BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen adalah pembuatan keputusan oleh perusahaan tentang
besarnya dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham (Hery, 2013:13).
Harjito dan Martono (2013:270) menambahkan bahwa, kebijakan dividen juga
merupakan keputusan penggunaan laba perusahaan pada akhir tahun untuk modal
guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang. Kebijakan dividen yang
optimal pada suatu perusahaan adalah kebijakan yang menciptakan keseimbangan
antara dividen saat ini dan pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang
(Mardiyati, dkk., 2014).
Kebijakan dividen merupakan keputusan setelah perusahaan beroperasi
dan memperoleh laba. Kebijakan dividen menyangkut masalah penggunaan laba
yang menjadi hak para pemegang saham atau keputusan apakah laba yang
diperoleh perusahaan akan dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen atau
ditahan guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang (Wiagustini,
2010:255).
Kebijakan dividen adalah kebijakan yang penuh dilematis bagi pihak
menajemen perusahaan, di lain pihak perusahaan ingin menahan laba atau
keuntungan perusahaan untuk lebih mengembangkan perusahaan ke depannya
untuk proses reinvestasi, sementara di lain pihak investor menuntut untuk
mendapatkan dividen karena sudah disepakati dalam Rapat Umum Pemegang
saham (RUPS). Sisi baik ketika perusahaan membayar dividen kepada pemegang
saham atau investor adalah memberikan kepercayaan kepada investor bahwa
perusahaan memiliki prospek ke depan yang bagus. Sisi kurang baiknya yaitu,
laba perusahaan yang mungkin bisa digunakan untuk proses mengembangkan
perusahaan dalam upaya reinvestasi harus berkurang untuk kegiatan pembayaran
dividen (Kadir, 2010).
Beberapa teori yang mendasari kebijakan dividen perusahaan menurut
preferensi investor, yaitu:
1) Teori Dividen Tidak Relevan
Teori dividen tidak relevan dikemukakan oleh Miller dan Modigliani (1961)
menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak berpengaruh pada harga saham
maupun terhadap biaya modal perusahaan. Teori MM berpendapat bahwa
nilai suatu perusahaan ditentukan pada kemampuan perusahaan dalam
memperoleh laba, bukan pada bagaimana laba tersebut dibagi menjadi
dividen dan laba ditahan. Teori MM menyatakan bahwa nilai perusahaan
tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya dividend payout ratio, tetapi hanya
ditentukan oleh profitabilitas dasar dan risiko usahanya, dengan asumsi
bahwa tidak ada pajak yang dibayarkan atas dividen, saham dapat dibeli dan
dijual tanpa adanya biaya transaksi, semua pihak baik manajer maupun
pemegang saham memiliki informasi yang sama tentang laba perusahaan di
masa yang akan datang.
2) Bird in The Hand Theory
Gordon dan Lintner dalam Brigham dan Houston (2010:211) menyatakan
bahwa para investor lebih menyukai dividen dibandingkan dengan capital
gain. Dividen memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan capital
gain, oleh karenanya investor akan merasa lebih aman untuk mengharapkan
dividen saat ini dibandingkan menunggu capital gain yang di masa depan.
3) Tax Differential Theory
Teori ini didasarkan atas pada perbedaan pajak antara dividen dengan
keuntungan modal (capital gain). Pajak atas dividen harus dibayarkan pada
tahun saat dividen tersebut diterima, sedangkan pajak atas capital gain tidak
dibayarkan sampai saham dijual. Adanya keunggulan pajak tersebut maka
membuat investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda
pembayaran pajak dibandingkan dengan dividen (Brigham dan Houston,
2010:211).
4) Information Content Hypothesis
Miller dan Modigliani (1961) berpendapat bahwa kebijakan dividen adalah
tidak relevan dengan mengasumsikan baik investor maupun manajer memiliki
informasi yang sama atas kesempatan berbagai peluang investasi. Investor
dan manajer dianggap memiliki penilaian yang sama terhadap perusahaan dan
kebijakan dividen atau kebijakan distribusi pendapatan di masa datang.
Kenyataannya, manajer cenderung memiliki informasi yang lebih baik
tentang prospek perusahaan dibanding dengan investor atau pemegang saham,
sehingga investor menilai bahwa capital gain lebih berisiko dibanding dengan
dividen dalam bentuk kas. Teori ini juga menjelaskan bahwa investor secara
keseluruhan lebih menyukai pembayaran dividen daripada capital gain.
