analisis kelembagaan dan dampak penerapan sertifikasi

advertisement
ANALISIS KELEMBAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN
SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS
MASYARAKAT LESTARI (PHBML) TERHADAP
PETANI HUTAN RAKYAT KABUPATEN WONOGIRI
DYAH PUSPITALOKA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Kelembagaan dan Dampak
Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML)
Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Dyah Puspitaloka
H44080055
i
RINGKASAN
DYAH PUSPITALOKA. Analisis Kelembagaan dan Dampak Penerapan
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap
Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri. Dibimbing oleh METI EKAYANI
dan NUVA.
Pemenuhan kebutuhan kayu untuk industri yang berorientasi ekspor saat ini
tidak bisa hanya mengandalkan pasokan dari hutan alam. Kecenderungan yang
terjadi saat ini adalah pemenuhan kebutuhan kayu untuk industri terutama
diperoleh dari hutan rakyat dan hutan tanaman industri (Departemen
Perindustrian, 2009). Litbang Kehutanan (2009) menyatakan bahwa hutan
tanaman, salah satunya hutan rakyat, akan menjadi sumber bahan baku industri
perkayuan di masa depan karena potensi dan ketergantungan pada hutan alam
semakin menurun. Hal ini menjadi peluang bagi hutan rakyat terutama yang
tersertifikasi. Terkait dengan sertifikasi di sektor kehutanan, lembaga sertifikasi
mencoba untuk mensertifikasi hutan rakyat sebagai bentuk penghargaan atas
usaha melestarikan hutan dan menstimulasi daerah lain yang memiliki hutan
rakyat untuk ikut serta dalam sertifikasi. Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada
sertifikasi dalam bentuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Lestari (PHBML). Penelitian dilakukan untuk melihat keuntungan dan kerugian
dari adanya sertifikasi di hutan rakyat serta penting atau tidaknya melakukan
sertifikasi di hutan rakyat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi keragaan kelembagaan; faktor-faktor yang mempengaruhi
penerapan sertifikasi pada petani hutan; dan dampak ekonomi, sosial, dan
lingkungan dari penerapan sertifikasi. Pengambilan data dilakukan pada bulan
Maret-April 2012 di FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri
Manunggal. Penting untuk diketahui bahwa ketiga unit manajemen hutan rakyat
tersertifikasi ini memperoleh sertifikasi dengan bantuan dari lembaga donor
sehingga tidak ada beban biaya yang harus ditanggung.
Adanya sertifikasi berhasil membentuk kelembagaan unit manajemen hutan
rakyat yang potensial dan didukung dengan keberadaan TPKS (Tempat
Pemasaran Kayu Sertifikasi) sebagai sarana pemasaran khusus untuk kayu
sertifikasi. Namun kelembagaan yang ada belum berjalan dengan optimal karena
kekurangan modal, tidak adanya pembeli akhir-akhir ini, ketidakmampuan dari
unit manajemen untuk memenuhi pasokan kayu yang diminta pembeli, dan tidak
berjalannya mekanisme perdagangan kayu sertifikasi melalui TPKS sebagai
perantara. Disamping itu, ditemukan adanya biaya transaksi dalam kelembagaan
perdagangan hutan rakyat yakni dalam bentuk biaya surat izin penebangan kayu.
Adanya biaya transaksi dan kemungkinan pembebanan sertifikasi dengan biaya
sendiri berpotensi mengurangi keuntungan yang diperoleh petani dari
pengusahaan hutan.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keikutsertaan petani hutan
didominasi oleh faktor kesadaran ingin menjaga lingkungan, harapan
mendapatkan premium price, dan adanya bantuan dari institusi (lembaga donor).
Meskipun faktor dominan yang menjadi alasan petani di ketiga unit manajemen
adalah karena kesadaran menjaga lingkungan tetapi mereka tidak bersedia
melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri. Faktor kedua yang mendominasi
adalah premium price dimana hal ini berkorelasi dengan tujuan fundamental
ii
sertifikasi yakni memberikan insentif atas usaha pelestarian lingkungan. Pada
kenyataannya premium price ini pernah didapat tapi tidak ada keberlanjutannya
sampai sekarang karena tidak ada pembeli yang mau membeli dengan harga di
atas harga pasar.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan diketahui bahwa adanya sertifikasi tidak memberikan dampak yang
signifikan. Ditinjau dari aspek sosial, adanya sertifikasi tidak menunjukkan
penguatan kelembagaan namun adanya sertifikasi berhasil meningkatkan
kapasitas petani dalam pengolahan hasil hutan menjadi handicraft, pengembangan
kemitraan, meningkatkan pengetahuan petani mengenai hutan rakyat dan
pengelolaannya, dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai fasilitator akses
terhadap informasi yang simetris.
Ditinjau dari segi ekonomi, sertifikasi tidak membuat perubahan dalam
mekanisme penjualan kayu yang terjadi di masyarakat maupun perubahan dalam
hal premium price. Dilain hal, adanya sertifikasi memberikan keuntungan dari
segi terciptanya sarana pengolahan hasil hutan menjadi handicraft dan adanya
bantuan pada kas kelompok yang disumbangkan oleh instansi yang melakukan
studi banding atau kunjungan. Analisis dampak ekonomi secara kuantitatif
dilakukan melalui analisis biaya dan manfaat terhadap dua skenario yakni tanpa
biaya sertifikasi dan dengan biaya sertifikasi PHBML. Adanya pembebanan biaya
sertifikasi yang terdiri dari biaya pengajuan, biaya penilaian sertifikasi, dan biaya
surveillance berpotensi menurunkan nilai manfaat pengolalaan hutan rakyat
sebesar 1,79%. Penurunan nilai ini tidak terlalu besar namun cukup membuat
manfaat pengelolaan hutan rakyat yang sudah kecil menjadi semakin kecil. Biaya
sertifikasi yang harus dibayarkan sebesar Rp 480.000.000 untuk dua kali
sertifikasi yang akan dilaksanakan pada tahun ke-3 dan ke-19. Dengan kata lain
kelompok tani harus menyediakan dana sekitar Rp 240.000.000 pada saat
pelaksanaan sertifikasi. Hal ini sangat membebani petani karena pada saat
pelaksanaan sertifikasi tersebut petani belum panen. Sehingga menjadi pertanyaan
besar, darimana dana sertifikasi yang sangat besar tersebut dapat disediakan.
Sehingga muncul pertanyaan perlukah sertifikasi di hutan rakyat, mengingat
beban dan manfaat yang tidak sebanding. Namun juka sertifikasi hutan rakyat
dirasa penting, penelitian ini mencoba menyarankan beberapa skema solusi,
diantaranya iuran anggota kelompok tani, kemitraan dengan perusahaan eksportir
ke negara yang menyarankan sertifikasi, dan subsidi pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak lingkungan diketahui bahwa
perbaikan kondisi lingkungan yang terjadi bukan akibat dari perbaikan
pengelolaan hutan setelah adanya sertifikasi namun akibat program
pengembangan hutan yang dilakukan pemerintah dan petani hutan rakyat sejak
tahun 1965-an. Program pengembangan hutan dilakukan karena kondisi daerah
Kabupaten Wonogiri yang gersang. Beberapa program yang dijalankan dari tahun
1965-an adalah program kebun bibit desa, World Food Programme, dan Gerhan.
Keberhasilan program pengembangan hutan rakyat inilah yang memberikan
dampak lingkungan diantaranya perbaikan kondisi udara, kualitas air, dan
peningkatan jumlah fauna misalnya ayam alus, kijang, dan kera.
iKata kunci: ekolabel, hutan rakyat, PHBML, premium price, sertifikasi, Wonogiri.
iii
ANALISIS KELEMBAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN
SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS
MASYARAKAT LESTARI (PHBML) TERHADAP
PETANI HUTAN RAKYAT KABUPATEN WONOGIRI
DYAH PUSPITALOKA
H44080055
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
4
Judul Skripsi
:IAnalisis Kelembagaan dan Dampak Penerapan Sertifikasi
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML)
Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri
Nama
: Dyah Puspitaloka
NIM
: H44080055
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc
NIP. 19690917 200604 2 001
Nuva, SP, M.Sc
-
Mengetahui,
Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus:
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari kontribusi semua pihak. Penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc selaku dosen pembimbing pertama dan Ibu
Nuva, SP, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua atas saran, arahan, dan
dukungan selama penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen penguji utama dan Adi
Hadianto, SP, M.Si selaku dosen penguji perwakilan departemen atas saran
dan kritiknya.
3. Pak Teguh, Pak Edi, Pak Taryanto, LSM Persepsi, Mbak Indra selaku Manajer
Komunikasi LEI, Pak Siman, Pak Mulyadi, Pak Sutanto, Pak Mulyono, Pak
Rujimin, warga FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri
Manunggal.
4. Ibu Sumarmi dan Ayah, adik-adikku Regita Pramudyah Wardhani dan Ardi
Putra Alfirdaus atas segala dukungan dan doa.
5. Keluarga besar Gg. Buntu dan seluruh saudara atas dukungan dan motivasi.
6. Sahabat selama di IPB: Rosselina Cindy, Yenti Kumala S. dan Meyla Dona.
7. Teman-teman ESL 45 khususnya Ria Siregar, Septi Sitorus, Tantri Sianturi,
dan Pebri Sagala yang selalu memberi dukungan dan motivasi.
8. Teman-teman satu bimbingan: Nurul, Mirza, Erwan, Evy, Shinta, Elok, dan
Nova untuk kebersamaan dan motivasi selama tugas akhir.
9. Asri Joni atas segala dukungan dan motivasi bagi masa depan penulis.
10. Seluruh teman-teman TPB A22, Himpro REESA, IPB Debating Community,
dan seluruh pihak yang telah memberikan dukungan pada penulis.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan. Atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis
Kelembagaan dan Dampak Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten
Wonogiri”. Dalam skripsi ini penulis memiliki tujuan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor
penyebab
penerapan
sertifikasi
PHBML,
mengidentifikasi
kelembagaan, dan menganalisis dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada
petani hutan rakyat.
Penulis ingin berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi yang telah ditulis ini dapat memberikan
manfaat pada semua pihak yang terkait dengan ekolabel sektor kehutanan.
Bogor, Februari 2013
Penulis
Dyah Puspitaloka
H44080055
vii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xii
I. PENDAHULUAN . ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1.2 Perumusan Masalah ..............................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................
1
5
7
8
8
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
10
2.1 Hutan Rakyat, Potensi, dan Peranannya ............................................... 10
2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Kaitannya
dengan Sustainable Forest Management (SFM) ................................... 11
2.3 Ekolabeling ............................................................................................ 13
2.3.1 Jenis-Jenis Ekolabel Sektor Kehutanan ....................................... 14
2.3.2 Pokok-Pokok Informasi dalam Produk dengan Ekolabel ........... 17
2.3.3 Ekolabel Sektor Kehutanan sebagai Non-Tariff Barrier ............. 17
2.4 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan .......................................... 18
2.5 Kelembagaan ......................................................................................... 19
2.6 Penelitian Terdahulu.............................................................................. 20
2.6.1 Penelitian Mengenai Ekolabel .................................................... 20
2.6.2 Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema
Sertifikasi LEI ............................................................................. 21
2.6.3 Penelitian Mengenai Kelembagaan ............................................ 22
2.6.4 Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan
Lingkungan ................................................................................. 23
2.7 Kebaruan (Novelty) dari Penelitian ...................................................... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................
25
IV. METODE PENELITIAN ..........................................................................
29
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 29
4.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 29
4.3 Metode Pengambilan Sampel ............................................................. 30
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................... 31
4.4.1 Keragaan Kelembagaan ............................................................... 31
4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML
pada Petani Hutan ....................................................................... 32
4.4.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dari Penerapan
Sertifikasi PHBML ..................................................................... 32
viii
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN .......................................................
35
5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ........................................................
5.1.1 Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri
Manunggal ...................................................................................
5.1.2 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro.............
5.1.3 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Sumberejo ..........
5.2 Karakteristik Responden .......................................................................
35
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
44
36
37
38
39
6.1 Keragaan Kelembagaan Unit Manajemen Hutan Rakyat dalam
Sertifikasi PHBML ............................................................................... 44
6.1.1 Identifikasi Stakeholder, Peran, dan Hubungan Antar
Stakeholder ................................................................................ 45
6.1.2 Biaya transaksi ............................................................................ 60
6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML pada
Petani Hutan Rakyat ............................................................................. 62
6.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Petani Hutan
dengan Penerapan Sertifikasi PHBML .................................................. 67
6.3.1 Dampak Sosial pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi
PHBML ....................................................................................... 67
6.3.2 Dampak Ekonomi pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi
PHBML....................................................................................... 74
6.3.3 Dampak Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan
Sertifikasi PHBML ..................................................................... 85
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... .................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
95
LAMPIRAN ..................................................................................................
99
ix
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Total Hutan Sertifikasi LEI Berdasarkan Jenis Sertifikasi………….
3
2. Unit Manajemen Hutan Rakyat Pemegang Sertifikasi PHBML……
4
3. Skema Waktu dan Biaya pada Sertifikasi Mandatory dan
Sertifikasi Voluntary………………………………………………..
16
4. Penelitian Mengenai Ekolabel………………………………………
21
5. Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi
LEI…………………………………………………………………..
21
6. Penelitian Mengenai Kelembagaan…………………………………
22
7. Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan….
23
8. Matriks Metode Analisis Data………………………………………
31
9. Indikator Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan……………...
33
10. Karakteristik Petani Hutan Sertifikasi………………………………
40
11. Peranan Masing-Masing Stakeholder……………………….……..
45
12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML
di Tingkat Petani Hutan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2012……
63
13. Kemauan Melakukan Sertifikasi dan Resertifikasi dengan Biaya
Sendiri………………………………………………………………
66
14. Analisis Biaya dan Manfaat Pembebanan Sertifikasi dalam 20
Tahun……………………………………………………………….
83
16. Dampak Lingkungan Akibat Pengembangan Hutan pada Tiga Unit
Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi…………………………...
86
17. Perubahan Pengelolaan Hutan Rakyat Sebelum dan Sesudah
Sertifikasi……………………………………………………………
90
x
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1.
Kerangka Alur Pemikiran………………………………….
28
2.
Sketsa Sistem Tumpangsari di Ladang………………………
42
3.
Sketsa Penanaman di Pekarangan……………………………
43
4.
Hubungan Antar Stakeholder…………………………………
49
5.
Pertemuan Rutin Per 35 Hari (Selapan) yang Diadakan oleh
FKPS Sumberejo……………………………………………
53
6.
Bentuk Organisasi FKPS……………………………………
57
7.
Bentuk Organisasi PPHR……………………………………
57
8.
Hasil Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Dibuat oleh PetaniPetani Unit Manajemen Hutan Rakyat………………………
9.
Perbandingan Mekanisme Perdagangan Konvensional dan
Sertifikasi……………………………………………………
10.
73
80
(a) Hutan Rakyat FKPS Sumberejo (b) Sumber Air di
Pemukiman Warga FKPS Sumberejo…………………………
87
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Kelembagaan Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi…
100
2. Dampak Sosial Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit
102
Manajemen Tersertifikasi……………………………………………
3. Kriteria Penguatan Kelembagaan sebagai Dampak Sosial Penerapan
Sertifikasi PHBML di Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat
104
Tersertifikasi……................................................................................
4. Dampak Ekonomi Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit
106
Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi……………………………
5. Perhitungan Penggunaan Lahan, Jumlah Kayu, dan Pendapatan……
109
6. Cashflow Skenario 1………………………………………………...
111
7. Cashflow Skenario 2………………………………………………...
113
8. Dokumentasi Penelitian ………………………………………….....
115
xii
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang melimpah khususnya disektor
kehutanan. Hutan Indonesia merupakan hutan tropis ketiga terluas di dunia dan
menempati urutan kedua ditingkat keanekaragaman hayati (Forest Watch Indonesia,
2011). Jumlah luas daratan kawasan hutan di Indonesia sampai periode November
2011 mencapai 130.609.014,98 ha (Kementerian Kehutanan, 2011). Potensi sektor
kehutanan menjadikan sektor non-migas ini sebagai salah satu pemasok bahan baku
perindustrian.
Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen
Perindustrian (2009), kayu hutan rakyat menjadi bahan baku kelompok industri
pengolahan hulu dan hilir. Industri hulu yang terdiri dari industri saw-mill, plywoodmill, particle board, dan medium density fiber board dan industri hilir yang terdiri
dari industri wood-working atau penghasil produk kayu dan industri furnitur
memerlukan pasokan kayu lebih dari satu juta kubik pertahun. Departemen
Perindustrian juga memaparkan, kecenderungan yang terjadi saat ini adalah kayu
industri hilir diperoleh dari industri hulu dengan melibatkan keberadaan hutan rakyat
dan hutan tanaman industri. Peran kayu non hutan alam, yakni dari hutan rakyat dan
hutan tanaman industri, dalam perindustrian berkembang pesat mengingat semakin
terbatasnya pasokan kayu yang diperoleh dari hutan alam. Litbang Kehutanan (2009)
bahkan menyatakan bahwa hutan tanaman, salah satunya hutan rakyat, akan menjadi
sumber bahan baku industri perkayuan di masa depan karena potensi dan
ketergantungan pada hutan alam semakin menurun.
Potensi sektor kehutanan sebagai penyedia bahan baku industri pengolahan
kayu menciptakan peluang pasar yang besar. Namun dilain hal, peluang pasar ini
terancam dengan adanya pemboikotan terhadap kayu tropis dan tuntutan ekolabel dari
lembaga pecinta lingkungan yang mempengaruhi pembeli-pembeli di negara importir
(Departemen Perindustrian, 2009). Ekolabel ini timbul akibat keprihatinan negara
maju akan kondisi industri kayu tropis dan adanya deforestasi yang terjadi di negaranegara tropis. Keprihatinan ini menimbulkan penggunaan peraturan perdagangan
internasional untuk mempengaruhi proses produksi agar lebih ramah lingkungan dan
berkelanjutan (Wie, no date). Ekolabel sektor kehutanan yang merupakan bentuk dari
non-tariff barrier menjadi fokus utama dari kekhawatiran para eksportir disamping
tariff barrier. Perjanjian bilateral maupun multilateral telah membawa perubahan
dalam penurunan tariff rates, tetapi hingga saat ini terjadi perkembangan pesat dalam
pemberlakuan berbagai macam jenis non-tariff barrier yang menimbulkan
kekhawatiran di kalangan eksportir negara berkembang (Alavi, 2007).
Menanggapi timbulnya permintaan akan ekolabel sektor kehutanan,
dibentuklah Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), yakni lembaga independen yang
berwenang menetapkan standar sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia. Sampai
Februari 2011, luas hutan yang sudah tersertifikasi LEI mencapai 1.072.524 ha,
25.170 ha diantaranya adalah hutan rakyat yang sudah memperoleh sertifikasi
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Total hutan yang sudah
2
disertifikasi LEI yang diklasifikasikan berdasarkan jenis sertifikasi dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Total Hutan Sertifikasi LEI berdasarkan Jenis Sertifikasi
Jenis Sertifikasi
Jumlah Unit
Manajemen (unit)
Luas Area (ha)
PHAPL (Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari)
502.649
03
PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Lestari)
025.170
12
PHTL (Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari)
544.705
03
-
06
1.072.524
24
CoC (Chain of Custody)
Total
Sumber: LEI (no date)
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa unit manajemen pemegang sertifikasi
paling banyak didominasi oleh pemegang sertifikasi PHBML yang merupakan
sertifikasi yang diberikan kepada masyarakat pemilik hutan rakyat atas usahanya
dalam mengelola hutan secara lestari. Hal ini merupakan terobosan baru yang
membuktikan bahwa sektor hutan rakyat ternyata mampu mengelola hutan secara
lestari.
Wonogiri yang merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah ini
memiliki 15.320 ha hutan rakyat, dimana 21,16% hutan rakyat tersebut sudah
tersertifikasi (LEI, no date). Daftar unit manajemen hutan rakyat beserta dengan luas
area tersertifikasi, lokasi dan badan sertifikasi ditunjukkan lebih detail pada Tabel 2.
Penting untuk diketahui bahwa PHBML yang diperoleh ketiga unit
manajemen hutan rakyat di Wonogiri merupakan sertifikasi yang didanai oleh
3
lembaga donor. Saat ini, biaya terkait dengan sertifikasi sepenuhnya ditanggung oleh
lembaga donor, sehingga unit manajemen hutan rakyat maupun petani hutan tidak
membayar sama sekali untuk pengajuan sertifikasi. Dana yang harus dikeluarkan
untuk mendapatkan sertifikasi PHBML tidak hanya mencakup dana pengajuan
sertifikasi saja tetapi juga mencakup dana surveillance dan dana tambahan lain yakni
dana persiapan menuju pengajuan sertifikasi.
Tabel 2. Unit Manajemen Hutan Rakyat Pemegang Sertifikasi PHBML
No
Unit Manajemen
Area
Tersertifikasi
(ha)
Lokasi
Badan Sertifikasi
1 UM (Unit Manajemen) Hutan Adat
Panjae Menua Sungai Utik
9.545 Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat
PT. Mutu Agung
Lestari
2 GOPHR (Gabungan Organisasi Pelestari
Hutan Rakyat) Wono Lestari Makmur
1.179 Sukoharjo, Jawa
Tengah
PT. Mutu Agung
Lestari
3 UMHR (Unit Manajemen Hutan
Rakyat) WARAS
1.404 Sragen, Jawa
Tengah
PT. Mutu Agung
Lestari
4 UMHR Argo Bancak
0.600 Magetan, Jawa
Timur
PT. Mutu Agung
Lestari
5 UMHR Gerbang Lestari
2.889 Bangkalan, Jawa
Timur
PT. Mutu Agung
Lestari
6 UMHR Alas Makmur
0.995 Probolinggo, Jawa PT. Mutu Agung
Timur
Lestari
7 UMHR Wana Lestari
3.427 Lumajang, Jawa
Timur
8 UMHR Rimbasari
1.073 Pacitan, Jawa Timur PT. Mutu Agung
Lestari
PT. Mutu Agung
Lestari
9 FKPS (Forum Komunikasi Petani
Sertifikasi) Selopuro
262 Wonogiri, Jawa
Tengah
PT. Mutu Agung
Lestari
10 FKPS Desa Sumberejo
547 Wonogiri, Jawa
Tengah
PT. Mutu Agung
Lestari
11 PPHR (Perkumpulan Pelestari Hutan
Rakyat) Catur Giri Manunggal
2.434 Wonogiri, Jawa
Tengah
PT. Mutu Agung
Lestari
12 Koperasi Wana Manunggal Lestari,
Gunung Kidul
0.815 Gunung Kidul, D.I PT. TUV
Yogyakarta
Rheinland
Sumber: LEI (no date)
4
Menurut Alavi (2007), jika harus membayar maka biaya yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi kayu sangat tinggi dan mengkonsumsi
waktu banyak (time consuming). Terlebih lagi adanya keberadaan biaya untuk
menyesuaikan sistem operasi unit manajemen agar sesuai dengan skema sustainable
forest management. Namun dilain hal adanya sertifikasi diklaim dapat memberikan
dampak-dampak diantaranya adanya premium price, penetrasi di pasar baru,
eksistensi di pasar lama dan dampak-dampak ekonomi, sosial dan lingkungan lainnya
(Simula et al, 2005). Oleh karena itu, penting untuk diteliti keragaan pelaksanaan
sertifikasi hutan rakyat baik dari aspek kelembagaan maupun dampak-dampak yang
dirasakan oleh petani hutan rakyat untuk mengetahui prospek masa depan dari
sertifikasi PHBML jika di masa mendatang sertifikasi ini bersifat wajib (mandatory)
dan harus dilakukan dengan biaya sendiri.
1.2
Perumusan Masalah
Pengembangan hutan rakyat secara lestari yang dilakukan oleh petani hutan
Kabupaten Wonogiri berhasil mengantarkan para petani dalam memperoleh
sertifikasi PHBML. Keberhasilan diperolehnya sertifikasi PHBML tidak lepas dari
bantuan lembaga donor dan juga bantuan dari LSM Persepsi dalam mendampingi
petani hutan rakyat selama sertifikasi. Keterlibatan multistakeholder dan peranan
kelembagaan unit manajemen hutan rakyat menentukan keberhasilan diperolehnya
sertifikasi PHBML mengingat beban biaya yang harus ditanggung dan keharusan
petani hutan rakyat untuk mengajukan sertifikasi secara kolektif karena ada
persyaratan minimum luas lahan dan rumitnya dokumen-dokumen administrasi yang
5
harus dilengkapi. Oleh karena itu penting untuk diteliti keragaan dan peran
kelembagaan unit manajemen hutan rakyat selama proses sertifikasi untuk melihat
secara detail proses sertifikasi yang telah dilakukan ditinjau dari aspek
kelembagaannya.
Program sertifikasi FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo merupakan pilot
project sertifikasi hutan rakyat, sedangkan program sertifikasi di PPHR Catur Giri
Manunggal bukan program sertifikasi pilot project tetapi pelaksanaannya didanai oleh
lembaga donor. Program-program sertifikasi yang dilaksanakan berimplikasi pada
tidak adanya pembebanan biaya terhadap petani hutan rakyat tetapi perlu diketahui
motivasi petani hutan dalam mengikuti program sertifikasi. Oleh karena itu, faktorfaktor yang memotivasi petani hutan dalam mengikuti sertifikasi akan diteliti dalam
penelitian ini.
Kondisi sertifikasi PHBML saat ini merupakan bantuan dan pemberian
bantuan ini menurut pihak LEI bertujuan untuk mendorong percepatan munculnya
kesadaran pengelolaan hutan secara lestari dan diharapkan di masa mendatang unit
manajemen hutan rakyat dan petani hutan bisa lebih mandiri dalam hal pendanaan
sertifikasi
selanjutnya.
Diperolehnya
sertifikasi
PHBML
diharapkan
dapat
memberikan dampak, baik dari aspek ekonomi seperti premium price, peningkatan
posisi tawar serta dampak sosial, dan lingkungan, bagi petani hutan. Dampak yang
saat ini dirasakan oleh petani hutan perlu dijadikan acuan jika di masa mendatang
sertifikasi dilaksanakan secara mandatory dan dengan menggunakan biaya sendiri hal
ini tentunya akan membebani petani hutan rakyat mengingat biaya sertifikasi yang
mahal. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh petani hutan rakyat setidaknya harus
6
mampu menutupi biaya sertifikasi yang dikeluarkan. Komparasi biaya dan manfaat
ini diteliti melalui identifikasi dampak yang mencakup dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan.
Berdasarkan dari penjabaran di atas, beberapa masalah yang harus diteliti
terkait dengan penerapan sertifikasi PHBML adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana keragaan dan peran kelembagaan unit manajemen hutan rakyat di
Kabupaten Wonogiri selama sertifikasi PHBML?
2.
Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi petani hutan rakyat Kabupaten
Wonogiri melakukan sertifikasi PHBML?
3.
Dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan apa saja yang dirasakan oleh petani
hutan dengan penerapan sertifikasi PHBML?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitian ini
adalah:
1.
Mengidentifikasi keragaan kelembagaan unit manajemen hutan rakyat
Kabupaten Wonogiri selama proses sertifikasi berlangsung.
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi
PHBML pada petani hutan rakyat Kabupaten Wonogiri.
3.
Mengidentifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada petani hutan
dengan penerapan sertifikasi PHBML.
