BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker paru 2.1.1 Definisi kanker paru Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis di paru). Dalam tulisan ini selanjutnya yang dimaksud dengan kanker paru adalah kanker paru primer, yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus. (Jusuf et al, 2011) 2.1.2 Patogenesis kanker paru Kanker paru adalah konsekuensi fenotipik dari akumulasi perubahan genetik di sel-sel epitel saluran napas yang menghasilkan proliferasi selular yang tidak terkendali. Perubahan molekular dan genetik yang khas untuk kanker paru sangat kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Penelitian pertama mengenai patogenesis kanker paru dilakukan pada tahun 1960 dengan menggunakan sitogenetik. (Kern dan McLennan, 2008) Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel normal dapat menjadi sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi ketidakseimbangan antara fungsi onkogen dengan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel. Perubahan atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan/atau kurang/hilangnya fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak terkendali. Perubahan ini berjalan dalam beberapa tahap atau yang dikenal dengan proses multistep carcinogenesis. Perubahan pada kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti kromosom atau LOH juga diduga sebagai mekanisme ketidaknormalan pertumbuhan sel pada sel kanker. Dari berbagai penelitian telah dapat dikenal beberapa onkogen yang berperan dalam proses karsinogenesis kanker paru, antara lain gen myc, gen k-ras, sedangkan kelompok gen tumor supresor antara lain gen p53, gen rb. Sedangkan perubahan kromosom pada lokasi 1p, 3p, dan 9p sering ditemukan pada sel kanker paru. Berkaitan respons dan resistensi maka hampir semua jenis obat untuk kanker paru telah dikenal mekanisme kerja intraselular dan mekanisme 28 Universitas Sumatera Utara resistensinya, terutama kaitannya dengan siklus sel dan apoptosis dan gen yang berperan pada proses itu. Pada perkembangan terakhir ilmu kanker, gen dan biomolekular malah berperan dominan secara khusus dalam pengobatan. Golongan obat yang termasuk dalam kelompok targeted therapy adalah realisasi dari pengetahuan itu meskipun pada akhirnya respons obat tetap berkaitan dengan apoptosis sel kanker. Masih terus diteliti hubungan antara faktor spesifik untuk respons salah satu golongan obat EGFR-TKI dikaitkan dengan ras, jenis kelamin, dan mutasi gen tertentu. (Jusuf et al, 2011) Progresi dari epitel bronkus yang normal menjadi epitel maligna diperlihatkan pada gambar berikut: (Kern dan McLennan, 2008) Gambar 2.1 Progresi dari epitel bronkus yang normal menjadi epitel maligna (Kern dan McLennan, 2008) 2.1.3 Diagnosis dan penderajatan kanker paru Penegakan diagnosis kanker paru memerlukan pemeriksaan yang lengkap meliputi gambaran klinik, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan khusus. Gambaran klinik Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Pada pasien yang menunjukkan gejala dan tanda, gambaran kliniknya tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya. Gambaran klinik penyakit kanker paru biasanya dijumpai pada subyek dengan risiko tinggi (laki-laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok, dan terpapar industri tertentu), dapat berupa batuk-batuk dengan/tanpa dahak, batuk darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit/sakit menelan, benjolan di pangkalan leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat. (Jusuf et al, 2011) Dapat juga terlihat gejala atau keluhan di luar paru 29 Universitas Sumatera Utara seperti pembesaran hepar, patah tulang, nyeri tulang, nafsu makan hilang, berat badan berkurang, demam hilang timbul, dan sindrom paraneoplastik, seperti hypertropic pulmonary osteoarheopathy (HPOA), trombosis vena perifer dan neuropatia. (Jusuf et al, 2011; Kern dan McLennan, 2008) Pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan khusus Pemeriksaan radiologis yang yang dapat dilakukan antara lain foto toraks PA/L, computerized tomography scanning (CT scan) toraks, bone scan, bone survey, ultrasonografi (USG) abdomen, CT otak, positron emission tomography (PET), dan magnetic resonnance imaging (MRI). Pemeriksaan radiologis ini ditujukan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor, dan metastasis. (Jusuf et al, 2011) Beberapa pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis kanker paru antara lain: bronkoskopi, biopsi aspirasi jarum, transbronchial needle aspiration (TBNA), transbronchial lung biopsy (TBLB), tranthoracic needle aspiration (TTNA). Biopsi transtorakal (transthoracic biopsy, TTB), aspirasi jarum halus (AJH), biopsi Kelenjar Getah Bening (KGB), torakoskopi medik, dan sitologi sputum. (Kern dan McLennan, 2008) Pemilihan modalitas diagnosis disesuaikan dengan karakteristik kelainan yang dijumpai dan kelebihan serta kekurangan masing-masing alat diagnosis tersebut. Jenis histologis Kanker paru dapat dibagi menjadi dua jenis utama yaitu: Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dan Kanker Paru jenis Karsinoma Sel Kecil (KPKSK). (Jusuf et al, 2011; Youlden, Cramb, dan Baade, 2008; Pass et al, 2010) Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) merupakan jenis kanker paru yang terbanyak dan terdiri dari beberapa sub tipe antara lain: karsinoma sel skuamosa (epidermoid carcinoma), adenokarsinoma (adenocarcinoma), dan karsinoma sel besar (large cell carcinoma). (Jusuf et al, 2011; Youlden, Cramb, dan Baade, 2008; Pass et al, 2010) 30 Universitas Sumatera Utara Penderajatan (staging) Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut The 7th edition of the TNM staging system for lung cancer, edited by International Association for the Study of Lung Cancer (IASLC) tahun 2009. (Goldstraw et al, 2009) Pengertian T adalah tumor yang dikategorikan atas Tx, T0 s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, N0 s/d N3, sedangkan M adalah menunjukkan ada tidaknya metastasis di paru atau metastasis jauh (M0 s/d M1a, M1b). (Goldstraw et al, 2009) Kategori TNM untuk kanker paru T : Tumor Primer TX : tumor primer tidak dapat dinilai, atau tumor dibuktikan oleh adanya sel-sel ganas di sputum atau hasil bilasan bronkial tetapi tidak divisualisasikan oleh pencitraan atau bronkoskopi T0 : Tidak ada bukti tumor primer Tis : Karsinoma in situ T1 : Tumor 3 cm atau kurang dalam dimensi terbesar, dikelilingi oleh paru-paru atau visceral pleura, tanpa bukti dari bronkoskopi dimana invasi lebih proksimal dari bronkus lobar (yaitu, bukan dalam bronkus utama) T1a : Tumor 2 cm atau kurang dalam dimension 1 terbesar T1b : Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 3 cm dalam dimensi terbesar T2 : Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 7 cm, atau tumor dengan salah satu dari poin berikut berikut: 1. Melibatkan