BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan Dividen Kebijakan dividen adalah pembuatan keputusan oleh perusahaan tentang besarnya dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham (Hery, 2013:13). Harjito dan Martono (2013:270) menambahkan bahwa, kebijakan dividen juga merupakan keputusan penggunaan laba perusahaan pada akhir tahun untuk modal guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang. Kebijakan dividen yang optimal pada suatu perusahaan adalah kebijakan yang menciptakan keseimbangan antara dividen saat ini dan pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang (Mardiyati, dkk., 2014). Kebijakan dividen merupakan keputusan setelah perusahaan beroperasi dan memperoleh laba. Kebijakan dividen menyangkut masalah penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham atau keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen atau ditahan guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang (Wiagustini, 2010:255). Kebijakan dividen adalah kebijakan yang penuh dilematis bagi pihak menajemen perusahaan, di lain pihak perusahaan ingin menahan laba atau keuntungan perusahaan untuk lebih mengembangkan perusahaan ke depannya untuk proses reinvestasi, sementara di lain pihak investor menuntut untuk mendapatkan dividen karena sudah disepakati dalam Rapat Umum Pemegang saham (RUPS). Sisi baik ketika perusahaan membayar dividen kepada pemegang saham atau investor adalah memberikan kepercayaan kepada investor bahwa perusahaan memiliki prospek ke depan yang bagus. Sisi kurang baiknya yaitu, laba perusahaan yang mungkin bisa digunakan untuk proses mengembangkan perusahaan dalam upaya reinvestasi harus berkurang untuk kegiatan pembayaran dividen (Kadir, 2010). Beberapa teori yang mendasari kebijakan dividen perusahaan menurut preferensi investor, yaitu: 1) Teori Dividen Tidak Relevan Teori dividen tidak relevan dikemukakan oleh Miller dan Modigliani (1961) menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak berpengaruh pada harga saham maupun terhadap biaya modal perusahaan. Teori MM berpendapat bahwa nilai suatu perusahaan ditentukan pada kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba, bukan pada bagaimana laba tersebut dibagi menjadi dividen dan laba ditahan. Teori MM menyatakan bahwa nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya dividend payout ratio, tetapi hanya ditentukan oleh profitabilitas dasar dan risiko usahanya, dengan asumsi bahwa tidak ada pajak yang dibayarkan atas dividen, saham dapat dibeli dan dijual tanpa adanya biaya transaksi, semua pihak baik manajer maupun pemegang saham memiliki informasi yang sama tentang laba perusahaan di masa yang akan datang. 2) Bird in The Hand Theory Gordon dan Lintner dalam Brigham dan Houston (2010:211) menyatakan bahwa para investor lebih menyukai dividen dibandingkan dengan capital gain. Dividen memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan capital gain, oleh karenanya investor akan merasa lebih aman untuk mengharapkan dividen saat ini dibandingkan menunggu capital gain yang di masa depan. 3) Tax Differential Theory Teori ini didasarkan atas pada perbedaan pajak antara dividen dengan keuntungan modal (capital gain). Pajak atas dividen harus dibayarkan pada tahun saat dividen tersebut diterima, sedangkan pajak atas capital gain tidak dibayarkan sampai saham dijual. Adanya keunggulan pajak tersebut maka membuat investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak dibandingkan dengan dividen (Brigham dan Houston, 2010:211). 4) Information Content Hypothesis Miller dan Modigliani (1961) berpendapat bahwa kebijakan dividen adalah tidak relevan dengan mengasumsikan baik investor maupun manajer memiliki informasi yang sama atas kesempatan berbagai peluang investasi. Investor dan manajer dianggap memiliki penilaian yang sama terhadap perusahaan dan kebijakan dividen atau kebijakan distribusi pendapatan di masa datang. Kenyataannya, manajer cenderung memiliki informasi yang lebih baik tentang prospek perusahaan dibanding dengan investor atau pemegang saham, sehingga investor menilai bahwa capital gain lebih berisiko dibanding dengan dividen dalam bentuk kas. Teori ini juga menjelaskan bahwa investor secara keseluruhan lebih menyukai pembayaran dividen daripada capital gain. 5) Clientele Effect Kelompok atau klien pemegang saham yang berlainan akan menyukai kebijakan pembayaran dividen yang berbeda-beda. Ada investor yang