7
1.4
Manfaat Penelitian
Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keragaan
pelaksanaan sertifikasi baik dari aspek kelembagaan maupun dampak bagi petani
hutan sebagai acuan untuk pelaksanaan kebijakan sertifikasi yang lebih tepat. Untuk
stakeholder yang terkait dengan sertifikasi, yakni LEI dan lembaga pendamping
petani hutan, LSM Persepsi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi untuk
perbaikan dari sistem sertifikasi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
referensi bagi penelitian ekolabel sektor kehutanan selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian mengenai dampak sertifikasi PHBML dibatasi di tiga unit
manajemen hutan rakyat tersertifikasi Kabupaten Wonogiri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML dibatasi pada identifikasi alasan
keikutsertaan dalam program sertifikasi PHBML yang didampingi oleh LSM
Persepsi. Dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang diteliti dibatasi berdasarkan
kondisi aktual yang dirasakan oleh masyarakat terhadap indikator-indikator dari studi
pustaka. Dampak ekonomi secara kuantitatif diteliti dengan melakukan analisis biaya
manfaat yang dibatasi beberapa asumsi, diantaranya adalah perhitungan dilakukan
dalam periode 20 tahun dengan mempertimbangkan umur ekonomis jati yang
merupakan tanaman dominan pertama dan dengan mengasumsikan tanaman mahoni
yang merupakan tanaman dominan kedua juga memiliki umur ekonomis yang sama,
tanaman kayu diasumsikan ditebang habis pada tahun ke-20, biaya investasi berupa
biaya lahan tidak dihitung dengan pertimbangan lahan hutan rakyat yang
8
dikembangkan merupakan warisan, perhitungan dilakukan dengan menggunakan
tingkat suku bunga deposito sebesar 5,75%, dan dua tipe lahan hutan dan pola
penanaman dipertimbangkan dalam perhitungan. Dua tipe lahan hutan rakyat yang
dipertimbangkan dalam perhitungan adalah lahan hutan rakyat tipe pekarangan dan
ladang. Pola penanaman yang juga menjadi pertimbangan dalam perhitungan adalah
pola kayu dan pola tumpangsari dengan proporsi penerapan pola penanaman 60%
banding 40%.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hutan Rakyat, Potensi, dan Peranannya
Berdasarkan Permenhut P. 3/ Menhut-II/ 2011, hutan rakyat adalah hutan
yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar
kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman
kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Menurut Hinrich et al (2008),
dalam arti luas, hutan rakyat meliputi jaminan atas akses dan kontrol terhadap
sumberdaya hutan untuk penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
hutan dimana mereka tergantung terhadap hutan rakyat tersebut secara ekonomi,
sosial, kultural, dan spiritual.
Hutan rakyat memiliki potensi yang sangat besar ditinjau dari segi populasi
pohon dan jumlah rumah tangga yang mengusahakannya. Potensi hutan rakyat yang
besar ini mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Potensi hutan secara
nyata telah merangsang timbulnya aktivitas lanjutan seperti usaha-usaha yang
termasuk dalam backward dan forward linkage (Darusman dan Hardjanto, 2006).
Masyarakat sendiri sudah mulai sadar akan manfaat hutan sehingga setelah
penebangan selalu dilakukan peremajaan dan luas hutan rakyat tetap dipertahankan
bahwa dapat bertambah (Sukadaryati, 2006).
Ditinjau dari aspek peranannya dalam segi ekonomi, menurut Sukadaryati
(2006), hutan rakyat sudah lama dan terus berkembang di masyarakat mampu
memberikan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Selain sebagai investasi, hutan
juga dapat memberikan tambahan penghasilan yang bisa diandalkan. Adanya hutan
rakyat bahkan mampu membuat masyarakat memenuhi kebutuhan untuk bahan
bangunan dan mebel dan juga untuk memenuhi kebutuhan mendesak.
Sampai saat ini, menurut Darusman dan Hardjanto (2006), hutan rakyat
diusahakan oleh masyarakat pedesaan sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan
berdampak pada perekonomian desa. Hutan rakyat berkontribusi bagi pendapatan
sampingan dan insidental petani karena pengusahaannya termasuk dalam jenis usaha
sambilan. Selain memberikan kontribusi bagi pemilik lahan, pada subsistem produksi
dan pengolahan hutan rakyat mampu memberikan kontribusi kepada non-pemilik
lahan misalnya buruh atau tenaga kerja lainnya. Disamping itu, hutan rakyat juga
berperan dalam memberikan lapangan kerja bagi tenaga kerja produktif, menstimulir
usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan
rakyat, bahkan meminimalisir dampak dari krisis ekonomi.
2.2
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Kaitannya dengan
Sustainable Forest Management (SFM)
Menurut Hinrich et al (2008), PHBM adalah suatu pendekatan pengelolaan
hutan dimana kontrol dipegang oleh masyarakat setempat. Pengembangan PHBM di
lahan-lahan milik swasta, misalnya di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara,
merupakan contoh yang bagus dari PHBM. Para petani, sebagai pembuat keputusan
puncak memiliki kontrol sepenuhnya atas sumberdaya hutan-hutan yang mereka
miliki dengan dibina oleh asosiasi-asosiasi di tingkat dusun atau yang lebih tinggi.
Pihak-pihak lain dilibatkan sebagai mitra pendukung. Pengertian lain mengenai
PHBM adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan kolaborasi yang
11
bersinergi dalam upaya mencapai keberlanjutan dalam mencapai fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan yang optimal (CIFOR, no date).
Menurut Suharti (no date), konsep PHBM ini mengacu pada tiga prinsip yakni
masyarakat lokal harus diikutsertakan dalam aktivitas pengelolaan hutan, masyarakat
lokal mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengelolaan
hugan, dan tidak ada keharusan untuk secara aktif melibatkan masyarakat dalam
pemilihan aktivitas mana yang akan dikembangkan. Sejauh ini program PHBM
berhasil membuat perubahan bahwa masyarakat lokal juga mempunyai hak untuk
terlibat dalam aktivitas pengelolaan hutan. Terlebih lagi partisipasi masyarakat secara
aktif dalam pengelolaan hutan mempunyai peranan penting dalam menentukan
kesuksesan
sustainable
forest
management
atau
pengelolaan
hutan
yang
berkelanjutan. Pengetahuan dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang
awalnya diabaikan mulai diperhatikan karena kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat sangat berharga dan berguna dalam pengelolaan hutan.
Kegagalan pengelolaan hutan berkelanjutan dari program-program PHBM
yang telah dilaksanakan terjadi karena tidak tepatnya metode pendekatan yang
dilakukan. Metode yang lebih tepat untuk merangsang keterlibatan masyarakat lokal
dalam program PHBM adalah metode PRA (Participation Rural Appraisal) yang
menggabungkan metode top-down dan bottom-up. Penggunaan metode ini akan
menstimulasi keaktifan masyarakat dalam pelaksanaan PHBM sehingga masyarakat
bisa lebih berperan aktif dalam menggunakan kearifan lokal yang dimilikinya saat
berpartisipasi dalam program pengelolaan hutan yang diimplementasikan oleh
pemerintah (Suharti, no date)
12
2.3
Ekolabeling
Menurut Arief (2001), ekolabeling adalah cara untuk memberikan informasi
kepada konsumen atas produk kayu hasil hutan dan olahan yang berasal dari hutan
yang dikelola secara lestari. Label dapat dijadikan sebagai bukti pengesahan (seal of
approval) bahwa produk tersebut telah memenuhi kriteria lingkungan yang
dipersyaratkan. Pada dasarnya, ekolabel mempunyai komponen yang meliputi
sertifikasi, sehingga diharapkan dapat mempunyai akses pasar yang tinggi atau dapat
bersaing. Meskipun label bukan merupakan standar produk yang berhubungan
dengan harga, tapi merupakan standar untuk mampu memasuki segmen pasar dunia
karena saat ini konsumen (negara) telah mempunyai sifat kritis terhadap
permasalahan lingkungan. Pada Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan
Produksi (1995), ekolabel adalah pemberian atribut lingkungan terhadap produk, baik
kayu maupun non kayu, yang dikehendaki oleh konsumen pengguna produk tersebut.
Pada prinsipnya, ekolabel menghendaki berlangsungnya pengelolaan hutan produksi
secara lestari. Menurut OEDC (1996) dalam Elliot (2000), ekolabel adalah
kelengkapan penyediaan informasi mengenai karakteristik produk yang terkait
dengan lingkungan. Ekolabel ini memungkinkan memberi informasi lebih dalam
keputusan pembelian konsumen dan untuk membedakan produk dan menciptakan
pasar untuk produk yang berbeda.
Penerapan ekolabel memiliki beberapa tujuan. Menurut Arief (2001) tujuan
ekolabel adalah meningkatkan kepedulian konsumen terhadap hubungan antara
industri dan lingkungan hidup, meningkatkan keyakinan dan penerimaan konsumen,
memodifikasi perilaku konsumen, meningkatkan kualitas lingkungan global,
13
meningkatkan pangsa pasar, menyediakan segmentasi produk, menyediakan tujuan
audit terhadap pelaksanaan manajemen hutan dan menunjukkan bahwa manajemen
hutan mengandung unsur-unsur pelestarian, ekonomi, ekologi, dan sosial. Menurut
LEI sebagai pengembang standar sertifikasi di Indonesia, ekolabel dalam bentuk
sertifikasi PHBML bertujuan sebagai bentuk pengakuan pasar terhadap usaha
pelestarian pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Ada beberapa landasan dalam pelabelan produk kayu. Menurut Abidin (1995)
landasan pelabelan diidentifikasi dalam lima unsur utama, diantaranya adalah
kepastian ditaatinya jatah tebang hutan lestari, kepastian pulihnya tegakan secara
alami atau dengan bantuan permudaan alam dan buatan, kepastian terpeliharanya
keanekaragaman hayati, kepastian terpeliharanya kualitas air, tanah, dan udara dan
kepastian terpeliharanya peri kehidupan dan budaya masyarakat setempat. Landasanlandasan ini tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang diimplementasikan
dalam proses penilaian sertifikasi.
Jenis-Jenis Ekolabel Sektor Kehutanan
2.3.1
Ada beberapa jenis skema sertifikasi yang berlaku, diantaranya adalah Certfor
(Chile), Cerflor (Brazil), CSA (Kanada), MTCC (Malaysia), AFS (Australia), SFI
(Amerika), ATFS (Amerika), FSC (Eropa), PEFC (Eropa), dan LEI (Indonesia)
sedangkan beberapa skema sertifikasi di Afrika kurang berkembang dan kebanyakan
berada dalam naungan PEFC maupun FSC (Alavi, 2007). Ekolabeling sendiri dapat
bersifat
mandatory
ekolabeling
yang
maupun
bersifat
voluntary.
wajib
dan
Mandatory
di
Indonesia
ecolabeling
sedang
merupakan
direncanakan
14
implementasinya oleh Kementerian Kehutanan dalam P. 68/ Menhut-II/ 2011 melalui
implementasi Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Voluntary ecolabeling
merupakan ekolabel yang bersifat sukarela dan dikembangkan melalui lembaga
independen. Sertifikasi voluntary ini telah diakui keabsahannya dalam skema
sertifikasi mandatory (Zakiya, 2012). Pemegang sertifikasi voluntary (misalnya
PHBML) tidak perlu mengikuti sertifikasi mandatory. Dalam penelitian kali ini,
skema sertifikasi yang digunakan adalah sertifikasi yang dikembangkan oleh lembaga
independen dari Indonesia yakni LEI.
Menurut LEI (no date), sertifikasi LEI yang berlaku di Indonesia adalah
sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL), sertifikasi
Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL), sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari (PHBML), sertifikasi lacak balak, dan sertifikasi bertahap. Hutan
rakyat yang berekolabel dengan skema sertifikasi LEI akan mendapatkan sertifikasi
PHBML. Standar sertifikasi LEI ini merupakan kerangka penilaian sertifikasi
PHBML dan menjadi acuan bagi unit manajemen dalam melaksanakan PHBML.
PHBML ini diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang
dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk unit
komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun
individual berskala kecil sampai sedang, yang dilakukan secara lestari.
Secara umum, prosedur sertifikasi LEI terdiri dari prapenilaian lapangan,
penilaian lapangan, evaluasi kinerja dan pengambilan keputusan sertifikasi,
penetapan keputusan sertifikasi, penilikan, dan penyelesaian keberatan atas keputusan
sertifikasi. Proses pengajuan sertifikasi hutan rakyat, hutan adat, dan jenis-jenis
15
pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus dilakukan dengan menyiapkan Standar
LEI 5000: 3 yakni standar untuk sertifikasi PHBML. Dalam sistem pengajuan
sertifikasi PHBML terdapat tiga skema yakni 1) skema sertifikasi dengan penilaian
lapangan oleh pihak ketiga, 2) skema sertifikasi dengan pengakuan atas klaim, dan 3)
skema sertifikasi khusus untuk hutan adat. Sertifikasi PHBML yang diperoleh
berlaku selama 15 tahun dengan ketentuan minimum tiga kali surveillance atau lima
tahun sekali dalam jangka waktu 15 tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut ada
minimum tiga biaya yang harus ditanggung untuk memperoleh sertifikasi PHBML,
yakni biaya persiapan, biaya penilaian sertifikasi, dan biaya surveillance.
Dalam hal jangka waktu berlakunya sertifikasi dan jangka waktu surveillance
terdapat perbedaan antara sertifikasi yang bersifat mandatory (dalam hal ini SVLK)
dan sertifikasi yang bersifat voluntary (dalam hal ini sertifikasi PHBML). Skema
waktu dan biaya sertifikasi mandatory dan voluntary dijelaskan secara detail pada
Tabel 3.
Tabel 3. Skema Waktu dan Biaya pada Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi
Voluntary
Voluntary Hutan Rakyat (PHBML)
Mandatory Hutan Rakyat (SVLK)
Tahapan
Kisaran Biaya
Masa Berlaku
Kisaran Biaya
Masa Berlaku
Persiapan
Rp 120.000.000
sampai dengan
Rp 150.000.000
Sebelum pengajuan
sertifikasi
Rp 60.000.000
Sebelum pengajuan
sertifikasi
Penilaian
Rp 35.000.000
Valid 15 tahun
Rp 30.000.000
Valid tiga tahun
Surveillance
Rp 20.000.000
sampai dengan
Rp 25.000.000
Setiap lima tahun
sekali
Rp 15.000.000
sampai dengan
Rp 20.000.000
Setiap satu tahun
sekali
Sumber: Wawancara dengan Narasumber LEI
16
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa untuk sertifikasi secara voluntary di
hutan rakyat total biaya yang harus dikeluarkan berkisar antara Rp 180.000.000
sampai Rp 200.000.000 dan valid untuk jangka waktu 15 tahun. Untuk sertifikasi
secara mandatory, dalam hal ini SVLK, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp
105.000.000 sampai Rp 110.000.000 dan valid untuk jangka waktu 3 tahun. Implikasi
pembebanan biaya sertifikasi, baik sertifikasi voluntary dan mandatory, akan
digambarkan dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis biaya manfaat.
2.3.2 Pokok-Pokok Informasi dalam Produk dengan Ekolabel
Informasi dalam produk dengan ekolabel yang harus diberikan kepada
konsumen meliputi penjelasan mengenai tata cara pengambilan bahan baku,
pengangkutan ke lokasi industri, proses dalam pabrik, pemakaian produk, dan proses
pengolahan limbah secara keseluruhan harus ramah lingkungan atau tidak mencemari
lingkungan. Berbeda dengan pelabelan produk lainnya, umumnya memberi
keterangan tentang bahan yang dipakai (ingridients), petunjuk cara pemakaiannya
atau sifat produknya, misalnya sifat mudah melapuk (biodegradable) atau aman bagi
kesehatan (Arief, 2001). Jika yang disertifikasi adalah hutan, misalnya suatu hutan
rakyat sudah mendapatkan sertifikasi PHBML maka informasi sertifikasi ditampilkan
dalam bentuk sertifikat.
2.3.3 Ekolabel Sektor Kehutanan sebagai Non-Tariff Barrier
Dalam perdagangan internasional, penggunaan tariff barrier semakin
menurun, hal ini ditandai dengan semakin menurunnya tariff rates yang diberlakukan
dalam perdagangan antarnegara. Meskipun pada beberapa negara tariff rates masih
17
cukup tinggi tetapi tariff barrier tidak menjadi fokus utama lagi. Dilain hal terjadi
peningkatan penggunaan non tariff barrier dimana pada produk kayu dan produk
berbasis kayu diberlakukan adanya phytosanitary, restriksi kuantitatif, dan sertifikasi.
Persyaratan sertifikasi ekolabel berpotensi menjadi hambatan perdagangan terutama
jika masing-masing negara memberlakukan spesifikasi dan standar yang berbedabeda. Pada beberapa bukti mengkonfirmasi bahwa skema sertifikasi juga digunakan
sebagai alat proteksi perdagangan pada beberapa negara (Alavi, 2007). Disamping
itu, menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian
(2009), adanya tuntutan sertifikasi ekolabel menjadi hambatan non tarif yang
termasuk dalam permasalahan utama industri furnitur. Industri furnitur (kayu)
Indonesia disinyalir menggunakan bahan baku ilegal dengan harga relatif murah
sehingga beberapa negara tujuan ekspor menuntut adanya sertifikasi ekolabel bagi
produk-produk furnitur Indonesia.
2.4
Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Simula et al (2005) mengemukakan bahwa dari adanya sertifikasi dapat
memberikan manfaat ekonomi yang termasuk dalam manfaat langsung dan manfaat
sosial dan lingkungan yang termasuk dalam manfaat tidak langsung non-monetary.
Adanya sertifikasi dapat memberi dampak pada tambahan manfaat langsung
finansial, yakni adanya premium price dan adanya tambahan volume penjualan.
Dampak sertifikasi pada manfaat ekonomi tidak langsung adalah adanya penurunan
biaya akibat dari efisiensi produksi dan menghindarkan dari kerugian pendapatan
penjualan ke pasar yang mewajibkan adanya sertifikasi. Manfaat lingkungan
18
diperoleh dari berkembangnya mitigasi dari efek lingkungan dari pemanfaatan hutan
dan adanya peningkatan pengukuran dari konservasi biodiversitas, fungsi ekologis,
seperti tanah dan air. Selain itu, manfaat sosial dari adanya sertifikasi ini salah
satunya adalah adanya klarifikasi dari land right dan resolusi konflik.
2.5
Kelembagaan
Menurut Djogo et al (2003), secara umum kelembagaan adalah pola hubungan
antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat
menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi
dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan
pengikat berupa norma, kode etik, aturan formal dan informal untuk pengendalian
perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
Beberapa unsur penting dari kelembagaan diantaranya adalah institusi, norma tingkah
laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani
tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar
manusia yang terstruktur, peraturan dan penegakan aturan, aturan dalam masyarakat
yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak,
dan kewajiban anggota, kode etik, kontrak, pasar, hak milik (property rights atau
tenureship), organisasi, serta insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang
diinginkan.
Kelembagaan yang dikembangkan oleh petani Wonogiri merupakan
kelembagaan yang menerapkan sistem penanaman agroforestri dimana pola
penanaman tanamannya terdiri dari tanaman hutan atau tanaman kayu dan tanaman
19
pangan misalnya tanaman semusim. Menurut Djogo et al (2003), pengembangan
kelembagaan ini dapat terjamin jika ada insentif bagi orang atau organisasi untuk
melaksanakannya, sasaran pengembangan: siapakah yang diuntungkan, ada
keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi, kepemilikan dan akses atas
sumberdaya terjamin, ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik serta
ada aturan yang ditegakkan dan ditaati.
Menurut Hindra (2006), untuk menjamin kelestarian hutan rakyat, diperlukan
penguatan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga terbentuk adanya aturan
internal yang mengatur sistem penebangan yang disepakati oleh setiap anggotanya.
Dalam rangka penguatan kelembagaan hutan rakyat, tahapan yang harus dilalui
adalah identifikasi kelembagaan, aturan dan kesepakatan, pengembangan rencana
aksi, dan monitoring dan evaluasi partisipatif.
2.6
Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang dijadikan sebagai referensi dalam mengidentifikasi
dampak penerapan ekolabel hutan rakyat ini yaitu penelitian mengenai ekolabel;
sertifikasi PHBML; kelembagaan; dan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan.
2.6.1 Penelitian Mengenai Ekolabel
Penelitian mengenai ekolabel yang dijadikan referensi dalam tinjauan pustaka
adalah penelitian yang dilakukan oleh Hussain (2000) dan Swallow dan Sedjo (2002).
Hasil penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.
20
Tabel 4. Penelitian Mengenai Ekolabel
No
Peneliti
Judul Penelitian
1
Swallow dan
Sedjo.
Voluntary Eco-labeling
and the Price Premium
Untuk voluntary system, jika permintaan untuk
kayu bersertifikat relatif kecil dibandingkan
permintaan secara keseluruhan, jika biaya
sertifikasi yang signifikan, dan jika jumlah
permintaan baru diciptakan oleh sertifikasi adalah
sederhana, maka pasar cenderung kurang
menghasilkan harga premium untuk produk
bersertifikat meskipun ada sejumlah besar dari
konsumen yang bersedia untuk membayar dengan
premium price. Selain itu, keberhasilan eko-label
tergantung pada motivasi dari pemilik lahan hutan
untuk mendukung atau menentang eko-labeling.
2
Hussain.
Green Consumerism and
Ecolabelling: A Strategic
Behavioural Model
Penelitian ini merepresentasikan sebuah model
perilaku strategis dari interaksi antara dua agen,
sebuah firma (perusahaan), dan konsumen di
bawah kondisi informasi tidak lengkap. Skema
ekolabel dapat digunakan sebagai alat untuk
ameliorasi inefisiensi dalam transfer informasi.
2.6.2
Hasil Penelitian
Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI
Penelitian mengenai sertifikasi PHBML LEI dapat ditemukan dalam Daniyati
(2009) dan Rohman (2010). Hasil penelitian mengenai sertifikasi PHBML ini
ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI
No
Peneliti
1 Daniyati.
Judul Penelitian
Efektivitas Sistem Sertifikasi
Pengelolaan Hutan di Hutan
Rakyat (Studi Kasus di
Kabupaten Wonogiri Provinsi
Jawa Tengah dan Kabupaten
Kulonprogo Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta)
Hasil Penelitian
Walaupun terdapat kendala berupa tingginya
biaya sertifikasi, secara keseluruhan, lebih dari
50,00% parameter keberhasilan sertifikasi telah
tercapai. Meskipun parameter dari aspek
ekonomi belum dapat tercapai. Berdasarkan
hasil penelitian terdapat perbedaan antara hutan
rakyat yang sudah tersertifikasi dan tidak
ditinjau dari segi sosial dan ekonomi. Secara
umum, hasil penelitian menunjukkan hutan
sertifikasi lebih baik dibandingkan dengan yang
tidak, tetapi dari segi ekologi tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara keduanya.
21
No
Peneliti
2 Rohman.
Judul Penelitian
Kajian Dampak Sertifikasi
Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari (PHBML)
terhadap Pengelolaan Hutan
Rakyat
(Studi
Kasus
Pengelolaan Hutan Rakyat
oleh
Koperasi
Wana
Manunggal
Lestari,
Gunungkidul, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta)
Hasil Penelitian
Pemberian sertifikasi PHBML memberikan
dampak
positif
terhadap
peningkatan
pendapatan
masyarakat
sebesar
1,94%,
peningkatan kapasitas masyarakat sebesar
52,76%, dan peningkatan tutupan hutan sebesar
3,38%. Pemberian sertifikasi ini belum
menguntungkan secara ekonomi, akan tetapi
pemberian sertifikasi menguntungkan secara
sosial dan lingkungan.
2.6.3 Penelitian Mengenai Kelembagaan
Penelitian terdahulu mengenai kelembagaan dikemukakan oleh Hindra (2006)
dan oleh Rubiyanto (2011). Hasil penelitian mengenai keragaan kelembagaan ini
ditunjukkan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Penelitian Mengenai Kelembagaan
No
Peneliti
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
1 Hindra.
Potensi dan Kelembagaan
Hutan Rakyat
Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara
perorangan pada lahan miliknya sehingga tidak
mengelompok, tapi menyebar. Pengelolaan
hutan yang dilakukan oleh kelompok tani ini
juga masih sangat sederhana. Untuk menjamin
kelestarian hasil hutan rakyat, perlu penguatan
kelembagaan pengelolaan hutan rakyat. Sampai
saat ini pemerintah masih memberikan peranan
yang cukup tinggi terhadap hutan rakyat.Agar
petani hutan rakyat tetap berkomitmen tinggi
terhadap lingkungan dan hutan rakyat, petani
harus didorong untuk mengikuti program
sertifikasi.
2 Rubiyanto.
Kelembagaan Kelompok
Tani Hutan Rakyat di Desa
Buniwangi,
Kecamatan
Pelabuhan Ratu, Sukabumi
Proses pengambilan keputusan di Desa
Buniwangi dilakukan berdasarkan musyawarah.
Pemimpin
ditetapkan
berdasarkan
keprofesionalan yang dimiliki pemimpin
tersebut. Aturan yang dibuat oleh kelompok tani
bersifat tegas. Kelembagaan tani disini
masihtergolong
non-formal.
Kapasitas
kelembagaan
masih
terbatas
dalam
penyelenggaraan penyuluhan dan penyediaan
bibit dan pupuk.
22
2.6.4 Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Penelitian terdahulu yang membahas dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan
dari penerapan sertifikasi di hutan rakyat dilakukan oleh Daniyati (2009) dan analisis
biaya manfaat dari penerapan sertifikasi secara umum oleh Simula et al (2005). Hasil
penelitian ini ditunjukkan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
No
Peneliti
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
1 Daniyati.
Efektivitas Sistem Sertifikasi
Pengelolaan Hutan di Hutan
Rakyat (Studi Kasus di
Kabupaten Wonogiri Provinsi
Jawa Tengah dan Kabupaten
Kulonprogo Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta)
Sertifikasi hutan memberikan manfaat
ekonomi yang kurang signifikan. Posisi tawar
petani hutan rakyat saat ini masih lemah
dibandingkan dengan pihak lain karena
kurangnya keahlian petani hutan dalam
pengelolaan dan pemasaran kayu. Petani
hutan rakyat masih berada pada ujung akhir
rantai informasi pasar sehingga belum
meningkatkan posisi tawarnya. Harga kayu
setelah sertifikasi meningkat sekitar 7,99%22,38% sehingga menyebabkan pendapatan
petani rakyat meningkat meskipun relatif
kecil. Sertifikasi juga memberikan manfaat
sosial dan ekologi yang cukup signifikan.
Salah satu dari kendala yang dihadapi dalam
sertifikasi adalah biaya sertifikasi yang tinggi.
2 Simula et al.
Report on Financial Cost
Benefit, Analysis of Forest
Certification and
Implementation of Phased
Approaches.
Sertifikasi dapat memberikan manfaat
ekonomi langsung berupa penambahan
volume penjualan akibat adanya eksistensi di
pasar lama maupun penetrasi di pasar baru
dan dapat memberikan premium price.
Sedangkan
manfaat
ekonomi
tidak
langsungnya adalah adanya pengembangan
efisiensi dalam produksi dan rantai logistik
dan memperpendek rantai distribusi dengan
menghindari pembayaran dari komisi yang
tidak penting atau mark up. Sedangkan
manfaat
lingkungan
diperoleh
dari
berkembangnya biodiversitas, fungsi ekologis
dari hutan, mata air, dan lain-lain. Sedangkan
manfaat sosial meliputi klarifikasi konflik dan
hak
kepemilikan
lahan,
penguatan
kelembagaan, dan lain-lain.
23
2.7
Kebaruan (Novelty) dari Penelitian
Kebaruan dari penelitian ini adalah identifikasi kelembagaan yang berperan
selama
sertifikasi;
faktor-faktor
yang mempengaruhi
penerapan
sertifikasi;
perhitungan dampak ekonomi kuantitatif melalui analisis biaya manfaat; dan
identifikasi dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan berdasarkan kondisi saat ini.
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menambah informasi dari penelitian
yang dilakukan sebelumnya. Penelitian sebelumnya juga dilakukan di Kabupaten
Wonogiri tetapi pengambilan data hanya dilakukan di dua unit manajemen sementara
dalam penelitian ini dilakukan pengambilan data di tiga unit manajemen.
24
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Sektor kehutanan di Indonesia memiliki potensi yang tinggi, terutama sektor
hutan rakyat. Hutan rakyat menjadi salah satu pemasok kayu yang dibutuhkan dalam
industri hulu dan hilir pengolahan kayu disamping hutan tanaman industri. Namun,
sektor kehutanan sangat rentan terhadap isu lingkungan karena eksploitasinya
memiliki dampak langsung terhadap lingkungan hidup (Riyatno, 2004). Salah satu isu
lingkungan yang berkembang di sektor kehutanan adalah isu kelestarian pengelolaan
hutan. Adanya isu ini melatarbelakangi timbulnya ekolabel dimana salah satu bentuk
ekolabel adalah sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari
(PHBML). Sertifikasi PHBML ini merupakan jenis sertifikasi voluntary yang
diberlakukan di hutan rakyat.
