Chapter II - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kanker paru
2.1.1
Definisi kanker paru
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru
(metastasis di paru). Dalam tulisan ini selanjutnya yang dimaksud dengan kanker paru
adalah kanker paru primer, yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau
karsinoma bronkus. (Jusuf et al, 2011)
2.1.2
Patogenesis kanker paru
Kanker paru adalah konsekuensi fenotipik dari akumulasi perubahan genetik di
sel-sel epitel saluran napas yang menghasilkan proliferasi selular yang tidak terkendali.
Perubahan molekular dan genetik yang khas untuk kanker paru sangat kompleks dan
belum sepenuhnya dipahami. Penelitian pertama mengenai patogenesis kanker paru
dilakukan pada tahun 1960 dengan menggunakan sitogenetik. (Kern dan McLennan,
2008)
Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel normal dapat
menjadi sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi ketidakseimbangan antara fungsi
onkogen dengan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah
sel. Perubahan atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen
dan/atau kurang/hilangnya fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel tumbuh dan
berkembang tak terkendali. Perubahan ini berjalan dalam beberapa tahap atau yang
dikenal dengan proses multistep carcinogenesis. Perubahan pada kromosom, misalnya
hilangnya heterogeniti kromosom atau LOH juga diduga sebagai mekanisme
ketidaknormalan pertumbuhan sel pada sel kanker. Dari berbagai penelitian telah dapat
dikenal beberapa onkogen yang berperan dalam proses karsinogenesis kanker paru,
antara lain gen myc, gen k-ras, sedangkan kelompok gen tumor supresor antara lain gen
p53, gen rb. Sedangkan perubahan kromosom pada lokasi 1p, 3p, dan 9p sering
ditemukan pada sel kanker paru. Berkaitan respons dan resistensi maka hampir semua
jenis obat untuk kanker paru telah dikenal mekanisme kerja intraselular dan mekanisme
28
Universitas Sumatera Utara
resistensinya, terutama kaitannya dengan siklus sel dan apoptosis dan gen yang berperan
pada proses itu. Pada perkembangan terakhir ilmu kanker, gen dan biomolekular malah
berperan dominan secara khusus dalam pengobatan. Golongan obat yang termasuk
dalam kelompok targeted therapy adalah realisasi dari pengetahuan itu meskipun pada
akhirnya respons obat tetap berkaitan dengan apoptosis sel kanker. Masih terus diteliti
hubungan antara faktor spesifik untuk respons salah satu golongan obat EGFR-TKI
dikaitkan dengan ras, jenis kelamin, dan mutasi gen tertentu. (Jusuf et al, 2011)
Progresi dari epitel bronkus yang normal menjadi epitel maligna diperlihatkan
pada gambar berikut: (Kern dan McLennan, 2008)
Gambar 2.1 Progresi dari epitel bronkus yang normal menjadi epitel maligna (Kern dan
McLennan, 2008)
2.1.3
Diagnosis dan penderajatan kanker paru
Penegakan diagnosis kanker paru memerlukan pemeriksaan yang lengkap
meliputi gambaran klinik, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan khusus.
Gambaran klinik
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis.
Pada pasien yang menunjukkan gejala dan tanda, gambaran kliniknya tidak banyak
berbeda dari penyakit paru lainnya. Gambaran klinik penyakit kanker paru biasanya
dijumpai pada subyek dengan risiko tinggi (laki-laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok,
dan terpapar industri tertentu), dapat berupa batuk-batuk dengan/tanpa dahak, batuk
darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit/sakit menelan, benjolan di pangkalan
leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri
yang hebat. (Jusuf et al, 2011) Dapat juga terlihat gejala atau keluhan di luar paru
29
Universitas Sumatera Utara
seperti pembesaran hepar, patah tulang, nyeri tulang, nafsu makan hilang, berat badan
berkurang, demam hilang timbul, dan sindrom paraneoplastik, seperti hypertropic
pulmonary osteoarheopathy (HPOA), trombosis vena perifer dan neuropatia. (Jusuf et
al, 2011; Kern dan McLennan, 2008)
Pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan khusus
Pemeriksaan radiologis yang yang dapat dilakukan antara lain foto toraks PA/L,
computerized tomography scanning (CT scan) toraks, bone scan, bone survey,
ultrasonografi (USG) abdomen, CT otak, positron emission tomography (PET), dan
magnetic resonnance imaging (MRI). Pemeriksaan radiologis ini ditujukan untuk
menentukan letak kelainan, ukuran tumor, dan metastasis. (Jusuf et al, 2011)
Beberapa pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis
kanker paru antara lain: bronkoskopi, biopsi aspirasi jarum, transbronchial needle
aspiration (TBNA), transbronchial lung biopsy (TBLB), tranthoracic needle aspiration
(TTNA). Biopsi transtorakal (transthoracic biopsy, TTB), aspirasi jarum halus (AJH),
biopsi Kelenjar Getah Bening (KGB), torakoskopi medik, dan sitologi sputum. (Kern
dan McLennan, 2008)
Pemilihan modalitas diagnosis disesuaikan dengan karakteristik kelainan yang
dijumpai dan kelebihan serta kekurangan masing-masing alat diagnosis tersebut.
Jenis histologis
Kanker paru dapat dibagi menjadi dua jenis utama yaitu: Kanker Paru jenis
Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dan Kanker Paru jenis Karsinoma Sel Kecil
(KPKSK). (Jusuf et al, 2011; Youlden, Cramb, dan Baade, 2008; Pass et al, 2010)
Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) merupakan jenis kanker paru
yang terbanyak dan terdiri dari beberapa sub tipe antara lain: karsinoma sel skuamosa
(epidermoid carcinoma), adenokarsinoma (adenocarcinoma), dan karsinoma sel besar
(large cell carcinoma). (Jusuf et al, 2011; Youlden, Cramb, dan Baade, 2008; Pass et al,
2010)
30
Universitas Sumatera Utara
Penderajatan (staging)
Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut The 7th edition of the TNM
staging system for lung cancer, edited by International Association for the Study of
Lung Cancer (IASLC) tahun 2009. (Goldstraw et al, 2009) Pengertian T adalah tumor
yang dikategorikan atas Tx, T0 s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah bening
(KGB) yang dikategorikan atas Nx, N0 s/d N3, sedangkan M adalah menunjukkan ada
tidaknya metastasis di paru atau metastasis jauh (M0 s/d M1a, M1b). (Goldstraw et al,
2009)
Kategori TNM untuk kanker paru
T
: Tumor Primer
TX
: tumor primer tidak dapat dinilai, atau tumor dibuktikan oleh adanya sel-sel
ganas di sputum atau hasil bilasan bronkial tetapi tidak divisualisasikan oleh
pencitraan atau bronkoskopi
T0
: Tidak ada bukti tumor primer
Tis
: Karsinoma in situ
T1
: Tumor 3 cm atau kurang dalam dimensi terbesar, dikelilingi oleh paru-paru
atau visceral pleura, tanpa bukti dari bronkoskopi dimana invasi lebih proksimal
dari bronkus lobar (yaitu, bukan dalam bronkus utama)
T1a
: Tumor 2 cm atau kurang dalam dimension 1 terbesar
T1b
: Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 3 cm dalam dimensi terbesar
T2
: Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 7 cm, atau tumor dengan salah
satu dari poin berikut berikut:
1. Melibatkan bronkus utama, 2 cm atau lebih distal ke karina
2. Menginvasi pleura visceral
3. Terkait dengan atelektasis atau pnemonitis obstruktif yang meluas ke daerah
hilus, tetapi tidak melibatkan seluruh paru-paru
T2A Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm terbesar dimensi.