bronkus utama, 2 cm atau lebih distal ke karina 2. Menginvasi pleura visceral 3. Terkait dengan atelektasis atau pnemonitis obstruktif yang meluas ke daerah hilus, tetapi tidak melibatkan seluruh paru-paru T2A Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm terbesar dimensi. T2B Tumor lebih dari 5 cm tapi tidak lebih dari 7 cm dalam dimensi terbesar. T3 : Tumor lebih dari 7 cm atau yang secara langsung menginvasi salah satu dari berikut : dinding dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, saraf frenikus, mediastinum pleura, pericardium parietal, atau tumor di bronkus 31 Universitas Sumatera Utara utama kurang dari 2 cm distal ke carina tapi tanpa keterlibatan carina, atau atelektasis terkait atau pneumonitis obstruktif paru-paru seluruh atau nodul tumor yang terpisah di lobus yang sama sebagai tumor primer. T4 : Tumor dari berbagai ukuran yang menyerang salah satu dari berikut: mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, saraf laringeal rekuren, esofagus, tubuh vertebral, carina, tumor nodul yang terpisah dalam lobus ipsilateral berbeda dengan tumor primer. N : Kelenjar Getah Bening Regional NX : Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai N0 : Tidak ada metastasis daerah kelenjar getah bening N1 : Metastasis di peribronchial ipsilateral dan / atau kelenjar getah bening hilus ipsilateral dan di intrapulmonal, termasuk keterlibatan dengan ekstensi langsung N2 : Metastasis di kelenjar getah bening mediastinum ipsilateral dan / atau subkarinal N3 : Metastasis di hilus kontralateral mediastinal, kontralateral, sisi tak sama panjang ipsilateral atau kontralateral, atau kelenjar getah bening supraklavikula M : Metastasis Jauh M0 : Tidak ada metastasis jauh M1 : Metastasis jauh M1A : Nodul tumor terpisah dalam lobus kontralateral, tumor pleura dengan nodul atau ganas pleura atau efusi perikardial M1B : Metastasis jauh 32 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Penjelasan TNM System Version 7 Non-Small Cell Lung Cancer TX Sitologi positif T1 ≤ 3 cm T1a ≤ 2 cm T1b > 2-3 cm T2 Bronkus utama ≥ 2 cm dari karina, invasi ke pleura visceral, parsial atelectasis T2a > 3-5 cm T2b > 5-7 cm T3 > 7 cm, invasi ke dinding dada, diafragma, perikardium, pleura mediastinal, bronkus utama < 2 cm dari karina, atelektasis total, nodul pada lobus yang sama T4 Penyebaran ke jantung, mediastinum, pembuluh darah, karina, trakea, esophagus, penyebaran tumor lobus ipsilateral N1 Peribronkial ipsilateral, hilus ipsilateral N2 Subkarina, mediastinal ipsilateral N3 Mediastinal atau hilus kontralateral, scalene atau supraklavikula M1 Metastasis jauh M1a Penyebaran tumor pada lobus kontralateral, nodul pada pleura atau pleura ganas, efusi perikard M1b Metastasis jauh (Sumber: Goldstraw et al, 2009) 33 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 TNM System Version 7 Non-Small Cell Lung Cancer N0 N1 N2 N3 Stage Stage Stage Stage T1a IA IIA IIIA IIIB T1b IA IIA IIIA IIIB T2a IB IIA IIIA IIIB T2b IIA IIB IIIA IIIB T3 IIB IIIA IIIA IIIB T4 IIIA IIIA IIIB IIIB M1a IV IV IV IV M1b IV IV IV IV T dan M (Sumber: Goldstraw et al, 2009) 2.2 Ultrasonografi (USG) toraks Ultrasonografi (USG) toraks adalah alat diagnostik yang pemanfaatannya semakin luas di kedokteran respirasi. Indikasinya antara lain evaluasi efusi pleura dan menuntun insersi kateter ke dalam toraks. Analisis gambaran artefak pada USG toraks telah memperluas manfaatnya dalam menegakkan diagnosis kelainan-kelainan di paru seperti pneumotoraks dan edema paru. Walaupun pemeriksaan USG toraks belum menjadi alat diagnostik rutin di praktek klinis, metode ini telah digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik pada keadaan klinis tertentu. (Anantham dan Ernst, 2010) Ultrasonografi toraks memiliki potensi untuk merevolusi praktek kedokteran respirasi dengan kemampuannya dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit secara langung di tempat tidur pasien (bedside). Dengan menggunakan USG toraks sebagai penuntun dalam tindakan di rongga toraks telah terbukti meningkatkan keberhasilan terutama tindakan di rongga pleura dan sekaligus menurunkan komplikasi yang mungkin terjadi. (Anantham dan Ernst, 2010) Ultrasonografi toraks dapat dikuasai dengan mudah jika interpretasi dan akuisisi gambar serta istilah-istilah teknis telah dipahami dengan baik. Kelebihan lainnya adalah 34 Universitas Sumatera Utara tidak mengandung radiasi, portabel, serta non-invasif, sehingga semakin meningkatkan potensinya untuk digunakan secara lebih luas di kedokteran respirasi. (Anantham dan Ernst, 2010; Herth dan Becker, 2003) 2.2.1 Dasar-dasar Ultrasonografi toraks a. Fisik ultrasonografi Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik noninvasif menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi di atas 20.000 hertz ( > 20 kilohertz), yang dihasilkan oleh kristal piezo-elektrik pada transduser. Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-20.000 hertz. Frekuensi gelombang suara yang optimal digunakan pada aplikasi medis adalah 2-20 MHz, sebab pada frekuensi ini dihasilkan kombinasi terbaik dalam hal penetrasi dan resolusinya di dalam tubuh. Gelombang tersebut berjalan melewati tubuh dan dipantulkan kembali secara bervariasi, tergantung pada jenis jaringan yang terkena gelombang. Dengan transduser yang sama, selain mengirimkan suara, juga menerima suara yang dipantulkan dan mengubah sinyal menjadi arus listrik; yang kemudian diproses menjadi gambar. Citra yang bergerak didapatkan saat transduser digerakkan pada tubuh (ultrasonografi waktu-sebenarnya [real-time]). Potongan-potongan dapat diperoleh pada setiap bidang dan kemudian ditampilkan pada monitor. Tulang dan udara merupakan konduktor suara yang buruk, sehingga tidak dapat divisualisasi dengan baik, sedangkan cairan memiliki kemampuan menghantarkan suara dengan sangat baik. (Anantham dan Ernst, 2010; Patel, 2007; Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011) Ketika berjalan melewati tubuh maka gelombang suara akan mengalami perubahan-perubahan antara lain: diteruskan (transmitted), dilemahkan (attenuated), atau dipantulkan (reflected). (Anantham dan Ernst, 2010) Diteruskan (transmitted) Perubahan ini terjadi ketika partikel-partikel di suatu jaringan bergerak bersamasama dan memiliki vibrasi yang koheren. (Anantham dan Ernst, 2010) Attenuation (dilemahkan/kehilangan energi USG) 35 Universitas Sumatera Utara Perubahan ini terjadi karena penyerapan, penyebaran, dan pembiasan gelombang USG. Penyerapan terjadi ketika partikel-partikel tidak bergerak bersama-sama dan memiliki vibrasi yang semrawut, dan menghasilkan panas. Pada frekuensi yang lebih tinggi (sehingga panjang gelombangnya menjadi lebih pendek), gelombang USG cenderung diabsorpsi daripada diteruskan, sehingga penetrasinya lebih buruk namun resolusinya lebih baik. Struktur yang lebih dalam cenderung menyebabkan