BAB II LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Berdasarkan pendapat Veithzal Rivai, (2004,p1) manajemen sumber daya manusia
untuk perusahaan dilihat dari susunan katanya, manajemen sumber daya manusia (MSDM)
merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Proses ini terdapat dalam fungsi/bidang
produksi, pemasaran, keuangan, maupun kepegawaian. Karena sumber daya manusia
dianggap semakin penting perannya dalam pencapaian tujuan perusahaan, maka sebagai
pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang sumber daya manusia dikumpulkan secara
sistematis dalam apa yang disebut manajemen sumber daya manusia. Istilah “manajemen”
mempunyai arti sebagai kumpulan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya me-manage
(mengelola) sumber daya manusia.
Sedangkan sumber daya manusia ,semula merupakan terjemahan dari ”human
resources”. Namun ada pula ahli yang menyamakan sumber daya manusia dengan
”manpower” (tenaga kerja). Bahkan sebagian orang menyetarakan pengertian sumber daya
manusia dengan ”personnel” (personalia,kepegawaian dan sebagainya)
Secara historis, perkembangan pemikiran tentang MSDM tidak terlepas
perkembangan pemikiran manajemen secara umum, dimulai dari gerakan
ilmiah (dengan pendekatan mekanis) yang banyak didominasi oleh
dari
manajemen
pemikiran dari F.W.
Taylor. Pandangan-pandangan yang muncul berkaitan dengan sumber daya manusia dalam
era tersebut adalah :
•
Sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi yang dipacu untuk bekerja
lebih produktif seperti mesin;
6
7
•
Bekerja sesuai dengan spesialisasi yang telah ditentukan;
•
Yang tidak produktif harus diganti/dibuang;
•
Kondisi di atas memunculkan : pengangguran, tidak adanya jaminan
Dalam bekerja, berkurangnya rasa bangga terhadap pekerjaan, dan tumbuhnya
serikat pekerja. Gerakan human relation (dengan pendekatan paternalis), era ini ditandai
dengan adanya pemikiran tentang peran sumber daya manusia terhadap kemajuan
organisasi.
Pandangan-pandangan yang muncul adalah :
•
Sumber daya manusia harus dilindungi dan disayangi, tidak hanya dianggap sebagai
faktor produksi belaka tapi juga sebagai pemilik perusahaan;
•
Mulai disediakannya berbagai fasilitas pemenuhan kebutuhan karyawan, seperti
tempat ibadah, tempat istirahat, jaminan kesehatan, kantin, perumahan, dan
sebagainya sebagai bentuk perhatian perusahaan terhadap tingkat kesejahteraan
karyawan. Gerakan kontemporer (dengan pendekatan sistem sosial), di era ini
pemikiran tentang pentingnya peran sumber daya manusia dan perlunya perhatian
perusahaan terhadap kesejahteraan serta kepastian dalam bekerja semakin
berkembang.
Pandangan-pandangan yang muncul bahwa :
•
Pencapaian tujuan organisasi tidak terlepas dari kontribusi sumber daya manusia;
•
Munculnya teori hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow (1940-an) sebagai landasan
motivasi individu menjadi pendorong adanya pemikiran tentang perlunya memotivasi
sumber daya manusia dengan melihat tingkat kebutuhan yang dimilikinya;
•
Adanya kecenderungan baru yang berdampak positif terhadap perkembangan
efektivitas organisasi, yaitu :
a. Meningkatnya kepentingan terhadap MSDM;
8
b. Adanya perubahan arah pengawasan dan kebijakan secara sentral, dan
pelaksanaan yang terdesentralisasi;
c.
Meningkatnya otomatisasi dan pengembangan sistem informasi sumber daya
manusia;
d. Munculnya program MSDM yang terintegrasi;
e. Adanya perubahan menuju sistem merit dan akuntabilitas;
f.
Meningkatnya perhatian terhadap perilaku kerja karyawan;
g. Meningkatnya perhatian terhadap budaya dan nilai organisasi;
h. Adanya perluasan program peningkatan produktivitas.
Sejalan dengan adanya pemikiran tentang semakin pentingnya peran sumber daya
manusia dalam organisasi, maka posisi MSDM dalam organisasi adalah mengelola sumber
daya manusia yang ada di seluruh bagian organisasi.
2.2. Training (pelatihan)
2.2.1. Pengertian Training
Untuk mengetahui istilah yang tepat yang dipergunakan dalam pelatihan,
maka
terlebih dahulu perlu diketahui beberapa definisi dari pelatihan tersebut yang dikutip dari
beberapa ahli.
•
Menurut chris landauer pelatihan adalah sesuatu yang kita harap dapat menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari pola pikir setiap manajer.