lebih menyukai memperoleh pendapatan saat ini dalam bentuk dividen. Investor seperti ini sering kali berasa dalam rentang pajak yang rendah atau bahkan nol, sehingga pajak bukanlah menjadi masalah. Ada pula investor yang lebih menyukai untuk menginvestasikan kembali pendapatan mereka, karena kelompok investor ini berada dalam tarif pajak yang cukup tinggi. Teori ini juga menjelaskan bahwa perusahaan yang memilih untuk menahan dan menginvestasikan kembali laba daripada membayar dividen, akan merugikan posisi pemegang saham yang membutuhkan pendapatan saat ini (Gumanti, 2013:44) 6) Teori Keagenan (Agency Theory) Teori ini menjelaskan bahwa dividen membantu mengurangi biaya keagenan terkait dengan pemisahan kepemilikan dan kendali atas perusahaan (Gumanti, 2013:60). 7) Teori Sinyal (Signalling Theory) Teori ini menjelaskan dividen akan mengurangi ketimpangan informasi (informasi asimetri) antara manajemen dan pemegang saham dengan menyiratkan informasi privat tentang prospek masa depan perusahaan (Gumanti, 2013:43). Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen menurut Wiagustini (2010:257), yaitu: 1) Posisi kas atau likuiditas perusahaan mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk membayarkan dividen. Bagi perusahaan yang memiliki laba ditahan yang cukup, tetapi manajemen memutuskan untuk menginvestasikan ke dalam aktiva riil, maka perusahaan tidak dapat membayar dividen dalam bentuk kas. 2) Kebutuhan pembayaran kembali utang perusahaan juga berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. Adanya batasan dalam perjanjian pinjaman kepada kreditur, seperti misalnya pembayaran dividen hanya dapat dilakukan setelah laba yang tersedia bagi pemegang saham dikurangi dengan angsuran pinjaman atau apabila modal kerja mencapai tingkat tertentu. Di samping itu persetujuan pemegang saham preferen di mana menuntut hak pembayaran dividen sebelum pembayaran dividen kepada pemegang saham biasa. 3) Tingkat ekspansi yang tinggi memerlukan dana yang besar, sehingga laba yang diperoleh lebih baik ditahan. Stabilitas earning memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan payout ratio yang tinggi. 4) Akses perusahaan di pasar modal juga berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Aksesibilitas perusahaan ini dipengaruhi oleh usia dan skala perusahaan, bagi perusahaan yang sudah established lebih mudah mempertahankan payout ratio yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang kecil. 5) Posisi pemegang saham dalam kelompok pajak juga berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Kepemilikan perusahaan oleh investor yang kecil cenderung untuk memiliki payout yang tinggi. Sedangkan kepemilikan perusahaan oleh pemegang saham yang termasuk dalam kelompok pembayar pajak besar akan lebih menyukai untuk mempertahankan payout yang rendah. Lebih lanjut posisi pembayaran pajak perusahaan berpengaruh pula terhadap kebijakan dividen. Kemungkinan adanya penalti atas kelebihan akumulasi laba ditahan mungkin akan mendorong untuk memilih payout yang lebih tinggi. Beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi kebijakan dividen menurut Sartono (2001:292-295), yaitu: 1) Kebutuhan Dana Perusahaan Kebutuhan dana perusahaan merupakan faktor yang mempengaruhi yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan dividen karena posisi kas perusahaan yang harus diperhatikan. 2) Likuiditas perusahaan Likuiditas perusahaan merupakan pertimbangan utama dalam banyak kebijakan dividen karena dividen merupakan kas keluar bagi peusahaan, maka semakin besar posisi kas dan likuiditas perusahaan, maka akan meningkatkan pembayaran dividen. 3) Kemampuan Meminjam Posisi likuiditas perusahaan dapat diatasi dengan kemampuan perusahaan untuk meminjam dalam jangka pendek. Kemampuan meminjam dalam jangka pendek tersebut akan meningkatkan fleksibilitas likuiditas perusahaan. Perusahaan yang semakin besar akan memiliki akses yang lebih baik di pasar modal. Kemampuan meminjam yang lebih besar, fleksibilitas lebih besar akan memperbesar kemampuan membayar dividen. 4) Keadaan Pemegang Saham Perusahaan yang kepemilikan sahamnya relatif tertutup, manajemen biasanya mengetahui dividen yang diharapkan oleh pemegang saham dan bertindak dengan tepat. Jika hampir semua pemegang saham berada dalam golongan high tax dan lebih suka menerima capital gain, maka perusahaan dapat mempertahankan dividend payout yang rendah. Dividend payout yang rendah tentunya dapat diperkirakan apakah perusahaan akan menahan laba untuk kesempatan investasi yang provitable. Untuk perusahaan yang jumlah pemegang sahamnya besar hanya dapat melalui dividen yang diharapkan pemegang saham dalam konteks pasar. 