T2B Tumor lebih dari 5 cm tapi tidak lebih dari 7 cm dalam dimensi terbesar.
T3
: Tumor lebih dari 7 cm atau yang secara langsung menginvasi salah satu dari
berikut : dinding dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, saraf
frenikus, mediastinum pleura, pericardium parietal, atau tumor di bronkus
31
Universitas Sumatera Utara
utama kurang dari 2 cm distal ke carina tapi tanpa keterlibatan carina, atau
atelektasis terkait atau pneumonitis obstruktif paru-paru seluruh atau nodul
tumor yang terpisah di lobus yang sama sebagai tumor primer.
T4
: Tumor dari berbagai ukuran yang menyerang salah satu dari berikut:
mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, saraf laringeal rekuren,
esofagus, tubuh vertebral, carina, tumor nodul yang terpisah dalam lobus
ipsilateral berbeda dengan tumor primer.
N
: Kelenjar Getah Bening Regional
NX
: Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai
N0
: Tidak ada metastasis daerah kelenjar getah bening
N1
: Metastasis di peribronchial ipsilateral dan / atau kelenjar getah bening hilus
ipsilateral dan di intrapulmonal, termasuk keterlibatan dengan ekstensi langsung
N2
: Metastasis di kelenjar getah bening mediastinum ipsilateral dan / atau
subkarinal
N3
: Metastasis di hilus kontralateral mediastinal, kontralateral, sisi tak sama
panjang ipsilateral atau kontralateral, atau kelenjar getah bening supraklavikula
M
: Metastasis Jauh
M0
: Tidak ada metastasis jauh
M1
: Metastasis jauh
M1A : Nodul tumor terpisah dalam lobus kontralateral, tumor pleura dengan nodul
atau ganas pleura atau efusi perikardial
M1B : Metastasis jauh
32
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Penjelasan TNM System Version 7 Non-Small Cell Lung Cancer
TX
Sitologi positif
T1
≤ 3 cm
T1a
≤ 2 cm
T1b
> 2-3 cm
T2
Bronkus utama ≥ 2 cm dari karina, invasi ke pleura
visceral, parsial atelectasis
T2a
> 3-5 cm
T2b
> 5-7 cm
T3
> 7 cm, invasi ke dinding dada, diafragma, perikardium,
pleura mediastinal, bronkus utama < 2 cm dari karina,
atelektasis total, nodul pada lobus yang sama
T4
Penyebaran ke jantung, mediastinum, pembuluh darah,
karina, trakea, esophagus, penyebaran tumor lobus
ipsilateral
N1
Peribronkial ipsilateral, hilus ipsilateral
N2
Subkarina, mediastinal ipsilateral
N3
Mediastinal
atau
hilus
kontralateral,
scalene
atau
supraklavikula
M1
Metastasis jauh
M1a
Penyebaran tumor pada lobus kontralateral, nodul pada
pleura atau pleura ganas, efusi perikard
M1b
Metastasis jauh
(Sumber: Goldstraw et al, 2009)
33
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 TNM System Version 7 Non-Small Cell Lung Cancer
N0
N1
N2
N3
Stage
Stage
Stage
Stage
T1a
IA
IIA
IIIA
IIIB
T1b
IA
IIA
IIIA
IIIB
T2a
IB
IIA
IIIA
IIIB
T2b
IIA
IIB
IIIA
IIIB
T3
IIB
IIIA
IIIA
IIIB
T4
IIIA
IIIA
IIIB
IIIB
M1a
IV
IV
IV
IV
M1b
IV
IV
IV
IV
T dan M
(Sumber: Goldstraw et al, 2009)
2.2
Ultrasonografi (USG) toraks
Ultrasonografi (USG) toraks adalah alat diagnostik yang pemanfaatannya
semakin luas di kedokteran respirasi. Indikasinya antara lain evaluasi efusi pleura dan
menuntun insersi kateter ke dalam toraks. Analisis gambaran artefak pada USG toraks
telah memperluas manfaatnya dalam menegakkan diagnosis kelainan-kelainan di paru
seperti pneumotoraks dan edema paru. Walaupun pemeriksaan USG toraks belum
menjadi alat diagnostik rutin di praktek klinis, metode ini telah digunakan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik pada keadaan klinis tertentu. (Anantham dan
Ernst, 2010)
Ultrasonografi toraks memiliki potensi untuk merevolusi praktek kedokteran
respirasi dengan kemampuannya dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit
secara langung di tempat tidur pasien (bedside). Dengan menggunakan USG toraks
sebagai penuntun dalam tindakan di rongga toraks telah terbukti meningkatkan
keberhasilan terutama tindakan di rongga pleura dan sekaligus menurunkan komplikasi
yang mungkin terjadi. (Anantham dan Ernst, 2010)
Ultrasonografi toraks dapat dikuasai dengan mudah jika interpretasi dan akuisisi
gambar serta istilah-istilah teknis telah dipahami dengan baik. Kelebihan lainnya adalah
34
Universitas Sumatera Utara
tidak mengandung radiasi, portabel, serta non-invasif, sehingga semakin meningkatkan
potensinya untuk digunakan secara lebih luas di kedokteran respirasi. (Anantham dan
Ernst, 2010; Herth dan Becker, 2003)
2.2.1
Dasar-dasar Ultrasonografi toraks
a. Fisik ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik noninvasif menggunakan
gelombang suara berfrekuensi tinggi di atas 20.000 hertz ( > 20 kilohertz), yang
dihasilkan oleh kristal piezo-elektrik pada transduser. Manusia dapat mendengar
gelombang suara 20-20.000 hertz. Frekuensi gelombang suara yang optimal digunakan
pada aplikasi medis adalah 2-20 MHz, sebab pada frekuensi ini dihasilkan kombinasi
terbaik dalam hal penetrasi dan resolusinya di dalam tubuh.
Gelombang tersebut
berjalan melewati tubuh dan dipantulkan kembali secara bervariasi, tergantung pada
jenis jaringan yang terkena gelombang. Dengan transduser yang sama, selain
mengirimkan suara, juga menerima suara yang dipantulkan dan mengubah sinyal
menjadi arus listrik; yang kemudian diproses menjadi gambar. Citra yang bergerak
didapatkan saat transduser digerakkan pada tubuh (ultrasonografi waktu-sebenarnya
[real-time]). Potongan-potongan dapat diperoleh pada setiap bidang dan kemudian
ditampilkan pada monitor. Tulang dan udara merupakan konduktor suara yang buruk,
sehingga tidak dapat divisualisasi dengan baik, sedangkan cairan memiliki kemampuan
menghantarkan suara dengan sangat baik. (Anantham dan Ernst, 2010; Patel, 2007;
Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011)
Ketika berjalan melewati tubuh maka gelombang suara akan mengalami
perubahan-perubahan antara lain: diteruskan (transmitted), dilemahkan (attenuated),
atau dipantulkan (reflected). (Anantham dan Ernst, 2010)
Diteruskan (transmitted)
Perubahan ini terjadi ketika partikel-partikel di suatu jaringan bergerak bersamasama dan memiliki vibrasi yang koheren. (Anantham dan Ernst, 2010)
Attenuation (dilemahkan/kehilangan energi USG)
35
Universitas Sumatera Utara
Perubahan ini terjadi karena penyerapan, penyebaran, dan pembiasan gelombang
USG. Penyerapan terjadi ketika partikel-partikel tidak bergerak bersama-sama dan
memiliki vibrasi yang semrawut, dan menghasilkan panas. Pada frekuensi yang lebih
tinggi (sehingga panjang gelombangnya menjadi lebih pendek), gelombang USG
cenderung diabsorpsi daripada diteruskan, sehingga penetrasinya lebih buruk namun
resolusinya lebih baik. Struktur yang lebih dalam cenderung menyebabkan pembiasan
gelombang yang lebih besar (akibat melintasi jaringan yang lebih panjang), dan mesin
USG berkompensasi untuk fungsi ini dengan time gain compensation (TGC), hal ini
dapat diatur dengan baik melalui sliders di mesin USG. (Anantham dan Ernst, 2010)
Reflection (dipantulkan)
Perubahan ini terjadi pada pertemuan antar jaringan dengan impedans yang
berbeda. Impedans yang tinggi pada permukaan jaringan lunak dan udara (soft tissue-air
interface) dan permukaan jaringan lunak dan udara (soft tissue-bone interface)
menyebabkan refleksi yang hampir lengkap (dan menjelaskan ketidakmampuan untuk
menggambarkan paru yang mengandung udara dan bayangan akustik di belakang iga).