•
Menurut Mathis, Robert dan Jackson (2006, p301) pelatihan adalah sebuah proses
dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan
organisasional.
•
Menurut Veithzal rivai (2004, p226) pelatihan adalah proses secara sistematis
mengubah tingkah laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi.
9
•
Dessler (2004, p216) pelatihan merupakan proses mengajarkan keterampilan yang
dibutuhkan karyawan untuk melakukan pekerjaannya.
Menurut sastradipoera (2006, p121) pengembangan dan pelatihan dapat dianggap
sebagai suatu proses penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan pembinaan sikap dan
kepribadian para pekerja atau calon pekerja yang dilaksanakan dengan cara terbimbing dan
sistematis, dan dengan menggunakan metodik dan didaktik yang relevan untuk keduanya.
Jika pemahaman tentang pendidikan itu dipusatkan pada pengertian pelatihan
(training), maka ada beberapa definisi mengenai pelatihan sebagai berikut :
1. Pelatihan adalah salah satu jenis pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan diluar sistem pengembangan sumber daya manusia yang berlaku dalam
berapa waktu singkat dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.
2. Pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur
yang sistematik dan terorganisasi yang dengan prosedur itu personalia non manajerial
belajar pengetahuan dan pengetahuan teknis untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Pelatihan adalah suatu proses pembelajaran yang berhubungan dengan upaya
pengubahan tingkah laku sumber daya manusia agar tingkah laku itu sesuai dan
memadai untuk kebutuhan dan tujuan tertentu.
Pelatihan dalam perusahaan sangat penting artinya dalam rangka memajukan perusahaan
Pelatihan dalam perusahaan sangat penting artinya dalam rangka memajukan
perusahaan yang bersangkuatan apabila pengetahuan dan persaingan semakin berkembang
pesat. Dengan adanya proses pelatihan ini, perbaikkan efektivitas dan efisiensi karja
karyawan dapat dicapai dengan meningkatkan pengetahuan karyawan, keterampilan dan
sikap karyawan terhadap tugasnya. Pelatihan merupakan kegiatan yang bermaksud
memperbaiki dan mengembangkan sikap, prilaku, keterampilan, dan pengetahuan para
10
karaywan sesuai dengan keinginan perusahaan. Berkat adanya pelatihan tersebut
kepercayaan diri dan semangat kerja dapat ditingkatkan.
2.2.2
Faktor-faktor yang berperan dalam pelatihan
Menurut Veithzal rivai (2004,p240) Dalam melaksanakan pelatihan ini ada beberapa
faktor yang berperan yaitu instruktur, peserta, materi (bahan), metode , tujuan pelatihan
dan lingkungan yang menunjang. Dalam menentukan teknik-teknik pelatihan dan
pengembangan, timbul masalah mengenai trade-off. Oleh karena itu, tidak ada teknik
tunggal yang terbaik. Metode pelatihan terbaik tergantung dari beberapa faktor. Ada
beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dan berperan dalam pelatihan :
1. Cost-efectiveness (efektivitas biaya)
2. Materi program yang dibutuhkan
3. prinsip-prinsip pembelajaran
4. ketepatan dan kesesuaian fasilitas
5. kemampuan dan prefrensi peserta pelatihan
6. kemampuan dan preferensi instruktur pelatihan
2.2.3. Manfaat pelatihan
Manfaat pelatihan menurut veithzal rivai (2004, p231)
1. Manfaat bagi karyawan
•
Membantu karyawan mengatasi stres, tekanan, frustasi, dan konflik
•
Meningkatkan kepuasan kerja dan pengakuan
•
Membantu menghilangkan rasa takut melaksanakan tugas baru
•
Membantu karyawan dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah
yang lebih efektif
11
•
Membantu mendorong dan mencapai pengembangan diri dan rasa percaya
diri
2. Manfaat bagi perusahaan
•
Membantu mempersiapkan dan melaksanakan kebijakan perusahaan
•
Menciptakan iklim yang baik untuk pertumbuhan
•
Membantu menangani konflik sehingga terhindar dari stres dan tekanan
kerja
•
Memperbaiki moral SDM
•
Memperbaiki pengetahuan kerja dan keahlian pada semua level perusahaan
•
Mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang lebih positif
terhadap orientasi profit
2.2.4
Tujuan pelatihan
Tujuan dari pelatihan menurut veithzal rivai (2004, p229)
•
Untuk meningkatkan kuantitas output
•
Untuk meningkatkan kualitas output
•
Untuk menurunkan biaya limbah dan perawatan
•
Untuk menurunkan jumlah dan biaya terjadinya kecelakaan
•
Untuk menurunkan turnover, ketidakhadiran kerja serta meningkatkan
kepuasan kerja
•
Untuk mencegah timbulnya antipati karyawan
2.2.5. Pelatihan strategis
Menurut Mathis, Robert dan Jackson (2006, P307) perusahan perlu mengadakan
pelatihan strategis kepada karyawan , dengan tujuan menambah nilai pada organisasi
dengan menghubungkan strategi pelatihan pada tujuan dan strategi bisnis organisasional.
