Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dan Peranannya Dalam

advertisement
Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dan Peranannya Dalam
Mewujudkan Masyarakat Madani : Perspektif Islam
Renny Oktafia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
[email protected]
Diterima :
15 Januari 2017
Direview :
15 Februari 2017
Diterbitkan :
25 Maret 2017
Abstract: Javanese is the most populous tribe in Indonesia. Javanese themselves
have a culture that is still run by the Java community. In a culture that possessed the
Java community, if there is disclosed a lot of wisdom values therein. From the
discovery of the values of this wisdom, if practiced, it can improve the condition of
the nation today, especially those related to moral values begin to shift in society
today. And in the end with improving moral values of society, the civil society can
realize the objectives of nation building. The purpose of this study is to raise the
values of Javanese cultural wisdom in creating a civil society. By using qualitative
research method refers to the study of literature. Based on this study, of the values of
Javanese cultural wisdom is revealed there are moral values which are very useful in
shaping civil society.
Keywords: local wisdom, Javanese culture, civil society
I. Pendahuluan
Negara kita Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber
daya dan juga sumber budaya. Dengan kondisi geografis yang terdiri dari beribu-ribu
pulau, menyebabkan Indonesia memiliki banyak suku dan masing-masing suku
memiliki budaya yang berbeda. Keanekaragaman suku dan budaya yang berbeda-beda
ini, apabila dikelola dengan baik maka akan tercipta keharmonisan bangsa.
Sebagaimana yang telah dicetuskan saat sumpah pemuda mengenai konsep “Bhineka
Tunggal Ika”, yaitu berbeda-beda namun tetap satu jua.
Perbedaaan budaya yang beranekaragam bentuknya tersebut, bukan
dijadikan untuk memecah belah bangsa, akan tetapi sebaliknya keanekaragaman
budaya ini merupakan aset kekayaan bangsa yang patut dilestarikan. Hal ini
disebabkan karena dalam masing-masing budaya dalam tiap-tiap suku tersimpan
kearifan lokal yang perlu dipertahankan ditengah pengaruh-pengaruh budaya asing
JURNAL LENTERA: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Volume 3, Nomor 1, March 2017
P-ISSN : 1693-6922 / E-ISSN : 2540-7767
Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dan Peranannya Dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani : Perspektif Islam
yang mudah masuk ke negara kita dengan adanya perubahan zaman dan
perkembangan teknologi.
Dalam budaya Jawa misalnya, terdapat budaya “unggah-ungguh” atau disebut
dengan sikap sopan santun dan menghormati kepada yang lebih tua. Bagi orang Jawa
budaya ini tampak pada penggunaan bahasa dalam berkomunikasi, dimana ada strata strata bahasa yang digunakan, bagaimana menggunakan bahasa jawa kepada yang
lebih tua, kepada yang sebaya dan juga kepada yang lebih muda. Berdasarkan
penjelasan tersebut, terlihat bahwa dalam masyarakat Jawa sangat menjaga sikap
menghormati kepada yang lebih tua. Dan tentunya budaya lain pun juga mempunyai
nilai kearifan yang sama dengan suku Jawa.
Bentuk budaya Jawa diatas merupakan salah saatu contoh nilai kearifan
yang mungkin tidak dimiliki oleh budaya asing, dengan tetap menjaga kearifan budaya
tersebut maka akan menimbulkan kedamaian dalam kehidupan bermuamalah dengan
sekitar kita. Dalam Islam sendiri, sikap menghormati kepada orang tua juga tercermin
dalam ajaran Islam yang disebut dengan birrul walidain, sebagaimana yang disebutkan
salah satunya dalam Al-Qur‟an surat Luqman ayat 14 sebagai berikut :
Artinya : dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.
Selain dalam bersikap sopan santun dan menghormati kepada orang tua,
bentuk budaya Jawa lainya, yang juga telah membudaya salah satunya terkait dengan
praktek akuntansi sederhana. Praktek akuntansi sederhana yang merupakan bentuk
akuntansi alam ini, telah dikuak oleh Zulfikar melalui penelitiannya yang
menyebutkan bahwa dalam budaya Jawa terdapat konsep nilai-nilai kearifan dengan
sebutan obah-mamah-sanak. Dimana dalam obah-mamak-sanak ini terdapat ajaran,
bahwa untuk bisa mendapat rizki atau bisa makan yang disebut mamah, maka manusia
harus obah yang artinya harus bekerja. Dan rizki tidak hanya didapatkan dengan cara
bekerja saja, akan tetapi juga dengan menjalin persaudaraan yang disebut sebagai
sanak (Zulfikar, 2008).