5) Stabilitas Dividen Bagi para investor pembagian dividen yang stabil akan dianggap lebih menarik daripada pembagian dividen yang tinggi. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan menurut Fachrudin (2011:149), yaitu: 1) Peraturan Hukum (1) Peraturan mengenai laba bersih yaitu menentukan bahwa dividen dapat dibayar dari laba yang terdahulu dan laba sekarang. (2) Peraturan mengenai tindakan yang merugikan modal yang berarti melindungi para kreditor, dengan melarang pembayaran dividen atau membagikan investasinya bukan membagikan keuntungan. (3) Peraturan mengenai tak mampu membayar dividen yang berarti perusahaan diperbolehkan tidak membayar dividen jika tidak mampu yaitu dimana jumlah utang lebih besar dari jumlah harta. 2) Faktor Keuangan dan Ekonomi (1) Posisi likuiditas merupakan laba ditahan yang biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang diperlukan untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahun-tahun terdahulu sudah diinvestasikan dalam bentuk mesin dan peralatan, persediaan, dan barang-barang lainnya, bukan disimpan dalam brntuk uang tunai. Hal ini yang menyebabkan suatu perusahaan dengan keuntungan yang luar biasa mungkin saja tidak membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. (2) Perlunya membayar kembali pinjaman adalah jika perusahaan telah melakukan pinjaman untuk memperluas usahanya atau pembiayaan lainnya, maka perusahaan melunasi pinjaman pada saat jatuh tempo atau dapat menyisihkan cadangan dana untuk melunasi pinjaman tersebut. Perusahaan yang memutuskan pelunasan pinjamannya, biasanya harus ada laba ditahan di dalam perusahaan. (3) Keterbatasan karena pokok pinjaman merupakan kontrak pinjaman apalagi jika menyangkut pinjaman jangka panjang seringkali membobol kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai. Pembatasanpembatasan ini dimaksudkan untuk melindungi para kreditor. (4) Tingkat penjualan aktiva merupakan semakin cepat pertumbuhan perusahaan, semakin tinggi dana yang dibutuhkan di kemudian hari dan semakin banyak laba yang harus ditahan dan tidak membagikan kentungan. (5) Tingkat laba merupakan laba dibagikan kepada para pemegang saham atau tetap ditahan di perusahaan untuk digunakan kembali. (6) Stabilitas Laba adalah perusahaan yang labanya relatif teratur seringkali dapat memperkirakan laba di kemudian hari. Perusahaan seperti itu kemungkinan besar akan membagikan labanya dalam bentuk dividen dengan persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang labanya berfluktuasi. (7) Pasar modal adalah perusahaan yang sudah mantap dengan profitabilitas yang tinggi dan keuntungan yang teratur, dengan mudah masuk ke pasar modal atau memperoleh pendanaan dari luar untuk pembiayaannya, karena itu perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil atau yang masih baru. (8) Kontrol adalah jika perusahaan hanya memperluas usahanya dari pembiayaan internal, maka pembayaran dividen akan berkurang. Kebijakan ini dijalankan atas pertimbangan bahwa menambah modal dengan menjual saham biasa akan mengurangi kontrol atas perusahaan oleh golongan pemegang saham yang sedang berkuasa, selain itu penjualan saham tambahan akan memperbesar risiko fluktuasi keuntungan bagi para pemegang saham. Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) adalah suatu keputusan untuk menentukan berapa besar bagian dari pendapatan perusahaan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham dan yang akan diinvestasikan kembali atau ditahan di dalam perusahaan, maka dividend payout ratio didasarkan pada rentang pertimbangan antara kepentingan pemegang saham disatu sisi, dan kepentingan perusahaan disisi yang lain (Fatimah, 2013). Tandelilin (2010:385) menyatakan rasio pembayaran dividen yaitu Dividend Payout Ratio (DPR): DPR = Dividend per share x 100% … … … … … … … … . (1) Earning per share 2.1.2 Teori Keagenan Teori keagenan menjelaskan bahwa kepentingan pemegang saham dan manajer seringkali bertentangan, sehingga dapat terjadi konflik diantara keduanya (Jensen dan Meckling, 1976). Pemegang saham mengharapkan keuntungan atas laba bersih perusahaan, sedangkan manajer kadangkala menggunakan laba bersih perusahaan untuk kegiatan internal