Pada tahun 2004 dan 2007 hutan yang dikelola oleh masyarakat atau yang
disebut hutan rakyat justru mampu memperoleh sertifikasi PHBML sebagai bentuk
penghargaan dalam mengelola hutan secara lestari. Hutan rakyat yang selama ini
dianggap sebagai small scale forest management ternyata mampu menjadi pionir
dalam memperoleh sertifikasi. Keberhasilan diperolehnya sertifikasi PHBML
tentunya melibatkan peranan multistakeholder karena persyaratan sertifikasi dan
proses yang rumit serta adanya beban biaya. Beban biaya yang seharusnya dikenakan
saat pengajuan sertifikasi PHBML di Kabupaten Wonogiri ditanggung sepenuhnya
oleh lembaga donor. Disamping itu ditemukan juga adanya bantuan pendampingan
sertifikasi oleh LSM Persepsi. Indikasi peranan multistakeholder dalam proses
sertifikasi PHBML dan bagaimana keragaan proses sertifikasi akan diidentifikasi
dengan menggunakan analisis kelembagaan.
Program pengajuan FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo merupakan bagian
dari pilot project yang bertujuan untuk dijadikan contoh bagi hutan rakyat di daerah
lain yang memiliki potensi untuk dikembangkan secara lestari, sedangkan untuk
PPHR Catur Giri Manunggal merupakan unit manajemen hutan rakyat Kabupaten
Wonogiri yang juga layak untuk mendapatkan bantuan dalam memperoleh sertifikasi
PHBML. Meskipun dalam penerapan sertifikasi PHBML masyarakat tidak terbebani
dengan adanya biaya sertifikasi yang harus ditanggung, tetapi motivasi dan alasan
masyarakat untuk mau mengikuti program sertifikasi tetap penting untuk diteliti.
Pada penelitian ini faktor-faktor yang mendasari petani hutan rakyat untuk mengikuti
program sertifikasi diteliti dengan membatasi pada alasan dan motivasi keikutsertaan
petani hutan yang dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Terdapat beberapa jenis biaya yang harus ditanggung dalam skema sertifikasi,
diantaranya adanya biaya sertifikasi yang berlaku untuk 15 tahun dan biaya
surveillance yang dibayarkan tiap lima tahun sekali selama 15 tahun. Baik biaya
sertifikasi maupun biaya surveillance tidak dibayarkan oleh petani hutan dalam
kondisi sertifikasi saat ini, tetapi perlu diteliti implikasi dari biaya ini apabila di masa
mendatang petani harus dibebani dengan biaya-biaya ini dengan melihat komparasi
biaya dan manfaatnya melalui dampak yang telah dirasakan oleh petani hutan.
Dampak yang diteliti akan ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dampak ekonomi akan diteliti dengan menggunakan analisis biaya manfaat dan
analisis deskriptif kualitatif berdasarkan penelitian terhadap indikator dari studi
26
literatur. Dampak sosial dan lingkungan juga akan diteliti dengan menggunakan
analisis deskriptif kualitatif berdasarkan penelitian terhadap indikator-indikator dari
studi literatur. Hasil penelitian dari aspek kelembagaan, aspek faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML, dan aspek dampak sosial, ekonomi,
dan lingkungan akan dianalisis sebagai bahan pertimbangan perlu atau tidaknya
sertifikasi di hutan rakyat. Bagan alur kerangka pemikiran yang menjelaskan
penelitian sertifikasi PHBML di hutan rakyat Kabupaten Wonogiri ini dijelaskan
secara detail pada Gambar 1.
27
Potensi Hutan Rakyat
Indonesia
Potensi Hutan Rakyat
Kabupaten Wonogiri
Isu Kelestarian
Pengelolaan Hutan
Sertifikasi PHBML
Kelembagaan dan Stakeholder
yang Terlibat dalam
Sertifikasi PHBML
Dampak-Dampak
Penerapan
Sertifikasi PHBML
Dampak
Ekonomi
Analisis
Kelembagaan
Analisis Biaya
dan Manfaat
Dampak
Sosial
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penerapan
Sertifikasi PHBML
Dampak
Lingkungan
Analisis Deskriptif
Kualitatif
Perlu atau Tidaknya Sertifikasi di Hutan Rakyat
Gambar 1. Kerangka Alur Pemikiran
28
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wonogiri, yakni di Forum
Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro, FKPS Sumberejo, dan Perkumpulan
Petani Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal. Pemilihan lokasi penelitian ini
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten
Wonogiri memiliki tiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi dalam satu
wilayah kabupaten (LEI, no date). Pertimbangan pemilihan lokasi juga didasarkan
atas tahun sertifikasi yang diperoleh unit manajemen hutan rakyat, dimana FKPS
Selopuro dan FKPS Sumberejo telah memperoleh sertifikasi PHBML pada tahun
2004, sedangkan PPHR Catur Giri Manunggal memperoleh sertifikasi PHBML pada
tahun 2007. Sementara unit manajemen hutan rakyat yang ada di daerah lain baru
memperoleh sertifikasi PHBML dengan skema LEI dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2011 (LEI, no date). Pengambilan data primer pada penelitian ini dilakukan
pada bulan Maret-April 2012.
4.2
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan meliputi: bentuk keragaan proses sertifikasi di
hutan rakyat; faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML pada
petani hutan rakyat; dan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi. Data
primer ini diperoleh melalui wawancara mendalam pada key person dan kuesioner
pada petani hutan rakyat. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
data kondisi umum dan historis lokasi penelitian; data biaya pengelolaan hutan dan
pendapatan; aturan-aturan tertulis mengenai pengelolaan hutan; dan struktur
kelembagaan unit manajemen hutan rakyat. Data-data tersebut diperoleh dari
dokumen pengajuan sertifikasi, LSM Persepsi, Tempat Pemasaran Kayu Sertifikasi
(TPKS) yang berfungsi sebagai pasar dari kayu sertifikasi, dan studi literatur.
4.3
Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan data dilakukan di tiga unit
manajemen tersertifikasi.
Pengambilan sampel pada tingkat petani hutan rakyat dilakukan secara purposive
dengan jumlah sampel 30 subjek per unit manajemen tersertifikasi, dimana 30 subjek
sampel ini merupakan ukuran minimum sampel yang umumnya digunakan pada
penelitian sosial ekonomi. Jadi total responden petani sertifikasi adalah 90 orang.
Seluruh responden yang diambil sudah merepresentasikan populasi petani hutan
rakyat yang ada karena responden diambil secara proporsional berdasarkan klasifikasi
luas lahan, yakni dari responden dengan lahan sempit (<1 hektar), sedang (1-3
hektar), dan luas (>3 hektar).
Identifikasi kelembagaan dilakukan melalui wawancara mendalam dengan
key person. Sementara identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
sertifikasi dan identifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada masyarakat
dilakukan dengan penyebaran kuesioner pada 90 orang petani hutan sertifikasi yang
tergabung dalam tiga unit manajemen sertifikasi dan analisis biaya manfaat pada unit
manajemen FKPS Selopuro untuk melihat potensi beban biaya dari penerapan
30
sertifikasi. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan teknik purposive sampling
dengan total sampel 90 responden.
4.4
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh pada penelitian ini diolah menggunakan
analisis kelembagaan, analisis deskriptif kualitatif, dan analisis biaya dan manfaat.
Pengolahan dan analisis data dimulai dengan pengelompokkan data dan pembuatan
tabel sesuai keperluan. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab
tujuan-tujuan dalam penelitian evaluasi penerapan ekolabel ini dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Matriks Metode Analisis Data
No
Tujuan Penelitian
Sumber Data
Metode Analisis Data
1
Identifikasi keragaan
kelembagaan.
Wawancara mendalam (depth Analisis kelembagaan.
interview) dengan key person dari
masing-masing unit manajemen
hutan rakyat.
2
Identifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi
penerapan sertifikasi
PHBML.
Hasil kuesioner pada petani hutan Analisis deskriptif kualitatif.
yang menjadi sampel dalam
penelitian.
3
Identifikasi dampak sosial, Hasil kuesioner pada petani hutan Analisis deskriptif kualitatif
ekonomi, dan lingkungan yang menjadi sampel dalam dan analisis biaya manfaat.
penelitian
dan
wawancara
sertifikasi PHBML.
mendalam dengan key person.
4.4.1
Keragaan Kelembagaan
Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi keragaan kelembagaan
merupakan data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan key
person dari masing-masing unit manajemen. Data ini diolah dengan menggunakan
31
analisis kelembagaan berdasarkan beberapa indikator keragaan kelembagaan yang
diperoleh dari studi literatur. Indikator-indikator yang digunakan adalah institusi;
norma tingkah laku; peraturan dan penegakan aturan/ hukum; aturan dalam
masyarakat; kode etik; hak milik (property rights atau tenureship); organisasi; dan
insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.
4.4.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML
Data
yang
diperlukan
untuk
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML adalah data primer yang diperoleh
melalui pengisian kuesioner pada petani hutan mengenai alasan keikutsertaan dalam
program sertifikasi PHBML. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan dan
dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis data hanya dilakukan
dengan analisis kualitatif dan tidak menggunakan analisis ekonometrika seperti
halnya analisis faktor-faktor pada umumnya karena identifikasi faktor dibatasi
berdasarkan motivasi keikutsertaan petani dalam PHBML.
4.4.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dari Penerapan Sertifikasi
PHBML
Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan diperoleh melalui kuesioner dan wawancara mengenai dampak-dampak
yang dirasakan oleh petani setelah penerapan sertifikasi dari segi sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Data primer mengenai persepsi petani hutan mengenai kondisi aktual
dalam aspek dampak ekonomi kualitatif, sosial, dan lingkungan yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan indikator
32
yang diperoleh dari penelitian terdahulu. Indikator dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang digunakan dalam kuesioner dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Indikator Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Dampak Sosial
1.
2.
3.
4.
5.
Klarifikasi hak milik lahan
dan solusi konflik.
Partisipasi dan kesadaran
komunitas akan manfaat
pengelolaan hutan.
Peningkatan kapasitas petani.
Peningkatan peran
serta
dalam pengelolaan hutan
lestari
karena
adanya
peningkatan pengetahuan.
Penguatan kelembagaan:
Pengembangan kelembagaan
hutan rakyat dan ekonomi.
Dampak Ekonomi
Dampak Lingkungan
1.
2.
3.
4.
5.
Premium price.
1. Konservasi biodiversitas.
Penambahan volume penjualan. 2. Fungsi ekologis hutan.
Penetrasi ke pasar baru.
3. Sumber mata air/DAS
Eksistensi di pasar lama.
(fungsi hidrologis).
Posisi tawar petani hutan
rakyat.
6. Peningkatan pendapatan petani.
7. Memperpendek rantai
distribusi.
Sumber: Simula et al (2005) dan Daniyati (2009)
Gambaran mengenai dampak ekonomi sertifikasi terhadap petani hutan
dilakukan melalui analisis dengan menggunakan alat analisis biaya dan manfaat pada
salah satu unit manajemen hutan rakyat, yakni FKPS Selopuro. Analisis ini dilakukan
untuk melihat seberapa besar biaya sertifikasi berdampak terhadap manfaat dan biaya
petani hutan rakyat dalam pengusahaan hutan rakyat. Analisis biaya dan manfaat ini
dilakukan dengan menggunakan dua skenario, yakni tanpa biaya sertifikasi PHBML
dan dengan biaya sertifikasi. Skenario pertama adalah skenario yang terjadi pada
kondisi saat ini dimana sertifikasi PHBML yang diperoleh unit manajemen hutan
rakyat tersertifikasi dilakukan atas bantuan dana dari lembaga donor sehingga tidak
ada pembebanan biaya terkait sertifikasi. Skenario kedua adalah skenario yang
mungkin dihadapi oleh unit manajemen hutan rakyat jika unit manajemen harus
33
membayar sertifikasi dengan biaya sendiri. Aspek premium price tidak dimasukkan
ke dalam skenario karena pada kenyataannya premium price ini sulit untuk diperoleh.
Kedua skenario dihitung dalam periode 20 tahun dengan mempertimbangkan
umur ekonomis berdasarkan Annual Allowable Cut (AAC) dari tanaman jati dan
mahoni yang merupakan tanaman dominan. Tanaman jati dan mahoni ini akan
ditebang habis pada akhir tahun ke-20. Pada saat penebangan akhir, harga kayu yang
digunakan adalah harga kayu jenis UD panjang dengan diameter 25-28, dimana harga
jati Rp 800.000/ pohon dan harga mahoni Rp 400.000/ pohon. Harga pembelian kayu
oleh bakul di tingkat petani menggunakan harga per pohon (borongan) bukan
menggunakan sistem kubikasi. Kubikasi memang dilakukan oleh bakul tetapi hal ini
digunakan sebagai taksiran bakul untuk memperkirakan harga jual kembali kepada
pengepul.
Analisis biaya dan manfaat ini menggunakan tingkat suku bunga 5,75% yakni
merupakan tingkat suku bunga deposito karena biaya pengelolaan hutan rakyat
diperoleh dari modal pribadi dan tidak meminjam kepada Bank. Biaya investasi yakni
berupa
lahan
hutan
rakyat
tidak
diperhitungkan
dalam
analisis
dengan
mempertimbangkan lahan yang dikelola merupakan lahan warisan sehingga petani
tidak melakukan pembelian lahan. Analisis ini juga dipertimbangkan dua jenis lahan
hutan rakyat, yakni lahan pekarangan dan ladang, dan dua pola penanaman yang
dilakukan oleh petani hutan di lahan ladang, yakni pola kayu dan pola tumpangsari
antara tanaman pertanian dengan tanaman kayu sebagai tanaman tepi. Perbandingan
penerapan pola kayu dengan pola tumpangsari diasumsikan sebesar 60% banding
40% dan perbandingan ini juga mempengaruhi perhitungan dalam analisis.
34
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN
5.1
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai ekolabel sektor kehutanan difokuskan di tiga unit
manajemen hutan rakyat yang memperoleh sertifikasi PHBML dengan skema
sertifikasi LEI. Ketiga unit manajemen yang diteliti berada di Kabupaten Wonogiri
dan lokasinya saling berdekatan. Kondisi topografi di ketiga unit manajemen
Kabupaten Wonogiri relatif sama dengan karakteristik responden yang homogen.
Ketiga unit manajemen yang diteliti merupakan unit manajemen yang
memperoleh sertifikasi dengan skema pendanaan dari lembaga donor. Ketiga unit
manajemen ini dipilih untuk didanai berdasarkan rekomendasi dari LSM Persepsi
yang melihat adanya peluang dari unit manajemen untuk memperoleh sertifikasi
karena
keberhasilan
pengembangan
hutan
rakyatnya.
Adapun
kesuksesan
pengembangan hutan rakyat di ketiga unit manajemen hutan rakyat merupakan hasil
dari program penghijauan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Awalnya daerah Wonogiri dikenal sebagai daerah yang tandus. Lalu pada
tahun 1965-an ada program perbaikan hutan dan alam, kemudian di tahun 1970-an
terdapat program pengembangan kebun bibit desa yang diikuti dengan program dari
penanaman pohon dari World Food Programme, gerakan penanaman lahan kosong
untuk menanggulangi banjir di Waduk Gajah Mungkur atas anjuran pemerintah
sekitar tahun 1956-1978, gerakan penanaman turus jalan dan tebang satu tanam 20
oleh Bupati Umarsono sekitar tahun 1979-1998, program Gerhan (Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan) sekitar tahun 1999-2005-an. Lahan-lahan terlantar
35
mulai ditanami dengan jati dan mahoni. Lalu pada tahun 2002, LSM Persepsi mulai
melakukan pendampingan sertifikasi di Kelurahan Selopuro dan Desa Sumberejo
yang dilanjutkan dengan diperolehnya sertifikasi PHBML pada tahun 2004 untuk
kedua desa tersebut. Keberhasilan pengembangan hutan rakyat tidak hanya
ditemukan di kedua desa itu saja tetapi juga di Kecamatan Giriwoyo yang letaknya
tidak jauh dari Kelurahan Selopuro dan Desa Sumberejo. Setelah dilakukan
pendampingan dan pemberian bantuan dana oleh lembaga donor, unit manajemen
hutan rakyat yang ketiga yakni PPHR Catur Giri Manunggal berhasil memperoleh
pengakuan atas usaha pelestarian hutan di tahun 2007.
5.1.1
Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal
Unit manajemen PPHR Catur Giri Manunggal berada di wilayah Kecamatan
Giriwoyo yang memiliki 16 desa, namun hanya empat desa yang pada tahun 2006
dipilih oleh lembaga pendamping yakni LSM Persepsi untuk mengikuti sertifikasi.
Keempat desa tersebut adalah Desa Sejati, Desa Guwotirto, Desa Tirtosuworo, dan
Kelurahan Girikikis. Pemilihan empat desa ini dilakukan karena desa-desa tersebut
berada di satu hamparan dan memiliki kondisi penutupan tajuk tanaman kayu relatif
lebih rapat dibandingkan dengan 12 desa lain.
Pada keempat desa yang menjadi anggota unit manajemen terdapat 43
Kelompok Pelestari Hutan Rakyat (KPHR) yang merupakan unit manajemen hutan
rakyat sertifikasi di tingkat dusun yang tersebar di empat desa. Unit KPHR ini
tergabung dalam Gabungan Pelestari Hutan Rakyat (GPHR) yang merupakan unit
manajemen hutan rakyat sertifikasi di tingkat desa. Empat GPHR yang ada bergabung
36
dalam unit manajemen Unit manajemen hutan rakyat ini mempunyai 2.902 anggota
dan luas lahan hutan rakyat 2.434,24 hektar yang terdiri dari lahan hutan pekarangan
dan ladang (tegalan). Lahan hutan rakyat yang ada dirintis sejak tahun 1956 diinisiasi
oleh petani hutan yang dilanjutkan dengan pengembangan kebun bibit desa oleh
kepala dusun hingga pada tahun 2006 hutan rakyat yang dikembangkan sudah lestari
dan akhirnya diajukan untuk memperoleh sertifikasi. Adapun tipologi PHBM pada
kawasan PPHR Catur Giri Manunggal adalah PHBM pada Kawasan Budidaya NonKehutanan (KNBK) dengan orientasi usaha komersial dan dilakukan di atas lahan
milik formal.
5.1.2
Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro
FKPS Selopuro merupakan salah satu unit manajemen hutan rakyat yang
mendapatkan Sertifikasi PHBML LEI pertama di Indonesia. FKPS Selopuro berada
dalam wilayah Kelurahan Selopuro yang memiliki delapan Komunitas Petani
Sertifikasi (KPS) dengan jumlah anggota 682 orang dan luas lahan hutan rakyat
262,77 hektar dengan pola pengembangan hutan pada lahan pekarangan dan ladang.
Selain itu di wilayah FKPS Selopuro ini juga terdapat Tempat Pemasaran Kayu
Sertifikasi (TPKS) dan bengkel kerajinan tangan sertifikasi.
FKPS Selopuro yang memiliki luas lahan hutan rakyat 262,77 ha ini
memiliki kontur berbatu-batu yang kerap disebut dengan 'batu bertanah' dengan
solum yang tipis. Kontur seperti ini juga ditemui hampir di semua wilayah lokasi
penelitian. Pada tanah berkontur batu-batuan ini, hutan rakyat yang dikembangkan
oleh masyarakat didominasi dengan tanaman jati dan mahoni. Keberhasilan dari
37
pengembangan hutan rakyat di daerah ini mengakibatkan munculnya sumber mata air
di tengah-tengah pemukiman penduduk. Awalnya di tahun 1965 daerah Selopuro
merupakan padang alang-alang dan sudah ada program perbaikan hutan dan alam
melalui penghijauan dari pemerintah meskipun tidak banyak. Program pengembangan
hutan dan kegigihan petani dalam menanam kayu inilah yang memperbaiki kondisi
lingkungan di Kelurahan Selopuro dan juga mengantarkan Kelurahan Selopuro
memperoleh sertifikasi PHBML di tahun 2004.
5.1.3
Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Sumberejo
FKPS Sumberejo merupakan salah satu unit manajemen hutan rakyat
pertama, disamping FKPS Selopuro, yang memperoleh Sertifikasi PHBML LEI.
FKPS Sumberejo terletak di Desa Sumberejo dengan luas lahan hutan 526,19 hektar
dan memiliki 958 anggota yang tergabung dalam delapan Komunitas Petani
Sertifikasi (KPS). FKPS Sumberejo yang letaknya bersebelahan dengan FKPS
Selopuro memiliki lahan dengan kontur yang sama yakni 'batu bertanah' dengan
solum tipis. Lahan-lahan yang ada diairi dengan sistem sederhana yang bersumber
dari sungai dan mata air yang muncul di tengah-tengah pemukiman penduduk akibat
dari pengembangan hutan rakyat yang intensif yang dilakukan sejak tahun 1967. Pada
awal tahun 1970-an lahan Desa Selopuro gundul akibat eksploitasi kayu yang tidak
terkontrol. Akibat keprihatinan petani
akan kondisi daerahnya maka dilakukan
penanaman yang dilanjutkan dengan program pembangunan kebun bibit desa, World
Food Programme, dan Gerhan. Pada tahun 2002 mulai dilakukan pendampingan
program sertifikasi oleh LSM setempat yakni, Persepsi.
38
5.2 Karakteristik Responden
Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi
yang homogen, dimana sebagian besar anggota unit manajemen bermatapencaharian
sebagai petani. Penelitian ini melibatkan 90 responden petani sertifikasi terbagi dalam
tiga unit manajemen hutan rakyat Kabupaten Wonogiri dan pada masing-masing unit
manajemen diambil 30 responden. Karakteristik responden yang menjadi sampel
dalam penelitian ini secara detail ditunjukkan pada Tabel 10.
Kabupaten Wonogiri merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani dengan persentase sebesar 88,89%. Petani
berjenis kelamin perempuan hanya membantu melakukan kegiatan pertanian yang
ringan, misalnya membantu menanam padi, sedangkan aktivitas pertanian yang berat,
misalnya membajak sawah, membuka lahan, menanam pohon, dan mengangkut
pohon yang dijual lebih dominan dilakukan oleh laki-laki. Responden petani berjenis
kelamin laki-laki menjadi dominan akibat dari peranan laki-laki sebagai kepala
keluarga sehingga kepemilikan lahan hutan dan keterlibatan laki-laki dalam sektor
hutan rakyat lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dari 90 responden
yang menjadi sampel, hanya empat orang atau 4,44% yang berjenis kelamin
perempuan, sedangkan sisanya didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yakni sebesar
86 atau 95,56%. Keempat orang responden perempuan ini merupakan pemilik lahan
hutan. Satu orang diantaranya berperan dalam pengelolaan hutan tetapi tidak intensif
sedangkan tiga orang lainnya berperan dalam pengelolaan hutan dengan bantuan
buruh tani dan keluarga.
39
Tabel 10. Karakteristik Petani Hutan Sertifikasi
Karakteristik
PPHR Catur
Giri Manunggal
∑
%
FKPS
Sumberejo
FKPS
Selopuro
∑
∑
%
%
Total
∑
%
A. Jenis Kelamin
1. Laki-laki
2. Perempuan
Jumlah
27
03
30
90,00
10,00
100,00
29
01
30
96,67
03,33
100,00
30 100,00
00 000,00
30 100,00
86 95,56
4
4,44
90 100,00
B. Usia (Tahun)
1. < 30
2. 30-39
3. 40-49
4. 50-59
5. 60-69
6. 70-79
7. >79
Jumlah
00
01
06
07
10
06
00
30
00,00
03,33
20,00
23,33
33,33
20,00
00,00
100,00
00
01
05
13
04
07
00
30
00,00
03,33
16,67
43,33
13,33
23,33
00,00
100,00
00 00,00
01 03,33
05 16,67
13 43,33
10 13,33
0
0,00
1
3,33
30 100,00
0
0,00
3
3,33
16 17,78
33 36,67
24 26,67
13 14,44
1
1,11
90 100,00
C. Pendidikan
1. Tidak sekolah atau tidak Lulus
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Sarjana
Jumlah
05
17
02
05
01
30
16,67
56,67
06,67
16,67
03,33
100,00
02
23
03
02
00
30
06,67
76,67
10,00
06,67
00,00
100,00
02 06,67
18 60,00
08 26,67
00 00,00
02 06,67
30 100,00
9 10,00
58 64,44
13 14,44
7
7,78
3
3,33
90 100,00
D. Jenis Pekerjaan
1. Tani
2. Guru
3. Perangkat desa
4. Lain-lain
Jumlah
25
00
02
3
30
83,33
00,00
06,67
10,00
100,00
29
00
01
0
30
96,67
000,00
03,33
00,00
100,00
26 86,67
02 06,67
00 00,00
02
6,67
30 100,00
80 88,89
2
7,78
3
3,33
5
5,55
90 100,00
E. Luas Lahan
1. < 1 ha
2. 1-3 ha
3. > 3 ha
Jumlah
20
09
01
30
66,67
30,00
03,33
100,00
14
13
03
30
46,67
43,33
10,00
100,00
19 63,33
11 36,67
00 00,00
30 100,00
53 58,89
33 36,67
4
4,44
90 100,00
F. Status Lahan
1. Letter C dan atau sertifikat tanah
2. Tidak ada
Jumlah
30
0
30
100,00
0,00
100,00
30
0
30
100,00
0,00
100,00
30 100,00
0
0,00
30 100,00
90 100,00
0
0,00
90 100,00
G. Tanaman Kayu
1. Jati, mahoni
2. Jati, mahoni, akasia
3. Jati, mahoni, sengon
4. Jati, mahoni, sengon, akasia
5. Jenis lainnya
Jumlah
03
08
04
11
04
30
10,00
26,67
13,33
36,67
13,33
100,00
03
06
02
14
05
30
10,00
20,00
06,67
46,67
16,67
100,00
12 40,00
07 23,33
01
3,33
00
0,00
10 33,33
30 100,00
18 20,00
21 23,33
7
7,78
25 27,78
19 21,11
90 100,00
40
Karakteristik kepemilikan lahan di ketiga unit manajemen hutan rakyat
sertifikasi didominasi dengan lahan yang sudah memiliki kejelasan hak milik dengan
luas di bawah satu hektar. Rata-rata kepemilikan lahan 0,91 ha/ orang untuk
responden FKPS Selopuro, 1,46 ha/ orang untuk responden FKPS Sumberejo, dan
0,88 ha/ orang untuk responden PPHR Catur Giri Manunggal. Sempitnya
kepemilikan lahan ini mengakibatkan para petani memaksimalkan lahannya untuk
ditanami tanaman kayu dan palawija dengan jarak yang rapat. Sistem silvikultur yang
tepat, terutama jarak tanam, juga tidak diterapkan oleh petani hutan sertifikasi karena
kondisi lahan yang sempit dan kontur tanah yang berbatu-batu. Kondisi kepemilikan
lahan yang kecil ini juga berakibat pada keharusan petani hutan untuk mengajukan
sertifikasi secara kolektif karena ada persyaratan untuk minimum lahan untuk
pengajuan sertifikasi.
Karakteristik komoditas tanaman didominasi oleh tanaman semusim
misalnya padi, singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Disamping palawija, para
petani hutan rakyat juga menanam tanaman kayu dengan tanaman dominan jati,
mahoni, sengon, akasia dengan persentase total sebesar 27,78%. Jenis tanaman lain
yang juga dibudidayakan di hutan rakyat adalah jabon, sonokeling, trembesi, johar,
dan kelapa tetapi tanaman yang ditanam di ketiga unit manajemen didominasi dengan
tanaman jati dan mahoni yang memiliki nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan
jenis kayu lain. Preferensi petani hutan dalam pemilihan jenis tanaman kayu
didasarkan pada daya jualnya yang tinggi. Hal ini terjadi karena masyarakat sangat
bergantung pada hasil hutan kayu untuk memenuhi kebutuhan mendesak mereka dan
menganggap kayu sebagai tabungan yang bisa diuangkan saat ada kebutuhan.
41
Penanaman tanaman kayu di ketiga unit manajemen hutan rakyat dilakukan
dengan sistem tumpangsari dan sistem hutan rakyat khusus tanaman kayu. Lahan
yang ditanami biasanya adalah lahan pekarangan dan ladang. Sistem tumpangsari
yang dilakukan oleh petani sertifikasi ini ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3.
