ANALISIS KELEMBAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT LESTARI (PHBML) TERHADAP PETANI HUTAN RAKYAT KABUPATEN WONOGIRI DYAH PUSPITALOKA DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Kelembagaan dan Dampak Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2013 Dyah Puspitaloka H44080055 i RINGKASAN DYAH PUSPITALOKA. Analisis Kelembagaan dan Dampak Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri. Dibimbing oleh METI EKAYANI dan NUVA. Pemenuhan kebutuhan kayu untuk industri yang berorientasi ekspor saat ini tidak bisa hanya mengandalkan pasokan dari hutan alam. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah pemenuhan kebutuhan kayu untuk industri terutama diperoleh dari hutan rakyat dan hutan tanaman industri (Departemen Perindustrian, 2009). Litbang Kehutanan (2009) menyatakan bahwa hutan tanaman, salah satunya hutan rakyat, akan menjadi sumber bahan baku industri perkayuan di masa depan karena potensi dan ketergantungan pada hutan alam semakin menurun. Hal ini menjadi peluang bagi hutan rakyat terutama yang tersertifikasi. Terkait dengan sertifikasi di sektor kehutanan, lembaga sertifikasi mencoba untuk mensertifikasi hutan rakyat sebagai bentuk penghargaan atas usaha melestarikan hutan dan menstimulasi daerah lain yang memiliki hutan rakyat untuk ikut serta dalam sertifikasi. Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada sertifikasi dalam bentuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Penelitian dilakukan untuk melihat keuntungan dan kerugian dari adanya sertifikasi di hutan rakyat serta penting atau tidaknya melakukan sertifikasi di hutan rakyat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keragaan kelembagaan; faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi pada petani hutan; dan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari penerapan sertifikasi. Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2012 di FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri Manunggal. Penting untuk diketahui bahwa ketiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi ini memperoleh sertifikasi dengan bantuan dari lembaga donor sehingga tidak ada beban biaya yang harus ditanggung. Adanya sertifikasi berhasil membentuk kelembagaan unit manajemen hutan rakyat yang potensial dan didukung dengan keberadaan TPKS (Tempat Pemasaran Kayu Sertifikasi) sebagai sarana pemasaran khusus untuk kayu sertifikasi. Namun kelembagaan yang ada belum berjalan dengan optimal karena kekurangan modal, tidak adanya pembeli akhir-akhir ini, ketidakmampuan dari unit manajemen untuk memenuhi pasokan kayu yang diminta pembeli, dan tidak berjalannya mekanisme perdagangan kayu sertifikasi melalui TPKS sebagai perantara. Disamping itu, ditemukan adanya biaya transaksi dalam kelembagaan perdagangan hutan rakyat yakni dalam bentuk biaya surat izin penebangan kayu. Adanya biaya transaksi dan kemungkinan pembebanan sertifikasi dengan biaya sendiri berpotensi mengurangi keuntungan yang diperoleh petani dari pengusahaan hutan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keikutsertaan petani hutan didominasi oleh faktor kesadaran ingin menjaga lingkungan, harapan mendapatkan premium price, dan adanya bantuan dari institusi (lembaga donor). Meskipun faktor dominan yang menjadi alasan petani di ketiga unit manajemen adalah karena kesadaran menjaga lingkungan tetapi mereka tidak bersedia melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri. Faktor kedua yang mendominasi adalah premium price dimana hal ini berkorelasi dengan tujuan fundamental ii sertifikasi yakni memberikan insentif atas usaha pelestarian lingkungan. Pada kenyataannya premium price ini pernah didapat tapi tidak ada keberlanjutannya sampai sekarang karena tidak ada pembeli yang mau membeli dengan harga di atas harga pasar. Berdasarkan hasil penelitian terhadap dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan diketahui bahwa adanya sertifikasi tidak memberikan dampak yang signifikan. Ditinjau dari aspek sosial, adanya sertifikasi tidak menunjukkan penguatan kelembagaan namun adanya sertifikasi berhasil meningkatkan kapasitas petani dalam pengolahan hasil hutan menjadi handicraft, pengembangan kemitraan, meningkatkan pengetahuan petani mengenai hutan rakyat dan pengelolaannya, dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai fasilitator akses terhadap informasi yang simetris. Ditinjau dari segi ekonomi, sertifikasi tidak membuat perubahan dalam mekanisme penjualan kayu yang terjadi di masyarakat maupun perubahan dalam hal premium price. Dilain hal, adanya sertifikasi memberikan keuntungan dari segi terciptanya sarana pengolahan hasil hutan menjadi handicraft dan adanya bantuan pada kas kelompok yang disumbangkan oleh instansi yang melakukan studi banding atau kunjungan. Analisis dampak ekonomi secara kuantitatif dilakukan melalui analisis biaya dan manfaat terhadap dua skenario yakni tanpa biaya sertifikasi dan dengan biaya sertifikasi PHBML. Adanya pembebanan biaya sertifikasi yang terdiri dari biaya pengajuan, biaya penilaian sertifikasi, dan biaya surveillance berpotensi menurunkan nilai manfaat pengolalaan hutan rakyat sebesar 1,79%. Penurunan nilai ini tidak terlalu besar namun cukup membuat manfaat pengelolaan hutan rakyat yang sudah kecil menjadi semakin kecil. Biaya sertifikasi yang harus dibayarkan sebesar Rp 480.000.000 untuk dua kali sertifikasi yang akan dilaksanakan pada tahun ke-3 dan ke-19. Dengan kata lain kelompok tani harus menyediakan dana sekitar Rp 240.000.000 pada saat pelaksanaan sertifikasi. Hal ini sangat membebani petani karena pada saat pelaksanaan sertifikasi tersebut petani belum panen. Sehingga menjadi pertanyaan besar, darimana dana sertifikasi yang sangat besar tersebut dapat disediakan. Sehingga muncul pertanyaan perlukah sertifikasi di hutan rakyat, mengingat beban dan manfaat yang tidak sebanding. Namun juka sertifikasi hutan rakyat dirasa penting, penelitian ini mencoba menyarankan beberapa skema solusi, diantaranya iuran anggota kelompok tani, kemitraan dengan perusahaan eksportir ke negara yang menyarankan sertifikasi, dan subsidi pemerintah. Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak lingkungan diketahui bahwa perbaikan kondisi lingkungan yang terjadi bukan akibat dari perbaikan pengelolaan hutan setelah adanya sertifikasi namun akibat program pengembangan hutan yang dilakukan pemerintah dan petani hutan rakyat sejak tahun 1965-an. Program pengembangan hutan dilakukan karena kondisi daerah Kabupaten Wonogiri yang gersang. Beberapa program yang dijalankan dari tahun 1965-an adalah program kebun bibit desa, World Food Programme, dan Gerhan. Keberhasilan program pengembangan hutan rakyat inilah yang memberikan dampak lingkungan diantaranya perbaikan kondisi udara, kualitas air, dan peningkatan jumlah fauna misalnya ayam alus, kijang, dan kera. iKata kunci: ekolabel, hutan rakyat, PHBML, premium price, sertifikasi, Wonogiri. iii ANALISIS KELEMBAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT LESTARI (PHBML) TERHADAP PETANI HUTAN RAKYAT KABUPATEN WONOGIRI DYAH PUSPITALOKA H44080055 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 4 Judul Skripsi :IAnalisis Kelembagaan dan Dampak Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri Nama : Dyah Puspitaloka NIM : H44080055 Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc NIP. 19690917 200604 2 001 Nuva, SP, M.Sc - Mengetahui, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003 Tanggal Lulus: v UCAPAN TERIMA KASIH Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari kontribusi semua pihak. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc selaku dosen pembimbing pertama dan Ibu Nuva, SP, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua atas saran, arahan, dan dukungan selama penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen penguji utama dan Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen penguji perwakilan departemen atas saran dan kritiknya. 3. Pak Teguh, Pak Edi, Pak Taryanto, LSM Persepsi, Mbak Indra selaku Manajer Komunikasi LEI, Pak Siman, Pak Mulyadi, Pak Sutanto, Pak Mulyono, Pak Rujimin, warga FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri Manunggal. 4. Ibu Sumarmi dan Ayah, adik-adikku Regita Pramudyah Wardhani dan Ardi Putra Alfirdaus atas segala dukungan dan doa. 5. Keluarga besar Gg. Buntu dan seluruh saudara atas dukungan dan motivasi. 6. Sahabat selama di IPB: Rosselina Cindy, Yenti Kumala S. dan Meyla Dona. 7. Teman-teman ESL 45 khususnya Ria Siregar, Septi Sitorus, Tantri Sianturi, dan Pebri Sagala yang selalu memberi dukungan dan motivasi. 8. Teman-teman satu bimbingan: Nurul, Mirza, Erwan, Evy, Shinta, Elok, dan Nova untuk kebersamaan dan motivasi selama tugas akhir. 9. Asri Joni atas segala dukungan dan motivasi bagi masa depan penulis. 10. Seluruh teman-teman TPB A22, Himpro REESA, IPB Debating Community, dan seluruh pihak yang telah memberikan dukungan pada penulis. vi KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan. Atas rahmat dan hidayah-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kelembagaan dan Dampak Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri”. Dalam skripsi ini penulis memiliki tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab penerapan sertifikasi PHBML, mengidentifikasi kelembagaan, dan menganalisis dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada petani hutan rakyat. Penulis ingin berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi yang telah ditulis ini dapat memberikan manfaat pada semua pihak yang terkait dengan ekolabel sektor kehutanan. Bogor, Februari 2013 Penulis Dyah Puspitaloka H44080055 vii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii I. PENDAHULUAN . .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................... 1 5 7 8 8 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 10 2.1 Hutan Rakyat, Potensi, dan Peranannya ............................................... 10 2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Kaitannya dengan Sustainable Forest Management (SFM) ................................... 11 2.3 Ekolabeling ............................................................................................ 13 2.3.1 Jenis-Jenis Ekolabel Sektor Kehutanan ....................................... 14 2.3.2 Pokok-Pokok Informasi dalam Produk dengan Ekolabel ........... 17 2.3.3 Ekolabel Sektor Kehutanan sebagai Non-Tariff Barrier ............. 17 2.4 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan .......................................... 18 2.5 Kelembagaan ......................................................................................... 19 2.6 Penelitian Terdahulu.............................................................................. 20 2.6.1 Penelitian Mengenai Ekolabel .................................................... 20 2.6.2 Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI ............................................................................. 21 2.6.3 Penelitian Mengenai Kelembagaan ............................................ 22 2.6.4 Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan ................................................................................. 23 2.7 Kebaruan (Novelty) dari Penelitian ...................................................... 24 III. KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................... 25 IV. METODE PENELITIAN .......................................................................... 29 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 29 4.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 29 4.3 Metode Pengambilan Sampel ............................................................. 30 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................... 31 4.4.1 Keragaan Kelembagaan ............................................................... 31 4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML pada Petani Hutan ....................................................................... 32 4.4.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dari Penerapan Sertifikasi PHBML ..................................................................... 32 viii V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ....................................................... 35 5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 5.1.1 Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal ................................................................................... 5.1.2 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro............. 5.1.3 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Sumberejo .......... 5.2 Karakteristik Responden ....................................................................... 35 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 44 36 37 38 39 6.1 Keragaan Kelembagaan Unit Manajemen Hutan Rakyat dalam Sertifikasi PHBML ............................................................................... 44 6.1.1 Identifikasi Stakeholder, Peran, dan Hubungan Antar Stakeholder ................................................................................ 45 6.1.2 Biaya transaksi ............................................................................ 60 6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML pada Petani Hutan Rakyat ............................................................................. 62 6.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML .................................................. 67 6.3.1 Dampak Sosial pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML ....................................................................................... 67 6.3.2 Dampak Ekonomi pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML....................................................................................... 74 6.3.3 Dampak Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML ..................................................................... 85 VII. SIMPULAN DAN SARAN ... ................................................................. 92 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 95 LAMPIRAN .................................................................................................. 99 ix DAFTAR TABEL No Halaman 1. Total Hutan Sertifikasi LEI Berdasarkan Jenis Sertifikasi…………. 3 2. Unit Manajemen Hutan Rakyat Pemegang Sertifikasi PHBML…… 4 3. Skema Waktu dan Biaya pada Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary……………………………………………….. 16 4. Penelitian Mengenai Ekolabel……………………………………… 21 5. Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI………………………………………………………………….. 21 6. Penelitian Mengenai Kelembagaan………………………………… 22 7. Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan…. 23 8. Matriks Metode Analisis Data……………………………………… 31 9. Indikator Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan……………... 33 10. Karakteristik Petani Hutan Sertifikasi……………………………… 40 11. Peranan Masing-Masing Stakeholder……………………….…….. 45 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML di Tingkat Petani Hutan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2012…… 63 13. Kemauan Melakukan Sertifikasi dan Resertifikasi dengan Biaya Sendiri……………………………………………………………… 66 14. Analisis Biaya dan Manfaat Pembebanan Sertifikasi dalam 20 Tahun………………………………………………………………. 83 16. Dampak Lingkungan Akibat Pengembangan Hutan pada Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi…………………………... 86 17. Perubahan Pengelolaan Hutan Rakyat Sebelum dan Sesudah Sertifikasi…………………………………………………………… 90 x DAFTAR GAMBAR No Halaman 1. Kerangka Alur Pemikiran…………………………………. 28 2. Sketsa Sistem Tumpangsari di Ladang……………………… 42 3. Sketsa Penanaman di Pekarangan…………………………… 43 4. Hubungan Antar Stakeholder………………………………… 49 5. Pertemuan Rutin Per 35 Hari (Selapan) yang Diadakan oleh FKPS Sumberejo…………………………………………… 53 6. Bentuk Organisasi FKPS…………………………………… 57 7. Bentuk Organisasi PPHR…………………………………… 57 8. Hasil Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Dibuat oleh PetaniPetani Unit Manajemen Hutan Rakyat……………………… 9. Perbandingan Mekanisme Perdagangan Konvensional dan Sertifikasi…………………………………………………… 10. 73 80 (a) Hutan Rakyat FKPS Sumberejo (b) Sumber Air di Pemukiman Warga FKPS Sumberejo………………………… 87 xi DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Kelembagaan Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi… 100 2. Dampak Sosial Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit 102 Manajemen Tersertifikasi…………………………………………… 3. Kriteria Penguatan Kelembagaan sebagai Dampak Sosial Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat 104 Tersertifikasi……................................................................................ 4. Dampak Ekonomi Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit 106 Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi…………………………… 5. Perhitungan Penggunaan Lahan, Jumlah Kayu, dan Pendapatan…… 109 6. Cashflow Skenario 1………………………………………………... 111 7. Cashflow Skenario 2………………………………………………... 113 8. Dokumentasi Penelitian …………………………………………..... 115 xii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang melimpah khususnya disektor kehutanan. Hutan Indonesia merupakan hutan tropis ketiga terluas di dunia dan menempati urutan kedua ditingkat keanekaragaman hayati (Forest Watch Indonesia, 2011). Jumlah luas daratan kawasan hutan di Indonesia sampai periode November 2011 mencapai 130.609.014,98 ha (Kementerian Kehutanan, 2011). Potensi sektor kehutanan menjadikan sektor non-migas ini sebagai salah satu pemasok bahan baku perindustrian. Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009), kayu hutan rakyat menjadi bahan baku kelompok industri pengolahan hulu dan hilir. Industri hulu yang terdiri dari industri saw-mill, plywoodmill, particle board, dan medium density fiber board dan industri hilir yang terdiri dari industri wood-working atau penghasil produk kayu dan industri furnitur memerlukan pasokan kayu lebih dari satu juta kubik pertahun. Departemen Perindustrian juga memaparkan, kecenderungan yang terjadi saat ini adalah kayu industri hilir diperoleh dari industri hulu dengan melibatkan keberadaan hutan rakyat dan hutan tanaman industri. Peran kayu non hutan alam, yakni dari hutan rakyat dan hutan tanaman industri, dalam perindustrian berkembang pesat mengingat semakin terbatasnya pasokan kayu yang diperoleh dari hutan alam. Litbang Kehutanan (2009) bahkan menyatakan bahwa hutan tanaman, salah satunya hutan rakyat, akan menjadi sumber bahan baku industri perkayuan di masa depan karena potensi dan ketergantungan pada hutan alam semakin menurun. Potensi sektor kehutanan sebagai penyedia bahan baku industri pengolahan kayu menciptakan peluang pasar yang besar. Namun dilain hal, peluang pasar ini terancam dengan adanya pemboikotan terhadap kayu tropis dan tuntutan ekolabel dari lembaga pecinta lingkungan yang mempengaruhi pembeli-pembeli di negara importir (Departemen Perindustrian, 2009). Ekolabel ini timbul akibat keprihatinan negara maju akan kondisi industri kayu tropis dan adanya deforestasi yang terjadi di negaranegara tropis. Keprihatinan ini menimbulkan penggunaan peraturan perdagangan internasional untuk mempengaruhi proses produksi agar lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan (Wie, no date). Ekolabel sektor kehutanan yang merupakan bentuk dari non-tariff barrier menjadi fokus utama dari kekhawatiran para eksportir disamping tariff barrier. Perjanjian bilateral maupun multilateral telah membawa perubahan dalam penurunan tariff rates, tetapi hingga saat ini terjadi perkembangan pesat dalam pemberlakuan berbagai macam jenis non-tariff barrier yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan eksportir negara berkembang (Alavi, 2007). Menanggapi timbulnya permintaan akan ekolabel sektor kehutanan, dibentuklah Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), yakni lembaga independen yang berwenang menetapkan standar sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia. Sampai Februari 2011, luas hutan yang sudah tersertifikasi LEI mencapai 1.072.524 ha, 25.170 ha diantaranya adalah hutan rakyat yang sudah memperoleh sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Total hutan yang sudah 2 disertifikasi LEI yang diklasifikasikan berdasarkan jenis sertifikasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Total Hutan Sertifikasi LEI berdasarkan Jenis Sertifikasi Jenis Sertifikasi Jumlah Unit Manajemen (unit) Luas Area (ha) PHAPL (Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari) 502.649 03 PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari) 025.170 12 PHTL (Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari) 544.705 03 - 06 1.072.524 24 CoC (Chain of Custody) Total Sumber: LEI (no date) Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa unit manajemen pemegang sertifikasi paling banyak didominasi oleh pemegang sertifikasi PHBML yang merupakan sertifikasi yang diberikan kepada masyarakat pemilik hutan rakyat atas usahanya dalam mengelola hutan secara lestari. Hal ini merupakan terobosan baru yang membuktikan bahwa sektor hutan rakyat ternyata mampu mengelola hutan secara lestari. Wonogiri yang merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah ini memiliki 15.320 ha hutan rakyat, dimana 21,16% hutan rakyat tersebut sudah tersertifikasi (LEI, no date). Daftar unit manajemen hutan rakyat beserta dengan luas area tersertifikasi, lokasi dan badan sertifikasi ditunjukkan lebih detail pada Tabel 2. Penting untuk diketahui bahwa PHBML yang diperoleh ketiga unit manajemen hutan rakyat di Wonogiri merupakan sertifikasi yang didanai oleh 3 lembaga donor. Saat ini, biaya terkait dengan sertifikasi sepenuhnya ditanggung oleh lembaga donor, sehingga unit manajemen hutan rakyat maupun petani hutan tidak membayar sama sekali untuk pengajuan sertifikasi. Dana yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi PHBML tidak hanya mencakup dana pengajuan sertifikasi saja tetapi juga mencakup dana surveillance dan dana tambahan lain yakni dana persiapan menuju pengajuan sertifikasi. Tabel 2. Unit Manajemen Hutan Rakyat Pemegang Sertifikasi PHBML No Unit Manajemen Area Tersertifikasi (ha) Lokasi Badan Sertifikasi 1 UM (Unit Manajemen) Hutan Adat Panjae Menua Sungai Utik 9.545 Kapuas Hulu, Kalimantan Barat PT. Mutu Agung Lestari 2 GOPHR (Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Rakyat) Wono Lestari Makmur 1.179 Sukoharjo, Jawa Tengah PT. Mutu Agung Lestari 3 UMHR (Unit Manajemen Hutan Rakyat) WARAS 1.404 Sragen, Jawa Tengah PT. Mutu Agung Lestari 4 UMHR Argo Bancak 0.600 Magetan, Jawa Timur PT. Mutu Agung Lestari 5 UMHR Gerbang Lestari 2.889 Bangkalan, Jawa Timur PT. Mutu Agung Lestari 6 UMHR Alas Makmur 0.995 Probolinggo, Jawa PT. Mutu Agung Timur Lestari 7 UMHR Wana Lestari 3.427 Lumajang, Jawa Timur 8 UMHR Rimbasari 1.073 Pacitan, Jawa Timur PT. Mutu Agung Lestari PT. Mutu Agung Lestari 9 FKPS (Forum Komunikasi Petani Sertifikasi) Selopuro 262 Wonogiri, Jawa Tengah PT. Mutu Agung Lestari 10 FKPS Desa Sumberejo 547 Wonogiri, Jawa Tengah PT. Mutu Agung Lestari 11 PPHR (Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat) Catur Giri Manunggal 2.434 Wonogiri, Jawa Tengah PT. Mutu Agung Lestari 12 Koperasi Wana Manunggal Lestari, Gunung Kidul 0.815 Gunung Kidul, D.I PT. TUV Yogyakarta Rheinland Sumber: LEI (no date) 4 Menurut Alavi (2007), jika harus membayar maka biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi kayu sangat tinggi dan mengkonsumsi waktu banyak (time consuming). Terlebih lagi adanya keberadaan biaya untuk menyesuaikan sistem operasi unit manajemen agar sesuai dengan skema sustainable forest management. Namun dilain hal adanya sertifikasi diklaim dapat memberikan dampak-dampak diantaranya adanya premium price, penetrasi di pasar baru, eksistensi di pasar lama dan dampak-dampak ekonomi, sosial dan lingkungan lainnya (Simula et al, 2005). Oleh karena itu, penting untuk diteliti keragaan pelaksanaan sertifikasi hutan rakyat baik dari aspek kelembagaan maupun dampak-dampak yang dirasakan oleh petani hutan rakyat untuk mengetahui prospek masa depan dari sertifikasi PHBML jika di masa mendatang sertifikasi ini bersifat wajib (mandatory) dan harus dilakukan dengan biaya sendiri. 