Konsep obah-mamah ini juga terdapat dalam Al-Qur‟an yang menyatakan
bahwa Allah tidak akan memberikan kehidupan yang baik, apabila manusia tidak
Volume 3, Nomor 1, Maret 2017 | 141
Reny Oktafia
berusaha untuk mendapatkannya, sebagaimana dalam surat Ar-Rad ayat 11 sebagai
berikut :
Artinya : bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Sedangkan konsep obah-mamah-sanak terdapat pula dalam ajaran Islam tentang
silaturahim, yang menyatakan bahwa dengan melakukan silaturahim maka dapat
melapangkan rezeki kita. Dalam Al-Qur‟an konsep silaturahim terdapat dalam surat
An-Nisa ayat 1, yakni :
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.
Konsep obah-mamah-sanak inilah, yang kemudian dapat kita pahami sebagai
arus kas masuk melalui aktifitas obah serta sanak, dan arus kas keluar melalui aktifitas
mamah. Aktifitas inilah merupakan salah satu bentuk praktik akuntansi alami atau
praktik sederhana dari akuntansi.
II. KAJIAN LITERATUR
A. Kearifan Lokal dan Konsep Al-Urf Dalam Hukum Islam
Setelah kita mempelajari lebih jauh, ternyata banyak sekali nilai-nilai positif
yang terkandung dalam nilai-nilai kearifan budaya di Indonesia. Dimana apabila nilainilai positif kearifan lokal tersebut dapat digali dan dikembangkan, maka dapat
dijadikan sebagai acuan dalam mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Islam sendiri, budaya atau adat yang berlaku di suatu tempat dapat dijadikan
sebagai sumber hukum dalam mengatur hal-hal yang terkait kegiatan bermuamalah.
Untuk itu, marilah kita pelajari lebih lanjut tentang kearifan lokal dan proses
menjadikan adat sebagai sumber hukum dalam mengatur tatanan masyarakat
142
Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dan Peranannya Dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani : Perspektif Islam
Indonesia. Dengan demikian diharapkan, kita dapat kembali mempelajari budaya budaya bangsa kita, sehingga dengan pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan budaya
yang kita miliki, dapat kita jadikan acuan sebagai pendekatan dalam membuat
kebijakan dalam menunjang kemajuan daerah baik secara regional maupun nasional.
1. Kearifan Lokal
Menurut (Setiyawan, 2012), bahwa kearifan lokal (local wisdom) merupakan
suatu bentuk pandangan hidup yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang mendiami
suatu wilayah, dimana melalui pandangan hidup tersebut akan diperoleh
pengetahuan, dan melalui pengetahuan ini digunakan oleh masyarakat tersebut untuk
mempertahankan hidupnya. Pengetahuan ini kemudian diajarkan terus kepada setiap
keturunan mereka, hingga berlangsung pada jangka waktu yang lama. Pengetahuan
tersebut juga tentunya harus mengandung nilai-nilai kebaikan, bersifat bijaksana dan
sarat dengan kearifan sesuai dengan yang berlaku dimasyarakat lokal tersebut.
Sedangkan menurut (Wijayanto, 2012), menyatakan bahwa kearifan lokal
merupakan segala bentuk tatanan kebijakan, segala sesuatu yang biasa dilakukan dan
nilai yang terkandung dalam perilaku di suatu masyarakat, yang didalamnya
terkandung kebaikan dan bersifat bijaksana, serta berlaku pada suatu masyarakat dan
disepakati oleh masyarakat tersebut, untuk dijadikan sebagai aturan yang harus
dipatuhi oleh seluruh masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut.
Pandangan mengenai kearifan lokal lainnya disampaikan juga oleh
Saharuddin, menurut (Saharuddin, 2009) mengatakan bahwa nilai-nilai kearifan lokal
dalam budaya merupakan suatu tatanan yang berkembang secara turun menurun dari
generasi ke generasi, dimana hal tersebut terjadi dengan proses alami, tanpa ada ilmu
dan teknologi yang menunjang dalam penyebarannya kepada generasi penerus di
masyarakat lokal tersebut, sehingga proses transfer of knowledge terjadi dengan
mekanisme alamiah.