Inilah juga alasan kenapa perlu menggunakan gel saat pemeriksaan USG toraks.
Refleksi parsial dibutuhkan untuk menghasilkan sinyal balik ke probe USG dan
menghasilkan gambar di layar mesin USG. (Anantham dan Ernst, 2010)
b. Modes pada ultrasonografi
Pemrosesan sinyal yang dipantulkan menentukan jenis gambar yang telihat pada
layar. Pada A-mode (atau mode ampitudo), amplitudo energi yang diterima dari
transduser ditampilkan sebagai puncak atau gelombang yang terlihat pada jarak yang
ditentukan oleh kedalaman gambar. Mode ini tidak digunakan pada ultrasonografi
toraks. Pada B-mode (mode brightness/kecerahan), amplitudo energi ditampilkan
sebagai titik-titik dengan kecerahan yang berbeda, sehingga sebuah rangkaian gambaran
B-mode dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran ultrasonografi dua dimensi
konvensional. Pada M-mode (atau mode motion/gerak), gambar dari objek tertentu di
layar dengan menangkap gambar B-mode ketika melewati layar melawan aksis waktu.
36
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menyediakan gambar tunggal dimana posisi relatif gambar ditampilkan melawan
aksis x (Gambar 2.2)
Gambar 2.2 Proses dihasilkannya gambar pada masing-masing mode ultrasonografi
tergantung pada amplitudo sinyal yang dipantulkan (ukuran tanda panah) dan waktu
yang dibutuhkan untuk kembalinya sinyal tersebut (jarak dari transduser). A-mode
(mode amplitudo) tidak digunakan pada ultrasonografi toraks. B-mode (mode
kecerahan) digunakan untuk menghasilkan gambar ultrasonografi dua dimensi standar.
M-mode (mode motion/gerak) menyediakan catatan posisi sepanjang waktu, sehingga
memungkin menampilkan beberapa tanda yang digunakan pada USG toraks seperti
“seashore” yaitu tanda paru normal dan “stratosphere” yaitu tanda pneumotoraks.
(Anantham dan Ernst, 2010)
37
Universitas Sumatera Utara
c. Transduser
Transduser adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang
akan diperiksa seperti dinding dada untuk pemeriksaan paru atau dinding perut untuk
pemeriksaan kehamilan. Di dalam transduser terdapat kristal yang digunakan untuk
menangkap gelombang yang disalurkan oleh transduser. Gelombang diterima dalam
bentuk akuistik (gelombang pantul) sehingga fungsi kristal di sini adalah untuk
mengubah gelombang tersebut menjadi gelombang elektronik yang dapat dibaca oleh
komputer sehingga dapat diterjemahkan dalam bentuk gambar. (Lyanda, Antariksa, dan
Syahruddin, 2011)
Bentuk-bentuk transduser dan arah gelombang dapat dilihat pada gambar 2.3
Ada tiga jenis transduser yang digunakan dalam pemeriksaan USG toraks, yaitu:
(Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011)
1. Linear array transducer, bentuk gelombang lurus dengan frekuensi tinggi 7,5-10Mhz
untuk pemeriksaan organ yang lebih dangkal terutama struktur dari leher, empiema,
efusi pleura, massa pleura atau subpleura.
2.
Curved array transducer, bentuk gelombang melebar dengan frekuensi rendah
sehingga menghasilkan lapangan pandang yang luas dan lebih dalam. Transduser ini
sangat baik digunakan untuk pemeriksaan paru, efusi pleura, struktur perut, dan
gambaran paru dari arah perut.
3. Phased array transducer, bentuk gelombang paling sempit dan dalam dengan
frekuensi 2-5MHz. Transduser ini paling baik digunakan pemeriksaan atelektasis paru,
komplikasi efusi pleura dan jantung dari sela-sela iga.
Gambar 2.3. Beberapa jenis probe (Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011)
38
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Memperoleh gambar USG toraks
a. Posisi pasien dan posisi probe
Pada rongga pleura yang bebas tanpa septa-septa, cairan efusi akan berkumpul di
bagian paling bawah (dependent parts) dari toraks sementara udara bebas akan
berkumpul di bagian superior (nondependent locations). Oleh karena itu, posisi pasien
dan posisi probe USG sangat menentukan dalam mengevaluasi kelainan-kelainan
tersebut. Pada kebanyakan pemeriksaan USG toraks, pasien berada pada posisi duduk
(sitting upright). Pasien yang tidak dapat duduk dapat diperiksa pada posisi telentang
atau lateral dekubitus, namun demikian, jika posisi telentang yang dilakukan, maka saat
interpretasi gambar harus memasukkan pertimbangan posisi saat USG toraks dilakukan.
Untuk evaluasi yang sistematis, hemitoraks dapat dibagi menjadi tiga zona: anterior,
lateral, dan posterior. Zona-zona ini ditandai dengan linea aksilaris anterior dan
posterior. Zona anterior terbentang dari linea aksilaris anterior sampai ke sternum, zona
posterior terbentang dari linea aksilaris posterior ke kolumna vertebralis, dan zona
lateral terletak di antaranya. Untuk akses yang lebih baik, pada pasien yang tidak dapat
duduk dapat diposisikan di tepi lateral tempat tidur.Gambar 2.4 (Anantham dan Ernst,
2010; Liao et al, 2013)
Gambar 2.4 Posisi pasien pada pemeriksaan USG toraks (Liao et al, 2013)
Orientasi probe
Probe pada posisi longitudinal berarti memeriksa melalui ruang sela iga (yang
berarti paralel dengan aksis tubuh) lebih disukai dibandingkan dengan posisi transversal
karena gambar longitudinal akan sekaligus memperlihatkan diafragma sebagai petunjuk.
Untuk mempertahankan orientasi probe dan menghasilkan gambar, probe dari
transduser tersebut memiliki galur atau bubungan. Dengan menempatkan galur tersebut
39
Universitas Sumatera Utara
mengarah ke kepala pasien, maka gambar akhir akan menunjukkan arah kepala di
sebelah kiri layar. Struktur superfisial akan tampak di bagian atas layar sementara
struktur yang lebih dalam berada di bagian dasar layar. (Anantham dan Ernst, 2010)
Pemeriksaan USG toraks akan mendapatkan hasil terbaik jika pemeriksa
memahami anatomi tubuh dalam hubungan dengan posisi pasien saat diperiksa.
