TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Karet Tanaman karet merupakan tanaman yang mempunyai batang yang dapat menghasilkan getah yang disebut lateks. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Fahrozi, 2010). Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun antara 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Anak daun berbentuk elips, memanjang dengan ujung meruncing. Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Bunga karet memiliki pembagian ruang yang jelas. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang sampai enam ruang (Husniyati, 2012). Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanahtanah vulkanis muda ataupun vulkanis tua, aluvial dan bahkan tanah gambut. Tanah-tanah vukanis umumnya memiliki sifat-sifat fisika yang cukup baik, terutama dari segi struktur, tekstur, solom, kedalaman air tanah, aerase, dan drainasenya (Sianturi, 2001). Bibit stum mata tidur adalah bibit yang diokulasi di lahan persemaian dan polibeg, dan dibiarkan tumbuh selama kurang dari dua bulan, setelah itu dilakukan pemotongan batang atas pada posisi 5-10 cm di atas mata okulasi dengan akar tunggang tidak bercabang atau bercabang. Akar tunggang tidak bercabang lebih baik dibandingkan dengan akar tunggang bercabang. Untuk akar tunggang yang tidak bercabang, akar tunggang dipotong dengan menyisahkan 30-40 cm dan akar lateral disisakan dengan panjang 5 cm (Shiddiqi et al. 2012). Universitas Sumatera Utara Biologi Patogen Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus) Klasifikasi JAP menurut Jayasuriya et al. (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom : Fungi Fillum : Basidiomycota Kelas : Basidiomycetes Subkelas : Agaricomycetidae Ordo : Polyporales Famili : Meripilaceae Genus : Rigidoporus Spesies : Rigidoporus microporus Swartz Menurut Semangun (2000) basidiospora bulat, dengan garis tengah 2,8 – 5,0μm, banyak dibentuk pada tubuh buah yang masih muda. Basidium pendek (buntak), lebih kurang 16 x 4,5-5,0 μm, tidak berwarna, mempunyai 4 sterigma (tangkai basidiopora) (Gambar 1). Pada permukaan tubuh buah benang-benang jamur berwarna kuning jingga, tebalnya 2,8 – 4,5 μm, mempunyai banyak sekat yang tebal. A B Gambar 1 Struktur Mikrokopis (A). R. microporus (B). Basidium (a), basidiospora, (bs), sistidium (s), (Semangun, 2000) Menurut Semangun (2000) tubuh buah berbentuk kipas tebal, agak berkayu, mempunyai zone-zone pertumbuhan, sering mempunyai struktur serat Universitas Sumatera Utara yang radier, mempunyai tepi yang tipis. Warna permukaan atas bakal buah dapat berubah tergantung dari umur dan kandungan airnya. Pada waktu masih muda berwarna jingga jernih sampai merah kecoklatan, dengan zone berwarna gelap yang agak menonjol. Permukaan bawah badan buah berwarna jingga, tepinya berwarna kuning jernih atau putih kekuningan (Gambar 2). Badan buah yang tua umumnya ditumbuhi ganggang sehingga warnanya kehijauan. A B Gambar 2 Struktur Makrokopis R. microporus (A) Rhizomorf, (B) Tubuh buah (Basidiocarp) (Situmorang & Budiman, 2003) Daur Hidup Penyakit Penyakit JAP merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman karet. Penyakit ini menimbulkan kematian pada tanaman karet, sehingga serangan penyakit ini akan menimbulkan kerugian pada produksi kebun. Penurunan produksi karet kering terjadi rata-rata 2,7 kilogram per pohon per tahun. Serangan JAP dapat timbul pada karet pada semua umur tanaman, akan tetapi pada kebun muda yang baru dibuka untuk perkebunan karet (Nugroho, 2010). Tanaman karet masih muda merupakan