12
Kerangka kerja untuk mengembangkan rencana pelatihan strategi mengandung 4 (empat)
tingkatan pokok.
1. Mengatur strategi
Manajer-manajer sumber daya manusia dan pelatihan harus lebih dahulu bekerja sama
dengan manajemen untuk menentukan bagaimana pelatihan akan terhubung secara
strategis pada rencana bisnis strategis, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja
karyawan dan organisasional.
2. Merencanakan
Perencanaan harus terjadi dengan tujuan untuk menghadirkan pelatihan yang akan
membawa hasil-hasil positif untuk organisasi dan karyawannya. Sebagai bagian dari
perencanaan, tujuan dan harapan dari pelatihan harus diidentifikasi serta diciptakan agar
tujuan pembelajaran dapat diukur dan spesifik untuk melacak efektivitas pelatihan.
3. Mengorganisasi
Pelatihan harus diorganisasi dengan memutuskan bagaimana pelatihan akan dilakukan,
mendapat sumber-sumber daya yang dibutuhkan, dan mengembangkan intervensiintervensi pelatihan.
4. Memberi Pembenaran
Mengukur dan mengevaluasi pada tingkat mana pelatihan memenuhi tujuan akan
mengesahkan usaha-usahan pelatihan. Kesalahan-kesalahan di masa lalu dalam
pelatihan dapat secara eksplisit diidentifikasi dalam tahap ini. Belajar dari berbagai
kesalahan selama masa pelatihan akan menghasilkan cara efektif untuk meningkatkan
pelatihan di masa depan.
13
2.2.6. Langkah-langkah dalam proses pelatihan
Dessler (2003, p217) mengatakan proses pelatihan terdiri dari 5 (lima) langkah.
1. Langkah analisis kebutuhan
Untuk mengetahui keterampilan kerja spesifik yang dibutuhkan, menganalisis
keterampilan dan kebutuhan calon yang akan dilatih, dan mengembangkan
pengetahuan khusus yang terukur serta tujuan prestasi.
2. Langkah merancang instruksi
Untuk memutuskan, menyusun, dan menghasilkan isi program pelatihan,
termasuk buku-buku kerja, latihan, dan aktivitas.
3. Langkah validasi
Program pelatihan dengan menyajikannya kepada beberapa pemirsa yang bisa
memiliki.
4. Langkah penerapan program
Pada langkah keempat, perusahaan melatih karyawan ditargetkan.
5. Langkah evaluasi
Manajemen perusahaan menilai keberhasilan atau kegagalan pelatihan.
2.2.7. Teknik-teknik pelatihan
Menurut Davis, sebagaimana dikutip Fathoni (2006, p31) ada 2 (dua) teknik
pelatihan, yaitu pelatihan ditempat kerja (on the job training), dan pelatihan di luar tempat
kerja (off the job training).
1. Pelatihan ditempat kerja (on the job training) adalah metode yang bertujuan untuk
memberikan kecakapan kepada karyawan baru tersebut setelah pelatihan berakhir.
Dalam pelatihan ini, pengawasan dan instruksi langsung diberikan kepada peserta
pelatihan ditempat kerjanya dan dengan demikian karyawan akan lebih mudah dalam
menguasai pekerjaanya.
14
Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi : job instruction training, job rotation,
apprenticeship, dan coaching. Job instuction training proses belajar yang mencermikan
langkah urutan pekerjaan dimana petunjuk pekerjaan diberikan secara langsung dimana
bantuan-bantuan instruktur biasanya digunakan untuk melatih karyawan tentang caracara pelaksanaan pekerjaan saat ini.
Job rotation, teknik pengembangan yang dilakukan dengan cara memindahkan peserta
dari suatu jabatan atau pekerjaan kejabatan atau ke pekerjaan lainnya secara periodik
untuk menambah keahlian dan kecakapan karyawan pada setiap jabatan atau pekerjaan
tertentu. Dengan demikian maka karyawan dapat mengetahui dan melaksanakan
pekerjaannya pada tiap bagian yang berbeda.
Apprenticeship, proses belajar dari seseorang yang lebih berpengalaman dan biasanya
dikenal dengan istilah magang.
Coaching, teknik pelatihan dimana atasan memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada karyawan dalam melaksanakan pekerjaan rutin mereka.