pembiasan gelombang yang lebih besar (akibat melintasi jaringan yang lebih panjang), dan mesin USG berkompensasi untuk fungsi ini dengan time gain compensation (TGC), hal ini dapat diatur dengan baik melalui sliders di mesin USG. (Anantham dan Ernst, 2010) Reflection (dipantulkan) Perubahan ini terjadi pada pertemuan antar jaringan dengan impedans yang berbeda. Impedans yang tinggi pada permukaan jaringan lunak dan udara (soft tissue-air interface) dan permukaan jaringan lunak dan udara (soft tissue-bone interface) menyebabkan refleksi yang hampir lengkap (dan menjelaskan ketidakmampuan untuk menggambarkan paru yang mengandung udara dan bayangan akustik di belakang iga). Inilah juga alasan kenapa perlu menggunakan gel saat pemeriksaan USG toraks. Refleksi parsial dibutuhkan untuk menghasilkan sinyal balik ke probe USG dan menghasilkan gambar di layar mesin USG. (Anantham dan Ernst, 2010) b. Modes pada ultrasonografi Pemrosesan sinyal yang dipantulkan menentukan jenis gambar yang telihat pada layar. Pada A-mode (atau mode ampitudo), amplitudo energi yang diterima dari transduser ditampilkan sebagai puncak atau gelombang yang terlihat pada jarak yang ditentukan oleh kedalaman gambar. Mode ini tidak digunakan pada ultrasonografi toraks. Pada B-mode (mode brightness/kecerahan), amplitudo energi ditampilkan sebagai titik-titik dengan kecerahan yang berbeda, sehingga sebuah rangkaian gambaran B-mode dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran ultrasonografi dua dimensi konvensional. Pada M-mode (atau mode motion/gerak), gambar dari objek tertentu di layar dengan menangkap gambar B-mode ketika melewati layar melawan aksis waktu. 36 Universitas Sumatera Utara Hal ini menyediakan gambar tunggal dimana posisi relatif gambar ditampilkan melawan aksis x (Gambar 2.2) Gambar 2.2 Proses dihasilkannya gambar pada masing-masing mode ultrasonografi tergantung pada amplitudo sinyal yang dipantulkan (ukuran tanda panah) dan waktu yang dibutuhkan untuk kembalinya sinyal tersebut (jarak dari transduser). A-mode (mode amplitudo) tidak digunakan pada ultrasonografi toraks. B-mode (mode kecerahan) digunakan untuk menghasilkan gambar ultrasonografi dua dimensi standar. M-mode (mode motion/gerak) menyediakan catatan posisi sepanjang waktu, sehingga memungkin menampilkan beberapa tanda yang digunakan pada USG toraks seperti “seashore” yaitu tanda paru normal dan “stratosphere” yaitu tanda pneumotoraks. (Anantham dan Ernst, 2010) 37 Universitas Sumatera Utara c. Transduser Transduser adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang akan diperiksa seperti dinding dada untuk pemeriksaan paru atau dinding perut untuk pemeriksaan kehamilan. Di dalam transduser terdapat kristal yang digunakan untuk menangkap gelombang yang disalurkan oleh transduser. Gelombang diterima dalam bentuk akuistik (gelombang pantul) sehingga fungsi kristal di sini adalah untuk mengubah gelombang tersebut menjadi gelombang elektronik yang dapat dibaca oleh komputer sehingga dapat diterjemahkan dalam bentuk gambar. (Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011) Bentuk-bentuk transduser dan arah gelombang dapat dilihat pada gambar 2.3 Ada tiga jenis transduser yang digunakan dalam pemeriksaan USG toraks, yaitu: (Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011) 1. Linear array transducer, bentuk gelombang lurus dengan frekuensi tinggi 7,5-10Mhz untuk pemeriksaan organ yang lebih dangkal terutama struktur dari leher, empiema, efusi pleura, massa pleura atau subpleura. 2. Curved array transducer, bentuk gelombang melebar dengan frekuensi rendah sehingga menghasilkan lapangan pandang yang luas dan lebih dalam. Transduser ini sangat baik digunakan untuk pemeriksaan paru, efusi pleura, struktur perut, dan gambaran paru dari arah perut. 3. Phased array transducer, bentuk gelombang paling sempit dan dalam dengan frekuensi 2-5MHz. Transduser ini paling baik digunakan pemeriksaan atelektasis paru, komplikasi efusi pleura dan jantung dari sela-sela iga. Gambar 2.3. Beberapa jenis probe (Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011) 38 Universitas Sumatera Utara 2.2.2 Memperoleh gambar USG toraks a. Posisi pasien dan posisi probe Pada rongga pleura yang bebas tanpa septa-septa, cairan efusi akan berkumpul di bagian paling bawah (dependent parts) dari toraks sementara udara bebas akan berkumpul di bagian superior (nondependent locations). Oleh karena itu, posisi pasien dan posisi probe USG sangat menentukan dalam mengevaluasi kelainan-kelainan tersebut. Pada kebanyakan pemeriksaan USG toraks, pasien berada pada posisi duduk (sitting upright). Pasien yang tidak dapat duduk dapat diperiksa pada posisi telentang atau lateral dekubitus, namun demikian, jika posisi telentang yang dilakukan, maka saat interpretasi gambar harus memasukkan pertimbangan posisi saat USG toraks dilakukan. Untuk evaluasi yang sistematis, hemitoraks dapat dibagi menjadi tiga zona: anterior, lateral, dan posterior. Zona-zona ini ditandai dengan linea aksilaris anterior dan posterior. Zona anterior terbentang dari linea aksilaris anterior sampai ke sternum, zona posterior terbentang dari linea aksilaris posterior ke kolumna vertebralis, dan zona lateral terletak di antaranya. Untuk akses yang lebih baik, pada pasien yang tidak dapat duduk dapat diposisikan di tepi lateral tempat tidur.Gambar 2.4 (Anantham dan Ernst, 2010; Liao et al, 2013) Gambar 2.4 Posisi pasien pada pemeriksaan USG toraks (Liao et al, 2013) Orientasi probe Probe pada posisi longitudinal berarti memeriksa melalui ruang sela iga (yang berarti paralel dengan aksis tubuh) lebih disukai dibandingkan dengan posisi transversal karena gambar longitudinal akan sekaligus memperlihatkan diafragma sebagai petunjuk. Untuk mempertahankan orientasi probe dan menghasilkan gambar, probe dari transduser tersebut memiliki galur atau bubungan. Dengan menempatkan galur tersebut 39 Universitas Sumatera Utara mengarah ke kepala pasien, maka gambar akhir akan menunjukkan arah kepala di sebelah kiri layar. Struktur superfisial akan tampak di bagian atas layar sementara struktur yang lebih dalam berada di bagian dasar layar. (Anantham dan Ernst, 2010) Pemeriksaan USG toraks akan mendapatkan hasil terbaik jika pemeriksa memahami anatomi tubuh dalam hubungan dengan posisi pasien saat diperiksa. Kemampuan pemeriksa untuk menghubungkan gambaran yang diperoleh dengan anatomi pasien akan menghasilkan kesimpulan yang baik. Ketrampilan ini didapat dari pengalaman pemeriksa. (Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011) Gambar 2.5 Gambar B-mode dari sebuah efusi pleura anekoik yang dibatasi oleh diafragma yang hiperekoik dan atelektasis paru yang isoekoik. (Anantham dan Ernst, 2010) b. Akuisisi gambar Terdapat dua parameter yang perlu disesuaikan untuk mendapatkan gambar USG toraks yang optimal: kedalaman dan