1.2 Perumusan Masalah Pengembangan hutan rakyat secara lestari yang dilakukan oleh petani hutan Kabupaten Wonogiri berhasil mengantarkan para petani dalam memperoleh sertifikasi PHBML. Keberhasilan diperolehnya sertifikasi PHBML tidak lepas dari bantuan lembaga donor dan juga bantuan dari LSM Persepsi dalam mendampingi petani hutan rakyat selama sertifikasi. Keterlibatan multistakeholder dan peranan kelembagaan unit manajemen hutan rakyat menentukan keberhasilan diperolehnya sertifikasi PHBML mengingat beban biaya yang harus ditanggung dan keharusan petani hutan rakyat untuk mengajukan sertifikasi secara kolektif karena ada persyaratan minimum luas lahan dan rumitnya dokumen-dokumen administrasi yang 5 harus dilengkapi. Oleh karena itu penting untuk diteliti keragaan dan peran kelembagaan unit manajemen hutan rakyat selama proses sertifikasi untuk melihat secara detail proses sertifikasi yang telah dilakukan ditinjau dari aspek kelembagaannya. Program sertifikasi FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo merupakan pilot project sertifikasi hutan rakyat, sedangkan program sertifikasi di PPHR Catur Giri Manunggal bukan program sertifikasi pilot project tetapi pelaksanaannya didanai oleh lembaga donor. Program-program sertifikasi yang dilaksanakan berimplikasi pada tidak adanya pembebanan biaya terhadap petani hutan rakyat tetapi perlu diketahui motivasi petani hutan dalam mengikuti program sertifikasi. Oleh karena itu, faktorfaktor yang memotivasi petani hutan dalam mengikuti sertifikasi akan diteliti dalam penelitian ini. Kondisi sertifikasi PHBML saat ini merupakan bantuan dan pemberian bantuan ini menurut pihak LEI bertujuan untuk mendorong percepatan munculnya kesadaran pengelolaan hutan secara lestari dan diharapkan di masa mendatang unit manajemen hutan rakyat dan petani hutan bisa lebih mandiri dalam hal pendanaan sertifikasi selanjutnya. Diperolehnya sertifikasi PHBML diharapkan dapat memberikan dampak, baik dari aspek ekonomi seperti premium price, peningkatan posisi tawar serta dampak sosial, dan lingkungan, bagi petani hutan. Dampak yang saat ini dirasakan oleh petani hutan perlu dijadikan acuan jika di masa mendatang sertifikasi dilaksanakan secara mandatory dan dengan menggunakan biaya sendiri hal ini tentunya akan membebani petani hutan rakyat mengingat biaya sertifikasi yang mahal. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh petani hutan rakyat setidaknya harus 6 mampu menutupi biaya sertifikasi yang dikeluarkan. Komparasi biaya dan manfaat ini diteliti melalui identifikasi dampak yang mencakup dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Berdasarkan dari penjabaran di atas, beberapa masalah yang harus diteliti terkait dengan penerapan sertifikasi PHBML adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keragaan dan peran kelembagaan unit manajemen hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri selama sertifikasi PHBML? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi petani hutan rakyat Kabupaten Wonogiri melakukan sertifikasi PHBML? 3. Dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan apa saja yang dirasakan oleh petani hutan dengan penerapan sertifikasi PHBML? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi keragaan kelembagaan unit manajemen hutan rakyat Kabupaten Wonogiri selama proses sertifikasi berlangsung. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML pada petani hutan rakyat Kabupaten Wonogiri. 3. Mengidentifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada petani hutan dengan penerapan sertifikasi PHBML. 7 1.4 Manfaat Penelitian Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keragaan pelaksanaan sertifikasi baik dari aspek kelembagaan maupun dampak bagi petani hutan sebagai acuan untuk pelaksanaan kebijakan sertifikasi yang lebih tepat. Untuk stakeholder yang terkait dengan sertifikasi, yakni LEI dan lembaga pendamping petani hutan, LSM Persepsi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi untuk perbaikan dari sistem sertifikasi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian ekolabel sektor kehutanan selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian mengenai dampak sertifikasi PHBML dibatasi di tiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi Kabupaten Wonogiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML dibatasi pada identifikasi alasan keikutsertaan dalam program sertifikasi PHBML yang didampingi oleh LSM Persepsi. Dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang diteliti dibatasi berdasarkan kondisi aktual yang dirasakan oleh masyarakat terhadap indikator-indikator dari studi pustaka. Dampak ekonomi secara kuantitatif diteliti dengan melakukan analisis biaya manfaat yang dibatasi beberapa asumsi, diantaranya adalah perhitungan dilakukan dalam periode 20 tahun dengan mempertimbangkan umur ekonomis jati yang merupakan tanaman dominan pertama dan dengan mengasumsikan tanaman mahoni yang merupakan tanaman dominan kedua juga memiliki umur ekonomis yang sama, tanaman kayu diasumsikan ditebang habis pada tahun ke-20, biaya investasi berupa biaya lahan tidak dihitung dengan pertimbangan lahan hutan rakyat yang 8 dikembangkan merupakan warisan, perhitungan dilakukan dengan menggunakan tingkat suku bunga deposito sebesar 5,75%, dan dua tipe lahan hutan dan pola penanaman dipertimbangkan dalam perhitungan. Dua tipe lahan hutan rakyat yang dipertimbangkan dalam perhitungan adalah lahan hutan rakyat tipe pekarangan dan ladang. Pola penanaman yang juga menjadi pertimbangan dalam perhitungan adalah pola kayu dan pola tumpangsari dengan proporsi penerapan pola penanaman 60% banding 40%. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat, Potensi, dan Peranannya Berdasarkan Permenhut P. 3/ Menhut-II/ 2011, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Menurut Hinrich et al (2008), dalam arti luas, hutan rakyat meliputi jaminan atas akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan untuk penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dimana mereka tergantung terhadap hutan rakyat tersebut secara ekonomi, sosial, kultural, dan spiritual. Hutan rakyat memiliki potensi yang sangat besar ditinjau dari segi populasi pohon dan jumlah rumah tangga yang mengusahakannya. Potensi hutan rakyat yang besar ini mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Potensi hutan secara nyata telah merangsang timbulnya aktivitas lanjutan seperti usaha-usaha yang termasuk dalam backward dan forward linkage (Darusman dan Hardjanto, 2006). Masyarakat sendiri sudah mulai sadar akan manfaat hutan sehingga setelah penebangan selalu dilakukan peremajaan dan luas hutan rakyat tetap dipertahankan bahwa dapat bertambah (Sukadaryati, 2006). Ditinjau dari aspek peranannya dalam segi ekonomi, menurut Sukadaryati (2006), hutan rakyat sudah lama dan terus berkembang di masyarakat mampu memberikan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Selain sebagai investasi, hutan juga dapat memberikan tambahan penghasilan yang bisa diandalkan. Adanya hutan rakyat bahkan mampu membuat masyarakat memenuhi kebutuhan untuk bahan bangunan dan mebel dan juga untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Sampai saat ini, menurut Darusman dan Hardjanto (2006), hutan rakyat diusahakan oleh masyarakat pedesaan sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa. Hutan rakyat berkontribusi bagi pendapatan sampingan dan insidental petani karena pengusahaannya termasuk dalam jenis usaha sambilan. Selain memberikan kontribusi bagi pemilik lahan, pada subsistem produksi dan pengolahan hutan rakyat mampu memberikan kontribusi kepada non-pemilik lahan misalnya buruh atau tenaga kerja lainnya. Disamping itu, hutan rakyat juga berperan dalam memberikan lapangan kerja bagi tenaga kerja produktif, menstimulir usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan meminimalisir dampak dari krisis ekonomi. 2.2 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Kaitannya dengan Sustainable Forest Management (SFM) Menurut Hinrich et al (2008), PHBM adalah suatu pendekatan pengelolaan hutan dimana kontrol dipegang oleh masyarakat setempat. Pengembangan PHBM di lahan-lahan milik swasta, misalnya di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara, merupakan contoh yang bagus dari PHBM. Para petani, sebagai pembuat keputusan puncak memiliki kontrol sepenuhnya atas sumberdaya hutan-hutan yang mereka miliki dengan dibina oleh asosiasi-asosiasi di tingkat dusun atau yang lebih tinggi. Pihak-pihak lain dilibatkan sebagai mitra pendukung. Pengertian lain mengenai PHBM adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan kolaborasi yang 11 bersinergi dalam upaya mencapai keberlanjutan dalam mencapai fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal (CIFOR, no date). Menurut Suharti (no date), konsep PHBM ini mengacu pada tiga prinsip yakni masyarakat lokal harus diikutsertakan dalam aktivitas pengelolaan hutan, masyarakat lokal mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengelolaan hugan, dan tidak ada keharusan untuk secara aktif melibatkan masyarakat dalam pemilihan aktivitas mana yang akan dikembangkan. Sejauh ini program PHBM berhasil membuat perubahan bahwa masyarakat lokal juga mempunyai hak untuk terlibat dalam aktivitas pengelolaan hutan. Terlebih lagi partisipasi masyarakat secara aktif dalam pengelolaan hutan mempunyai peranan penting dalam menentukan kesuksesan sustainable forest management atau pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pengetahuan dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang awalnya diabaikan mulai diperhatikan karena kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat sangat berharga dan berguna dalam pengelolaan hutan. Kegagalan pengelolaan hutan berkelanjutan dari program-program PHBM yang telah dilaksanakan terjadi karena tidak tepatnya metode pendekatan yang dilakukan. Metode yang lebih tepat untuk merangsang keterlibatan masyarakat lokal dalam program PHBM adalah metode PRA (Participation Rural Appraisal) yang menggabungkan metode top-down dan bottom-up. Penggunaan metode ini akan menstimulasi keaktifan masyarakat dalam pelaksanaan PHBM sehingga masyarakat bisa lebih berperan aktif dalam menggunakan kearifan lokal yang dimilikinya saat berpartisipasi dalam program pengelolaan hutan yang diimplementasikan oleh pemerintah (Suharti, no date) 12 2.3 Ekolabeling Menurut Arief (2001), ekolabeling adalah cara untuk memberikan informasi kepada konsumen atas produk kayu hasil hutan dan olahan yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Label dapat dijadikan sebagai bukti pengesahan (seal of approval) bahwa produk tersebut telah memenuhi kriteria lingkungan yang dipersyaratkan. Pada dasarnya, ekolabel mempunyai komponen yang meliputi sertifikasi, sehingga diharapkan dapat mempunyai akses pasar yang tinggi atau dapat bersaing. Meskipun label bukan merupakan standar produk yang berhubungan dengan harga, tapi merupakan standar untuk mampu memasuki segmen pasar dunia karena saat ini konsumen (negara) telah mempunyai sifat kritis terhadap permasalahan lingkungan. Pada Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi (1995), ekolabel adalah pemberian atribut lingkungan terhadap produk, baik kayu maupun non kayu, yang dikehendaki oleh konsumen pengguna produk tersebut. Pada prinsipnya, ekolabel menghendaki berlangsungnya pengelolaan hutan produksi secara lestari. Menurut OEDC (1996) dalam Elliot (2000), ekolabel adalah kelengkapan penyediaan informasi mengenai karakteristik produk yang terkait dengan lingkungan. Ekolabel ini memungkinkan memberi informasi lebih dalam keputusan pembelian konsumen dan untuk membedakan produk dan menciptakan pasar untuk produk yang berbeda. Penerapan ekolabel memiliki beberapa tujuan. Menurut Arief (2001) tujuan ekolabel adalah meningkatkan kepedulian konsumen terhadap hubungan antara industri dan lingkungan hidup, meningkatkan keyakinan dan penerimaan konsumen, memodifikasi perilaku konsumen, meningkatkan kualitas lingkungan global, 13 meningkatkan pangsa pasar, menyediakan segmentasi produk, menyediakan tujuan audit terhadap pelaksanaan manajemen hutan dan menunjukkan bahwa manajemen hutan mengandung unsur-unsur pelestarian, ekonomi, ekologi, dan sosial. Menurut LEI sebagai pengembang standar sertifikasi di Indonesia, ekolabel dalam bentuk sertifikasi PHBML bertujuan sebagai bentuk pengakuan pasar terhadap usaha pelestarian pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Ada beberapa landasan dalam pelabelan produk kayu. Menurut Abidin (1995) landasan pelabelan diidentifikasi dalam lima unsur utama, diantaranya adalah kepastian ditaatinya jatah tebang hutan lestari, kepastian pulihnya tegakan secara alami atau dengan bantuan permudaan alam dan buatan, kepastian terpeliharanya keanekaragaman hayati, kepastian terpeliharanya kualitas air, tanah, dan udara dan kepastian terpeliharanya peri kehidupan dan budaya masyarakat setempat. Landasanlandasan ini tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang diimplementasikan dalam proses penilaian sertifikasi. Jenis-Jenis Ekolabel Sektor Kehutanan 2.3.1 Ada beberapa jenis skema sertifikasi yang berlaku, diantaranya adalah Certfor (Chile), Cerflor (Brazil), CSA (Kanada), MTCC (Malaysia), AFS (Australia), SFI (Amerika), ATFS (Amerika), FSC (Eropa), PEFC (Eropa), dan LEI (Indonesia) sedangkan beberapa skema sertifikasi di Afrika kurang berkembang dan kebanyakan berada dalam naungan PEFC maupun FSC (Alavi, 2007). Ekolabeling sendiri dapat bersifat mandatory ekolabeling yang maupun bersifat voluntary. wajib dan Mandatory di Indonesia ecolabeling sedang merupakan direncanakan 14 implementasinya oleh Kementerian Kehutanan dalam P. 68/ Menhut-II/ 2011 melalui implementasi Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Voluntary ecolabeling merupakan ekolabel yang bersifat sukarela dan dikembangkan melalui lembaga independen. Sertifikasi voluntary ini telah diakui keabsahannya dalam skema sertifikasi mandatory (Zakiya, 2012). Pemegang sertifikasi voluntary (misalnya PHBML) tidak perlu mengikuti sertifikasi mandatory. Dalam penelitian kali ini, skema sertifikasi yang digunakan adalah sertifikasi yang dikembangkan oleh lembaga independen dari Indonesia yakni LEI. Menurut LEI (no date), sertifikasi LEI yang berlaku di Indonesia adalah sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL), sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL), sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), sertifikasi lacak balak, dan sertifikasi bertahap. Hutan rakyat yang berekolabel dengan skema sertifikasi LEI akan mendapatkan sertifikasi PHBML. Standar sertifikasi LEI ini merupakan kerangka penilaian sertifikasi PHBML dan menjadi acuan bagi unit manajemen dalam melaksanakan PHBML. PHBML ini diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun individual berskala kecil sampai sedang, yang dilakukan secara lestari. Secara umum, prosedur sertifikasi LEI terdiri dari prapenilaian lapangan, penilaian lapangan, evaluasi kinerja dan pengambilan keputusan sertifikasi, penetapan keputusan sertifikasi, penilikan, dan penyelesaian keberatan atas keputusan sertifikasi. Proses pengajuan sertifikasi hutan rakyat, hutan adat, dan jenis-jenis 15 pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus dilakukan dengan menyiapkan Standar LEI 5000: 3 yakni standar untuk sertifikasi PHBML. Dalam sistem pengajuan sertifikasi PHBML terdapat tiga skema yakni 1) skema sertifikasi dengan penilaian lapangan oleh pihak ketiga, 2) skema sertifikasi dengan pengakuan atas klaim, dan 3) skema sertifikasi khusus untuk hutan adat. Sertifikasi PHBML yang diperoleh berlaku selama 15 tahun dengan ketentuan minimum tiga kali surveillance atau lima tahun sekali dalam jangka waktu 15 tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut ada minimum tiga biaya yang harus ditanggung untuk memperoleh sertifikasi PHBML, yakni biaya persiapan, biaya penilaian sertifikasi, dan biaya surveillance. Dalam hal jangka waktu berlakunya sertifikasi dan jangka waktu surveillance terdapat perbedaan antara sertifikasi yang bersifat mandatory (dalam hal ini SVLK) dan sertifikasi yang bersifat voluntary (dalam hal ini sertifikasi PHBML). Skema waktu dan biaya sertifikasi mandatory dan voluntary dijelaskan secara detail pada Tabel 3. Tabel 3. Skema Waktu dan Biaya pada Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary Voluntary Hutan Rakyat (PHBML) Mandatory Hutan Rakyat (SVLK) Tahapan Kisaran Biaya Masa Berlaku Kisaran Biaya Masa Berlaku Persiapan Rp 120.000.000 sampai dengan Rp 150.000.000 Sebelum pengajuan sertifikasi Rp 60.000.000 Sebelum pengajuan sertifikasi Penilaian Rp 35.000.000 Valid 15 tahun Rp 30.000.000 Valid tiga tahun Surveillance Rp 20.000.000 sampai dengan Rp 25.000.000 Setiap lima tahun sekali Rp 15.000.000 sampai dengan Rp 20.000.000 Setiap satu tahun sekali Sumber: Wawancara dengan Narasumber LEI 16 Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa untuk sertifikasi secara voluntary di hutan rakyat total biaya yang harus dikeluarkan berkisar antara Rp 180.000.000 sampai Rp 200.000.000 dan valid untuk jangka waktu 15 tahun. Untuk sertifikasi secara mandatory, dalam hal ini SVLK, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp 105.000.000 sampai Rp 110.000.000 dan valid untuk jangka waktu 3 tahun. Implikasi pembebanan biaya sertifikasi, baik sertifikasi voluntary dan mandatory, akan digambarkan dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis biaya manfaat. 2.3.2 Pokok-Pokok Informasi dalam Produk dengan Ekolabel Informasi dalam produk dengan ekolabel yang harus diberikan kepada konsumen meliputi penjelasan mengenai tata cara pengambilan bahan baku, pengangkutan ke lokasi industri, proses dalam pabrik, pemakaian produk, dan proses pengolahan limbah secara keseluruhan harus ramah lingkungan atau tidak mencemari lingkungan. Berbeda dengan pelabelan produk lainnya, umumnya memberi keterangan tentang bahan yang dipakai (ingridients), petunjuk cara pemakaiannya atau sifat produknya, misalnya sifat mudah melapuk (biodegradable) atau aman bagi kesehatan (Arief, 2001). Jika yang disertifikasi adalah hutan, misalnya suatu hutan rakyat sudah mendapatkan sertifikasi PHBML maka informasi sertifikasi ditampilkan dalam bentuk sertifikat. 2.3.3 Ekolabel Sektor Kehutanan sebagai Non-Tariff Barrier Dalam perdagangan internasional, penggunaan tariff barrier semakin menurun, hal ini ditandai dengan semakin menurunnya tariff rates yang diberlakukan dalam perdagangan antarnegara. Meskipun pada beberapa negara tariff rates masih 17 cukup tinggi tetapi tariff barrier tidak menjadi fokus utama lagi. Dilain hal terjadi peningkatan penggunaan non tariff barrier dimana pada produk kayu dan produk berbasis kayu diberlakukan adanya phytosanitary, restriksi kuantitatif, dan sertifikasi. Persyaratan sertifikasi ekolabel berpotensi menjadi hambatan perdagangan terutama jika masing-masing negara memberlakukan spesifikasi dan standar yang berbedabeda. Pada beberapa bukti mengkonfirmasi bahwa skema sertifikasi juga digunakan sebagai alat proteksi perdagangan pada beberapa negara (Alavi, 2007). Disamping itu, menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009), adanya tuntutan sertifikasi ekolabel menjadi hambatan non tarif yang termasuk dalam permasalahan utama industri furnitur. Industri furnitur (kayu) Indonesia disinyalir menggunakan bahan baku ilegal dengan harga relatif murah sehingga beberapa negara tujuan ekspor menuntut adanya sertifikasi ekolabel bagi produk-produk furnitur Indonesia. 2.4 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Simula et al (2005) mengemukakan bahwa dari adanya sertifikasi dapat memberikan manfaat ekonomi yang termasuk dalam manfaat langsung dan manfaat sosial dan lingkungan yang termasuk dalam manfaat tidak langsung non-monetary. Adanya sertifikasi dapat memberi dampak pada tambahan manfaat langsung finansial, yakni adanya premium price dan adanya tambahan volume penjualan. Dampak sertifikasi pada manfaat ekonomi tidak langsung adalah adanya penurunan biaya akibat dari efisiensi produksi dan menghindarkan dari kerugian pendapatan penjualan ke pasar yang mewajibkan adanya sertifikasi. Manfaat lingkungan 18 diperoleh dari berkembangnya mitigasi dari efek lingkungan dari pemanfaatan hutan dan adanya peningkatan pengukuran dari konservasi biodiversitas, fungsi ekologis, seperti tanah dan air. Selain itu, manfaat sosial dari adanya sertifikasi ini salah satunya adalah adanya klarifikasi dari land right dan resolusi konflik. 2.5 Kelembagaan Menurut Djogo et al (2003), secara umum kelembagaan adalah pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik, aturan formal dan informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Beberapa unsur penting dari kelembagaan diantaranya adalah institusi, norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur, peraturan dan penegakan aturan, aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak, dan kewajiban anggota, kode etik, kontrak, pasar, hak milik (property rights atau tenureship), organisasi, serta insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Kelembagaan yang dikembangkan oleh petani Wonogiri merupakan kelembagaan yang menerapkan sistem penanaman agroforestri dimana pola penanaman tanamannya terdiri dari tanaman hutan atau tanaman kayu dan tanaman 19 pangan misalnya tanaman semusim. Menurut Djogo et al (2003), pengembangan kelembagaan ini dapat terjamin jika ada insentif bagi orang atau organisasi untuk melaksanakannya, sasaran pengembangan: siapakah yang diuntungkan, ada keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi, kepemilikan dan akses atas sumberdaya terjamin, ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik serta ada aturan yang ditegakkan dan ditaati. Menurut Hindra (2006), untuk menjamin kelestarian hutan rakyat, diperlukan penguatan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga terbentuk adanya aturan internal yang mengatur sistem penebangan yang disepakati oleh setiap anggotanya. Dalam rangka penguatan kelembagaan hutan rakyat, tahapan yang harus dilalui adalah identifikasi kelembagaan, aturan dan kesepakatan, pengembangan rencana aksi, dan monitoring dan evaluasi partisipatif. 2.6 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian yang dijadikan sebagai referensi dalam mengidentifikasi dampak penerapan ekolabel hutan rakyat ini yaitu penelitian mengenai ekolabel; sertifikasi PHBML; kelembagaan; dan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. 2.6.1 Penelitian Mengenai Ekolabel Penelitian mengenai ekolabel yang dijadikan referensi dalam tinjauan pustaka adalah penelitian yang dilakukan oleh Hussain (2000) dan Swallow dan Sedjo (2002). Hasil penelitian ditunjukkan pada Tabel 4. 20 Tabel 4. Penelitian Mengenai Ekolabel No Peneliti Judul Penelitian 1 Swallow dan Sedjo. Voluntary Eco-labeling and the Price Premium Untuk voluntary system, jika permintaan untuk kayu bersertifikat relatif kecil dibandingkan permintaan secara keseluruhan, jika biaya sertifikasi yang signifikan, dan jika jumlah permintaan baru diciptakan oleh sertifikasi adalah sederhana, maka pasar cenderung kurang menghasilkan harga premium untuk produk bersertifikat meskipun ada sejumlah besar dari konsumen yang bersedia untuk membayar dengan premium price. Selain itu, keberhasilan eko-label tergantung pada motivasi dari pemilik lahan hutan untuk mendukung atau menentang eko-labeling. 2 Hussain. Green Consumerism and Ecolabelling: A Strategic Behavioural Model Penelitian ini merepresentasikan sebuah model perilaku strategis dari interaksi antara dua agen, sebuah firma (perusahaan), dan konsumen di bawah kondisi informasi tidak lengkap. Skema ekolabel dapat digunakan sebagai alat untuk ameliorasi inefisiensi dalam transfer informasi. 2.6.2 Hasil Penelitian Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI Penelitian mengenai sertifikasi PHBML LEI dapat ditemukan dalam Daniyati (2009) dan Rohman (2010). Hasil penelitian mengenai sertifikasi PHBML ini ditunjukkan dalam Tabel 5. Tabel 5. Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI No Peneliti 1 Daniyati. Judul Penelitian Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Hasil Penelitian Walaupun terdapat kendala berupa tingginya biaya sertifikasi, secara keseluruhan, lebih dari 50,00% parameter keberhasilan sertifikasi telah tercapai. Meskipun parameter dari aspek ekonomi belum dapat tercapai. Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan antara hutan rakyat yang sudah tersertifikasi dan tidak ditinjau dari segi sosial dan ekonomi. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan hutan sertifikasi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak, tetapi dari segi ekologi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. 21 No Peneliti 2 Rohman. Judul Penelitian Kajian Dampak Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) terhadap Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi Kasus Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Koperasi Wana Manunggal Lestari, Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Hasil Penelitian Pemberian sertifikasi PHBML memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sebesar 1,94%, peningkatan kapasitas masyarakat sebesar 52,76%, dan peningkatan tutupan hutan sebesar 3,38%. Pemberian sertifikasi ini belum menguntungkan secara ekonomi, akan tetapi pemberian sertifikasi menguntungkan secara sosial dan lingkungan. 2.6.3 Penelitian Mengenai Kelembagaan Penelitian terdahulu mengenai kelembagaan dikemukakan oleh Hindra (2006) dan oleh Rubiyanto (2011). Hasil penelitian mengenai keragaan kelembagaan ini ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6. Penelitian Mengenai Kelembagaan No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1 Hindra. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara perorangan pada lahan miliknya sehingga tidak mengelompok, tapi menyebar. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh kelompok tani ini juga masih sangat sederhana. Untuk menjamin kelestarian hasil hutan rakyat, perlu penguatan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat. Sampai saat ini pemerintah masih memberikan peranan yang cukup tinggi terhadap hutan rakyat.Agar petani hutan rakyat tetap berkomitmen tinggi terhadap lingkungan dan hutan rakyat, petani harus didorong untuk mengikuti program sertifikasi. 2 Rubiyanto. Kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat di Desa Buniwangi, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Sukabumi Proses pengambilan keputusan di Desa Buniwangi dilakukan berdasarkan musyawarah. Pemimpin ditetapkan berdasarkan keprofesionalan yang dimiliki pemimpin tersebut. Aturan yang dibuat oleh kelompok tani bersifat tegas. Kelembagaan tani disini masihtergolong non-formal. Kapasitas kelembagaan masih terbatas dalam penyelenggaraan penyuluhan dan penyediaan bibit dan pupuk. 22 2.6.4 Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Penelitian terdahulu yang membahas dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari penerapan sertifikasi di hutan rakyat dilakukan oleh Daniyati (2009) dan analisis biaya manfaat dari penerapan sertifikasi secara umum oleh Simula et al (2005). Hasil penelitian ini ditunjukkan dalam Tabel 7. Tabel 7. Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1 Daniyati. Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Sertifikasi hutan memberikan manfaat ekonomi yang kurang signifikan. Posisi tawar petani hutan rakyat saat ini masih lemah dibandingkan dengan pihak lain karena kurangnya keahlian petani hutan dalam pengelolaan dan pemasaran kayu. Petani hutan rakyat masih berada pada ujung akhir rantai informasi pasar sehingga belum meningkatkan posisi tawarnya. Harga kayu setelah sertifikasi meningkat sekitar 7,99%22,38% sehingga menyebabkan pendapatan petani rakyat meningkat meskipun relatif kecil. Sertifikasi juga memberikan manfaat sosial dan ekologi yang cukup signifikan. Salah satu dari kendala yang dihadapi dalam sertifikasi adalah biaya sertifikasi yang tinggi. 2 Simula et al. Report on Financial Cost Benefit, Analysis of Forest Certification and Implementation of Phased Approaches. Sertifikasi dapat memberikan manfaat ekonomi langsung berupa penambahan volume penjualan akibat adanya eksistensi di pasar lama maupun penetrasi di pasar baru dan dapat memberikan premium price. Sedangkan manfaat ekonomi tidak langsungnya adalah adanya pengembangan efisiensi dalam produksi dan rantai logistik dan memperpendek rantai distribusi dengan menghindari pembayaran dari komisi yang tidak penting atau mark up. Sedangkan manfaat lingkungan diperoleh dari berkembangnya biodiversitas, fungsi ekologis dari hutan, mata air, dan lain-lain. Sedangkan manfaat sosial meliputi klarifikasi konflik dan hak kepemilikan lahan, penguatan kelembagaan, dan lain-lain. 23 2.7 Kebaruan (Novelty) dari Penelitian Kebaruan dari penelitian ini adalah identifikasi kelembagaan yang berperan selama sertifikasi; faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi; perhitungan dampak ekonomi kuantitatif melalui analisis biaya manfaat; dan identifikasi dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan berdasarkan kondisi saat ini. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menambah informasi dari penelitian yang dilakukan sebelumnya. Penelitian sebelumnya juga dilakukan di Kabupaten Wonogiri tetapi pengambilan data hanya dilakukan di dua unit manajemen sementara dalam penelitian ini dilakukan pengambilan data di tiga unit manajemen. 24 III. KERANGKA PEMIKIRAN Sektor kehutanan di Indonesia memiliki potensi yang tinggi, terutama sektor hutan rakyat. Hutan rakyat menjadi salah satu pemasok kayu yang dibutuhkan dalam industri hulu dan hilir pengolahan kayu disamping hutan tanaman industri. Namun, sektor kehutanan sangat rentan terhadap isu lingkungan karena eksploitasinya memiliki dampak langsung terhadap lingkungan hidup (Riyatno, 2004). Salah satu isu lingkungan yang berkembang di sektor kehutanan adalah isu kelestarian pengelolaan hutan. Adanya isu ini melatarbelakangi timbulnya ekolabel dimana salah satu bentuk ekolabel adalah sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Sertifikasi PHBML ini merupakan jenis sertifikasi voluntary yang diberlakukan di hutan rakyat. Pada tahun 2004 dan 2007 hutan yang dikelola oleh masyarakat atau yang disebut hutan rakyat justru mampu memperoleh sertifikasi PHBML sebagai bentuk penghargaan dalam mengelola hutan secara lestari. Hutan rakyat yang selama ini dianggap sebagai small scale forest management ternyata mampu menjadi pionir dalam memperoleh sertifikasi. Keberhasilan diperolehnya sertifikasi PHBML tentunya melibatkan peranan multistakeholder karena persyaratan sertifikasi dan proses yang rumit serta adanya beban biaya. Beban biaya yang seharusnya dikenakan saat pengajuan sertifikasi PHBML di Kabupaten Wonogiri ditanggung sepenuhnya oleh lembaga donor. Disamping itu ditemukan juga adanya bantuan pendampingan sertifikasi oleh LSM Persepsi. Indikasi peranan multistakeholder dalam proses sertifikasi PHBML dan bagaimana keragaan proses sertifikasi akan diidentifikasi dengan menggunakan analisis kelembagaan. Program pengajuan FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo merupakan bagian dari pilot project yang bertujuan untuk dijadikan contoh bagi hutan rakyat di daerah lain yang memiliki potensi untuk dikembangkan secara lestari, sedangkan untuk PPHR Catur Giri Manunggal merupakan unit manajemen hutan rakyat Kabupaten Wonogiri yang juga layak untuk mendapatkan bantuan dalam memperoleh sertifikasi PHBML. Meskipun dalam penerapan sertifikasi PHBML masyarakat tidak terbebani dengan adanya biaya sertifikasi yang harus ditanggung, tetapi motivasi dan alasan masyarakat untuk mau mengikuti program sertifikasi tetap penting untuk diteliti. Pada penelitian ini faktor-faktor yang mendasari petani hutan rakyat untuk mengikuti program sertifikasi diteliti dengan membatasi pada alasan dan motivasi keikutsertaan petani hutan yang dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Terdapat beberapa jenis biaya yang harus ditanggung dalam skema sertifikasi, diantaranya adanya biaya sertifikasi yang berlaku untuk 15 tahun dan biaya surveillance yang dibayarkan tiap lima tahun sekali selama 15 tahun. Baik biaya sertifikasi maupun biaya surveillance tidak dibayarkan oleh petani hutan dalam kondisi sertifikasi saat ini, tetapi perlu diteliti implikasi dari biaya ini apabila di masa mendatang petani harus dibebani dengan biaya-biaya ini dengan melihat komparasi biaya dan manfaatnya melalui dampak yang telah dirasakan oleh petani hutan. Dampak yang diteliti akan ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dampak ekonomi akan diteliti dengan menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan penelitian terhadap indikator dari studi 26 literatur. Dampak sosial dan lingkungan juga akan diteliti dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan penelitian terhadap indikator-indikator dari studi literatur. Hasil penelitian dari aspek kelembagaan, aspek faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML, dan aspek dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akan dianalisis sebagai bahan pertimbangan perlu atau tidaknya sertifikasi di hutan rakyat. Bagan alur kerangka pemikiran yang menjelaskan penelitian sertifikasi PHBML di hutan rakyat Kabupaten Wonogiri ini dijelaskan secara detail pada Gambar 1. 27 Potensi Hutan Rakyat Indonesia Potensi Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri Isu Kelestarian Pengelolaan Hutan Sertifikasi PHBML Kelembagaan dan Stakeholder yang Terlibat dalam Sertifikasi PHBML Dampak-Dampak Penerapan Sertifikasi PHBML Dampak Ekonomi Analisis Kelembagaan Analisis Biaya dan Manfaat Dampak Sosial Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML Dampak Lingkungan Analisis Deskriptif Kualitatif Perlu atau Tidaknya Sertifikasi di Hutan Rakyat Gambar 1. Kerangka Alur Pemikiran 28 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wonogiri, yakni di Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro, FKPS Sumberejo, dan Perkumpulan Petani Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Wonogiri memiliki tiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi dalam satu wilayah kabupaten (LEI, no date). Pertimbangan pemilihan lokasi juga didasarkan atas tahun sertifikasi yang diperoleh unit manajemen hutan rakyat, dimana FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo telah memperoleh sertifikasi PHBML pada tahun 2004, sedangkan PPHR Catur Giri Manunggal memperoleh sertifikasi PHBML pada tahun 2007. Sementara unit manajemen hutan rakyat yang ada di daerah lain baru memperoleh sertifikasi PHBML dengan skema LEI dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2011 (LEI, no date). Pengambilan data primer pada penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2012. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan meliputi: bentuk keragaan proses sertifikasi di hutan rakyat; faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML pada petani hutan rakyat; dan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi. Data primer ini diperoleh melalui wawancara mendalam pada key person dan kuesioner pada petani hutan rakyat. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data kondisi umum dan historis lokasi penelitian; data biaya pengelolaan hutan dan pendapatan; aturan-aturan tertulis mengenai pengelolaan hutan; dan struktur kelembagaan unit manajemen hutan rakyat. Data-data tersebut diperoleh dari dokumen pengajuan sertifikasi, LSM Persepsi, Tempat Pemasaran Kayu Sertifikasi (TPKS) yang berfungsi sebagai pasar dari kayu sertifikasi, dan studi literatur. 4.3 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan data dilakukan di tiga unit manajemen tersertifikasi. Pengambilan sampel pada tingkat petani hutan rakyat dilakukan secara purposive dengan jumlah sampel 30 subjek per unit manajemen tersertifikasi, dimana 30 subjek sampel ini merupakan ukuran minimum sampel yang umumnya digunakan pada penelitian sosial ekonomi. Jadi total responden petani sertifikasi adalah 90 orang. Seluruh responden yang diambil sudah merepresentasikan populasi petani hutan rakyat yang ada karena responden diambil secara proporsional berdasarkan klasifikasi luas lahan, yakni dari responden dengan lahan sempit (<1 hektar), sedang (1-3 hektar), dan luas (>3 hektar). Identifikasi kelembagaan dilakukan melalui wawancara mendalam dengan key person. Sementara identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi dan identifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada masyarakat dilakukan dengan penyebaran kuesioner pada 90 orang petani hutan sertifikasi yang tergabung dalam tiga unit manajemen sertifikasi dan analisis biaya manfaat pada unit manajemen FKPS Selopuro untuk melihat potensi beban biaya dari penerapan 30 sertifikasi. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan total sampel 90 responden. 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh pada penelitian ini diolah menggunakan analisis kelembagaan, analisis deskriptif kualitatif, dan analisis biaya dan manfaat. Pengolahan dan analisis data dimulai dengan pengelompokkan data dan pembuatan tabel sesuai keperluan. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian evaluasi penerapan ekolabel ini dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Matriks Metode Analisis Data No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1 Identifikasi keragaan kelembagaan. Wawancara mendalam (depth Analisis kelembagaan. interview) dengan key person dari masing-masing unit manajemen hutan rakyat. 2 Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML. Hasil kuesioner pada petani hutan Analisis deskriptif kualitatif. yang menjadi sampel dalam penelitian. 3 Identifikasi dampak sosial, Hasil kuesioner pada petani hutan Analisis deskriptif kualitatif ekonomi, dan lingkungan yang menjadi sampel dalam dan analisis biaya manfaat. penelitian dan wawancara sertifikasi PHBML. mendalam dengan key person. 4.4.1 Keragaan Kelembagaan Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi keragaan kelembagaan merupakan data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan key person dari masing-masing unit manajemen. Data ini diolah dengan menggunakan 31 analisis kelembagaan berdasarkan beberapa indikator keragaan kelembagaan yang diperoleh dari studi literatur. Indikator-indikator yang digunakan adalah institusi; norma tingkah laku; peraturan dan penegakan aturan/ hukum; aturan dalam masyarakat; kode etik; hak milik (property rights atau tenureship); organisasi; dan insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. 4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML adalah data primer yang diperoleh melalui pengisian kuesioner pada petani hutan mengenai alasan keikutsertaan dalam program sertifikasi PHBML. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan dan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis data hanya dilakukan dengan analisis kualitatif dan tidak menggunakan analisis ekonometrika seperti halnya analisis faktor-faktor pada umumnya karena identifikasi faktor dibatasi berdasarkan motivasi keikutsertaan petani dalam PHBML. 4.4.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dari Penerapan Sertifikasi PHBML Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan diperoleh melalui kuesioner dan wawancara mengenai dampak-dampak yang dirasakan oleh petani setelah penerapan sertifikasi dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Data primer mengenai persepsi petani hutan mengenai kondisi aktual dalam aspek dampak ekonomi kualitatif, sosial, dan lingkungan yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan indikator 32 yang diperoleh dari penelitian terdahulu. Indikator dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang digunakan dalam kuesioner dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Indikator Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Dampak Sosial 1. 2. 3. 4. 5. Klarifikasi hak milik lahan dan solusi konflik. Partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat pengelolaan hutan. Peningkatan kapasitas petani. Peningkatan peran serta dalam pengelolaan hutan lestari karena adanya peningkatan pengetahuan. Penguatan kelembagaan: Pengembangan kelembagaan hutan rakyat dan ekonomi. Dampak Ekonomi Dampak Lingkungan 1. 2. 3. 4. 5. Premium price. 1. Konservasi biodiversitas. Penambahan volume penjualan. 2. Fungsi ekologis hutan. Penetrasi ke pasar baru. 3. Sumber mata air/DAS Eksistensi di pasar lama. (fungsi hidrologis). Posisi tawar petani hutan rakyat. 6. Peningkatan pendapatan petani. 7. Memperpendek rantai distribusi. Sumber: Simula et al (2005) dan Daniyati (2009) Gambaran mengenai dampak ekonomi sertifikasi terhadap petani hutan dilakukan melalui analisis dengan menggunakan alat analisis biaya dan manfaat pada salah satu unit manajemen hutan rakyat, yakni FKPS Selopuro. Analisis ini dilakukan untuk melihat seberapa besar biaya sertifikasi berdampak terhadap manfaat dan biaya petani hutan rakyat dalam pengusahaan hutan rakyat. Analisis biaya dan manfaat ini dilakukan dengan menggunakan dua skenario, yakni tanpa biaya sertifikasi PHBML dan dengan biaya sertifikasi. Skenario pertama adalah skenario yang terjadi pada kondisi saat ini dimana sertifikasi PHBML yang diperoleh unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi dilakukan atas bantuan dana dari lembaga donor sehingga tidak ada pembebanan biaya terkait sertifikasi. Skenario kedua adalah skenario yang mungkin dihadapi oleh unit manajemen hutan rakyat jika unit manajemen harus 33 membayar sertifikasi dengan biaya sendiri. Aspek premium price tidak dimasukkan ke dalam skenario karena pada kenyataannya premium price ini sulit untuk diperoleh. Kedua skenario dihitung dalam periode 20 tahun dengan mempertimbangkan umur ekonomis berdasarkan Annual Allowable Cut (AAC) dari tanaman jati dan mahoni yang merupakan tanaman dominan. Tanaman jati dan mahoni ini akan ditebang habis pada akhir tahun ke-20. Pada saat penebangan akhir, harga kayu yang digunakan adalah harga kayu jenis UD panjang dengan diameter 25-28, dimana harga jati Rp 800.000/ pohon dan harga mahoni Rp 400.000/ pohon. Harga pembelian kayu oleh bakul di tingkat petani menggunakan harga per pohon (borongan) bukan menggunakan sistem kubikasi. Kubikasi memang dilakukan oleh bakul tetapi hal ini digunakan sebagai taksiran bakul untuk memperkirakan harga jual kembali kepada pengepul. Analisis biaya dan manfaat ini menggunakan tingkat suku bunga 5,75% yakni merupakan tingkat suku bunga deposito karena biaya pengelolaan hutan rakyat diperoleh dari modal pribadi dan tidak meminjam kepada Bank. Biaya investasi yakni berupa lahan hutan rakyat tidak diperhitungkan dalam analisis dengan mempertimbangkan lahan yang dikelola merupakan lahan warisan sehingga petani tidak melakukan pembelian lahan. Analisis ini juga dipertimbangkan dua jenis lahan hutan rakyat, yakni lahan pekarangan dan ladang, dan dua pola penanaman yang dilakukan oleh petani hutan di lahan ladang, yakni pola kayu dan pola tumpangsari antara tanaman pertanian dengan tanaman kayu sebagai tanaman tepi. Perbandingan penerapan pola kayu dengan pola tumpangsari diasumsikan sebesar 60% banding 40% dan perbandingan ini juga mempengaruhi perhitungan dalam analisis. 34 V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Penelitian mengenai ekolabel sektor kehutanan difokuskan di tiga unit manajemen hutan rakyat yang memperoleh sertifikasi PHBML dengan skema sertifikasi LEI. Ketiga unit manajemen yang diteliti berada di Kabupaten Wonogiri dan lokasinya saling berdekatan. Kondisi topografi di ketiga unit manajemen Kabupaten Wonogiri relatif sama dengan karakteristik responden yang homogen. Ketiga unit manajemen yang diteliti merupakan unit manajemen yang memperoleh sertifikasi dengan skema pendanaan dari lembaga donor. Ketiga unit manajemen ini dipilih untuk didanai berdasarkan rekomendasi dari LSM Persepsi yang melihat adanya peluang dari unit manajemen untuk memperoleh sertifikasi karena keberhasilan pengembangan hutan rakyatnya. Adapun kesuksesan pengembangan hutan rakyat di ketiga unit manajemen hutan rakyat merupakan hasil dari program penghijauan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Awalnya daerah Wonogiri dikenal sebagai daerah yang tandus. Lalu pada tahun 1965-an ada program perbaikan hutan dan alam, kemudian di tahun 1970-an terdapat program pengembangan kebun bibit desa yang diikuti dengan program dari penanaman pohon dari World Food Programme, gerakan penanaman lahan kosong untuk menanggulangi banjir di Waduk Gajah Mungkur atas anjuran pemerintah sekitar tahun 1956-1978, gerakan penanaman turus jalan dan tebang satu tanam 20 oleh Bupati Umarsono sekitar tahun 1979-1998, program Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) sekitar tahun 1999-2005-an. Lahan-lahan terlantar 35 mulai ditanami dengan jati dan mahoni. Lalu pada tahun 2002, LSM Persepsi mulai melakukan pendampingan sertifikasi di Kelurahan Selopuro dan Desa Sumberejo yang dilanjutkan dengan diperolehnya sertifikasi PHBML pada tahun 2004 untuk kedua desa tersebut. Keberhasilan pengembangan hutan rakyat tidak hanya ditemukan di kedua desa itu saja tetapi juga di Kecamatan Giriwoyo yang letaknya tidak jauh dari Kelurahan Selopuro dan Desa Sumberejo. Setelah dilakukan pendampingan dan pemberian bantuan dana oleh lembaga donor, unit manajemen hutan rakyat yang ketiga yakni PPHR Catur Giri Manunggal berhasil memperoleh pengakuan atas usaha pelestarian hutan di tahun 2007. 5.1.1 Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal Unit manajemen PPHR Catur Giri Manunggal berada di wilayah Kecamatan Giriwoyo yang memiliki 16 desa, namun hanya empat desa yang pada tahun 2006 dipilih oleh lembaga pendamping yakni LSM Persepsi untuk mengikuti sertifikasi. Keempat desa tersebut adalah Desa Sejati, Desa Guwotirto, Desa Tirtosuworo, dan Kelurahan Girikikis. Pemilihan empat desa ini dilakukan karena desa-desa tersebut berada di satu hamparan dan memiliki kondisi penutupan tajuk tanaman kayu relatif lebih rapat dibandingkan dengan 12 desa lain. Pada keempat desa yang menjadi anggota unit manajemen terdapat 43 Kelompok Pelestari Hutan Rakyat (KPHR) yang merupakan unit manajemen hutan rakyat sertifikasi di tingkat dusun yang tersebar di empat desa. Unit KPHR ini tergabung dalam Gabungan Pelestari Hutan Rakyat (GPHR) yang merupakan unit manajemen hutan rakyat sertifikasi di tingkat desa. Empat GPHR yang ada bergabung 36 dalam unit manajemen Unit manajemen hutan rakyat ini mempunyai 2.902 anggota dan luas lahan hutan rakyat 2.434,24 hektar yang terdiri dari lahan hutan pekarangan dan ladang (tegalan). Lahan hutan rakyat yang ada dirintis sejak tahun 1956 diinisiasi oleh petani hutan yang dilanjutkan dengan pengembangan kebun bibit desa oleh kepala dusun hingga pada tahun 2006 hutan rakyat yang dikembangkan sudah lestari dan akhirnya diajukan untuk memperoleh sertifikasi. Adapun tipologi PHBM pada kawasan PPHR Catur Giri Manunggal adalah PHBM pada Kawasan Budidaya NonKehutanan (KNBK) dengan orientasi usaha komersial dan dilakukan di atas lahan milik formal. 5.1.2 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro FKPS Selopuro merupakan salah satu unit manajemen hutan rakyat yang mendapatkan Sertifikasi PHBML LEI pertama di Indonesia. FKPS Selopuro berada dalam wilayah Kelurahan Selopuro yang memiliki delapan Komunitas Petani Sertifikasi (KPS) dengan jumlah anggota 682 orang dan luas lahan hutan rakyat 262,77 hektar dengan pola pengembangan hutan pada lahan pekarangan dan ladang. Selain itu di wilayah FKPS Selopuro ini juga terdapat Tempat Pemasaran Kayu Sertifikasi (TPKS) dan bengkel kerajinan tangan sertifikasi. FKPS Selopuro yang memiliki luas lahan hutan rakyat 262,77 ha ini memiliki kontur berbatu-batu yang kerap disebut dengan 'batu bertanah' dengan solum yang tipis. Kontur seperti ini juga ditemui hampir di semua wilayah lokasi penelitian. Pada tanah berkontur batu-batuan ini, hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat didominasi dengan tanaman jati dan mahoni. Keberhasilan dari 37 pengembangan hutan rakyat di daerah ini mengakibatkan munculnya sumber mata air di tengah-tengah pemukiman penduduk. Awalnya di tahun 1965 daerah Selopuro merupakan padang alang-alang dan sudah ada program perbaikan hutan dan alam melalui penghijauan dari pemerintah meskipun tidak banyak. Program pengembangan hutan dan kegigihan petani dalam menanam kayu inilah yang memperbaiki kondisi lingkungan di Kelurahan Selopuro dan juga mengantarkan Kelurahan Selopuro memperoleh sertifikasi PHBML di tahun 2004. 5.1.3 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Sumberejo FKPS Sumberejo merupakan salah satu unit manajemen hutan rakyat pertama, disamping FKPS Selopuro, yang memperoleh Sertifikasi PHBML LEI. FKPS Sumberejo terletak di Desa Sumberejo dengan luas lahan hutan 526,19 hektar dan memiliki 958 anggota yang tergabung dalam delapan Komunitas Petani Sertifikasi (KPS). FKPS Sumberejo yang letaknya bersebelahan dengan FKPS Selopuro memiliki lahan dengan kontur yang sama yakni 'batu bertanah' dengan solum tipis. Lahan-lahan yang ada diairi dengan sistem sederhana yang bersumber dari sungai dan mata air yang muncul di tengah-tengah pemukiman penduduk akibat dari pengembangan hutan rakyat yang intensif yang dilakukan sejak tahun 1967. Pada awal tahun 1970-an lahan Desa Selopuro gundul akibat eksploitasi kayu yang tidak terkontrol. Akibat keprihatinan petani akan kondisi daerahnya maka dilakukan penanaman yang dilanjutkan dengan program pembangunan kebun bibit desa, World Food Programme, dan Gerhan. Pada tahun 2002 mulai dilakukan pendampingan program sertifikasi oleh LSM setempat yakni, Persepsi. 38 5.2 Karakteristik Responden Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi yang homogen, dimana sebagian besar anggota unit manajemen bermatapencaharian sebagai petani. Penelitian ini melibatkan 90 responden petani sertifikasi terbagi dalam tiga unit manajemen hutan rakyat Kabupaten Wonogiri dan pada masing-masing unit manajemen diambil 30 responden. Karakteristik responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini secara detail ditunjukkan pada Tabel 10. Kabupaten Wonogiri merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani dengan persentase sebesar 88,89%. Petani berjenis kelamin perempuan hanya membantu melakukan kegiatan pertanian yang ringan, misalnya membantu menanam padi, sedangkan aktivitas pertanian yang berat, misalnya membajak sawah, membuka lahan, menanam pohon, dan mengangkut pohon yang dijual lebih dominan dilakukan oleh laki-laki. Responden petani berjenis kelamin laki-laki menjadi dominan akibat dari peranan laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga kepemilikan lahan hutan dan keterlibatan laki-laki dalam sektor hutan rakyat lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dari 90 responden yang menjadi sampel, hanya empat orang atau 4,44% yang berjenis kelamin perempuan, sedangkan sisanya didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yakni sebesar 86 atau 95,56%. Keempat orang responden perempuan ini merupakan pemilik lahan hutan. Satu orang diantaranya berperan dalam pengelolaan hutan tetapi tidak intensif sedangkan tiga orang lainnya berperan dalam pengelolaan hutan dengan bantuan buruh tani dan keluarga. 