Kemampuan pemeriksa untuk menghubungkan gambaran yang diperoleh dengan
anatomi pasien akan menghasilkan kesimpulan yang baik. Ketrampilan ini didapat dari
pengalaman pemeriksa. (Lyanda, Antariksa, dan Syahruddin, 2011)
Gambar 2.5 Gambar B-mode dari sebuah efusi pleura anekoik yang dibatasi oleh
diafragma yang hiperekoik dan atelektasis paru yang isoekoik. (Anantham dan Ernst,
2010)
b. Akuisisi gambar
Terdapat dua parameter yang perlu disesuaikan untuk mendapatkan gambar
USG toraks yang optimal: kedalaman dan gain. Kedalaman lapangan diatur sesuai
dengan kebutuhan pemeriksaan USG toraks: kedalaman 10 cm biasanya cukup untuk
hampir semua pemeriksaan toraks. Gain diatur untuk memperbesar sinyal relatif
terhadap gangguan di belakangnya. Dengan meninggikan gain akan menghasilkan
40
Universitas Sumatera Utara
gambar yang lebih putih, sementara jika gain diturunkan akan membuat gambar lebih
gelap. Pengaturan gain memampukan operator untuk memperkuat sinyal gelombang
suara secara proporsional dengan kedalaman supaya membuat struktur yang lebih dalam
tampil secerah struktur superfisial. Karena organ-organ solid seperti hepar yang normal
dianggap termasuk densitas sedang (isoekoik), gain dapat diatur dengan menggunakan
hepar sebagai referensi untuk menghasilkan gambar abu-abu pada layar; jaringan yang
lain selanjutnya dapat dievaluasi dengan perbandingan gambar abu-abu tersebut sebagai
standar. (Anantham dan Ernst, 2010)
2.2.3 Ultrasonografi toraks diagnostik
Karena udara tidak dapat divisualisasikan oleh USG, secara teori parenkim paru
yang normal tidak dapat dideteksi. Gambaran USG toraks melalui dinding dada meliputi
otot, fasia, tulang, dan pleura. Ekogenisitas jaringan lunak dengan lapisan yang multipel
menunjukkan otot dan fasia. Iga yang normal memperlihatkan gambaran permukaan
hiperekoik dengan bayangan akustik yang prominen diantara iga. Sekitar 0,5 cm di
bawah bayangan iga, tampak pleura parietal dan viseral berupa garis terang ekogenik.
Pada saat gerakan pernapasan, kedua garis pleura bergerak glide satu sama lain yang
disebut sebagai “gliding sign”. Oleh karena itu, adanya “gliding sign” menunjukkan
bahwa pleura parietal dan viseral dalam keadaan normal. Sementara jika “gliding sign”
tidak ditemukan, dapat terjadi pada pneumotoraks atau penebalan pleura. (Liao et al,
2013)
Gambaran yang ditampilkan ultrasonografi (USG) toraks ada dua, yaitu struktur
anatomi dan artefak (Tabel 2.3). Struktur anatomi diidentifikasi dengan lokasinya dan
ekogenisitasnya. Ekogenisitas dari struktur tubuh dapat direferensikan kepada organ
solid seperti hepar yang dapat ditampilkan sebagai abu-abu atau isoekoik pada layar.
Kumpulan cairan yang tidak berkomplikasi tampak lebih gelap dari pada organ-organ
padat tersebut dan disebut hipoekoik; jika tampak hitam maka disebut anekoik. Udara
tampak putih dan disebut hiperekoik. Homogenitas dan heterogenitas dari eko juga
membantu pengenalan jaringan-jaringa yang berbeda. (Anantham dan Ernst, 2010)
41
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Interpretasi dasar gambaran ultrasonografi dari struktur anatomi dan artefak
Tampilan gambar di
Struktur anatomi
Artefak
layar
Hitam (hipoekoik/anekoik)
Kumpulan cairan yang Acoustic shadow
tidak
mengalami
komplikasi
Abu-abu (isoekoik)
Jaringan (contoh: hepar, Acoustic
enhancement
limpa, kelenjar limfe, (abu-abu cerah)
konsolidasi, atelektasi)
Kumpulan cairan yang
mengalami
(contoh:
komplikasi
hemotoraks,
empiema)
Putih (hiperekoik)
Lemak, kalkuli
Pneumotoraks
(Sumber: Anantham dan Ernst, 2010)
Artefak adalah gambar yang tidak berkaitan dengan struktur anatomi tertentu
tetapi dapat memberikan informasi berharga jika dikenali dengan tepat. Contoh dari
artefak adalah acoustic shadows, acoustic enhancement, dan reverberation echoes.
Tidak seperti struktur anatomi, artefak cenderung bergerak seiring dengan gerakan
probe dan konvergen menuju lapangan dekat puncak layar. Acoustic shadow merupakan
daerah anekoik yang terletak di belakang struktur tulang seperti iga. Karena acoustic
shadow tidak memberikan informasi gelombang suara, maka probe transduser harus
memiliki celah kecil yang tepat untuk mentransmisikan gelombang USG diantara
struktur tulang untuk menghindarinya. Acoustic enhancement adalah daerah hiperekoik
(abu-abu yang lebih terang dibanding hepar) yang berlokasi distal dari kumpulan cairan
berbentuk kista; wilayah distal dari cairan tersebut haruslah tidak salah interpretasi
dengan struktur anatomi lainnya. Reverberation echoes adalah garis hitam dan putih
yang dihasilkan ketika gelombang suara direfleksikan dan melalui dua permukaan,
seringkali pada permukaan udara dan jaringan lunak. (Anantham dan Ernst, 2010)
42
Universitas Sumatera Utara
Berbagai kondisi baik sehat maupun sakit yang dapat didiagnosis melalui USG
toraks
antara
lain:
paru
normal,
efusi
pleura,
pneumotoraks,
atelektasis
paru/konsolidation, edema paru, paresis atau paralisis diafragma, emboli paru.
Tabel 2.4 Kondisi paru dan gambaran USG toraks
Kondisi paru
Paru normal
Efusi pleura (melayang bebas)
Pneumotoraks
Atelektasis paru/konsolidasi
Edema paru
Paresis atau paralisis diafragma
Emboli paru
Gambaran USG toraks
Lung sliding
Artefak comet-tail terisolasi (garis B,
garis Z)
Garis A
Tanda seashore pada mode M
Statis, biasanya kumpulan anekoik
yang
dibatasi
oleh
diafragma,
atelektasis paru, dan dinding dada
Tanda dinamis termasuk pergerakan
atelektasis paru di dalam efusi dan
gerakan diafragma pada respirasi
memungkinkan efusi dibedakan dengan
asites
Tanda sinusoid pada mode M
menunjukkan
gerakan
pleura
viseral/paru berdekatan dengan efusi
Tidak adanya tanda lung sliding
Tidak adanya artefak comet-tail
Tanda stratosphere dan lung point pada
mode M
Hepatisasi paru yang isoekoik dengan
air bronchograms yang linear/lentiform
Vaskularisasi di dalam konsolidasi
ditampilkan dengan USG Doppler
warna
Atelelektasis dapat muncul bersamaan
dengan peninggian hemidiafragma dan
bronchograms hitam (terisi cairan)
Garis B multipel yang terlihat difus di
seluruh toraks
Efusi pleura anekoik bilateral
Diafragma bergerak < 5 mm atau
secara paradoks saat inspirasi
Hilangnya tanda lung sliding
Lokasi intra toraks dari hepar atau
limpa
Infark paru tampak sebagai konsolidasi
berbentuk
baji
perifer
dengan
vaskularisasi yang berkurang pada
43
Universitas Sumatera Utara
USG Doppler warna
Efusi
(hemorhagis)
hiperekoik
ipsilateral
(Tanda tambahan dari ekokardiografi)
(Sumber: Anantham dan Ernst, 2010)
a. Paru normal
Gambaran dinding dada normal terdiri dari lapisan jaringan lunak, otot, dan
fascia adalah ekogenik. Tulang rusuk digambarkan seperti garis ekogenik di atas
jaringan lunak, otot, dan fascia. (Anantham dan Ernst, 2010)
Lung sliding merupakan tanda kunci untuk menandai paru normal. Untuk
mengidentifikasi lung sliding, yang pertama dicari adalah garis pleura yang tampak
sebagai garis hiperekoik horizontal yang terletak sekitar 0,5 cm di bawah permukaan
kulit yang menggambarkan permukaan antara paru dan dinding dada. Garis pleura
dibatasi oleh bayangan anekoik di bagian sefalik dan kaudal akibat adanya tulang iga.