2. Pelatihan di luar tempat kerja (off the job training) adalah pelatihan yang menggunakan
situasi diluar pekerjaan. teknik ini banyak digunakan bila banyak pekerjaan yang harus
dilatih dengan cepat , seperti halnya bila perusahaan melakukan perluasan usaha dan
bila pelatihan langsung pada pekerjaan tidak dapat dilakukan karena biaya sangat mahal.
Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi : lecture, vestibule training, role playing,
and behavior modeling, case study, simulation, self study, programmed learning, dan
laboratory training.
Lecture, merupakan metode pelatihan yang memberikan kuliah dan kelemahan yang
dimilikinya yaitu pelatihan partisipasi dan pasif.
Video presentation, metode itu biasanya dilakukan dengan presentasi melalui media
televisi, film, slide, dan sejenisnya, dimana bentuknya sama dengam metode lecture.
15
Vestibule training, merupakan metode pelatihan yang dilakukan pada suatu ruangan
latihan yang khusus dan terpisah dari tempat kerja biasa dimana disediakan jenis
peralatan yang sama seperti yang akan digunakan pada pekerjaan sebenarnya.
Role playing
and behavior modeling , merupakan pelatihan dengan cara permainan
peran dengan maksud menciptakan situasi realistis.
Case study, dalam pelatihan para peserta dihadapkan pada beberapa kasus tertulis dan
memecahkan masalah-masalah tersebut.
Simulation, merupakan situasi atau kejadian yang ditampilkan semirip mungkin dengan
situasi yang sebenarnya, tetapi hanya merupakan tiruan saja dan peserta harus
memberikan respon seperti dalam kejadian yang sebenarnya.
Simulasi ini adalah suatu teknik untuk mencontoh semirip mungkin terhadap konsep
sebenarnya dari apa yang dijumpai.
Self study, merupakan teknik yang menggunakan model tertulis, kaset dan video tape
rekaman dan para pesertanya hanya mempelajari sendiri.
Programmed learning, pelatihan dilakukan dengan memberikan beberapa pertanyaan
dan jawaban yang tersusun ada didalam materi pelatihan.
Laboratory training, merupakan jenis kelompok yang terutama digunakan untuk
mengembangkan keterampilan antar pribadi. Salah satu bentuk latihan laboratorium
yang terkenal adalah sensitivitas, dimana peserta belajar menjadi lebih sensitif terhadap
perasaan orang lain dan lingkungan. Pelatihan ini juga berguna untuk mengembangkan
berbagai perilaku serta tanggung jawab pekerjaan diwaktu yang akan datang.
16
2.3. Kompensasi
2.3.1. Pengertian kompensasi
Kompensasi adalah seluruh imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja
karyawan tersebut pada organisasi. Kompensasi bisa barupa fisik maupun non fisik dan harus
dihitung dan diberikan kepada karyawan sesuai dengan pengorbanan yang telah
diberikannya kepada organisasi/ perusahaan tempat ia bekerja. (http://organisasi.org)
Menurut Veithzal rivai (2004, p357) kompensasi merupakan sesuatu yang diterima
karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi upah dan kebijakan kompensasi adalah :
A) pasar tenaga kerja
Pasar tenaga kerja mempengaruhi desain kompensasi dalam dua cara. Pertama,
tingkat persaingan tenaga kerja sebagian menentukan batas rendah atau floor
tingkat pembayaran. Jika tingkat pembayaran suatu perusahaan terlalu rendah,
tenaga kerja yang memenuhi syarat tidak akan bersedia bekerja di perusahaan
itu. Kedua, pada saat yang sama, mereka menekan pengusaha untuk mencari
alternatif, seperti penyediaan tenaga kerja asing, yang harganya mungkin lebih
rendah, atau teknologi yang mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja.
B) Kondisi ekonomi
Salah satu aspek yang juga mempengaruhi kompensasi sebagai salah satu faktor
eksternal adalah kondisi-kondisi ekonomi industri, terutama derajat tingkat
persaingan, yang mempengaruhi kesanggupan untuk membayar perusahaan itu
dengan gaji tinggi. Semakin kompetitif situasinya, semakin rendah kemampuan
perusahaan untuk membayar gaji lebih tinggi.
C) Peraturan pemerintah
Pemernitah
secara
langsung
mempengaruhi
tingkat
kompensasi
melalui
pengendalian upah dan petunjuk yang melarang peningkatan dalam kompensasi
17
untuk para pekerja tetentu pada waktu tertentu, dan hukum yang menetepkan
tingkat tarif upah minimum, gaji, pengaturan jam kerja, dan mencegah
diskriminasi. Pemerintah juga melarang perusahaan memperkerjakan pekerja
anak-anak dibawah umur ( yang telah ditetapkan).