39 Tabel 10. Karakteristik Petani Hutan Sertifikasi Karakteristik PPHR Catur Giri Manunggal ∑ % FKPS Sumberejo FKPS Selopuro ∑ ∑ % % Total ∑ % A. Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Jumlah 27 03 30 90,00 10,00 100,00 29 01 30 96,67 03,33 100,00 30 100,00 00 000,00 30 100,00 86 95,56 4 4,44 90 100,00 B. Usia (Tahun) 1. < 30 2. 30-39 3. 40-49 4. 50-59 5. 60-69 6. 70-79 7. >79 Jumlah 00 01 06 07 10 06 00 30 00,00 03,33 20,00 23,33 33,33 20,00 00,00 100,00 00 01 05 13 04 07 00 30 00,00 03,33 16,67 43,33 13,33 23,33 00,00 100,00 00 00,00 01 03,33 05 16,67 13 43,33 10 13,33 0 0,00 1 3,33 30 100,00 0 0,00 3 3,33 16 17,78 33 36,67 24 26,67 13 14,44 1 1,11 90 100,00 C. Pendidikan 1. Tidak sekolah atau tidak Lulus 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Sarjana Jumlah 05 17 02 05 01 30 16,67 56,67 06,67 16,67 03,33 100,00 02 23 03 02 00 30 06,67 76,67 10,00 06,67 00,00 100,00 02 06,67 18 60,00 08 26,67 00 00,00 02 06,67 30 100,00 9 10,00 58 64,44 13 14,44 7 7,78 3 3,33 90 100,00 D. Jenis Pekerjaan 1. Tani 2. Guru 3. Perangkat desa 4. Lain-lain Jumlah 25 00 02 3 30 83,33 00,00 06,67 10,00 100,00 29 00 01 0 30 96,67 000,00 03,33 00,00 100,00 26 86,67 02 06,67 00 00,00 02 6,67 30 100,00 80 88,89 2 7,78 3 3,33 5 5,55 90 100,00 E. Luas Lahan 1. < 1 ha 2. 1-3 ha 3. > 3 ha Jumlah 20 09 01 30 66,67 30,00 03,33 100,00 14 13 03 30 46,67 43,33 10,00 100,00 19 63,33 11 36,67 00 00,00 30 100,00 53 58,89 33 36,67 4 4,44 90 100,00 F. Status Lahan 1. Letter C dan atau sertifikat tanah 2. Tidak ada Jumlah 30 0 30 100,00 0,00 100,00 30 0 30 100,00 0,00 100,00 30 100,00 0 0,00 30 100,00 90 100,00 0 0,00 90 100,00 G. Tanaman Kayu 1. Jati, mahoni 2. Jati, mahoni, akasia 3. Jati, mahoni, sengon 4. Jati, mahoni, sengon, akasia 5. Jenis lainnya Jumlah 03 08 04 11 04 30 10,00 26,67 13,33 36,67 13,33 100,00 03 06 02 14 05 30 10,00 20,00 06,67 46,67 16,67 100,00 12 40,00 07 23,33 01 3,33 00 0,00 10 33,33 30 100,00 18 20,00 21 23,33 7 7,78 25 27,78 19 21,11 90 100,00 40 Karakteristik kepemilikan lahan di ketiga unit manajemen hutan rakyat sertifikasi didominasi dengan lahan yang sudah memiliki kejelasan hak milik dengan luas di bawah satu hektar. Rata-rata kepemilikan lahan 0,91 ha/ orang untuk responden FKPS Selopuro, 1,46 ha/ orang untuk responden FKPS Sumberejo, dan 0,88 ha/ orang untuk responden PPHR Catur Giri Manunggal. Sempitnya kepemilikan lahan ini mengakibatkan para petani memaksimalkan lahannya untuk ditanami tanaman kayu dan palawija dengan jarak yang rapat. Sistem silvikultur yang tepat, terutama jarak tanam, juga tidak diterapkan oleh petani hutan sertifikasi karena kondisi lahan yang sempit dan kontur tanah yang berbatu-batu. Kondisi kepemilikan lahan yang kecil ini juga berakibat pada keharusan petani hutan untuk mengajukan sertifikasi secara kolektif karena ada persyaratan untuk minimum lahan untuk pengajuan sertifikasi. Karakteristik komoditas tanaman didominasi oleh tanaman semusim misalnya padi, singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Disamping palawija, para petani hutan rakyat juga menanam tanaman kayu dengan tanaman dominan jati, mahoni, sengon, akasia dengan persentase total sebesar 27,78%. Jenis tanaman lain yang juga dibudidayakan di hutan rakyat adalah jabon, sonokeling, trembesi, johar, dan kelapa tetapi tanaman yang ditanam di ketiga unit manajemen didominasi dengan tanaman jati dan mahoni yang memiliki nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lain. Preferensi petani hutan dalam pemilihan jenis tanaman kayu didasarkan pada daya jualnya yang tinggi. Hal ini terjadi karena masyarakat sangat bergantung pada hasil hutan kayu untuk memenuhi kebutuhan mendesak mereka dan menganggap kayu sebagai tabungan yang bisa diuangkan saat ada kebutuhan. 41 Penanaman tanaman kayu di ketiga unit manajemen hutan rakyat dilakukan dengan sistem tumpangsari dan sistem hutan rakyat khusus tanaman kayu. Lahan yang ditanami biasanya adalah lahan pekarangan dan ladang. Sistem tumpangsari yang dilakukan oleh petani sertifikasi ini ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3. Sumber: LSM Persepsi, 2006 Gambar 2. Sketsa Sistem Tumpangsari di Ladang Pola penanaman kayu di lahan ladang sangat bervariasi. Berdasarkan Gambar 2, pola penanaman tanaman kayu di ladang ditanam dengan menggunakan pola tumpangsari. Pada sistem tumpangsari ini tanaman kayu ditanam dengan tanaman pangan seperti singkong, kacang-kacangan, jagung, dan tanaman bawah tegakan seperti empon-empon. Ada pula sistem tumpang sari yang menanam kayu di tepi lahan sebagai pembatas. Tetapi pola penanaman kayu di lahan ladang yang paling dominan adalah penanaman kayu tanpa tanaman semusim. Berbeda dengan pola penanaman kayu di lahan ladang, pola penanaman kayu di lahan pekarangan 42 memiliki pola yang relatif sama antara petani satu dengan yang lainnya. Pola penanaman di lahan pekarangan ditunjukkan pada Gambar 3. Sumber: LSM Persepsi, 2006 Gambar 3. Sketsa Penanaman di Pekarangan Pada Gambar 3, penanaman tanaman kayu yang dilakukan di pekarangan dilakukan di sepanjang batas tanah pekarangan sebagai pagar kedua disamping pagar utama yakni pagar rumah (pagar bambu). Di samping menanam tanaman kayu, lahan pekarangan juga dipergunakan untuk menanam tanaman pangan seperti singkong dan penanaman tanaman bawah tegakan seperti empon-empon. Berdasarkan Gambar 2 dan 3, penting untuk diketahui bahwa tidak hanya hasil hutan kayu saja yang berkontribusi dalam sistem hutan rakyat, tetapi juga keberadaan tanaman semusim. Kontribusi tanaman semusim dan tanaman kayu ini diperhitungkan dalam analisis biaya dan manfaat untuk menganalisis dampak ekonomi secara kuantitatif. 43 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Keragaan Kelembagaan Unit Manajemen Hutan Rakyat dalamSertifikasi PHBML Keberadaan kelembagaan merupakan hal penting dalam proses pengajuan sertifikasi. Tanpa adanya kelembagaan yang membantu proses sertifikasi secara kolektif, tentunya petani hutan rakyat ini tidak akan mampu memperoleh sertifikasi mengingat biaya sertifikasi yang mahal dan adanya ketentuan luasan lahan minimum untuk sertifikasi. Kelembagaan yang diteliti dalam penelitian sertifikasi PHBML ini merupakan populasi dari kelembagaan sertifikasi yang ada di Kabupaten Wonogiri yang terdiri dari tiga unit manajemen hutan rakyat (Forest Management Unit/ FMU), yakni FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri Manunggal. Ketiga unit manajemen hutan rakyat ini merupakan kelompok tani hutan rakyat yang mandiri dan dibentuk dengan pendampingan oleh LSM Persepsi (Perhimpunan Studi Pengembangan Sosial dan Ekonomi) cabang Wonogiri dan resmi menjadi pemegang sertifikasi sejak tahun 2004 dan 2007. Ketiga unit manajemen hutan rakyat yang dibentuk ini berfungsi untuk mewadahi penyuluhan terkait dengan pengelolaan hutan, memperkuat posisi tawar petani dalam pemasaran kayu, sarana pembentukan modal kelompok, dan mengembangkan jaringan (networking) serta menjalin hubungan kemitraan terutama kemitraan bisnis. Fenomena mengenai kelembagaan atau stakeholder dan biaya transaksi yang ada di lapangan diidentifikasi melalui analisis kelembagaan. 44 6.1.1 Identifikasi Stakeholder, Peran, dan Hubungan Antar Stakeholder Untuk melihat bagaimana peran kelembagaan selama proses sertifikasi maka dilakukan identifikasi stakeholder-stakeholder yang memegang peranan penting dan bagaimana pengaruh stakeholder dalam sertifikasi berdasarkan pengelompokan peran stakeholder secara langsung dan tidak langsung. Selain identifikasi stakeholder, dalam analisis kelembagaan dilakukan identifikasi hubungan antar stakeholder dan kelembagaan yang ada di ketiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi. 6.1.1.1 Identifikasi Stakeholder dan Peran Dalam proses sertifikasi ada stakeholder yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh. Berdasarkan pengamatan, ada tujuh stakeholder yang ditemukan. Stakeholder-stakeholder yang terlibat dan peranan yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder dijelaskan pada Tabel 11. Tabel 11. Peranan Masing-Masing Stakeholder No Stakeholder Peranan Berperan Langsung 1 LEI A. Mengembangkan sistem sertifikasi. B. Membantu kemitraan dengan lembaga donor. 2 Lembaga donor 3 LSM Persepsi A. Mendampingi unit manajemen menuju sertifikasi dengan cara pendampingan administrasi yaitu pembuatan dokumen dan inventarisasi tegakan yang ada. B. Memberikan bantuan soft skill dalam bidang handicraft hasil hutan sertifikasi dan memberikan bantuan mesin kerajinan. C. Membentuk TPKS. 4 Ketua kelompok tani A. Memberikan pengarahan kepada anggota kelompok tani mengenai sertifikasi. B. Mengurus proses pengajuan sertifikasi. C. Mengikuti ujian sertifikasi. D. Meningkatkan bargaining position kelompok tani. Memberikan bantuan pendanaan sertifikasi. 45 No 5 Stakeholder Kelompok tani Peranan A. Sarana pengembangan dan kerjasama antar anggota kelompok tani. B. Sarana networking untuk menghubungkan petani dengan pemerintah dan institusi lain. C. Sarana pembentukan modal kelompok tani. D. Membantu kelancaran proses sertifikasi terutama di bidang administrasi sertifikat tanah dan inventarisasi tegakan. Berperan Tidak Langsung 1 Pemerintah daerah A. Membuat program sertifikat tanah massal pada tahun 1990-an dan masih berlanjut sampai sekarang. B. Memberikan legalitas atas hasil hutan kayu yang dijual oleh masyarakat melalui SKAU. C. Menetapkan peraturan-peraturan formal dalam pengelolaan hutan rakyat. D. Mewajibkan pembentukan kelompok tani. 2 Dinas Kehutanan A. Membuat program-program penghijauan. B. Membina kelompok tani sejak awal didirikan. C. Memberikan penyuluhan-penyuluhan mengenai pengembangan hutan rakyat. Berdasarkan Tabel 11 mengenai peranan masing-masing stakeholder secara keseluruhan, tujuh stakeholder yang ada dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan peranannya: 1. Stakeholder yang Berperan Langsung Dalam proses sertifikasi, stakeholder yang berperan langsung dan terjun dalam proses sertifikasi adalah LEI selaku pengembang sertifikasi dan secara teknis membantu menjalin kemitraan dengan lembaga donor, lembaga donor, LSM Persepsi selaku lembaga pendamping, ketua kelompok tani, dan kelompok tani hutan rakyat. Pada kategori ini hanya lembaga independen dan non governmental yang terlibat secara langsung dalam sertifikasi sedangkan pemerintah tidak berperan secara langsung. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan aparat pemerintah daerah akan 46 konsep sertifikasi dan dikonfirmasi oleh Petugas Kehutanan Lapang setempat yakni Bapak Wardi. "...Waktu itu saya disuruh mengutarakan sambutan (tentang sertifikasi), lah saya belum tahu apa-apa (tentang sertifikasi) kan dulu itu waktu itu, cuma saya ya mendukung 100% PHBML apalagi itu bersangkutan dengan kita langsung..." (Bapak Wardi, Petugas Kehutanan Lapang) Selain itu pemerintah tidak termasuk dalam kategori stakeholder yang berperan tidak langsung karena tidak memberikan bantuan kepada unit manajemen dalam pengajuan sertifikasi. Bantuan terkait dengan pengajuan sertifikasi ditanggung sepenuhnya oleh pihak donor. Bantuan dana dari lembaga donor kemudian disalurkan melalui LSM Persepsi sebagai lembaga pendamping unit manajemen pada saat proses sertifikasi. 2. Stakeholder yang Berperan Tidak Langsung Stakeholder yang berperan tidak langsung dalam sertifikasi adalah dinas kehutanan dan pemerintah daerah. Dinas kehutanan melalui penyuluhan dan pembinaan kelompok tani sebenarnya merupakan aktor utama yang menginisiasi pengembangan hutan. Hal ini dibuktikan dengan masuknya program-program pemerintah sejak tahun 1965-an yakni program dari World Food Programme, IDT (Inpres/ Instruksi Presiden Desa Tertinggal), Gerhan (Gerakan Penghijauan), dan lain-lain. Dari program penghijauan inilah masyarakat secara mulai menanam tanaman kayu bahkan masyarakat memilih jenis tanaman kayu yang menurut mereka memberikan manfaat ekonomi yang tinggi dan sampai saat ini tanaman kayu digunakan sebagai tabungan. Sedangkan pemerintah daerah lebih berperan dalam membantu masyarakat di sektor legalitas baik legalitas kayu maupun lahan dengan 47 adanya program sertifikasi massal di ketiga daerah tempat unit manajemen berada sejak tahun 1990-an dan masih berlanjut sampai sekarang selain itu pemerintah juga berperan dalam mendukung program-program penghijauan dinas kehutanan. Keberhasilan program pengembangan hutan dan legalitas kayu maupun lahan inilah yang sebenarnya mengantarkan dan mempermudah pengajuan proses sertifikasi. Jadi sebenarnya pemerintah melalui pemerintah desa dan dinas kehutanan mempunyai peranan dalam sertifikasi meskipun secara tidak langsung tapi pengaruhnya sangat besar. Tanpa adanya bantuan dan binaan dari pemerintah tidak mungkin unit manajemen hutan rakyat yang ada dapat memperoleh sertifikasi dengan mudah karena kejelasan batas lahan dan kelestarian hutan merupakan salah satu indikator dalam sertifikasi PHBML. 6.1.1.2 Hubungan Antar Stakeholder Hubungan antar stakeholder yang terjadi di unit manajemen hutan rakyat sertifikasi dapat dikelompokkan dalam dua level, yakni: 1. Level Penentu Kebijakan (Collective Choice Level) Pada level penentu kebijakan, stakeholder yang berperan dalam menentukan kebijakan sertifikasi melalui pengembangan standar sertifikasi adalah LEI. Sedangkan stakeholder yang berperan dalam menentukan kebijakan dalam pengelolaan hutan rakyat adalah pemerintah daerah dan dinas kehutanan. Pengelolaan hutan yang lestari tidak bisa dilakukan tanpa adanya kebijakan dari pemerintah dan dibantu dengan kebijakan yang berlaku di kelompok. 48 2. Level Operasional (Operational Level) Stakeholder yang tergolong dalam level operasional adalah stakeholder yang bertugas mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan oleh stakeholder level penentu kebijakan. Pada level operasional ini, stakeholder yang terlibat adalah ketua dan kelompok tani sertifikasi yang berperan sebagai stakeholder yang menjalankan peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah terkait dengan pengelolaan hutan. Berdasarkan dari pengelompokan di atas, hubungan antar stakeholder dalam sertifikasi ditunjukkan pada Gambar 4. LEI Pemerintah Daerah Collective Choice Level Dinas Kehutanan Lembaga Donor LSM Persepsi Operational Level Ketua Kelompok Kelompok Tani Keterangan: Garis Koordinasi Garis Koordinasi Teknis Lapangan Garis Instruksi Garis Saluran Dana/ Bantuan Gambar 4. Hubungan Antar Stakeholder 49 Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa pada level collective choice terdapat stakeholder LEI yang merupakan perumus kebijakan sertifikasi dan stakeholder pemerintah daerah dan dinas kehutanan yang merupakan perumus kebijakan pengelolaan hutan. Dalam proses sertifikasi, antara LEI dengan pemerintah dan dinas kehutanan tidak ada koordinasi langsung. Hal ini juga dikonfirmasi oleh pihak LEI. LEI hanya mengundang pemerintah dan dinas kehutanan untuk menyaksikan proses pengambilan keputusan sertifikasi. Dalam lingkup proses koordinasi dana sertifikasi, garis koordinasi ada pada stakeholder LEI dan lembaga donor, LEI dan Persepsi, lembaga donor dan Persepsi, dimana LEI membantu jalinan kerjasama lembaga internasional untuk ambil bagian menjadi menjadi donor sertifikasi pada program sertifikasi PHBML yang diajukan oleh LSM Persepsi. LSM Persepsi kemudian melakukan proses koordinasi langsung dengan pemerintah daerah dan dinas kehutanan terkait dengan perizinan dan pemberitahuan pelaksanaan program sertifikasi. LSM Persepsi juga melakukan koordinasi dan koordinasi teknis di lapangan dengan ketua kelompok terkait dengan pengajuan sertifikasi misalnya penyusunan dokumen, administrasi, dan inventarisasi tegakan maupun dalam penyaluran bantuan, misalnya pemberian bibit dan dana komisi untuk inventarisasi tegakan. Sedangkan ketua kelompok berperan menginstruksikan, membentuk koordinasi, membentuk koordinasi teknis di lapangan, dan penyaluran bantuan (bibit maupun dana dari stakeholder) kepada kelompok tani. Stakeholder lain yakni pemerintah daerah dan dinas kehutanan tidak terlibat langsung dalam sertifikasi namun stakeholder-stakeholder ini berperan dalam level collective choice dengan memberikan bantuan dan merumuskan kebijakan-kebijakan 50 terkait dengan pengelolaan hutan yang akhirnya mengakar pada peraturan-peraturan pengelolaan hutan yang ada di kelompok tani. Meskipun pemerintah dan dinas kehutanan tidak memberikan bantuan dana dalam proses sertifikasi, tetapi pemerintah dan dinas kehutanan memberikan bantuan-bantuan melalui program penghijauan, sertifikat tanah masal, dan penyuluhan yang membantu petani dalam pengembangan hutan rakyat secara lestari. 6.1.1.3 Identifikasi Kelembagaan Unit Manajemen Ketiga unit manajemen hutan rakyat sertifikasi awalnya merupakan kelompok tani biasa. Hingga akhirnya dilakukan pendampingan sertifikasi oleh LSM Persepsi dan dibentuklah organisasi swadaya mandiri yakni unit manajemen hutan rakyat. Namun sampai saat ini unit manajemen ini tidak hanya memfasilitasi penyuluhan dan pertemuan mengenai pengelolaan hutan saja, namun juga tentang pertanian, peternakan, dan sarana menyampaikan informasi-informasi penting. Ketiga unit manajemen ini tidak memiliki perbedaan kelembagaan yang signifikan. Identifikasi dari kelembagaan ketiga unit manajemen ini diperjelas melalui analisis terhadap delapan unsur kelembagaan yang ditunjukkan dalam Lampiran 1 mengenai kelembagaan tiga unit manajemen hutan rakyat sertifikasi. Berdasarkan dari indikator yang dirumuskan sebelumnya melalui studi literatur, ada delapan unsur yang diteliti dalam indentifikasi kelembagaan yakni (1) institusi, (2) norma tingkah laku, (3) peraturan dan penegakan aturan/ hukum, (4) aturan dalam masyarakat, (5) kode etik, (6) hak milik (property rights atau tenureship), (7) organisasi, dan (8) insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang 51 diinginkan. Pada unsur pertama, yakni institusi, berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan dalam Lampiran 1 diketahui bahwa unit manajemen di FKPS Selopuro dan Sumberejo mempunyai bentuk organisasi yang sama. Kedua unit manajemen hutan rakyat ini memiliki delapan Kelompok Petani Sertifikasi yang tergabung dalam satu Forum Komunikasi Petani Sertifikasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di kedua unit manajemen FKPS Selopuro dan Sumberejo, penyebaran informasi mengenai pemahaman sertifikasi di kedua unit manajemen ini juga relatif rata. Hal ini disebabkan oleh tingginya intensitas pertemuan antara LSM pendamping dengan masyarakat dan jumlah anggota yang relatif sedikit dan hanya terdiri dari satu desa. Lain halnya dengan PPHR Catur Giri Manunggal yang terdiri dari tiga desa dan satu kelurahan dengan jumlah anggota 2.902 orang. Hal ini membuat penyebaran informasi sertifikasi menjadi sulit ditambah lagi dengan rendahnya intensitas pertemuan langsung antara petani hutan dan LSM pendamping. Berdasarkan hasil penelitian, kondisi di lapangan menunjukkan ketiga unit manajemen belum optimal bahkan PPHR Catur Giri Manunggal tidak berfungsi sebagai mestinya karena pertemuan rutin yang diadakan selama tiga bulan sekali tidak berjalan, padahal skala unit manajemennya lebih luas dan pemerataan pemahaman informasi sangat rendah. Pertemuan rutin di PPHR Catur Giri Manunggal tidak berjalan karena dianggap tidak ada masalah besar yang harus diselesaikan dan dimusyawarahkan. "...Karena tidak ada masalah di kelompok dan dipandang tidak perlu mengumpulkan anggota. Namun pengurus kelompok tetap berkomunikasi mengenai perkembangan kelompok..." (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur Giri Manunggal) 52 Pada FKPS Selopuro pertemuan rutin diadakan sebulan sekali dan di FKPS Sumberejo pertemuan rutin diadakan setiap 35 hari (selapan). Pertemuan rutin di dua unit manajemen FKPS masih tetap berjalan sampai sekarang namun sertifikasi bukan merupakan topik yang prioritas dibicarakan. Hal ini disebabkan karena awalnya unit manajemen hutan rakyat ini merupakan kelompok tani biasa yang akhirnya diajukan sertifikasi sehingga masalah yang sering dibahas saat pertemuan rutin tidak hanya masalah mengenai sertifikasi, tetapi masalah mengenai subsidi pupuk dan penghimpunan modal kelompok melalui ternak seperti yang terjadi di Desa Sumberejo. Sertifikasi bukan merupakan topik yang selalu dibahas dalam pertemuan rutin karena tidak ada masalah terkait dengan sertifikasi. Gambar mengenai pertemuan rutin Desa Sumberejo ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Pertemuan Rutin per 35 Hari (Selapan) yang Diadakan oleh FKPS Sumberejo Unit manajemen seharusnya banyak membahas mengenai bagaimana caranya agar dapat menghimpun modal untuk resertifikasi dan kendala-kendala lain terkait 53 berjalannya sistem sertifikasi. Pendekatan participatory dengan melibatkan masyarakat perlu dilakukan oleh unit manajemen agar masyarakat mengetahui masalah yang dihadapi terkait dengan sertifikasi dan masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Saat masyarakat aktif berpartisipasi dalam sektor sertifikasi akan menimbulkan kesadaran dari masyarakat untuk mempertahankan dan merasa bangga dengan sertifikasi yang selama ini diperoleh. Lain halnya saat masyarakat tidak tahu menahu betapa sulitnya memperoleh sertifikasi. Unsur kelembagaan kedua yang diteliti adalah norma tingkah laku. Norma tingkah laku yang selama ini berlaku di masyarakat diadopsi untuk membuat AD/ ART dan tata kelola hutan. Sehingga ada tiga peraturan yang berlaku dalam masyarakat, yakni norma lokal, AD/ ART, dan tata kelola hutan. Sebelum berbentuk aturan tertulis seperti sekarang, masyarakat sudah memiliki norma-norma yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun. Norma-norma yang diadopsi menjadi peraturan tertulis adalah norma mengenai kewajiban penanaman setiap tahun; penanaman kembali setelah penebangan; pengaturan mengenai pengembalaan ternak agar tidak merusak tegakan; pelarangan pengambilan bibit, tegakan dan pucuk daun di luar lahan miliknya; dan lain-lain. Norma-norma yang diadopsi ini kemudian disahkan menjadi peraturan tertulis dan merupakan rules of the game yang dirumuskan dan disepakati bersama secara musyawarah. Unsur kelembagaan ketiga yang diteliti adalah peraturan dan penegakan peraturan. Pada ketiga unit manajemen sudah terdapat peraturan tertulis mengenai pengelolaan hutan yang merupakan adopsi dari norma-norma dan peraturan pengelolaan hutan yang telah berjalan sebelum sertifikasi. Penegakan peraturan di 54 ketiga unit manajemen tergolong lemah. Di unit manajemen FKPS Selopuro ada pengurus khusus yakni seksi keamanan yang bertugas mengawasi apakah ada anggota yang melanggar aturan dan pengawasan ini dibantu oleh seluruh anggota. Kalaupun ada pelanggar peraturan FKPS Selopuro, semuanya akan dilaksanakan dengan cara kekeluargaan dan tidak pernah ada sanksi yang dibebankan. Hal ini menunjukkan tidak tegasnya peraturan yang sudah dibuat dan efek jera bagi pelanggar tidak ada. Kondisi penegakan peraturan di FKPS Sumberejo sama dengan kondisi FKPS Selopuro namun pengawasan hanya dilakukan antar anggota. Lain halnya dengan PPHR Catur Giri Manunggal, unit manajemen ini memiliki wilayah keanggotaan yang lebih luas dibandingkan dua unit manajemen lainnya karena merupakan unit manajemen hutan rakyat tingkat kecamatan dengan anggota empat desa, penegakan peraturan dilakukan dengan pembebanan tugas kepada Kelompok Petani Hutan Rakyat (KPHR) sebagai pengawas penegakan peraturan di tingkat dusun. Peraturan yang pernah dilanggar oleh anggota adalah peraturan mengenai lahan tapi sanksinya tidak pernah dilaksanakan sesuai AD/ ART tetapi masalah yang ada diselesaikan secara kekeluargaan. "...Ya tidak sering sih, pernah ada (peraturan yang dilanggar) tapi bisa diselesaikan secara kekeluargaan dulu di tingkat KPHR, jadi meskipun ada permasalahan tidak sampai ke GPHR atau tidak sampai ke PPHR... Tidak ada (peraturan) yang sering dilanggar, tapi pernah ada yang melanggar tentang garis-garis batas dari hak milik, tapi tidak sampai besar, permasalahannya ya umpamanya saling berebut batas, tetapi akhirnya juga bisa diselesaikan secara damai... Sebetulnya ada (sanksi), tapi tidak pernah dilaksanakan dengan seberat seperti dicantumkan pada AD/ ART, seandainya kan nggak sampai