periode kritis terhadap penyakit akar putih. Persentase tanaman terinfeksi naik mulai umur satu tahun, dan mencapai puncaknya pada umur tanaman 2 tahun kemudian mulai menurun pada Universitas Sumatera Utara umur 3 tahun. Pada umur 4 tahun atau lebih, pertambahan tanaman terinfeksi berlangsung secara lambat dan terus-menerus. Penyakit akar putih dapat mengakibatkan kematian tanaman umur 3 tahun dalam waktu 6 bulan, dan umur 6 tahun dalam waktu satu tahun (Situmorang, 2004). Setiap tanaman karet yang terserang oleh JAP akan segera mati jika tidak segera ditanggulangi. Tanaman terinfeksi yang mati akan menjadi sumber infeksi bagi tanaman disekitarnya, menyebabkan populasi pohon persatuan luas menjadi berkurang dan sebagai akibatnya produktifitas kebun menjadi sangat rendah. JAP dapat menyerang tanaman pada semua stadia pertumbuhan, dan serangan terberat umumnya terjadi pada tanaman berumur 2-5 tahun (Rahayu et al. 2006). Daur penyakit JAP terutama menular karena adanya kontak antara akar tanaman sehat dengan akar tanaman yang sakit, atau dengan kayu yang mengandung sumber infeksi. JAP dapat menular dengan perantara rizomorf yang dapat menjalar bebas dalam tanah, terlepas dari akar atau kayu yang menjadi makanannya. Setelah mencapai akar yang sehat rizomorf tumbuh secara epifitik pada permukaan akar sampai agak jauh sebelum mengadakan penetrasi ke dalam akar. Lamanya jamur bertahan hidup dalam tanah tergantung dari banyak sedikitnya sisa-sisa kayu yang tertinggal di dalam tenah dan berbagai faktor yang mempengaruhi pembusukan sisa kayu tersebut (Semangun, 2000). Gejala serangan Serangan dini JAP ditunjukkan dengan adanya miselia atau rizomorf pada perakaran tanaman tetapi gejala pada tajuk belum tampak. Dalam stadia ini JAP hanya menempel di permukaan akar tetapi belum mengakibatkan kerusakan/pembusukan pada bagian kulit atau kayu. Jika pembusukan/kerusakan Universitas Sumatera Utara telah terjadi pada kulit atau kayu, daun tajuk akan memucat atau menguning, dan tingkat serangan akan berlanjut (Situmorang, 2004). Penyakit jamur akar putih disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus merupakan penyakit utama pada pertanaman karet yang dapat mengakibatkan kerusakan pada akar tanaman. Gejala pada daun terlihat pucat kuning dan tepi atau ujung daun terlipat ke dalam. Kemudian daun gugur dan ujung ranting menjadi mati. Pada perakaran tanaman sakit tampak benang-benang jamur berwarna putih dan agak tebal (rizomorf). Jamur kadang-kadang membentuk badan buah mirip topi berwarna jingga kekuning-kuningan pada pangkal akar tanaman. Pada serangan berat, akar tanaman menjadi busuk sehingga tanaman mudah tumbang dan mati. Kematian tanaman sering merambat pada tanaman tetangganya (Semangun, 2000). Penyakit akar putih karet disebabkan oleh R.microporus merupakan penyakit akar yang paling merusak baik pada perkebunan karet muda maupun pada pohon dewasa. Tanaman yang diserang umumnya mati, sehingga populasi tanaman karet menjadi berkurang dan terkena dampak langsung pada produktivitas karet. Selanjutnya, R.microporus adalah jamur yang bersifat parasit dan saprofit, yang dapat hidup di tunggul dan akar terkubur di dalam tanah untuk waktu yang lama sampai tunggul telah membusuk sepenuhnya (Situmorang & Budiman, 2003). Tanaman yang terinfeksi akar putih mula-mula daunnya tampak kusam, kurang mengkilat, dan melengkung ke bawah (daun yang sehat berbentuk seperti perahu). Setelah itu daun-daun menguning dan rontok. Pada pohon dewasa gugurnya daun, yang disertai dengan matinya ranting, menyebabkan