D) Serikat pekerja
Pengaruh eksternal penting lain pada suatu program kompensasi kerja adalah
serikat kerja. Kehadiran serikat pekerja diperusahaan sektor swasta diperkirakan
meningkatkan upah 10 sampai 15 persen dan menaikkan tunjangan sekitar 20
sampai 30 persen. Serikat pekerja sudah cenderung untuk menjadi penentu
upah, manfaat, dan meningkatkan kondisi kerja.
2.3.2. Jenis-jenis kompensasi
Menurut Mathis dan Jackson (2006, p419-420) Ada dua jenis umum komponen nyata
dari sebuah program kompensasi.
Tabel 2.1
Faktor – Faktor Kompensasi
Kompensasi
Langsung
Tidak langsung
•
Upah
•
asuransi kesehatan/jiwa
•
Gaji
•
cuti berbayar
•
insentif
•
dana pensiun
Dengan kompensasi langsung, pemberi kerja menukar penghargaan moneter dengan
kerja yang diselesaikan. Para pemberi kerja memberikan kompensasi tidak langsung – seperti
asuransi kesehatan – untuk setiap orang hanya berdasarkan pada keanggotaan dalam
organisasi tersebut. Gaji pokok dan penghasilan tidak tetap merupakan bentuk paling umum
18
dari kompensasi langsung. Kompensasi tidak langsung biasanya terdiri atas tunjangan
karyawan.
2.3.2.1. Gaji
Menurut Veithzal rivai (2004, p379) Gaji adalah balas jasa dalam
bentuk
uang
yang
diterima
karyawan
sebagai
konsekuensi
dari
kedudukannya sebagai seorang karyawan yang memberikan sumbangan
tenaga dan pikiran dalam mencapai tujuan perusahaan. Atau, dapat juga
dikatakan
sebagai
bayaran
tetap
yang
diterima
seseorang
dari
keanggotaannya dalam sebuah perusahaan.
2.3.2.2. Gaji Berbasis kompentensi
Rancangan dari sebagian besar program kompensasi memberikan
penghargaan kepada para karyawan karena telah menjalankan tugas,
kewajiban,
dan
tanggung
jawab
mereka.
Syarat-syarat
pekerjaan
menentukan karyawan memiliki tarif dasar yang lebih tinggi. Karyawan
menerima lebih banyak karena melakukan pekerjaan yang membutuhkan
variasi tugas yang lebih banyak, lebih banyak pengetahuan dan
keterampilan, usaha fisik yang lebih besar, atau kondisi bekerja yang lebih
menuntut
Akan tetapi, beberapa organisasi lebih menekankan kompetensi
daripada tugas. Beberapa organisasi membayar para karyawan lebih
karena kompetensi yang mereka tunjukkan daripada tugas tertentu yang
dilakukan.
Memberi
imbalan
kerja
atas
kompetensi
memberikan
penghargaan kepada karyawan yang menampilkan kepandaian dalam
banyak hal yang lebih banyak dan terus mengembangkan kompetensi
19
mereka. Dalam sistem imbalan kerja berbasis pengetahuan (knowledge-
based pay- KBP) atau imbalan kerja berbasis keterampilan (skill-based
pay-SBP), karyawan mulai dari tingkat imbalan kerja dasar dan menerima
kenaikkan ketika mereka belajar untuk melakukan pekerjaan lain atau
memperoleh keterampilan lain dan oleh karenanya menjadi lebih berharga
bagi pemberi kerja. Ketika organisasi bergerak menuju sistem berbasis
kompetensi, dibutuhkan banyak waktu yang harus dihabiskan untuk
menyebutkan kompetensi yang dibutuhkan untuk berbagai pekerjaan.
Kemudian, setiap blok kompetensi harus dihargai dengan menggunakan
berbagai data. Kemajuan karyawan harus dimungkinkan, dan mereka
harus dibayar dengan pantas atas semua kompetensi mereka. Karena
rencana kompetensi berfokus pada pertumbuhan dan pengembangan
kompetensi karyawan, para karyawan yang terus mengembangkan
kompetensi mereka juga diuntungkan dengan menerima kenaikkan gaji.
2.3.2.3. Upah
Menurut Veithzal rivai (2004, p375) Upah merupakan imbalan
finansial langsung yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jam
kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang
diberikan. Jadi tidak seperti gaji yang jumlahnya relatif tetap, besarnya
upah dapat berubah-ubah tergantung pada keluaran yang dihasilkan.
Penggolongan upah:
a) Upah sistem waktu
Dalam sistem waktu, besarnya upah ditetapkan berdasarkan standar
waktu seperti jam, hari, minggu, atau bulan. Besarnya upah sistem
20
waktu hanya didasarkan kepada lamanya bekerja bukan dikaitkan
dengan prestasi kerjanya.
b) Upah sistem hasil (output)
Dalam sistem hasil, besarnya upah ditetapkan atas kesatuan unit yang
dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter dan kilogram.