5) Clientele Effect
Kelompok atau klien pemegang saham yang berlainan akan menyukai
kebijakan pembayaran dividen yang berbeda-beda. Ada investor yang lebih
menyukai memperoleh pendapatan saat ini dalam bentuk dividen. Investor
seperti ini sering kali berasa dalam rentang pajak yang rendah atau bahkan
nol, sehingga pajak bukanlah menjadi masalah. Ada pula investor yang lebih
menyukai untuk menginvestasikan kembali pendapatan mereka, karena
kelompok investor ini berada dalam tarif pajak yang cukup tinggi. Teori ini
juga menjelaskan bahwa perusahaan yang memilih untuk menahan dan
menginvestasikan kembali laba daripada membayar dividen, akan merugikan
posisi pemegang saham yang membutuhkan pendapatan saat ini (Gumanti,
2013:44)
6) Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori ini menjelaskan bahwa dividen membantu mengurangi biaya keagenan
terkait dengan pemisahan kepemilikan dan kendali atas perusahaan (Gumanti,
2013:60).
7) Teori Sinyal (Signalling Theory)
Teori ini menjelaskan dividen akan mengurangi ketimpangan informasi
(informasi asimetri) antara manajemen dan pemegang saham dengan
menyiratkan informasi privat tentang prospek masa depan perusahaan
(Gumanti, 2013:43).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen menurut Wiagustini
(2010:257), yaitu:
1) Posisi kas atau likuiditas perusahaan mempengaruhi kemampuan perusahaan
untuk membayarkan dividen. Bagi perusahaan yang memiliki laba ditahan
yang cukup, tetapi manajemen memutuskan untuk menginvestasikan ke
dalam aktiva riil, maka perusahaan tidak dapat membayar dividen dalam
bentuk kas.
2) Kebutuhan pembayaran kembali utang perusahaan juga berpengaruh terhadap
kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. Adanya batasan dalam
perjanjian pinjaman kepada kreditur, seperti misalnya pembayaran dividen
hanya dapat dilakukan setelah laba yang tersedia bagi pemegang saham
dikurangi dengan angsuran pinjaman atau apabila modal kerja mencapai
tingkat tertentu. Di samping itu persetujuan pemegang saham preferen di
mana menuntut hak pembayaran dividen sebelum pembayaran dividen
kepada pemegang saham biasa.
3) Tingkat ekspansi yang tinggi memerlukan dana yang besar, sehingga laba
yang diperoleh lebih baik ditahan. Stabilitas earning memungkinkan
perusahaan untuk mempertahankan payout ratio yang tinggi.
4) Akses perusahaan di pasar modal juga berpengaruh terhadap kebijakan
dividen. Aksesibilitas perusahaan ini dipengaruhi oleh usia dan skala
perusahaan, bagi perusahaan yang sudah
established lebih mudah
mempertahankan payout ratio yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan
yang kecil.
5) Posisi pemegang saham dalam kelompok pajak juga berpengaruh terhadap
kebijakan dividen. Kepemilikan perusahaan oleh investor yang kecil
cenderung untuk memiliki payout yang tinggi. Sedangkan kepemilikan
perusahaan oleh pemegang saham yang termasuk dalam kelompok pembayar
pajak besar akan lebih menyukai untuk mempertahankan payout yang rendah.
Lebih lanjut posisi pembayaran pajak perusahaan berpengaruh pula terhadap
kebijakan dividen. Kemungkinan adanya penalti atas kelebihan akumulasi
laba ditahan mungkin akan mendorong untuk memilih payout yang lebih
tinggi.
Beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi kebijakan dividen
menurut Sartono (2001:292-295), yaitu:
1) Kebutuhan Dana Perusahaan
Kebutuhan dana perusahaan merupakan faktor yang mempengaruhi yang
harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan dividen karena posisi
kas perusahaan yang harus diperhatikan.
2) Likuiditas perusahaan
Likuiditas perusahaan merupakan pertimbangan utama dalam banyak
kebijakan dividen karena dividen merupakan kas keluar bagi peusahaan,
maka semakin besar posisi kas dan likuiditas perusahaan, maka akan
meningkatkan pembayaran dividen.
3) Kemampuan Meminjam
Posisi likuiditas perusahaan dapat diatasi dengan kemampuan perusahaan
untuk meminjam dalam jangka pendek. Kemampuan meminjam dalam jangka
pendek tersebut akan meningkatkan fleksibilitas likuiditas perusahaan.
Perusahaan yang semakin besar akan memiliki akses yang lebih baik di pasar
modal. Kemampuan meminjam yang lebih besar, fleksibilitas lebih besar
akan memperbesar kemampuan membayar dividen.
4) Keadaan Pemegang Saham
Perusahaan yang kepemilikan sahamnya relatif tertutup, manajemen biasanya
mengetahui dividen yang diharapkan oleh pemegang saham dan bertindak
dengan tepat. Jika hampir semua pemegang saham berada dalam golongan
high tax dan lebih suka menerima capital gain, maka perusahaan dapat
mempertahankan dividend payout yang rendah. Dividend payout yang rendah
tentunya dapat diperkirakan apakah perusahaan akan menahan laba untuk
kesempatan investasi yang provitable. Untuk perusahaan yang jumlah
pemegang sahamnya besar hanya dapat melalui dividen yang diharapkan
pemegang saham dalam konteks pasar.