Garis A merupakan garis horizontal yang lebih dalam yang merupakan reverberasi
artefak eko dari garis pleura. (Gambar 2.6) (Anantham dan Ernst, 2010) Jika garis
pleura ini telah diidentifikasi maka lung sliding akan terlihat sebagai gerakan bolakbalik (“to and fro twinkling”) dari paru yang menempel ke garis pleura seirama dengan
inspirasi dan ekspirasi. Gambar di atas garis pleura pada layar tidak bergerak. Oleh
karena itu, lung sliding mengidentifikasi pleura viseral yang meluncur di permukaan
pleura parietalis. Lung sliding merupakan tanda yang penting untuk mengenali paru
yang normal, namun hal tersebut tergantung pada hal-hal teknis dan interpretasi.
Sebagai contoh, tanda tersebut mungkin tidak terdeteksi dengan probe frekuensi rendah
di bawah 2,5 MHz. “Lung sliding” juga mungkin tidak dijumpai pada keadaan-keadaan
patologis di mana gerakan paru terganggu seperti pleurisi, pleurodesis, pneumotoraks,
emfisema subkutis, bronkospasme ekstrim, pneumonia ekstensif, dan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). (Anantham dan Ernst, 2010)
44
Universitas Sumatera Utara
(Sumber: Anantham dan Ernst, 2010)
Gambar 2.6 Pada B-mode dari paru normal dengan garis
pleura dan garis A. garis A adalah eko dari garis pleura dan
menandakan adanya permukaan udara dan jaringan lunak,
sementara udara ada di dalam paru yang teraerasi atau
bebas di rongga pleura.
(Sumber: Anantham dan Ernst, 2010)
Gambar
Dinding dada
dada
Gambar 2.7
2.7 Tampak
Tampak dari
dari ruang
ruang interkostal.
interkostal. Dinding
terlihat
sebagai
lapisan
berbagai
tingkat
eko
yang
terlihat sebagai lapisan berbagai tingkat eko yang
menggambarkan
menggambarkan otot
otot dan
dan fasia
fasia (A).
(A). Pada
Pada potongan
potongan
longitudinal
melewati
iga,
tulang
iga
longitudinal melewati iga, tulang iga yang
yang normal
normal tampak
tampak
sebagai
sebagai ruang
ruang hiperekoik
hiperekoik dengan
dengan acoustic
acoustic shadow
shadow di
di
belakangnya.
(B)
belakangnya. (B)
b. Efusi pleura
Ultrasonografi lebih sensitif dari pada foto toraks dalam mendiagnosis efusi
pleura minimal dan sangat efektif dalam membedakan efusi pleura dari atelektasis paru.
Efusi pleura dapat dikenali dengan menggunakan tanda statis dan dinamis. Tanda statis
untuk mengenali efusi pleura adalah wilayah yang dibatasi oleh diafragma di kaudal,
dinding dada di superior, dan paru yang mengalami atelektasis di dasar (gambar 2.8).
(Anantham dan Ernst, 2010)
Tanda dinamis digunakan untuk mengenali efusi pleura termasuk gerakan
diafragma yang dekat dengan efusi dan paru di dalam efusi. Diafragma diidentifikasi
sebagai struktur hiperekoik konkaf yang menurun dengan inspirasi dan dibatasi di
kaudal oleh hepar dan limpa, yang keduanya adalah struktur isoekoik. Posisi diafragma
membantu membedakan efusi pleura dari asites pada ruang hepatorenal/subhepatik,
dimana diafragma dan gerakannya tidak terlihat. Sebagai catatan, kehati-hatian harus
diterapkan dalam menginterpretasi gambar subkostal diafragma yang konkaf memiliki
properti reflektif yang tinggi yang dapat memunculkan artefak dan karena limpa atau
hepar dapat menghasilkan bayangan akustik yang dapat ditafsirkan sebagai efusi, atau
peningkatan akustik yang dapat dianggap sebagai konsolidasi. Adanya debris-debris
yang melayang-layang di dalam efusi pada pasien kanker merupakan prediktor untuk
efusi maligna. USG Doppler warna dapat digunakan untuk meningkatkan terdeteksinya
45
Universitas Sumatera Utara
gerakan ini. Adanya septa-septa pleura mengindikasikan meningkatnya kebutuhan
intervensi pleura seperti fibrinolisis dan dekortikasi.
(Sumber: Anantham dan Ernst, 2010)
Gambar 2.8 Gambar B-mode dari efusi pleura dengan komplikasi disertai adanya adesi
diantara pleura viseral hiperekogenik di sefalik dan diafragma di kaudal
Biasanya, efusi merupakan daerah hipoekoik yang berada di dalam batasanbatasan tersebut, tetapi ekogenisitas tidak dapat dijadikan satu-satunya kriteria untuk
efusi pleura. Semua efusi transudat dan beberapa efusi eksudat biasanya tampak sebagai
anekoik, tetapi wilayah anekoik juga dapat terlihat pada penebalam pleura dan asites
abdominalis.
Untuk tujuan investigasi, maka efusi pleura dapat dibagi menjadi tiga kategori
berdasarkan etiologi yaitu: infeksi, malignansi, dan miselanos. Pada efusi pleura akibat
infeksi menimbulkan efusi para pneumonik atau empiema. Efusi maligna disebabkan
oleh keganasan primer atau sekunder di dada. Sementara efusi pleura yang dikaitkan
dengan kelainan miselanos antara lain: efusi steril benigna, hemotoraks, dan kilotoraks.
Efusi pleura dibagi menjadi transudat dan eksudat berdasarkan analisis biokimia dari
cairan pleura yang diaspirasi. Foto toraks posisi erek merupakan investigasi awal yang
46
Universitas Sumatera Utara
paling sering dilakukan untuk efusi pleura. Untuk memberikan gejala klinis, dibutuhkan
jumlah cairan pleura minimal 500 ml, sementara untuk memberikan gambaran sudut
kostofrenikus yang tumpul dibutuhkan sekitar 200 ml cairan pleura. USG toraks pada
posisi erek atau duduk, tidak hanya mampu mendeteksi jumlah cairan pleura yang lebih
sedikit dari pada foto toraks, tetapi juga mampu memberikan informasi yang berguna
dalam hal gambaran cairan pleuranya. Efusi pleura pada USG toraks memberikan
gambaran bebas eko (echofree/anechoic) di antara pleura viseral dan parietal.