Sumber: LSM Persepsi, 2006
Gambar 2. Sketsa Sistem Tumpangsari di Ladang
Pola penanaman kayu di lahan ladang sangat bervariasi. Berdasarkan
Gambar 2, pola penanaman tanaman kayu di ladang ditanam dengan menggunakan
pola tumpangsari. Pada sistem tumpangsari ini tanaman kayu ditanam dengan
tanaman pangan seperti singkong, kacang-kacangan, jagung, dan tanaman bawah
tegakan seperti empon-empon. Ada pula sistem tumpang sari yang menanam kayu di
tepi lahan sebagai pembatas. Tetapi pola penanaman kayu di lahan ladang yang
paling dominan adalah penanaman kayu tanpa tanaman semusim. Berbeda dengan
pola penanaman kayu di lahan ladang, pola penanaman kayu di lahan pekarangan
42
memiliki pola yang relatif sama antara petani satu dengan yang lainnya. Pola
penanaman di lahan pekarangan ditunjukkan pada Gambar 3.
Sumber: LSM Persepsi, 2006
Gambar 3. Sketsa Penanaman di Pekarangan
Pada Gambar 3, penanaman tanaman kayu yang dilakukan di pekarangan
dilakukan di sepanjang batas tanah pekarangan sebagai pagar kedua disamping pagar
utama yakni pagar rumah (pagar bambu). Di samping menanam tanaman kayu, lahan
pekarangan juga dipergunakan untuk menanam tanaman pangan seperti singkong dan
penanaman tanaman bawah tegakan seperti empon-empon. Berdasarkan Gambar 2
dan 3, penting untuk diketahui bahwa tidak hanya hasil hutan kayu saja yang
berkontribusi dalam sistem hutan rakyat, tetapi juga keberadaan tanaman semusim.
Kontribusi tanaman semusim dan tanaman kayu ini diperhitungkan dalam analisis
biaya dan manfaat untuk menganalisis dampak ekonomi secara kuantitatif.
43
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1
Keragaan Kelembagaan Unit Manajemen Hutan Rakyat dalamSertifikasi
PHBML
Keberadaan kelembagaan merupakan hal penting dalam proses pengajuan
sertifikasi. Tanpa adanya kelembagaan yang membantu proses sertifikasi secara
kolektif, tentunya petani hutan rakyat ini tidak akan mampu memperoleh sertifikasi
mengingat biaya sertifikasi yang mahal dan adanya ketentuan luasan lahan minimum
untuk sertifikasi. Kelembagaan yang diteliti dalam penelitian sertifikasi PHBML ini
merupakan populasi dari kelembagaan sertifikasi yang ada di Kabupaten Wonogiri
yang terdiri dari tiga unit manajemen hutan rakyat (Forest Management Unit/ FMU),
yakni FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri Manunggal. Ketiga
unit manajemen hutan rakyat ini merupakan kelompok tani hutan rakyat yang mandiri
dan dibentuk dengan pendampingan oleh LSM Persepsi (Perhimpunan Studi
Pengembangan Sosial dan Ekonomi) cabang Wonogiri dan resmi menjadi pemegang
sertifikasi sejak tahun 2004 dan 2007. Ketiga unit manajemen hutan rakyat yang
dibentuk ini berfungsi untuk mewadahi penyuluhan terkait dengan pengelolaan hutan,
memperkuat posisi tawar petani dalam pemasaran kayu, sarana pembentukan modal
kelompok, dan mengembangkan jaringan (networking) serta menjalin hubungan
kemitraan terutama kemitraan bisnis. Fenomena mengenai kelembagaan atau
stakeholder dan biaya transaksi yang ada di lapangan diidentifikasi melalui analisis
kelembagaan.
44
6.1.1 Identifikasi Stakeholder, Peran, dan Hubungan Antar Stakeholder
Untuk melihat bagaimana peran kelembagaan selama proses sertifikasi maka
dilakukan identifikasi stakeholder-stakeholder yang memegang peranan penting dan
bagaimana pengaruh stakeholder dalam sertifikasi berdasarkan pengelompokan peran
stakeholder secara langsung dan tidak langsung. Selain identifikasi stakeholder,
dalam analisis kelembagaan dilakukan identifikasi hubungan antar stakeholder dan
kelembagaan yang ada di ketiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi.
6.1.1.1 Identifikasi Stakeholder dan Peran
Dalam proses sertifikasi ada stakeholder yang secara langsung dan tidak
langsung berpengaruh. Berdasarkan pengamatan, ada tujuh stakeholder yang
ditemukan. Stakeholder-stakeholder yang terlibat dan peranan yang dilakukan oleh
masing-masing stakeholder dijelaskan pada Tabel 11.
Tabel 11. Peranan Masing-Masing Stakeholder
No
Stakeholder
Peranan
Berperan Langsung
1
LEI
A. Mengembangkan sistem sertifikasi.
B. Membantu kemitraan dengan lembaga donor.
2
Lembaga donor
3
LSM Persepsi
A. Mendampingi unit manajemen menuju sertifikasi dengan cara
pendampingan administrasi yaitu pembuatan dokumen dan
inventarisasi tegakan yang ada.
B. Memberikan bantuan soft skill dalam bidang handicraft hasil hutan
sertifikasi dan memberikan bantuan mesin kerajinan.
C. Membentuk TPKS.
4
Ketua kelompok tani
A. Memberikan pengarahan kepada anggota kelompok tani mengenai
sertifikasi.
B. Mengurus proses pengajuan sertifikasi.
C. Mengikuti ujian sertifikasi.
D. Meningkatkan bargaining position kelompok tani.
Memberikan bantuan pendanaan sertifikasi.
45
No
5
Stakeholder
Kelompok tani
Peranan
A. Sarana pengembangan dan kerjasama antar anggota kelompok tani.
B. Sarana networking untuk menghubungkan petani dengan pemerintah
dan institusi lain.
C. Sarana pembentukan modal kelompok tani.
D. Membantu kelancaran proses sertifikasi terutama di bidang
administrasi sertifikat tanah dan inventarisasi tegakan.
Berperan Tidak Langsung
1
Pemerintah daerah
A. Membuat program sertifikat tanah massal pada tahun 1990-an dan
masih berlanjut sampai sekarang.
B. Memberikan legalitas atas hasil hutan kayu yang dijual oleh
masyarakat melalui SKAU.
C. Menetapkan peraturan-peraturan formal dalam pengelolaan hutan
rakyat.
D. Mewajibkan pembentukan kelompok tani.
2
Dinas Kehutanan
A. Membuat program-program penghijauan.
B. Membina kelompok tani sejak awal didirikan.
C. Memberikan penyuluhan-penyuluhan mengenai pengembangan
hutan rakyat.
Berdasarkan Tabel 11 mengenai peranan masing-masing stakeholder secara
keseluruhan, tujuh stakeholder yang ada dikelompokkan menjadi dua kategori
berdasarkan peranannya:
1.
Stakeholder yang Berperan Langsung
Dalam proses sertifikasi, stakeholder yang berperan langsung dan terjun
dalam proses sertifikasi adalah LEI selaku pengembang sertifikasi dan secara teknis
membantu menjalin kemitraan dengan lembaga donor, lembaga donor, LSM Persepsi
selaku lembaga pendamping, ketua kelompok tani, dan kelompok tani hutan rakyat.
Pada kategori ini hanya lembaga independen dan non governmental yang terlibat
secara langsung dalam sertifikasi sedangkan pemerintah tidak berperan secara
langsung. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan aparat pemerintah daerah akan
46
konsep sertifikasi dan dikonfirmasi oleh Petugas Kehutanan Lapang setempat yakni
Bapak Wardi.
"...Waktu itu saya disuruh mengutarakan sambutan (tentang sertifikasi), lah
saya belum tahu apa-apa (tentang sertifikasi) kan dulu itu waktu itu, cuma
saya ya mendukung 100% PHBML apalagi itu bersangkutan dengan kita
langsung..." (Bapak Wardi, Petugas Kehutanan Lapang)
Selain itu pemerintah tidak termasuk dalam kategori stakeholder yang
berperan tidak langsung karena tidak memberikan bantuan kepada unit manajemen
dalam pengajuan sertifikasi. Bantuan terkait dengan pengajuan sertifikasi ditanggung
sepenuhnya oleh pihak donor. Bantuan dana dari lembaga donor kemudian
disalurkan melalui LSM Persepsi sebagai lembaga pendamping unit manajemen pada
saat proses sertifikasi.
2.
Stakeholder yang Berperan Tidak Langsung
Stakeholder yang berperan tidak langsung dalam sertifikasi adalah dinas
kehutanan dan pemerintah daerah. Dinas kehutanan melalui penyuluhan dan
pembinaan kelompok tani sebenarnya merupakan aktor utama yang menginisiasi
pengembangan hutan. Hal ini dibuktikan dengan masuknya program-program
pemerintah sejak tahun 1965-an yakni program dari World Food Programme, IDT
(Inpres/ Instruksi Presiden Desa Tertinggal), Gerhan (Gerakan Penghijauan), dan
lain-lain. Dari program penghijauan inilah masyarakat secara mulai menanam
tanaman kayu bahkan masyarakat memilih jenis tanaman kayu yang menurut mereka
memberikan manfaat ekonomi yang tinggi dan sampai saat ini tanaman kayu
digunakan sebagai tabungan. Sedangkan pemerintah daerah lebih berperan dalam
membantu masyarakat di sektor legalitas baik legalitas kayu maupun lahan dengan
47
adanya program sertifikasi massal di ketiga daerah tempat unit manajemen berada
sejak tahun 1990-an dan masih berlanjut sampai sekarang selain itu pemerintah juga
berperan dalam mendukung program-program penghijauan dinas kehutanan.
Keberhasilan program pengembangan hutan dan legalitas kayu maupun lahan inilah
yang sebenarnya mengantarkan dan mempermudah pengajuan proses sertifikasi. Jadi
sebenarnya pemerintah melalui pemerintah desa dan dinas kehutanan mempunyai
peranan dalam sertifikasi meskipun secara tidak langsung tapi pengaruhnya sangat
besar. Tanpa adanya bantuan dan binaan dari pemerintah tidak mungkin unit
manajemen hutan rakyat yang ada dapat memperoleh sertifikasi dengan mudah
karena kejelasan batas lahan dan kelestarian hutan merupakan salah satu indikator
dalam sertifikasi PHBML.
6.1.1.2 Hubungan Antar Stakeholder
Hubungan antar stakeholder yang terjadi di unit manajemen hutan rakyat
sertifikasi dapat dikelompokkan dalam dua level, yakni:
1.
Level Penentu Kebijakan (Collective Choice Level)
Pada level penentu kebijakan, stakeholder yang berperan dalam menentukan
kebijakan sertifikasi melalui pengembangan standar sertifikasi adalah LEI.
Sedangkan stakeholder yang berperan dalam menentukan kebijakan dalam
pengelolaan hutan rakyat adalah pemerintah daerah dan dinas kehutanan. Pengelolaan
hutan yang lestari tidak bisa dilakukan tanpa adanya kebijakan dari pemerintah dan
dibantu dengan kebijakan yang berlaku di kelompok.
48
2.
Level Operasional (Operational Level)
Stakeholder yang tergolong dalam level operasional adalah stakeholder yang
bertugas mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan oleh stakeholder
level penentu kebijakan. Pada level operasional ini, stakeholder yang terlibat adalah
ketua dan kelompok tani sertifikasi yang berperan sebagai stakeholder yang
menjalankan peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah terkait dengan
pengelolaan hutan.
Berdasarkan dari pengelompokan di atas, hubungan antar stakeholder dalam
sertifikasi ditunjukkan pada Gambar 4.
LEI
Pemerintah Daerah
Collective
Choice Level
Dinas Kehutanan
Lembaga
Donor
LSM Persepsi
Operational
Level
Ketua Kelompok
Kelompok Tani
Keterangan:
Garis Koordinasi
Garis Koordinasi Teknis Lapangan
Garis Instruksi
Garis Saluran Dana/ Bantuan
Gambar 4. Hubungan Antar Stakeholder
49
Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa pada level collective choice
terdapat stakeholder LEI yang merupakan perumus kebijakan sertifikasi dan
stakeholder pemerintah daerah dan dinas kehutanan yang merupakan perumus
kebijakan pengelolaan hutan. Dalam proses sertifikasi, antara LEI dengan pemerintah
dan dinas kehutanan tidak ada koordinasi langsung. Hal ini juga dikonfirmasi oleh
pihak LEI. LEI hanya mengundang pemerintah dan dinas kehutanan untuk
menyaksikan proses pengambilan keputusan sertifikasi. Dalam lingkup proses
koordinasi dana sertifikasi, garis koordinasi ada pada stakeholder LEI dan lembaga
donor, LEI dan Persepsi, lembaga donor dan Persepsi, dimana LEI membantu jalinan
kerjasama lembaga internasional untuk ambil bagian menjadi menjadi donor
sertifikasi pada program sertifikasi PHBML yang diajukan oleh LSM Persepsi. LSM
Persepsi kemudian melakukan proses koordinasi langsung dengan pemerintah daerah
dan dinas kehutanan terkait dengan perizinan dan pemberitahuan pelaksanaan
program sertifikasi. LSM Persepsi juga melakukan koordinasi dan koordinasi teknis
di lapangan dengan ketua kelompok terkait dengan pengajuan sertifikasi misalnya
penyusunan dokumen, administrasi, dan inventarisasi tegakan maupun dalam
penyaluran bantuan, misalnya pemberian bibit dan dana komisi untuk inventarisasi
tegakan. Sedangkan ketua kelompok berperan menginstruksikan, membentuk
koordinasi, membentuk koordinasi teknis di lapangan, dan penyaluran bantuan (bibit
maupun dana dari stakeholder) kepada kelompok tani.
Stakeholder lain yakni pemerintah daerah dan dinas kehutanan tidak terlibat
langsung dalam sertifikasi namun stakeholder-stakeholder ini berperan dalam level
collective choice dengan memberikan bantuan dan merumuskan kebijakan-kebijakan
50
terkait dengan pengelolaan hutan yang akhirnya mengakar pada peraturan-peraturan
pengelolaan hutan yang ada di kelompok tani. Meskipun pemerintah dan dinas
kehutanan tidak memberikan bantuan dana dalam proses sertifikasi, tetapi pemerintah
dan dinas kehutanan memberikan bantuan-bantuan melalui program penghijauan,
sertifikat tanah masal, dan penyuluhan yang membantu petani dalam pengembangan
hutan rakyat secara lestari.
6.1.1.3 Identifikasi Kelembagaan Unit Manajemen
Ketiga unit manajemen hutan rakyat sertifikasi awalnya merupakan kelompok
tani biasa. Hingga akhirnya dilakukan pendampingan sertifikasi oleh LSM Persepsi
dan dibentuklah organisasi swadaya mandiri yakni unit manajemen hutan rakyat.
Namun sampai saat ini unit manajemen ini tidak hanya memfasilitasi penyuluhan dan
pertemuan mengenai pengelolaan hutan saja, namun juga tentang pertanian,
peternakan, dan sarana menyampaikan informasi-informasi penting. Ketiga unit
manajemen ini tidak memiliki perbedaan kelembagaan yang signifikan. Identifikasi
dari kelembagaan ketiga unit manajemen ini diperjelas melalui analisis terhadap
delapan unsur kelembagaan yang ditunjukkan dalam Lampiran 1 mengenai
kelembagaan tiga unit manajemen hutan rakyat sertifikasi.
Berdasarkan dari indikator yang dirumuskan sebelumnya melalui studi
literatur, ada delapan unsur yang diteliti dalam indentifikasi kelembagaan yakni (1)
institusi, (2) norma tingkah laku, (3) peraturan dan penegakan aturan/ hukum, (4)
aturan dalam masyarakat, (5) kode etik, (6) hak milik (property rights atau
tenureship), (7) organisasi, dan (8) insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang
51
diinginkan. Pada unsur pertama, yakni institusi, berdasarkan hasil penelitian yang
ditunjukkan dalam Lampiran 1 diketahui bahwa unit manajemen di FKPS Selopuro
dan Sumberejo mempunyai bentuk organisasi yang sama. Kedua unit manajemen
hutan rakyat ini memiliki delapan Kelompok Petani Sertifikasi yang tergabung dalam
satu Forum Komunikasi Petani Sertifikasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan
responden di kedua unit manajemen FKPS Selopuro dan Sumberejo, penyebaran
informasi mengenai pemahaman sertifikasi di kedua unit manajemen ini juga relatif
rata. Hal ini disebabkan oleh tingginya intensitas pertemuan antara LSM pendamping
dengan masyarakat dan jumlah anggota yang relatif sedikit dan hanya terdiri dari
satu desa. Lain halnya dengan PPHR Catur Giri Manunggal yang terdiri dari tiga desa
dan satu kelurahan dengan jumlah anggota 2.902 orang. Hal ini membuat penyebaran
informasi sertifikasi menjadi sulit ditambah lagi dengan rendahnya intensitas
pertemuan langsung antara petani hutan dan LSM pendamping.
Berdasarkan hasil penelitian, kondisi di lapangan menunjukkan ketiga unit
manajemen belum optimal bahkan PPHR Catur Giri Manunggal tidak berfungsi
sebagai mestinya karena pertemuan rutin yang diadakan selama tiga bulan sekali
tidak berjalan, padahal skala unit manajemennya lebih luas dan pemerataan
pemahaman informasi sangat rendah. Pertemuan rutin di PPHR Catur Giri
Manunggal tidak berjalan karena dianggap tidak ada masalah besar yang harus
diselesaikan dan dimusyawarahkan.
"...Karena tidak ada masalah di kelompok dan dipandang tidak perlu
mengumpulkan anggota. Namun pengurus kelompok tetap berkomunikasi
mengenai perkembangan kelompok..." (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur
Giri Manunggal)
52
Pada FKPS Selopuro pertemuan rutin diadakan sebulan sekali dan di FKPS
Sumberejo pertemuan rutin diadakan setiap 35 hari (selapan). Pertemuan rutin di dua
unit manajemen FKPS masih tetap berjalan sampai sekarang namun sertifikasi bukan
merupakan topik yang prioritas dibicarakan. Hal ini disebabkan karena awalnya unit
manajemen hutan rakyat ini merupakan kelompok tani biasa yang akhirnya diajukan
sertifikasi sehingga masalah yang sering dibahas saat pertemuan rutin tidak hanya
masalah mengenai sertifikasi, tetapi masalah mengenai subsidi pupuk dan
penghimpunan modal kelompok melalui ternak seperti yang terjadi di Desa
Sumberejo. Sertifikasi bukan merupakan topik yang selalu dibahas dalam pertemuan
rutin karena tidak ada masalah terkait dengan sertifikasi. Gambar mengenai
pertemuan rutin Desa Sumberejo ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pertemuan Rutin per 35 Hari (Selapan) yang Diadakan oleh
FKPS Sumberejo
Unit manajemen seharusnya banyak membahas mengenai bagaimana caranya
agar dapat menghimpun modal untuk resertifikasi dan kendala-kendala lain terkait
53
berjalannya sistem sertifikasi. Pendekatan participatory dengan melibatkan
masyarakat perlu dilakukan oleh unit manajemen agar masyarakat mengetahui
masalah yang dihadapi terkait dengan sertifikasi dan masyarakat dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan. Saat masyarakat aktif berpartisipasi dalam sektor
sertifikasi akan menimbulkan kesadaran dari masyarakat untuk mempertahankan dan
merasa bangga dengan sertifikasi yang selama ini diperoleh. Lain halnya saat
masyarakat tidak tahu menahu betapa sulitnya memperoleh sertifikasi.
Unsur kelembagaan kedua yang diteliti adalah norma tingkah laku. Norma
tingkah laku yang selama ini berlaku di masyarakat diadopsi untuk membuat AD/
ART dan tata kelola hutan. Sehingga ada tiga peraturan yang berlaku dalam
masyarakat, yakni norma lokal, AD/ ART, dan tata kelola hutan. Sebelum berbentuk
aturan tertulis seperti sekarang, masyarakat sudah memiliki norma-norma yang sudah
dijalankan selama bertahun-tahun. Norma-norma yang diadopsi menjadi peraturan
tertulis adalah norma mengenai kewajiban penanaman setiap tahun; penanaman
kembali setelah penebangan; pengaturan mengenai pengembalaan ternak agar tidak
merusak tegakan; pelarangan pengambilan bibit, tegakan dan pucuk daun di luar
lahan miliknya; dan lain-lain. Norma-norma yang diadopsi ini kemudian disahkan
menjadi peraturan tertulis dan merupakan rules of the game yang dirumuskan dan
disepakati bersama secara musyawarah.
Unsur kelembagaan ketiga yang diteliti adalah peraturan dan penegakan
peraturan. Pada ketiga unit manajemen sudah terdapat peraturan tertulis mengenai
pengelolaan hutan yang merupakan adopsi dari norma-norma dan peraturan
pengelolaan hutan yang telah berjalan sebelum sertifikasi. Penegakan peraturan di
54
ketiga unit manajemen tergolong lemah. Di unit manajemen FKPS Selopuro ada
pengurus khusus yakni seksi keamanan yang bertugas mengawasi apakah ada anggota
yang melanggar aturan dan pengawasan ini dibantu oleh seluruh anggota. Kalaupun
ada pelanggar peraturan FKPS Selopuro, semuanya akan dilaksanakan dengan cara
kekeluargaan dan tidak pernah ada sanksi yang dibebankan. Hal ini menunjukkan
tidak tegasnya peraturan yang sudah dibuat dan efek jera bagi pelanggar tidak ada.
Kondisi penegakan peraturan di FKPS Sumberejo sama dengan kondisi FKPS
Selopuro namun pengawasan hanya dilakukan antar anggota. Lain halnya dengan
PPHR Catur Giri Manunggal, unit manajemen ini memiliki wilayah keanggotaan
yang lebih luas dibandingkan dua unit manajemen lainnya karena merupakan unit
manajemen hutan rakyat tingkat kecamatan dengan anggota empat desa, penegakan
peraturan dilakukan dengan pembebanan tugas kepada Kelompok Petani Hutan
Rakyat (KPHR) sebagai pengawas penegakan peraturan di tingkat dusun. Peraturan
yang pernah dilanggar oleh anggota adalah peraturan mengenai lahan tapi sanksinya
tidak pernah dilaksanakan sesuai AD/ ART tetapi masalah yang ada diselesaikan
secara kekeluargaan.
"...Ya tidak sering sih, pernah ada (peraturan yang dilanggar) tapi bisa
diselesaikan secara kekeluargaan dulu di tingkat KPHR, jadi meskipun ada
permasalahan tidak sampai ke GPHR atau tidak sampai ke PPHR... Tidak ada
(peraturan) yang sering dilanggar, tapi pernah ada yang melanggar tentang
garis-garis batas dari hak milik, tapi tidak sampai besar, permasalahannya ya
umpamanya saling berebut batas, tetapi akhirnya juga bisa diselesaikan
secara damai... Sebetulnya ada (sanksi), tapi tidak pernah dilaksanakan
dengan seberat seperti dicantumkan pada AD/ ART, seandainya kan nggak
sampai parah gitu lho. Jadi sebelum parah, sudah diantisipasi sedini mungkin,
jadi ibaratnya melanggar tidak sampai jauh, paling baru akan melanggar
sudah dikasih tahu dan mereka juga sadar bahwa itu perbuatan yang tidak
benar..." (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur Giri Manunggal)
55
Namun pengawasan dan penegakan peraturan di PPHR sangat lemah. PPHR
mempunyai peta sengketa pengelolaan hutan lintas desa namun secara legitimate
masih ada dua anggota PPHR yang menjadi responden yang memiliki konflik berebut
batas dengan warga lain namun tidak terselesaikan sampai sekarang. Hal ini
dikarenakan PPHR vakum atau tidak berjalan sebagaimana mestinya,
Unsur kelembagaan keempat yang diteliti adalah aturan dalam masyarakat.
Di ketiga unit manajemen aturan yang berlaku adalah aturan tidak tertulis yakni
norma sosial dan aturan tertulis yakni AD/ ART kelompok dan aturan kelola hutan
rakyat. Unsur kelembagaan kelima yang diteliti adalah kode etik. Dalam
kelembagaan pengelolaan hutan rakyat di ketiga unit manajemen tidak ditemukan
adanya kode etik.
Unsur kelembagaan keenam yang diteliti adalah hak milik (property rights
atau tenureship). Meskipun semua anggota di tiga unit manajemen yang menjadi
responden sudah memiliki kejelasan hak milik lahan atau tenureship secara legal
tetapi secara legitimate masih ada anggota yang mengalami konflik berebut batas.
Kejelasan status hak milik lahan anggota ini akibat adanya program sertifikasi massal
dari pemerintah. Adanya status hak milik yang jelas dilakukan agar kepemilikan
lahan petani legal dan diakui secara hukum di samping itu kejelasan status hak milik
ini seharusnya dapat meminimalisir konflik berebut batas lahan. Dalam menangani
konflik berebut batas lahan seharusnya unit manajemen dapat menjadi mediator yang
efektif karena merupakan lembaga yang paling dekat dengan petani. Namun fungsi
mediasi tidak berjalan secara optimal di PPHR bahkan ketua PPHR tidak mengetahui
anggotanya mengalami konflik berebut batas. Hal ini menunjukkan lemahnya
56
komunikasi antara anggota dan ketua dan tidak berfungsinya unit manajemen
sebagaimana mestinya.
Unsur kelembagaan ketujuh yang diteliti adalah organisasi. Bentuk organisasi
FKPS Selopuro dan Sumberejo secara umum sama dengan struktur yang ditunjukkan
pada Gambar 6. Sedangkan bentuk organisasi PPHR Catur Giri Manunggal lebih
kompleks karena merupakan unit manajemen level kecamatan yang membawahi
2.902 petani dari empat desa. Bentuk organisasi PPHR Catur Giri Manunggal
ditunjukkan pada Gambar 7.
Forum Komunikasi Petani
Sertifikasi
Komunitas
Petani
Sertifikasi
Komunitas
Petani
Sertifikasi
Komunitas
Petani
Sertifikasi
Komunitas
Petani
Sertifikasi
Komunitas
Petani
Sertifikasi
Komunitas
Petani
Sertifikasi
Komunitas
Petani
Sertifikasi
Komunitas
Petani
Sertifikasi
Gambar 6. Bentuk Organisasi FKPS
Perkumpulan Pelestari Hutan
Rakyat
Gabungan Pelestari
Hutan Rakyat
Gabungan Pelestari
Hutan Rakyat
Gabungan Pelestari
Hutan Rakyat
Gabungan Pelestari
Hutan Rakyat
Kelompok Pelestari Hutan Rakyat
Kelompok Pelestari Hutan Rakyat
Kelompok Pelestari Hutan Rakyat
Kelompok Pelestari Hutan Rakyat
Kelompok Pelestari Hutan Rakyat
Kelompok Pelestari Hutan Rakyat
Kelompok Pelestari Hutan Rakyat
Gambar 7. Bentuk Organisasi PPHR
57
Apabila dibandingkan antara bagan organisasi FKPS dan PPHR berdasarkan
Gambar 6 dan 7, PPHR memiliki struktur yang lebih kompleks bila dibandingkan
dengan FKPS. Hal ini juga mempengaruhi penyebaran informasi mengenai
sertifikasi. Dengan intensitas pertemuan yang lebih tinggi antara LSM dan
masyarakat dengan lingkup anggota lebih kecil dan susunan organisasi yang
sederhana mempermudah sampainya informasi langsung kepada masyarakat.
Sedangkan pada PPHR, proses penyampaian informasi lama dan sulit karena
pendampingan hanya dilakukan kepada petani-petani yang memegang peranan
penting di organisasi dan proses penyampaian informasi hanya mengandalkan
beberapa petani yang menjabat sebagai pengurus. Informasi yang diterima pengurus
PPHR disampaikan ke pengurus lain di tingkat desa (Gabungan Pelestari Hutan
Rakyat/ GPHR) lalu diteruskan ke tingkat dusun (Kelompok Pelestari Hutan Rakyat/
KPHR) lalu ke petani seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Sedangkan pada
FKPS, baik Selopuro maupun Sumberejo, pendekatan dilakukan langsung ke
masyarakat dengan intensitas yang lebih tinggi, terlebih lagi struktur kepengurusan
FKPS hanya memuat level desa (FKPS), level dusun (Kelompok Petani Sertifikasi),
dan kemudian level petani anggota FKPS. Disamping itu, ada perbedaan metode
penyuluhan mengenai sertifikasi. Fenomena ini juga dikonfirmasi kebenarannya oleh
ketua program sertifikasi dari LSM Persepsi.