parah gitu lho. Jadi sebelum parah, sudah diantisipasi sedini mungkin, jadi ibaratnya melanggar tidak sampai jauh, paling baru akan melanggar sudah dikasih tahu dan mereka juga sadar bahwa itu perbuatan yang tidak benar..." (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur Giri Manunggal) 55 Namun pengawasan dan penegakan peraturan di PPHR sangat lemah. PPHR mempunyai peta sengketa pengelolaan hutan lintas desa namun secara legitimate masih ada dua anggota PPHR yang menjadi responden yang memiliki konflik berebut batas dengan warga lain namun tidak terselesaikan sampai sekarang. Hal ini dikarenakan PPHR vakum atau tidak berjalan sebagaimana mestinya, Unsur kelembagaan keempat yang diteliti adalah aturan dalam masyarakat. Di ketiga unit manajemen aturan yang berlaku adalah aturan tidak tertulis yakni norma sosial dan aturan tertulis yakni AD/ ART kelompok dan aturan kelola hutan rakyat. Unsur kelembagaan kelima yang diteliti adalah kode etik. Dalam kelembagaan pengelolaan hutan rakyat di ketiga unit manajemen tidak ditemukan adanya kode etik. Unsur kelembagaan keenam yang diteliti adalah hak milik (property rights atau tenureship). Meskipun semua anggota di tiga unit manajemen yang menjadi responden sudah memiliki kejelasan hak milik lahan atau tenureship secara legal tetapi secara legitimate masih ada anggota yang mengalami konflik berebut batas. Kejelasan status hak milik lahan anggota ini akibat adanya program sertifikasi massal dari pemerintah. Adanya status hak milik yang jelas dilakukan agar kepemilikan lahan petani legal dan diakui secara hukum di samping itu kejelasan status hak milik ini seharusnya dapat meminimalisir konflik berebut batas lahan. Dalam menangani konflik berebut batas lahan seharusnya unit manajemen dapat menjadi mediator yang efektif karena merupakan lembaga yang paling dekat dengan petani. Namun fungsi mediasi tidak berjalan secara optimal di PPHR bahkan ketua PPHR tidak mengetahui anggotanya mengalami konflik berebut batas. Hal ini menunjukkan lemahnya 56 komunikasi antara anggota dan ketua dan tidak berfungsinya unit manajemen sebagaimana mestinya. Unsur kelembagaan ketujuh yang diteliti adalah organisasi. Bentuk organisasi FKPS Selopuro dan Sumberejo secara umum sama dengan struktur yang ditunjukkan pada Gambar 6. Sedangkan bentuk organisasi PPHR Catur Giri Manunggal lebih kompleks karena merupakan unit manajemen level kecamatan yang membawahi 2.902 petani dari empat desa. Bentuk organisasi PPHR Catur Giri Manunggal ditunjukkan pada Gambar 7. Forum Komunikasi Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Komunitas Petani Sertifikasi Gambar 6. Bentuk Organisasi FKPS Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat Gabungan Pelestari Hutan Rakyat Gabungan Pelestari Hutan Rakyat Gabungan Pelestari Hutan Rakyat Gabungan Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Kelompok Pelestari Hutan Rakyat Gambar 7. Bentuk Organisasi PPHR 57 Apabila dibandingkan antara bagan organisasi FKPS dan PPHR berdasarkan Gambar 6 dan 7, PPHR memiliki struktur yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan FKPS. Hal ini juga mempengaruhi penyebaran informasi mengenai sertifikasi. Dengan intensitas pertemuan yang lebih tinggi antara LSM dan masyarakat dengan lingkup anggota lebih kecil dan susunan organisasi yang sederhana mempermudah sampainya informasi langsung kepada masyarakat. Sedangkan pada PPHR, proses penyampaian informasi lama dan sulit karena pendampingan hanya dilakukan kepada petani-petani yang memegang peranan penting di organisasi dan proses penyampaian informasi hanya mengandalkan beberapa petani yang menjabat sebagai pengurus. Informasi yang diterima pengurus PPHR disampaikan ke pengurus lain di tingkat desa (Gabungan Pelestari Hutan Rakyat/ GPHR) lalu diteruskan ke tingkat dusun (Kelompok Pelestari Hutan Rakyat/ KPHR) lalu ke petani seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Sedangkan pada FKPS, baik Selopuro maupun Sumberejo, pendekatan dilakukan langsung ke masyarakat dengan intensitas yang lebih tinggi, terlebih lagi struktur kepengurusan FKPS hanya memuat level desa (FKPS), level dusun (Kelompok Petani Sertifikasi), dan kemudian level petani anggota FKPS. Disamping itu, ada perbedaan metode penyuluhan mengenai sertifikasi. Fenomena ini juga dikonfirmasi kebenarannya oleh ketua program sertifikasi dari LSM Persepsi. "...Wilayah kelola dan waktu penyiapan, untuk di Selopuro ini satu FMU sekitar 272 hektar dan itu kan coverage-nya kecil kemudian waktu penyiapannya sekitar 14 bulan, sementara untuk di Giriwoyo dengan luasan 2.434 ha di empat desa hanya dalam waktu 12 bulan, atas ketersediaan sumberdaya untuk menyiapkan itu maka ada pendekatan yang berbeda dari Selopuro dan Giriwoyo, Selopuro dan Sumberejo hampir sama, di Selopuro itu frekuensi dan intensitas kita (LSM Persepsi) ketemu dengan masyarakat 58 itu tinggi karena lebih kecil, tapi untuk di Giriwoyo agak jarang. Itu artinya kita (LSM Persepsi) lebih banyak menggunakan jalur komunikasi formal, jadi misalnya rapat perangkat desa, kemudian pertemuan dusun...di Giriwoyo kan empat desa jadi satu dan itu dengan kondisi yang bergunung-gunung, itu artinya menyebabkan komunikasinya tidak secepat yang disini (Selopuro dan Sumberejo)..." (Pak Taryanto Wijaya, Ketua Program Sertifikasi LSM Persepsi) Dalam lingkup wilayah Kabupaten Wonogiri, posisi ketiga unit manajemen hutan rakyat ini merupakan organisasi swadaya dan tidak berada di bawah naungan instansi pemerintah daerah maupun dinas kehutanan setempat. Meskipun awalnya unit manajemen hutan rakyat ini merupakan kelompok tani, tetapi dalam pendampingan sertifikasi instansi pemerintah sama sekali tidak terlibat. Hal ini dikonfirmasi oleh Ketua PPHR Catur Giri Manunggal. "Sebenarnya kelompok mandiri, karena pemerintah tidak terlibat di dalamnya. PPHR berdiri atas bimbingan pendamping LSM Persepsi. Hanya kelompok ini eks-terasiring (pada waktu) Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Lahan dan Penghijauan)" (Pak Rujimin, Ketua PPHR Catur Giri Manunggal) Unsur kelembagaan kedelapan yang diteliti adalah ada atau tidaknya insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Di ketiga unit manajemen tidak ada insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan misalnya menaati peraturan dan mau bergabung dalam kegiatan unit manajemen hutan rakyat. Hal ini terjadi karena unit manajemen yang ada merupakan unit manajemen small scale forest management dan bentuk unit manajemen berdasarkan rasa kekeluargaan dan kesadaran. Untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan, misalnya untuk mematuhi aturan, didasarkan pada kesadaran masing-masing anggota yang juga diawasi dengan anggota lain yang akan melaporkan bila terjadi pelanggaran peraturan atau konflik. 59 6.1.2 Biaya Transaksi Untuk mengukur efisiensi ekonomi suatu usaha seringkali mengacu pada segi produksi. Padahal tanpa disadari segi non-produksi seperti biaya transaksi juga mengurangi tingkat penerimaan dari sebuah usaha sehingga biaya transaksi ini juga penting untuk diperhitungkan. Biaya transaksi memang tidak dapat dihindari, tetapi agar efisiensi usaha dapat meningkat, biaya transaksi sebisa mungkin harus diminimumkan (Anggraini, 2007). Pada pengusahaan hutan rakyat terdapat biaya transaksi dalam bentuk biaya untuk mengurus surat izin penebangan kayu. Saat petani akan menebang kayu, terlebih dahulu petani hutan harus membuktikan legalitas kepemilikan tegakan yang akan ditebang melalui surat izin penebangan kayu di kantor desa dan kantor kecamatan. Pada tingkat desa, biaya pembuatan surat izin yang dibebankan untuk petani sebesar Rp 10.000 dan biaya yang dibebankan untuk bakul sebesar Rp 20.000. Sedangkan pada tingkat kecamatan, biaya yang dikenakan untuk bakul maupun petani adalah Rp 40.000. Biaya pembuatan surat izin penebangan kayu ini berkisar Rp 50.000 untuk sekali penebangan. Untuk kayu yang akan diangkut ke daerah lain dikenakan biaya administrasi untuk penerbitan SKSKB (Surat Keterangan Sah Kayu Bulat) atau SKAU (Surat Keterangan Asal-Usul Kayu) sebesar Rp 75.000 sampai Rp 250.000 untuk satu rit (satu truk) kayu yang diangkut. Biaya SKSKB ini biasanya dikenakan kepada bakul maupun pengepul bukan kepada petani, karena untuk menerbitkan SKSKB harus melampirkan surat izin tempat usaha (HO). Pemberlakuan biaya dalam SKAU ataupun SKSKB ini tidak termasuk biaya transaksi karena memang ada pemberlakuan biaya dalam penerbitannya. 60 Biaya transaksi yang terjadi memang tidak besar tetapi biaya ini yang harus dibayar di tiap level lembaga pemerintahan. Untuk satu kali penebangan saja petani harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 50.000 tanpa mempedulikan berapa banyak pohon yang ditebang dan tanpa mempedulikan baik itu penebangan untuk komersial (diperjualbelikan) maupun untuk kebutuhan domestik misalnya membangun rumah. Saat petani hanya menebang pohon dalam jumlah sedikit tentunya biaya ini akan mengurangi keuntungan pengusahaan hutan yang diterima oleh petani. Terlebih lagi dalam pemasaran kayu konvensional, petani seringkali memperoleh informasi dan harga yang asimetris sehingga harga yang diberikan bakul kepada petani jauh dibawah harga jual bakul kepada pengepul. Keuntungan yang diperoleh petani ini akan semakin kecil apabila adanya pemberlakuan sertifikasi secara wajib dengan menggunakan biaya sendiri. Pengusahaan hutan rakyat akan semakin kecil keuntungannya dengan adanya biaya persiapan pengajuan sertifikasi, biaya sertifikasi dan biaya surveillance yang harus ditanggung. Kecuali apabila di masa mendatang kebijakan pemberlakuan sertifikasi secara wajib ini diimbangi dengan kewajiban bagi perusahaan pengolahan kayu yang memiliki sertifikasi CoC (Chain-of-Custody) atau sertifikasi lacak balak untuk memasok kayu dari unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi. Selain itu agar petani tidak semakin terbebani apabila sertifikasi diberlakukan secara wajib, pemerintah perlu memberikan bantuan kepada petani misalnya dalam bentuk pemberlakuan regional group ceritification seperti di Finlandia atau pemberlakuan social certification fund (fundo social de certificação) seperti di Brazil. Untuk meminimumkan biaya sertifikasi dan mengatasi permasalahan kepemilikan hutan 61 rakyat yang kecil (small scale forest holding), sistem sertifikasi hutan di Finlandia mengadopsi regional group certification dimana hutan pada area tertentu akan disertifikasi dalam waktu yang bersamaan tetapi sertifikasi tetap diberikan secara individu. Sedangkan di Brazil diberlakukan social certification fund oleh IMAFLORA (the Institute of Forest and Agriculture Management and Certification) dimana dana ini diperoleh dari biaya evaluasi sertifikasi unit manajemen hutan skala besar untuk dialokasikan kepada unit manajemen hutan skala kecil dan program hutan rakyat untuk membantu dalam memperoleh sertifikasi (Hirakuri, 2003). Sejauh ini menurut pihak LEI, beberapa instansi pemerintah sudah mulai tergerak untuk memberikan dana, misalnya dari Pustanling Kementerian Kehutanan dan beberapa pemerintah daerah misalnya Kabupaten Bangkalan, Lumajang, Pacitan, Boyolali, Sragen, dan lain-lain. Peran serta pemerintah daerah dan instansi pemerintahan perlu diapresiasi dan dijadikan wacana untuk pemerintah daerah lain terutama apabila rencana sertifikasi yang bersifat wajib nantinya diimplementasikan. Disamping itu perlu dirumuskan pula sistem bantuan dan pendampingan seperti apa yang nantinya akan diberikan kepada pihak petani hutan agar bantuan yang diberikan mampu menjadikan petani hutan lebih mandiri terutama dalam perdagangan kayu agar keuntungan atau dampak dari sertifikasi yang dirasakan mampu membuat petani hutan lebih mandiri dalam penghimpunan dana sertifikasi secara swadaya. 6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML pada Petani Hutan Rakyat Penerapan sertifikasi PHBML di FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo diinisiasi oleh LSM Persepsi yang juga dibantu oleh lembaga donor. Sebagai pilot 62 project sertifikasi, kedua unit manajemen ini didampingi selama sekitar 14 bulan dengan intensitas pertemuan hampir setiap minggu. Hasil dari pendampingan ini ditandai pada tanggal 17 Oktober 2004 saat diadakan kongres pertama LEI di Jakarta. Saat itu pulalah diumumkan dua unit manajemen hutan rakyat Kabupaten Wonogiri yang memperoleh sertifikasi PHBML pertama di Indonesia dengan skema sertifikasi LEI. Sedangkan PPHR Catur Giri Manunggal bukan merupakan pilot project sertifikasi tetapi kondisi sertifikasi PHBML-nya sama dengan FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo, yakni merupakan bantuan. Walaupun ketiga unit manajemen hutan rakyat ini tidak terbebani adanya biaya persiapan, biaya sertifikasi maupun biaya surveillance, namun ada beberapa alasan yang mendasari mengapa petani hutan FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri Manunggal mau mengikuti program sertifikasi. Faktor-faktor yang mendasari petani hutan di ketiga unit manajemen yang diteliti dalam mengikuti sertifikasi dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Ekolabel di Tingkat Petani Hutan Kabupaten Wonogiri Tahun 2012 FKPS Selopuro Faktor-Faktor Σ 1. Tuntutan pasar/ konsumen 2. Bantuan dari institusi 3. Premium price 4. Kesadaran menjaga lingkungan 5. Lain-lain 6. Tidak tahu Jumlah % FKPS Sumberejo Σ % PPHR Catur Giri Manunggal Σ % Total Σ % 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 15 24 25 22,06 35,29 36,76 10 25 25 16,13 40,32 40,32 9 5 22 23,68 13,16 57,89 34 54 72 20,24 32,14 42,86 3 1 68 4,41 1,47 100,00 1 1 62 1,61 1,61 100,00 2 0 38 5,26 0,00 100,00 6 2 168 3,57 1,19 100,00 Faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan responden didominasi oleh pilihan jawaban kesadaran ingin menjaga lingkungan, keinginan untuk mendapatkan 63 premium price, dan karena adanya bantuan dari institusi sehingga mereka mau mengikuti program sertifikasi. Sementara faktor lain-lain terdiri dari faktor kebanggaan, kemauan sendiri, hanya mengikuti petani lain, ingin diakui, dan hanya karena didaftarkan saja. Faktor kesadaran ingin menjaga lingkungan menjadi dominasi utama di ketiga unit manajemen dengan persentase sebesar 42,86%. Dominasi kesadaran ingin menjaga lingkungan terjadi karena karena petani hutan menyadari besarnya manfaat dari menjaga kelestarian lingkungan, khususnya kelestarian hutan mengingat besarnya manfaat hutan yang telah dirasakan oleh masyarakat. Walaupun petani hutan rakyat memiliki kesadaran menjaga lingkungan, namun petani hutan menyatakan tidak bersedia melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri, hal ini ditunjukkan pada Tabel 13. Faktor kedua yang mendominasi adalah keinginan untuk mendapatkan premium price. Hal ini terjadi karena dampak ekonomi merupakan dampak langsung yang berpengaruh signifikan terhadap kondisi petani hutan, terutama dari segi perekonomian, dan juga merupakan dampak yang diharapkan oleh petani hutan. Tetapi sampai saat ini premium price di ketiga unit manajemen sulit didapat karena lima hal: 1. Pembeli kayu sertifikasi dalam negeri menginginkan kayu bersertifikasi dan berkualitas tinggi namun hanya bersedia membayar dengan harga murah. 2. Ada pembeli sertifikasi dari luar negeri yang menawarkan kerjasama perdagangan namun dengan menggunakan sistem kuota, dimana perbulannya 64 unit manajemen harus memasok 300 kubik kayu sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan oleh pembeli. 3. Belum adanya pasar khusus sertifikasi. Hal ini juga diungkapkan oleh key person. 4. TPKS belum bisa memfasilitasi pembelian kayu hutan rakyat tersertifikasi dari petani karena kekurangan modal. 5. Tidak adanya pembeli kayu sertifikasi akhir-akhir ini, padahal TPKS pernah memfasilitasi penjualan kayu sertifikasi kepada PT. Novica tahun 2005, PT. Jawa Furni tahun 2007, dan Greenliving tahun 2009. Faktor ketiga yang mendominasi alasan keikutsertaan petani dalam sertifikasi PHBML adalah adanya bantuan yang diberikan oleh institusi, dalam hal ini lembaga donor, sehingga petani hutan mampu mengikuti sertifikasi. Awalnya pemberian bantuan ini ditujukan agar petani hutan dapat mandiri dalam perdagangan kayu sertifikasi sehingga di masa mendatang mampu mendanai biaya sertifikasi sendiri. Namun pada kenyataannya petani hutan tidak mempunyai kemandirian dan kemauan untuk melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 13. Pada Tabel 13 diketahui bahwa petani hutan di ketiga unit manajemen mayoritas menjawab tidak bersedia mengikuti sertifikasi dengan biaya sendiri dengan persentase total sebesar 84,44%. Biaya sertifikasi yang mahal membuat masyarakat petani hutan tidak bersedia mengikuti sertifikasi dengan biaya sendiri namun apabila jangka waktu sertifikasi sudah berakhir, 87,78% petani hutan masih bersedia melakukan sertifikasi ulang (resertifikasi). 65 Tabel 13. Kemauan Mengikuti Sertifikasi dan Resertifikasi dengan Biaya Sendiri FKPS Selopuro FKPS Sumberejo Variabel Σ % Σ PPHR Catur Giri Total Manunggal % Σ % Σ % Kemauan Melakukan Sertifikasi dengan Biaya Sendiri 1. Ya 2. Tidak 4. Tidak Tahu Jumlah 1 27 2 30 3,33 90,00 6,67 100,00 1 25 4 30 13,33 83,33 13,33 100,00 1 24 5 30 3,33 80,00 16,67 100,00 3 76 11 90 3,33 84,44 12,22 100,00 Kemauan Melakukan Resertifikasi 1. Ya 2. Belum Tentu 3. Tidak Tahu 4. Tidak Jumlah 27 02 01 00 30 90,00 06,67 03,33 00,00 100,00 27 00 01 02 30 90,00 00,00 03,33 06,67 100,00 25 02 01 02 30 83,33 06,67 03,33 06,67 100,00 79 4 3 4 90 87,78 4,44 3,33 4,44 100,00 Walaupun mayoritas petani hutan tidak mau membayar sertifikasi dengan biaya sendiri namun ada juga petani hutan yang mau melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri. Tiga dari 90 responden menyatakan bersedia melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri. Ketiga responden ini terdiri dari dua orang berpendidikan SD dan satu orang tidak lulus SD. Ketiga responden ini menyatakan alasan kemauan membayar sertifikasi jika hasil sertifikasi bagus, jika petani lain juga diharuskan untuk membayar dan ada pula mau membayar tetapi masih mengharapkan jika ada bantuan. Disamping itu, selain faktor-faktor dominan yang dipilih oleh petani, diketahui bahwa tidak ada petani hutan yang memilih faktor tuntutan pasar/ konsumen sebagai alasan keikutsertaan sertifikasi PHBML. Hal ini dikarenakan perdagangan kayu sertifikasi yang dilakukan oleh petani di daerah penelitian hanya berkisar di tingkat domestik (skala kecil) dimana petani hanya menjual kepada bakul. 66 Sementara secsra nyata sertifikasi lebih dibutuhkan untuk individu atau unit manajemen yang melakukan perdagangan internasional. 6.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML Dampak penerapan ekolabel dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan dibahas oleh Daniyati (2009) dan Simula et al (2005) yang secara umum memaparkan hasil penelitian mengenai dampak-dampak yang terjadi dengan adanya penerapan sertifikasi ditinjau dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Berdasarkan dari studi pustaka yang dilakukan maka dibuat beberapa indikator yang diperdalam dengan wawancara kepada key person dan pemberian kuesioner kepada 90 orang petani hutan rakyat sertifikasi. 6.3.1 Dampak Sosial pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML Ada lima kriteria yang digunakan untuk melihat adanya dampak sosial dari penerapan sertifikasi, diantaranya adalah (1) klarifikasi hak milik lahan dan solusi konflik, (2) partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat dari pengelolaan hutan, (3) penguatan kelembagaan, (4) peningkatan kapasitas petani hutan rakyat, dan (5) peningkatan peran serta dalam pengelolaan hutan lestari akibat dari adanya peningkatan pengetahuan. Hasil dari penelitian terhadap empat kriteria terhadap petani di tiga unit manajemen ditunjukkan dalam Lampiran 2 sedangkan hasil penelitian mengenai kriteria dampak sosial berupa penguatan kelembagaan dilakukan dengan depth interview kepada key person unit manajemen dan hasilnya ditunjukkan dalam Lampiran 3. 67 Indikator dampak sosial pertama adalah aspek klarifikasi hak milik lahan dan solusi konflik. Berdasarkan hasil penelitian semua anggota unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi sudah mempunyai kejelasan status hak milik lahan mereka dengan memegang surat-surat resmi untuk melegalkan kepemilikan lahan mereka. Seluruh responden di tiga unit manajemen menyatakan bahwa hak milik lahan mereka sudah jelas sebelum sertifikasi dan sudah memiliki surat resmi hak milik lahan sebelum sertifikasi. Hal ini terjadi karena peran serta pemerintah mendorong masyarakat untuk mengesahkan kepemilikan lahannya melalui program sertifikasi tanah masal. Kejelasan status hak milik lahan ini selain membantu kemudahan proses sertifikasi juga membantu meminimalisir konflik. Tetapi, secara legitimate, dua orang responden di PPHR Catur Giri Manunggal malah mengalami konflik berebut batas lahan dengan tetangga dan sampai lima tahun sertifikasi PHBML di PPHR Catur Giri Manunggal berjalan, kedua responden ini tidak menemukan solusi dari konflik lahan yang mereka hadapi. Padahal unit manajemen PPHR Catur Giri Manunggal memiliki peta penyelesaian sengketa dan konflik berebut batas ini seharusnya ditangani oleh KPHR selaku unit manajemen level dusun yang paling dekat dengan anggota. Tetapi sampai sekarang tidak ada soluso konflik yang dapat dicapai karena unit manajemen pusat (level kecamatan) yakni PPHR juga vakum dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Indikator dampak sosial kedua adalah aspek partisipasi dan kesadaran komunitas. Aspek partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat pengelolaan hutan dilihat dari seberapa sering petani menghadiri pertemuan rutin unit manajemen yang terkadang membahas masalah pengelolaan hutan dengan mendatangkan 68 penyuluh PKL (Petugas Kehutanan Lapang). Pada ketiga unit manajemen, diketahui bahwa 96,67% petani FKPS Selopuro, 93,33% petani FKPS Sumberejo, dan 56,67% petani PPHR Catur Giri Manunggal sering menghadiri pertemuan rutin kelompok tani. Diantara ketiga unit manajemen, frekuensi partisipasi petani dalam menghadiri pertemuan rutin yang paling rendah adalah di PPHR Catur Giri Manunggal. Hal ini terjadi karena tidak berjalannya unit manajemen bahkan saat dikonfirmasi kepada key person maupun responden, pertemuan rutin kelompok tani ini sudah tidak ada lagi. Satu-satunya yang masih berjalan adalah program pembelian pupuk dengan harga murah lewat kelompok tani. Tetapi program tersebut juga tidak ditangani langsung oleh PPHR, melainkan dilimpahkan sesuai dengan kebijakan masing-masing desa dan dusun. Indikator dampak sosial ketiga adalah aspek peningkatan kapasitas petani hutan rakyat. Aspek peningkatan kapasitas petani hutan rakyat diteliti melalui semakin mudah atau tidaknya kemudahan mengakses informasi harga dan bertambah atau tidaknya pengetahuan mengenai hutan rakyat setelah sertifikasi. Apabila peningkatan akses informasi mengenai harga semakin tinggi maka hal ini mengindikasikan semakin bertambahnya kapasitas petani dalam proses pemasaran karena sudah mengetahui harga-harga kayu di pasaran. Pada FKPS Selopuro 100,00% responden petani hutan menyatakan setelah sertifikasi semakin mudah mendapatkan informasi mengenai harga dan pasar kayu, sedangkan di FKPS Sumberejo 86,67% responden menyatakan semakin mudah mengakses informasi, dan di PPHR Catur Giri Manunggal 66,67% responden menyatakan semakin mudah mengakses informasi. Tingginya persentase peningkatan akses informasi ini 69 diakibatkan oleh semakin canggihnya teknologi dan peran bakul sebagai pembawa informasi. Kecanggihan teknologi memperluas akses informasi yang tadinya hanya lewat mulut ke mulut sekarang mulai disebarkan melalui Short Message Services (SMS) ataupun telepon. Peningkatan akses informasi ini juga disebabkan oleh peran serta bakul yang aktif menginformasikan mengenai semakin naiknya harga kayu untuk mempersuasi mereka agar mau menjual kayu. Tetapi sayangnya peningkatan kapasitas petani dalam pemasaran melalui peningkatan akses informasi tidak disertai dengan simetrisnya informasi harga yang beredar di kalangan petani dan bakul. Ketimpangan informasi ini menurut Djogo et al (2003) menyebabkan ketimpangan pembangunan dan kesejahteraan; ketidakmerataan penguasaan atas bisnis dan perdagangan; dan eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain. Selain aspek peningkatan kapasitas informasi, kapaistas pengetahuan petani juga mengalami peningkatan. Pada aspek ini, 100% responden petani FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo serta 63,33% responden petani PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan ada peningkatan pengetahuan mengenai hutan rakyat. Pengetahuan hutan rakyat yang meningkat ini juga disebabkan oleh semakin banyaknya penyuluhanpenyuluhan setelah sertifikasi dan hal ini juga dikonfirmasi kebenarannya oleh salah satu responden yang juga merupakan ketua KPS dan perangkat desa. Indikator keempat dampak sosial adalah aspek peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari. Pada aspek ini dilakukan penelitian dengan melihat bagaimana tanggapan masyarakat mengenai perlu atau tidaknya hutan dijaga agar tetap lestari dan darimanakah masyarakat memperoleh pengetahuan terkait dengan manfaat hutan apabila dijaga kelestariannya. Dengan persentase yang 70 tinggi, responden di ketiga unit manajemen menyatakan bahwa hutan perlu dan sangat perlu dijaga agar tetap lestari dan perolehan pengetahuan mengenai manfaat hutan agar perlu dijaga agar tetap lestari diperoleh dari penyuluhan dan pertemuan rutin dengan persentase sebesar 96,67% untuk FKPS Selopuro dan Sumberejo serta 46,67% untuk PPHR Catur Giri Manunggal. Persentase terendah ditemukan di PPHR Catur Giri Manunggal karena pertemuan rutin sudah tidak pernah diadakan dan banyak petani yang merasa kelompok tani tidak membantu peningkatan pengetahuan mereka. Indikator terakhir untuk melihat dampak sosial adalah ada atau tidaknya penguatan kelembagaan. Untuk kriteria terakhir ini, penelitian dilakukan melalui depth interview kepada key person dan hasilnya direpresentasikan pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil dari penelitian diketahui bahwa ketiga unit manajemen hutan yang ada sangat potensial untuk didorong dan dibimbing untuk bekerjasama dalam bidang ekonomi secara berkelompok karena terdiri dari anggota-anggota yang saling mengenal dan memiliki visi dan misi yang sama. Tetapi selama ini pelatihan untuk menimbulkan kemandirian belum efektif dan belum menjangkau semua anggota. Hal ini dikarenakan saat ada pelatihan hanya beberapa anggota saja yang mengikuti dan dilakukan secara bergiliran/ bergantian. Oleh karena itu perlu adanya pendampingan yang lebih intensif dan merata agar unit manajemen yang ada lebih mandiri dan anggota dapat bekerja secara berkelompok. Disamping itu, penumbuhan gabungan kelompok masyarakat yang ada selama ini hanya dalam bentuk kelompok tani dan belum ada usaha untuk membentuk gabungan kelompok masyarakat yang aktif dalam industri hutan rakyat. Rencana pengembangan skala usaha sudah dilakukan beberapa 71 unit manajemen, misalnya FKPS Sumberejo yang mengkursuskan salah satu anggotanya dan PPHR Catur Giri Manunggal yang memasarkan kayu sertifikasi dan berusaha untuk meningkatkan posisi tawar melalui kerjasama dengan PT. Jaring Akar Ranting. Usaha untuk mengembangkan jalinan kemitraan baik kemitraan bisnis, kemitraan bantuan, maupun kemitraan pelatihan sudah dilakukan tetapi belum ada perkembangan berarti. Sulitnya mencapai kesepakatan antara perusahaan dengan pihak petani terkait harga, kuota kayu yang harus dipasok, dan kualitas menjadi penyebab sulit berkembangnya kemitraan bisnis. Pada awal pendampingan, kelembagaan yang ada difasilitasi pelatihan khusus dan pengembangan usaha untuk meningkatkan nilai jual kayu dengan mengubah kayu yang tadinya hanya sebagai raw material sudah mulai diproses menjadi handicraft. Ketiga unit manajemen ini bahkan memiliki satu bengkel handicraft lengkap dengan mesin-mesinnya namun hanya beberapa orang saja dari petani kompeten dan mengikuti pelatihan khusus. Namun pelatihan dan keberadaan bengkel handicraft yang terletak di Desa Selopuro belum mampu membuat ketiga unit manajemen hutan rakyat untuk mempunyai unit usaha yang independen. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa bengkel handicraft yang ada jarang terpakai karena hanya berfungsi saat ada pesanan dari mitra bisnis untuk membuat handicraft misalnya pot kayu, frame, dan kursi. Handicraft yang telah dibuat oleh unit manajemen sertifikasi ditunjukkan pada Gambar 8. 72 Gambar 8. Hasil Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Dibuat oleh Petani-Petani Unit Manajemen Hutan Rakyat Selain itu, unit manajemen yang ada tidak mengalami perbaikan sistem administrasi. Administrasi unit manajemen yang lengkap hanya terdapat awal proses pendampingan sertifikasi dilakukan perbaikan sistem administrasi berupa pencatatan potensi tegakan, kepemilikan lahan dan status lahan, serta data keanggotaan. Namun sistem administrasi yang baik berupa pencatatan potensi tegakan tidak dilanjutkan lagi oleh petani hutan rakyat sehingga administrasi dan data yang lengkap hanya tersedia di awal pengajuan sertifikasi saja. Padahal pencatatan potensi tegakan secara rutin dapat membantu pengontrolan penebangan legal yang berlebihan. Secara keseluruhan dapat disimpulkan belum ada penguatan kelembagaan setelah adanya sertifikasi berdasarkan dari hasil penelitian mengenai aspek penguatan kelembagaan dan pengembangan kelembagaan ekonomi. Tidak berfungsinya unit manajemen secara optimal, tidak adanya pelatihan yang intensif dan merata, tidak berjalannya pasar sertifikasi, dan kurangnya modal merupakan alasan mengapa unit manajemen yang ada sulit berkembang. Namun adanya sertifikasi berhasil membentuk kelembagaan yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut, 73 memberikan peningkatan kapasitas pengolahan hasil hutan dari raw material menjadi handicraft melalui pelatihan dan fasilitas pengembangan aktivitas usaha yakni mesin handicraft dan pengembangan kemitraan antara petani dengan institusi lain baik dalam segi kemitraan bisnis, bantuan, maupun pelatihan. 6.3.2 Dampak Ekonomi pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML Dampak ekonomi akibat adanya sertifikasi dikelompokkan dalam beberapa indikator yang diperoleh dari penelitian terdahulu. Untuk memberi gambaran bagaimana dampak ekonomi berpengaruh pada pendapatan petani hutan maka dilakukan analisis biaya dan manfaat dengan menggunakan tiga skenario. 6.3.2.1 Dampak Ekonomi Penerapan Sertifikasi PHBMLpada Petani Hutan Indikator mengenai dampak ekonomi yang dijadikan panduan mengacu pada Simula et al (2005) yang membahas mengenai financial cost-benefit. Hasil dari penelitian mengenai dampak ekonomi ditunjukkan pada Lampiran 4. Dampak ekonomi yang diteliti terkait dengan persepsi petani hutan mengenai dampak yang dirasakan. Adapun indikator yang diteliti meliputi (1) ada atau tidaknya premium price, (2) penambahan volume penjualan, (3) penetrasi ke pasar baru, (4) eksistensi di pasar lama, (5) posisi tawar petani hutan rakyat, (6) peningkatan pendapatan petani hutan rakyat, (7) semakin pendek atau tidaknya rantai distribusi dan dampak-dampak lain yang ditemukan berdasarkan penelitian di lapang terkait dengan adanya bantuan dari kunjungan ke wilayah sertifikasi. 74 Kriteria pertama yang diteliti terkait dengan dampak ekonomi adalah ada atau tidaknya premium price. Harga kayu di ketiga unit manajemen saat ini sedang mengalami kenaikan. Kenaikan harga yang terjadi ini menurut responden petani terjadi karena harga kayu di pasar kayu konvensional sedang naik. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 90 responden di unit manajemen hutan rakyat, 80,00% petani FKPS Selopuro, 93,33% petani FKPS Sumberejo, dan 70,00% petani PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan bahwa harga kayu memang sedang mengalami kenaikan sesuai dengan kenaikan harga kayu di pasar konvensional. Petani hutan rakyat di ketiga unit manajemen merasa kenaikan harga ini berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Tetapi, kenaikan harga yang berpengaruh pada pendapatan petani ini bukanlah akibat dari sertifikasi. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pembeli yang menghargai kayu di atas harga pasar (premium price). Pada FKPS Selopuro 80,00% responden menyatakan pembeli tidak menghargai kayu sertifikasi dengan premium price, di FKPS Sumberejo sebesar 96,67% responden menyatakan pembeli tidak menghargai kayu sertifikasi dengan premium price, dan di PPHR Catur Giri Manunggal responden yang menyatakan pembeli yang tidak menghargai kayu dengan premium price sebesar 86,67%. Fenomena ini menjadi justifikasi bahwa kenaikan harga yang sedang terjadi saat ini adalah karena harga kayu di pasar yang semakin naik. Menurut salah satu pedagang di Desa Selopuro, naiknya harga kayu ini karena permintaan terhadap kayu semakin banyak namun supply-nya tidak mencukupi. Premium price tidak bisa dicapai karena pasar sertifikasi dan TPKS tidak berjalan dengan optimal. Padahal apabila pasar sertifikasi ini berjalan maka petani akan memperoleh keuntungan yang besar karena 75 adanya premium price. Persentase premium price di tiga unit manajemen ini ditentukan oleh pihak TPKS berdasarkan musyawarah yang didampingi oleh LSM Persepsi. Tetapi sampai saat ini TPKS hanya bisa memfasilitasi perdagangan kayu sertifikasi saat ada pembeli. Padahal pembeli kayu sertifikasi belum tentu ada setiap waktu dan petani hutan masih terbiasa menjual kayunya saat butuh, sehingga saat petani hutan terdesak kebutuhan dan pembeli kayu sertifikasi tidak ada maka mereka menjual kayu melalui perdagangan konvensional yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun yakni melalui pedagang kayu (bakul) dimana dalam perdagangan dengan bakul ini terdapat informasi yang asimetris baik mengenai harga maupun kontak pedagang. Sehingga pada akhirnya harga kayu petani hutan sertifikasi belum mengalami perubahan. Kriteria kedua yang diteliti adalah adanya penetrasi ke pasar baru. Aspek penetrasi ke pasar baru ini dilihat dari ada atau tidaknya pertambahan pembeli setelah sertifikasi. Pada dua unit manajemen yakni FKPS Selopuro dan PPHR Catur Giri Manunggal tidak ada pertambahan pembeli yang signifikan hal ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 46,67% dan 66,67%. Sedangkan di FKPS Sumberejo, 83,33% responden menyatakan ada pertambahan pembeli. Pada FKPS Selopuro delapan dari sembilan petani yang mengalami pertambahan pembeli merasa pertambahan pembeli ini signifikan, sedangkan di FKPS Sumberejo 20 dari 25 petani yang mengalami pertambahan pembeli merasa pertambahan pembeli ini signifikan dan di PPHR Catur Giri Manunggal lima dari tujuh petani yang mengalami pertambahan pembeli merasa pertambahan ini signifikan. Pertambahan pembeli memang ada di ketiga unit manajemen meskipun dengan persentase yang berbeda76 beda. Tetapi pertambahan pembeli ini sesungguhnya terjadi karena semakin banyaknya bakul atau pedagang kayu. Banyaknya bakul atau pedagang kayu ini dikarenakan semakin potensialnya pasar kayu sehingga masyarakat Wonogiri yang memiliki modal tertarik untuk terjun dalam bisnis perdagangan kayu. Kriteria ketiga dari dampak ekonomi yang dilihat adalah adanya eksistensi di pasar lama. Berdasarkan hasil penelitian, dari 90 responden, 86,67% petani hutan FKPS Selopuro, 93,33% petani hutan FKPS Sumberejo dan 80,00% petani hutan PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan pembeli yang dulu membeli kayu kepada mereka sampai sekarang masih menjadi pembeli tetap. Data yang ditemui di lapang ini menjadi justifikasi bahwa eksistensi perdagangan kayu antara petani hutan dengan pembeli masih ada dan eksistensi petani hutan di pasar kayu sebelum sampai sesudah sertifikasi masih bagus. Eksistensi petani di pasar lama ini tidak diakibatkan oleh sertifikasi namun diakibatkan oleh perdagangan kayu yang potensial sehingga pedagang kayu masih mempertahankan petani hutan yang menjual kayu kepada pedagang. Hal ini dibuktikan dengan respon petani hutan yang menyatakan bahwa kalau ditawari untuk membeli kayu, pedagang kayu akan selalu bersedia untuk membeli kayu mereka. Tetapi kesediaan pedagang untuk membeli ini tidak diimbangi dengan kesediaan pedagang untuk menghargai kayu dengan harga di atas harga pasar (premium price). Padahal kayu yang ada di tiga unit manajemen merupakan kayu tersertifikasi karena masuk dalam wilayah area manajemen tersertifikasi dan selayaknya mendapat harga yang berbeda dibandingkan dengan kayu biasa. Tetapi sampai saat ini segmentasi pasar antara kayu biasa dan kayu sertifikasi sulit untuk terbentuk. 77 Kriteria yang diteliti untuk melihat adanya dampak ekonomi adalah dari aspek posisi tawar petani hutan rakyat. Aspek posisi tawar hutan rakyat ini terkait dengan asimetri informasi yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 90 responden diketahui bahwa 80,00% responden FKPS Selopuro, 96,67% responden FKPS Sumberejo, dan 76,67% responden PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan informasi mengenai kenaikan atau penurunan harga kayu selama ini hanya diperoleh dari bakul atau pedagang kayu. Bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan petani, petani hutan ini menyadari bahwa informasi yang diberikan tidak sepenuhnya akurat karena ada permainan pasar dari bakul. Penentu kenaikan harga kayu di tingkat petani selama ini juga ditentukan oleh informasi dari bakul. Menurut 83,33% petani FKPS Selopuro, 100,00% petani FKPS Sumberejo, dan 63,33% petani PPHR Catur Giri Manunggal yang menginformasikan dan menentukan harga suatu jenis kayu naik atau turun adalah bakul. Hal ini mendukung fakta bahwa bakul adalah satu-satunya pembawa informasi mengenai harga-harga kayu di pasar kayu. Harga jual kayu yang berlaku di masyarakat adalah harga yang disepakati oleh petani dan bakul dengan harga kayu di pasar sebagai patokan. Proses pemasaran konvensional yang masih berlangsung ini didominasi oleh bakul. Hal ini terjadi karena kurangnya jaringan kerjasama antara petani dan pengepul langsung serta kurangnya modal petani untuk menebang kayu sendiri dan mendistribusikan langsung ke pengepul. Akibatnya posisi tawar petani hutan rakyat masih kurang kuat. Terlebih lagi kelompok tani dan TPKS yang sudah terbentuk tidak dapat memperkuat posisi tawar petani karena kurangnya modal dan tidak adanya pasar khusus sertifikasi. 78 Kriteria selanjutnya yang dilihat dari dampak ekonomi adalah aspek peningkatan pendapatan. Berdasarkan kuesioner terhadap responden diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh penjualan kayu pada petani hutan di ketiga unit manajemen naik dengan persentase sebesar 80,00% untuk petani FKPS Selopuro, 93,33% untuk petani FKPS Sumberejo, dan 73,33% untuk petani PPHR Catur Giri Manunggal. Pendapatan yang naik ini dikarenakan oleh naiknya harga kayu, bukan merupakan dampak dari sertifikasi karena tidak ada pembeli yang menghargai dengan premium price. Kriteria terkait dengan dampak ekonomi yang juga diteliti adalah semakin pendek atau tidaknya rantai distribusi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perubahan signifikan pada rantai distribusi penjualan kayu sebelum dan sesudah sertifikasi. Pada FKPS Selopuro dan Sumberejo tidak ada perubahan rantai distribusi. Sedangkan di PPHR Catur Giri Manunggal perubahan yang terjadi adalah 3,33% atau hanya satu responden saja. Perubahan rantai distribusi yang terjadi di PPHR Catur Giri Manunggal terjadi pada rantai distribusi awal yang terdiri dari penjual-pengepul-industri dan kemudian berubah menjadi penjual-TPKS-pembeli sertifikasi. Namun persentase tertinggi pada rantai distribusi ini masih dimiliki oleh rantai distribusi pembeli-pedagang (bakul)-pengepul-industri dan pada masingmasing unit manajemen ditunjukkan dengan persentase 83,33% untuk FKPS Selopuro, 100% untuk FKPS Sumberejo, dan 83,33% untuk PPHR Catur Giri Manunggal. Rantai distribusi yang dominan ini merupakan rantai distribusi yang panjang dan seharusnya bisa diperpendek melalui mekanisme sertifikasi yang sudah 79 dibangun yakni pemutusan rantai distribusi melalui TPKS. Mekanisme memperpendek rantai distribusi melalui TPKS ditunjukkan pada Gambar 9. Gambar 9. Perbandingan Mekanisme Perdagangan Konvensional dan Sertifikasi Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa dalam mekanisme perdagangan konvensional petani tidak memiliki akses untuk menjual kayu langsung kepada industri ataupun konsumen sedangkan dalam mekanisme perdagangan sertifikasi, petani secara tidak langsung memiliki akses untuk menjual kayu langsung kepada industri ataupun konsumen karena TPKS adalah 'perpanjangan tangan' dari petani sendiri. Mekanisme perdagangan melalui TPKS ini merupakan mekanisme yang ideal karena bisa meningkatkan posisi tawar dan memberikan keuntungan lebih banyak kepada petani. Tetapi karena TPKS tidak berfungsi karena kekurangan modal, tidak adanya pembeli sertifikasi, ketidakmampuan memasok kuota kubikasi yang ditetapkan oleh pembeli dan tidak berjalannya mekanisme pasar sertifikasi menjadi kendala dalam memperpendek rantai distribusi. Akibatnya petani tetap berada di 80 ujung rantai perdagangan bahkan biaya seperti biaya transportasi pengangkutan kayu menjadi tanggungan petani. Apabila TPKS bisa berfungsi rantai distribusi bisa diperpendek, harga kayu bisa ditetapkan sesuai dengan standar premium price, dan bargaining position petani bisa lebih kuat karena penjualan dilakukan melewati sebuah lembaga bukan secara individu. Selain dampak ekonomi yang diidentifikasi berdasarkan indikator dari studi literatur, ditemukan dampak ekonomi lain dari penerapan sertifikasi PHML. Setelah sertifikasi diberikan kepada ketiga unit manajemen, semakin banyak kalangan akademisi yang melakukan penelitian dan kalangan pemerintah maupun nonpemerintah yang mengadakan kunjungan studi banding. Setiap kali ada kunjungan, tamu yang datang biasanya memberikan bantuan berupa dana untuk mengisi kas kelompok. Bantuan yang datang dari individu maupun instansi ini disalurkan melalui kelompok dan dikategorikan sebagai dampak ekonomi tidak langsung yang bersifat positif bagi unit manajemen hutan rakyat. Sedangkan itu dampak ekonomi di luar indikator yang ditemukan di lapang adalah terciptanya bengkel handicraft yang menjadi sarana untuk unit manajemen dalam mengembangkan usaha pengolahan raw material. Bengkel handicraft yang ada awalnya digunakan sebagai sarana pengolahan kayu sertifikasi sesuai dengan pesanan pembeli yakni perusahaan furniture. Namun hal ini tidak berlangsung lama, dikarenakan sulitnya dicapai kesepakatan dengan pembeli dan minimnya tenaga terampil yang ada. Dari hasil penelitian yang didapat disimpulkan bahwa tidak ada perubahan signifikan pada penjualan kayu yang terjadi di masyarakat setelah proses sertifikasi. Masyarakat masih melalukan penjualan kayu secara konvensional yakni melalui 81 bakul meskipun hal ini tidak memperbaiki kondisi posisi tawar petani. Dampak sertifikasi pada sektor ekonomi secara langsung tidak signifikan. Hal ini selain disebabkan oleh tidak berfungsinya mekanisme pasar sertifikasi, tidak berjalannya TPKS yang seharusnya menjembatani proses penjualan kayu, tidak adanya pembeli kayu sertifikasi akhir-akhir ini, dan tidak adanya pasar khusus bagi kayu sertifikasi. 6.3.2.2 Pengaruh Biaya Sertifikasi terhadap Manfaat Pengusahaan Hutan bagi Petani Hutan Rakyat Dampak ekonomi sertifikasi terhadap petani hutan rakyat diestimasi dengan pendekatan analisis biaya dan manfaat pada salah satu unit manajemen hutan rakyat, yakni FKPS Selopuro. Analisis dilakukan dengan membandingkan kondisi tanpa biaya sertifikasi PHBML dan dengan pemberlakuan biaya sertifikasi PHBML dengan tingkat suku bunga 5,75%. Analisis ini dilakukan agar dapat diketahui seberapa besar biaya sertifikasi berdampak terhadap manfaat dan biaya petani hutan rakyat dalam pengusahaan hutan rakyat. Cashflow pengusahaan hutan rakyat pada dua skenario secara detail ditunjukkan pada Lampiran 5 dan 6, sedangkan ringkasan analisis pengusahaan hutan rakyat dengan dan tanpa sertifikasi ditunjukkan dalam Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa pembebanan biaya sertifikasi akan mengurangi manfaat akhir pengusahaan hutan rakyat sebesar 2% dari Rp 15.235.134.047 menjadi Rp 14.961.368.163. Pada unit manajemen hutan rakyat FKPS Selopuro yang beranggotakan 682 petani hutan rakyat, pembebanan biaya sertifikasi akan mengakibatkan hilangnya manfaat pengusahaan hutan sebesar Rp 401.431 atau turun 1,79% per petani dalam periode pengusahaan 20 tahun. Hal ini mengakibatkan manfaat yang diperoleh petani dari pengusahaan hutan rakyat yang 82 sudah kecil akan semakin kecil dengan adanya pembebanan biaya sertifikasi. Walaupun penurunan manfaat tersebut tidak terlalu besar, namun sertifikasi di hutan rakyat akan tetap membebani petani dalam hal biaya pengelolaan hutan rakyat tersebut. Tabel 13. Analisis Biaya dan Manfaat Pembebanan Sertifikasi dalam 20 Tahun Skenario 1 Manfaat Manfaat hasil kayu Manfaat hasil pertanian/ tumpangsari Total manfaat Biaya Pengusahaan Hutan Biaya operasional Biaya tahunan (pajak) Biaya transaksi Total biaya Biaya Sertifikasi Biaya persiapan pengajuan sertifikasi Biaya sertifikasi Biaya surveillance Total Biaya NPV NPV Per Petani dalam 20 Tahun NPV Per Petani Per Tahun Skenario 2 46.244.404.000 1.685.885.760 48.690.791.200 46.244.404.000 1.685.885.760 48.690.791.200 1.655.979.713 131.812.001 34.100.000 1.795.529.314 1.655.979.713 131.812.001 34.100.000 1.795.529.314 0 0 0 0 300.000.000 120.000.000 60.000.000 480.000.000 15.235.134.047 22.338.906 893.556 14.961.368.163 21.937.475 877.499 Selama periode pengusahaan hutan 20 tahun diperlukan biaya sertifikasi sebesar Rp 480.000.000 untuk dua kali sertifikasi yang akan dilaksanakan pada tahun ke-3 dan ke-19. Biaya terdiri dari biaya persiapan sertifikasi, biaya penilaian sertifikasi, dan biaya surveillance. Biaya persiapan sertifikasi dikenakan pada tahun ke-1 dan 17, biaya penilaian sertifikasi dikenakan pada tahun ke-3 dan 19, dan biaya surveillance dikenakan pada tahun ke-8, 12, dan 18. Dalam hal ini petani dalam unit manajemen harus menyediakan dana Rp 240.000.000 untuk satu kali sertifikasi pada 83 tahun-tahun tersebut. Hal ini sangat membebani petani karena pada tahun-tahun tersebut mereka belum panen. Sehingga perlu dipertanyakan darimana petani memperoleh dana sebesar itu saat petani baru menanam kayu dan belum memperoleh hasilnya. Apabila sertifikasi dipandang perlu dan penting diterapkan di hutan rakyat, maka sumber pendanaan biaya sertifikasi perlu diperhatikan oleh semua pihak yang terlibat agar tidk membebani petani hutan rakyat. Solusi pendanaan sertifikasi dapat berdasarkan atas tiga alternatif yakni iuran, subsidi, dan membangun jalinan kemitraan. Pada skema pertama yakni iuran, anggota unit manajemen hutan rakyat dapat mengangsur biaya sertifikasi melalui unit manajemen hutan rakyat. Namun untuk menjalankan skema iuran ini diperlukan kesadaran petani akan pentingnya sertifikasi dan dibutuhkan kelembagaan unit manajemen hutan rakyat yang kredibel. Pada skema kedua yakni subsidi, pemerintah dapat memberikan subsidi melalui sistem reward and punishment dimana unit manajemen yang memiliki kinerja bagus akan diberi subsidi lebih banyak dan demikian pula sebaliknya. Skema bantuan ketiga yang dapat diberlakukan adalah pembangunan jalinan kemitraan antara unit manajemen hutan rakyat dengan industri yang mengekspor ke negara yang mengharuskan sertifikasi. Pada skema kemitraan dengan industri kayu, industri kayu yang menjalin kemitraan diberlakukan kewajiban untuk memberikan bantuan dana sertifikasi bagi petani hutan dan menampung kayu sertifikasi petani hutan rakyat. Selain ketiga skema yang ditawarkan, dapat juga diberlakukan kombinasi antara ketiga skema tersebut, sehingga pemerintah tidak perlu memberikan subsidi 100%. 