Klasifikasi volume efusi pleura adalah minimal, small, moderate, dan masif. Disebut
efusi pleura minimal jika ruang anekoik berada di sudut kostofrenikus; efusi small jika
ruang anekoik melewati suduk kostofrenikus tetapi masih dalam rentang satu probe;
efsui moderate jika ruang anekoik lebih dari rentang satu probe tetapi masih di bawah
rentang dua probe; dan efusi pleura masif jika ruang anekoik lebih dari rentang dua
probe. satu probe; efsui moderate jika ruang anekoik lebih dari rentang satu probe
tetapi masih di bawah rentang dua probe; dan efusi pleura masif jika ruang anekoik
lebih dari rentang dua probe. (Liao et al, 2013)
Kelebihan USG toraks terletak pada kemampuannya menampilkan karakteristik
cairan pleura. Empat pola dasar USG toraks pada ekogenisitas efusi pleura telah dikenal
dan diklasifikasikan menjadi anekoik, non septa kompleks, bersepta kompleks, dan
ekogenik homogen. (Liao et al, 2013)
Gambar 2.9 Tampilan USG toraks dari efusi pleura. Efusi pleura dapat
diklasifikasikan sebagai anekoik (A), non septa kompleks (B), bersepta
kompleks (B), dan ekogenik homogen (D). (Liao et al, 2013)
47
Universitas Sumatera Utara
Efusi anekoik didefinisikan sebagai ruang bebas eko diantara pleura viseral dan
pleura parietal (A). Efusi non septa kompleks didefinisikan sebagai material ekogenik
heterogen di dalam cairan pleura (B). Efusi bersepta kompleks didefinisikan sebagai
benang-benang fibrin atau septa mengambang/melayang di dalam cairan pleura (C).
Efusi ekogenik homogen didefinisikan sebagai densitas titik-titik ekogenik yang
terdistribusi di dalam cairan pleura (D). (Liao et al, 2013)
Gambar 2.10 Ultrasonografi toraks dapat mendeteksi adanya cairan pleura dan
septa pada efusi pleura (Shaw dan Sebastian, 2008)
c. Pneumotoraks
Foto toraks ekspirasi pada posisi erek merupakan pemeriksaan awal pada pasien
dengan dugaan penumotoraks, tetapi sensitivitasnya bervariasi antara 50% sampai
dengan 90%. Penegakan diagnosis pneumotoraks pada foto toraks frontal seringkali
sulit dilakukan pada pasien-pasien dalam kondisi kritis di mana pasien berada pada
posisi semi-recumbent dan tidak dapat melakukan koordinasi untuk menahan napas
pada posisi ekspirasi. USG toraks dapat membantu menegakkan diagnosis
pneumotoraks. Pleura parietal dan viseral dalam keadaan normal bergerak slide satu
48
Universitas Sumatera Utara
sama lain selama proses respirasi dan pneumotoraks disangkakan jika tidak dijumpai
“gliding sign”. (Gambar 2.11) (Liao et al, 2013)
Gambar 2.11 lung sliding pada M-mode: P, pleura.
Panel (A) menampilkan sea shore pada lung sliding
yang normal. Panel (B) menampilkan bar code
horisontal yang muncul bersamaan dengan hilangnya
lung sliding. (Liao et al, 2013)
Gambar 2.12 Gambaran pneumotoraks. USG toraks
memperlihatkan tanda stratosphere (Liao et al,
2013)
.
Pneumotoraks ditandai dengan; tidak adanya tanda paru yang teraerasi. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, paru yang teraerasi ditandai dengan adanya tanda lung
sliding; paru juga ditandai dengan artefak yang disebut comet tails, termasuk garis B
dan garis Z, yang tampak sebagai garis vertikal hiperekoik yang muncul dari garis
pleura dan bergerak sinkron dengan lung sliding. Garis B adalah artefak comet tail yang
tersebar dari garis pleura sampai ke tepi layar dan tidak mengabur. (Gambar 2.11) Garis
Z hampir sama, namun mengalami pengaburan dengan cepat dan tidak mencapai tepi
layar. Pada pneumotoraks, garis A yang menggambarkan eko reverberasi dari garis
pleura masih terlihat, tetapi tidak akan ada gerakan di garis pleura dan tidak terlihat lung
sliding atau artefak comet-tail. Tidak adanya lung sliding dan artefak comet-tail
mengindikasikan adanya pneumotoraks dengan sensitifitas 100% dan spesifitas 96,5%.
Sebaliknya, adanya lung sliding menyingkirkan adanya pneumotoraks dengan nilai
49
Universitas Sumatera Utara
prediksi negatif 100%. Pada pneumotoraks, garis A teraksentuasi multipel mungkin
terlihat dan gambar ini dapat ditangkap pada M-mode sebagai seri garis horisontal
seperti stratosfer. (tanda stratosfer) (Gambar 2.12)
Gambar 2.13 Gambaran USG toraks B-mode
memperlihatkan artefak comet-tail yang
memancar dari garis pleura. (Anantham dan
. 2010)
Ernst,
Gambar 2.14 Pada M-mode, pneumotoraks
memperlihatkan gambaran tanda
stratosphere (A), ditandai dengan garis
horisontal multipel tanpa granularitas yang
terlihat pada paru normal. (Anantham dan
Ernst, 2010)
d. Atelektasis paru/konsolidasi
Konsolidasi alveolus dapat diidentifikasi dengan ultrasonografi toraks jika
konsolidasi meluas ke pleura viseral; jika tidak, paru teraerasi yang mengalami
konsolidasi akan memunculkan artefak yang menyulitkan diagnosis. Pada konsolidasi
alveolus, lung sliding akan terhapus dan gambaran jaringan yang mirip dengan hepar
akan terlihat akibat konsolidasi tersebut dan hepatisasi paru. Batas superfisial dari paru
yang mengalami konsolidasi biasanya reguler dan batas inferiornya biasanya ireguler
tergantung perluasan konsolidasinya. Air bronchograms mungkin terlihat sebagai
bayangan linier atau lentiform yang hiperekoik yang dapat bervariasi sesuai proses
respirasi. Gambar 2.14
50
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.15 Pada B-mode tampak konsolidasi subpleura dengan bayangan lentiform
hiperekoik yang terkait dengan air bronchogram yang tampak pada CT scan toraks.
(Anantham dan Ernst, 2010)
Paru normal yang teraerasi dengan baik sangat sulit untuk digambarkan karena
perubahan dramatis akustik impedans antara dinding dada dengan paru menghasilkan
refleksi spekular dari gelombang ultrasound pada pleura. Namun demikian, paru yang
mengalami konsolidasi memiliki densitas jaringan dan tekstur eko yang sama dengan
hati, dan keadaan ini analog dengan keadaan patologis berupa hepatisasi. Keadaan ini
menghilangkan perubahan akustik impedans pada interfase pleura, dan gelombang USG
berjalan secara langsung menuju paru yang mengalami konsolidasi. Ketika pasien
dengan pneumonia lobar atau segmental , dan lesinya dekat dengan pleura atau di dalam
efusi pleura, maka pneumonia tersebut dapat dideteksi melalui USG toraks. (Liao et al,
2013)
Atelektasis digambarkan oleh ultrasonografi toraks dengan cara yang hampir
sama dengan konsolidasi. Sebagai tambahan, ruang inter kostal mungkin telah
menyempit dan terjadi peninggian hemidiafragma. Jika pada bronkus distal dari
pneumonia obstruktif atau atelektasis terisi cairan, maka fluid bronchograms mungkin
terlihat sebagai bayangan lentiform anekoik di dalam area konsolidation. (Liao et al,
2013)
51
Universitas Sumatera Utara
Abses paru akan tampak sebagai kumpulan cairan hipoekoik dengan dinding
berbatas tegas di dalam area konsolidasi. Di pusat abses, adanya septa atau cairan yang
melayang-layang juga dapat terlihat. (Liao et al, 2013)
Pada edema paru dapat dijumpai septa interlobular yang mengalami edema dan
menebal. Jika pada paru normal dijumpai garis B tunggal, maka pada edema paru
dijumpai artefak comet-tail garis B yang multipel, dijumpai difus, dan bilateral.