5) Stabilitas Dividen
Bagi para investor pembagian dividen yang stabil akan dianggap lebih
menarik daripada pembagian dividen yang tinggi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan
menurut Fachrudin (2011:149), yaitu:
1) Peraturan Hukum
(1) Peraturan mengenai laba bersih yaitu menentukan bahwa dividen dapat
dibayar dari laba yang terdahulu dan laba sekarang.
(2) Peraturan mengenai tindakan yang merugikan modal yang berarti
melindungi para kreditor, dengan melarang pembayaran dividen atau
membagikan investasinya bukan membagikan keuntungan.
(3) Peraturan mengenai tak mampu membayar dividen yang berarti
perusahaan diperbolehkan tidak membayar dividen jika tidak mampu
yaitu dimana jumlah utang lebih besar dari jumlah harta.
2) Faktor Keuangan dan Ekonomi
(1) Posisi likuiditas merupakan laba ditahan yang biasanya diinvestasikan
dalam bentuk aktiva yang diperlukan untuk menjalankan usaha. Laba
ditahan dari tahun-tahun terdahulu sudah diinvestasikan dalam bentuk
mesin dan peralatan, persediaan, dan barang-barang lainnya, bukan
disimpan dalam brntuk uang tunai. Hal ini yang menyebabkan suatu
perusahaan dengan keuntungan yang luar biasa mungkin saja tidak
membayar dividen karena keadaan likuiditasnya.
(2) Perlunya membayar kembali pinjaman adalah jika perusahaan telah
melakukan pinjaman untuk memperluas usahanya atau pembiayaan
lainnya, maka perusahaan melunasi pinjaman pada saat jatuh tempo atau
dapat menyisihkan cadangan dana untuk melunasi pinjaman tersebut.
Perusahaan yang memutuskan pelunasan pinjamannya, biasanya harus
ada laba ditahan di dalam perusahaan.
(3) Keterbatasan karena pokok pinjaman merupakan kontrak pinjaman
apalagi jika menyangkut pinjaman jangka panjang seringkali membobol
kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai. Pembatasanpembatasan ini dimaksudkan untuk melindungi para kreditor.
(4) Tingkat penjualan aktiva merupakan semakin cepat pertumbuhan
perusahaan, semakin tinggi dana yang dibutuhkan di kemudian hari dan
semakin banyak laba yang harus ditahan dan tidak membagikan
kentungan.
(5) Tingkat laba merupakan laba dibagikan kepada para pemegang saham
atau tetap ditahan di perusahaan untuk digunakan kembali.
(6) Stabilitas Laba adalah perusahaan yang labanya relatif teratur seringkali
dapat memperkirakan laba di kemudian hari. Perusahaan seperti itu
kemungkinan besar akan membagikan labanya dalam bentuk dividen
dengan persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan
yang labanya berfluktuasi.
(7) Pasar modal adalah perusahaan yang sudah mantap dengan profitabilitas
yang tinggi dan keuntungan yang teratur, dengan mudah masuk ke pasar
modal atau memperoleh pendanaan dari luar untuk pembiayaannya,
karena itu perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat
dividen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil atau
yang masih baru.
(8) Kontrol adalah jika perusahaan hanya memperluas usahanya dari
pembiayaan internal, maka pembayaran dividen akan berkurang.
Kebijakan ini dijalankan atas pertimbangan bahwa menambah modal
dengan menjual saham biasa akan mengurangi kontrol atas perusahaan
oleh golongan pemegang saham yang sedang berkuasa, selain itu
penjualan saham tambahan akan memperbesar risiko fluktuasi keuntungan
bagi para pemegang saham.
Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) adalah suatu
keputusan untuk menentukan berapa besar bagian dari pendapatan perusahaan
yang akan dibagikan kepada para pemegang saham dan yang akan diinvestasikan
kembali atau ditahan di dalam perusahaan, maka dividend payout ratio didasarkan
pada rentang pertimbangan antara kepentingan pemegang saham disatu sisi, dan
kepentingan perusahaan disisi yang lain (Fatimah, 2013). Tandelilin (2010:385)
menyatakan rasio pembayaran dividen yaitu Dividend Payout Ratio (DPR):
DPR =
Dividend per share
x 100% … … … … … … … … . (1)
Earning per share
2.1.2 Teori Keagenan
Teori keagenan menjelaskan bahwa kepentingan pemegang saham dan
manajer seringkali bertentangan, sehingga dapat terjadi konflik diantara keduanya
(Jensen dan Meckling, 1976). Pemegang saham mengharapkan keuntungan atas
laba bersih perusahaan, sedangkan manajer kadangkala menggunakan laba bersih
perusahaan untuk kegiatan internal perusahaan sehingga meniadakan kepentingan
pemegang saham. Tujuan pribadi manajer seringkali bertentangan dengan
maksimalisasi
kekayaan
pemegang saham,
seperti
para
manajer
ingin
mendapatkan kompensasi (gaji pokok ditambah dengan bonus) (Brigham dan
Houston, 2010:20).