gain. Kedalaman lapangan diatur sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan USG toraks: kedalaman 10 cm biasanya cukup untuk hampir semua pemeriksaan toraks. Gain diatur untuk memperbesar sinyal relatif terhadap gangguan di belakangnya. Dengan meninggikan gain akan menghasilkan 40 Universitas Sumatera Utara gambar yang lebih putih, sementara jika gain diturunkan akan membuat gambar lebih gelap. Pengaturan gain memampukan operator untuk memperkuat sinyal gelombang suara secara proporsional dengan kedalaman supaya membuat struktur yang lebih dalam tampil secerah struktur superfisial. Karena organ-organ solid seperti hepar yang normal dianggap termasuk densitas sedang (isoekoik), gain dapat diatur dengan menggunakan hepar sebagai referensi untuk menghasilkan gambar abu-abu pada layar; jaringan yang lain selanjutnya dapat dievaluasi dengan perbandingan gambar abu-abu tersebut sebagai standar. (Anantham dan Ernst, 2010) 2.2.3 Ultrasonografi toraks diagnostik Karena udara tidak dapat divisualisasikan oleh USG, secara teori parenkim paru yang normal tidak dapat dideteksi. Gambaran USG toraks melalui dinding dada meliputi otot, fasia, tulang, dan pleura. Ekogenisitas jaringan lunak dengan lapisan yang multipel menunjukkan otot dan fasia. Iga yang normal memperlihatkan gambaran permukaan hiperekoik dengan bayangan akustik yang prominen diantara iga. Sekitar 0,5 cm di bawah bayangan iga, tampak pleura parietal dan viseral berupa garis terang ekogenik. Pada saat gerakan pernapasan, kedua garis pleura bergerak glide satu sama lain yang disebut sebagai “gliding sign”. Oleh karena itu, adanya “gliding sign” menunjukkan bahwa pleura parietal dan viseral dalam keadaan normal. Sementara jika “gliding sign” tidak ditemukan, dapat terjadi pada pneumotoraks atau penebalan pleura. (Liao et al, 2013) Gambaran yang ditampilkan ultrasonografi (USG) toraks ada dua, yaitu struktur anatomi dan artefak (Tabel 2.3). Struktur anatomi diidentifikasi dengan lokasinya dan ekogenisitasnya. Ekogenisitas dari struktur tubuh dapat direferensikan kepada organ solid seperti hepar yang dapat ditampilkan sebagai abu-abu atau isoekoik pada layar. Kumpulan cairan yang tidak berkomplikasi tampak lebih gelap dari pada organ-organ padat tersebut dan disebut hipoekoik; jika tampak hitam maka disebut anekoik. Udara tampak putih dan disebut hiperekoik. Homogenitas dan heterogenitas dari eko juga membantu pengenalan jaringan-jaringa yang berbeda. (Anantham dan Ernst, 2010) 41 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.3 Interpretasi dasar gambaran ultrasonografi dari struktur anatomi dan artefak Tampilan gambar di Struktur anatomi Artefak layar Hitam (hipoekoik/anekoik) Kumpulan cairan yang Acoustic shadow tidak mengalami komplikasi Abu-abu (isoekoik) Jaringan (contoh: hepar, Acoustic enhancement limpa, kelenjar limfe, (abu-abu cerah) konsolidasi, atelektasi) Kumpulan cairan yang mengalami (contoh: komplikasi hemotoraks, empiema) Putih (hiperekoik) Lemak, kalkuli Pneumotoraks (Sumber: Anantham dan Ernst, 2010) Artefak adalah gambar yang tidak berkaitan dengan struktur anatomi tertentu tetapi dapat memberikan informasi berharga jika dikenali dengan tepat. Contoh dari artefak adalah acoustic shadows, acoustic enhancement, dan reverberation echoes. Tidak seperti struktur anatomi, artefak cenderung bergerak seiring dengan gerakan probe dan konvergen menuju lapangan dekat puncak layar. Acoustic shadow merupakan daerah anekoik yang terletak di belakang struktur tulang seperti iga. Karena acoustic shadow tidak memberikan informasi gelombang suara, maka probe transduser harus memiliki celah kecil yang tepat untuk mentransmisikan gelombang USG diantara struktur tulang untuk menghindarinya. Acoustic enhancement adalah daerah hiperekoik (abu-abu yang lebih terang dibanding hepar) yang berlokasi distal dari kumpulan cairan berbentuk kista; wilayah distal dari cairan tersebut haruslah tidak salah interpretasi dengan struktur anatomi lainnya. Reverberation echoes adalah garis hitam dan putih yang dihasilkan ketika gelombang suara direfleksikan dan melalui dua permukaan, seringkali pada permukaan udara dan jaringan lunak. (Anantham dan Ernst, 2010) 42 Universitas Sumatera Utara Berbagai kondisi baik sehat maupun sakit yang dapat didiagnosis melalui USG toraks antara lain: paru normal, efusi pleura, pneumotoraks, atelektasis paru/konsolidation, edema paru, paresis atau paralisis diafragma, emboli paru. Tabel 2.4 Kondisi paru dan gambaran USG toraks Kondisi paru Paru normal Efusi pleura (melayang bebas) Pneumotoraks Atelektasis paru/konsolidasi Edema paru Paresis atau paralisis diafragma Emboli paru Gambaran USG toraks Lung sliding Artefak comet-tail terisolasi (garis B, garis Z) Garis A Tanda seashore pada mode M Statis, biasanya kumpulan anekoik yang dibatasi oleh diafragma, atelektasis paru, dan dinding dada Tanda dinamis termasuk pergerakan atelektasis paru di dalam efusi dan gerakan diafragma pada respirasi memungkinkan efusi dibedakan dengan asites Tanda sinusoid pada mode M menunjukkan gerakan pleura viseral/paru berdekatan dengan efusi Tidak adanya tanda lung sliding Tidak adanya artefak comet-tail Tanda stratosphere dan lung point pada mode M Hepatisasi paru yang isoekoik dengan air bronchograms yang linear/lentiform Vaskularisasi di dalam konsolidasi ditampilkan dengan USG Doppler warna Atelelektasis dapat muncul bersamaan dengan peninggian hemidiafragma dan bronchograms hitam (terisi cairan) Garis B multipel yang terlihat difus di seluruh toraks Efusi pleura anekoik bilateral Diafragma bergerak < 5 mm atau secara paradoks saat inspirasi Hilangnya tanda lung sliding Lokasi intra toraks dari hepar atau limpa Infark paru tampak sebagai konsolidasi berbentuk baji perifer dengan vaskularisasi yang berkurang pada 43 Universitas Sumatera Utara USG Doppler warna Efusi (hemorhagis) hiperekoik ipsilateral (Tanda tambahan dari ekokardiografi) (Sumber: Anantham dan Ernst, 2010) a. Paru normal Gambaran dinding dada normal terdiri dari lapisan jaringan lunak, otot, dan fascia adalah ekogenik. Tulang rusuk digambarkan seperti garis ekogenik di atas jaringan lunak, otot, dan fascia. (Anantham dan Ernst, 2010) Lung sliding merupakan tanda kunci untuk menandai paru normal. Untuk mengidentifikasi lung sliding, yang pertama dicari adalah garis pleura yang tampak sebagai garis hiperekoik horizontal yang terletak sekitar 0,5 cm di bawah permukaan kulit yang menggambarkan permukaan antara paru dan dinding dada. Garis pleura dibatasi oleh bayangan anekoik di bagian sefalik dan kaudal akibat adanya tulang iga. Garis A merupakan garis horizontal yang lebih dalam yang merupakan reverberasi artefak eko dari garis pleura. (Gambar 2.6) (Anantham dan Ernst, 2010) Jika garis pleura ini telah diidentifikasi maka lung sliding akan terlihat sebagai gerakan bolakbalik (“to and fro