2. Konsep Al-‘Urf Dalam Usul Fiqh
Aturan-aturan, perilaku serta nilai-nilai yang berlaku di suatu adat, dapat
dijadikan sebagai suatu acuan dalam menentukan hukum yang akan diberlakukan di
wilayah budaya lokal tersebut muncul. Dalam Islam sendiri, adat ini dinamakan
istilahnya dengan „urf. Oleh karena itu salah satu sumber hukum dalam Islam selain
Volume 3, Nomor 1, Maret 2017 | 143
Reny Oktafia
Al-Qur‟an dan Hadits adalah „Urf, hal ini sebagaimana yang juga disebutkan dalam
Al-Qur‟an Surat Al-„Araf ayat 199 sebagai berikut :
Artinya : jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Dan juga dalam hadits riwayat Ahmad dari Ibnu Masud, yang mengatakan bahwa :
“sesuatu yang dianggap oleh orang muslim itu baik maka Allah menganggap
perkara itu baik pula”.
Menurut Ash-Shiddiqy dalam
(Sidik, 2006) menyatakan bahwa „urf
merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam, yang dapat digunakan dalam
menetapkan aturan atau adat yang berlaku dimasyarakat, sehingga ketika terjadi
sengketa maka dalam menyelesaikan dapat merujuk kepada „urf yang berlaku di
masyarakat. Dengan ketentuan „urf yang berlaku ini tidak bertentangan dengan nash
dalam Al-Qur‟an dan Hadits, dan tentunya memuat hal-hal yang bertujuan untuk
kemaslahatan umat.
Sedangkan
menurut
Moh.
Dahlan
dalam
(Sirajuddin,
2015)
mengungkapkan bahwa „urf mempunyai peran yang penting dalam mengembangkan
tradisi yang ada dalam suatu masyarakat serta menjaga ekstensi dari tradisi tersebut,
maka dari itu „urf diperlukan untuk dijadikan sebagai norma hukum Islam dalam
upaya menjaga tradisi tersebut. „Urf secara etimologis berarti segala perbuatan dan
perkataan yang bernilai baik yang berlaku secara mayoritas pada suatu masyarakat dan
merupakan tindakan secara nyata dan rasional yang dilakukan oleh masyarakat
tersebut.
Menurut sudut pandang objeknya, maka „urf dibagi menjadi dua bentuk
yaitu pertama, urf al-lafzi yang artinya tradisi yang terkait perkataan-perkataan yang
lazim digunakan di suatu adat dalam masyarkat, sedangkan yang kedua, urf al-amali
yaitu tradisi dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menjadi kebiasaan di suatu
masyarakat. Selain itu, berdasarkan cakupannya „urf juga terdapat dua cakupan, yakni
„urf al-„am merupakan „urf yang berlaku secara umum dalam tradisi masyarakat, dan
„urf al-khash merupakan „urf yang berlaku terbatas di dalam tradisi suatu masyarakat.
144
Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dan Peranannya Dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani : Perspektif Islam
Dalam masyarakat Arab misalnya, banyak terdapat tradisi yang menjadi
kebiasaan masyarakatnya dapat diterima menurut syariat sebab tidak bertentangan
dengan syariat Islam. Kebiasaan masyarakat arab tersebut antara lain tentang khumus
(seperlima), tentang pengaturan harta rampasan perang, tentang poligami, terkait
ruqyah, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Oleh sebab itu, kebiasaan masyarakat Arab
ini merupakan aktifitas bermuamalah yang mesti tetap dijaga, sehingga sistem sosial
yang berlaku tetap terjaga kesinambungannya, karena kaidah Islam yang diberlakukan
bertujuan untuk memelihara akhlak dan memanusiawikan masyarakat yang mendiami
wilayah tersebut (Fanani, 2014).
3. Kehujjahan Urf Sebagai Dasar Hukum Islam
Kehidupan manusia yang tercermin salah satunya dalam aktifitas
bermuamalah, tentunya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi tiap
individu maupun antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Cara dalam
penyelesaian masalah-masalah itu pun, tidak selalu ditemukan dalam nash yang ada.
Untuk itu diperlukan sumber hokum lainnya, yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam menentukan hukum syara‟ jika terjadi permasalahan ditengah-tengah
masyarakat. Salah satu yang dapat digunakan sebagai sumber hukum syara‟ adalah
„urf. „Urf dapat dijadikan sebagai hujjah dalam hukum syara‟, hanya sebatas untuk
masalah-masalah muamalah, tidak dapat digunakan untuk persoalan-persoalan yang
menyangkut akidah dan ibadah.
