengannya. Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah
Universitas Sumatera Utara
tanaman
diinokulasi
lebih
awal
dengan
elisitor
biotik
yang
berupa
mikroorganisme avirulen, nonpatogenik maupun saprofit (Nugroho, 2010).
Pengendalian penyakit JAP dengan cara pencegahan meliputi pembersihan
tunggul dan sisa akar sebagai sumber infeksi, peracunan dan pembakaran tunggul
yang terinfeksi, penanaman penutup tanah seperti Pueraria javanica, centrosema
pubezcens, calopogonium mucunoides, psopocarpus palustris dan colopogonium
caeruleum yang dapat meningkatkan aktifitas mikrobia tanah yang diantaranya
bersifat antagonis terhadap JAP dan mempercepat pelapukan tunggul atau sisa
akar (Situmorang, 2004)
Pengendalian JAP pada karet dilakukan dengan melaksanakan sejumlah
kegiatan secara terpadu. Pengendalian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
membersihkan sumber infeksi sebelum dan sesudah penanaman tanaman karet
dan mencegah meluasnya penyakit (Semangun, 2000). Sistem monitoring yang
baik dengan menemukan tanaman terserang dini akan menunjang keberhasilan
dalam pengobatan tanaman terinfeksi yaitu dapat mencapai diatas 80 %
(Situmorang, 2004).
Untuk memperkecil resiko kematian tanaman akibat JAP dapat dilakukan
dengan membersihkan areal pertanaman dari sisa akar atau tunggul tanaman yang
merupakan tempat hidup dan sumber penularan penyakit pada saat pengolahan
tanah. Cara ini dirasakan cukup mahal, tetapi jika dibandingkan dengan biaya
pengobatan dan kerugian ekonomis akibat kematian tanaman oleh penyakit akar
putih (JAP), cara tersebut cukup menguntungkan. Perlu pula dilakukan
pemantauan penyakit akar putih 3− 6 bulan sekali dimulai saat tanaman berumur 6
bulan, terutama pada masa paling kritis yaitu umur 1−5 tahun. Jika terdapat gejala
Universitas Sumatera Utara
JAP, pengobatan harus dilakukan menggunakan fungisida secara rutin dengan
aplikasi minimal 8 kali selama 6 bulan (Boerhendhy dan Amypalupy, 2011).
Pembongkaran pohon-pohon karet tua secara mekanis dengan alat-alat berat
memberikan hasil yang lebih baik karena hanya meninggalkan sedikit sumber
infeksi di dalam tanah. Untuk membersihkan (eradikasi) sumber infeksi dapat
memanfaatkan kegiatan jasad renik tanah baik saprofit maupun antagonis dari
JAP (Semangun, 2000).
Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia yaitu dengan pengolesa,
penyiraman dan penaburan fungisida kimia pada perakaran setelah tanam
disekeliling perakaran tanaman yang terinfeksi. Penggunaan fungisida kimia ini
sering tidak dilakukan karena biaya yang terlalu mahal (Situmorang, 2004)
Beberapa agen hayati dapat digunakan dalam pengendalian JAP seperti
penggunaan Trichoderma sebagai biofungisida yang menghasailkan antibiotik dan
berdifat parasit terhadap JAP (Situmorang, 2004). Muharni & Widjajanti (2011)
melaporkan bahwa bakteri kitinolitik yang diisolasi dari rizosfer tanaman karet
mampu menghambat pertumbuhan jamur akar putih R. microporus. Kemampuan
isolat bakteri kitinolitik dalam menghambatpertumbuhan jamur akar putih
disebabkan aktivitas enzim kitinase yang dihasilkan oleh isolat tersebut.
Pengendalian alternatif yang murah, mudah didapat dan diterapkan yaitu
pemanfaatan yang mempunyai kemampuan untuk menekan atau menghambat
perkembangan penyakit JAP yaitu penggunaan tumbuhan antagonis. Beberapa
diantaranya adalah temu lawak (Curcuma xanthorrhiza), laos (Alpinia galanga),
kunyit (Curcuma domestica), garut (Marantha arundinace), lidah mertua
(Sansiviera trifasciata), cocor bebek (Kalanchoe pinnata), dan pandan hutan
Universitas Sumatera Utara
(Pandanus sp). Pengendalian dilakukan dengan menanam tumbuhan antagonis
tersebut di sekitar perakaran tanaman karet. Kunyit dan atau lidah mertua dapat
ditanam 3−4 tanaman di sekeliling pangkal batang tanaman karet. Lengkuas
ditanam pada pangkal tunggul tanaman karet. Tumbuhan antagonis dapat
membebaskan eksudat antibiotik disekitar perakaran dan mengakibatkan
perubahan sifat bio-kimia-fisik tanah yang dapat menghambat perkembangan JAP
dalam tanah (Situmorang, et al. 2006).