pohon Universitas Sumatera Utara mempunyai mahkota yang jarang. Pohon yang terinfeksi kadang-kadang membentuk bunga dan buah sebelum masanya. Akar-akar busuk, sehingga pohon mudah rebah. JAP sering membentuk tubuh buah pada leher akar tanaman sakit, pada tunggul, pada akar sakit yang terbuka (Semangun, 2000). Gejala serangan JAP pada tanaman karet ditandai dengan adanya perubahan warna pada daun-daun muda. Daun berwarna hijau kusam, permukaan daun lebih tebal dari yang normal, adakalanya tanaman membentuk bunga/buah lebih awal. R. microporus termasuk kategori jamur yang bersifat parasit fakultatif artinya patogen dapat hidup sebagai saprofit yang kemudian menjadi parasit. Patogen ini tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya sumber makanan, hal ini menunjukkan bahwa timbulnya jap sangat ditentukan oleh adanya sisa-sisa tunggul dan akar di lapangan (Rahayu et al. 2006). Intensitas serangan jamur akar putih dapat dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu tingkat serangan ringan (1 – 25 %), dimana tajuk tanaman terserang dan miselium jamur, baru menempel dan mulai menginfeksi kulit akar atau pangkal batang, tingkat serangan sedang (25–50%), tajuk tanaman terserang dan miselium jamur telah menginfeksi kulit akar dan akar mulai membusuk, daun kusam dan mulai mengering serta tingkat serangan berat (50 %), dimana tajuk tanaman terserang, dan menginfeksi sampai kebagian kayu pada akar, daun tanaman kusam dan menguning (Hutagaol dan Melin, 2004). Faktor Perkembangan Penyakit Masalah yang sering muncul pada tanaman karet kebanyakan adalah masalah patologis, terutama penyakit akar yang disebabkan jamur. Di perkebunan penyakit akar menimbulkan masalah serius terutama di beberapa tahun pertama Universitas Sumatera Utara setelah tanam. Selama periode umur tanaman, hampir setengah produksi karet hilang disebabkan oleh penyakit ini (Omurusi, et al. 2014). Tunggul atau sisa tanaman karet dan kayu hutan primer merupakan sumber infeksi JAP yang paling penting pada pertanaman karet, karena menjadi sumber penularan yang sangat efektif. Pada tunggul tersebut jamur membentuk badan buah yang membebaskan banyak spora ke udara, dan mendarat ke permukaan tunggul lain. Tunggul yang terinfeksi ini menjadi sumber infeksi baru lagi, JAP menular ke tanaman muda di dekatnya melalui kontak akar ( Situmorang, 2004). JAP dapat menyerang tanaman karet pada bermacam-macam umur. Pada umumnya gejala mulai tampak pada tahun ke-2, tahun ke-5 dan ke-6 infeksi baru mulai berkurang, meskipun dalam kebun-kebun tua penyakit dapat berkembang terus. Penyebaran melalui pembibitan juga dapat terjadi pada pengolahan lahan pembibitan yang tidak baik pada bekas pertanaman karet yang terserang berat oleh jamur akar putih (Semangun, 2000). Penyakit JAP berkembang lebih baik pada tanah bertekstur kasar/berpasir atau berstruktur gembur berpasir dari pada bertekstur halus/liat atau berstruktur padat. Miselia atau rizomorf JAP akan lebih mudah bergerak menembus tanah berpori daripada tanah padat sehingga penularan patogen berlangsung dengan cepat. Kondisi iklim yaitu kelembapan tinggi secara terus-menerus sangat disukai oleh JAP bagi perkembangannya. (Situmorang, 2004) Penyebaran jarak jauh R. microporus utamanya terjadi dengan spora dengan perantara angin. Spora yang jatuh pada tunggul akan tumbuh menjadi dan membentuk koloni baru. Jamur tersebut mulanya tumbuh sebagai saprofit, tetapi Universitas Sumatera Utara jika bertemu atau menemukan tanaman inangnya berubah menjadi patogen dan hidup sebagai