perusahaan sehingga meniadakan kepentingan pemegang saham. Tujuan pribadi manajer seringkali bertentangan dengan maksimalisasi kekayaan pemegang saham, seperti para manajer ingin mendapatkan kompensasi (gaji pokok ditambah dengan bonus) (Brigham dan Houston, 2010:20). Pemegang saham ingin manajer bekerja dengan tujuan memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Manajer dapat bertindak tidak memaksimalkan kemakmuran pemegang saham namun untuk kemakmurannya sendiri, maka pemegang saham harus mengeluarkan biaya yang disebut agency cost. Agency cost tersebut meliputi pengeluaran untuk mengawasi kegiatan-kegiatan manajer, pengeluaran untuk membuat suatu struktur organisasi yang meminimalkan tindakan-tindakan manajer yang tidak diinginkan, dan opportunity cost yang timbul akibat adanya kondisi dimana manajer tidak dapat segera mengambil keputusan tanpa persetujuan pemegang saham (Anthony dan Govindarajan, 2005:269). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa terdapat tiga kategori agency cost, yaitu monitoring costs, bonding costs, dan residual loss. Monitoring costs adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen yang tujuannya untuk mengukur, mengamati dan mengontrol perilaku agen. Contoh monitoring costs adalah biaya audit dan biaya untuk menetapkan rencana kompensasi manajer, pembatasan anggaran, dan aturanaturan operasi. Bonding costs adalah biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen yang betindak untuk kepentingan prinsipal, misalnya biaya yang dikeluarkan oleh manajer untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemegang saham dan pemegang saham hanya akan mengijinkan bonding costs terjadi jika biaya tersebut dapat mengurangi monitoring costs. Residual loss timbul dari kenyataan bahwa agen kadangkala berbeda dari tindakan yang memaksimumkan kepentingan prinsipal. Beberapa alternatif untuk mengurangi konflik kepentingan dan biaya keagenan (agency cost), alternatif pertama adalah dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen. Kepemilikan ini akan menyejajarkan kepentingan manajemen dengan kepentingan pemegang saham. dengan adanya kepemilikan saham maka insiders akan merasakan langsung akibat dari keputusan yang diambilnya, sehingga tidak mungkin manajer bertindak opportunisctic. Alternatif kedua adalah dengan meningkatkan pendanaan dengan utang. Peningkatan utang akan menurunkan skala konflik antara pemegang saham dengan manajemen. Hal itu dapat dipahami karena apabila perusahaan memerlukan kredit, maka harus siap untuk dievaluasi dan dimonitor oleh pihak eksternal dan berarti akan mengurangi konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Utang juga akan menurunkan kelebihan aliran kas (excess cash flow) yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan yang dilakukan manajemen (Shadeva, 2015). Alternatif yang ketiga adalah institusional investor. Moh’d et al. (1998) menyatakan bahwa bentuk distribusi saham diantara pemegang saham dari luar (outside shareholders) yaitu institusional investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi agency cost. Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuatan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya manantang keberadaan manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power menjadi suatu hal yang relevan. Kepemilikan saham oleh institusi merupakan salah satu monitoring agent penting yang memaikan peranan secara aktif dan konsisten dalam melindungi investasi saham yang mereka pertaruhkan di dalam perusahaan. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Alternatif terakhir, yaitu dengan membayar dividen. Pembayaran dividen dapat mengurangi masalah keagenan antara manajer dengan mengurangi penggunaan biaya atas kewenangan manajer (Rozeff, 1982; Easterbrook, 1984; Jensen, 1986; Alli et al., 1993). Fangjie and Wei (2012) menyatakan bahwa, teori keagenan menyebutkan dividen tunai dapat mengurangi beban ditingkat manajemen, sedangkan menurut Farooq et al.