Pemegang saham ingin manajer bekerja dengan tujuan memaksimalkan
kemakmuran pemegang saham. Manajer dapat bertindak tidak memaksimalkan
kemakmuran pemegang saham namun untuk kemakmurannya sendiri, maka
pemegang saham harus mengeluarkan biaya yang disebut agency cost. Agency
cost tersebut meliputi pengeluaran untuk mengawasi kegiatan-kegiatan manajer,
pengeluaran untuk membuat suatu struktur organisasi yang meminimalkan
tindakan-tindakan manajer yang tidak diinginkan, dan opportunity cost yang
timbul akibat adanya kondisi dimana manajer tidak dapat segera mengambil
keputusan tanpa persetujuan pemegang saham (Anthony dan Govindarajan,
2005:269).
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa terdapat tiga kategori
agency cost, yaitu monitoring costs, bonding costs, dan residual loss. Monitoring
costs adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor
perilaku agen yang tujuannya untuk mengukur, mengamati dan mengontrol
perilaku agen. Contoh monitoring costs adalah biaya audit dan biaya untuk
menetapkan rencana kompensasi manajer, pembatasan anggaran, dan aturanaturan operasi. Bonding costs adalah biaya yang ditanggung oleh agen untuk
menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen yang betindak
untuk kepentingan prinsipal, misalnya biaya yang dikeluarkan oleh manajer untuk
menyediakan laporan keuangan kepada pemegang saham dan pemegang saham
hanya akan mengijinkan bonding costs terjadi jika biaya tersebut dapat
mengurangi monitoring costs. Residual loss timbul dari kenyataan bahwa agen
kadangkala berbeda dari tindakan yang memaksimumkan kepentingan prinsipal.
Beberapa alternatif untuk mengurangi konflik kepentingan dan biaya
keagenan (agency cost), alternatif pertama adalah dengan meningkatkan
kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen. Kepemilikan ini akan
menyejajarkan kepentingan manajemen dengan kepentingan pemegang saham.
dengan adanya kepemilikan saham maka insiders akan merasakan langsung akibat
dari keputusan yang diambilnya, sehingga tidak mungkin manajer bertindak
opportunisctic. Alternatif kedua adalah dengan meningkatkan pendanaan dengan
utang. Peningkatan utang akan menurunkan skala konflik antara pemegang saham
dengan manajemen. Hal itu dapat dipahami karena apabila perusahaan
memerlukan kredit, maka harus siap untuk dievaluasi dan dimonitor oleh pihak
eksternal dan berarti akan mengurangi konflik antara manajemen dengan
pemegang saham. Utang juga akan menurunkan kelebihan aliran kas (excess cash
flow) yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan
pemborosan yang dilakukan manajemen (Shadeva, 2015).
Alternatif yang ketiga adalah institusional investor. Moh’d et al. (1998)
menyatakan bahwa bentuk distribusi saham diantara pemegang saham dari luar
(outside shareholders) yaitu institusional investor dan shareholders dispersion
dapat mengurangi agency cost. Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan
sumber kekuatan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya
manantang keberadaan manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power
menjadi suatu hal yang relevan. Kepemilikan saham oleh institusi merupakan
salah satu monitoring agent penting yang memaikan peranan secara aktif dan
konsisten dalam melindungi investasi saham yang mereka pertaruhkan di dalam
perusahaan. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan
kemakmuran pemegang saham.
Alternatif terakhir, yaitu dengan membayar dividen. Pembayaran dividen
dapat mengurangi masalah keagenan antara manajer dengan mengurangi
penggunaan biaya atas kewenangan manajer (Rozeff, 1982; Easterbrook, 1984;
Jensen, 1986; Alli et al., 1993). Fangjie and Wei (2012) menyatakan bahwa, teori
keagenan menyebutkan dividen tunai dapat mengurangi beban ditingkat
manajemen, sedangkan menurut Farooq et al.(2012), kebijakan dividen
merupakan salah satu mekanisme yang dapat mengurangi biaya agensi dengan
mengurangi jumlah kas yang tersedia. Cruthley et al. (2000) menambahkan
bahwa, pembayaran dividen akan menjadi alat monitoring sekaligus bonding bagi
manajemen dan dividen juga membuat pemegang saham mempunyai kepastian
pendapatan dan mengurangi agency cost.
2.1.3 Penyebaran Kepemilikan
Penyebaran kepemilikan adalah jumlah sebaran kepemilikan saham dari
seluruh saham yang beredar dari suatu perusahaan. Jumlah sebaran kepemilikan
saham adalah jumlah kelompok-kelompok pemilik saham suatu perusahaan atas
keseluruhan saham yang beredar (Alsaeed, 2006). Penyebaran kepemilikan
merupakan jumlah pemegang saham yang setiap pemegang saham mewakili satu
kelompok yang diukur dengan menggunakan variance persentase kepemilikan
saham tiap kelompok (Taswan, 2003). Jumlah kelompok pemilik saham tersebut
yaitu kepemilikan saham institusional, kepemilikan saham manajerial, maupun
kepemilikan saham publik (Masdupi dalam Solikhin, 2010).