84 6.3.3 Dampak Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML Menurut Daniyati (2009) dan Simula et al (2005) adanya sertifikasi dapat memberikan dampak lingkungan berupa peningkatan kapasitas petani hutan dalam mempertahankan kondisi biofisik hutan rakyat, kondisi iklim mikro dan DAS yang membaik, konservasi biodiversitas dan perbaikan fungsi ekologi hutan misalnya air. Manfaat lingkungan ini diperoleh dari peningkatan performansi berdasarkan standar sertifikasi yang lebih luas dan tinggi dibandingkan dengan regulasi yang ada dan peningkatan respect terhadap peraturan dan regulasi dari pengelolaan hutan (pemanenan, silvikultur, konstruksi jalan dan maintenance, dan lain-lain) (Simula et al, 2005). Berdasarkan studi pustaka terhadap literatur dari Daniyati (2009) dan Simual et al (2005), dampak terhadap lingkungan dikelompokkan menjadi tiga kategori dan dijadikan sebagai indikator untuk melihat dampak lingkungan yang dirasakan oleh petani hutan rakyat di tiga unit manajemen. Disamping itu indikator yang ada ditambah dengan beberapa indikator tambahan sebagai justifikasi bahwa dampak lingkungan yang ditemukan di lapangan tidak disebabkan perubahan pengelolaan hutan akibat sertifikasi. Hasil penelitian mengenai dampak lingkungan ditampilkan pada Tabel 15 dan hasil penelitian untuk melihat perubahan pengelolaan hutan rakyat ditampilkan pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa tanggapan masyarakat terhadap kondisi aktual dari aspek lingkungan sangat positif. Ditinjau dari aspek biodiversitas atau keaneka ragaman hayati, responden di ketiga wilayah unit manajemen hutan 85 rakyat menyatakan bahwa flora maupun fauna yang ada semakin banyak dan beragam. Hal ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 96,67% untuk FKPS Selopuro, 90,00% untuk FKPS Sumberejo, dan 80,00% untuk PPHR Catur Giri Manunggal. Peningkatan biodiversitas yang signifikan ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah fauna. Sampai saat ini, menurut petani hutan, jumlah ayam alus, tupai, kera, babi hutan, kijang, burung, dan ular semakin banyak. Tabel 15. Dampak Lingkungan Akibat Pengembangan Hutan pada Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi FKPS Selopuro Indikator Dampak Lingkungan Σ Konservasi Biodiversitas Keragaman spesies tanaman dan hewan di sekitar hutan rakyat 1. Semakin banyak 2. Semakin banyak dan beragam 3.iSemakin sedikit dan tidak iiiiberagam 4. Tidak berbeda 5. Tidak ada Jumlah % 0 29 0 FKPS Sumberejo Σ % PPHR Catur Giri Manunggal Σ % Total Σ % 0,00 96,67 0,00 0 0,00 27 90,00 0 0,00 4 13,33 24 80,00 0 0,00 4 4,44 80 88,89 0 0,00 1 3,33 0 0,00 30 100,00 3 10,00 0 0,00 30 100,00 1 3,33 1 3,33 30 100,00 5 5,56 1 1,11 90 100,00 Fungsi Ekologis Hutan (Iklim Mikro) Perbedaan lingkungan sekitar 1. Semakin sejuk 2. Semakin panas 3. Tidak berbeda Jumlah 30 100,00 0 0,00 0 0,00 30 100,00 29 96,67 0 0,00 1 3,33 30 100,00 21 70,00 2 6,67 7 23,33 30 100,00 80 88,89 2 2,22 8 8,89 90 100,00 Sumber Mata Air/ DAS Perbedaan keadaan DAS 1. Ketersediaan air meningkat 2. Ketersediaan air menurun 3. Tidak berbeda Jumlah 29 96,77 0 0,00 1 3,33 30 100,00 30 100,00 0 0,00 0 0,00 30 100,00 23 4 3 30 82 91,11 4 4,44 4 4,44 90 100,00 76,67 13,33 10,00 100,00 86 Aspek kedua yang diteliti adalah fungsi ekologi hutan terutama fungsi hutan dalam memperbaiki iklim mikro juga semakin baik. Responden petani hutan di ketiga unit manajemen menyatakan bahwa suasana di lingkungan sekitar mereka menjadi semakin sejuk. Hal ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 100,00%, 96,67%, dan 70,00%. Ditinjau dari aspek sumber mata air, 96,67% responden FKPS Selopuro, 100,00% responden FKPS Sumberejo, dan 76,67% responden merasakan ketersediaan air semakin meningkat. Fenomena-fenomena yang ditemui di lapang ini didukung dengan bukti rapatnya tegakan yang ada di sepanjang jalan di desa dan ditemuinya beberapa sumber mata air di sekitar pemukiman warga yang muncul sendiri. Kondisi rapatnya tegakan dan sumber mata air ini ditunjukkan pada Gambar 10. (a) (b) Gambar 10. (a) Hutan Rakyat di FKPS Sumberejo, (b) Sumber Air di Pemukiman Warga FKPS Sumberejo Berdasarkan dokumen pengajuan sertifikasi dan wawancara dengan key person, sebelum tahun 1970 kondisi lingkungan yang sejuk dengan air melimpah 87 sebagaimana digambarkan oleh responden tidak dapat ditemui di ketiga daerah unit manajemen sertifikasi. Kondisi lingkungan yang gersang mendorong pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri yang dimulai pada tahun 1970-an. Awalnya kegiatan ini diinisiasi oleh pemerintah melalui program penghijauan dan menggerakkan warga untuk aktif memperbaiki kualitas lingkungan melelaui penanaman pohon. Oleh karena itu, perbaikan kondisi hutan rakyat Wonogiri telah dirasakan sebelum sertifikasi dilakukan. Petugas Kehutanan Lapang (PKL) Wonogiri juga menyatakan bahwa perbaikan kondisi lingkungan disebabkan oleh pembangunan hutan yang diinisiasi oleh pemerintah bukan oleh perbaikan pengelolaan hutan akibat standar sertifikasi yang ada.Hal ini dibuktikan dalam Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16 mengenai perubahan pengelolaan hutan rakyat dapat diketahui bahwa pola pengelolaan hutan rakyat tidak berubah secara signifikan setelah sertifikasi. Pola pengelolaan hutan yang dilihat dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yakni jarak tanam, daur penebangan, dan penanaman kembali setelah penebangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap indikator pertama, jarak tanam atau pola penanaman sebelum dan sesudah sertifikasi tidak mengalami perubahan sama sekali pada FKPS Selopuro dan Sumberejo. Responden di kedua unit manajemen menyatakan bahwa pola penanaman sebelum dan sesudah sertifikasi masih tetap sama, yakni tidak diberi jarak tanam. Perubahan jarak tanam hanya terjadi pada PPHR Catur Giri Manunggal dengan persentase sangat kecil, yakni 10,00% atau tiga responden. Tingginya angka responden yang tidak menanam dengan jarak tanam ini diakibatkan oleh kontur "batu-bertanah" yang terdapat di ketiga daerah penelitian. 88 Daur penebangan yang diterapkan oleh masyarakat sebelum dan sesudah sertifikasi tidak mengalami perubahan sama sekali di kedua unit manajemen FKPS Selopuro dan Sumberejo. Responden di kedua unit manajemen masih menebang kayu di waktu ada kebutuhan mendesak yang berarti bahwa mereka masih menganggap kayu sebagai tabungan yang bisa diuangkan sewaktu-waktu. Sedangkan di PPHR Catur Giri Manunggal perubahan daur penebangan hanya terjadi pada satu responden dengan persentase sangat kecil yakni 3,33%. Daur penebangan yang berlaku saat ini, yakni 20 tahun, perlu ditinjau ulang karena ada kemajuan teknologi yang memungkinkan untuk pemanenan jati di bawah daur 20 tahun, misalnya Jati Unggul Nusantara (JUN) yang bisa dipanen dalam 5 tahun. Disamping itu, peninjauan daur tebangan kayu yang berlaku perlu dilakukan mengacu pada kondisi aktual dimana petani sudah bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari pemanenan jati pada umur 15 tahun. Sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk meninjau kembali daur tebangan yang berlaku. Pola pengelolaan hutan lestari pada kategori penanaman kembali tegakan setelah ditebang telah dilakukan oleh masyarakat selama bertahun-tahun ditunjukkan oleh tingginya persentase penanaman kembali setelah penebangan di ketiga unit manajemen. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perubahan dari aspek ini. Baik sebelum maupun sesudah sertifikasi masyarakat masih menanam kembali tegakan setelah ditebang. Tingginya persentase penanaman kembali setelah penebangan pada ketiga unit manajemen ditunjukkan dengan persentase sebesar 72,22%. Tingginya persentase ini terjadi karena peremajaan tanaman setelah penebangan merupakan norma yang berlaku di masyarakat akibat adanya anjuran dari 89 pemerintah dan diakomodasi dengan pengesahan melalui AD/ ART unit manajemen dengan syarat apabila lahan masih memungkinkan untuk ditanam kembali. Disamping itu penanaman kembali ini terus dilakukan karena petani hutan merasakan manfaat yang besar dari pengembangan hutan rakyat terutama dari aspek lingkungan. Tabel 16. Perubahan Pengelolaan Hutan Rakyat Sebelum dan Sesudah Sertifikasi FKPS Selopuro Indikator Pengelolaan Hutan Σ Jarak Tanam A. Sebelum Sertifikasi 1. Ditanam dengan jarak/ pola tertentu 2. Tidak ditanam dengan jarak/ pola tertentu Jumlah B. Sesudah Sertifikasi 1. Ditanam dengan jarak/ pola tertentu 2. Tidak ditanam dengan jarak/ pola tertentu Jumlah Daur Penebangan A. Sebelum Sertifikasi 1. Dipanen dengan waktu tertentu 2. Waktu butuh 3. Belum dipanen Jumlah B. Setelah Sertifikasi 1. Dipanen dengan waktu tertentu 2. Waktu butuh 3. Belum dipanen Jumlah % FKPS Sumberejo Σ PPHR Catur Giri Manunggal Σ % Total Σ % % 0 0,00 0 0,00 6 20,00 6 6,66 30 100,00 30 100,00 24 80,00 84 93,33 30 100,00 30 100,00 30 100,00 90 100,00 0 0,00 0 0,00 9 30,00 9 10,00 30 100,00 30 100,00 21 70,00 81 90,00 30 100,00 30 100,00 30 100,00 90 100,00 0 0,00 0 0,00 2 6,67 2 2,22 30 0 30 100,00 0,00 100,00 30 0 30 100,00 0,00 100,00 26 2 30 86,67 6,67 100,00 86 2 90 95,56 2,22 100,00 0 0,00 0 0,00 3 10,00 3 3,33 30 0 30 100,00 0,00 100,00 30 0 30 100,00 0,00 100,00 25 2 30 83,33 6,67 100,00 85 2 90 94,44 2,22 100,00 90 FKPS Selopuro Indikator Pengelolaan Hutan Σ Penanaman Kembali setelah Penebangan A. Sebelum Sertifikasi 1. Ya 2. Tidak 3.Kadang ditanam, kadang tidak 4. Belum dipanen Jumlah B. Setelah Sertifikasi 1. Ya 2. Tidak 3.Kadang ditanam, kadang tidak 4. Belum dipanen Jumlah % FKPS Sumberejo Σ % PPHR Catur Giri Manunggal Σ % Total Σ % 28 2 0 93,33 6,67 0,00 19 7 4 63,33 23,33 13,33 18 7 3 60,00 23,33 10,00 65 16 7 72,22 17,78 7,78 0 30 0,00 100,00 0 30 0,00 100,00 2 30 6,67 100,00 2 90 2,22 100,00 28 2 0 93,33 6,67 0,00 19 7 4 63,33 23,33 13,33 18 7 3 60,00 23,33 10,00 65 16 7 72,22 17,78 7,78 0 30 0,00 100,00 0 30 0,00 100,00 2 30 6,67 100,00 2 90 2,22 100,00 Berdasarkan beberapa kategori perubahan pengelolaan hutan yang telah dijelaskan dapat diketahui bahwa tidak terjadi perubahan signifikan terhadap pengelolaan hutan yang ada di ketiga unit manajemen. Pengelolaan hutan yang dari dulu dijalankan oleh petani sampai sekarang masih diadopsi dan dijalankan. Fenomena ini menjawab bahwa fenomena perubahan dampak ekologi yang terjadi tidak disebabkan oleh sertifikasi karena pola pengelolaan hutan di ketiga unit manajemen tidak berubah. Dampak ekologi yang ada di ketiga unit manajemen ini disebabkan oleh pengembangan hutan rakyat yang selama ini sudah dilakukan bertahun-tahun bukan merupakan akibat tidak langsung dari penerapan sertifikasi. Hal ini juga disadari oleh ketua KPS dan perangkat desa yang menyatakan bahwa perubahan hawa menjadi semakin sejuk dan perbaikan sumber mata air ini disebabkan oleh pengembangan hutan rakyat bukan karena insentif yang dihasilkan oleh program sertifikasi. 91 VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Kelembagaan unit manajemen hutan rakyat sertifikasi di Kabupaten Wonogiri merupakan kelembagaan yang potensial dalam memperkuat bargaining position petani dalam hal perdagangan kayu rakyat terlebih lagi didukung dengan keberadaan TPKS. Namun, setelah sertifikasi, kelembagaan yang ada belum berjalan dengan optimal terutama di bidang pemasaran kayu sertifikasi karena TPKS kekurangan modal pembelian kayu sertifikasi, ketidakmampuan memenuhi pasokan permintaan industri, tidak adanya pembeli kayu sertifikasi dengan harga premium, dan tidak berjalannya pasar sertifikasi. Biaya transaksi pada tiap level kelembagaan pemerintahan dalam mekanisme perdagangan kayu tetap ada. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keikutsertaan unit manajemen dan petani hutan didominasi oleh faktor kesadaran menjaga lingkungan, harapan mendapatkan premium price, dan adanya bantuan dari institusi. Meskipun petani di ketiga unit manajemen memiliki kesadaran menjaga lingkungan tetapi mereka tidak bersedia melakukan sertifikasi dengan biaya sendiri. Dominasi faktor premium price berkorelasi dengan tujuan fundamental sertifikasi yakni sebagai instrumen pasar untuk mengapresiasi usaha menjaga kelestarian lingkungan melalui insentif premium price namun pada kenyataannya premium price sulit untuk diperoleh. 3. Adanya biaya persiapan, penilaian, dan surveillance yang harus dibayarkan jika melakukan sertifikasi berpotensi mengurangi keuntungan petani dari pengusahaan hutan rakyat sementara premium price tidak ada. Biaya sertifikasi yang harus dibayaran sebesar Rp 240.000.000 setiap 15 tahun sekali dimana pada tahun-tahun tersebut petani belum memperoleh hasil karena panen kayu dilakukan pada akhir daur yaitu tahun ke-20. Disisi lain, sertifikasi memberikan manfaat ekonomi yakni semakin banyaknya bantuan misalnya berupa bantuan dana sejak adanya kunjungan-kunjungan dari instansi pemerintah dan non-pemerintah ke ketiga unit manajemen. 4. Ditinjau dari aspek dampak sosial, meskipun belum ada penguatan kelembagaan tapi dengan adanya sertifikasi berhasil membentuk kelembagaan yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut, memberikan peningkatan kapasitas pengolahan hasil hutan, pengembangan kemitraan antara petani dengan institusi lain, dan meningkatkan pengetahuan petani mengenai hutan rakyat. 5. Pengelolaan hutan setelah sertifikasi tidak mengalami perubahan. Dampak perbaikan kondisi lingkungan yang dirasakan oleh petani merupakan dampak akibat pengembangan hutan yang dilakukan melalui program-program penghijauan sejak tahun 1965-an. 7.2 Saran 1. Adanya TPKS perlu ditindaklanjuti dengan pengembangan kelembagaan ini agar dapat berfungsi memperkuat bargaining position petani. Meskipun pasar 93 sertifikasi tidak berjalan, TPKS dapat berfungsi sebagai fasilitator akses informasi petani terhadap harga pasar yang simetris dan fasilitator akses petani kepada seluruh pedagang kayu sehingga petani dapat memilih pedagang yang mampu memberikan harga yang sesuai untuk kayu mereka. 2. Biaya persiapan sertifikasi, penilaian sertifikasi dan surveillance akan membebani dan belum adanya manfaat signifikan yang diperoleh petani hutan dari sertifikasi. Sebaiknya sertifikasi yang diberlakukan bersifat voluntary certification karena didasarkan pada keinginan dan kebutuhan unit manajemen maupun industri kehutanan dan dilakukan secara sukarela. 3. Apabila mandatory certification dipandang perlu untuk diberlakukan, perlu dipikirkan darimana petani akan membayar biaya sertifikasi. Beberapa alternatif skema pendanaan yang dapat diterapkan diantaranya adalah memberikan subsidi biaya sertifikasi, membangun kemitraan dengan perusahaan sektor kehutanan yang berorientasi ekspor, dan swadaya masyarakat dalam bentuk iuran yang dihimpun melalui pada unit manajemen serta kombinasi antara ketiganya. Skema pendanaan bantuan lain yang juga dapat diterapkan bisa mereferensi dari pemberlakuan regional group certification di Finlandia maupun social fund certification di Brazil. 4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas sertifikasi sebagai instrumen pasar dan mengapa segmentasi pasar dan pasar khusus untuk kayu sertifikasi sulit terbentuk, serta penelitian mengenai daur ekonomis yang sesuai dengan kondisi saat ini dan paling menguntungkan bagi petani maupun lingkungan. 94 DAFTAR PUSTAKA Abidin, Rachmatsjah. 1995. Penerapan Ekolabel Dipandang dari Sudut Pemanenan Kayu. Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta. Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta. Alavi, Rokiah. 2007. An Overview of Key Markets, Tariff and Non-Tariff Measures on Asian Exports of Select Environmental Goods, ICTSD Trade and Environment Series Issue Paper No. 4. International Centre for Trade and Sustainable Development (ICTSD). Swiss. Anggraini, Eva. 2007. Biaya Transaksi Usaha Penangkapan Ikan di Kota Pekalongan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 12. No 1: 35-42. CIFOR. (no date). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Kolaborasi antara Masyarakat Desa Hutan dengan Perum Perhutani dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Jawa. http://cifor.org/lpf/docs/java/lpf_flyer_phbm.pdf. Diakses: 1 Maret 2012. Daniyati, Erlina. 2009. Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Darusman, Dudung dan Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan 2006. http://dephut.go.id/files/ekonomi_HR.pdf. Diakses: 8 Desember 2012. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bondowoso. (no date). Budidaya Jati. http://www.dishutbun.bondowosokab.go.id/artikel/budidaya/100-budidayajati.html. Diakses: 25 September 2012. Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap Industri Furnitur. http://agro.kemenperin.go.id/417-ROADMAPINDUSTRI-FURNITURE. Diakses: 8 Desember 2012. Djogo, Tony, Sunaryo, Didik Suharjito, dan Martua Sirait. 2003. Bahan Ajar Agroforestri 8, Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Elliott, Christopher. 2000. Forest Certification: A Policy Perspective. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009. http://fwi.or.id/. Diakses: 1 Maret 2012. Gadas, Slamer Riyadhi dan Sulistya Ekawati. (no date). Menuju Sertifikasi Hutan Rakyat, Pengalaman dari: Wonogiri, Wonosobo, dan Gunung Kidul. http://dephut.go.id/files/3.pdf. Diakses: 1 Februari 2012. Hindra, Billy. 2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 "Kontribusi Hutan Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan". Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. Hinrich, Alexander Dwi R. Muhtaman, dan Nawa Irianto. 2008. Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammen Arbeit (GTZ) GmbhH. Jakarta. Hirakuri, Sofia R. 2003. Can Law Save The Forest? The Lessons from Finland and Brazil. CIFOR. Jakarta. Hussain, S. Salman. 2000. Green Consumerism and Ecolabelling: A Strategic Behavioural Model. Journal of Agricultural Economics. Vol. 51. No. 1: 77-89. Kementerian Kehutanan. 2011. Data Strategis Kehutanan, November 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta. ___________________. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. http://www.dephut.go.id/files/P3_2011.pdf. Diakses: 1 Maret 2012. Kusumaatmadja 1995 dalam Riyatno. 2004. Perdagangan Internasional dan Lingkungan Hidup. Universitas Indonesia. Jakarta. Lembaga Ekolabel Indonesia. (no date). Forest Management Unit and Forestry Industries Certified by LEI Scheme (February 2011). http://www.lei.or.id/files/Certified%20UM_Feb11.pdf. Diakses: 1 Februari 2012. ______________________. (no date). Mengapa Memilih Skema Sertifikasi LEI? Lembaga Ekolabel Indonesia. Bogor. ______________________. (no date). Pedoman Sertifikasi PHBML. http://www.lei.or.id/id/dokumen-sertifikasi-phbml. Diakses: 1 Februari 2012. _______________________. (no date). Sekilas Sertifikasi LEI. Lembaga Ekolabel Indonesia. Bogor. 96 ______________________. (no date). Sertifikasi http://lei.or.id/id/sertifikasi-phbml. Diakses: 1 Februari 2012. PHBML. _______________________. (no date). Wonogiri Menuju Sertifikasi PHBML. http://lei.or.id/id/news/386/wonogiri-menuju-sertifikasi-phbml. Diakses: 1 Februari 2012. Litbang Kehutanan. 2009. Roadmap Industri Kehutanan 2010-2025. http://apki.net/wp-content/uploads/2012/06/Roadmap-Kehutanan.pdf. Diakses: 8 Desember 2012. OEDC 1996 dalam Elliott, Christopher. 2000. Forest Certification: A Policy Perspective. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Persepsi. 2004. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk Unit Manajemen FKPS Desa Sumberejo, Kec. Batuwarno, Kab. Wonogiri, Jawa Tengah, Buku I. Tidak dipublikasikan. ______. 2004. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk Unit Manajemen FKPS Desa Sumberejo, Kec. Batuwarno, Kab. Wonogiri, Jawa Tengah, Buku II. Tidak dipublikasikan. ______. 2004. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk Unit Manajemen FKPS Kelurahan Selopuro, Kec. Batuwarno, Kab. Wonogiri, Jawa Tengah, Buku II. Tidak dipublikasikan. ______. 2006. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk Unit Manajemen PPHR Catur Giri Manunggal, Kec. Giriwoyo, Kab. Wonogiri, Jawa Tengah, Buku I. Tidak dipublikasikan. ______. 2006. Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML dengan sistem LEI untuk Unit Manajemen PPHR Catur Giri Manunggal, Kec. Giriwoyo, Kab. Wonogiri, Jawa Tengah, Buku II. Tidak dipublikasikan. Riyatno. 2004. Perdagangan Internasional dan Lingkungan Hidup. Universitas Indonesia. Jakarta. Rohman, Nur. 2010. Kajian Dampak Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) terhadap Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi Kasus Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Koperasi Wana Manunggal Lestari, Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). http://eprints.undip.ac.id/24747/1/TesisNurRohman.pdf. Diakses: 1 Februari 2012. Rubiyanto, Martinus Ardi. 2011. Kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat di Desa Buniwangi, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Skripsi. Program 97 Studi Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muhamad. 2008. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif. Grafindo. Jakarta. Sedjo, Roger A. dan Stephen K.S. 2002. Voluntary Eco-labelling and The Price Premium. Land Economics. Vol. 78. No. 2: 272-284. Simula, Markku, Satria Astana, Roslan Ishmael, Eliezer J. Santana, dan Marcelo L. Schmidt. 2005. Report on Financial Cost Benefit Analysis of Forest Certification Implementation of Phased Approaches. E-label Jurnal Sertifikasi Ekolabel. Vol. 3. No. 1: 1-33. Soedomo, Sudarsono. 2004. Sertifikasi Produk Hutan: Mampukah Pasar Mengoreksi Kegagalannya Sendiri?. E-label Jurnal Sertifikasi Ekolabel. Vol. 1. No. 2: 811. Sofiyuddin, Muhammad. 2007. Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri). Skripsi. Program Studi Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suharti, Sri. (no date). Increased Community Participation in Forest Management Through the Development of Social Forestry Programmes in Indonesia. http://www.tropenbos.org/publications/increased+community+participation+i n+forest+management+through+the+development+of+social+forestry+progra mmes+in+indonesia. Diakses tanggal: 8 Desember 2012. Sukadaryati. 2006. Potensi Hutan Rakyat di Indonesia dan Permasalahannya. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan 2006. http://dephut.go.id/files/HR_pemasalahan.pdf. Diakses tanggal: 8 Desember 2012. van Dam, Chris. 2005. Nilai Ekonomi Sertifikasi Hutan. E-label Jurnal Sertifikasi Ekolabel. Vol. 3. No. 2: 34-58. Wie, Thee Kian. (no date). Pengaruh Ekolabel Terhadap Perdagangan Internasional KayuiIndonesia.http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/dow nloadDatabyId/9023/9023.pdf. Diakses: 8 Desember 2012. Zakiya, Zaki. 2012. Sertifikasi Kayu Makin Akrab dengan Usaha Hutan. http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/sertifikasi-kayu-makin-akrabdengan-usaha-hutan. Diakses: 29 Oktober 2012. 98 LAMPIRAN 99 Lampiran 1. Kelembagaan Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi Unsur Kelembagaan A. Institusi FKPS Selopuro FKPS Sumberejo Forum Komunikasi Petani Sertifikasi Selopuro, unit manajemen hutan rakyat sertifikasi Desa Selopuro. Memiliki 8 Kelompok Petani Sertifikasi (KPS) dengan total jumlah anggota 682 orang. Forum Komunikasi Petani Sertifikasi Sumberejo, unit manajemen hutan rakyat sertifikasi Desa Sumberejo. Memiliki 8 Kelompok Petani Sertifikasi (KPS) dengan total jumlah anggota 958 orang. PPHR Catur Giri Manunggal Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat Catur Giri Manunggal, unit manajemen hutan rakyat sertifikasi Kecamatan Giriwoyo. Memiliki 4 Gabungan Pelestari Hutan Rakyat (GPHR) di tingkat desa/ kelurahan dan 7 Kelompok Pelestari Hutan Rakyat (KPHR) di tingkat dusun dengan total jumlah anggota 2902 orang. B. Norma Tingkah Laku Diadopsi untuk pembuatan AD/ ART dan Diadopsi untuk pembuatan AD/ ART dan tata Diadopsi untuk pembuatan AD/ ART dan tata kelola tata kelola hutan. kelola hutan. hutan. C. Peraturan dan Penegakan Aturan/ Hukum Norma yang disahkan melalui pembuatan AD/ ART dan tata kelola hutan. Penegakan aturan tergolong tidak tegas, belum mengikat, dan ada seksi kemananan yang mengawasi dan pengawasan dibantu oleh seluruh masyarakat dengan menerapkan norma gethok tular. Norma yang disahkan melalui pembuatan AD/ ART dan tata kelola hutan. Penegakan aturan tergolong tidak tegas, belum mengikat, dan tidak ada petani hutan khusus yang mengawasi. Pengawasan dilakukan oleh antar anggota dalam masyarakat dengan menerapkan norma gethok tular. D. Aturan Dalam Masyarakat Norma sosial, AD/ ART kelompok dan Norma sosial, AD/ ART kelompok dan aturan Norma sosial, AD/ ART kelompok dan aturan kelola aturan kelola hutan rakyat. kelola hutan rakyat. hutan rakyat. E. Kode Etik Tidak ada. Tidak ada. Norma yang disahkan melalui pembuatan AD/ ART dan tata kelola hutan. Penegakan aturan tergolong tidak tegas bahkan cenderung sangat lemah, belum mengikat, dan pengawasan penegakan aturan dilakukan oleh petugas KPHR. PPHR bahkan memiliki peta penanganan sengketa hutan rakyat lintas desa namun tidak dapat mengatasi konflik lahan hutan rakyat yang dialami warganya. Tidak ada. F. Hak Milik (Property 100% petani hutan sebelum sertifikasi sudah 100% petani hutan sebelum sertifikasi sudah 100% petani hutan sebelum sertifikasi sudah Rights atau Tenureship) mempunyai surat resmi untuk menunjukkan mempunyai surat resmi untuk menunjukkan mempunyai surat resmi untuk menunjukkan kejelasan kejelasan hak milik lahan. kejelasan hak milik lahan. hak milik lahan. 100 100 Unsur Kelembagaan G. Organisasi FKPS Selopuro FKPS Sumberejo PPHR Catur Giri Manunggal Terdiri dari delapan KPS yang tergabung Terdiri dari delapan KPS yang tergabung dalam Terdiri dari tujuh KPHR yang tergabung dalam dalam FKPS. FKPS. GPHR. Dalam PPHR terdapat empat GPHR. H. Insentif untuk Tidak ada. Menghasilkan Tingkah Laku yang Diinginkan Tidak ada. Tidak ada. 101 101 Lampiran 2. Dampak Sosial PenerapanSertifikasi PHBML di Tiga Unit Manajemen Tersertifikasi FKPS Selopuro Indikator Dampak Sosial Σ Klarifikasi Hak Milik Lahan dan Resolusi A. Kejelasan Status Kepemilikan Lahan dan Kepemilikan Sertifikat Tanah 1. Sebelum sertifikasi sudah jelas dan sudah mempunyai sertifikat tanah 2. Sesudah sertifikasi baru jelas dan baru mempunyai sertifikat tanah Jumlah B. Ada atau Tidaknya Konflik Lahan 1. Ya, ada 2. Tidak Jumlah C. Ada atau Tidaknya Solusi Konflik Setelah Sertifikasi 1. Ada 2. Tidak ada 3. Tidak ada konflik Jumlah Partisipasi dan Kesadaran Komunitas akan Manfaat dari Pengelolaan Hutan Frekuensi Kehadiran dalam Pertemuan Rutin Kelompok Tani 1. Sering 2. Tidak 3. Kadang-kadang Jumlah 0 % FKPS Sumberejo Σ PPHR Catur Giri Manunggal Σ % % Σ % 30 100,00 0 30 000,00 100,00 30 100,00 0 00 00,00 30 100,00 0 30 30 00,00 100,00 100,00 00 30 30 00 0,00 100,00 100,00 00 2 6,67 28 093,33 30 100,00 2 2,22 88 97,78 90 100,00 00 00 30 30 000,00 000,00 100,00 100,00 00 00 30 30 000,00 000,00 100,00 100,00 00 02 28 30 000,00 006,67 093,33 100,00 0 0,00 2 2,22 88 97,78 90 100,00 29 00 01 30 0 96,67 000,00 003,33 100,00 93,33 003,33 03,33 100,00 17 56,67 10 33,33 03 10,00 30 100,00 74 82,22 11 12,22 5 5,55 90 100,00 0 30 100,00 0]00 0 0,00 30 100,00 Total 90 100,00 0 0,00 90 100,00 0 0 28 01 01 30 Peningkatan Kapasitas Petani Hutan Rakyat A. Kemudahan mengakses informasi mengenai pasar dan harga kayu 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak berbeda 4. Tidak jual kayu dan tidak tahu Jumlah 30 00 00 00 30 100,00 000,00 000,00 000,00 100,00 26 03 01 00 30 86,67 010,00 003,33 000,00 100,00 20 66,67 07 23,33 00 00,00 03 10,00 30 100,00 76 84,44 10 11,11 1 1,11 3 3,33 90 100,00 B. Tambahan pengetahuan mengenai hutan rakyat, potensi, dan manfaatnya setelah sertifikasi. 