parasit yang dapat meyebabkan kematian tanaman. Tanah yang lebih berpasir serta gembur memudahkan penyebaran rizomorf patogen. Intensitas dan luas serangan tinggi pada musim hujan karena rizomorf aktif menyebar pada musim hujan. Pada musim kemarau cenderung membentuk basidiokarp. Tanaman sakit cenderung berkelompok dengan pusat tanaman terinfeksi berat, tunggul bekas tanaman sakit yang belum dibongkar dan juga lubang bekas tanaman sakit yang telah dibongkar (Nugroho, 2010) Tanaman yang terinfeksi di pertanaman akan menjadi sumber infeksi jamur ke tanaman tetangganya. Tanaman tersebut lambat laun mati, dan jumlah kematian tananaman akan makin bertambah. Pada kebun bertunggul yang berasal dari tanaman karet tua atau hutan primer menunjukkan bahwa laju perkembangan kematian tanaman sangat cepat. Hal ini disebabkan tunggul-tunggul terinfeksi sebagai sumber infeksi jamur cukup banyak tersebar dalam kebun. (Situmorang, 2004) Pengendalian Pengendalian JAP sangat sulit dilakukan karena jamur ini dapat bertahan hidup di tanah selama 25 tahun tanpa adanya tanaman inang. Jamur ini bertahan dengan memanfaatkan kayu yang sudah lapuk sebagai tempat tumbuhnya. Mekanisme pengendalian hayati patogen tanaman bisa terjadi melalui berbagai mekanisme, diantaranya adalah antagonisme dan ketahanan terimbas. Antagonisme dengan mamanfaatkan organisme antagonis yang mempunyai pengaruh merugikan terhadap mikroorganisme lain yang hidup berasosiasi dengannya. Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah Universitas Sumatera Utara tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik yang berupa mikroorganisme avirulen, nonpatogenik maupun saprofit (Nugroho, 2010). Pengendalian penyakit JAP dengan cara pencegahan meliputi pembersihan tunggul dan sisa akar sebagai sumber infeksi, peracunan dan pembakaran tunggul yang terinfeksi, penanaman penutup tanah seperti Pueraria javanica, centrosema pubezcens, calopogonium mucunoides, psopocarpus palustris dan colopogonium caeruleum yang dapat meningkatkan aktifitas mikrobia tanah yang diantaranya bersifat antagonis terhadap JAP dan mempercepat pelapukan tunggul atau sisa akar (Situmorang, 2004) Pengendalian JAP pada karet dilakukan dengan melaksanakan sejumlah kegiatan secara terpadu. Pengendalian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu membersihkan sumber infeksi sebelum dan sesudah penanaman tanaman karet dan mencegah meluasnya penyakit (Semangun, 2000). Sistem monitoring yang baik dengan menemukan tanaman terserang dini akan menunjang keberhasilan dalam pengobatan tanaman terinfeksi yaitu dapat mencapai diatas 80 % (Situmorang, 2004). Untuk memperkecil resiko kematian tanaman akibat JAP dapat dilakukan dengan membersihkan areal pertanaman dari sisa akar atau tunggul tanaman yang merupakan tempat hidup dan sumber penularan penyakit pada saat pengolahan tanah. Cara ini dirasakan cukup mahal, tetapi jika dibandingkan dengan biaya pengobatan dan kerugian ekonomis akibat kematian tanaman oleh penyakit akar putih (JAP), cara tersebut cukup menguntungkan. Perlu pula dilakukan pemantauan penyakit akar putih 3− 6 bulan sekali dimulai saat tanaman berumur 6 bulan, terutama pada masa paling kritis yaitu umur 1−5 tahun. Jika terdapat gejala Universitas Sumatera Utara JAP, pengobatan harus dilakukan menggunakan fungisida secara rutin dengan aplikasi minimal 8 kali selama 6 bulan (Boerhendhy dan Amypalupy, 2011). Pembongkaran pohon-pohon karet tua secara mekanis dengan alat-alat berat memberikan hasil yang lebih baik karena hanya meninggalkan sedikit sumber infeksi di dalam tanah. Untuk membersihkan (eradikasi) sumber infeksi dapat memanfaatkan kegiatan jasad renik tanah baik saprofit maupun antagonis dari JAP (Semangun, 2000). Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia yaitu dengan pengolesa, penyiraman dan penaburan fungisida kimia pada perakaran setelah tanam disekeliling perakaran tanaman yang terinfeksi. Penggunaan fungisida kimia ini sering tidak dilakukan karena biaya yang terlalu mahal (Situmorang, 2004) Beberapa agen hayati dapat digunakan dalam pengendalian JAP seperti penggunaan Trichoderma sebagai biofungisida yang menghasailkan antibiotik dan berdifat parasit terhadap JAP (Situmorang, 2004). Muharni & Widjajanti (2011) melaporkan bahwa bakteri kitinolitik yang diisolasi dari rizosfer tanaman karet mampu menghambat pertumbuhan jamur akar putih R. microporus. Kemampuan isolat bakteri kitinolitik dalam menghambatpertumbuhan jamur akar putih disebabkan aktivitas enzim kitinase yang dihasilkan oleh isolat tersebut. Pengendalian alternatif yang murah, mudah didapat dan diterapkan yaitu pemanfaatan yang mempunyai kemampuan untuk menekan atau menghambat perkembangan penyakit JAP yaitu penggunaan tumbuhan antagonis. Beberapa diantaranya adalah temu lawak (Curcuma xanthorrhiza), laos (Alpinia galanga), kunyit (Curcuma domestica), garut (Marantha arundinace), lidah mertua (Sansiviera trifasciata), cocor bebek (Kalanchoe pinnata), dan pandan hutan Universitas Sumatera Utara (Pandanus sp). Pengendalian dilakukan dengan menanam tumbuhan antagonis tersebut di sekitar perakaran tanaman karet. Kunyit dan atau lidah mertua dapat ditanam 3−4 tanaman di sekeliling pangkal batang tanaman karet. Lengkuas ditanam pada pangkal tunggul tanaman karet. Tumbuhan antagonis dapat membebaskan eksudat antibiotik disekitar perakaran dan mengakibatkan perubahan sifat bio-kimia-fisik tanah yang dapat menghambat perkembangan JAP dalam tanah (Situmorang, et al. 2006). Tumbuhan antagonis relatif lebih murah, dan aman terhadap lingkungan dibandingkan dengan fungisida kimia, hanya saja daya kerjanya berlangsung lambat pada awalnya tetapi daya kendalinya berlangsung lama. Tumbuhan antagonis memerlukan waktu sedikitnya 4 bulan setelah tanam untuk pertumbuhannya agar daya kerjanya lebih efektif terhadap JAP (Situmorang, 2004) Botani Tanaman Bangun-Bangun Dalam susunan taksonomi, tanaman bangun-bangun (Plectranthus amboinicus Lour) (Rout et al, 2012) diklasifikasikan seperti berikut: Divisi : Spermatophita Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dikotiledonae Ordo : Solanales Famili : Labialae Genus : Plectranthus Spesies : Plectranthus amboinicus Lour Universitas Sumatera Utara Gambar 3. Tanaman bangun-bangun (P. amboinicus L.) (Foto langsung) Nama lain bangun-bangun yaitu torbangun, daun jinten, cuban oregano indian borage dan mempunyai nama binomial Plectranthus amboinicus, merupakan herba sukulen semi semak dengan tinggi 100-120 cm. bercabangcabang dan mempunyai bulu-bulu tegak yang halus (Aziz, 2013). Daun bangunbangun dalam keadaan segar memiliki helaian daun tebal, berwarna hijau muda (Gambar 3), kedua permukaan berbulu halus dan berwarna putih, dalam keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan bagian atas kasar, warna menjadi coklat, permukaan bagian bawah berwarna lebih muda daripada permukaan atas dengan tulang daun yang kurang menonjol (Wardani, 2007). Perbanyakan Tanaman Bangun-Bangun Bangun-bangun atau torbangun (P. amboinicus Lour) merupakan tanaman yang jarang berbunga, namun perkembangbiakannya dapat