"...Wilayah kelola dan waktu penyiapan, untuk di Selopuro ini satu FMU
sekitar 272 hektar dan itu kan coverage-nya kecil kemudian waktu
penyiapannya sekitar 14 bulan, sementara untuk di Giriwoyo dengan luasan
2.434 ha di empat desa hanya dalam waktu 12 bulan, atas ketersediaan
sumberdaya untuk menyiapkan itu maka ada pendekatan yang berbeda dari
Selopuro dan Giriwoyo, Selopuro dan Sumberejo hampir sama, di Selopuro
itu frekuensi dan intensitas kita (LSM Persepsi) ketemu dengan masyarakat
58
itu tinggi karena lebih kecil, tapi untuk di Giriwoyo agak jarang. Itu artinya
kita (LSM Persepsi) lebih banyak menggunakan jalur komunikasi formal, jadi
misalnya rapat perangkat desa, kemudian pertemuan dusun...di Giriwoyo kan
empat desa jadi satu dan itu dengan kondisi yang bergunung-gunung, itu
artinya menyebabkan komunikasinya tidak secepat yang disini (Selopuro dan
Sumberejo)..." (Pak Taryanto Wijaya, Ketua Program Sertifikasi LSM
Persepsi)
Dalam lingkup wilayah Kabupaten Wonogiri, posisi ketiga unit manajemen
hutan rakyat ini merupakan organisasi swadaya dan tidak berada di bawah naungan
instansi pemerintah daerah maupun dinas kehutanan setempat. Meskipun awalnya
unit manajemen hutan rakyat ini merupakan kelompok tani, tetapi dalam
pendampingan sertifikasi instansi pemerintah sama sekali tidak terlibat. Hal ini
dikonfirmasi oleh Ketua PPHR Catur Giri Manunggal.
"Sebenarnya kelompok mandiri, karena pemerintah tidak terlibat di dalamnya.
PPHR berdiri atas bimbingan pendamping LSM Persepsi. Hanya kelompok
ini eks-terasiring (pada waktu) Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Lahan dan
Penghijauan)" (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur Giri Manunggal)
Unsur kelembagaan kedelapan yang diteliti adalah ada atau tidaknya
insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Di ketiga unit
manajemen tidak ada insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan
misalnya menaati peraturan dan mau bergabung dalam kegiatan unit manajemen
hutan rakyat. Hal ini terjadi karena unit manajemen yang ada merupakan unit
manajemen small scale forest management dan bentuk unit manajemen berdasarkan
rasa kekeluargaan dan kesadaran. Untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan,
misalnya untuk mematuhi aturan, didasarkan pada kesadaran masing-masing anggota
yang juga diawasi dengan anggota lain yang akan melaporkan bila terjadi
pelanggaran peraturan atau konflik.
59
6.1.2
Biaya Transaksi
Untuk mengukur efisiensi ekonomi suatu usaha seringkali mengacu pada segi
produksi. Padahal tanpa disadari segi non-produksi seperti biaya transaksi juga
mengurangi tingkat penerimaan dari sebuah usaha sehingga biaya transaksi ini juga
penting untuk diperhitungkan. Biaya transaksi memang tidak dapat dihindari, tetapi
agar efisiensi usaha dapat meningkat, biaya transaksi sebisa mungkin harus
diminimumkan (Anggraini, 2007).
Pada pengusahaan hutan rakyat terdapat biaya transaksi dalam bentuk biaya
untuk mengurus surat izin penebangan kayu. Saat petani akan menebang kayu,
terlebih dahulu petani hutan harus membuktikan legalitas kepemilikan tegakan yang
akan ditebang melalui surat izin penebangan kayu di kantor desa dan kantor
kecamatan. Pada tingkat desa, biaya pembuatan surat izin yang dibebankan untuk
petani sebesar Rp 10.000 dan biaya yang dibebankan untuk bakul sebesar Rp 20.000.
Sedangkan pada tingkat kecamatan, biaya yang dikenakan untuk bakul maupun petani
adalah Rp 40.000. Biaya pembuatan surat izin penebangan kayu ini berkisar Rp
50.000 untuk sekali penebangan. Untuk kayu yang akan diangkut ke daerah lain
dikenakan biaya administrasi untuk penerbitan SKSKB (Surat Keterangan Sah Kayu
Bulat) atau SKAU (Surat Keterangan Asal-Usul Kayu) sebesar Rp 75.000 sampai Rp
250.000 untuk satu rit (satu truk) kayu yang diangkut. Biaya SKSKB ini biasanya
dikenakan kepada bakul maupun pengepul bukan kepada petani, karena untuk
menerbitkan SKSKB harus melampirkan surat izin tempat usaha (HO). Pemberlakuan
biaya dalam SKAU ataupun SKSKB ini tidak termasuk biaya transaksi karena
memang ada pemberlakuan biaya dalam penerbitannya.
60
Biaya transaksi yang terjadi memang tidak besar tetapi biaya ini yang harus
dibayar di tiap level lembaga pemerintahan. Untuk satu kali penebangan saja petani
harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 50.000 tanpa mempedulikan berapa banyak
pohon yang ditebang dan tanpa mempedulikan baik itu penebangan untuk komersial
(diperjualbelikan) maupun untuk kebutuhan domestik misalnya membangun rumah.
Saat petani hanya menebang pohon dalam jumlah sedikit tentunya biaya ini akan
mengurangi keuntungan pengusahaan hutan yang diterima oleh petani. Terlebih lagi
dalam pemasaran kayu konvensional, petani seringkali memperoleh informasi dan
harga yang asimetris sehingga harga yang diberikan bakul kepada petani jauh
dibawah harga jual bakul kepada pengepul. Keuntungan yang diperoleh petani ini
akan semakin kecil apabila adanya pemberlakuan sertifikasi secara wajib dengan
menggunakan biaya sendiri.
Pengusahaan hutan rakyat akan semakin kecil keuntungannya dengan adanya
biaya persiapan pengajuan sertifikasi, biaya sertifikasi dan biaya surveillance yang
harus ditanggung. Kecuali apabila di masa mendatang kebijakan pemberlakuan
sertifikasi secara wajib ini diimbangi dengan kewajiban bagi perusahaan pengolahan
kayu yang memiliki sertifikasi CoC (Chain-of-Custody) atau sertifikasi lacak balak
untuk memasok kayu dari unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi. Selain itu agar
petani tidak semakin terbebani apabila sertifikasi diberlakukan secara wajib,
pemerintah perlu memberikan bantuan kepada petani misalnya dalam bentuk
pemberlakuan regional group ceritification seperti di Finlandia atau pemberlakuan
social certification fund (fundo social de certificação) seperti di Brazil. Untuk
meminimumkan biaya sertifikasi dan mengatasi permasalahan kepemilikan hutan
61
rakyat yang kecil (small scale forest holding), sistem sertifikasi hutan di Finlandia
mengadopsi regional group certification dimana hutan pada area tertentu akan
disertifikasi dalam waktu yang bersamaan tetapi sertifikasi tetap diberikan secara
individu. Sedangkan di Brazil diberlakukan social certification fund oleh
IMAFLORA (the Institute of Forest and Agriculture Management and Certification)
dimana dana ini diperoleh dari biaya evaluasi sertifikasi unit manajemen hutan skala
besar untuk dialokasikan kepada unit manajemen hutan skala kecil dan program hutan
rakyat untuk membantu dalam memperoleh sertifikasi (Hirakuri, 2003).
Sejauh ini menurut pihak LEI, beberapa instansi pemerintah sudah mulai
tergerak untuk memberikan dana, misalnya dari Pustanling Kementerian Kehutanan
dan beberapa pemerintah daerah misalnya Kabupaten Bangkalan, Lumajang, Pacitan,
Boyolali, Sragen, dan lain-lain. Peran serta pemerintah daerah dan instansi
pemerintahan perlu diapresiasi dan dijadikan wacana untuk pemerintah daerah lain
terutama apabila rencana sertifikasi yang bersifat wajib nantinya diimplementasikan.
Disamping itu perlu dirumuskan pula sistem bantuan dan pendampingan seperti apa
yang nantinya akan diberikan kepada pihak petani hutan agar bantuan yang diberikan
mampu menjadikan petani hutan lebih mandiri terutama dalam perdagangan kayu
agar keuntungan atau dampak dari sertifikasi yang dirasakan mampu membuat petani
hutan lebih mandiri dalam penghimpunan dana sertifikasi secara swadaya.
6.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML pada
Petani Hutan Rakyat
Penerapan sertifikasi PHBML di FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo
diinisiasi oleh LSM Persepsi yang juga dibantu oleh lembaga donor. Sebagai pilot
62
project sertifikasi, kedua unit manajemen ini didampingi selama sekitar 14 bulan
dengan intensitas pertemuan hampir setiap minggu. Hasil dari pendampingan ini
ditandai pada tanggal 17 Oktober 2004 saat diadakan kongres pertama LEI di Jakarta.
Saat itu pulalah diumumkan dua unit manajemen hutan rakyat Kabupaten Wonogiri
yang memperoleh sertifikasi PHBML pertama di Indonesia dengan skema sertifikasi
LEI. Sedangkan PPHR Catur Giri Manunggal bukan merupakan pilot project
sertifikasi tetapi kondisi sertifikasi PHBML-nya sama dengan FKPS Selopuro dan
FKPS Sumberejo, yakni merupakan bantuan. Walaupun ketiga unit manajemen hutan
rakyat ini tidak terbebani adanya biaya persiapan, biaya sertifikasi maupun biaya
surveillance, namun ada beberapa alasan yang mendasari mengapa petani hutan
FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri Manunggal mau mengikuti
program sertifikasi. Faktor-faktor yang mendasari petani hutan di ketiga unit
manajemen yang diteliti dalam mengikuti sertifikasi dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Ekolabel di Tingkat
Petani Hutan Kabupaten Wonogiri Tahun 2012
FKPS Selopuro
Faktor-Faktor
Σ
1. Tuntutan pasar/
konsumen
2. Bantuan dari institusi
3. Premium price
4. Kesadaran menjaga
lingkungan
5. Lain-lain
6. Tidak tahu
Jumlah
%
FKPS
Sumberejo
Σ
%
PPHR Catur
Giri Manunggal
Σ
%
Total
Σ
%
0
0,00
0
0,00
0
0,00
0
0,00
15
24
25
22,06
35,29
36,76
10
25
25
16,13
40,32
40,32
9
5
22
23,68
13,16
57,89
34
54
72
20,24
32,14
42,86
3
1
68
4,41
1,47
100,00
1
1
62
1,61
1,61
100,00
2
0
38
5,26
0,00
100,00
6
2
168
3,57
1,19
100,00
Faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan responden didominasi oleh
pilihan jawaban kesadaran ingin menjaga lingkungan, keinginan untuk mendapatkan
63
premium price, dan karena adanya bantuan dari institusi sehingga mereka mau
mengikuti program sertifikasi. Sementara faktor lain-lain terdiri dari faktor
kebanggaan, kemauan sendiri, hanya mengikuti petani lain, ingin diakui, dan hanya
karena didaftarkan saja.
Faktor kesadaran ingin menjaga lingkungan menjadi dominasi utama di ketiga
unit manajemen dengan persentase sebesar 42,86%. Dominasi kesadaran ingin
menjaga lingkungan terjadi karena karena petani hutan menyadari besarnya manfaat
dari menjaga kelestarian lingkungan, khususnya kelestarian hutan mengingat
besarnya manfaat hutan yang telah dirasakan oleh masyarakat. Walaupun petani
hutan rakyat memiliki kesadaran menjaga lingkungan, namun petani hutan
menyatakan tidak bersedia melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri, hal ini
ditunjukkan pada Tabel 13.
Faktor kedua yang mendominasi adalah keinginan untuk mendapatkan
premium price. Hal ini terjadi karena dampak ekonomi merupakan dampak langsung
yang berpengaruh signifikan terhadap kondisi petani hutan, terutama dari segi
perekonomian, dan juga merupakan dampak yang diharapkan oleh petani hutan.
Tetapi sampai saat ini premium price di ketiga unit manajemen sulit didapat karena
lima hal:
1.
Pembeli kayu sertifikasi dalam negeri menginginkan kayu bersertifikasi dan
berkualitas tinggi namun hanya bersedia membayar dengan harga murah.
2.
Ada pembeli sertifikasi dari luar negeri yang menawarkan kerjasama
perdagangan namun dengan menggunakan sistem kuota, dimana perbulannya
64
unit manajemen harus memasok 300 kubik kayu sesuai dengan standar
kualitas yang telah ditetapkan oleh pembeli.
3.
Belum adanya pasar khusus sertifikasi. Hal ini juga diungkapkan oleh key
person.
4.
TPKS belum bisa memfasilitasi pembelian kayu hutan rakyat tersertifikasi
dari petani karena kekurangan modal.
5.
Tidak adanya pembeli kayu sertifikasi akhir-akhir ini, padahal TPKS pernah
memfasilitasi penjualan kayu sertifikasi kepada PT. Novica tahun 2005, PT.
Jawa Furni tahun 2007, dan Greenliving tahun 2009.
Faktor ketiga yang mendominasi alasan keikutsertaan petani dalam sertifikasi
PHBML adalah adanya bantuan yang diberikan oleh institusi, dalam hal ini lembaga
donor, sehingga petani hutan mampu mengikuti sertifikasi. Awalnya pemberian
bantuan ini ditujukan agar petani hutan dapat mandiri dalam perdagangan kayu
sertifikasi sehingga di masa mendatang mampu mendanai biaya sertifikasi sendiri.
Namun pada kenyataannya petani hutan tidak mempunyai kemandirian dan kemauan
untuk melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 13.
Pada Tabel 13 diketahui bahwa petani hutan di ketiga unit manajemen
mayoritas menjawab tidak bersedia mengikuti sertifikasi dengan biaya sendiri dengan
persentase total sebesar 84,44%. Biaya sertifikasi yang mahal membuat masyarakat
petani hutan tidak bersedia mengikuti sertifikasi dengan biaya sendiri namun apabila
jangka waktu sertifikasi sudah berakhir, 87,78% petani hutan masih bersedia
melakukan sertifikasi ulang (resertifikasi).
65
Tabel 13. Kemauan Mengikuti Sertifikasi dan Resertifikasi dengan Biaya Sendiri
FKPS Selopuro
FKPS Sumberejo
Variabel
Σ
%
Σ
PPHR Catur Giri
Total
Manunggal
%
Σ
%
Σ
%
Kemauan Melakukan
Sertifikasi dengan Biaya
Sendiri
1. Ya
2. Tidak
4. Tidak Tahu
Jumlah
1
27
2
30
3,33
90,00
6,67
100,00
1
25
4
30
13,33
83,33
13,33
100,00
1
24
5
30
3,33
80,00
16,67
100,00
3
76
11
90
3,33
84,44
12,22
100,00
Kemauan Melakukan
Resertifikasi
1. Ya
2. Belum Tentu
3. Tidak Tahu
4. Tidak
Jumlah
27
02
01
00
30
90,00
06,67
03,33
00,00
100,00
27
00
01
02
30
90,00
00,00
03,33
06,67
100,00
25
02
01
02
30
83,33
06,67
03,33
06,67
100,00
79
4
3
4
90
87,78
4,44
3,33
4,44
100,00
Walaupun mayoritas petani hutan tidak mau membayar sertifikasi dengan
biaya sendiri namun ada juga petani hutan yang mau melakukan sertifikasi dengan
biaya sendiri. Tiga dari 90 responden menyatakan bersedia melakukan sertifikasi
dengan biaya sendiri. Ketiga responden ini terdiri dari dua orang berpendidikan SD
dan satu orang tidak lulus SD. Ketiga responden ini menyatakan alasan kemauan
membayar sertifikasi jika hasil sertifikasi bagus, jika petani lain juga diharuskan
untuk membayar dan ada pula mau membayar tetapi masih mengharapkan jika ada
bantuan.
Disamping itu, selain faktor-faktor dominan yang dipilih oleh petani,
diketahui bahwa tidak ada petani hutan yang memilih faktor tuntutan pasar/
konsumen sebagai alasan keikutsertaan sertifikasi PHBML. Hal ini dikarenakan
perdagangan kayu sertifikasi yang dilakukan oleh petani di daerah penelitian hanya
berkisar di tingkat domestik (skala kecil) dimana petani hanya menjual kepada bakul.
66
Sementara secsra nyata sertifikasi lebih dibutuhkan untuk individu atau unit
manajemen yang melakukan perdagangan internasional.
6.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Petani Hutan dengan
Penerapan Sertifikasi PHBML
Dampak penerapan ekolabel dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan
dibahas oleh Daniyati (2009) dan Simula et al (2005) yang secara umum
memaparkan hasil penelitian mengenai dampak-dampak yang terjadi dengan adanya
penerapan sertifikasi ditinjau dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Berdasarkan
dari studi pustaka yang dilakukan maka dibuat beberapa indikator yang diperdalam
dengan wawancara kepada key person dan pemberian kuesioner kepada 90 orang
petani hutan rakyat sertifikasi.
6.3.1 Dampak Sosial pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML
Ada lima kriteria yang digunakan untuk melihat adanya dampak sosial dari
penerapan sertifikasi, diantaranya adalah (1) klarifikasi hak milik lahan dan solusi
konflik, (2) partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat dari pengelolaan
hutan, (3) penguatan kelembagaan, (4) peningkatan kapasitas petani hutan rakyat, dan
(5) peningkatan peran serta dalam pengelolaan hutan lestari akibat dari adanya
peningkatan pengetahuan. Hasil dari penelitian terhadap empat kriteria terhadap
petani di tiga unit manajemen ditunjukkan dalam Lampiran 2 sedangkan hasil
penelitian mengenai kriteria dampak sosial berupa penguatan kelembagaan dilakukan
dengan depth interview kepada key person unit manajemen dan hasilnya ditunjukkan
dalam Lampiran 3.
67
Indikator dampak sosial pertama adalah aspek klarifikasi hak milik lahan
dan solusi konflik. Berdasarkan hasil penelitian semua anggota unit manajemen
hutan rakyat tersertifikasi sudah mempunyai kejelasan status hak milik lahan mereka
dengan memegang surat-surat resmi untuk melegalkan kepemilikan lahan mereka.
Seluruh responden di tiga unit manajemen menyatakan bahwa hak milik lahan
mereka sudah jelas sebelum sertifikasi dan sudah memiliki surat resmi hak milik
lahan sebelum sertifikasi. Hal ini terjadi karena peran serta pemerintah mendorong
masyarakat untuk mengesahkan kepemilikan lahannya melalui program sertifikasi
tanah masal. Kejelasan status hak milik lahan ini selain membantu kemudahan proses
sertifikasi juga membantu meminimalisir konflik. Tetapi, secara legitimate, dua orang
responden di PPHR Catur Giri Manunggal malah mengalami konflik berebut batas
lahan dengan tetangga dan sampai lima tahun sertifikasi PHBML di PPHR Catur Giri
Manunggal berjalan, kedua responden ini tidak menemukan solusi dari konflik lahan
yang mereka hadapi. Padahal unit manajemen PPHR Catur Giri Manunggal memiliki
peta penyelesaian sengketa dan konflik berebut batas ini seharusnya ditangani oleh
KPHR selaku unit manajemen level dusun yang paling dekat dengan anggota. Tetapi
sampai sekarang tidak ada soluso konflik yang dapat dicapai karena unit manajemen
pusat (level kecamatan) yakni PPHR juga vakum dan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.
Indikator dampak sosial kedua adalah aspek partisipasi dan kesadaran
komunitas. Aspek partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat pengelolaan
hutan dilihat dari seberapa sering petani menghadiri pertemuan rutin unit manajemen
yang terkadang membahas masalah pengelolaan hutan dengan mendatangkan
68
penyuluh PKL (Petugas Kehutanan Lapang). Pada ketiga unit manajemen, diketahui
bahwa 96,67% petani FKPS Selopuro, 93,33% petani FKPS Sumberejo, dan 56,67%
petani PPHR Catur Giri Manunggal sering menghadiri pertemuan rutin kelompok
tani. Diantara ketiga unit manajemen, frekuensi partisipasi petani dalam menghadiri
pertemuan rutin yang paling rendah adalah di PPHR Catur Giri Manunggal. Hal ini
terjadi karena tidak berjalannya unit manajemen bahkan saat dikonfirmasi kepada key
person maupun responden, pertemuan rutin kelompok tani ini sudah tidak ada lagi.
Satu-satunya yang masih berjalan adalah program pembelian pupuk dengan harga
murah lewat kelompok tani. Tetapi program tersebut juga tidak ditangani langsung
oleh PPHR, melainkan dilimpahkan sesuai dengan kebijakan masing-masing desa dan
dusun.
Indikator dampak sosial ketiga adalah aspek peningkatan kapasitas petani
hutan rakyat. Aspek peningkatan kapasitas petani hutan rakyat diteliti melalui
semakin mudah atau tidaknya kemudahan mengakses informasi harga dan bertambah
atau tidaknya pengetahuan mengenai hutan rakyat setelah sertifikasi. Apabila
peningkatan akses informasi mengenai harga semakin tinggi maka hal ini
mengindikasikan semakin bertambahnya kapasitas petani dalam proses pemasaran
karena sudah mengetahui harga-harga kayu di pasaran. Pada FKPS Selopuro
100,00% responden petani hutan menyatakan setelah sertifikasi semakin mudah
mendapatkan informasi mengenai harga dan pasar kayu, sedangkan di FKPS
Sumberejo 86,67% responden menyatakan semakin mudah mengakses informasi, dan
di PPHR Catur Giri Manunggal 66,67% responden menyatakan semakin mudah
mengakses informasi. Tingginya persentase peningkatan akses informasi ini
69
diakibatkan oleh semakin canggihnya teknologi dan peran bakul sebagai pembawa
informasi. Kecanggihan teknologi memperluas akses informasi yang tadinya hanya
lewat mulut ke mulut sekarang mulai disebarkan melalui Short Message Services
(SMS) ataupun telepon. Peningkatan akses informasi ini juga disebabkan oleh peran
serta bakul yang aktif menginformasikan mengenai semakin naiknya harga kayu
untuk mempersuasi mereka agar mau menjual kayu. Tetapi sayangnya peningkatan
kapasitas petani dalam pemasaran melalui peningkatan akses informasi tidak disertai
dengan simetrisnya informasi harga yang beredar di kalangan petani dan bakul.
Ketimpangan informasi ini menurut Djogo et al (2003) menyebabkan ketimpangan
pembangunan dan kesejahteraan; ketidakmerataan penguasaan atas bisnis dan
perdagangan; dan eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain.
Selain aspek peningkatan kapasitas informasi, kapaistas pengetahuan petani
juga mengalami peningkatan. Pada aspek ini, 100% responden petani FKPS Selopuro
dan FKPS Sumberejo serta 63,33% responden petani PPHR Catur Giri Manunggal
menyatakan ada peningkatan pengetahuan mengenai hutan rakyat. Pengetahuan hutan
rakyat yang meningkat ini juga disebabkan oleh semakin banyaknya penyuluhanpenyuluhan setelah sertifikasi dan hal ini juga dikonfirmasi kebenarannya oleh salah
satu responden yang juga merupakan ketua KPS dan perangkat desa.
Indikator keempat dampak sosial adalah aspek peningkatan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari. Pada aspek ini dilakukan penelitian
dengan melihat bagaimana tanggapan masyarakat mengenai perlu atau tidaknya hutan
dijaga agar tetap lestari dan darimanakah masyarakat memperoleh pengetahuan
terkait dengan manfaat hutan apabila dijaga kelestariannya. Dengan persentase yang
70
tinggi, responden di ketiga unit manajemen menyatakan bahwa hutan perlu dan
sangat perlu dijaga agar tetap lestari dan perolehan pengetahuan mengenai manfaat
hutan agar perlu dijaga agar tetap lestari diperoleh dari penyuluhan dan pertemuan
rutin dengan persentase sebesar 96,67% untuk FKPS Selopuro dan Sumberejo serta
46,67% untuk PPHR Catur Giri Manunggal. Persentase terendah ditemukan di PPHR
Catur Giri Manunggal karena pertemuan rutin sudah tidak pernah diadakan dan
banyak petani yang merasa kelompok tani tidak membantu peningkatan pengetahuan
mereka.
Indikator terakhir untuk melihat dampak sosial adalah ada atau tidaknya
penguatan kelembagaan. Untuk kriteria terakhir ini, penelitian dilakukan melalui
depth interview kepada key person dan hasilnya direpresentasikan pada Lampiran 3.
Berdasarkan hasil dari penelitian diketahui bahwa ketiga unit manajemen hutan yang
ada sangat potensial untuk didorong dan dibimbing untuk bekerjasama dalam bidang
ekonomi secara berkelompok karena terdiri dari anggota-anggota yang saling
mengenal dan memiliki visi dan misi yang sama. Tetapi selama ini pelatihan untuk
menimbulkan kemandirian belum efektif dan belum menjangkau semua anggota. Hal
ini dikarenakan saat ada pelatihan hanya beberapa anggota saja yang mengikuti dan
dilakukan secara bergiliran/ bergantian. Oleh karena itu perlu adanya pendampingan
yang lebih intensif dan merata agar unit manajemen yang ada lebih mandiri dan
anggota dapat bekerja secara berkelompok. Disamping itu, penumbuhan gabungan
kelompok masyarakat yang ada selama ini hanya dalam bentuk kelompok tani dan
belum ada usaha untuk membentuk gabungan kelompok masyarakat yang aktif dalam
industri hutan rakyat. Rencana pengembangan skala usaha sudah dilakukan beberapa
71
unit manajemen, misalnya FKPS Sumberejo yang mengkursuskan salah satu
anggotanya dan PPHR Catur Giri Manunggal yang memasarkan kayu sertifikasi dan
berusaha untuk meningkatkan posisi tawar melalui kerjasama dengan PT. Jaring Akar
Ranting. Usaha untuk mengembangkan jalinan kemitraan baik kemitraan bisnis,
kemitraan bantuan, maupun kemitraan pelatihan sudah dilakukan tetapi belum ada
perkembangan berarti. Sulitnya mencapai kesepakatan antara perusahaan dengan
pihak petani terkait harga, kuota kayu yang harus dipasok, dan kualitas menjadi
penyebab sulit berkembangnya kemitraan bisnis.
Pada awal pendampingan, kelembagaan yang ada difasilitasi pelatihan khusus
dan pengembangan usaha untuk meningkatkan nilai jual kayu dengan mengubah kayu
yang tadinya hanya sebagai raw material sudah mulai diproses menjadi handicraft.
Ketiga unit manajemen ini bahkan memiliki satu bengkel handicraft lengkap dengan
mesin-mesinnya namun hanya beberapa orang saja dari petani kompeten dan
mengikuti pelatihan khusus. Namun pelatihan dan keberadaan bengkel handicraft
yang terletak di Desa Selopuro belum mampu membuat ketiga unit manajemen hutan
rakyat untuk mempunyai unit usaha yang independen. Hal ini terbukti dengan fakta
bahwa bengkel handicraft yang ada jarang terpakai karena hanya berfungsi saat ada
pesanan dari mitra bisnis untuk membuat handicraft misalnya pot kayu, frame, dan
kursi. Handicraft yang telah dibuat oleh unit manajemen sertifikasi ditunjukkan pada
Gambar 8.
72
Gambar 8. Hasil Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Dibuat oleh Petani-Petani
Unit Manajemen Hutan Rakyat
Selain itu, unit manajemen yang ada tidak mengalami perbaikan sistem
administrasi. Administrasi unit manajemen yang lengkap hanya terdapat awal proses
pendampingan sertifikasi dilakukan perbaikan sistem administrasi berupa pencatatan
potensi tegakan, kepemilikan lahan dan status lahan, serta data keanggotaan. Namun
sistem administrasi yang baik berupa pencatatan potensi tegakan tidak dilanjutkan
lagi oleh petani hutan rakyat sehingga administrasi dan data yang lengkap hanya
tersedia di awal pengajuan sertifikasi saja. Padahal pencatatan potensi tegakan secara
rutin dapat membantu pengontrolan penebangan legal yang berlebihan.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan belum ada penguatan kelembagaan
setelah adanya sertifikasi berdasarkan dari hasil penelitian mengenai aspek penguatan
kelembagaan dan pengembangan kelembagaan ekonomi. Tidak berfungsinya unit
manajemen secara optimal, tidak adanya pelatihan yang intensif dan merata, tidak
berjalannya pasar sertifikasi, dan kurangnya modal merupakan alasan mengapa unit
manajemen yang ada sulit berkembang. Namun adanya sertifikasi berhasil
membentuk kelembagaan yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut,
73
memberikan peningkatan kapasitas pengolahan hasil hutan dari raw material menjadi
handicraft melalui pelatihan dan fasilitas pengembangan aktivitas usaha yakni mesin
handicraft dan pengembangan kemitraan antara petani dengan institusi lain baik
dalam segi kemitraan bisnis, bantuan, maupun pelatihan.