Besarnya upah yang dibayar selalu didasarkan kepada banyaknya hasil
yang dikerjakan bukan kepada lamanya waktu mengerjakannya.
c) Upah sistem borongan
Sistem borongan adalah suatu cara pengupahan yang penetapan
besarnya
jasa
didasarkan
atas
volume
pekerjaan
dan
lama
mengerjakannya. Penetapan besarnya balas jasa berdasarkan sistem
borongan cukup rumit, lama mengerjakannya, serta banyak alat yang
diperlukan untuk menyelesaikannya.
2.3.2.4. Insentif
Menurut Veithzal Rivai (2004,p384)
Insentif merupakan imbalan
langsung yang dibayarkan kepada karyawan karena kinerjanya melebihi
standar yang ditentukan. Insentif merupakan bentuk lain dari upah
langsung diluar upah dan gaji yang merupakan kompensasi tetap, yang
biasa disebut kompensasi berdasarkan kinerja (pay for perfomance plan).
Menurut Gary Dessler (2005,p412) Insentif finansial adalah ganjaran
finansial yang diberikan kepada karyawan yang produksi nya melampaui
standar yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut
Heidjraman
dan
Suad
Husnan
(2002,p161)
Mereka
mengemumakan bahwa : Pengupahan insentif dimaksudkan untuk
memberikan upah atau gaji yang berbeda karena memang perbedaan
21
prestasi kerja, guna meningkatkan produktifitas karyawan yang berbedabeda prestasinya untuk berada dalam perusahaan.
Menurut Drs. Malayu S.P. Hasisbuan (1997,p133) Upah insentif
merupakan tambahan balas jasa yang diberikan kepada karyawan tertentu
yang prestasinya di atas prestasi standar.
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli
dalam manajemen maka dapat disimpulkan bahwa insentif merupakan
suatu alat yang dapat mendorong seorang karyawan agar dapat bekerja
lebih giat sehingga menghasilkan prestasi kerja yang lebih baik.
2.3.2.4.1. Tujuan pemberian insentif
T. Hani Handoko (2001,p156) menjelaskan tujuan insentif
adalah:
Memperoleh personalia yang berkualitas, mempertahankan
karyawan yang ada sekarang, menjamin keadilan, menghargai
perilaku yang diinginkan, dan mengendalikan biaya-biaya.
Selain dari itu, tujuan pemberian insentif yaitu memotivasi
kinerja karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Budaya
perusahaan untuk memberikan insentif membangkitkan minat dan
ketertarikan karyawan terhadap tujuan perusahaan.
Dari beberapa pernyataan diatas, maka disimpulkan bahwa
tujuan pemberian insentif hendaknya dapat memuaskan semua
pihak baik masyarakat, organisasi maupun karyawan yang akan
menambah semangat kerja karyawan untuk berprestasi, sehingga
pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas karyawan.
22
2.3.2.4.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian insentif
Menurut Heidjrachman dan Suad Husnan (2002,139), tinggi
rendahnya tingkat insentif yang diberikan kepada karyawan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti:
1. Penawaran dan permintaan tenaga kerja
Meskipun hukum ekonomi tidaklah bisa ditetapkan secara mutlak
dalam masalah tenaga kerja, tetapi tidak bisa diingkari bahwa
hukum penawaran dan permintaan tetap mempengaruhi. Untuk
pekerjaan yang membutuhkan keterampilan (skill) tinggi dan
jumlah tenaga kerjanya langka, maka upah cenderung tinggi.
2. Organisasi buruh
Ada tidaknya organisasi buruh serta lemah kuatnya organisasi
buruh akan ikut mempengaruhi terbentuknya tingkat upah.
3. Kemampuan untuk membayar
Meskipun mungkin serikat buruh menuntut upah buruh yang
tinggi, tetapi akhirnya realisasi pemberian upah akan tergantung
pula pada kemampuan membayar dari perusahaan. Dalam
perusahaan, upah merupakan salah satu komponen biaya
produksi. Tingkat upahnya menyebabkan naiknya biaya produksi
sehingga mengurangi keuntungan.
4. Produktivitas
Upah sebenarnya merupakan imbalan atas prestasi karyawan.
Semakin tinggi prestasi karyawan seharusnya semakin besar
pula upah yang akan diterima. Prestasi demikian biasanya
sebagai produktivitas.
23
5. Biaya hidup
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan juga adalah biaya hidup.
Di kota-kota besar dimana biaya hidup tinggi upah juga
cenderung tinggi.
6. Pemerintah
Pemerintah dengan peraturan-peraturannya juga mempengaruhi
tinggi rendahnya upah. Peraturan tentang upah minimum
merupakan
batas
bawah
dari
tingkat
upah
yang
akan
dibayarkan.