Tumbuhan antagonis relatif lebih murah, dan aman terhadap lingkungan
dibandingkan dengan fungisida kimia, hanya saja daya kerjanya berlangsung
lambat pada awalnya tetapi daya kendalinya berlangsung lama. Tumbuhan
antagonis memerlukan waktu sedikitnya 4 bulan setelah tanam untuk
pertumbuhannya
agar
daya
kerjanya
lebih
efektif
terhadap
JAP
(Situmorang, 2004)
Botani Tanaman Bangun-Bangun
Dalam
susunan
taksonomi,
tanaman
bangun-bangun
(Plectranthus amboinicus Lour) (Rout et al, 2012) diklasifikasikan seperti
berikut:
Divisi
: Spermatophita
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dikotiledonae
Ordo
: Solanales
Famili
: Labialae
Genus
: Plectranthus
Spesies
: Plectranthus amboinicus Lour
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Tanaman bangun-bangun (P. amboinicus L.) (Foto langsung)
Nama lain bangun-bangun yaitu torbangun, daun jinten, cuban oregano
indian borage dan mempunyai nama binomial Plectranthus amboinicus,
merupakan herba sukulen semi semak dengan tinggi 100-120 cm. bercabangcabang dan mempunyai bulu-bulu tegak yang halus (Aziz, 2013). Daun bangunbangun dalam keadaan segar memiliki helaian daun tebal, berwarna hijau muda
(Gambar 3), kedua permukaan berbulu halus dan berwarna putih, dalam keadaan
kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan bagian atas kasar, warna
menjadi coklat, permukaan bagian bawah berwarna lebih muda daripada
permukaan atas dengan tulang daun yang kurang menonjol (Wardani, 2007).
Perbanyakan Tanaman Bangun-Bangun
Bangun-bangun atau torbangun (P. amboinicus Lour) merupakan
tanaman yang jarang berbunga, namun perkembangbiakannya dapat dengan
mudah dilakukan dengan cara stek dan cepat berakar didalam tanah (Wardani,
2007). Perbanyakan dilakukan melalui pembibitan yaitu menggunakan polibeg
kecil ukuran 15 x 15 cm, stek yang digunakan adalah stek 2 buku dengan panjang
± 10-15 cm (Gambar 4). Pembibitan dilakukan selama 3 minggu sebelum pindah
tanam (transplanting) ke lapang. Penanaman dilakukan pada saat bibit yang
Universitas Sumatera Utara
berasal dari stek telah berdaun empat helai dan membuka sempurna. Bibit yang
ditanam tersebut adalah bibit yang memiliki pertumbuhan yang sehat dan seragam
di pembibitan. Bangun-bangun menyukai tempat yang agak ternaungi (25-60%
naungan) (Aziz, 2013).
Gambar 4. Bahan stek tanaman bangun-bangun (P. amboinicus) (foto langsung)
Manfaat dan Kandungan Bangun-bangun
Tanaman bangun-bangun (P.ambonicus L.) merupakan salah satu
etnobotani (dimanfaatkan sebagai tanaman obat) Indonesia yang secara turun
temurun dimanfaatkan masyarakat Sumatera Utara sebagai menu sayuran seharihari terutama untuk ibu-ibu yang baru melahirkan yang terbukti dapat
meningkatkan total volume air susu ibu, berat badan bayi, dan komposisi zat besi,
seng dan kalium dalam ASI. Kandungan minyak atsiri dari daun bangun-bnagun
dapat dimanfaatkan sebagi antiseptika (Santosa dan Salasia, 2004).
Daun bangun-bangun mempunyai beberapa kegunaan untuk pengobatan di
berbagai negara, terutama untuk batuk, radang tenggorokan dan gangguan di
hidung, tetapi juga untuk berbagai masalah seperti luka, infeksi, reumatik, diare,
hepatoprotective, lactatogum, dan perut kembung. Kegunaan lain adalah sebagai
tanaman hias dan sumber minyak esensial (Aziz, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, daun bangun-bangun memiliki potensi sebagai bahan pangan
sumber kalsium, zat besi dan provitamin A (karoten). Tiga komponen utama
dalam daun bangun-bangun yaitu komponen pertama merupakan senyawa
laktogogum, yaitu komponen yang dapat menstimulir produksi kelenjar air susu
pada induk laktasi. Komponen kedua merupakan zat gizi sedangkan komponen
ketiga merupakan
antibakterial,
farmakoseutika
antioksidan,
yaitu
pelumas,
senyawa
pelentur,
yang bersifat
pewarna
dan
buffer,
penstabil.
(Palupi, 2010).
Tanaman bangun-bangun sebagai agen antagonis
Tanaman
bangun-bangun
mengandung
senyawa
bioaktif
sebagai
antioksidan (Patel et al. 2010) antibakteri dan antijamur (Manjamalai et al. 2011).
Minyak esensial dari tanaman bangun-bangun ini memiliki aktivitas anti-mikroba
besar pada mikroorganisme fitopatogenik dan jamur, senyawa yang dihasilkan
dapat menekan perkembangan mikroorganisme seperti Aspergillus flavus,
Aspergillus niger, Aspergillus ochraceus, Aspergillus oryzae,Candida versatilis,
Fusarium sp. (Khare et al. 2011).