6.3.2 Dampak Ekonomi pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi
PHBML
Dampak ekonomi akibat adanya sertifikasi dikelompokkan dalam beberapa
indikator yang diperoleh dari penelitian terdahulu. Untuk memberi gambaran
bagaimana dampak ekonomi berpengaruh pada pendapatan petani hutan maka
dilakukan analisis biaya dan manfaat dengan menggunakan tiga skenario.
6.3.2.1 Dampak Ekonomi Penerapan Sertifikasi PHBMLpada Petani Hutan
Indikator mengenai dampak ekonomi yang dijadikan panduan mengacu pada
Simula et al (2005) yang membahas mengenai financial cost-benefit. Hasil dari
penelitian mengenai dampak ekonomi ditunjukkan pada Lampiran 4. Dampak
ekonomi yang diteliti terkait dengan persepsi petani hutan mengenai dampak yang
dirasakan. Adapun indikator yang diteliti meliputi (1) ada atau tidaknya premium
price, (2) penambahan volume penjualan, (3) penetrasi ke pasar baru, (4) eksistensi di
pasar lama, (5) posisi tawar petani hutan rakyat, (6) peningkatan pendapatan petani
hutan rakyat, (7) semakin pendek atau tidaknya rantai distribusi dan dampak-dampak
lain yang ditemukan berdasarkan penelitian di lapang terkait dengan adanya bantuan
dari kunjungan ke wilayah sertifikasi.
74
Kriteria pertama yang diteliti terkait dengan dampak ekonomi adalah ada
atau tidaknya premium price. Harga kayu di ketiga unit manajemen saat ini sedang
mengalami kenaikan. Kenaikan harga yang terjadi ini menurut responden petani
terjadi karena harga kayu di pasar kayu konvensional sedang naik. Berdasarkan hasil
penelitian terhadap 90 responden di unit manajemen hutan rakyat, 80,00% petani
FKPS Selopuro, 93,33% petani FKPS Sumberejo, dan 70,00% petani PPHR Catur
Giri Manunggal menyatakan bahwa harga kayu memang sedang mengalami kenaikan
sesuai dengan kenaikan harga kayu di pasar konvensional. Petani hutan rakyat di
ketiga unit manajemen merasa kenaikan harga ini berpengaruh terhadap pendapatan
mereka. Tetapi, kenaikan harga yang berpengaruh pada pendapatan petani ini
bukanlah akibat dari sertifikasi. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pembeli yang
menghargai kayu di atas harga pasar (premium price).
Pada FKPS Selopuro 80,00% responden menyatakan pembeli tidak
menghargai kayu sertifikasi dengan premium price, di FKPS Sumberejo sebesar
96,67% responden menyatakan pembeli tidak menghargai kayu sertifikasi dengan
premium price, dan di PPHR Catur Giri Manunggal responden yang menyatakan
pembeli yang tidak menghargai kayu dengan premium price sebesar 86,67%.
Fenomena ini menjadi justifikasi bahwa kenaikan harga yang sedang terjadi saat ini
adalah karena harga kayu di pasar yang semakin naik. Menurut salah satu pedagang
di Desa Selopuro, naiknya harga kayu ini karena permintaan terhadap kayu semakin
banyak namun supply-nya tidak mencukupi. Premium price tidak bisa dicapai karena
pasar sertifikasi dan TPKS tidak berjalan dengan optimal. Padahal apabila pasar
sertifikasi ini berjalan maka petani akan memperoleh keuntungan yang besar karena
75
adanya premium price. Persentase premium price di tiga unit manajemen ini
ditentukan oleh pihak TPKS berdasarkan musyawarah yang didampingi oleh LSM
Persepsi. Tetapi sampai saat ini TPKS hanya bisa memfasilitasi perdagangan kayu
sertifikasi saat ada pembeli. Padahal pembeli kayu sertifikasi belum tentu ada setiap
waktu dan petani hutan masih terbiasa menjual kayunya saat butuh, sehingga saat
petani hutan terdesak kebutuhan dan pembeli kayu sertifikasi tidak ada maka mereka
menjual kayu melalui perdagangan konvensional yang sudah dilakukan selama
bertahun-tahun yakni melalui pedagang kayu (bakul) dimana dalam perdagangan
dengan bakul ini terdapat informasi yang asimetris baik mengenai harga maupun
kontak pedagang. Sehingga pada akhirnya harga kayu petani hutan sertifikasi belum
mengalami perubahan.
Kriteria kedua yang diteliti adalah adanya penetrasi ke pasar baru. Aspek
penetrasi ke pasar baru ini dilihat dari ada atau tidaknya pertambahan pembeli setelah
sertifikasi. Pada dua unit manajemen yakni FKPS Selopuro dan PPHR Catur Giri
Manunggal tidak ada pertambahan pembeli yang signifikan hal ini ditunjukkan
dengan persentase sebesar 46,67% dan 66,67%. Sedangkan di FKPS Sumberejo,
83,33% responden menyatakan ada pertambahan pembeli. Pada FKPS Selopuro
delapan dari sembilan petani yang mengalami pertambahan pembeli merasa
pertambahan pembeli ini signifikan, sedangkan di FKPS Sumberejo 20 dari 25 petani
yang mengalami pertambahan pembeli merasa pertambahan pembeli ini signifikan
dan di PPHR Catur Giri Manunggal lima dari tujuh petani yang mengalami
pertambahan pembeli merasa pertambahan ini signifikan. Pertambahan pembeli
memang ada di ketiga unit manajemen meskipun dengan persentase yang berbeda76
beda. Tetapi pertambahan pembeli ini sesungguhnya terjadi karena semakin
banyaknya bakul atau pedagang kayu. Banyaknya bakul atau pedagang kayu ini
dikarenakan semakin potensialnya pasar kayu sehingga masyarakat Wonogiri yang
memiliki modal tertarik untuk terjun dalam bisnis perdagangan kayu.
Kriteria ketiga dari dampak ekonomi yang dilihat adalah adanya eksistensi di
pasar lama. Berdasarkan hasil penelitian, dari 90 responden, 86,67% petani hutan
FKPS Selopuro, 93,33% petani hutan FKPS Sumberejo dan 80,00% petani hutan
PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan pembeli yang dulu membeli kayu kepada
mereka sampai sekarang masih menjadi pembeli tetap. Data yang ditemui di lapang
ini menjadi justifikasi bahwa eksistensi perdagangan kayu antara petani hutan dengan
pembeli masih ada dan eksistensi petani hutan di pasar kayu sebelum sampai sesudah
sertifikasi masih bagus. Eksistensi petani di pasar lama ini tidak diakibatkan oleh
sertifikasi namun diakibatkan oleh perdagangan kayu yang potensial sehingga
pedagang kayu masih mempertahankan petani hutan yang menjual kayu kepada
pedagang. Hal ini dibuktikan dengan respon petani hutan yang menyatakan bahwa
kalau ditawari untuk membeli kayu, pedagang kayu akan selalu bersedia untuk
membeli kayu mereka. Tetapi kesediaan pedagang untuk membeli ini tidak diimbangi
dengan kesediaan pedagang untuk menghargai kayu dengan harga di atas harga pasar
(premium price). Padahal kayu yang ada di tiga unit manajemen merupakan kayu
tersertifikasi karena masuk dalam wilayah area manajemen tersertifikasi dan
selayaknya mendapat harga yang berbeda dibandingkan dengan kayu biasa. Tetapi
sampai saat ini segmentasi pasar antara kayu biasa dan kayu sertifikasi sulit untuk
terbentuk.
77
Kriteria yang diteliti untuk melihat adanya dampak ekonomi adalah dari
aspek posisi tawar petani hutan rakyat. Aspek posisi tawar hutan rakyat ini terkait
dengan asimetri informasi yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 90
responden diketahui bahwa 80,00% responden FKPS Selopuro, 96,67% responden
FKPS Sumberejo, dan 76,67% responden PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan
informasi mengenai kenaikan atau penurunan harga kayu selama ini hanya diperoleh
dari bakul atau pedagang kayu. Bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan petani,
petani hutan ini menyadari bahwa informasi yang diberikan tidak sepenuhnya akurat
karena ada permainan pasar dari bakul. Penentu kenaikan harga kayu di tingkat petani
selama ini juga ditentukan oleh informasi dari bakul. Menurut 83,33% petani FKPS
Selopuro, 100,00% petani FKPS Sumberejo, dan 63,33% petani PPHR Catur Giri
Manunggal yang menginformasikan dan menentukan harga suatu jenis kayu naik atau
turun adalah bakul. Hal ini mendukung fakta bahwa bakul adalah satu-satunya
pembawa informasi mengenai harga-harga kayu di pasar kayu. Harga jual kayu yang
berlaku di masyarakat adalah harga yang disepakati oleh petani dan bakul dengan
harga kayu di pasar sebagai patokan. Proses pemasaran konvensional yang masih
berlangsung ini didominasi oleh bakul. Hal ini terjadi karena kurangnya jaringan
kerjasama antara petani dan pengepul langsung serta kurangnya modal petani untuk
menebang kayu sendiri dan mendistribusikan langsung ke pengepul. Akibatnya posisi
tawar petani hutan rakyat masih kurang kuat. Terlebih lagi kelompok tani dan TPKS
yang sudah terbentuk tidak dapat memperkuat posisi tawar petani karena kurangnya
modal dan tidak adanya pasar khusus sertifikasi.
78
Kriteria selanjutnya yang dilihat dari dampak ekonomi adalah aspek
peningkatan pendapatan. Berdasarkan kuesioner terhadap responden diketahui
bahwa pendapatan yang diperoleh penjualan kayu pada petani hutan di ketiga unit
manajemen naik dengan persentase sebesar 80,00% untuk petani FKPS Selopuro,
93,33% untuk petani FKPS Sumberejo, dan 73,33% untuk petani PPHR Catur Giri
Manunggal. Pendapatan yang naik ini dikarenakan oleh naiknya harga kayu, bukan
merupakan dampak dari sertifikasi karena tidak ada pembeli yang menghargai dengan
premium price.
Kriteria terkait dengan dampak ekonomi yang juga diteliti adalah semakin
pendek atau tidaknya rantai distribusi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa tidak ada perubahan signifikan pada rantai distribusi penjualan kayu sebelum
dan sesudah sertifikasi. Pada FKPS Selopuro dan Sumberejo tidak ada perubahan
rantai distribusi. Sedangkan di PPHR Catur Giri Manunggal perubahan yang terjadi
adalah 3,33% atau hanya satu responden saja. Perubahan rantai distribusi yang terjadi
di PPHR Catur Giri Manunggal terjadi pada rantai distribusi awal yang terdiri dari
penjual-pengepul-industri dan kemudian berubah menjadi penjual-TPKS-pembeli
sertifikasi. Namun persentase tertinggi pada rantai distribusi ini masih dimiliki oleh
rantai distribusi pembeli-pedagang (bakul)-pengepul-industri dan pada masingmasing unit manajemen ditunjukkan dengan persentase 83,33% untuk FKPS
Selopuro, 100% untuk FKPS Sumberejo, dan 83,33% untuk PPHR Catur Giri
Manunggal. Rantai distribusi yang dominan ini merupakan rantai distribusi yang
panjang dan seharusnya bisa diperpendek melalui mekanisme sertifikasi yang sudah
79
dibangun
yakni
pemutusan
rantai
distribusi
melalui
TPKS.
Mekanisme
memperpendek rantai distribusi melalui TPKS ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Perbandingan Mekanisme Perdagangan Konvensional dan
Sertifikasi
Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa dalam mekanisme perdagangan
konvensional petani tidak memiliki akses untuk menjual kayu langsung kepada
industri ataupun konsumen sedangkan dalam mekanisme perdagangan sertifikasi,
petani secara tidak langsung memiliki akses untuk menjual kayu langsung kepada
industri ataupun konsumen karena TPKS adalah 'perpanjangan tangan' dari petani
sendiri. Mekanisme perdagangan melalui TPKS ini merupakan mekanisme yang ideal
karena bisa meningkatkan posisi tawar dan memberikan keuntungan lebih banyak
kepada petani. Tetapi karena TPKS tidak berfungsi karena kekurangan modal, tidak
adanya pembeli sertifikasi, ketidakmampuan memasok kuota kubikasi yang
ditetapkan oleh pembeli dan tidak berjalannya mekanisme pasar sertifikasi menjadi
kendala dalam memperpendek rantai distribusi. Akibatnya petani tetap berada di
80
ujung rantai perdagangan bahkan biaya seperti biaya transportasi pengangkutan kayu
menjadi tanggungan petani. Apabila TPKS bisa berfungsi rantai distribusi bisa
diperpendek, harga kayu bisa ditetapkan sesuai dengan standar premium price, dan
bargaining position petani bisa lebih kuat karena penjualan dilakukan melewati
sebuah lembaga bukan secara individu.
Selain dampak ekonomi yang diidentifikasi berdasarkan indikator dari studi
literatur, ditemukan dampak ekonomi lain dari penerapan sertifikasi PHML. Setelah
sertifikasi diberikan kepada ketiga unit manajemen, semakin banyak kalangan
akademisi yang melakukan penelitian dan kalangan pemerintah maupun nonpemerintah yang mengadakan kunjungan studi banding. Setiap kali ada kunjungan,
tamu yang datang biasanya memberikan bantuan berupa dana untuk mengisi kas
kelompok. Bantuan yang datang dari individu maupun instansi ini disalurkan melalui
kelompok dan dikategorikan sebagai dampak ekonomi tidak langsung yang bersifat
positif bagi unit manajemen hutan rakyat. Sedangkan itu dampak ekonomi di luar
indikator yang ditemukan di lapang adalah terciptanya bengkel handicraft yang
menjadi sarana untuk unit manajemen dalam mengembangkan usaha pengolahan raw
material. Bengkel handicraft yang ada awalnya digunakan sebagai sarana pengolahan
kayu sertifikasi sesuai dengan pesanan pembeli yakni perusahaan furniture. Namun
hal ini tidak berlangsung lama, dikarenakan sulitnya dicapai kesepakatan dengan
pembeli dan minimnya tenaga terampil yang ada.
Dari hasil penelitian yang didapat disimpulkan bahwa tidak ada perubahan
signifikan pada penjualan kayu yang terjadi di masyarakat setelah proses sertifikasi.
Masyarakat masih melalukan penjualan kayu secara konvensional yakni melalui
81
bakul meskipun hal ini tidak memperbaiki kondisi posisi tawar petani. Dampak
sertifikasi pada sektor ekonomi secara langsung tidak signifikan. Hal ini selain
disebabkan oleh tidak berfungsinya mekanisme pasar sertifikasi, tidak berjalannya
TPKS yang seharusnya menjembatani proses penjualan kayu, tidak adanya pembeli
kayu sertifikasi akhir-akhir ini, dan tidak adanya pasar khusus bagi kayu sertifikasi.
6.3.2.2 Pengaruh Biaya Sertifikasi terhadap Manfaat Pengusahaan Hutan bagi
Petani Hutan Rakyat
Dampak ekonomi sertifikasi terhadap petani hutan rakyat diestimasi dengan
pendekatan analisis biaya dan manfaat pada salah satu unit manajemen hutan rakyat,
yakni FKPS Selopuro. Analisis dilakukan dengan membandingkan kondisi tanpa
biaya sertifikasi PHBML dan dengan pemberlakuan biaya sertifikasi PHBML dengan
tingkat suku bunga 5,75%. Analisis ini dilakukan agar dapat diketahui seberapa besar
biaya sertifikasi berdampak terhadap manfaat dan biaya petani hutan rakyat dalam
pengusahaan hutan rakyat. Cashflow pengusahaan hutan rakyat pada dua skenario
secara detail ditunjukkan pada Lampiran 5 dan 6, sedangkan ringkasan analisis
pengusahaan hutan rakyat dengan dan tanpa sertifikasi ditunjukkan dalam Tabel 13.
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa pembebanan biaya sertifikasi akan
mengurangi manfaat akhir pengusahaan hutan rakyat sebesar 2% dari Rp
15.235.134.047 menjadi Rp 14.961.368.163. Pada unit manajemen hutan rakyat
FKPS Selopuro yang beranggotakan 682 petani hutan rakyat, pembebanan biaya
sertifikasi akan mengakibatkan hilangnya manfaat pengusahaan hutan sebesar Rp
401.431 atau turun 1,79% per petani dalam periode pengusahaan 20 tahun. Hal ini
mengakibatkan manfaat yang diperoleh petani dari pengusahaan hutan rakyat yang
82
sudah kecil akan semakin kecil dengan adanya pembebanan biaya sertifikasi.
Walaupun penurunan manfaat tersebut tidak terlalu besar, namun sertifikasi di hutan
rakyat akan tetap membebani petani dalam hal biaya pengelolaan hutan rakyat
tersebut.
Tabel 13. Analisis Biaya dan Manfaat Pembebanan Sertifikasi dalam 20 Tahun
Skenario 1
Manfaat
Manfaat hasil kayu
Manfaat hasil pertanian/ tumpangsari
Total manfaat
Biaya Pengusahaan Hutan
Biaya operasional
Biaya tahunan (pajak)
Biaya transaksi
Total biaya
Biaya Sertifikasi
Biaya persiapan pengajuan sertifikasi
Biaya sertifikasi
Biaya surveillance
Total Biaya
NPV
NPV Per Petani dalam 20 Tahun
NPV Per Petani Per Tahun
Skenario 2
46.244.404.000
1.685.885.760
48.690.791.200
46.244.404.000
1.685.885.760
48.690.791.200
1.655.979.713
131.812.001
34.100.000
1.795.529.314
1.655.979.713
131.812.001
34.100.000
1.795.529.314
0
0
0
0
300.000.000
120.000.000
60.000.000
480.000.000
15.235.134.047
22.338.906
893.556
14.961.368.163
21.937.475
877.499
Selama periode pengusahaan hutan 20 tahun diperlukan biaya sertifikasi
sebesar Rp 480.000.000 untuk dua kali sertifikasi yang akan dilaksanakan pada tahun
ke-3 dan ke-19. Biaya terdiri dari biaya persiapan sertifikasi, biaya penilaian
sertifikasi, dan biaya surveillance. Biaya persiapan sertifikasi dikenakan pada tahun
ke-1 dan 17, biaya penilaian sertifikasi dikenakan pada tahun ke-3 dan 19, dan biaya
surveillance dikenakan pada tahun ke-8, 12, dan 18. Dalam hal ini petani dalam unit
manajemen harus menyediakan dana Rp 240.000.000 untuk satu kali sertifikasi pada
83
tahun-tahun tersebut. Hal ini sangat membebani petani karena pada tahun-tahun
tersebut mereka belum panen. Sehingga perlu dipertanyakan darimana petani
memperoleh dana sebesar itu saat petani baru menanam kayu dan belum memperoleh
hasilnya.
Apabila sertifikasi dipandang perlu dan penting diterapkan di hutan rakyat,
maka sumber pendanaan biaya sertifikasi perlu diperhatikan oleh semua pihak yang
terlibat agar tidk membebani petani hutan rakyat. Solusi pendanaan sertifikasi dapat
berdasarkan atas tiga alternatif yakni iuran, subsidi, dan membangun jalinan
kemitraan. Pada skema pertama yakni iuran, anggota unit manajemen hutan rakyat
dapat mengangsur biaya sertifikasi melalui unit manajemen hutan rakyat. Namun
untuk menjalankan skema iuran ini diperlukan kesadaran petani akan pentingnya
sertifikasi dan dibutuhkan kelembagaan unit manajemen hutan rakyat yang kredibel.
Pada skema kedua yakni subsidi, pemerintah dapat memberikan subsidi
melalui sistem reward and punishment dimana unit manajemen yang memiliki
kinerja bagus akan diberi subsidi lebih banyak dan demikian pula sebaliknya. Skema
bantuan ketiga yang dapat diberlakukan adalah pembangunan jalinan kemitraan
antara unit manajemen hutan rakyat dengan industri yang mengekspor ke negara yang
mengharuskan sertifikasi. Pada skema kemitraan dengan industri kayu, industri kayu
yang menjalin kemitraan diberlakukan kewajiban untuk memberikan bantuan dana
sertifikasi bagi petani hutan dan menampung kayu sertifikasi petani hutan rakyat.
Selain ketiga skema yang ditawarkan, dapat juga diberlakukan kombinasi antara
ketiga skema tersebut, sehingga pemerintah tidak perlu memberikan subsidi 100%.
84
6.3.3
Dampak Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi
PHBML
Menurut Daniyati (2009) dan Simula et al (2005) adanya sertifikasi dapat
memberikan dampak lingkungan berupa peningkatan kapasitas petani hutan dalam
mempertahankan kondisi biofisik hutan rakyat, kondisi iklim mikro dan DAS yang
membaik, konservasi biodiversitas dan perbaikan fungsi ekologi hutan misalnya air.
Manfaat lingkungan ini diperoleh dari peningkatan performansi berdasarkan standar
sertifikasi yang lebih luas dan tinggi dibandingkan dengan regulasi yang ada dan
peningkatan respect terhadap peraturan dan regulasi dari pengelolaan hutan
(pemanenan, silvikultur, konstruksi jalan dan maintenance, dan lain-lain) (Simula et
al, 2005).
Berdasarkan studi pustaka terhadap literatur dari Daniyati (2009) dan Simual
et al (2005), dampak terhadap lingkungan dikelompokkan menjadi tiga kategori dan
dijadikan sebagai indikator untuk melihat dampak lingkungan yang dirasakan oleh
petani hutan rakyat di tiga unit manajemen. Disamping itu indikator yang ada
ditambah dengan beberapa indikator tambahan sebagai justifikasi bahwa dampak
lingkungan yang ditemukan di lapangan tidak disebabkan perubahan pengelolaan
hutan akibat sertifikasi. Hasil penelitian mengenai dampak lingkungan ditampilkan
pada Tabel 15 dan hasil penelitian untuk melihat perubahan pengelolaan hutan rakyat
ditampilkan pada Tabel 16.
Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa tanggapan masyarakat terhadap
kondisi aktual dari aspek lingkungan sangat positif. Ditinjau dari aspek biodiversitas
atau keaneka ragaman hayati, responden di ketiga wilayah unit manajemen hutan
85
rakyat menyatakan bahwa flora maupun fauna yang ada semakin banyak dan
beragam. Hal ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 96,67% untuk FKPS
Selopuro, 90,00% untuk FKPS Sumberejo, dan 80,00% untuk PPHR Catur Giri
Manunggal. Peningkatan biodiversitas yang signifikan ditunjukkan dengan adanya
peningkatan jumlah fauna. Sampai saat ini, menurut petani hutan, jumlah ayam alus,
tupai, kera, babi hutan, kijang, burung, dan ular semakin banyak.
Tabel 15. Dampak Lingkungan Akibat Pengembangan Hutan pada Tiga Unit
Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi
FKPS Selopuro
Indikator Dampak Lingkungan
Σ
Konservasi Biodiversitas
Keragaman spesies tanaman dan
hewan di sekitar hutan rakyat
1. Semakin banyak
2. Semakin banyak dan beragam
3.iSemakin sedikit dan tidak
iiiiberagam
4. Tidak berbeda
5. Tidak ada
Jumlah
%
0
29
0
FKPS
Sumberejo
Σ
%
PPHR Catur
Giri
Manunggal
Σ
%
Total
Σ
%
0,00
96,67
0,00
0 0,00
27 90,00
0 0,00
4 13,33
24 80,00
0 0,00
4 4,44
80 88,89
0 0,00
1
3,33
0
0,00
30 100,00
3 10,00
0 0,00
30 100,00
1 3,33
1 3,33
30 100,00
5 5,56
1 1,11
90 100,00
Fungsi Ekologis Hutan (Iklim
Mikro)
Perbedaan lingkungan sekitar
1. Semakin sejuk
2. Semakin panas
3. Tidak berbeda
Jumlah
30 100,00
0
0,00
0
0,00
30 100,00
29 96,67
0 0,00
1 3,33
30 100,00
21 70,00
2 6,67
7 23,33
30 100,00
80 88,89
2 2,22
8 8,89
90 100,00
Sumber Mata Air/ DAS
Perbedaan keadaan DAS
1. Ketersediaan air meningkat
2. Ketersediaan air menurun
3. Tidak berbeda
Jumlah
29 96,77
0
0,00
1
3,33
30 100,00
30 100,00
0 0,00
0 0,00
30 100,00
23
4
3
30
82 91,11
4 4,44
4 4,44
90 100,00
76,67
13,33
10,00
100,00
86
Aspek kedua yang diteliti adalah fungsi ekologi hutan terutama fungsi hutan
dalam memperbaiki iklim mikro juga semakin baik. Responden petani hutan di ketiga
unit manajemen menyatakan bahwa suasana di lingkungan sekitar mereka menjadi
semakin sejuk. Hal ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 100,00%, 96,67%, dan
70,00%.
Ditinjau dari aspek sumber mata air, 96,67% responden FKPS Selopuro,
100,00% responden FKPS Sumberejo, dan 76,67% responden merasakan
ketersediaan air semakin meningkat. Fenomena-fenomena yang ditemui di lapang ini
didukung dengan bukti rapatnya tegakan yang ada di sepanjang jalan di desa dan
ditemuinya beberapa sumber mata air di sekitar pemukiman warga yang muncul
sendiri. Kondisi rapatnya tegakan dan sumber mata air ini ditunjukkan pada Gambar
10.
(a)
(b)
Gambar 10. (a) Hutan Rakyat di FKPS Sumberejo, (b) Sumber Air di
Pemukiman Warga FKPS Sumberejo
Berdasarkan dokumen pengajuan sertifikasi dan wawancara dengan key
person, sebelum tahun 1970 kondisi lingkungan yang sejuk dengan air melimpah
87
sebagaimana digambarkan oleh responden tidak dapat ditemui di ketiga daerah unit
manajemen sertifikasi. Kondisi lingkungan yang gersang mendorong pengembangan
hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri yang dimulai pada tahun 1970-an. Awalnya
kegiatan ini diinisiasi oleh pemerintah melalui program penghijauan dan
menggerakkan warga untuk aktif memperbaiki kualitas lingkungan melelaui
penanaman pohon. Oleh karena itu, perbaikan kondisi hutan rakyat Wonogiri telah
dirasakan sebelum sertifikasi dilakukan. Petugas Kehutanan Lapang (PKL) Wonogiri
juga menyatakan bahwa perbaikan kondisi lingkungan disebabkan oleh pembangunan
hutan yang diinisiasi oleh pemerintah bukan oleh perbaikan pengelolaan hutan akibat
standar sertifikasi yang ada.Hal ini dibuktikan dalam Tabel 16.
Berdasarkan Tabel 16 mengenai perubahan pengelolaan hutan rakyat dapat
diketahui bahwa pola pengelolaan hutan rakyat tidak berubah secara signifikan
setelah sertifikasi. Pola pengelolaan hutan yang dilihat dalam penelitian ini dibagi
menjadi tiga kategori yakni jarak tanam, daur penebangan, dan penanaman kembali
setelah penebangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap indikator pertama, jarak
tanam atau pola penanaman sebelum dan sesudah sertifikasi tidak mengalami
perubahan sama sekali pada FKPS Selopuro dan Sumberejo. Responden di kedua unit
manajemen menyatakan bahwa pola penanaman sebelum dan sesudah sertifikasi
masih tetap sama, yakni tidak diberi jarak tanam. Perubahan jarak tanam hanya
terjadi pada PPHR Catur Giri Manunggal dengan persentase sangat kecil, yakni
10,00% atau tiga responden. Tingginya angka responden yang tidak menanam dengan
jarak tanam ini diakibatkan oleh kontur "batu-bertanah" yang terdapat di ketiga
daerah penelitian.