Akan tetapi tidak semua bentuk „urf dapat digunakan sebagai hujjah. Untuk
dapat digunakan sebagai hujjah, maka „urf harus memenuhi beberapa ketentuan
sebagai berikut (Naseh, 2013) :
a) „Urf yang terdapat di suatu masyarakat tersebut harus berlaku secara umum serta
dijadikan pedoman bagi masyarakat di hampir seluruh wilayah tersebut dalam
bertutur kata dan bersikap.
b) „Urf tersebut harus sudah ada dan berlaku di kalangan masyarakat jauh sebelum
permasalahan yang akan dicarikan sandaran hukumnya terjadi.
c) „Urf yang akan ditetapkan sebagai hukum syara‟ itu harus sesuai dan tidak
bertentangan dengan suatu transaksi yang telah diungkapkan secara jelas.
d) „Urf yang berlaku harus mengandung hal-hal yang menimbulkan kemaslahatan
bagi manusia.
Volume 3, Nomor 1, Maret 2017 | 145
Reny Oktafia
e) Dan juga „urf yang akan digunakan sebagai hujjah dalam menghadapi masalah
yang tidak terdapat dalam nash penyelesaiannya, tidak boleh bertentangan
dengan nash itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas tentang syarat-syarat kehujjahan dari „urf sebagai
hukum syara‟, maka dapat disimpulkan bahwa „urf sebagai sumber hukum syara‟
dapat dipegang kehujjahannya selama sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan.
B. Konsep Masyarakat Madani
Kebudayaan yang dibentuk oleh sebuah komunitas yang tersebar diseluruh
pelosok negeri kita ini, tentunya bertujuan untuk mengatur tatanan kehidupan
dimasing-masing sub kultur budaya di Indonesia, sehingga masyarakat dapat hidup
dengan tentram, damai, adil dan makmur. Keadaan tersebut yang kemudian banyak
didengungkan sebagai masyarakat madani, yang menjadi harapan dan cita-cita seluruh
penduduk dimanapun subkultur budaya mereka bermukim. Kemudian, yang menjadi
pertanyaan adalah seperti apakah sesungguhnya konsep masyarakat madani ini.
Menurut (Ihsan, 2012) mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan
masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai moralitas dalam berinteraksi dengan
sesama masyarakat lainnya, sehingga terbentuk kehidupan yang dilandasi oleh hukum
esensial yang terdapat dalam nilai-nilai moral yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Dengan harapan akan terwujud peradaban manusia yang ideal dan syarat akan nilainilai moral sebagai sistem sosial yang kokoh.
Pengertian diatas jelas tampak, bahwa jika seluruh masyarakat mengacu
kepada nilai-nilai moral dalam menjalankan kehidupan, maka tidak akan timbul
banyak permasalahan yang akan dihadapi. Misalkan, jika seorang pemimpin
menjalankan amanahnya dengan berlandaskan nilai-nilai moral, maka pemimpin
tersebut akan memimpin dengan adil dan mementingkan kepentingan masyarakat
yang dipimpinnya. Demikian pun masyarakat, jika berperilaku sesuai dengan nilainilai moral, maka akan tercipta ketertiban karena tidak ada masyarakat yang
melakukan tindak kejahatan. Hal inilah yang kemudian menimbulkan apa yang dicita citakan bersama yaitu akan muncul peradaban yang disebut masyarakat madani.
146
Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dan Peranannya Dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani : Perspektif Islam
III. METODE PENELITIAN
3.1 Obyek Penelitian
Pada penelitian ini menguak nilai-nilai Islam yang terdapat dalam tradisi
budaya Jawa, dengan mengacu mengacu pada studi literatur yang terdapat dalam
jurnal maupun buku yang mengangkat nilai-nilai budaya Jawa.
3.2 Data Sekunder yang dibutuhkan
Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sumber-sumber
literatur yang menjelaskan konsep dan bentuk budaya Jawa yang mengandung nilainilai moral di dalamnya, dari berbagai sumber buku – buku dan jurnal permasalahan
dalam penelitian ini.
3.3 Teknik memperoleh data
Studi Literatur
Studi literatur dilakukan dengan melakukan pengumpulan bahan-bahan dari
berbagai perpustakaan. Selain itu penulis mendapatkan literatur dari berbagai website.
Literatur yang digunakan berupa buku, jurnal, hasil seminar, UU, dan lain-lain seperti
tertera pada pembahasan data sekuder.