twinkling”) dari paru yang menempel ke garis pleura seirama dengan inspirasi dan ekspirasi. Gambar di atas garis pleura pada layar tidak bergerak. Oleh karena itu, lung sliding mengidentifikasi pleura viseral yang meluncur di permukaan pleura parietalis. Lung sliding merupakan tanda yang penting untuk mengenali paru yang normal, namun hal tersebut tergantung pada hal-hal teknis dan interpretasi. Sebagai contoh, tanda tersebut mungkin tidak terdeteksi dengan probe frekuensi rendah di bawah 2,5 MHz. “Lung sliding” juga mungkin tidak dijumpai pada keadaan-keadaan patologis di mana gerakan paru terganggu seperti pleurisi, pleurodesis, pneumotoraks, emfisema subkutis, bronkospasme ekstrim, pneumonia ekstensif, dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). (Anantham dan Ernst, 2010) 44 Universitas Sumatera Utara (Sumber: Anantham dan Ernst, 2010) Gambar 2.6 Pada B-mode dari paru normal dengan garis pleura dan garis A. garis A adalah eko dari garis pleura dan menandakan adanya permukaan udara dan jaringan lunak, sementara udara ada di dalam paru yang teraerasi atau bebas di rongga pleura. (Sumber: Anantham dan Ernst, 2010) Gambar Dinding dada dada Gambar 2.7 2.7 Tampak Tampak dari dari ruang ruang interkostal. interkostal. Dinding terlihat sebagai lapisan berbagai tingkat eko yang terlihat sebagai lapisan berbagai tingkat eko yang menggambarkan menggambarkan otot otot dan dan fasia fasia (A). (A). Pada Pada potongan potongan longitudinal melewati iga, tulang iga longitudinal melewati iga, tulang iga yang yang normal normal tampak tampak sebagai sebagai ruang ruang hiperekoik hiperekoik dengan dengan acoustic acoustic shadow shadow di di belakangnya. (B) belakangnya. (B) b. Efusi pleura Ultrasonografi lebih sensitif dari pada foto toraks dalam mendiagnosis efusi pleura minimal dan sangat efektif dalam membedakan efusi pleura dari atelektasis paru. Efusi pleura dapat dikenali dengan menggunakan tanda statis dan dinamis. Tanda statis untuk mengenali efusi pleura adalah wilayah yang dibatasi oleh diafragma di kaudal, dinding dada di superior, dan paru yang mengalami atelektasis di dasar (gambar 2.8). (Anantham dan Ernst, 2010) Tanda dinamis digunakan untuk mengenali efusi pleura termasuk gerakan diafragma yang dekat dengan efusi dan paru di dalam efusi. Diafragma diidentifikasi sebagai struktur hiperekoik konkaf yang menurun dengan inspirasi dan dibatasi di kaudal oleh hepar dan limpa, yang keduanya adalah struktur isoekoik. Posisi diafragma membantu membedakan efusi pleura dari asites pada ruang hepatorenal/subhepatik, dimana diafragma dan gerakannya tidak terlihat. Sebagai catatan, kehati-hatian harus diterapkan dalam menginterpretasi gambar subkostal diafragma yang konkaf memiliki properti reflektif yang tinggi yang dapat memunculkan artefak dan karena limpa atau hepar dapat menghasilkan bayangan akustik yang dapat ditafsirkan sebagai efusi, atau peningkatan akustik yang dapat dianggap sebagai konsolidasi. Adanya debris-debris yang melayang-layang di dalam efusi pada pasien kanker merupakan prediktor untuk efusi maligna. USG Doppler warna dapat digunakan untuk meningkatkan terdeteksinya 45 Universitas Sumatera Utara gerakan ini. Adanya septa-septa pleura mengindikasikan meningkatnya kebutuhan intervensi pleura seperti fibrinolisis dan dekortikasi. (Sumber: Anantham dan Ernst, 2010) Gambar 2.8 Gambar B-mode dari efusi pleura dengan komplikasi disertai adanya adesi diantara pleura viseral hiperekogenik di sefalik dan diafragma di kaudal Biasanya, efusi merupakan daerah hipoekoik yang berada di dalam batasanbatasan tersebut, tetapi ekogenisitas tidak dapat dijadikan satu-satunya kriteria untuk efusi pleura. Semua efusi transudat dan beberapa efusi eksudat biasanya tampak sebagai anekoik, tetapi wilayah anekoik juga dapat terlihat pada penebalam pleura dan asites abdominalis. Untuk tujuan investigasi, maka efusi pleura dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan etiologi yaitu: infeksi, malignansi, dan miselanos. Pada efusi pleura akibat infeksi menimbulkan efusi para pneumonik atau empiema. Efusi maligna disebabkan oleh keganasan primer atau sekunder di dada. Sementara efusi pleura yang dikaitkan dengan kelainan miselanos antara lain: efusi steril benigna, hemotoraks, dan kilotoraks. Efusi pleura dibagi menjadi transudat dan eksudat berdasarkan analisis biokimia dari cairan pleura yang diaspirasi. Foto toraks posisi erek merupakan investigasi awal yang 46 Universitas Sumatera Utara paling sering dilakukan untuk efusi pleura. Untuk memberikan gejala klinis, dibutuhkan jumlah cairan pleura minimal 500 ml, sementara untuk memberikan gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul dibutuhkan sekitar 200 ml cairan pleura. USG toraks pada posisi erek atau duduk, tidak hanya mampu mendeteksi jumlah cairan pleura yang lebih sedikit dari pada foto toraks, tetapi juga mampu memberikan informasi yang berguna dalam hal gambaran cairan pleuranya. Efusi pleura pada USG toraks memberikan gambaran bebas eko (echofree/anechoic) di antara pleura viseral dan parietal. Klasifikasi volume efusi pleura adalah minimal, small, moderate, dan masif. Disebut efusi pleura minimal jika ruang anekoik berada di sudut kostofrenikus; efusi small jika ruang anekoik melewati suduk kostofrenikus tetapi masih dalam rentang satu probe; efsui moderate jika ruang anekoik lebih dari rentang satu probe tetapi masih di bawah rentang dua probe; dan efusi pleura masif jika ruang anekoik lebih dari rentang dua probe. satu probe; efsui moderate jika ruang anekoik lebih dari rentang satu probe tetapi masih di bawah rentang dua probe; dan efusi pleura masif jika ruang anekoik lebih dari rentang dua probe. (Liao et al, 2013) Kelebihan USG toraks terletak pada kemampuannya menampilkan karakteristik cairan pleura. Empat pola dasar USG toraks pada ekogenisitas efusi pleura telah dikenal dan diklasifikasikan menjadi anekoik, non septa kompleks, bersepta kompleks, dan ekogenik homogen. (Liao et al, 2013) Gambar 2.9 Tampilan USG toraks dari efusi pleura. Efusi pleura dapat diklasifikasikan sebagai anekoik (A), non septa kompleks (B), bersepta kompleks (B), dan ekogenik homogen (D). (Liao et al, 2013) 47 Universitas Sumatera Utara Efusi anekoik didefinisikan sebagai ruang bebas eko diantara pleura viseral dan pleura parietal (A). Efusi non septa kompleks didefinisikan sebagai material ekogenik heterogen di dalam cairan pleura (B). Efusi bersepta kompleks didefinisikan sebagai benang-benang fibrin atau septa mengambang/melayang di dalam cairan pleura (C). Efusi ekogenik homogen didefinisikan sebagai densitas titik-titik ekogenik yang terdistribusi di dalam cairan pleura (D). (Liao et al, 2013) Gambar 2.10 Ultrasonografi toraks dapat mendeteksi adanya cairan pleura dan septa pada efusi pleura (Shaw dan Sebastian, 2008) c. Pneumotoraks Foto toraks ekspirasi