1. Ya ada 2. Tidak 3.Tidak tahu Jumlah 30 00 00 30 100,00 000,00 000,00 100,00 30 00 00 30 100,00 000,00 000,00 100,00 19 63,33 07 23,33 04 13,33 30 100,00 79 87,78 7 7,78 4 4,45 90 100,00 0 102 FKPS Selopuro Indikator Dampak Sosial Σ Peningkatan Peran Serta dalam Pengelolaan Hutan Lestari akibat Adanya Peningkatan Pengetahuan A. Persepsi mengenai perlu tidaknya hutan dijaga agar tetap lestari setelah mengetahui manfaat hutan 1. Sangat perlu 2. Perlu Jumlah B. Cara perolehan pengetahuan 1. Mengikuti penyuluhan 2. Mengikuti pertemuan rutin kelompok tani 3. Mengikuti penyuluhan dan pertemuan rutin 4. Mengikuti penyuluhan dari Persepsi 5. Dari Pak Kadus 6. Tidak mengikuti apapun Jumlah % 15 15 30 FKPS Sumberejo Σ % 50,00 50,00 100,00 11 19 30 36,67 63,33 100,00 00 00,00 01 03,33 00 0 1 00,00 0 3,33 290 0 00 00 30 96,67 00,00 0,00 00,00 100,00 29 0 00 00 30 96,67 00,00 00,00 00,00 100,00 PPHR Catur Giri Manunggal Σ % Total Σ 12 40,00 18 60,00 30 100,00 04 0 4 % 38 42,22 52 57,78 90 100,00 13,33 4 4,45 13,33 6 6,67 14 46,67 1 03,33 01 03,33 06 20,00 30 100,00 72 1 1 6 90 80,00 1,11 1,11 6,67 100,00 103 Lampiran 3. Kriteria Penguatan Kelembagaan sebagai Dampak Sosial Penerapan Sertifikasi di Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi Penguatan Kelembagaan FKPS Selopuro FKPS Sumberejo PPHR Catur Giri Manunggal Pengembangan Kelembagaan Hutan Rakyat A. Identifikasi kelembagaan potensial Sudah terbentuk unit manajemen dan Sudah terbentuk unit manajemen dan Sudah terbentuk unit manajemen dan TPKS TPKS TPKS B. Penumbuhan motivasi Penumbuhan motivasi dengan cara Penumbuhan motivasi dengan cara Penumbuhan motivasi dengan cara pemberian penyuluhan akan manfaat pemberian penyuluhan akan manfaat pemberian penyuluhan akan manfaat sertifikasi. sertifikasi. sertifikasi. C.Penumbuhan kelembagaan Sudah ada sejak dulu namun untuk kepentingan sertifikasi diubah menjadi FKPS dan pemilihan pengurus dilakukan secara musyawarah. Sudah ada sejak dulu namun untuk kepentingan sertifikasi diubah menjadi FKPS dan pemilihan pengurus dilakukan secara musyawarah dan sukarela. Sudah ada sejak dulu namun untuk kepentingan sertifikasi dibentuk kembali menjadi PPHR dengan menyatukan kelompok-kelompok yang ada di 4 desa dan pemilihan pengurus dilakukan layaknya pilkades. D. Pengembangan kelembagaan 1. Fasilitasi kapasitas SDM/ pengurus Ada pelatihan anggota dan pengurus yang Ada pelatihan khusus pengurus dan ada Ada pelatihan khusus untuk pengurus dilakukan secara bergilir. pelatihan khusus untuk umum. saja melalui pendampingan dari LSM. 2. Fasilitasi mekanisme manajemen dan kelembagaan Tidak ada fasilitas khusus. Tidak ada fasilitas khusus. Tidak ada fasilitas khusus. 3. Fasilitasi pengembangan aktivitas dan usaha Pemberian mesin-mesin handicraft. Pemberian mesin-mesin handicraft. Ada kelompok pengrajin handicraft dan bantuan peralatan. 104 104 Penguatan Kelembagaan FKPS Selopuro FKPS Sumberejo PPHR Catur Giri Manunggal Menjalin kemitraan bantuan dan atau bisnis dengan LEI, WWF, CIFOR, CV. Greenliving, dinas, Persepsi, Jawa Furni, PT. Jaring Akar Ranting, DAS Bengawan Solo, PT. Ideas, PT. ANJ, PT. Novika. Menjalin kemitraan bisnis dan atau pelatihan dengan PT. Jaring Akar Ranting, ASMINDO, PT, Jawa Furni, dan Bank Exim. Menjalin kemitraan bisnis dan atau bantuan dengan Persepsi, PT. Jaring Akar Ranting, CV. Greenliving, dan Dinhut. Masyarakat terdiri dari anggota yang saling mengenal, memiliki visi, misi, dan kepentingan yang sama dengan frekuensi gotong royong yang tinggi. Terdapat pelatihan dari Persepsi yang menimbulkan kemandirian. Masyarakat terdiri dari anggota yang saling mengenal, memiliki visi, misi dan kepentingan yang sama dengan gotong royong sebagai azas dan fondasinya. Tidak ada pelatihan khusus anggota tapi memiliki 1 anggota tenaga terampil yang pernah mengikuti pelatihan handicraft. Masyarakat terdiri dari anggota yang saling mengenal, memiliki visi, misi, dan kepentingan yang sama dengan frekuensi gotong royong yang tinggi. Terdapat pelatihan handicraft dari Persepsi namun hanya untuk 5 orang. B. Menumbuhkan gabungan kelompok masyarakat Ada simpan pinjam tapi tidak diperuntukkan untuk peningkatan modal usaha. Ada rencana untuk memperbesar skala usaha tapi tidak ada usaha yang dilakukan. Ada simpan pinjam yang dipungut melalui iuran biasa dan memiliki rencana untuk memperbesar skala usaha dengan mengkursuskan salah satu anggotanya dalam kursus keterampilan mengolah kayu namun belum ada usaha untuk meningkatkan posisi tawar anggota. Tidak ada penghimpunan modal usaha namun sudah ada usaha untuk memperbesar skala usaha dengan cara memasarkan kayu sertifikasi dan berusaha untuk meningkatkan posisi tawar dengan bekerjasama dengan PT. Jaring Akar Ranting. Menumbuhkan lembaga ekonomi formal Sistem simpan pinjam kelompok ada tetapi tidak ada pelatihan khusus untuk pengembangan kewirausahaan atau manajemen usaha. Ada sistem simpan pinjam dan ada pelatihan pengembangan kewirausahaan tetapi lewat desa yang pernah dilakukan 1 kali dan menunjukkan keantusiasan petani yang sangat tinggi. Tidak ada simpan pinjam kelompok tetapi ada pelatihan khusus untuk pengembangan kewirausahaan dan manajemen usaha yang diadakan selama 1 minggu dan menunjukkan keantusiasan petani yang sangat tinggi. 4. Pengembangan kemitraan Pengembangan Kelembagaan Ekonomi Dorongan dan bimbingan kepada masyarakat agar mampu bekerjasama di bidang ekonomi secara berkelompok 105 105 Lampiran 4. Dampak Ekonomi Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi FKPS Selopuro Indikator Dampak Ekonomi Σ Dampak Ekonomi Langsung Adanya premium price A. Harga jual kayu setelah sertifikasi 1. Naik, kenaikan sesuai pasaran kayu 2. Belum jual kayu dan tidak pernah jual 3. Biasa saja, harga masih sesuai dengan pasaran kayu dan tergantung bakul 4. Naik, 30% 5. Tidak tahu Jumlah % FKPS Sumberejo Σ PPHR Catur Giri Manunggal % Σ % Total Σ % 24 80,00 28 93,33 21 70,00 73 81,11 01 3,33 06,67 05 16,67 8 8,88 04 00,00 02 06,67 6 6,67 00 00 30 13,33 0 0,00 0,00 100,00 02 0 0 0 00,00 00 00,00 30 100,00 01 01 30 03,33 03,33 100,00 1 1 90 1,11 1,11 100,00 16 00 04 06 00 04 30 53,33 00,00 13,33 20,00 00,00 13,33 100,00 17 56,67 00 00,00 00 00,00 12 40,00 00 00,00 01 03,33 30 100,00 19 02 02 02 01 04 30 63,33 06,67 06,67 06,67 03,33 13,33 100,00 52 2 6 20 1 9 90 57,78 2,22 6,67 22,22 2,22 10,00 100,00 24 04 80,00 13,33 29 01 96,67 03,33 0 26 04 0 86,67 13,33 79 9 87,78 10,00 02 30 0 6,67 100,00 00 0,00 30 100,00 0 30 00,00 100,00 2 90 2,22 100,00 Adanya penetrasi ke pasar baru A. Pertambahan pembeli setelah sertifikasi 1. Ada 2. Tidak ada 3. Belum jual dan tidak jual kayu 4. Tidak tahu Jumlah 10 14 04 02 30 33,33 46,67 13,33 06,67 100,00 0 25 83,33 04 13,33 01 03,33 00 00,00 30 100,00 7 20 03 00 30 23,33 66,67 10,00 00,00 100,00 42 38 8 2 90 46,67 42,22 8.89 2,22 100,00 B. Pertambahan pembeli signifikan atau tidak 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak ada pertambahan 4. Tidak tahu 5. Belum jual dan tidak jual kayu Jumlah 08 01 14 03 04 30 26,67 03,33 46,67 10,00 13,33 100,00 20 66,67 03 10,00 04 13,33 02 06,67 01 03,33 30 100,00 05 02 20 00 03 30 16,67 06,67 66,67 00,00 13,33 100,00 33 6 38 5 8 90 36,67 6,67 42,22 5,56 8,89 100,00 B. Perubahan harga berpengaruh signifikan atau tidak terhadap pendapatan 1. Ya 2. Biasa saja 3. Tidak tahu 4. Tidak 5. Cukup 6. Belum jual Jumlah C. Pembeli menghargai dengan premium price atau tidak 1. Tidak 2. Belum jual dan tidak pernah jual 3. Ya, pembeli dari Jakarta dan warga sekitar ada yg membeli dengan harga tinggi Jumlah 106 FKPS Selopuro Indikator Dampak Ekonomi Σ % Adanya eksistensi di pasar lama Pembeli lama masih membeli kayu atau tidak 1. Ya 2. Tidak 3. Belum jual dan tidak pernah jual kayu Jumlah 26 00 0 4 30 Posisi petani hutan rakyat A. Informasi kenaikan harga 1. Bakul 2. Bakul, pengepul 3. Pasar kayu, pengepul 4. Belum jual 5. Pasar kayu sertifikasi 6. Kelompok tani, pasar kayu 7. Tidak pernah jual 8. Pasar kayu Jumlah C. Penentu kenaikan harga 1. Bakul 2. Bakul, pengepul 3. Pasar kayu, pengepul 4. Belum jual 5. Pasar kayu sertifikasi 6. Kelompok tani, pasar kayu 7. Diri sendiri 8. Bakul dan diri sendiri 9. Tidak pernah jual 10. Pasar kayu 11. Pasar kayu, diri sendiri, bakul Jumlah D. Penentu harga jual kayu sebelum sertifikasi 1. Diri sendiri dan bakul (tawar menawar) 2. Pengepul kayu 3. Belum jual 4. Ditentukan sendiri 5. Tidak pernah jual 6. Diri sendiri dan bakul, pasar kayu Jumlah 86,67 00,00 FKPS Sumberejo Σ % 28 01 PPHR Catur Giri Manunggal Σ % Total Σ % 93,33 03,33 24 02 80,00 06,67 78 3 86,67 3,33 13,33 100,00 01 03,33 30 100,00 04 30 13,33 100,00 9 90 10,00 100,00 24 01 01 04 00 00 00 00 30 80,00 03,33 03,33 13,33 00,00 00,00 00,00 00,00 100,00 29 96,67 01 03,33 00 00,00 00 00,00 00 00,00 00 00,00 00 00,00 00 00,00 30 100,00 23 00 00 02 01 01 01 02 30 76,67 00,00 00,00 06,67 03,33 03,33 03,33 06,67 100,00 76 2 1 6 1 1 1 2 90 84,44 2,22 1,11 6,67 1,11 1,11 1,11 2,22 100,00 24 01 01 04 00 00 00 00 00 00 00 30 80,00 03,33 03,33 13,33 00,00 00,00 00,00 00,00 00,00 00,00 00,00 100,00 30 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 30 100,00 000,00 000,00 000,00 000,00 000,00 000,00 000,00 000,00 000,00 000,00 100,00 19 00 00 02 01 01 03 01 01 01 01 30 63,33 00,00 00,00 06,67 03,33 03,33 10,00 03,33 03,33 03,33 03,33 100,00 73 1 1 6 1 1 3 1 1 1 1 90 81,11 1,11 1,11 6,67 1,11 1,11 3,33 1,11 1,11 1,11 1,11 100,00 25 01 04 00 00 83,33 03,33 13,33 00,00 00,00 30 00 00 00 00 25 00 02 01 01 88,89 1,11 6,67 1,11 1,11 00,00 100,00 83,33 00,00 06,67 03,33 03,33 0 3,33 100,00 80 1 6 1 1 00 30 100,00 000,00 000,00 000,00 000,00 0 00 00,00 30 100,00 1 90 1,11 100,00 01 30 107 FKPS Selopuro Indikator Dampak Ekonomi Σ % FKPS Sumberejo Σ % PPHR Catur Giri Manunggal Σ % Total Σ % E. Penentu harga jual kayu sesudah sertifikasi 1. Diri sendiri dan bakul (tawar menawar) 2. Pengepul kayu 3. Belum jual 4. Tidak pernah jual 5. Pasar sertifikasi 6. Diri sendiri dan bakul, pasar kayu Jumlah 25 01 04 00 00 0 0 30 83,33 03,33 13,33 00,00 00,00 0 0,00 100,00 30 00 00 00 00 0 0 30 100,00 00,00 000,00 000,00 000,00 0 00,00 100,00 25 00 02 01 01 83,33 00,00 06,67 03,33 03,33 80 1 6 1 1 88,89 1,11 6,67 1,11 1,11 01 30 03,33 100,00 1 90 1,11 100,00 Peningkatan pendapatan petani hutan rakyat. Pendapatan penjualan kayu sesudah sertifikasi 1. Naik 2. Tidak 3. Biasa saja 4. Belum jual 5. Tidak tahu Jumlah 24 00 02 04 00 30 80,00 00,00 06,67 13,33 00,00 100,00 29 96,67 00 00,00 00 00,00 01 03,33 00 00,00 30 100,00 22 00 02 05 01 30 73,33 00,00 06,67 16,67 03,33 100,00 75 0 4 10 1 90 83,33 0,00 4,45 20 1,11 100,00 25 01 83,33 03,33 25 02 83,33 06,67 80 3 88,89 3,33 04 30 13,33 100,00 30 100,00 00 000,00 0 00 00,00 30 100,00 03 30 10,00 100,00 7 90 7,78 100,00 25 01 0 4 83,33 3,33 25 01 83,33 03,33 80 2 88,89 2,22 03 10,00 7 7,78 00 30 00,00 100,00 30 100,00 00 000,00 0 0 0 00,00 0 00 0 0,00 30 100,00 01 30 03,33 100,00 1 90 1,11 100,00 Memperpendek rantai distribusi A. Rantai pemasaran kayu sebelum sertifikasi 1. Penjual-pembeli (bakul)pengepul-industri 2. Penjual-pengepul-industri 3. Belum jual dan tidak pernah jual Jumlah B. Rantai pemasaran kayu sesudah sertifikasi 1. Penjual-pembeli (bakul)pengepul-industri 2. Penjual-pengepul-industri 3. Belum jual dan tidak pernah jual 4. Penjual-TPKS-pasar sertifikasi (buyer) Jumlah 13,33 108 Lampiran 5. Perhitungan Penggunaan Lahan, Jumlah Kayu dan Pendapatan Perhitungan Penggunaan Lahan dan Jumlah Kayu pada Tiap Tipe Lahan Total lahan = 262,77 ha Lahan pada unit manajemen hutan rakyat terbagi menjadi: 1) lahan pekarangan, 2) lahan ladang tipe 1, dan 3) lahan ladang tipe 2A dan 2B Lahan Pekarangan - Luas lahan pekarangan untuk 682 petani = 96,21 ha - Luas lahan pekarangan per petani (A) = luas lahan : jumlah petani = 96,21 ha : 682 petani = 0,14 ha - Jumlah kayu pada lahan pekarangan per petani = A x 150 pohon1) (B) = 0,14 x 150 = 21 pohon - Luas lahan untuk penanaman kayu untuk per petani (C) = B x jarak tanam = 21 pohon x jarak tanam = 21 x 3 meter x 3 meter = 189 m2 = 0,0189 ha - Luas lahan untuk penanaman kayu bagi semua petani (D) = C x jumlah petani = 0,0189 x 682 orang = 12,89 ha - Jumlah tanaman kayu di pekarangan = D x jumlah pohon per ha = 12,89 x 150 = 1.933 pohon Jumlah tanaman kayu di lahan pekarangan untuk satu unit manajemen adalah 1.933 pohon dengan luas penggunaan lahan untuk penanaman sebesar 12,89 ha Lahan Ladang Tipe 1 (Lahan Ladang Kayu) - Luas lahan ladang kayu (E) = (Luas lahan total - pekarangan) x proporsi penggunaan lahan ladang tipe 12) = (262,77 - 96,21) x 60% = 99,94 ha - Jumlah tanaman kayu di ladang tipe 1 = E x 677 pohon3) = 99,94 x 677 = 67.659 pohon Jumlah tanaman kayu di lahan tipe 1 untuk satu unit manajemen adalah 67.659 pohon dengan luas penggunaan lahan untuk penanaman sebesar 99,94 ha Lahan Ladang Tipe 2 (Lahan Tumpangsari Kayu dan Pertanian) - Luas total ladang tipe 2 (F) =(Luas lahan total - pekarangan) x proporsi penggunaan lahan ladang tipe 24) = (262,77 - 96,21) x 40% = 66,62 ha A. Lahan Ladang Tumpangsari yang Ditanami Kayu (Lahan Tipe 2A) - Luas lahan tipe 2A (G) = 150 pohon1) x jarak tanam x F = 150 x 3 meter x 3 meter x 66,62 ha =89.937 m2 atau 8,9 ha 109 - Jumlah tanaman kayu di lahan tipe 2A = G x 150 pohon1) = 8,9 x 150 = 1.335 pohon B. Lahan Ladang Tumpangsari yang Ditanami Tanaman Pertanian (Lahan Tipe 2B) - Luas lahan tipe 2B (H) =F-G = 66,62 - 8,9 = 57,72 ha Jumlah tanaman kayu di lahan tipe 2 untuk satu unit manajemen adalah 1.335 pohon dengan luas penggunaan lahan untuk penanaman sebesar 8,9 ha dan luas penggunaan lahan untuk pertanian sebesar 57,72 ha. Perhitungan Pendapatan - Pendapatan dari kayu Pendapatan dari kayu jati pada tahun ke-20 = Jumlah pohon x proporsi penanaman jati5) x harga jati per pohon6) = 70.927 x 63% x 800.000 = 35.747.208.000 Pendapatan dari kayu mahoni pada tahun ke-20 = Jumlah pohon x proporsi penanaman mahoni7) x harga mahoni per pohon8) = 70.927 x 37% x 400.000 = 10.497.196.000 Total pendapatan dari kayu pada tahun ke-20 = pendapatan kayu jati + pendapatan kayu mahoni = 35.747.208.000+ 10.497.196.000 = 46.244.404.000 - Pendapatan dari pertanian Pendapatan dari pertanian selama 20 tahun = H x pendapatan pertanian per ha x 20 tahun = 57,72 x 1.460.400 x 20 = 1.685.886.760 Sumber: Sofiyuddin (2007) dan Data Primer (2012) Keterangan: 1) Jumlah kayu yang ditanam pada lahan pekarangan diasumsikan sama dengan jumlah kayu yang ditanam pada lahan tipe 2A karena pola penanamannya sama, yakni pada tepi lahan, dimana pada penanaman kayu dengan pola tepi lahan tiap 1 hektarnya mampu mengakomodir 150 pohon. 2),4) Proporsi penggunaan lahan tipe 1 dan 2 berdasarkan pada kondisi lapang dan diasumsikan proporsi penggunaannya adalah 60%:40% 3) Jumlah kayu yang ditanam pada lahan khusus untuk kayu (tidak bertumpangsari dengan tanaman pertanian) adalah 677 pohon sesuai dengan studi literatur. 5) Proporsi penanaman jati diperoleh dari perbandingan jumlah jati terhadap jumlah total jati dan mahoni di tahun ke-20 berdasarkan studi literatur. 6) Harga jati perpohon diperoleh dari data primer dan diasumsikan tetap. 7) Proporsi penanaman mahoni diperoleh dari perbandingan jumlah mahoni terhadap jumlah total jati dan mahoni di tahun ke-20 berdasarkan studi literatur. 8) Harga mahoni perpohon diperoleh dari data primer dan diasumsikan tetap. 110 Lampiran 5. Cashflow Skenario 1 (Bagian 1) Tahun KeManfaat Tanaman pertanian Penebangan akhir Hibah bibit jati Total Manfaat Biaya Tanaman pertanian 1. Bibit pertanian 2. Penyiapan lahan 3. Penanaman pertanian 4. Pemupukan Penyiapan lahan HR Penanaman HR 1. Penanaman 2. Bibit Perawatan HR 1. Pemupukan Biaya panen pertanian Biaya tebangan akhir Biaya administrasi Biaya persiapan sertifikasi Biaya sertifikasi Biaya surveillance Pajak Total Biaya Net benefit Disc. Factor PV manfaat PV biaya PV manfaat-PV biaya NPV Net B/ C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 84.294.288 339.030.000 423.324.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 14.733.030 8.080.800 25.396.800 401.386.902 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 36.386.558 - - - - - - - - - - 30.254.652 6.926.400 5.272.480 528.437.623 -105.113.335 0,946 400.306.655 499.704.608 -99.397.952 15.235.134.047 -154,27 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,894 75.376.748 54.018.754 21.357.994 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,846 71.278.248 51.081.564 20.196.684 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,800 67.402.599 48.304.079 19.098.520 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,756 63.737.682 45.677.616 18.060.066 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,715 60.272.040 43.193.964 17.078.076 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,676 56.994.837 40.845.356 16.149.481 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,639 53.895.827 38.624.450 15.271.377 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,605 50.965.321 36.524.302 14.441.018 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,572 48.194.157 34.538.347 13.655.809 111 111 Lampiran 5. Cashflow Skenario 1 (Bagian 2) Tahun KeManfaat Tanaman pertanian Penebangan akhir Hibah bibit jati Total Manfaat Biaya Tanaman pertanian 1. Bibit pertanian 2. Penyiapan lahan 3. Penanaman pertanian 4. Pemupukan Penyiapan lahan HR Penanaman HR 1. Penanaman 2. Bibit Perawatan HR 1. Pemupukan Biaya panen pertanian Biaya tebangan akhir Biaya administrasi Biaya persiapan sertifikasi Biaya sertifikasi Biaya surveillance Pajak Total Biaya Net benefit Disc. Factor PV manfaat PV biaya PV manfaat-PV biaya NPV Net B/ C 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 46.244.404.000 46.328.698.288 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - - - - - - - - - - - 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,541 45.573.671 32.660.376 12.913.295 15.235.134.047 -154,27 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,511 43.095.670 30.884.516 12.211.154 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,483 40.752.406 29.205.216 11.547.190 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,457 38.536.554 27.617.226 10.919.329 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,432 36.441.186 26.115.580 10.325.606 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,409 34.459.751 24.695.584 9.764.167 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,387 32.586.053 23.352.798 9.233.255 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,366 30.814.234 22.083.024 8.731.210 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,346 29.138.756 20.882.292 8.256.463 6.926.400 85.211.000 34.100.000 5.272.480 179.720.510 46.148.977.778 0,327 15.144.068.903 58.747.599 15.085.321.304 112 112 Lampiran 6. Cashflow Skenario 2 (Bagian 1) Tahun KeManfaat Tanaman pertanian Penebangan akhir Hibah bibit jati Total Manfaat Biaya Tanaman pertanian 1. Bibit pertanian 2. Penyiapan lahan 3. Penanaman pertanian 4. Pemupukan Penyiapan lahan HR Penanaman HR 1. Penanaman 2. Bibit Perawatan HR 1. Pemupukan Biaya panen pertanian Biaya administrasi Biaya persiapan sertifikasi Biaya sertifikasi Biaya surveillance Pajak Total Biaya Net benefit Disc. Factor PV manfaat PV biaya PV manfaat-PV biaya NPV Net B/ C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 84.294.288 339.030.000 423.324.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 14.733.030 8.080.800 25.396.800 401.386.902 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 36.386.558 - - - - 30.254.652 6.926.400 150.000.000 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 60.000.000 5.272.480 678.437.623 -255.113.335 0,946 400.306.655 641.548.579 -241.241.924 14.961.358.163 -45,93 60.409.510 23.884.778 0,894 75.376.748 54.018.754 21.357.994 120.409.510 -36.115.222 0,846 71.278.248 101.816.851 -30.538.603 10 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - - - - - - - 6.926.400 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 20.000.000 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,800 67.402.599 48.304.079 19.098.520 60.409.510 23.884.778 0,756 63.737.682 45.677.616 18.060.066 60.409.510 23.884.778 0,715 60.272.040 43.193.964 17.078.076 60.409.510 23.884.778 0,676 56.994.837 40.845.356 16.149.481 80.409.510 3.884.778 0,639 53.895.827 51.411.989 2.483.838 60.409.510 23.884.778 0,605 50.965.321 36.524.302 14.441.018 60.409.510 23.884.778 0,572 48.194.157 34.538.347 13.655.809 113 113 Lampiran 6. Cashflow Skenario 2 (Bagian 2) Tahun KeManfaat Tanaman pertanian Penebangan akhir Hibah bibit jati Total Manfaat Biaya Tanaman pertanian 1. Bibit pertanian 2. Penyiapan lahan 3. Penanaman pertanian 4. Pemupukan Penyiapan lahan HR Penanaman HR 1. Penanaman 2. Bibit Perawatan HR 1. Pemupukan Biaya panen pertanian Biaya administrasi Biaya persiapan sertifikasi Biaya sertifikasi Biaya surveillance Pajak Total Biaya Net benefit Disc. Factor PV manfaat PV biaya PV manfaat-PV biaya NPV Net B/ C 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 84.294.288 - 84.294.288 - 84.294.288 - 84.294.288 - 84.294.288 - 84.294.288 - 84.294.288 - 84.294.288 - 84.294.288 - 84.294.288 46.244.404.000 - 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 84.294.288 46.328.698.288 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - 14.733.030 8.080.800 25.396.800 - - - - - - - - - - - 6.926.400 5.272.480 6.926.400 20.000.000 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 5.272.480 6.926.400 150.000.000 5.272.480 6.926.400 20.000.000 5.272.480 6.926.400 60.000.000 5.272.480 6.926.400 34100000 5.272.480 60.409.510 23.884.778 0,541 45.573.671 32.660.376 12.913.295 14.961.358.163 -45,93 80.409.510 3.884.778 0,511 43.095.670 41.109.567 1.986.103 60.409.510 23.884.778 0,483 40.752.406 29.205.216 11.547.190 60.409.510 23.884.778 0,457 38.536.554 27.617.226 10.919.329 60.409.510 23.884.778 0,432 36.441.186 26.115.580 10.325.606 60.409.510 23.884.778 0,409 34.459.751 24.695.584 9.764.167 210.409.510 -126.115.222 0,387 32.586.053 81.339.027 -48.752.974 80.409.510 3.884.778 0,366 30.814.234 29.394.132 1.420.102 120.409.510 -36.115.222 0,346 29.138.756 41.623.025 -12.484.270 94.509.510 46.234.188.778 0,327 15.144.068.903 30.893.562 15.113.175.340 114 114 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian (dari kiri-kanan) Ketua PPHR Catur Giri Manunggal, Ketua FKPS Selopuro dan Ketua FKPS Sumberejo dan Keluarga Membawa Sertifikat PHBML Kondisi Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian Kondisi Bengkel Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Berada di Desa Selopuro 115 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Batu pada tanggal 3 Juni 1990 dari pasangan Dwi Hariyadi dan Sumarmi. Penulis menghabiskan masa studinya di SDN Ngaglik 1 Batu, SMP Negeri 1 Batu, dan SMA Negeri 1 Batu hingga akhirnya diterima di IPB dengan jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama masa studi, penulis aktif dalam Himpunan Profesi Resources and Environmental Economic Student's Association (REESA) sebagai Sekretaris Divisi (2009/2010) dan Ketua Divisi Public Relation (2010/2011) dan UKM IPB Debating Community (IDC) sebagai Head of Information & Communication (2009/2010) dan Vice President I (2010/2011). Disamping aktif di keorganisasian, penulis juga aktif sebagai freelance translator dan mengikuti berbagai lomba duta wisata dan lomba debat bahasa inggris di tingkat lokal maupun nasional sebagai debater maupun adjudicator (juri). Beberapa prestasi yang telah diraih oleh penulis diantaranya adalah Juara 2 Lomba Debat Falcon 2012; adjudicator seleksi regional kopertis 3 National University Debating Championship (NUEDC) 2012; invited adjudicator ALSA Universitas Indonesia; adjudicator akreditasi B pada Indonesian Varsities English Debate (IVED) 2011; invited adjudicator Falcon 2011, IAAS Olympic 2011 dan lomba debat Politik Ceria se-Jawa Bali 2011; Juara 1 Fateta Annual English Competition (Falcon) 2010; Juara 2 Intercomp IDC 2010; Juara 2 Lomba Debat Attention 2009; Juara 3 Speech Contest Attention 2009; Juara 1 Lomba Debat Banking Goes To Campus (BGTC) 2010; Quarterfinalist Polinela National Debating Championship (PNDC) 2010; Juara 1 Lomba Debat Agrination 2009; Octofinalist Indonesian Schools Debating Championship 2006; Juara 1 Lomba Debat Tingkat SMA se-Provinsi Jawa Timur 2006; Juara 1 Lomba Debat HI-Fiesta; Juara 2 Lomba Debat EEC; dan Wakil 1 Nimas Kota Batu 2006. 116