3.4 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan data kualitatif, sehingga metodologi penelitian
yang dipilih adalah metodologi penelitian kualitatif.
3.6 Teknik Analisis Data
Penelitian kualitatif memiliki beberapa macam analisis data. Salah satu
diantaranya adalah analisis content. Penulis memilih teknik analisis ini dengan
menggunakan pendekatan cooperative approach karena kesesuaian tahapan analisis untuk
diterapkan dalam penelitian ini. Tahapan kegiatan analisis konten adalah sebagai
berikut: menemukan lambang atau simbol, klarifikasi data berdasarkan lambang atau
simbol serta prediksi atau analisis data.
IV. PEMBAHASAN
Peran Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dalam Terciptanya Masyarakat
Madani
Sistem nilai budaya yang dibangun dalam sebuah komunitas, tentulah
berasal dari budaya-budaya yang sarat akan keagungan nilai-nilai moral didalamnya.
Apabila nilai-nilai budaya tersebut dipahami dan digali, niscaya dapat berperan dalam
Volume 3, Nomor 1, Maret 2017 | 147
Reny Oktafia
menciptakan masyarakat madani, demikian pun dengan nilai-nilai kearifan lokal yang
dimiliki budaya Jawa, dapat dijadikan sebagai pendekatan untuk membangun
masyarakat madani masyarakat lokal.
Terdapat beberapa bentuk nilai kearifan lokal masyarakat Jawa yang dapat
dirujuk untuk mewujudkan masyarakat madani sebagaimana yang disampaikan oleh
(Sudika, 2004 : 21-28) diantaranya adalah :
1) Konsep Kearifan Lokal yang Bermatra Ketuhanan
Seorang dalang wayang Jawa Timuran yang juga bisa disebut seorang filsuf,
yaitu Ki Suleman mengangkat ungkapan yang terdapat dimensi ketuhanan
didalamnya, diantaranya : a) Anane ana, ana sing nganakna, anane ora ana, ya ana sing
ora nganakna; b) titiwanci ora kena bali wong urip gadhangane pati; c) manawa jagad
wis ngersakna aku mati aja digetuni d) saiki singitana yen wayahe mati ora kena ora
disingkiri.
Dari ungkapan diatas dapat diartikan bahwa manusia ada di bumi ini pasti
ada yang menciptakan yaitu Tuhan, sedangkan kematian itu pasti datang dan manusia
tidak bisa menghindar dari kematian serta menyesali kematian. Nilai-nilai kearifan
yang terkandung dalam ungkapan itu, mengakibatkan manusia selalu mengingat Allah
dalam melakukan segala perbuatannya dan kehidupan itu pasti ada akhirnya sehingga
harus memanfaatkan kehidupan dengan sesuatu-sesuatu yang baik. Dengan demikian,
manusia apabila akan berbuat kejahatan maka manusia akan berpikir dampak yang
akan diterimanya kelak nanti ketika kematian memanggil, sehingga dengan sikap yang
timbul dari nilai budaya tersebut akan menciptakan kehidupan yang penuh
ketentraman.
Ketentraman timbul karena manusia banyak mengingat kematian dan Allah,
yang membuat manusia selalu berusaha berperilaku yang sesuai dengan perintah
Allah. Kondisi masyarakat yang aman, tenang dan damai inilah, yang kemudian dapat
menciptakan kehidupan masyarakat madani yang menjadi tujuan bersama.
2) Konsep Kearifan Lokal yang Bermatra Kemasyarakatan
Pada budaya Jawa konsep ini disampaikan melalui pesan moral tokoh
Semar, bahwa dalam budaya Jawa tokoh Semar diibaratkan seorang pemimpin yang
bijaksana yang selalu mengayomi orang-orang yang dipimpinnya. Adapun ungkapan
yang berkenaan dengan kemasyarakatan, sebagai berikut : a) Alam donya ana adil ana
148
Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dan Peranannya Dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani : Perspektif Islam
gak, wong bener ora kurang-kurang pengayoman; b) bedane kalah lan ngalah, kalah
kalahe satria mati dadi kusumaning bangsa, ngalah awit manungsa ora melu nduweni,
urip kabeh pasrah marang kang andarbeni; c) wong urip gelema urap lan urup, urap
gelema campura tukar pengalaman; d) yen kena dieling na, nek gak kena dielingna ya
disawang saka kadohan.