Perusahaan dengan tingkat kepemilikan dispersi yang tinggi akan
melakukan pengungkapan laporan keuangan secara lengkap dan jelas. Hal ini
terjadi karena dengan adanya kepemilikan dispersi, pemilik akan meminta
pengungkapan lebih untuk mengawasi perilaku opportunistik manajemen
dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki kepemilikan terkonsentrasi
(Shadeva, 2015).
Perusahaan dengan kepemilikan manajerial semakin besar, maka akan
sedikit informasi yang akan diungkapkan dalam laporan tahunan karena manajer
memiliki akses yang luas terhadap informasi perusahaan tanpa harus melalui
laporan tahunan yang dipublikasi. Perusahaan yang sebagian besar memiliki
kepemilikan saham oleh investor individu akan mengungkapkan informasi
laporan tahunan perusahaan , karena informasi tersebut akan dibutuhkan oleh para
investor untuk menilai kinerja perusahaan dimana investor tersebut menanamkan
sahamnya (Na’im dan Rakhman, 2000). Perusahaan yang tingkat kepemilikan
sahamnya semakin menyebar, maka perlu secara rutin dan lengkap melakukan
pengungkapan informasi perusahaan karena investor akan membutuhkan
informasi tersebut untuk mengetahui laporan keuangan perusahaan dan informasi
lainnya tentang perusahaan dimana investor menanamkan sahamnya.
Penyebaran pemegang saham juga berperan dalam masalah keagenan.
Pemegang saham yang semakin menyebar kurang efektif dalam monitoring dan
sulit untuk melakukan kontrol terhadap perusahaan (Dempsey dan Laber ,1993).
Akibatnya masalah keagenan muncul terutama karena adanya informasi yang
asimetri. Lain halnya dengan pemegang saham yang semakin terkonsentrasi pada
satu atau beberapa pemegang saham saja akan mempermudah kontrol terhadap
kebijakan yang diambil pengelola perusahaan, sehingga dapat mengurangi
asymmetric information dan mengurangi masalah keagenan (Ahmad dan Yossi,
2008). Taswan (2003) menambahkan bahwa pemegang saham yang semakin
menyebar akan mengakibatkan kesulitan dalam proses monitoring perusahaan
sehingga akan menimbulkan masalah keagenan yang penyelesaiannya melalui
pembayaran dividen dan akan mengurangi jumlah laba yang ditahan.
Penyebaran kepemilikan dihitung dengan rumus variance untuk
menunjukkan penyebaran kepemilikan saham (Setiawan, 2012):
n
Variance = ∑
i=0
Keterangan
̅)²
(Xi − X
x 100% … … … … … … … … (2)
n−1
:
𝑋𝑖 = Persentase kepemilikan saham satu kelompok
𝑋̅ = Rata-rata kepemilikan saham
n = Jumlah data
2.1.4 Jaminan Aset
Jaminan aset adalah besarnya aktiva yang dapat dijaminkan oleh
perusahaan kepada kreditor. Jaminan aset adalah rasio aset tetap netto (net fixed
assets) terhadap aset total dan rasio ini dianggap sebagai proksi aset-aset kolateral
(jaminan) untuk biaya keagenan (Pujiastuti, 2008). Perusahaan menggunakan
aktiva tetap sebagai jaminan pinjamannya. Besarnya aktiva tetap yang digunakan
sebagai jaminan disebut jaminan aset. Peminjaman aktiva tetap adalah aktiva
dalam bentuk properti, surat berharga, atau harta lain yang telah terikat sebagai
jaminan untuk mendukung penerbitan obligasi, surat berharga, atau pinjaman
(Pradessya, 2006).
Perusahaan yang memiliki lebih banyak aset yang bersifat collateral
memiliki agency problem yang lebih kecil antara kreditor dengan pemegang
saham karena aset demikian bisa berfungsi sebagai jaminan atas utang (Titman
dan Wessels, 1988). Pada umumnya utang jangka panjang yang berjaminan akan
lebih murah daripada utang tanpa jaminan (Weston dan Brigham 2001:309).
Perusahaan yang memiliki jaminan aset yang rendah meningkatkan konflik
kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor, sehingga kreditor akan
menghalangi perusahaan untuk membayar dividen dalam jumlah besar kepada
pemegang saham karena takut piutang mereka tidak dibayar (Sartono, 2001).
Pemegang obligasi dapat menempatkan syarat-syarat tambahan untuk
pengamanan kreditnya (Riyanto, 2011:218), yaitu antara lain berupa :
1) Asuransi dari milik-milik perusahaan/ proyek.