(2012), kebijakan dividen merupakan salah satu mekanisme yang dapat mengurangi biaya agensi dengan mengurangi jumlah kas yang tersedia. Cruthley et al. (2000) menambahkan bahwa, pembayaran dividen akan menjadi alat monitoring sekaligus bonding bagi manajemen dan dividen juga membuat pemegang saham mempunyai kepastian pendapatan dan mengurangi agency cost. 2.1.3 Penyebaran Kepemilikan Penyebaran kepemilikan adalah jumlah sebaran kepemilikan saham dari seluruh saham yang beredar dari suatu perusahaan. Jumlah sebaran kepemilikan saham adalah jumlah kelompok-kelompok pemilik saham suatu perusahaan atas keseluruhan saham yang beredar (Alsaeed, 2006). Penyebaran kepemilikan merupakan jumlah pemegang saham yang setiap pemegang saham mewakili satu kelompok yang diukur dengan menggunakan variance persentase kepemilikan saham tiap kelompok (Taswan, 2003). Jumlah kelompok pemilik saham tersebut yaitu kepemilikan saham institusional, kepemilikan saham manajerial, maupun kepemilikan saham publik (Masdupi dalam Solikhin, 2010). Perusahaan dengan tingkat kepemilikan dispersi yang tinggi akan melakukan pengungkapan laporan keuangan secara lengkap dan jelas. Hal ini terjadi karena dengan adanya kepemilikan dispersi, pemilik akan meminta pengungkapan lebih untuk mengawasi perilaku opportunistik manajemen dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki kepemilikan terkonsentrasi (Shadeva, 2015). Perusahaan dengan kepemilikan manajerial semakin besar, maka akan sedikit informasi yang akan diungkapkan dalam laporan tahunan karena manajer memiliki akses yang luas terhadap informasi perusahaan tanpa harus melalui laporan tahunan yang dipublikasi. Perusahaan yang sebagian besar memiliki kepemilikan saham oleh investor individu akan mengungkapkan informasi laporan tahunan perusahaan , karena informasi tersebut akan dibutuhkan oleh para investor untuk menilai kinerja perusahaan dimana investor tersebut menanamkan sahamnya (Na’im dan Rakhman, 2000). Perusahaan yang tingkat kepemilikan sahamnya semakin menyebar, maka perlu secara rutin dan lengkap melakukan pengungkapan informasi perusahaan karena investor akan membutuhkan informasi tersebut untuk mengetahui laporan keuangan perusahaan dan informasi lainnya tentang perusahaan dimana investor menanamkan sahamnya. Penyebaran pemegang saham juga berperan dalam masalah keagenan. Pemegang saham yang semakin menyebar kurang efektif dalam monitoring dan sulit untuk melakukan kontrol terhadap perusahaan (Dempsey dan Laber ,1993). Akibatnya masalah keagenan muncul terutama karena adanya informasi yang asimetri. Lain halnya dengan pemegang saham yang semakin terkonsentrasi pada satu atau beberapa pemegang saham saja akan mempermudah kontrol terhadap kebijakan yang diambil pengelola perusahaan, sehingga dapat mengurangi asymmetric information dan mengurangi masalah keagenan (Ahmad dan Yossi, 2008). Taswan (2003) menambahkan bahwa pemegang saham yang semakin menyebar akan mengakibatkan kesulitan dalam proses monitoring perusahaan sehingga akan menimbulkan masalah keagenan yang penyelesaiannya melalui pembayaran dividen dan akan mengurangi jumlah laba yang ditahan. Penyebaran kepemilikan dihitung dengan rumus variance untuk menunjukkan penyebaran kepemilikan saham (Setiawan, 2012): n Variance = ∑ i=0 Keterangan ̅)² (Xi − X x 100% … … … … … … … … (2) n−1 : 𝑋𝑖 = Persentase kepemilikan saham satu kelompok 𝑋̅ = Rata-rata kepemilikan saham n = Jumlah data 2.1.4 Jaminan Aset Jaminan aset adalah besarnya aktiva yang dapat dijaminkan oleh perusahaan kepada kreditor. Jaminan aset adalah rasio aset tetap netto (net fixed assets) terhadap aset total dan rasio ini dianggap sebagai proksi aset-aset kolateral (jaminan) untuk biaya keagenan (Pujiastuti, 2008). Perusahaan menggunakan aktiva tetap sebagai jaminan pinjamannya. Besarnya aktiva tetap yang digunakan sebagai jaminan disebut jaminan aset. Peminjaman aktiva tetap adalah aktiva dalam bentuk properti, surat berharga, atau harta lain yang telah terikat sebagai jaminan untuk mendukung penerbitan obligasi, surat berharga, atau pinjaman (Pradessya, 2006). Perusahaan yang memiliki lebih banyak aset yang bersifat collateral memiliki agency problem yang lebih kecil antara kreditor dengan pemegang saham karena aset demikian bisa berfungsi sebagai jaminan atas utang (Titman dan Wessels, 1988). Pada umumnya utang jangka panjang yang berjaminan akan lebih murah daripada utang tanpa jaminan (Weston dan Brigham 2001:309). Perusahaan yang memiliki jaminan aset yang rendah meningkatkan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor, sehingga kreditor akan menghalangi perusahaan untuk membayar dividen dalam jumlah besar kepada pemegang saham karena takut piutang mereka tidak dibayar (Sartono, 2001). Pemegang obligasi dapat menempatkan syarat-syarat tambahan untuk pengamanan kreditnya (Riyanto, 2011:218), yaitu antara lain berupa : 1) Asuransi dari milik-milik perusahaan/ proyek. 