Nilai-nilai kearifan yang bisa ditangkap dari ungkapan budaya jawa tersebut
adalah bahwa dalam hidup haruslah berbuat adil; orang yang ngalah bukan berarti
kalah karena hidup manusia merupakan milik Allah sehingga jangan bersikap ingin
menang sendiri; manusia merupakan makhluk hidup yang harus selalu berbagi
pengalaman dengan yang lain; dan apabila ada manusia yang berbuat kesalahan maka
harus saling mengingatkan, jika manusia tersebut tidak dapat diingatkan maka
didoakan supaya meninggalkan perbuatan salah yang dilakukannya.
Dengan mengaplikasikan nilai-nilai kearifan budaya Jawa yang terdapat
dalam ungkapan diatas, maka manusia akan terhindar dari berbuat semena -mena
kepada manusia lainnya, selain itu akan timbul sikap saling mengingatkan dalam
berbuat kebaikan sebagaimana dalam Islam terdapat dalam surat Al-Asr ayat 1-3 :
Artinya : 1. demi masa., 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.
Dengan saling berjamaah dalam melakukan kebaikan maka terwujudnya masyarakat
madani adalah suatu hal yang niscaya terjadi dan menjadi kenyataan.
3) Konsep Kearifan Lokal yang Bermatra Kemanusiaan
Pada konsep ini terdapat contoh nilai kearifan yang diambil dari tokoh
semar dalam wayang kulit Jawa, dimana semar memiliki sikap yang selalu berbakti
kepada guru, mbangun turut pada perintah guru yang artinya mematuhi perintah
guru. Guru biasanya selalu memerintahkan untuk selalu belajar dan menuntut ilmu.
Dengan sikap ini, diharapkan manusia menjadi orang-orang yang berilmu dan
mengetahui banyak hal dari ilmu yang dimilikinya. Sehingga jika masyarakat pandai,
maka akan bisa membangun sekililingnya dengan ilmu yang dimilikinya, membangun
Volume 3, Nomor 1, Maret 2017 | 149
Reny Oktafia
dalam segala bidang, dengan kemajuan pembangunan terciptalah pula masyarakat
madani yang menjadi tujuan pembangunan.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekayaan budaya yang
dimiliki negeri ini, apabila dapat dipelajari, diambil hikmahnya dan dilestarikan, maka
nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya dapat dijadikan sebagai pijakan dalam
membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Dan yang lebih penting,
kemajuan yang diraih dengan cara mengacu pada nilai budaya, akan menciptakan
kemajuan peradaban tanpa meninggalkan keluhuran nilai moral dalam warisan nilai
budaya. Tentunya yang menjadi harapan adalah terjadinya sinergitas antara budaya
dan upaya dalam membuat kebijakan pembangunan bangsa, untuk terwujudnya
masyarakat madani.
VI. REFERENSI
Fanani, A. (2014). Akar, Posisi, dan Aplikasi Adat Dalam Hukum. Jurnal Ijtihad , Vol.
14 (No. 2).
Ihsan, M. (2012). Hukum Islam dan Moralitas Dalam Masyarakat Madani. Al-Ahkam
, Vol. 22 (No. 1).
Naseh, A. H. (2013). Al-'Adah Muhakkamah (Implikasi dan Aplikasinya Dalam
Istinbat Hukum di Indonesia). Jurnal Ulumuddin , Vol. 3 (No. 2).
Saharuddin. (2009). Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal
Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia , Vol. 03 (No. 01).
Setiyawan, A. (2012). Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama : Legitimasi Hukum
Adat ('Urf) Dalam Islam. Jurnal ESENSIA , Vol. XIII (No.2).
Sidik. (2006). Aspek Hukum Urf Dalam Bermuamalah. Jurnal Hunafa , Vol. 3 (No. 1).
Sirajuddin. (2015). Eksistensi 'Urf Sebagai Sumber Pelembagaan Hukum Nasional.
Jurnal MADANIA , Vol. 19 (No. 1).
Sudika, S. Y. (2004). Kearifan Lokal Sebagai Pendorong Pembangunan Di Jawa Timur.
Jember: Kompyawisda.
150
Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa Dan Peranannya Dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani : Perspektif Islam
Wijayanto, A. (2012). Kearifan Lokal (Local Wisdom) Dalam Praktik Bisnis di
Indonesia. Jurnal Forum , Vol. 40 (No. 2).
Zulfikar. (2008). Menguak Akuntabilitas Dibalik Tabir Nilai Kearifan Budaya Jawa.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan , Vol. 7 (No. 2).
Volume 3, Nomor 1, Maret 2017 | 151
Download