2) Pernyataan bahwa peminjam tidak akan menjaminkan barang-barang
lainnya untuk mendapatkan pinjaman dari sumber lain.
3) Pembatasan jumlah pinjaman dari sumber lain.
4) Penetapan agar perusahaan senantiasa memelihara net working capital
yang cukup.
5) Persyaratan-persyaratan
dalam
penunjukkan
pimpinan
perusahaan,
penambahan barang modal, dan pembagian keuntungan
Pembayaran dividen yang tinggi akan mengakibatkan laba ditahan
kemungkinan
berkurang,
sehingga
perusahaan
perlu
untuk
melakukan
pembiayaan melalui utang kepada kreditor (Muhammad Arfan dan Trillas, 2013).
Jaminan aset memiliki hubungan yang positif terhadap dividend payout ratio
dengan anggapan bahwa perusahaan yang memilki aktiva tetap dijaminkan yang
lebih banyak akan mengurangi masalah keagenan antara pemegang saham dan
pemegang obligasi dengan tingkat pembayaran dividen yang lebih tinggi
(Handoko dalam Arimawati, 2011).
Jaminan aset dapat dihitung berdasarkan perbandingan antara aset tetap
dengan total aset (Deshmukh, 2005) :
Jaminan Aset =
Aset Tetap
x 100% … … … … … … … … . (3)
Total Aset
2.1.5 Posisi Kas
Posisi kas adalah jumlah kas yang ada di perusahaan atau dana investasi
yang dimiliki dalam suatu waktu tertentu. Posisi kas merupakan salah satu rasio
likuiditas yang merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
lancar melalui sejumlah kas yang dimiliki perusahaan. Bagi perusahaan, posisi kas
yang besar merupakan sinyal yang kuat dari kekuatan keuangan, sementara posisi
kas kecil adalah tanda peringatan yang potensial. Hal ini dikarenakan kas sangat
dibutuhkan untuk pembiayaan operasional bagi perusahaan (Alfatah, 2014).
Kas merupakan bentuk aktiva yang paling likuid, yang bisa dipergunakan
segera untuk memenuhi kewajiban finansial perusahaan (Husnan dan Enny,
2004:105). Semakin besar kas yang dimiliki perusahaan maka semakin tinggi
likuiditasnya, semakin tinggi tingkat kemampuan membayar kewajiban hutang
jangka pendek (utang lancar) (Fatimah, 2013). Pengertian lain mengenai kas yaitu
kas merupakan konsep dana yang paling berguna, karena keputusan para investor,
kreditor dan pihak lainnya terfokus pada penilaian arus kas di masa yang akan
datang (Prastowo dan Rifka, 2005:34).
Posisi kas mengindikasikan kemampuan kas perusahaan digunakan untuk
pembiayaan perusahaan termasuk pembayaran dividen tunai. Bagi perusahaan
yang memiliki posisi kas besar maka akan menjadi sinyal yang kuat akan
kemampuan perusahaan melakukan pembayaran dividen (Taufiq, 2014).
Umumnya, pihak manajemen cenderung menahan kas untuk melunasi kewajiban
dan melakukan investasi. Apabila kondisinya seperti ini, jumlah dividen yang
akan dibayarkan menjadi relatif kecil. Pemegang saham tentu saja menginginkan
jumlah dividen kas yang tinggi sebagai hasil dari modal yang mereka investasikan
(Windasari, 2013).
Bagi perusahaan yang memiliki posisi kas yang semakin kuat akan
semakin besar kemampuannya untuk membayar dividen kepada pemegang saham.
Faktor ini merupakan faktor internal perusahaan yang dapat dikendalikan oleh
manajemen sehingga pengaruhnya dapat dirasakan secara langsung bagi kebijakan
dividen (Sudarsi, 2002). Posisi kas merupakan faktor pertimbangan sebelum
mengambil suatu keputusan untuk menetapkan besar kecilnya dividen yang akan
dibayarkan kepada para pemegang saham, hal ini dikarenakan dividen merupakan
arus cash out flow, maka harus tersedianya cash yang cukup dan kepercayaan
yang harus terjaga sehingga meskipun perusahaan mendapatkan laba tinggi dan
beban hutang serta bunga rendah , tetapi tidak didukung oleh posisi kas yang kuat,
maka kemampuannya untuk membayar dividen akan rendah (Marlina dan Clara,
2009).