Hasil penelitian Santosa dan Triana (2005) menyebutkan bahwa dalam
daun bangun-bangun terkandung senyawa polifenol, saponin, glokosida flavonol
dan minyak atsiri. Penelitian lain oleh Hutajulu et al. (2008) menyebutkan bahwa
dalam ekstrak daun bangun-bangun positif mengandung senyawa flavanoid dan
alkaloid. Heyne (1987) menyatakan bahwa dari 120 kg daun segar kurang lebih
terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopropyl-o-kresol) yang
dapat bersifat antiseptikum bernilai tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menghambat radikal
bebas disebabkan oleh oksigen reaktif sehingga mampu mencegah berbagai
penyakit degeneratif. Senyawa-senyawa yang mempunyai potensi sebagai
antioksidan umumnya merupakan senyawa flavonoid, fenolik dan alkaloid.
Senyawa flavonoid dan polifenol bersifat antioksidan, antidiabetik, antikanker,
antiseptik dan antiinflamasi, sedangkan senyawa alkaloid bersifat menghambat
pertumbuhan sel-sel kanker (Hazimah, et al. 2013).
Selain sebagai sumber antioksidan, senyawa metabolit sekunder seperti
flavonoid, alkaloid, fenolik dan saponin juga mampu menghambat pertumbuhan
mikroorganisme seperti jamur dan bakteri yang disebut sebagai senyawa
antimikroba. Senyawa antimikroba telah banyak digunakan dalam produksi
makanan dan obat-obatan. (Bakri dan Afifi, 2006).
Flavonoid disintesis oleh tanaman sebagai respon terhadap infeksi
mikroba, jadi secara in vitro flavonoid efektif sebagai substansi antijamur
antimikroba yang membunuh banyak mikroorganisme. Kemungkinan aktivitasnya
dikarenakan kemampuan flavonoid membentuk ikatan dengan protein terlarut dan
dinding sel bakteri, semakin lipofilik suatu flavonoid semakin merusak membran
mikroba (Cowan, 1999).
Usaha pengendalian penyakit tanaman petani diharapkan dapat dan
mampu mengembangkan pestisida yang lebih ramah terhadap lingkungan dimana
salah diantaranya adalah dengan memanfaatkan pestisida nabati dan agensia
hayati yang dapat menghasilkan senyawa sekunder sebagai bahan aktif pestisida.
Pemanfaatan pestisida nabati dan agensia hayati diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan petani akan pestisida kimia sintetis yang sangat beracun dan
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan berbagai dampak negatif. Banyak hasil penelitian melaporkan,
bahwa minyak atsiri sebagai pestisida nabati dapat memperlihatkan pengaruh
penekanan atau penghambatan pertumbuhan dan perkecambahan mikroorganisme
Sait, 1991). Pengaruh ini disebabkan adanya senyawa aktif di dalam minyak atsiri
yang mampu menembus dinding sel mikroorganisme seperti jamur (Knobloch
dkk, 1989).
Senyawa-senyawa antijamur umumnya terdapat pada golongan senyawa
fenol, terpenoid (Harliana, 2006), flavonoid, saponin dan alkaloid (Padmawinata,
1995). Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang
ditemukan di alam (Kristanti, 2008). Dalam tumbuhan flavonoid pada umumnya
merupakan pigmen-pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan
aglikon. Flavonoid-flavonoid yang terdapat di alam antara lain adalah flavon,
isoflavon, antosianin, leuko-antosianin,dan kalkon (Rusdi, 1988).
Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah
sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat
antimikroba, antivirus, dan antiinsektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan
jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian
berfungsi menghambat fungi penyerangnya. Telah banyak flavonoid yang
diketahui memberikan efek fisiologi tertentu. Oleh karena itu, tumbuhan yang
mengandung
flavonoid
banyak
dipakai
dalam
pengobatan
tradisional
(Kristanti, 2008).
Sifat fisika dan kimia senyawa flavonoid antara lain adalah larut dalam air,
sedangkan dalam bentuk glisida yang termetilasi larut dalam eter. Sebagai
glikosida maupun aglikon, senyawa flavonoid tidak dapat larut dalam petroleum
Universitas Sumatera Utara
eter. Dari tumbuhan, glikosida dapat ditarik dengan pelarut organik yang bersifat
polar (Rusdi, 1988)
Flavonoid dibagi menjadi 7 tipe yaitu flavon, flavonol, flavonon, khalkon,
xanton, isoflavon, dan biflavon (Bylka, et al. 2004). Contoh senyawa flavonoid
yang mempunyai aktivitas antijamur antara lain xanthon dan euxanthon yang
diisolasi dari kulit buah Garcinia manganostana terhadap jamur Fusarium
oxysporum vasinfectum, Altenaria tenuis, dan Dreschiera oryzae. Xanthon alami
mempunyai aktivitas penghambatan yang baik terhadap ketiga jamur tersebut
(Gopalakrishnan, Banumathi, and Suresh, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Download