dengan mudah dilakukan dengan cara stek dan cepat berakar didalam tanah (Wardani, 2007). Perbanyakan dilakukan melalui pembibitan yaitu menggunakan polibeg kecil ukuran 15 x 15 cm, stek yang digunakan adalah stek 2 buku dengan panjang ± 10-15 cm (Gambar 4). Pembibitan dilakukan selama 3 minggu sebelum pindah tanam (transplanting) ke lapang. Penanaman dilakukan pada saat bibit yang Universitas Sumatera Utara berasal dari stek telah berdaun empat helai dan membuka sempurna. Bibit yang ditanam tersebut adalah bibit yang memiliki pertumbuhan yang sehat dan seragam di pembibitan. Bangun-bangun menyukai tempat yang agak ternaungi (25-60% naungan) (Aziz, 2013). Gambar 4. Bahan stek tanaman bangun-bangun (P. amboinicus) (foto langsung) Manfaat dan Kandungan Bangun-bangun Tanaman bangun-bangun (P.ambonicus L.) merupakan salah satu etnobotani (dimanfaatkan sebagai tanaman obat) Indonesia yang secara turun temurun dimanfaatkan masyarakat Sumatera Utara sebagai menu sayuran seharihari terutama untuk ibu-ibu yang baru melahirkan yang terbukti dapat meningkatkan total volume air susu ibu, berat badan bayi, dan komposisi zat besi, seng dan kalium dalam ASI. Kandungan minyak atsiri dari daun bangun-bnagun dapat dimanfaatkan sebagi antiseptika (Santosa dan Salasia, 2004). Daun bangun-bangun mempunyai beberapa kegunaan untuk pengobatan di berbagai negara, terutama untuk batuk, radang tenggorokan dan gangguan di hidung, tetapi juga untuk berbagai masalah seperti luka, infeksi, reumatik, diare, hepatoprotective, lactatogum, dan perut kembung. Kegunaan lain adalah sebagai tanaman hias dan sumber minyak esensial (Aziz, 2013). Universitas Sumatera Utara Selain itu, daun bangun-bangun memiliki potensi sebagai bahan pangan sumber kalsium, zat besi dan provitamin A (karoten). Tiga komponen utama dalam daun bangun-bangun yaitu komponen pertama merupakan senyawa laktogogum, yaitu komponen yang dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi. Komponen kedua merupakan zat gizi sedangkan komponen ketiga merupakan antibakterial, farmakoseutika antioksidan, yaitu pelumas, senyawa pelentur, yang bersifat pewarna dan buffer, penstabil. (Palupi, 2010). Tanaman bangun-bangun sebagai agen antagonis Tanaman bangun-bangun mengandung senyawa bioaktif sebagai antioksidan (Patel et al. 2010) antibakteri dan antijamur (Manjamalai et al. 2011). Minyak esensial dari tanaman bangun-bangun ini memiliki aktivitas anti-mikroba besar pada mikroorganisme fitopatogenik dan jamur, senyawa yang dihasilkan dapat menekan perkembangan mikroorganisme seperti Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus ochraceus, Aspergillus oryzae,Candida versatilis, Fusarium sp. (Khare et al. 2011). Hasil penelitian Santosa dan Triana (2005) menyebutkan bahwa dalam daun bangun-bangun terkandung senyawa polifenol, saponin, glokosida flavonol dan minyak atsiri. Penelitian lain oleh Hutajulu et al. (2008) menyebutkan bahwa dalam ekstrak daun bangun-bangun positif mengandung senyawa flavanoid dan alkaloid. Heyne (1987) menyatakan bahwa dari 120 kg daun segar kurang lebih terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopropyl-o-kresol) yang dapat bersifat antiseptikum bernilai tinggi. Universitas Sumatera Utara Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menghambat radikal bebas disebabkan oleh oksigen reaktif sehingga mampu mencegah berbagai penyakit degeneratif. Senyawa-senyawa yang mempunyai potensi sebagai antioksidan umumnya merupakan senyawa flavonoid, fenolik dan alkaloid. Senyawa flavonoid dan polifenol