Posisi kas dihitung menggunakan cash ratio . Cash ratio merupakan
perbandingan antara kas dan setara kas dengan kewajiban lancar. Rumus yang
digunakan sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Kasmir, 2010:139) :
Cash Ratio =
Kas dan Setara Kas
x 100% … … … … (4)
Kewajiban Lancar
2.1.6 Return On Assets
Return on assets adalah laba bersih yang diperoleh perusahaan atas
keseluruhan dana yang ditanamkan untuk seluruh kegiatan operasional
perusahaan. Return on assets digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan
didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya
(Kasmir, 2012:202). Return on assets menunjukkan kemampuan perusahaan
dengan menggunakan seluruh aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan laba
setelah pajak. Rasio ini penting bagi pihak manajemen untuk mengevaluasi
efektivitas dan efisiensi manajemen perusahaan dalam mengelola seluruh aktiva
perusahaan (Sudana, 2011:22).
Return on assets merupakan salah satu indikator keberhasilan perusahaan
untuk menghasilkan laba sehingga semakin tinggi profitabilitas maka semakin
tinggi kemampuan untuk menghasilkan laba bagi perusahaan. Kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba dalam kegiatan operasi merupakan fokus
utama dalam penilaian prestasi perusahaan dan laba menjadi indikator
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada kreditor dan investor
(Rachmawati, 2012).
Posisi dari nilai return on assets yang tinggi menunjukkan bahwa
perusahaan berkemampuan dalam menghasilkan keuntungan yang berbanding
dengan aset yang relatif tinggi. Melihat adanya hal tersebut, investor akan
cenderung lebih menyukai perusahaan dengan return on assets yang tinggi, karena
perusahaan yang memiliki nilai return on assets tinggi akan lebih mampu untuk
menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan
perusahaan yang memiliki nilai return on assets yang rendah (Anjani, 2015).
Return on assets merupakan rasio terpenting di antara rasio rentabilitas yang ada.
Rasio ini dapat memberikan indikasi tentang baik buruknya manajemen dalam
melaksanakan kontrol biaya ataupun pengelolaan hartanya. Nilai return on assets
yang tinggi berarti semakin tinggi pula dividen yang dapat dibayarkan (Ang,
1997).
Perusahaan
yang
menghasilkan
return
on
assets
yang
tinggi
mengindikasikan bahwa perusahaan dianggap mampu untuk menghasilkan
profitabilitas yang dapat meningkatkan dividen perusahaan (Al-Nawaiseh, 2013;
Juhandi et al., 2013; Thanatawee, 2013). Perusahaan dengan return on assets
yang tinggi namun dibayarkan dividen yang rendah, karena keuntungan
digunakan untuk meningkatkan laba ditahan. Perusahaan dengan return on assets
yang rendah namun dibayarkan dividen yang tinggi, karena perusahaan
mengalami penurunan profit sehingga untuk menjaga reputasi dimata investor,
perusahaan akan membagikan dividen besar (Sartono, 2001: 54).
Return On Assets (ROA) dihitung berdasarkan perbandingan laba bersih
setelah pajak terhadap total aktiva yang dimiliki perusahaan (Wiagustini,
2010:81), yaitu dengan rumus:
ROA =
Laba bersih setelah pajak
x 100% … … … … … … . (5)
Total aktiva
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Penyebaran Kepemilikan terhadap Kebijakan Dividen
Penyebaran kepemilikan adalah kepemilikan saham perusahaan yang
menyebar (dispersi). Kepemilikan saham tersebut terdiri dari, kepemilikan saham
institusional, kepemilikan saham manajerial, maupun kepemilikan saham publik
(Masdupi dalam Solikhin, 2010). Kepemilikan saham oleh investor luar, seperti
investor institusional mempunyai andil dalam penyelesaian konflik antara
pemegang saham dengan manajer, jika kepemilikan sahamnya besar. Pemegang
saham dapat langsung mengintervensi manajer, dalam bentuk pemberian saran
untuk meningkatkan penjualan sehingga berdampak pada peningkatan harga
saham (Brigham dan Houston, 2010:21).
Semakin menyebar pemilik saham maka semakin besar jumlah dividen
yang dibagikan. Semakin menyebar pemilik saham akan berdampak pada konflik
keagenan, maka untuk mengurangi konflik keagenan yaitu bisa ditempuh dengan
cara manajemen akan memberikan dividen yang besar. Kesulitan dalam
melakukan kontrol juga menimbulkan masalah keagenan, terutama karena adanya
informasi asimetri, oleh karena itu untuk menurunkan masalah keagenan ini
diperlukan dividen yang lebih besar (Rozeff, 1982).
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung, yaitu hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rozeff (1982) dan Alli et al. (1993) menyatakan
bahwa adanya pengaruh penyebaran kepemilikan terhadap kebijakan dividen.
Penyebaran kepemilikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan
dividen ditemukan oleh Pujiastuti (2008), Djumahir (2009), Rahman (2010),
Chandrakusuma (2012), dan Shadeva (2015). Berdasarkan teori dan beberapa
hasil penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai
berikut :
H1 : Penyebaran kepemilikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kebijakan dividen pada sektor aneka industri di BEI periode 2010-2014.