Diagnosisnya dapat dikonfirmasi dengan hilangnya temuan-temuan ini dengan terapi
yang tepat. Adanya garis B yang difus dan multipel memiliki sensitivitas dan
spesifisitas 93% ketika dibandingkan dengan foto toraks pada penegakan diagnosis
edema paru. (Liao et al, 2013)
e. Massa dinding dada
USG toraks dengan frekuensi yang tinggi sangat ideal memvisualisasikan massa
jaringan lunak yang muncul dari dinding dada, seperti: lipoma, abses, dan berbagai lesi
lainnya, yang pada umumnya adalah jinak. Pada umumnya, massa memilki ekogenisitas
yang bervariasi sehingga temuan USG toraks tidak spesifik untuk membedakan
berbagai faktor penyebab. (Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012)
f. Penebalan pleura
Penebalan pleura sering didefinisikan sebagai lesi fokal yang muncul dari pleura
parietal atau pleura viseral yang lebarnya lebih besar dari 3 mm dengan atau tanpa tepi
yang ireguler. Membedakan penebalan pleura dengan efusi pleura small adalah tidak
mudah karena keduanya dapat memberikan gambaran hipoekoik pada USG toraks.
(Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012)
g. Algoritma evaluasi dispnea akut
Ultrasonografi dapat dimanfaatkan untuk evaluasi dispnea akut. Pertama, porsi
nondependen dari toraks seharusnya discan untuk melihat lung sliding dan artefak
comet-tail sebagai bukti untuk paru yang teraerasi. Jika tidak ada, maka diduga kuat
terdapat pneumotoraks. Jika lung sliding dijumpai, maka jika ditemukan garis multipel
52
Universitas Sumatera Utara
yang difus di seluruh toraks akan mengarahkan diagnosis proses alveolus-interstisial
seperti edema paru atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Bukti adanya
konsolidasi alveolus atau efusi pleura large dicari dengan menscan toraks dengan
sistematis. Emboli paru juga dapat dipertimbangkan berdasarkan tanda-tanda yang telah
dijelaskan sebelumnya, terutama efusi hiperekoik dan konsolidasi perifer dengan
penurunan vaskularisasi. Gambar 2.15 (Anantham dan Ernst, 2010)
Gambar 2.16 Algoritma evaluasi dispnea akut (Anantham dan Ernst, 2010)
2.2.4
Prosedur intervensi dengan tuntunan ultrasonografi toraks diagnostik
a. Torakosintesis dan penempatan kateter pleura
53
Universitas Sumatera Utara
USG toraks sangat baik digunakan sebagai tuntunan pada berbagai tindakan
invasif transtorakal. Dengan bantuan USG toraks dapat meningkatkan keberhasilan dan
sekaligus menurunkan risiko yang mungkin terjadi. Beberapa tindakan yang dapat
dituntun dengan USG toraks antara lain: aspirasi cairan efusi pleura, drainase tube
interkostal tertutup, biopsi pleura tertutup, TTNA dan TTNAB. (Anantham dan Ernst,
2010)
Tuntunan USG toraks bermanfaat meningkatkan keberhasilan dan keamanan
torakosintesis. Torakosintesis dengan tuntunan USG toraksberhasil mendapatkan cairan
pada 88% kasus yang gagal diaspirasi dengan blind. Pada mayoritas aspirasi cairan
pleura secara blind yang gagal, pemeriksaan lanjutan dengan USG toraks telah
menunjukkan bahwa jarum telah diinsersikan di subdiafragma. Oleh karena itu, dengan
menggunakan USG toraks sebagai tuntunan, operator dapat menghindari tertusuknya
organ-organ seperti paru, hepar, limpa, dan jantung. Tuntunan USG toraks dapat
mengurangi insidens pneumotoraks dari 39% pada pada torakosintesis secara blind
menjadi kurang dari 5,4%. Dengan torakosintesis menggunakan tuntunan USG toraks,
angka kejadian pneumotoraks dapat dipertahankan sebesar 1,3% bahkan pada pasien
dengan ventilasi tekanan positif. (Liao et al, 2013; Anantham dan Ernst, 2010)
Pada torakosentesis yang dipandu dengan USG toraks, yang pertama kali
dilakukan adalah mengidentifikasi dan memberi tanda pada lokasi torakosentesis. Untuk
mengurangi risiko komplikasi, operator sebaiknya meletakkan probe transduser
sehingga bagian paling tebal dari koleksi cairan target berada di tengah layar. Adanya
jarak sebesar 10-15 mm antara pleura viseralis dan pleura parietalis merupakan tanda
dapat dilakukan aspirasi dengan aman. (Anantham dan Ernst, 2010)
Kedalaman insersi jarum dapat diperkirakan pada layar USG toraks, karena
probe menekan ditepi jaringan lunak, jarak ini mungkin salah perhitungan. Pada
prosedur sebenarnya, jarum biasanya diinsersikan ke arah bawah dengan sudut 450
dengan aksis panjang dari probe terhadap iga; operator berupaya untuk menjaga seluruh
panjang jarum terpantau di sepanjang lintasannya. Jika tanda yang telah dibuat untuk
torakosintesis akan dilakukan kemudian, posisi pasien harus tetap sama untuk
menghindari perubahan lokasi dari cairan pleura. Lokasi insersi dibersihkan, didraped,
dan dianestesi kemudian jarum diinsersikan pada sudut yang sama dengan probe,
54
Universitas Sumatera Utara
biasanya tegak lurus dengan posisi target. Lokasi insersi idealnya berada superior dari
iga untuk menghindari cedera pada serabut saraf dan pembuluh darah. Jika kateter
diinsersikan, USG toraks dapat digunakan untuk mengonfirmasi posisi kateter. Kateter
pleura akan tampak sebagai struktur linier hiperekoik di dalam koleksi cairan anekoik.
USG toraks pada dinding dada nondependen setelah tindakan aspirasi cairan untuk
mengidentifikasi lung sliding dan artefak comet-tail dalam rangka mengeksklusikan
pneumotoraks iatrogenik. (Liao et al, 2013; Anantham dan Ernst, 2010)
Walaupun telah menggunakan tuntunan USG toraks, tindakan aspirasi cairan
pleura kadang-kadang tidak berhasil. Alasannya antara lain sumbatnya jarum aspirasi
atau adanya lokulasi atau septa yang mencegah drainase cairan. Kesalahan operator
karena artefak kompresi mungkin menimbulkan kesalahan dalam mengukur kedalaman
efusi. Pasien mungkin telah berubah posisi antara pemeriksaan USG toraks dan saat
dilakukan prosedur aspirasi. Jika saat tindakan aspirasi tidak dijumpai cairan, maka
jarum torakosintesis seharusnya segera ditarik dan pasien discan ulang. Pengulangan
pemeriksaan USG toraks memampukan reposisi titik insersi demikian juga
mengeksklusikan komplikasi seperti pneumotoraks. (Liao et al, 2013; Anantham dan
Ernst, 2010)
b. Transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan USG Toraks
USG toraks dapat digunakan untuk menuntun aspirasi/biopsi lesi perifer paru,
massa pleura, dan tumor mediastinum anterior. USG toraks memampukan dilakukannya
identifikasi sudut yang tepat dan kedalaman aspirasi/biopsi karena USG toraks dapat
membedakan komponen padat dari cair pada lesi paru. Namun demikian, aspirasi/biopsi
jarum perkutan sebaiknya dilakukan oleh ahli yang menguasai USG toraks dan teknik
aspirasi/biopsi jarum. (Anantham dan Ernst, 2010)
Jenis-jenis lesi dan lokasi yang sering dilakukan tindakan TTNA antara lain
tumor Pancoast, nodul soliter, metastasis di tulang, massa di pleura, dan massa di
mediastinum anterior (gambar 2.17 dan 2.18) (Koegelenberg, Bidlingmajer, dan
Bolliger, 2012)
55
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17 Lokasi lesi yang
sering dilakukan TTNA
(Koegelenberg, Bidlingmajer,
dan Bolliger, 2012)
Gambar 2.18 Pilihan teknik pengambilan
jaringan sesuai dengan lokasi lesi
((Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger,
2012)
Transthoracic needle aspiration (TTNA) adalah tindakan diagnsotik dengan
teknik pengambilan sampel secara perkutan dari tumor yang melalui dinding dada,
parenkim paru, dan mediastinum untuk keperluan pemeriksaan sitologi, histopatologi,
dan mikrobiologi.