88
Daur penebangan yang diterapkan oleh masyarakat sebelum dan sesudah
sertifikasi tidak mengalami perubahan sama sekali di kedua unit manajemen FKPS
Selopuro dan Sumberejo. Responden di kedua unit manajemen masih menebang kayu
di waktu ada kebutuhan mendesak yang berarti bahwa mereka masih menganggap
kayu sebagai tabungan yang bisa diuangkan sewaktu-waktu. Sedangkan di PPHR
Catur Giri Manunggal perubahan daur penebangan hanya terjadi pada satu responden
dengan persentase sangat kecil yakni 3,33%. Daur penebangan yang berlaku saat ini,
yakni 20 tahun, perlu ditinjau ulang karena ada kemajuan teknologi yang
memungkinkan untuk pemanenan jati di bawah daur 20 tahun, misalnya Jati Unggul
Nusantara (JUN) yang bisa dipanen dalam 5 tahun. Disamping itu, peninjauan daur
tebangan kayu yang berlaku perlu dilakukan mengacu pada kondisi aktual dimana
petani sudah bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari pemanenan jati pada umur 15
tahun. Sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk meninjau kembali daur
tebangan yang berlaku.
Pola pengelolaan hutan lestari pada kategori penanaman kembali tegakan
setelah ditebang telah dilakukan oleh masyarakat selama bertahun-tahun ditunjukkan
oleh tingginya persentase penanaman kembali setelah penebangan di ketiga unit
manajemen. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perubahan dari
aspek ini. Baik sebelum maupun sesudah sertifikasi masyarakat masih menanam
kembali tegakan setelah ditebang. Tingginya persentase penanaman kembali setelah
penebangan pada ketiga unit manajemen ditunjukkan dengan persentase sebesar
72,22%. Tingginya persentase ini terjadi karena peremajaan tanaman setelah
penebangan merupakan norma yang berlaku di masyarakat akibat adanya anjuran dari
89
pemerintah dan diakomodasi dengan pengesahan melalui AD/ ART unit manajemen
dengan syarat apabila lahan masih memungkinkan untuk ditanam kembali.
Disamping itu penanaman kembali ini terus dilakukan karena petani hutan merasakan
manfaat yang besar dari pengembangan hutan rakyat terutama dari aspek lingkungan.
Tabel 16. Perubahan Pengelolaan Hutan Rakyat Sebelum dan Sesudah
Sertifikasi
FKPS Selopuro
Indikator Pengelolaan Hutan
Σ
Jarak Tanam
A. Sebelum Sertifikasi
1. Ditanam dengan jarak/ pola
tertentu
2. Tidak ditanam dengan jarak/
pola tertentu
Jumlah
B. Sesudah Sertifikasi
1. Ditanam dengan jarak/ pola
tertentu
2. Tidak ditanam dengan jarak/
pola tertentu
Jumlah
Daur Penebangan
A. Sebelum Sertifikasi
1. Dipanen dengan waktu
tertentu
2. Waktu butuh
3. Belum dipanen
Jumlah
B. Setelah Sertifikasi
1. Dipanen dengan waktu
tertentu
2. Waktu butuh
3. Belum dipanen
Jumlah
%
FKPS
Sumberejo
Σ
PPHR Catur
Giri Manunggal
Σ
%
Total
Σ
%
%
0
0,00
0
0,00
6
20,00
6
6,66
30
100,00
30
100,00
24
80,00
84
93,33
30
100,00
30
100,00
30
100,00
90
100,00
0
0,00
0
0,00
9
30,00
9
10,00
30
100,00
30
100,00
21
70,00
81
90,00
30
100,00
30
100,00
30
100,00
90
100,00
0
0,00
0
0,00
2
6,67
2
2,22
30
0
30
100,00
0,00
100,00
30
0
30
100,00
0,00
100,00
26
2
30
86,67
6,67
100,00
86
2
90
95,56
2,22
100,00
0
0,00
0
0,00
3
10,00
3
3,33
30
0
30
100,00
0,00
100,00
30
0
30
100,00
0,00
100,00
25
2
30
83,33
6,67
100,00
85
2
90
94,44
2,22
100,00
90
FKPS Selopuro
Indikator Pengelolaan Hutan
Σ
Penanaman Kembali setelah
Penebangan
A. Sebelum Sertifikasi
1. Ya
2. Tidak
3.Kadang ditanam, kadang
tidak
4. Belum dipanen
Jumlah
B. Setelah Sertifikasi
1. Ya
2. Tidak
3.Kadang ditanam, kadang
tidak
4. Belum dipanen
Jumlah
%
FKPS
Sumberejo
Σ
%
PPHR Catur
Giri Manunggal
Σ
%
Total
Σ
%
28
2
0
93,33
6,67
0,00
19
7
4
63,33
23,33
13,33
18
7
3
60,00
23,33
10,00
65
16
7
72,22
17,78
7,78
0
30
0,00
100,00
0
30
0,00
100,00
2
30
6,67
100,00
2
90
2,22
100,00
28
2
0
93,33
6,67
0,00
19
7
4
63,33
23,33
13,33
18
7
3
60,00
23,33
10,00
65
16
7
72,22
17,78
7,78
0
30
0,00
100,00
0
30
0,00
100,00
2
30
6,67
100,00
2
90
2,22
100,00
Berdasarkan beberapa kategori perubahan pengelolaan hutan yang telah
dijelaskan dapat diketahui bahwa tidak terjadi perubahan signifikan terhadap
pengelolaan hutan yang ada di ketiga unit manajemen. Pengelolaan hutan yang dari
dulu dijalankan oleh petani sampai sekarang masih diadopsi dan dijalankan.
Fenomena ini menjawab bahwa fenomena perubahan dampak ekologi yang terjadi
tidak disebabkan oleh sertifikasi karena pola pengelolaan hutan di ketiga unit
manajemen tidak berubah. Dampak ekologi yang ada di ketiga unit manajemen ini
disebabkan oleh pengembangan hutan rakyat yang selama ini sudah dilakukan
bertahun-tahun bukan merupakan akibat tidak langsung dari penerapan sertifikasi.
Hal ini juga disadari oleh ketua KPS dan perangkat desa yang menyatakan bahwa
perubahan hawa menjadi semakin sejuk dan perbaikan sumber mata air ini
disebabkan oleh pengembangan hutan rakyat bukan karena insentif yang dihasilkan
oleh program sertifikasi.
91
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
1.
Kelembagaan unit manajemen hutan rakyat sertifikasi di Kabupaten Wonogiri
merupakan kelembagaan yang potensial dalam memperkuat bargaining
position petani dalam hal perdagangan kayu rakyat terlebih lagi didukung
dengan keberadaan TPKS. Namun, setelah sertifikasi, kelembagaan yang ada
belum berjalan dengan optimal terutama di bidang pemasaran kayu sertifikasi
karena TPKS kekurangan modal pembelian kayu sertifikasi, ketidakmampuan
memenuhi pasokan permintaan industri, tidak adanya pembeli kayu sertifikasi
dengan harga premium, dan tidak berjalannya pasar sertifikasi. Biaya transaksi
pada tiap level kelembagaan pemerintahan dalam mekanisme perdagangan
kayu tetap ada.
2.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keikutsertaan unit manajemen dan
petani hutan didominasi oleh faktor kesadaran menjaga lingkungan, harapan
mendapatkan premium price, dan adanya bantuan dari institusi. Meskipun
petani di ketiga unit manajemen memiliki kesadaran menjaga lingkungan
tetapi mereka tidak bersedia melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri.
Dominasi faktor premium price berkorelasi dengan tujuan fundamental
sertifikasi yakni sebagai instrumen pasar untuk mengapresiasi usaha menjaga
kelestarian lingkungan melalui insentif premium price namun pada
kenyataannya premium price sulit untuk diperoleh.
3.
Adanya biaya persiapan, penilaian, dan surveillance yang harus dibayarkan
jika melakukan sertifikasi berpotensi mengurangi keuntungan petani dari
pengusahaan hutan rakyat sementara premium price tidak ada. Biaya
sertifikasi yang harus dibayaran sebesar Rp 240.000.000 setiap 15 tahun
sekali dimana pada tahun-tahun tersebut petani belum memperoleh hasil
karena panen kayu dilakukan pada akhir daur yaitu tahun ke-20. Disisi lain,
sertifikasi memberikan manfaat ekonomi yakni semakin banyaknya bantuan
misalnya berupa bantuan dana sejak adanya kunjungan-kunjungan dari
instansi pemerintah dan non-pemerintah ke ketiga unit manajemen.
4.
Ditinjau dari aspek dampak sosial, meskipun belum ada penguatan
kelembagaan tapi dengan adanya sertifikasi berhasil membentuk kelembagaan
yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut, memberikan peningkatan
kapasitas pengolahan hasil hutan, pengembangan kemitraan antara petani
dengan institusi lain, dan meningkatkan pengetahuan petani mengenai hutan
rakyat.
5.
Pengelolaan hutan setelah sertifikasi tidak mengalami perubahan. Dampak
perbaikan kondisi lingkungan yang dirasakan oleh petani merupakan dampak
akibat pengembangan hutan yang dilakukan melalui program-program
penghijauan sejak tahun 1965-an.
7.2
Saran
1.
Adanya TPKS perlu ditindaklanjuti dengan pengembangan kelembagaan ini
agar dapat berfungsi memperkuat bargaining position petani. Meskipun pasar
93
sertifikasi tidak berjalan, TPKS dapat berfungsi sebagai fasilitator akses
informasi petani terhadap harga pasar yang simetris dan fasilitator akses
petani kepada seluruh pedagang kayu sehingga petani dapat memilih
pedagang yang mampu memberikan harga yang sesuai untuk kayu mereka.
2.
Biaya persiapan sertifikasi, penilaian sertifikasi dan surveillance akan
membebani dan belum adanya manfaat signifikan yang diperoleh petani hutan
dari sertifikasi. Sebaiknya sertifikasi yang diberlakukan bersifat voluntary
certification karena didasarkan pada keinginan dan kebutuhan unit
manajemen maupun industri kehutanan dan dilakukan secara sukarela.
3.
Apabila mandatory certification dipandang perlu untuk diberlakukan, perlu
dipikirkan darimana petani akan membayar biaya sertifikasi. Beberapa
alternatif skema pendanaan yang dapat diterapkan diantaranya adalah
memberikan subsidi biaya sertifikasi, membangun kemitraan dengan
perusahaan sektor kehutanan yang berorientasi ekspor, dan swadaya
masyarakat dalam bentuk iuran yang dihimpun melalui pada unit manajemen
serta kombinasi antara ketiganya. Skema pendanaan bantuan lain yang juga
dapat diterapkan bisa mereferensi dari pemberlakuan regional group
certification di Finlandia maupun social fund certification di Brazil.
4.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas sertifikasi sebagai
instrumen pasar dan mengapa segmentasi pasar dan pasar khusus untuk kayu
sertifikasi sulit terbentuk, serta penelitian mengenai daur ekonomis yang
sesuai dengan kondisi saat ini dan paling menguntungkan bagi petani maupun
lingkungan.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Rachmatsjah. 1995. Penerapan Ekolabel Dipandang dari Sudut Pemanenan
Kayu. Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.
Alavi, Rokiah. 2007. An Overview of Key Markets, Tariff and Non-Tariff Measures
on Asian Exports of Select Environmental Goods, ICTSD Trade and
Environment Series Issue Paper No. 4. International Centre for Trade and
Sustainable Development (ICTSD). Swiss.
Anggraini, Eva. 2007. Biaya Transaksi Usaha Penangkapan Ikan di Kota Pekalongan.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 12. No 1: 35-42.
CIFOR. (no date). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Kolaborasi
antara Masyarakat Desa Hutan dengan Perum Perhutani dalam Pengelolaan
Sumberdaya Hutan di Jawa. http://cifor.org/lpf/docs/java/lpf_flyer_phbm.pdf.
Diakses: 1 Maret 2012.
Daniyati, Erlina. 2009. Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan
Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah dan
Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis.
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Darusman, Dudung dan Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Prosiding
Seminar
Hasil
Penelitian
Hasil
Hutan
2006.
http://dephut.go.id/files/ekonomi_HR.pdf. Diakses: 8 Desember 2012.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bondowoso. (no date). Budidaya Jati.
http://www.dishutbun.bondowosokab.go.id/artikel/budidaya/100-budidayajati.html. Diakses: 25 September 2012.
Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian. 2009.
Roadmap Industri Furnitur. http://agro.kemenperin.go.id/417-ROADMAPINDUSTRI-FURNITURE. Diakses: 8 Desember 2012.
Djogo, Tony, Sunaryo, Didik Suharjito, dan Martua Sirait. 2003. Bahan Ajar
Agroforestri 8, Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan
Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
Elliott, Christopher. 2000. Forest Certification: A Policy Perspective. Center for
International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009.
http://fwi.or.id/. Diakses: 1 Maret 2012.
Gadas, Slamer Riyadhi dan Sulistya Ekawati. (no date). Menuju Sertifikasi Hutan
Rakyat, Pengalaman dari: Wonogiri, Wonosobo, dan Gunung Kidul.
http://dephut.go.id/files/3.pdf. Diakses: 1 Februari 2012.
Hindra, Billy. 2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat. Prosiding Seminar
Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 "Kontribusi Hutan Rakyat dalam
Kesinambungan Industri Kehutanan". Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Bogor.
Hinrich, Alexander Dwi R. Muhtaman, dan Nawa Irianto. 2008. Sertifikasi Hutan
Rakyat di Indonesia. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammen Arbeit
(GTZ) GmbhH. Jakarta.
Hirakuri, Sofia R. 2003. Can Law Save The Forest? The Lessons from Finland and
Brazil. CIFOR. Jakarta.
Hussain, S. Salman. 2000. Green Consumerism and Ecolabelling: A Strategic
Behavioural Model. Journal of Agricultural Economics. Vol. 51. No. 1: 77-89.
Kementerian Kehutanan. 2011. Data Strategis Kehutanan, November 2011.
Kementerian Kehutanan. Jakarta.
___________________. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
http://www.dephut.go.id/files/P3_2011.pdf. Diakses: 1 Maret 2012.
Kusumaatmadja 1995 dalam Riyatno. 2004. Perdagangan Internasional dan
Lingkungan Hidup. Universitas Indonesia. Jakarta.
Lembaga Ekolabel Indonesia. (no date). Forest Management Unit and Forestry
Industries
Certified
by
LEI
Scheme
(February
2011).
http://www.lei.or.id/files/Certified%20UM_Feb11.pdf. Diakses: 1 Februari
2012.
______________________. (no date). Mengapa Memilih Skema Sertifikasi LEI?
Lembaga Ekolabel Indonesia. Bogor.
______________________.
(no
date).
Pedoman
Sertifikasi
PHBML.
http://www.lei.or.id/id/dokumen-sertifikasi-phbml. Diakses: 1 Februari 2012.
_______________________. (no date). Sekilas Sertifikasi LEI. Lembaga Ekolabel
Indonesia. Bogor.
96
______________________.
(no
date).
Sertifikasi
http://lei.or.id/id/sertifikasi-phbml. Diakses: 1 Februari 2012.
PHBML.
_______________________. (no date). Wonogiri Menuju Sertifikasi PHBML.
http://lei.or.id/id/news/386/wonogiri-menuju-sertifikasi-phbml. Diakses: 1
Februari 2012.
Litbang Kehutanan. 2009. Roadmap Industri Kehutanan 2010-2025.
http://apki.net/wp-content/uploads/2012/06/Roadmap-Kehutanan.pdf.
Diakses: 8 Desember 2012.
OEDC 1996 dalam Elliott, Christopher. 2000. Forest Certification: A Policy
Perspective. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Persepsi. 2004. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk
Unit Manajemen FKPS Desa Sumberejo, Kec. Batuwarno, Kab. Wonogiri,
Jawa Tengah, Buku I. Tidak dipublikasikan.
______. 2004. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk
Unit Manajemen FKPS Desa Sumberejo, Kec. Batuwarno, Kab. Wonogiri,
Jawa Tengah, Buku II. Tidak dipublikasikan.
______. 2004. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk
Unit Manajemen FKPS Kelurahan Selopuro, Kec. Batuwarno, Kab. Wonogiri,
Jawa Tengah, Buku II. Tidak dipublikasikan.
______. 2006. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk
Unit Manajemen PPHR Catur Giri Manunggal, Kec. Giriwoyo, Kab.
Wonogiri, Jawa Tengah, Buku I. Tidak dipublikasikan.
______. 2006. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk
Unit Manajemen PPHR Catur Giri Manunggal, Kec. Giriwoyo, Kab.
Wonogiri, Jawa Tengah, Buku II. Tidak dipublikasikan.
Riyatno. 2004. Perdagangan Internasional dan Lingkungan Hidup. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Rohman, Nur. 2010. Kajian Dampak Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari (PHBML) terhadap Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi
Kasus Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Koperasi Wana Manunggal Lestari,
Gunungkidul,
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta).
http://eprints.undip.ac.id/24747/1/TesisNurRohman.pdf. Diakses: 1 Februari
2012.
Rubiyanto, Martinus Ardi. 2011. Kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat di
Desa Buniwangi, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Skripsi. Program
97
Studi Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Muhamad. 2008. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif.
Grafindo. Jakarta.
Sedjo, Roger A. dan Stephen K.S. 2002. Voluntary Eco-labelling and The Price
Premium. Land Economics. Vol. 78. No. 2: 272-284.
Simula, Markku, Satria Astana, Roslan Ishmael, Eliezer J. Santana, dan Marcelo L.
Schmidt. 2005. Report on Financial Cost Benefit Analysis of Forest
Certification Implementation of Phased Approaches. E-label Jurnal Sertifikasi
Ekolabel. Vol. 3. No. 1: 1-33.
Soedomo, Sudarsono. 2004. Sertifikasi Produk Hutan: Mampukah Pasar Mengoreksi
Kegagalannya Sendiri?. E-label Jurnal Sertifikasi Ekolabel. Vol. 1. No. 2: 811.
Sofiyuddin, Muhammad. 2007. Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang
Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa Selopuro,
Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri). Skripsi. Program Studi
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suharti, Sri. (no date). Increased Community Participation in Forest Management
Through the Development of Social Forestry Programmes in Indonesia.
http://www.tropenbos.org/publications/increased+community+participation+i
n+forest+management+through+the+development+of+social+forestry+progra
mmes+in+indonesia. Diakses tanggal: 8 Desember 2012.
Sukadaryati. 2006. Potensi Hutan Rakyat di Indonesia dan Permasalahannya.
Prosiding
Seminar
Hasil
Penelitian
Hasil
Hutan
2006.
http://dephut.go.id/files/HR_pemasalahan.pdf. Diakses tanggal: 8 Desember
2012.
van Dam, Chris. 2005. Nilai Ekonomi Sertifikasi Hutan. E-label Jurnal Sertifikasi
Ekolabel. Vol. 3. No. 2: 34-58.
Wie, Thee Kian. (no date). Pengaruh Ekolabel Terhadap Perdagangan Internasional
KayuiIndonesia.http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/dow
nloadDatabyId/9023/9023.pdf. Diakses: 8 Desember 2012.
Zakiya, Zaki. 2012. Sertifikasi Kayu Makin Akrab dengan Usaha Hutan.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/sertifikasi-kayu-makin-akrabdengan-usaha-hutan. Diakses: 29 Oktober 2012.
98
LAMPIRAN
99
Lampiran 1. Kelembagaan Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi
Unsur Kelembagaan
A. Institusi
FKPS Selopuro
FKPS Sumberejo
Forum Komunikasi Petani Sertifikasi
Selopuro, unit manajemen hutan rakyat
sertifikasi Desa Selopuro. Memiliki 8
Kelompok Petani Sertifikasi (KPS) dengan
total jumlah anggota 682 orang.
Forum
Komunikasi
Petani
Sertifikasi
Sumberejo, unit manajemen hutan rakyat
sertifikasi Desa Sumberejo. Memiliki 8
Kelompok Petani Sertifikasi (KPS) dengan total
jumlah anggota 958 orang.
PPHR Catur Giri Manunggal
Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat Catur Giri
Manunggal, unit manajemen hutan rakyat sertifikasi
Kecamatan Giriwoyo. Memiliki 4 Gabungan Pelestari
Hutan Rakyat (GPHR) di tingkat desa/ kelurahan dan
7 Kelompok Pelestari Hutan Rakyat (KPHR) di
tingkat dusun dengan total jumlah anggota 2902
orang.
B. Norma Tingkah Laku Diadopsi untuk pembuatan AD/ ART dan Diadopsi untuk pembuatan AD/ ART dan tata Diadopsi untuk pembuatan AD/ ART dan tata kelola
tata kelola hutan.
kelola hutan.
hutan.
C. Peraturan dan
Penegakan Aturan/
Hukum
Norma yang disahkan melalui pembuatan
AD/ ART dan tata kelola hutan. Penegakan
aturan tergolong tidak tegas, belum
mengikat, dan ada seksi kemananan yang
mengawasi dan pengawasan dibantu oleh
seluruh masyarakat dengan menerapkan
norma gethok tular.
Norma yang disahkan melalui pembuatan AD/
ART dan tata kelola hutan. Penegakan aturan
tergolong tidak tegas, belum mengikat, dan
tidak ada petani hutan khusus yang mengawasi.
Pengawasan dilakukan oleh antar anggota
dalam masyarakat dengan menerapkan norma
gethok tular.
D. Aturan Dalam
Masyarakat
Norma sosial, AD/ ART kelompok dan Norma sosial, AD/ ART kelompok dan aturan Norma sosial, AD/ ART kelompok dan aturan kelola
aturan kelola hutan rakyat.
kelola hutan rakyat.
hutan rakyat.
E. Kode Etik
Tidak ada.
Tidak ada.
Norma yang disahkan melalui pembuatan AD/ ART
dan tata kelola hutan. Penegakan aturan tergolong
tidak tegas bahkan cenderung sangat lemah, belum
mengikat, dan pengawasan penegakan aturan
dilakukan oleh petugas KPHR. PPHR bahkan
memiliki peta penanganan sengketa hutan rakyat
lintas desa namun tidak dapat mengatasi konflik
lahan hutan rakyat yang dialami warganya.
Tidak ada.
F. Hak Milik (Property 100% petani hutan sebelum sertifikasi sudah 100% petani hutan sebelum sertifikasi sudah 100% petani hutan sebelum sertifikasi sudah
Rights atau Tenureship) mempunyai surat resmi untuk menunjukkan mempunyai surat resmi untuk menunjukkan mempunyai surat resmi untuk menunjukkan kejelasan
kejelasan hak milik lahan.
kejelasan hak milik lahan.
hak milik lahan.
100
100
Unsur Kelembagaan
G. Organisasi
FKPS Selopuro
FKPS Sumberejo
PPHR Catur Giri Manunggal
Terdiri dari delapan KPS yang tergabung Terdiri dari delapan KPS yang tergabung dalam Terdiri dari tujuh KPHR yang tergabung dalam
dalam FKPS.
FKPS.
GPHR. Dalam PPHR terdapat empat GPHR.
H. Insentif untuk
Tidak ada.
Menghasilkan Tingkah
Laku yang Diinginkan
Tidak ada.
Tidak ada.
101
101
Lampiran 2. Dampak Sosial PenerapanSertifikasi PHBML di Tiga Unit Manajemen
Tersertifikasi
FKPS Selopuro
Indikator Dampak Sosial
Σ
Klarifikasi Hak Milik Lahan dan
Resolusi
A. Kejelasan Status Kepemilikan
Lahan dan Kepemilikan Sertifikat
Tanah
1. Sebelum sertifikasi sudah jelas
dan sudah mempunyai sertifikat
tanah
2. Sesudah sertifikasi baru jelas dan
baru mempunyai sertifikat tanah
Jumlah
B. Ada atau Tidaknya Konflik
Lahan
1. Ya, ada
2. Tidak
Jumlah
C. Ada atau Tidaknya Solusi
Konflik Setelah Sertifikasi
1. Ada
2. Tidak ada
3. Tidak ada konflik
Jumlah
Partisipasi dan Kesadaran
Komunitas akan Manfaat dari
Pengelolaan Hutan
Frekuensi Kehadiran dalam
Pertemuan Rutin Kelompok Tani
1. Sering
2. Tidak
3. Kadang-kadang
Jumlah
0
%
FKPS
Sumberejo
Σ
PPHR Catur Giri
Manunggal
Σ
%
%
Σ
%
30
100,00
0
30
000,00
100,00
30 100,00
0
00
00,00
30 100,00
0
30
30
00,00
100,00
100,00
00
30
30
00
0,00
100,00
100,00
00
2
6,67
28 093,33
30 100,00
2
2,22
88 97,78
90 100,00
00
00
30
30
000,00
000,00
100,00
100,00
00
00
30
30
000,00
000,00
100,00
100,00
00
02
28
30
000,00
006,67
093,33
100,00
0
0,00
2
2,22
88 97,78
90 100,00
29
00
01
30
0
96,67
000,00
003,33
100,00
93,33
003,33
03,33
100,00
17 56,67
10 33,33
03 10,00
30 100,00
74 82,22
11 12,22
5
5,55
90 100,00
0
30 100,00
0]00
0
0,00
30 100,00
Total
90 100,00
0
0,00
90 100,00
0
0
28
01
01
30
Peningkatan Kapasitas Petani Hutan
Rakyat
A. Kemudahan mengakses informasi
mengenai pasar dan harga kayu
1. Ya
2. Tidak
3. Tidak berbeda
4. Tidak jual kayu dan tidak tahu
Jumlah
30
00
00
00
30
100,00
000,00
000,00
000,00
100,00
26
03
01
00
30
86,67
010,00
003,33
000,00
100,00
20 66,67
07 23,33
00 00,00
03 10,00
30 100,00
76 84,44
10 11,11
1
1,11
3
3,33
90 100,00
B. Tambahan pengetahuan
mengenai hutan rakyat, potensi,
dan manfaatnya setelah sertifikasi.
1. Ya ada
2. Tidak
3.Tidak tahu
Jumlah
30
00
00
30
100,00
000,00
000,00
100,00
30
00
00
30
100,00
000,00
000,00
100,00
19 63,33
07 23,33
04 13,33
30 100,00
79 87,78
7
7,78
4
4,45
90 100,00
0
102
FKPS Selopuro
Indikator Dampak Sosial
Σ
Peningkatan Peran Serta dalam
Pengelolaan Hutan Lestari akibat
Adanya Peningkatan Pengetahuan
A. Persepsi mengenai perlu tidaknya
hutan dijaga agar tetap lestari
setelah mengetahui manfaat hutan
1. Sangat perlu
2. Perlu
Jumlah
B. Cara perolehan pengetahuan
1. Mengikuti penyuluhan
2. Mengikuti pertemuan rutin
kelompok tani
3. Mengikuti penyuluhan dan
pertemuan rutin
4. Mengikuti penyuluhan dari Persepsi
5. Dari Pak Kadus
6. Tidak mengikuti apapun
Jumlah
%
15
15
30
FKPS
Sumberejo
Σ
%
50,00
50,00
100,00
11
19
30
36,67
63,33
100,00
00
00,00
01
03,33
00
0
1
00,00
0
3,33
290
0
00
00
30
96,67
00,00
0,00
00,00
100,00
29
0
00
00
30
96,67
00,00
00,00
00,00
100,00
PPHR Catur Giri
Manunggal
Σ
%
Total
Σ
12 40,00
18 60,00
30 100,00
04
0
4
%
38 42,22
52 57,78
90 100,00
13,33
4
4,45
13,33
6
6,67
14 46,67
1 03,33
01 03,33
06 20,00
30 100,00
72
1
1
6
90
80,00
1,11
1,11
6,67
100,00
103
Lampiran 3. Kriteria Penguatan Kelembagaan sebagai Dampak Sosial Penerapan Sertifikasi di Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat
Tersertifikasi
Penguatan Kelembagaan
FKPS Selopuro
FKPS Sumberejo
PPHR Catur Giri Manunggal
Pengembangan Kelembagaan Hutan
Rakyat
A. Identifikasi kelembagaan potensial
Sudah terbentuk unit manajemen dan Sudah terbentuk unit manajemen dan Sudah terbentuk unit manajemen dan
TPKS
TPKS
TPKS
B. Penumbuhan motivasi
Penumbuhan motivasi dengan cara Penumbuhan motivasi dengan cara Penumbuhan motivasi dengan cara
pemberian penyuluhan akan manfaat pemberian penyuluhan akan manfaat pemberian penyuluhan akan manfaat
sertifikasi.
sertifikasi.
sertifikasi.
C.Penumbuhan kelembagaan
Sudah ada sejak dulu namun untuk
kepentingan sertifikasi diubah menjadi
FKPS dan pemilihan pengurus dilakukan
secara musyawarah.
Sudah ada sejak dulu namun untuk
kepentingan sertifikasi diubah menjadi
FKPS dan pemilihan pengurus dilakukan
secara musyawarah dan sukarela.