2.2.2 Pengaruh Jaminan Aset terhadap Kebijakan Dividen
Jaminan aset adalah aset-aset perusahaan yang dijaminkan oleh
perusahaan kepada kreditor. Aset perusahaan ini berupa aset tetap, seperti tanah,
bangunan dan peralatan yang biasanya digunakan sebagai jaminan untuk pinjaman
jangka panjang (Brigham dan Hosuton, 2011:299). Semakin tinggi jaminan aset
perusahaan kepada kreditor maka perusahaan bisa membayarkan dividen dalam
jumlah yang tinggi pula. Hal ini disebabkan konflik keagenan antara pemegang
saham dengan kreditor bisa diminimalisir dengan adanya jaminan yang dilakukan
oleh perusahaan, karena dengan adanya jaminan aset yang tinggi tersebut kreditor
tidak akan mengendalikan perusahaan atas piutangnya, maka kreditor tidak akan
menghalangi perusahaan untuk membayarkan dividen kepada pemegang saham.
Tingginya jaminan aset yang dimiliki perusahaan akan mengurangi
konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor sehingga perusahaan
dapat membayar dividen dalam jumlah besar. Jaminan aset yang rendah yang
dimiliki perusahaan akan meningkatkan konflik kepentingan antara pemegang
saham dengan kreditor sehingga diterapkan batasan dalam perjanjian pinjaman
mengenai pembatasan pembayaran dividen kepada pemegang saham (Latiefasari,
2011).
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung, yaitu hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pujiastuti (2008) serta Muhammad Arfan dan
Trillas (2013) menyatakan bahwa jaminan aset mempunyai pengaruh positif
terhadap kebijakan dividen. Jaminan aset berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kebijakan dividen ditemukan oleh Fauz dan Rosidi (2007), Latiefasari
(2011), Natalia (2013), dan Wati (2015). Berdasarkan teori dan beberapa hasil
penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut :
H2 : Jaminan aset berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen
pada sektor aneka industri di BEI periode 2010-2014.
3.2.3 Pengaruh Posisi Kas terhadap Kebijakan Dividen
Kas merupakan bentuk aktiva yang paling likuid, yang bisa dipergunakan
segera untuk memenuhi kewajiban finansial perusahaan (Husnan dan Enny,
2004:105). Posisi kas suatu perusahaan merupakan faktor penting yang harus
dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk menetapkan besarnya
dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham. Posisi kas
mengindikasikan kemampuan kas perusahaan digunakan untuk pembiayaan
perusahaan termasuk pembayaran dividen tunai. Bagi perusahaan yang memiliki
posisi kas besar maka akan menjadi sinyal yang kuat akan kemampuan
perusahaan melakukan pembayaran dividen (Taufiq, 2014). Oleh karena dividen
merupakan cash outflow, maka makin kuatnya posisi kas perusahaan berarti
semakin besar kemampuannya membayar dividen (Riyanto, 2011:202).
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung, yaitu penelitian
yang dilakukan oleh Taufiq (2014) menyatakan bahwa posisi kas berpengaruh
positif terhadap dividend payout ratio. Posisi kas berpengaruh positif dan
signifikan terhadap dividend payout ratio ditemukan oleh Prihantoro (2003),
Marlina dan Clara (2009), Bangun dan Stefanus (2012) serta Saranga (2014).
Berdasarkan teori dan beberapa hasil penelitian empiris tersebut maka dapat
dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut
:
H3 : Posisi kas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen pada
sektor aneka industri di BEI periode 2010-2014.
2.2.4 Pengaruh Return on Assets terhadap Kebijakan Dividen
Return on assets menunjukkan kemampuan perusahaan dengan
menggunakan seluruh aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan laba setelah pajak.
Rasio ini penting bagi pihak manajemen untuk mengevaluasi efektivitas dan
efisiensi manajemen perusahaan dalam mengelola seluruh aktiva perusahaan
(Sudana, 2011:22). Nilai return on assets yang tinggi akan menunjukkan bahwa
perusahaan mampu menghasilkan laba yang relatif tinggi. Investor akan menyukai
perusahaan dengan nilai return on assets yang tinggi karena perusahaan dengan
nilai return on assets yang tinggi mampu menghasilkan tingkat laba lebih besar
dibandingkan perusahaan dengan return on assets rendah, maka perusahaan yang
mampu menghasilkan return on assets yang tinggi akan membayar dividen yang
tinggi pula (Wati, 2015).
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung, yaitu hasil
penelitian yang dilakukan oleh Al-Nawaiseh (2013) dan Wati (2015) menyatakan
bahwa return on assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan
dividen. Return on assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap dividend
payout ratio ditemukan oleh Chasanah (2008), Marlina dan Clara (2009),
Wicaksana (2012), dan Tania (2014). Berdasarkan teori dan beberapa hasil
penelitian empiris tersebut maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut:
H4 : Return on assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan
dividen pada sektor aneka industri di BEI periode 2010-2014.
Download