pada posisi erek merupakan pemeriksaan awal pada pasien dengan dugaan penumotoraks, tetapi sensitivitasnya bervariasi antara 50% sampai dengan 90%. Penegakan diagnosis pneumotoraks pada foto toraks frontal seringkali sulit dilakukan pada pasien-pasien dalam kondisi kritis di mana pasien berada pada posisi semi-recumbent dan tidak dapat melakukan koordinasi untuk menahan napas pada posisi ekspirasi. USG toraks dapat membantu menegakkan diagnosis pneumotoraks. Pleura parietal dan viseral dalam keadaan normal bergerak slide satu 48 Universitas Sumatera Utara sama lain selama proses respirasi dan pneumotoraks disangkakan jika tidak dijumpai “gliding sign”. (Gambar 2.11) (Liao et al, 2013) Gambar 2.11 lung sliding pada M-mode: P, pleura. Panel (A) menampilkan sea shore pada lung sliding yang normal. Panel (B) menampilkan bar code horisontal yang muncul bersamaan dengan hilangnya lung sliding. (Liao et al, 2013) Gambar 2.12 Gambaran pneumotoraks. USG toraks memperlihatkan tanda stratosphere (Liao et al, 2013) . Pneumotoraks ditandai dengan; tidak adanya tanda paru yang teraerasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, paru yang teraerasi ditandai dengan adanya tanda lung sliding; paru juga ditandai dengan artefak yang disebut comet tails, termasuk garis B dan garis Z, yang tampak sebagai garis vertikal hiperekoik yang muncul dari garis pleura dan bergerak sinkron dengan lung sliding. Garis B adalah artefak comet tail yang tersebar dari garis pleura sampai ke tepi layar dan tidak mengabur. (Gambar 2.11) Garis Z hampir sama, namun mengalami pengaburan dengan cepat dan tidak mencapai tepi layar. Pada pneumotoraks, garis A yang menggambarkan eko reverberasi dari garis pleura masih terlihat, tetapi tidak akan ada gerakan di garis pleura dan tidak terlihat lung sliding atau artefak comet-tail. Tidak adanya lung sliding dan artefak comet-tail mengindikasikan adanya pneumotoraks dengan sensitifitas 100% dan spesifitas 96,5%. Sebaliknya, adanya lung sliding menyingkirkan adanya pneumotoraks dengan nilai 49 Universitas Sumatera Utara prediksi negatif 100%. Pada pneumotoraks, garis A teraksentuasi multipel mungkin terlihat dan gambar ini dapat ditangkap pada M-mode sebagai seri garis horisontal seperti stratosfer. (tanda stratosfer) (Gambar 2.12) Gambar 2.13 Gambaran USG toraks B-mode memperlihatkan artefak comet-tail yang memancar dari garis pleura. (Anantham dan . 2010) Ernst, Gambar 2.14 Pada M-mode, pneumotoraks memperlihatkan gambaran tanda stratosphere (A), ditandai dengan garis horisontal multipel tanpa granularitas yang terlihat pada paru normal. (Anantham dan Ernst, 2010) d. Atelektasis paru/konsolidasi Konsolidasi alveolus dapat diidentifikasi dengan ultrasonografi toraks jika konsolidasi meluas ke pleura viseral; jika tidak, paru teraerasi yang mengalami konsolidasi akan memunculkan artefak yang menyulitkan diagnosis. Pada konsolidasi alveolus, lung sliding akan terhapus dan gambaran jaringan yang mirip dengan hepar akan terlihat akibat konsolidasi tersebut dan hepatisasi paru. Batas superfisial dari paru yang mengalami konsolidasi biasanya reguler dan batas inferiornya biasanya ireguler tergantung perluasan konsolidasinya. Air bronchograms mungkin terlihat sebagai bayangan linier atau lentiform yang hiperekoik yang dapat bervariasi sesuai proses respirasi. Gambar 2.14 50 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.15 Pada B-mode tampak konsolidasi subpleura dengan bayangan lentiform hiperekoik yang terkait dengan air bronchogram yang tampak pada CT scan toraks. (Anantham dan Ernst, 2010) Paru normal yang teraerasi dengan baik sangat sulit untuk digambarkan karena perubahan dramatis akustik impedans antara dinding dada dengan paru menghasilkan refleksi spekular dari gelombang ultrasound pada pleura. Namun demikian, paru yang mengalami konsolidasi memiliki densitas jaringan dan tekstur eko yang sama dengan hati, dan keadaan ini analog dengan keadaan patologis berupa hepatisasi. Keadaan ini menghilangkan perubahan akustik impedans pada interfase pleura, dan gelombang USG berjalan secara langsung menuju paru yang mengalami konsolidasi. Ketika pasien dengan pneumonia lobar atau segmental , dan lesinya dekat dengan pleura atau di dalam efusi pleura, maka pneumonia tersebut dapat dideteksi melalui USG toraks. (Liao et al, 2013) Atelektasis digambarkan oleh ultrasonografi toraks dengan cara yang hampir sama dengan konsolidasi. Sebagai tambahan, ruang inter kostal mungkin telah menyempit dan terjadi peninggian hemidiafragma. Jika pada bronkus distal dari pneumonia obstruktif atau atelektasis terisi cairan, maka fluid bronchograms mungkin terlihat sebagai bayangan lentiform anekoik di dalam area konsolidation. (Liao et al, 2013) 51 Universitas Sumatera Utara Abses paru akan tampak sebagai kumpulan cairan hipoekoik dengan dinding berbatas tegas di dalam area konsolidasi. Di pusat abses, adanya septa atau cairan yang melayang-layang juga dapat terlihat. (Liao et al, 2013) Pada edema paru dapat dijumpai septa interlobular yang mengalami edema dan menebal. Jika pada paru normal dijumpai garis B tunggal, maka pada edema paru dijumpai artefak comet-tail garis B yang multipel, dijumpai difus, dan bilateral. Diagnosisnya dapat dikonfirmasi dengan hilangnya temuan-temuan ini dengan terapi yang tepat. Adanya garis B yang difus dan multipel memiliki sensitivitas dan spesifisitas 93% ketika dibandingkan dengan foto toraks pada penegakan diagnosis edema paru. (Liao et al, 2013) e. Massa dinding dada USG toraks dengan frekuensi yang tinggi sangat ideal memvisualisasikan massa jaringan lunak yang muncul dari dinding dada, seperti: lipoma, abses, dan berbagai lesi lainnya, yang pada umumnya adalah jinak. Pada umumnya, massa memilki ekogenisitas yang bervariasi sehingga temuan USG toraks tidak spesifik untuk membedakan berbagai faktor penyebab. (Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012) f. Penebalan pleura Penebalan pleura sering didefinisikan sebagai lesi fokal yang muncul dari pleura parietal atau pleura viseral yang lebarnya lebih besar dari 3 mm dengan atau tanpa tepi yang ireguler. Membedakan penebalan pleura dengan efusi pleura small adalah tidak mudah karena keduanya dapat memberikan gambaran hipoekoik pada USG toraks. (Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012) g. Algoritma evaluasi dispnea akut Ultrasonografi dapat dimanfaatkan untuk evaluasi dispnea akut. Pertama, porsi nondependen dari toraks seharusnya discan untuk melihat lung sliding dan artefak comet-tail sebagai bukti untuk paru yang teraerasi. Jika tidak ada, maka diduga kuat terdapat pneumotoraks. Jika lung sliding dijumpai, maka jika ditemukan garis multipel 52 Universitas Sumatera Utara yang difus di seluruh toraks akan mengarahkan diagnosis proses alveolus-interstisial seperti edema paru atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Bukti