Sudah ada sejak dulu namun untuk
kepentingan sertifikasi dibentuk kembali
menjadi PPHR dengan menyatukan
kelompok-kelompok yang ada di 4 desa
dan pemilihan pengurus dilakukan
layaknya pilkades.
D. Pengembangan kelembagaan
1. Fasilitasi kapasitas SDM/ pengurus
Ada pelatihan anggota dan pengurus yang Ada pelatihan khusus pengurus dan ada Ada pelatihan khusus untuk pengurus
dilakukan secara bergilir.
pelatihan khusus untuk umum.
saja melalui pendampingan dari LSM.
2. Fasilitasi mekanisme manajemen dan
kelembagaan
Tidak ada fasilitas khusus.
Tidak ada fasilitas khusus.
Tidak ada fasilitas khusus.
3. Fasilitasi pengembangan aktivitas dan
usaha
Pemberian mesin-mesin handicraft.
Pemberian mesin-mesin handicraft.
Ada kelompok pengrajin handicraft dan
bantuan peralatan.
104
104
Penguatan Kelembagaan
FKPS Selopuro
FKPS Sumberejo
PPHR Catur Giri Manunggal
Menjalin kemitraan bantuan dan atau
bisnis dengan LEI, WWF, CIFOR, CV.
Greenliving, dinas, Persepsi, Jawa Furni,
PT. Jaring Akar Ranting, DAS Bengawan
Solo, PT. Ideas, PT. ANJ, PT. Novika.
Menjalin kemitraan bisnis dan atau
pelatihan dengan PT. Jaring Akar
Ranting, ASMINDO, PT, Jawa Furni, dan
Bank Exim.
Menjalin kemitraan bisnis dan atau
bantuan dengan Persepsi, PT. Jaring
Akar Ranting, CV. Greenliving, dan
Dinhut.
Masyarakat terdiri dari anggota yang
saling mengenal, memiliki visi, misi, dan
kepentingan yang sama dengan frekuensi
gotong royong yang tinggi. Terdapat
pelatihan
dari
Persepsi
yang
menimbulkan kemandirian.
Masyarakat terdiri dari anggota yang
saling mengenal, memiliki visi, misi dan
kepentingan yang sama dengan gotong
royong sebagai azas dan fondasinya.
Tidak ada pelatihan khusus anggota tapi
memiliki 1 anggota tenaga terampil yang
pernah mengikuti pelatihan handicraft.
Masyarakat terdiri dari anggota yang
saling mengenal, memiliki visi, misi, dan
kepentingan yang sama dengan frekuensi
gotong royong yang tinggi. Terdapat
pelatihan handicraft dari Persepsi namun
hanya untuk 5 orang.
B. Menumbuhkan gabungan kelompok
masyarakat
Ada
simpan
pinjam
tapi
tidak
diperuntukkan untuk peningkatan modal
usaha. Ada rencana untuk memperbesar
skala usaha tapi tidak ada usaha yang
dilakukan.
Ada simpan pinjam yang dipungut
melalui iuran biasa dan memiliki rencana
untuk memperbesar skala usaha dengan
mengkursuskan salah satu anggotanya
dalam kursus keterampilan mengolah
kayu namun belum ada usaha untuk
meningkatkan posisi tawar anggota.
Tidak ada penghimpunan modal usaha
namun sudah ada usaha untuk
memperbesar skala usaha dengan cara
memasarkan kayu sertifikasi dan
berusaha untuk meningkatkan posisi
tawar dengan bekerjasama dengan PT.
Jaring Akar Ranting.
Menumbuhkan lembaga ekonomi formal
Sistem simpan pinjam kelompok ada
tetapi tidak ada pelatihan khusus untuk
pengembangan
kewirausahaan
atau
manajemen usaha.
Ada sistem simpan pinjam dan ada
pelatihan pengembangan kewirausahaan
tetapi lewat desa yang pernah dilakukan 1
kali dan menunjukkan keantusiasan petani
yang sangat tinggi.
Tidak ada simpan pinjam kelompok
tetapi ada pelatihan khusus untuk
pengembangan
kewirausahaan
dan
manajemen usaha yang diadakan selama
1 minggu dan menunjukkan keantusiasan
petani yang sangat tinggi.
4. Pengembangan kemitraan
Pengembangan Kelembagaan Ekonomi
Dorongan dan bimbingan kepada
masyarakat agar mampu bekerjasama di
bidang ekonomi secara berkelompok
105
105
Lampiran 4. Dampak Ekonomi Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit Manajemen
Hutan Rakyat Tersertifikasi
FKPS Selopuro
Indikator Dampak Ekonomi
Σ
Dampak Ekonomi Langsung
Adanya premium price
A. Harga jual kayu setelah
sertifikasi
1. Naik, kenaikan sesuai pasaran
kayu
2. Belum jual kayu dan tidak
pernah jual
3. Biasa saja, harga masih sesuai
dengan pasaran kayu dan
tergantung bakul
4. Naik, 30%
5. Tidak tahu
Jumlah
%
FKPS
Sumberejo
Σ
PPHR Catur Giri
Manunggal
%
Σ
%
Total
Σ
%
24
80,00
28
93,33
21
70,00
73
81,11
01
3,33
06,67
05
16,67
8
8,88
04
00,00
02
06,67
6
6,67
00
00
30
13,33
0
0,00
0,00
100,00
02
0
0
0 00,00
00 00,00
30 100,00
01
01
30
03,33
03,33
100,00
1
1
90
1,11
1,11
100,00
16
00
04
06
00
04
30
53,33
00,00
13,33
20,00
00,00
13,33
100,00
17 56,67
00 00,00
00 00,00
12 40,00
00 00,00
01 03,33
30 100,00
19
02
02
02
01
04
30
63,33
06,67
06,67
06,67
03,33
13,33
100,00
52
2
6
20
1
9
90
57,78
2,22
6,67
22,22
2,22
10,00
100,00
24
04
80,00
13,33
29
01
96,67
03,33
0
26
04
0
86,67
13,33
79
9
87,78
10,00
02
30
0
6,67
100,00
00
0,00
30 100,00
0
30
00,00
100,00
2
90
2,22
100,00
Adanya penetrasi ke pasar baru
A. Pertambahan pembeli setelah
sertifikasi
1. Ada
2. Tidak ada
3. Belum jual dan tidak jual kayu
4. Tidak tahu
Jumlah
10
14
04
02
30
33,33
46,67
13,33
06,67
100,00
0
25 83,33
04 13,33
01 03,33
00 00,00
30 100,00
7
20
03
00
30
23,33
66,67
10,00
00,00
100,00
42
38
8
2
90
46,67
42,22
8.89
2,22
100,00
B. Pertambahan pembeli
signifikan atau tidak
1. Ya
2. Tidak
3. Tidak ada pertambahan
4. Tidak tahu
5. Belum jual dan tidak jual kayu
Jumlah
08
01
14
03
04
30
26,67
03,33
46,67
10,00
13,33
100,00
20 66,67
03 10,00
04 13,33
02 06,67
01 03,33
30 100,00
05
02
20
00
03
30
16,67
06,67
66,67
00,00
13,33
100,00
33
6
38
5
8
90
36,67
6,67
42,22
5,56
8,89
100,00
B. Perubahan harga
berpengaruh signifikan atau
tidak terhadap pendapatan
1. Ya
2. Biasa saja
3. Tidak tahu
4. Tidak
5. Cukup
6. Belum jual
Jumlah
C. Pembeli menghargai dengan
premium price atau tidak
1. Tidak
2. Belum jual dan tidak pernah
jual
3. Ya, pembeli dari Jakarta dan
warga sekitar ada yg membeli
dengan harga tinggi
Jumlah
106
FKPS Selopuro
Indikator Dampak Ekonomi
Σ
%
Adanya eksistensi di pasar lama
Pembeli lama masih membeli
kayu atau tidak
1. Ya
2. Tidak
3. Belum jual dan tidak pernah
jual kayu
Jumlah
26
00
0
4
30
Posisi petani hutan rakyat
A. Informasi kenaikan harga
1. Bakul
2. Bakul, pengepul
3. Pasar kayu, pengepul
4. Belum jual
5. Pasar kayu sertifikasi
6. Kelompok tani, pasar kayu
7. Tidak pernah jual
8. Pasar kayu
Jumlah
C. Penentu kenaikan harga
1. Bakul
2. Bakul, pengepul
3. Pasar kayu, pengepul
4. Belum jual
5. Pasar kayu sertifikasi
6. Kelompok tani, pasar kayu
7. Diri sendiri
8. Bakul dan diri sendiri
9. Tidak pernah jual
10. Pasar kayu
11. Pasar kayu, diri sendiri, bakul
Jumlah
D. Penentu harga jual kayu
sebelum sertifikasi
1. Diri sendiri dan bakul (tawar
menawar)
2. Pengepul kayu
3. Belum jual
4. Ditentukan sendiri
5. Tidak pernah jual
6. Diri sendiri dan bakul, pasar
kayu
Jumlah
86,67
00,00
FKPS
Sumberejo
Σ
%
28
01
PPHR Catur Giri
Manunggal
Σ
%
Total
Σ
%
93,33
03,33
24
02
80,00
06,67
78
3
86,67
3,33
13,33
100,00
01 03,33
30 100,00
04
30
13,33
100,00
9
90
10,00
100,00
24
01
01
04
00
00
00
00
30
80,00
03,33
03,33
13,33
00,00
00,00
00,00
00,00
100,00
29 96,67
01 03,33
00 00,00
00 00,00
00 00,00
00 00,00
00 00,00
00 00,00
30 100,00
23
00
00
02
01
01
01
02
30
76,67
00,00
00,00
06,67
03,33
03,33
03,33
06,67
100,00
76
2
1
6
1
1
1
2
90
84,44
2,22
1,11
6,67
1,11
1,11
1,11
2,22
100,00
24
01
01
04
00
00
00
00
00
00
00
30
80,00
03,33
03,33
13,33
00,00
00,00
00,00
00,00
00,00
00,00
00,00
100,00
30
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
30
100,00
000,00
000,00
000,00
000,00
000,00
000,00
000,00
000,00
000,00
000,00
100,00
19
00
00
02
01
01
03
01
01
01
01
30
63,33
00,00
00,00
06,67
03,33
03,33
10,00
03,33
03,33
03,33
03,33
100,00
73
1
1
6
1
1
3
1
1
1
1
90
81,11
1,11
1,11
6,67
1,11
1,11
3,33
1,11
1,11
1,11
1,11
100,00
25
01
04
00
00
83,33
03,33
13,33
00,00
00,00
30
00
00
00
00
25
00
02
01
01
88,89
1,11
6,67
1,11
1,11
00,00
100,00
83,33
00,00
06,67
03,33
03,33
0
3,33
100,00
80
1
6
1
1
00
30
100,00
000,00
000,00
000,00
000,00
0
00 00,00
30 100,00
1
90
1,11
100,00
01
30
107
FKPS Selopuro
Indikator Dampak Ekonomi
Σ
%
FKPS
Sumberejo
Σ
%
PPHR Catur Giri
Manunggal
Σ
%
Total
Σ
%
E. Penentu harga jual kayu
sesudah sertifikasi
1. Diri sendiri dan bakul (tawar
menawar)
2. Pengepul kayu
3. Belum jual
4. Tidak pernah jual
5. Pasar sertifikasi
6. Diri sendiri dan bakul, pasar
kayu
Jumlah
25
01
04
00
00
0
0
30
83,33
03,33
13,33
00,00
00,00
0
0,00
100,00
30
00
00
00
00
0
0
30
100,00
00,00
000,00
000,00
000,00
0
00,00
100,00
25
00
02
01
01
83,33
00,00
06,67
03,33
03,33
80
1
6
1
1
88,89
1,11
6,67
1,11
1,11
01
30
03,33
100,00
1
90
1,11
100,00
Peningkatan pendapatan petani
hutan rakyat.
Pendapatan penjualan kayu
sesudah sertifikasi
1. Naik
2. Tidak
3. Biasa saja
4. Belum jual
5. Tidak tahu
Jumlah
24
00
02
04
00
30
80,00
00,00
06,67
13,33
00,00
100,00
29 96,67
00 00,00
00 00,00
01 03,33
00 00,00
30 100,00
22
00
02
05
01
30
73,33
00,00
06,67
16,67
03,33
100,00
75
0
4
10
1
90
83,33
0,00
4,45
20
1,11
100,00
25
01
83,33
03,33
25
02
83,33
06,67
80
3
88,89
3,33
04
30
13,33
100,00
30 100,00
00 000,00
0
00 00,00
30 100,00
03
30
10,00
100,00
7
90
7,78
100,00
25
01
0
4
83,33
3,33
25
01
83,33
03,33
80
2
88,89
2,22
03
10,00
7
7,78
00
30
00,00
100,00
30 100,00
00 000,00
0
0
0 00,00
0
00
0
0,00
30 100,00
01
30
03,33
100,00
1
90
1,11
100,00
Memperpendek rantai distribusi
A. Rantai pemasaran kayu
sebelum sertifikasi
1. Penjual-pembeli (bakul)pengepul-industri
2. Penjual-pengepul-industri
3. Belum jual dan tidak pernah
jual
Jumlah
B. Rantai pemasaran kayu sesudah
sertifikasi
1. Penjual-pembeli (bakul)pengepul-industri
2. Penjual-pengepul-industri
3. Belum jual dan tidak pernah
jual
4. Penjual-TPKS-pasar sertifikasi
(buyer)
Jumlah
13,33
108
Lampiran 5. Perhitungan Penggunaan Lahan, Jumlah Kayu dan Pendapatan
Perhitungan Penggunaan Lahan dan Jumlah Kayu pada Tiap Tipe Lahan
Total lahan
= 262,77 ha
Lahan pada unit manajemen hutan rakyat terbagi menjadi: 1) lahan pekarangan, 2) lahan ladang tipe 1, dan 3)
lahan ladang tipe 2A dan 2B
Lahan Pekarangan
- Luas lahan pekarangan untuk 682 petani
= 96,21 ha
- Luas lahan pekarangan per petani (A)
= luas lahan : jumlah petani
= 96,21 ha : 682 petani
= 0,14 ha
- Jumlah kayu pada lahan pekarangan per petani = A x 150 pohon1)
(B)
= 0,14 x 150
= 21 pohon
- Luas lahan untuk penanaman kayu untuk per
petani (C)
= B x jarak tanam
= 21 pohon x jarak tanam
= 21 x 3 meter x 3 meter
= 189 m2
= 0,0189 ha
- Luas lahan untuk penanaman kayu bagi semua
petani (D)
= C x jumlah petani
= 0,0189 x 682 orang
= 12,89 ha
- Jumlah tanaman kayu di pekarangan
= D x jumlah pohon per ha
= 12,89 x 150
= 1.933 pohon
Jumlah tanaman kayu di lahan pekarangan untuk satu unit manajemen adalah 1.933 pohon dengan luas
penggunaan lahan untuk penanaman sebesar 12,89 ha
Lahan Ladang Tipe 1 (Lahan Ladang Kayu)
- Luas lahan ladang kayu (E)
= (Luas lahan total - pekarangan) x proporsi penggunaan lahan
ladang tipe 12)
= (262,77 - 96,21) x 60%
= 99,94 ha
- Jumlah tanaman kayu di ladang tipe 1
= E x 677 pohon3)
= 99,94 x 677
= 67.659 pohon
Jumlah tanaman kayu di lahan tipe 1 untuk satu unit manajemen adalah 67.659 pohon dengan luas penggunaan
lahan untuk penanaman sebesar 99,94 ha
Lahan Ladang Tipe 2 (Lahan Tumpangsari Kayu dan Pertanian)
- Luas total ladang tipe 2 (F)
=(Luas lahan total - pekarangan) x proporsi penggunaan lahan
ladang tipe 24)
= (262,77 - 96,21) x 40%
= 66,62 ha
A. Lahan Ladang Tumpangsari yang Ditanami Kayu (Lahan Tipe 2A)
- Luas lahan tipe 2A (G)
= 150 pohon1) x jarak tanam x F
= 150 x 3 meter x 3 meter x 66,62 ha
=89.937 m2 atau 8,9 ha
109
- Jumlah tanaman kayu di lahan tipe 2A
= G x 150 pohon1)
= 8,9 x 150
= 1.335 pohon
B. Lahan Ladang Tumpangsari yang Ditanami Tanaman Pertanian (Lahan Tipe 2B)
- Luas lahan tipe 2B (H)
=F-G
= 66,62 - 8,9
= 57,72 ha
Jumlah tanaman kayu di lahan tipe 2 untuk satu unit manajemen adalah 1.335 pohon dengan luas penggunaan
lahan untuk penanaman sebesar 8,9 ha dan luas penggunaan lahan untuk pertanian sebesar 57,72 ha.
Perhitungan Pendapatan
- Pendapatan dari kayu
Pendapatan dari kayu jati pada tahun ke-20
= Jumlah pohon x proporsi penanaman jati5) x harga jati per
pohon6)
= 70.927 x 63% x 800.000
= 35.747.208.000
Pendapatan dari kayu mahoni pada tahun ke-20
= Jumlah pohon x proporsi penanaman mahoni7) x harga
mahoni per pohon8)
= 70.927 x 37% x 400.000
= 10.497.196.000
Total pendapatan dari kayu pada tahun ke-20
= pendapatan kayu jati + pendapatan kayu mahoni
= 35.747.208.000+ 10.497.196.000
= 46.244.404.000
- Pendapatan dari pertanian
Pendapatan dari pertanian selama 20 tahun
= H x pendapatan pertanian per ha x 20 tahun
= 57,72 x 1.460.400 x 20
= 1.685.886.760
Sumber: Sofiyuddin (2007) dan Data Primer (2012)
Keterangan:
1)
Jumlah kayu yang ditanam pada lahan pekarangan diasumsikan sama dengan jumlah kayu yang ditanam
pada lahan tipe 2A karena pola penanamannya sama, yakni pada tepi lahan, dimana pada penanaman kayu
dengan pola tepi lahan tiap 1 hektarnya mampu mengakomodir 150 pohon.
2),4)
Proporsi penggunaan lahan tipe 1 dan 2 berdasarkan pada kondisi lapang dan diasumsikan proporsi
penggunaannya adalah 60%:40%
3)
Jumlah kayu yang ditanam pada lahan khusus untuk kayu (tidak bertumpangsari dengan tanaman
pertanian) adalah 677 pohon sesuai dengan studi literatur.
5)
Proporsi penanaman jati diperoleh dari perbandingan jumlah jati terhadap jumlah total jati dan mahoni di
tahun ke-20 berdasarkan studi literatur.
6)
Harga jati perpohon diperoleh dari data primer dan diasumsikan tetap.
7)
Proporsi penanaman mahoni diperoleh dari perbandingan jumlah mahoni terhadap jumlah total jati dan
mahoni di tahun ke-20 berdasarkan studi literatur.
8)
Harga mahoni perpohon diperoleh dari data primer dan diasumsikan tetap.
110
Lampiran 5. Cashflow Skenario 1 (Bagian 1)
Tahun KeManfaat
Tanaman pertanian
Penebangan akhir
Hibah bibit jati
Total Manfaat
Biaya
Tanaman pertanian
1. Bibit pertanian
2. Penyiapan lahan
3. Penanaman pertanian
4. Pemupukan
Penyiapan lahan HR
Penanaman HR
1. Penanaman
2. Bibit
Perawatan HR
1. Pemupukan
Biaya panen pertanian
Biaya tebangan akhir
Biaya administrasi
Biaya persiapan sertifikasi
Biaya sertifikasi
Biaya surveillance
Pajak
Total Biaya
Net benefit
Disc. Factor
PV manfaat
PV biaya
PV manfaat-PV biaya
NPV
Net B/ C
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
84.294.288
339.030.000
423.324.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
14.733.030
8.080.800
25.396.800
401.386.902
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
36.386.558
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
30.254.652
6.926.400
5.272.480
528.437.623
-105.113.335
0,946
400.306.655
499.704.608
-99.397.952
15.235.134.047
-154,27
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,894
75.376.748
54.018.754
21.357.994
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,846
71.278.248
51.081.564
20.196.684
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,800
67.402.599
48.304.079
19.098.520
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,756
63.737.682
45.677.616
18.060.066
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,715
60.272.040
43.193.964
17.078.076
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,676
56.994.837
40.845.356
16.149.481
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,639
53.895.827
38.624.450
15.271.377
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,605
50.965.321
36.524.302
14.441.018
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,572
48.194.157
34.538.347
13.655.809
111
111
Lampiran 5. Cashflow Skenario 1 (Bagian 2)
Tahun KeManfaat
Tanaman pertanian
Penebangan akhir
Hibah bibit jati
Total Manfaat
Biaya
Tanaman pertanian
1. Bibit pertanian
2. Penyiapan lahan
3. Penanaman pertanian
4. Pemupukan
Penyiapan lahan HR
Penanaman HR
1. Penanaman
2. Bibit
Perawatan HR
1. Pemupukan
Biaya panen pertanian
Biaya tebangan akhir
Biaya administrasi
Biaya persiapan sertifikasi
Biaya sertifikasi
Biaya surveillance
Pajak
Total Biaya
Net benefit
Disc. Factor
PV manfaat
PV biaya
PV manfaat-PV biaya
NPV
Net B/ C
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
46.244.404.000
46.328.698.288
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,541
45.573.671
32.660.376
12.913.295
15.235.134.047
-154,27
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,511
43.095.670
30.884.516
12.211.154
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,483
40.752.406
29.205.216
11.547.190
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,457
38.536.554
27.617.226
10.919.329
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,432
36.441.186
26.115.580
10.325.606
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,409
34.459.751
24.695.584
9.764.167
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,387
32.586.053
23.352.798
9.233.255
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,366
30.814.234
22.083.024
8.731.210
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,346
29.138.756
20.882.292
8.256.463
6.926.400
85.211.000
34.100.000
5.272.480
179.720.510
46.148.977.778
0,327
15.144.068.903
58.747.599
15.085.321.304
112
112
Lampiran 6. Cashflow Skenario 2 (Bagian 1)
Tahun KeManfaat
Tanaman pertanian
Penebangan akhir
Hibah bibit jati
Total Manfaat
Biaya
Tanaman pertanian
1. Bibit pertanian
2. Penyiapan lahan
3. Penanaman pertanian
4. Pemupukan
Penyiapan lahan HR
Penanaman HR
1. Penanaman
2. Bibit
Perawatan HR
1. Pemupukan
Biaya panen pertanian
Biaya administrasi
Biaya persiapan sertifikasi
Biaya sertifikasi
Biaya surveillance
Pajak
Total Biaya
Net benefit
Disc. Factor
PV manfaat
PV biaya
PV manfaat-PV biaya
NPV
Net B/ C
1
2
3
4
5
6
7
8
9
84.294.288
339.030.000
423.324.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
14.733.030
8.080.800
25.396.800
401.386.902
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
36.386.558
-
-
-
-
30.254.652
6.926.400
150.000.000
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
60.000.000
5.272.480
678.437.623
-255.113.335
0,946
400.306.655
641.548.579
-241.241.924
14.961.358.163
-45,93
60.409.510
23.884.778
0,894
75.376.748
54.018.754
21.357.994
120.409.510
-36.115.222
0,846
71.278.248
101.816.851
-30.538.603
10
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
-
-
-
-
-
-
6.926.400
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
20.000.000
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,800
67.402.599
48.304.079
19.098.520
60.409.510
23.884.778
0,756
63.737.682
45.677.616
18.060.066
60.409.510
23.884.778
0,715
60.272.040
43.193.964
17.078.076
60.409.510
23.884.778
0,676
56.994.837
40.845.356
16.149.481
80.409.510
3.884.778
0,639
53.895.827
51.411.989
2.483.838
60.409.510
23.884.778
0,605
50.965.321
36.524.302
14.441.018
60.409.510
23.884.778
0,572
48.194.157
34.538.347
13.655.809
113
113
Lampiran 6. Cashflow Skenario 2 (Bagian 2)
Tahun KeManfaat
Tanaman pertanian
Penebangan akhir
Hibah bibit jati
Total Manfaat
Biaya
Tanaman pertanian
1. Bibit pertanian
2. Penyiapan lahan
3. Penanaman pertanian
4. Pemupukan
Penyiapan lahan HR
Penanaman HR
1. Penanaman
2. Bibit
Perawatan HR
1. Pemupukan
Biaya panen pertanian
Biaya administrasi
Biaya persiapan sertifikasi
Biaya sertifikasi
Biaya surveillance
Pajak
Total Biaya
Net benefit
Disc. Factor
PV manfaat
PV biaya
PV manfaat-PV biaya
NPV
Net B/ C
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
84.294.288
-
84.294.288
-
84.294.288
-
84.294.288
-
84.294.288
-
84.294.288
-
84.294.288
-
84.294.288
-
84.294.288
-
84.294.288
46.244.404.000
-
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
84.294.288
46.328.698.288
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
14.733.030
8.080.800
25.396.800
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6.926.400
5.272.480
6.926.400
20.000.000
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
5.272.480
6.926.400
150.000.000
5.272.480
6.926.400
20.000.000
5.272.480
6.926.400
60.000.000
5.272.480
6.926.400
34100000
5.272.480
60.409.510
23.884.778
0,541
45.573.671
32.660.376
12.913.295
14.961.358.163
-45,93
80.409.510
3.884.778
0,511
43.095.670
41.109.567
1.986.103
60.409.510
23.884.778
0,483
40.752.406
29.205.216
11.547.190
60.409.510
23.884.778
0,457
38.536.554
27.617.226
10.919.329
60.409.510
23.884.778
0,432
36.441.186
26.115.580
10.325.606
60.409.510
23.884.778
0,409
34.459.751
24.695.584
9.764.167
210.409.510
-126.115.222
0,387
32.586.053
81.339.027
-48.752.974
80.409.510
3.884.778
0,366
30.814.234
29.394.132
1.420.102
120.409.510
-36.115.222
0,346
29.138.756
41.623.025
-12.484.270
94.509.510
46.234.188.778
0,327
15.144.068.903
30.893.562
15.113.175.340
114
114
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian
(dari kiri-kanan) Ketua PPHR Catur Giri Manunggal, Ketua FKPS Selopuro dan
Ketua FKPS Sumberejo dan Keluarga Membawa Sertifikat
PHBML
Kondisi Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian
Kondisi Bengkel Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Berada di Desa Selopuro
115
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Batu pada tanggal 3 Juni 1990 dari pasangan Dwi
Hariyadi dan Sumarmi. Penulis menghabiskan masa studinya di SDN Ngaglik 1 Batu,
SMP Negeri 1 Batu, dan SMA Negeri 1 Batu hingga akhirnya diterima di IPB dengan
jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama masa studi, penulis aktif dalam Himpunan
Profesi Resources and Environmental Economic Student's Association (REESA)
sebagai Sekretaris Divisi (2009/2010) dan Ketua Divisi Public Relation (2010/2011)
dan UKM IPB Debating Community (IDC) sebagai Head of Information &
Communication (2009/2010) dan Vice President I (2010/2011). Disamping aktif di
keorganisasian, penulis juga aktif sebagai freelance translator dan mengikuti berbagai
lomba duta wisata dan lomba debat bahasa inggris di tingkat lokal maupun nasional
sebagai debater maupun adjudicator (juri). Beberapa prestasi yang telah diraih oleh
penulis diantaranya adalah Juara 2 Lomba Debat Falcon 2012; adjudicator seleksi
regional kopertis 3 National University Debating Championship (NUEDC) 2012;
invited adjudicator ALSA Universitas Indonesia; adjudicator akreditasi B pada
Indonesian Varsities English Debate (IVED) 2011; invited adjudicator Falcon 2011,
IAAS Olympic 2011 dan lomba debat Politik Ceria se-Jawa Bali 2011; Juara 1 Fateta
Annual English Competition (Falcon) 2010; Juara 2 Intercomp IDC 2010; Juara 2
Lomba Debat Attention 2009; Juara 3 Speech Contest Attention 2009; Juara 1 Lomba
Debat Banking Goes To Campus (BGTC) 2010; Quarterfinalist Polinela National
Debating Championship (PNDC) 2010; Juara 1 Lomba Debat Agrination 2009;
Octofinalist Indonesian Schools Debating Championship 2006; Juara 1 Lomba Debat
Tingkat SMA se-Provinsi Jawa Timur 2006; Juara 1 Lomba Debat HI-Fiesta; Juara 2
Lomba Debat EEC; dan Wakil 1 Nimas Kota Batu 2006.
116
Download