2) Pernyataan bahwa peminjam tidak akan menjaminkan barang-barang lainnya untuk mendapatkan pinjaman dari sumber lain. 3) Pembatasan jumlah pinjaman dari sumber lain. 4) Penetapan agar perusahaan senantiasa memelihara net working capital yang cukup. 5) Persyaratan-persyaratan dalam penunjukkan pimpinan perusahaan, penambahan barang modal, dan pembagian keuntungan Pembayaran dividen yang tinggi akan mengakibatkan laba ditahan kemungkinan berkurang, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan pembiayaan melalui utang kepada kreditor (Muhammad Arfan dan Trillas, 2013). Jaminan aset memiliki hubungan yang positif terhadap dividend payout ratio dengan anggapan bahwa perusahaan yang memilki aktiva tetap dijaminkan yang lebih banyak akan mengurangi masalah keagenan antara pemegang saham dan pemegang obligasi dengan tingkat pembayaran dividen yang lebih tinggi (Handoko dalam Arimawati, 2011). Jaminan aset dapat dihitung berdasarkan perbandingan antara aset tetap dengan total aset (Deshmukh, 2005) : Jaminan Aset = Aset Tetap x 100% … … … … … … … … . (3) Total Aset 2.1.5 Posisi Kas Posisi kas adalah jumlah kas yang ada di perusahaan atau dana investasi yang dimiliki dalam suatu waktu tertentu. Posisi kas merupakan salah satu rasio likuiditas yang merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban lancar melalui sejumlah kas yang dimiliki perusahaan. Bagi perusahaan, posisi kas yang besar merupakan sinyal yang kuat dari kekuatan keuangan, sementara posisi kas kecil adalah tanda peringatan yang potensial. Hal ini dikarenakan kas sangat dibutuhkan untuk pembiayaan operasional bagi perusahaan (Alfatah, 2014). Kas merupakan bentuk aktiva yang paling likuid, yang bisa dipergunakan segera untuk memenuhi kewajiban finansial perusahaan (Husnan dan Enny, 2004:105). Semakin besar kas yang dimiliki perusahaan maka semakin tinggi likuiditasnya, semakin tinggi tingkat kemampuan membayar kewajiban hutang jangka pendek (utang lancar) (Fatimah, 2013). Pengertian lain mengenai kas yaitu kas merupakan konsep dana yang paling berguna, karena keputusan para investor, kreditor dan pihak lainnya terfokus pada penilaian arus kas di masa yang akan datang (Prastowo dan Rifka, 2005:34). Posisi kas mengindikasikan kemampuan kas perusahaan digunakan untuk pembiayaan perusahaan termasuk pembayaran dividen tunai. Bagi perusahaan yang memiliki posisi kas besar maka akan menjadi sinyal yang kuat akan kemampuan perusahaan melakukan pembayaran dividen (Taufiq, 2014). Umumnya, pihak manajemen cenderung menahan kas untuk melunasi kewajiban dan melakukan investasi. Apabila kondisinya seperti ini, jumlah dividen yang akan dibayarkan menjadi relatif kecil. Pemegang saham tentu saja menginginkan jumlah dividen kas yang tinggi sebagai hasil dari modal yang mereka investasikan (Windasari, 2013). Bagi perusahaan yang memiliki posisi kas yang semakin kuat akan semakin besar kemampuannya untuk membayar dividen kepada pemegang saham. Faktor ini merupakan faktor internal perusahaan yang dapat dikendalikan oleh manajemen sehingga pengaruhnya dapat dirasakan secara langsung bagi kebijakan dividen (Sudarsi, 2002). Posisi kas merupakan faktor pertimbangan sebelum mengambil suatu keputusan untuk menetapkan besar kecilnya dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham, hal ini dikarenakan dividen merupakan arus cash out flow, maka harus tersedianya cash yang cukup dan kepercayaan yang harus terjaga sehingga meskipun perusahaan mendapatkan laba tinggi dan beban hutang serta bunga rendah , tetapi tidak didukung oleh posisi kas yang kuat, maka kemampuannya untuk membayar dividen akan rendah (Marlina dan Clara, 2009). Posisi kas dihitung menggunakan cash ratio . Cash ratio merupakan perbandingan antara kas dan setara kas dengan kewajiban lancar. Rumus yang digunakan sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Kasmir, 2010:139) : Cash Ratio = Kas dan Setara Kas x 100% … … … … (4) Kewajiban Lancar 2.1.6 Return On Assets Return on assets adalah laba bersih yang diperoleh perusahaan atas keseluruhan dana yang ditanamkan untuk seluruh kegiatan operasional perusahaan. Return on assets digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya (Kasmir, 2012:202). Return on assets menunjukkan kemampuan perusahaan dengan menggunakan seluruh aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan laba setelah pajak. Rasio ini penting bagi pihak manajemen untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi manajemen perusahaan dalam mengelola seluruh aktiva perusahaan (Sudana, 2011:22). Return on assets merupakan salah satu indikator keberhasilan perusahaan untuk menghasilkan laba sehingga semakin tinggi profitabilitas maka semakin tinggi kemampuan untuk menghasilkan laba bagi perusahaan. Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam kegiatan operasi merupakan fokus utama dalam penilaian prestasi perusahaan dan laba menjadi indikator kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada kreditor dan investor (Rachmawati, 2012). Posisi dari nilai return on assets yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan berkemampuan dalam menghasilkan keuntungan yang berbanding dengan aset yang relatif tinggi. Melihat adanya hal tersebut, investor akan cenderung lebih menyukai perusahaan dengan return on assets yang tinggi, karena perusahaan yang memiliki nilai return on assets tinggi akan lebih mampu untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki nilai return on assets yang rendah (Anjani, 2015). Return on assets merupakan rasio terpenting di antara rasio rentabilitas yang ada. Rasio ini dapat memberikan indikasi tentang baik buruknya manajemen dalam melaksanakan kontrol biaya ataupun pengelolaan hartanya. Nilai return on assets yang tinggi berarti semakin tinggi pula dividen yang dapat dibayarkan (Ang, 1997). Perusahaan yang menghasilkan return on assets yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan dianggap mampu untuk menghasilkan profitabilitas yang dapat meningkatkan dividen perusahaan (Al-Nawaiseh, 2013; Juhandi et al., 2013; Thanatawee, 2013). Perusahaan dengan return on assets yang tinggi namun dibayarkan dividen yang rendah, karena keuntungan digunakan untuk meningkatkan laba ditahan. Perusahaan dengan return on assets yang rendah namun dibayarkan dividen yang tinggi, karena perusahaan mengalami penurunan profit sehingga untuk menjaga reputasi dimata investor, perusahaan akan membagikan dividen besar (Sartono, 2001: 54). Return On Assets (ROA) dihitung berdasarkan perbandingan laba bersih setelah pajak terhadap total aktiva yang dimiliki perusahaan (Wiagustini, 2010:81), yaitu dengan rumus: ROA = Laba bersih setelah pajak x 100% … … … … … … . (5) Total aktiva 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Penyebaran Kepemilikan terhadap Kebijakan Dividen Penyebaran kepemilikan adalah kepemilikan saham perusahaan yang menyebar (dispersi). Kepemilikan saham tersebut terdiri dari, kepemilikan saham institusional, kepemilikan saham manajerial, maupun kepemilikan saham publik (Masdupi dalam Solikhin, 2010). Kepemilikan saham oleh investor luar, seperti investor institusional mempunyai andil dalam penyelesaian konflik antara pemegang saham dengan manajer, jika kepemilikan sahamnya besar. Pemegang saham dapat langsung mengintervensi manajer, dalam bentuk pemberian saran untuk meningkatkan penjualan sehingga berdampak pada peningkatan harga saham (Brigham dan Houston, 2010:21). Semakin menyebar pemilik saham maka semakin besar jumlah dividen yang dibagikan. Semakin menyebar pemilik saham akan berdampak pada konflik keagenan, maka untuk mengurangi konflik keagenan yaitu bisa ditempuh dengan cara manajemen akan memberikan dividen yang besar. Kesulitan dalam melakukan kontrol juga menimbulkan masalah keagenan, terutama karena adanya informasi asimetri, oleh karena itu untuk menurunkan masalah keagenan ini diperlukan dividen yang lebih besar (Rozeff, 1982). Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung, yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozeff (1982) dan Alli et al. (1993) menyatakan bahwa adanya pengaruh penyebaran kepemilikan terhadap kebijakan dividen. Penyebaran kepemilikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen ditemukan oleh Pujiastuti (2008), Djumahir (2009), Rahman (2010), Chandrakusuma (2012), dan Shadeva (2015). Berdasarkan teori dan beberapa hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut : H1 : Penyebaran kepemilikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada sektor aneka industri di BEI periode 2010-2014. 