2.3.2.5. Kompensasi tidak langsung (fringe Benefit)
Fringe
Benefit
merupakan
kompensasi
tambahan
yang
diberikan
berdasarkan kebijakan perusahaan terhadap semua karyawan sebagai
upaya meningkatkan kesejahteraan para karyawan. Contohnya, berupa
fasilitas-fasilitas, seperti : asuransi-asuransi, tunjangan-tunjangan, uang
pensiun, dan lain-lain.
2.4.
Turnover karyawan
2.4.1. Pengertian turnover
Arti turnover adalah berhentinya seorang karyawan dari tempatnya bekerja secara
sukarela (Zeffane, 2003, p24-25).
Pengertian
turnover tradisional mengasumsikan bahwa orang meninggalkan
organisasi karena alasan yang sukarela dan yang tidak menurut Abelson (2000). Dalam
penelitian voluntary turnover yang menggunakan variabel tingkat perputaran sesungguhnya
yang dihadapi perusahaan, maka jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi karena
alasan
sukarela
dengan
sama
akan
mengalami
kelemahan
metodologi.
Dengan
24
menggunakan taksonomi turnover yang membedakan perilaku berpindah kerja suka rela
(voluntary turnover) dalam dua kelompok, yang dapat dihindari (Avoidable) dan yang tidak
dapat dihindari (unavoidable) perusahaan, maka studi tersebut akan lebih berguna bagi
pengembangan teori turnover. Menurut Abelson (2000) antara karyawan yang meninggalkan
organisasi secara suka rela tetapi tidak dapat dihindari dan karyawan yang tetap tinggal pada
organisasi (stayers) tidak dapat dibedakan karakteristik tingkat kepuasan dan komitmennya.
Akibatnya hasil studi yang menggunakan angka voluntary turnover yang tidak membedakan
kedua kelompok ini cenderung lemah hubungan antar variabelnya dalam Suwandi &
Indriartono (2003, p4-7).
Tindakan penarikan diri menurut Abelson (2000) dalam Suwandi & Indriartono
(2003, p4-9) terdiri dari beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu
berupa adanya pikiran untuk keluar, keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain,
mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain, dan
adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi.
2.4.2. Faktor-faktor turnover
Menurut Zeffane (2003, p27-31) ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni pasar tenaga kerja, faktor
institusi yakni kondisi ruang kerja, upah, keterampilan kerja, dan supervisi, karakteristik
personal dari karyawan seperti intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat, umur, dan
lama bekerja.
Pasar tenaga kerja adalah interaksi antara permintaan dan penawaran tenaga kerja.
Penawaran tenaga kerja pada perekonomian tertutup dilakukan oleh rumah tangga,
sedangkan pada perekonomian terbuka penawaran tenaga kerja dapat berasal dari
asing/luar negeri. Permintaan tenaga kerja asalnya dari sektor pemerintah dan sektor
25
perusahaan
(http://organisasi.org/tiga-macam-jenis-pasar-utama-perekonomian-barang-
jasa-tenaga-kerja-dan-uang-modal).
Perpindahan kerja suka rela yang dapat dihindari disebabkan karena alasan-alasan
upah yang lebih baik di tempat lain, kondisi kerja yang lebih baik di organisasi lain, masalah
dengan kepemimpinan / administrasi yang ada, serta adanya organisasi lain yang lebih baik.
Sedangkan perpindahan kerja suka rela yang tidak dapat dihindari disebabkan oleh alasanalasan: Pindah ke daerah lain karena mengikuti pasangan, perubahan arah karir individu,
harus tinggal di rumah untuk menjaga pasangan / anak, dan kehamilan dalam Suwandi &
Indriartono (2003, p4-9).
Banyak faktor yang mempengaruhi turnover diantaranya adalah kepuasan kerja,
komitmen organisasi, dan alternatif kerja (Maertz & Campion) dalam Mitchell, dkk (2001,
p1102) (.http://209.85.175.132/search?q=cache:PG8lkj39wEQJ:eprints.ums.ac.id/196/1/JTI0402-04-OK.pdf+turnover&cd=9&hl=id&ct=clnk&gl=id).
Menurut Mobley (2000) dalam Muchinsky (2002, p85-89) tentang turnover
karyawan, terdapat hubungan antara kepuasan dan berhenti kerja. Hubungan itu dimulai
dari adanya pikiran untuk berhenti bekerja (thinking of quitting), usaha-usaha untuk mencari
pekerjaan baru, berkeinginan untuk berhenti bekerja atau tetap bertahan dan yang terakhir
adalah memutuskan untuk berhenti bekerja. Menurut Mobley, perasaan tidak puas akan
memicu rencana untuk berhenti bekerja, yang kemudian akan mengarahkan pada usaha
mencari pekerjaan baru. Namun model Mobley yang membahas mengenai turnover ini harus
memperhatikan setting ekonomi yang sedang terjadi. Jika perekonomian dalam kondisi baik
sehingga pengangguran rendah, maka karyawan akan lebih mempermasalahkan kepuasan
kerja dibanding jika perekonomian buruk dan pengangguran melimpah.