bersifat antioksidan, antidiabetik, antikanker, antiseptik dan antiinflamasi, sedangkan senyawa alkaloid bersifat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker (Hazimah, et al. 2013). Selain sebagai sumber antioksidan, senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, fenolik dan saponin juga mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme seperti jamur dan bakteri yang disebut sebagai senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba telah banyak digunakan dalam produksi makanan dan obat-obatan. (Bakri dan Afifi, 2006). Flavonoid disintesis oleh tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba, jadi secara in vitro flavonoid efektif sebagai substansi antijamur antimikroba yang membunuh banyak mikroorganisme. Kemungkinan aktivitasnya dikarenakan kemampuan flavonoid membentuk ikatan dengan protein terlarut dan dinding sel bakteri, semakin lipofilik suatu flavonoid semakin merusak membran mikroba (Cowan, 1999). Usaha pengendalian penyakit tanaman petani diharapkan dapat dan mampu mengembangkan pestisida yang lebih ramah terhadap lingkungan dimana salah diantaranya adalah dengan memanfaatkan pestisida nabati dan agensia hayati yang dapat menghasilkan senyawa sekunder sebagai bahan aktif pestisida. Pemanfaatan pestisida nabati dan agensia hayati diharapkan dapat mengurangi ketergantungan petani akan pestisida kimia sintetis yang sangat beracun dan Universitas Sumatera Utara menyebabkan berbagai dampak negatif. Banyak hasil penelitian melaporkan, bahwa minyak atsiri sebagai pestisida nabati dapat memperlihatkan pengaruh penekanan atau penghambatan pertumbuhan dan perkecambahan mikroorganisme Sait, 1991). Pengaruh ini disebabkan adanya senyawa aktif di dalam minyak atsiri yang mampu menembus dinding sel mikroorganisme seperti jamur (Knobloch dkk, 1989). Senyawa-senyawa antijamur umumnya terdapat pada golongan senyawa fenol, terpenoid (Harliana, 2006), flavonoid, saponin dan alkaloid (Padmawinata, 1995). Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam (Kristanti, 2008). Dalam tumbuhan flavonoid pada umumnya merupakan pigmen-pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon. Flavonoid-flavonoid yang terdapat di alam antara lain adalah flavon, isoflavon, antosianin, leuko-antosianin,dan kalkon (Rusdi, 1988). Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat antimikroba, antivirus, dan antiinsektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi menghambat fungi penyerangnya. Telah banyak flavonoid yang diketahui memberikan efek fisiologi tertentu. Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak dipakai dalam pengobatan tradisional (Kristanti, 2008). Sifat fisika dan kimia senyawa flavonoid antara lain adalah larut dalam air, sedangkan dalam bentuk glisida yang termetilasi larut dalam eter. Sebagai glikosida maupun aglikon, senyawa flavonoid tidak dapat larut dalam petroleum Universitas Sumatera Utara eter. Dari tumbuhan, glikosida dapat ditarik dengan pelarut organik yang bersifat polar (Rusdi, 1988) Flavonoid dibagi menjadi 7 tipe yaitu flavon, flavonol, flavonon, khalkon, xanton, isoflavon, dan biflavon (Bylka, et al. 2004). Contoh senyawa flavonoid yang mempunyai aktivitas antijamur antara lain xanthon dan euxanthon yang diisolasi dari kulit buah Garcinia manganostana terhadap jamur Fusarium oxysporum vasinfectum, Altenaria tenuis, dan Dreschiera oryzae. Xanthon alami mempunyai aktivitas penghambatan yang baik terhadap ketiga jamur tersebut (Gopalakrishnan, Banumathi, and Suresh, 1997). Universitas Sumatera Utara