2.2.2 Pengaruh Jaminan Aset terhadap Kebijakan Dividen Jaminan aset adalah aset-aset perusahaan yang dijaminkan oleh perusahaan kepada kreditor. Aset perusahaan ini berupa aset tetap, seperti tanah, bangunan dan peralatan yang biasanya digunakan sebagai jaminan untuk pinjaman jangka panjang (Brigham dan Hosuton, 2011:299). Semakin tinggi jaminan aset perusahaan kepada kreditor maka perusahaan bisa membayarkan dividen dalam jumlah yang tinggi pula. Hal ini disebabkan konflik keagenan antara pemegang saham dengan kreditor bisa diminimalisir dengan adanya jaminan yang dilakukan oleh perusahaan, karena dengan adanya jaminan aset yang tinggi tersebut kreditor tidak akan mengendalikan perusahaan atas piutangnya, maka kreditor tidak akan menghalangi perusahaan untuk membayarkan dividen kepada pemegang saham. Tingginya jaminan aset yang dimiliki perusahaan akan mengurangi konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor sehingga perusahaan dapat membayar dividen dalam jumlah besar. Jaminan aset yang rendah yang dimiliki perusahaan akan meningkatkan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor sehingga diterapkan batasan dalam perjanjian pinjaman mengenai pembatasan pembayaran dividen kepada pemegang saham (Latiefasari, 2011). Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung, yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh Pujiastuti (2008) serta Muhammad Arfan dan Trillas (2013) menyatakan bahwa jaminan aset mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Jaminan aset berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen ditemukan oleh Fauz dan Rosidi (2007), Latiefasari (2011), Natalia (2013), dan Wati (2015). Berdasarkan teori dan beberapa hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut : H2 : Jaminan aset berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada sektor aneka industri di BEI periode 2010-2014. 3.2.3 Pengaruh Posisi Kas terhadap Kebijakan Dividen Kas merupakan bentuk aktiva yang paling likuid, yang bisa dipergunakan segera untuk memenuhi kewajiban finansial perusahaan (Husnan dan Enny, 2004:105). Posisi kas suatu perusahaan merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk menetapkan besarnya dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham. Posisi kas mengindikasikan kemampuan kas perusahaan digunakan untuk pembiayaan perusahaan termasuk pembayaran dividen tunai. Bagi perusahaan yang memiliki posisi kas besar maka akan menjadi sinyal yang kuat akan kemampuan perusahaan melakukan pembayaran dividen (Taufiq, 2014). Oleh karena dividen merupakan cash outflow, maka makin kuatnya posisi kas perusahaan berarti semakin besar kemampuannya membayar dividen (Riyanto, 2011:202). Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Taufiq (2014) menyatakan bahwa posisi kas berpengaruh positif terhadap dividend payout ratio. Posisi kas berpengaruh positif dan signifikan terhadap dividend payout ratio ditemukan oleh Prihantoro (2003), Marlina dan Clara (2009), Bangun dan Stefanus (2012) serta Saranga (2014). Berdasarkan teori dan beberapa hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut : H3 : Posisi kas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada sektor aneka industri di BEI periode 2010-2014. 2.2.4 Pengaruh Return on Assets terhadap Kebijakan Dividen Return on assets menunjukkan kemampuan perusahaan dengan menggunakan seluruh aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan laba setelah pajak. Rasio ini penting bagi pihak manajemen untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi manajemen perusahaan dalam mengelola seluruh aktiva perusahaan (Sudana, 2011:22). Nilai return on assets yang tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba yang relatif tinggi. Investor akan menyukai perusahaan dengan nilai return on assets yang tinggi karena perusahaan dengan nilai return on assets yang tinggi mampu menghasilkan tingkat laba lebih besar dibandingkan perusahaan dengan return on assets rendah, maka perusahaan yang mampu menghasilkan return on assets yang tinggi akan membayar dividen yang tinggi pula (Wati, 2015). Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung, yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Nawaiseh (2013) dan Wati (2015) menyatakan bahwa return on assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Return on assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap dividend payout ratio ditemukan oleh Chasanah (2008), Marlina dan Clara (2009), Wicaksana (2012), dan Tania (2014). Berdasarkan teori dan beberapa hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut: H4 : Return on assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada sektor aneka industri di BEI periode 2010-2014.