Jika ongkos atau pengorbanan yang harus dibayar terlalu tinggi sementara alternatif
pekerjaan yang ada memiliki prospek yang lebih baik, maka akan timbul keinginan untuk
berhenti bekerja dan hal ini diaktualisasikan dalam bentuk perilaku atau tindakan berhenti
26
atau berpindah di pekerjaan lain. Jika alternatif pekerjaan yang tersedia tidak terlalu baik
atau menjanjikan, situasi tersebut akan menstimulasi individu untuk tetap bertahan.
Model Mobley dapat dipakai untuk menunjukkan bahwa kognisi dan perilaku dapat
menjembatani kepuasan akan pekerjaan dan tindakan berhenti bekerja. Kepuasan adalah
determinan dari turnover, namun konteks ekonomi harus diperhatikan. Kepuasan akan
menjadi prediktor bagi turnover, jika kondisi ekonomi dalam keadan baik. Jika kondisi
perekonomian kurang menguntungkan, akan berpengaruh terhadap jumlah pengangguran
yang melimpah. Kondisi semacam ini akan memaksa individu untuk tetap bertahan di
pekerjaan atau organisasinya, meski ia merasa tidak puas dengan kondisi yang ada.
Perusahaan yang memiliki angka turnover yang tinggi mengindikasikan bahwa
karyawan tidak betah bekerja di perusahaan tersebut. Jika dilihat dari segi ekonomi tentu
perusahaan akan mengeluarkan cost yang cukup besar karena perusahaan sering melakukan
rekrutmen yang biayanya sangat tinggi, pelatihan dan menguras tenaga serta biaya dan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi suasana kerja menjadi kurang menyenangkan. Selain
itu, adanya turnover menurut Dalton & Todor (2000) dalam Feinstein & Harrah (2002, p4-5)
dapat mengganggu proses komunikasi, produktivitas serta menurunkan kepuasan kerja bagi
karyawan yang masih bertahan (www.emeraldinsight.com).
Ketidakpuasan bekerja bagi karyawan akan menimbulkan keinginan (intentions)
untuk berpindah bekerja. Menurut Haminda (1999,p27) Turnover intentions pada dasarnya
adalah sama dengan keinginan berpindah karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja
lainnya. Harnoto (2002,p2) menyatakan turnover intentions adalah kadar atau intensitas dan
keinginan untukkeluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya
turnover intentions ini dan diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik. Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang telah diungkapkan
sebelumnya,
bahwa turnover
intentions
meninggalkan (keluar) dari perusahaan.
pada
dasarnya adalah keinginan untuk
27
2.4.3. Menekan(mengurangi) tingkat turnover
Organisasi selalu berusaha mencari cara menurunkan tingkat perputaran karyawan,
terutama dysfunctional turnover yang menimbulkan berbagai potensi biaya seperti biaya
pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang harus dikorbankan,
serta biaya rekrutmen dan pelatihan kembali. Walaupun pada kasus tertentu perputaran
kerja terutama terdiri dari karyawan dengan tingkat kinerja rendah tetapi tingkat
perpindahan kerja karyawan yang terlalu tinggi mengakibatkan biaya yang ditanggung
organisasi jauh lebih tinggi dibanding kesempatan memperoleh peningkatan kinerja dari
karyawan baru (Hollenbeck & Williams, 2001) dalam Suwandi dan Indriartono (2003, p3-6).
Robbins (2008) menyatakan bahwa budaya perusahaan yang kuat memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung memgurangi turnover.
Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah organisasi atau perusahaan sangat
dipegang teguh dan teratanam pada seluruh karyawannya. Semakin banyak karyawan yang
menerima nilai-nilai tersebut dan semakin besar komitmen terhadapnya maka semakin kuat
budaya perusahaan itu.
Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan, dan komitmen
terhadap perusahaan pada para karyawannya, yang akan mengurangi keinginan karyawan
untuk meninggalkan organisasi atau perusahaan.
28
2.5.
Kerangka Pemikiran
Training
Instruktur
Turnover
Karyawan
Peserta
Materi (bahan)
Metode
Tujuan
Penelitian
Lingkungan yang
Menunjang
Kompensasi
Kompensasi
Langsung
Pasar tenaga
kerja
Kompensasi
Tidak Langsung
Faktor institusi
Karakteristik
personal dari
karyawan
Gambar 2.1 Kerangka pemikiran
Download