adanya konsolidasi alveolus atau efusi pleura large dicari dengan menscan toraks dengan sistematis. Emboli paru juga dapat dipertimbangkan berdasarkan tanda-tanda yang telah dijelaskan sebelumnya, terutama efusi hiperekoik dan konsolidasi perifer dengan penurunan vaskularisasi. Gambar 2.15 (Anantham dan Ernst, 2010) Gambar 2.16 Algoritma evaluasi dispnea akut (Anantham dan Ernst, 2010) 2.2.4 Prosedur intervensi dengan tuntunan ultrasonografi toraks diagnostik a. Torakosintesis dan penempatan kateter pleura 53 Universitas Sumatera Utara USG toraks sangat baik digunakan sebagai tuntunan pada berbagai tindakan invasif transtorakal. Dengan bantuan USG toraks dapat meningkatkan keberhasilan dan sekaligus menurunkan risiko yang mungkin terjadi. Beberapa tindakan yang dapat dituntun dengan USG toraks antara lain: aspirasi cairan efusi pleura, drainase tube interkostal tertutup, biopsi pleura tertutup, TTNA dan TTNAB. (Anantham dan Ernst, 2010) Tuntunan USG toraks bermanfaat meningkatkan keberhasilan dan keamanan torakosintesis. Torakosintesis dengan tuntunan USG toraksberhasil mendapatkan cairan pada 88% kasus yang gagal diaspirasi dengan blind. Pada mayoritas aspirasi cairan pleura secara blind yang gagal, pemeriksaan lanjutan dengan USG toraks telah menunjukkan bahwa jarum telah diinsersikan di subdiafragma. Oleh karena itu, dengan menggunakan USG toraks sebagai tuntunan, operator dapat menghindari tertusuknya organ-organ seperti paru, hepar, limpa, dan jantung. Tuntunan USG toraks dapat mengurangi insidens pneumotoraks dari 39% pada pada torakosintesis secara blind menjadi kurang dari 5,4%. Dengan torakosintesis menggunakan tuntunan USG toraks, angka kejadian pneumotoraks dapat dipertahankan sebesar 1,3% bahkan pada pasien dengan ventilasi tekanan positif. (Liao et al, 2013; Anantham dan Ernst, 2010) Pada torakosentesis yang dipandu dengan USG toraks, yang pertama kali dilakukan adalah mengidentifikasi dan memberi tanda pada lokasi torakosentesis. Untuk mengurangi risiko komplikasi, operator sebaiknya meletakkan probe transduser sehingga bagian paling tebal dari koleksi cairan target berada di tengah layar. Adanya jarak sebesar 10-15 mm antara pleura viseralis dan pleura parietalis merupakan tanda dapat dilakukan aspirasi dengan aman. (Anantham dan Ernst, 2010) Kedalaman insersi jarum dapat diperkirakan pada layar USG toraks, karena probe menekan ditepi jaringan lunak, jarak ini mungkin salah perhitungan. Pada prosedur sebenarnya, jarum biasanya diinsersikan ke arah bawah dengan sudut 450 dengan aksis panjang dari probe terhadap iga; operator berupaya untuk menjaga seluruh panjang jarum terpantau di sepanjang lintasannya. Jika tanda yang telah dibuat untuk torakosintesis akan dilakukan kemudian, posisi pasien harus tetap sama untuk menghindari perubahan lokasi dari cairan pleura. Lokasi insersi dibersihkan, didraped, dan dianestesi kemudian jarum diinsersikan pada sudut yang sama dengan probe, 54 Universitas Sumatera Utara biasanya tegak lurus dengan posisi target. Lokasi insersi idealnya berada superior dari iga untuk menghindari cedera pada serabut saraf dan pembuluh darah. Jika kateter diinsersikan, USG toraks dapat digunakan untuk mengonfirmasi posisi kateter. Kateter pleura akan tampak sebagai struktur linier hiperekoik di dalam koleksi cairan anekoik. USG toraks pada dinding dada nondependen setelah tindakan aspirasi cairan untuk mengidentifikasi lung sliding dan artefak comet-tail dalam rangka mengeksklusikan pneumotoraks iatrogenik. (Liao et al, 2013; Anantham dan Ernst, 2010) Walaupun telah menggunakan tuntunan USG toraks, tindakan aspirasi cairan pleura kadang-kadang tidak berhasil. Alasannya antara lain sumbatnya jarum aspirasi atau adanya lokulasi atau septa yang mencegah drainase cairan. Kesalahan operator karena artefak kompresi mungkin menimbulkan kesalahan dalam mengukur kedalaman efusi. Pasien mungkin telah berubah posisi antara pemeriksaan USG toraks dan saat dilakukan prosedur aspirasi. Jika saat tindakan aspirasi tidak dijumpai cairan, maka jarum torakosintesis seharusnya segera ditarik dan pasien discan ulang. Pengulangan pemeriksaan USG toraks memampukan reposisi titik insersi demikian juga mengeksklusikan komplikasi seperti pneumotoraks. (Liao et al, 2013; Anantham dan Ernst, 2010) b. Transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan USG Toraks USG toraks dapat digunakan untuk menuntun aspirasi/biopsi lesi perifer paru, massa pleura, dan tumor mediastinum anterior. USG toraks memampukan dilakukannya identifikasi sudut yang tepat dan kedalaman aspirasi/biopsi karena USG toraks dapat membedakan komponen padat dari cair pada lesi paru. Namun demikian, aspirasi/biopsi jarum perkutan sebaiknya dilakukan oleh ahli yang menguasai USG toraks dan teknik aspirasi/biopsi jarum. (Anantham dan Ernst, 2010) Jenis-jenis lesi dan lokasi yang sering dilakukan tindakan TTNA antara lain tumor Pancoast, nodul soliter, metastasis di tulang, massa di pleura, dan massa di mediastinum anterior (gambar 2.17 dan 2.18) (Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012) 55 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.17 Lokasi lesi yang sering dilakukan TTNA (Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012) Gambar 2.18 Pilihan teknik pengambilan jaringan sesuai dengan lokasi lesi ((Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012) Transthoracic needle aspiration (TTNA) adalah tindakan diagnsotik dengan teknik pengambilan sampel secara perkutan dari tumor yang melalui dinding dada, parenkim paru, dan mediastinum untuk keperluan pemeriksaan sitologi, histopatologi, dan mikrobiologi. Indikasi dan kontra indikasi Transthoracic needle aspiration (TTNA) pertama kali dilakukan untuk mendiagnosis penyakit paru pada tahun 1883, ketika Leyden melakukannya pada tiga orang pasien pneumonia. Pada tahun 1886, Menetrier melaporkan penggunaan TTNA untuk diagnosis kanker paru. Sejak saat itu, banyak muncul publikasi yang menjelaskan penggunaan TTNA untuk diagnosis berbagai lesi toraks benigna dan maligna, dengan tuntunan fluoroskopik, CT scan, atau USG toraks. Teknik terkait yaitu Transthoracic Lung Biopsy (TTNB) memberikan hasil materi biopsi core dari nodul paru untuk pemeriksaan histopatologi. (Kern dan McLennan, 2008; Prasad et al, 1994) 56 Universitas Sumatera Utara Kontraindikasi tindakan TTNA umumnya bersifat relatif antara lain: koagulopati yang tidak dapat dikoreksi, hipoksemia yang belum teratasi, gangguan hemodinamik, hipertensi pulmonal, emfisema bula, dan lesi yang terlalu dekat dengan struktur pembuluh darah, riwayat pneumonektomi dan volume ekspirasi paksa kurang dari satu liter. (tabel 2.5) (Kern dan McLennan, 2008; Shaw dan Sebastian, 2008) Tabel 2.5 Kontra indikasi biopsi jarum Tipe kontra Contoh indikasi Relatif Pasien tidak kooperatif Tidak dapat mengontrol batuk Tidak dapat berbaring prone atau supine Fungsi paru yang buruk Bula multipel Pneumonektomi Gangguan pembekuan darah Hipertensi pulmonal Nodul kecil < 5 mm diameter Penyakit Hidatid Absolut Malformasi arteriovenosus dengan tekanan arteri pulmonalis yang tinggi (Sumber: Shaw dan Sebastian, 2008) 57 Universitas Sumatera Utara Teknik TTNA Teknik yang tepat dalam melakukan TTNA sangat penting untuk mendapatkan materi yang adekuat untuk interpretasi yang tepat. Sebagai tambahan dari mekanisme insersi jarum dan aspirasi, pemilihan tipe jarum dan pemrosesan spesimen yang hati-hati merupakan aspek yang sangat penting dalam prosedur ini. (ERS/ATS, 2002) Pemilihan tipe jarum Banyak tipe jarum yang dapat digunakan untuk tindakan TTNA. Terdapat berbagai variasi dalam hal panjang dan lebarnya jarum. Pada awal 1960, TTNA dilakukan dengan menggunakan large-bore cutting needles; dan dilaporkan angka kejadian komplikasi perdarahan yang cukup besar. Selanjutnya, aspirasi dengan jarum halus (thin-needle) telah menjadi standar dengan rentang ukuran jarum 18-22 gauge. Sistem jarum koaksial telah diperkenalkan untuk tujuan mendapatkan sampel multipel dari penetrasi pleura tunggal. (ERS/ATS, 2002) Penuntun TTNA: fluoroskopi, CT scan, dan USG toraks TTNA dapat dilakukan dengan tuntunan fluorokopi, CT scan, ataupun USG toraks. Pemilihan USG toraks memiliki beberapa keuntungan antara lain memperlihatkan gambaran real-time, mudah dipindahkan, dan tidak ada paparan radiologis terhadap pasien dan dokter. TTNA dengan tuntunan USG toraks terutama dilakukan untuk lesi paru perifer yang meluas ke pleura ataupun untuk massa di mediastinum. (ERS/ATS, 2002) Perlengkapan dan personil (ERS/ATS, 2002) Berikut ini adalah daftar perlengkapan dan personil yang dibutuhkan untuk melakukan pengambilan sampel dengan TTNA: 1) Jarum aspirasi dengan panjang yang sesuai, ukuran jarum 18-25 gauge, dengan desain cutting versus noncutting sesuai dengan jenis sampel yang diinginkan 2) Tuntunan radiologi atau ultrasonografi untuk menentukan lokasi lesi dan memandu penempatan jarum 3) Peralatan untuk mempersiapkan spesimen 4) Kateter/selang dada untuk drainase pneumotoraks 58 Universitas Sumatera Utara 5) Monitor saturasi oksigen dan jantung 6) Asisten yang terlatih Teknik Kedalaman, sudut, dan lokasi penetrasi jarum harus diperhitungkan dengan tepat. Setelah tindakan anestesi lokal, jarum atau trokar diinsersikan dengan cara steril dengan tuntunan fluoroskopi, CT scan, atau USG toraks. Spesimen yang diperoleh kemudian disemprotkan ke slides atau ke dalam cairan untuk diproses menggunakan teknik pemeriksaan sitologi yang standar. (ERS/ATS, 2002) Prosedur tindakan TTNA dengan tuntunan USG Toraks dilakukan dengan cara sebagai berikut: (Shet et al, 1999) 1. Lokasi dan kedalaman insersi jarum pada tindakan TTNA ditentukan dari pemeriksaan USG toraks 2. Lokasi tindakan TTNA dibersihkan dengan cairan anti septik, kemudian dilakukan infiltrasi lidokain pada jaringan kutis dan sub kutis 3. Dilakukan insersi jarum (dalam penelitian ini dengan spinocaine 25 gauge dengan panjang 8,8 cm) 4. Ketika jarum ada di dalam massa, maka sylet sentralnya dikeluarkan dan disambungkan dengan spuit 10cc. 5. Dilakukan suction (memberikan tekanan negatif pada spuit 10cc) dan dilanjutkan dengan melakukan gerakan naik-turun (to and fro) dari jarum tersebut, dengan masih berada di dalam massa, untuk mendapatkan sampel sitologi. 6. Dibuat preparasi slide dari sampel sitologi tersebut dan dikeringkan kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 96% 7. Preparat diperiksa oleh ahli patologi anatomi 8. Dilakukan evaluasi ada tidaknya pneumotoraks segera setelah tindakan TTNA dengan USG toraks dan diobservasi di ruangan selama 24 jam 59 Universitas Sumatera Utara Hasil Sensitivitas diagnosis TTNA berkisar antara 68-96%, dengan spesifitas ≤ 100%, dan akurasi 74-96% pada semua ukuran lesi. Pada lesi yang lebih kecil, akurasi diagnostiknya menjadi lebih rendah. (ERS/ATS, 2002) Komplikasi Insidens pneumotoraks adalah ~ 20-40%, dan 50% diantaranya membutuhkan pemasangan selang dada. Perdarahan dan hemoptysis jarang terjadi dan umumnya sembuh tanpa pengobatan. (ERS/ATS, 2002) Kebutuhan pelatihan Tindakan TTNA seharusnya dilakukan atau dibawah supervisi seorang spesialis paru atau spesialis radiologi yang berpengalaman. Yang sedang mengikuti pelatihan harus terlebih dahulu berlatih pada objek latihan, dan harus telah melakukan lebih dari atau sama dengan sepuluh tindakan TTNA yang disupervisi sebelum melakukannya sendiri. Untuk mempertahankan kompetensi, 5-10 tindakan TTNA dalam setahun harus dilakukan. Terapi untuk pneumotoraks harus disediakan. (ERS/ATS, 2002) 2.2.5 Keuntungan dan kerugian penggunaan tuntunan USG toraks Keuntungan USG dibandingkan alat yang lain adalah biaya peralatan yang relatif murah, nonionisasi dan aman, pemindaian dapat dilakukan pada setiap bidang, dapat sering diulang, deteksi pergerakan aliran darah, peralatan yang mudah dibawa ke sisi tempat tidur pasien, dan dapat digunakan mendampingi prosedur aspirasi/biopsi dan drainase. (Liao et al, 2013; Anantham & Ernst, 2010) Penggunaan USG toraks realtime di bidang pulmonologi meningkatkan keberhasilan tindakan-tindakan invasif di rongga toraks dan menurunkan risiko yang mungkin terjadi. ((Liao et al, 2013; Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012) Namun demikian, disamping beberapa keuntungan tersebut USG toraks juga memiliki beberapa kelemahan seperti sangat tergantung pada kemampuan operator, ketidakmampuan suara untuk menembus gas atau tulang yang menyebabkan visualisasi yang kurang baik pada struktur-struktur di bawahnya, serta penyebaran gelombang suara saat melewati lemak menghasilkan citra yang buruk pada pasien obesitas. (Anantham dan Ernst, 2010; Patel, 2007) 60 Universitas Sumatera Utara 2.3 Interpretasi sitologi TTNA Klasifikasi diagnosis sitologi dibuat berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh World Health Organization, yakni: Masalah yang sering dihadapi dalam pembacaan sitologi adalah kesulitan dalam menentukan benign dan malignan, maka dari itu ahli patologi anatomi membuat suatu sistem kategori sitologi yang mana akan mempermudah dalam pembacaan sitologi, yaitu: C1 : inadekuat C2 : benign C3 : atipikal C4 : kecurigaan maligna C5 : malignansi 61 Universitas Sumatera Utara 2.4 Kerangka konsep Pasien dengan sangkaan kanker paru Jenis kelamin Usia Massa KGB ukuran Riwayat keluarga Riwayat radiasi Progresivitas Suara serak Anamnesis dan pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang Radiologi toraks Bronkoskopi US Guided TTNA CT toraks Sitologi sputum Diagnosis sitologi Non-diagnsotik Diagnostik Biopsi bedah / diagnois histopatologi Follow-up klinis DIAGNOSIS AKHIR Gambar. 2.19 Kerangka konsep akurasi diagnsotik TTNA dengan tuntunan USG toraks 62 Universitas Sumatera Utara