Indikasi dan kontra indikasi
Transthoracic needle aspiration (TTNA) pertama kali dilakukan untuk
mendiagnosis penyakit paru pada tahun 1883, ketika Leyden melakukannya pada tiga
orang pasien pneumonia. Pada tahun 1886, Menetrier melaporkan penggunaan TTNA
untuk diagnosis kanker paru. Sejak saat itu, banyak muncul publikasi yang menjelaskan
penggunaan TTNA untuk diagnosis berbagai lesi toraks benigna dan maligna, dengan
tuntunan fluoroskopik, CT scan, atau USG toraks. Teknik terkait yaitu Transthoracic
Lung Biopsy (TTNB) memberikan hasil materi biopsi core dari nodul paru untuk
pemeriksaan histopatologi. (Kern dan McLennan, 2008; Prasad et al, 1994)
56
Universitas Sumatera Utara
Kontraindikasi tindakan TTNA umumnya bersifat relatif antara lain: koagulopati yang
tidak dapat dikoreksi, hipoksemia yang belum teratasi, gangguan hemodinamik,
hipertensi pulmonal, emfisema bula, dan lesi yang terlalu dekat dengan struktur
pembuluh darah, riwayat pneumonektomi dan volume ekspirasi paksa kurang dari satu
liter. (tabel 2.5) (Kern dan McLennan, 2008; Shaw dan Sebastian, 2008)
Tabel 2.5 Kontra indikasi biopsi jarum
Tipe kontra
Contoh
indikasi
Relatif
Pasien tidak kooperatif
Tidak dapat mengontrol batuk
Tidak dapat berbaring prone atau supine
Fungsi paru yang buruk
Bula multipel
Pneumonektomi
Gangguan pembekuan darah
Hipertensi pulmonal
Nodul kecil < 5 mm diameter
Penyakit Hidatid
Absolut
Malformasi
arteriovenosus
dengan
tekanan
arteri
pulmonalis yang tinggi
(Sumber: Shaw dan Sebastian, 2008)
57
Universitas Sumatera Utara
Teknik TTNA
Teknik yang tepat dalam melakukan TTNA sangat penting untuk mendapatkan
materi yang adekuat untuk interpretasi yang tepat. Sebagai tambahan dari mekanisme
insersi jarum dan aspirasi, pemilihan tipe jarum dan pemrosesan spesimen yang hati-hati
merupakan aspek yang sangat penting dalam prosedur ini. (ERS/ATS, 2002)
Pemilihan tipe jarum
Banyak tipe jarum yang dapat digunakan untuk tindakan TTNA. Terdapat
berbagai variasi dalam hal panjang dan lebarnya jarum. Pada awal 1960, TTNA
dilakukan dengan menggunakan large-bore cutting needles; dan dilaporkan angka
kejadian komplikasi perdarahan yang cukup besar. Selanjutnya, aspirasi dengan jarum
halus (thin-needle) telah menjadi standar dengan rentang ukuran jarum 18-22 gauge.
Sistem jarum koaksial telah diperkenalkan untuk tujuan mendapatkan sampel multipel
dari penetrasi pleura tunggal. (ERS/ATS, 2002)
Penuntun TTNA: fluoroskopi, CT scan, dan USG toraks
TTNA dapat dilakukan dengan tuntunan fluorokopi, CT scan, ataupun USG toraks.
Pemilihan USG toraks memiliki beberapa keuntungan antara lain memperlihatkan
gambaran real-time, mudah dipindahkan, dan tidak ada paparan radiologis terhadap
pasien dan dokter. TTNA dengan tuntunan USG toraks terutama dilakukan untuk lesi
paru perifer yang meluas ke pleura ataupun untuk massa di mediastinum. (ERS/ATS,
2002)
Perlengkapan dan personil (ERS/ATS, 2002)
Berikut ini adalah daftar perlengkapan dan personil yang dibutuhkan untuk melakukan
pengambilan sampel dengan TTNA:
1) Jarum aspirasi dengan panjang yang sesuai, ukuran jarum 18-25 gauge, dengan
desain cutting versus noncutting sesuai dengan jenis sampel yang diinginkan
2) Tuntunan radiologi atau ultrasonografi untuk menentukan lokasi lesi dan
memandu penempatan jarum
3) Peralatan untuk mempersiapkan spesimen
4) Kateter/selang dada untuk drainase pneumotoraks
58
Universitas Sumatera Utara
5) Monitor saturasi oksigen dan jantung
6) Asisten yang terlatih
Teknik
Kedalaman, sudut, dan lokasi penetrasi jarum harus diperhitungkan dengan tepat.
Setelah tindakan anestesi lokal, jarum atau trokar diinsersikan dengan cara steril dengan
tuntunan fluoroskopi, CT scan, atau USG toraks. Spesimen yang diperoleh kemudian
disemprotkan ke slides atau ke dalam cairan untuk diproses menggunakan teknik
pemeriksaan sitologi yang standar. (ERS/ATS, 2002)
Prosedur tindakan TTNA dengan tuntunan USG Toraks dilakukan dengan cara sebagai
berikut: (Shet et al, 1999)
1.
Lokasi dan kedalaman insersi jarum pada tindakan TTNA ditentukan dari
pemeriksaan USG toraks
2.
Lokasi tindakan TTNA dibersihkan dengan cairan anti septik, kemudian
dilakukan infiltrasi lidokain pada jaringan kutis dan sub kutis
3.
Dilakukan insersi jarum (dalam penelitian ini dengan spinocaine 25
gauge dengan panjang 8,8 cm)
4.
Ketika jarum ada di dalam massa, maka sylet sentralnya dikeluarkan dan
disambungkan dengan spuit 10cc.
5.
Dilakukan suction (memberikan tekanan negatif pada spuit 10cc) dan
dilanjutkan dengan melakukan gerakan naik-turun (to and fro) dari jarum
tersebut, dengan masih berada di dalam massa, untuk mendapatkan
sampel sitologi.
6.
Dibuat preparasi slide dari sampel sitologi tersebut dan dikeringkan
kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 96%
7.
Preparat diperiksa oleh ahli patologi anatomi
8.
Dilakukan evaluasi ada tidaknya pneumotoraks segera setelah tindakan
TTNA dengan USG toraks dan diobservasi di ruangan selama 24 jam
59
Universitas Sumatera Utara
Hasil
Sensitivitas diagnosis TTNA berkisar antara 68-96%, dengan spesifitas ≤ 100%, dan
akurasi 74-96% pada semua ukuran lesi. Pada lesi yang lebih kecil, akurasi
diagnostiknya menjadi lebih rendah. (ERS/ATS, 2002)
Komplikasi
Insidens pneumotoraks adalah ~ 20-40%, dan 50% diantaranya membutuhkan
pemasangan selang dada. Perdarahan dan hemoptysis jarang terjadi dan umumnya
sembuh tanpa pengobatan. (ERS/ATS, 2002)
Kebutuhan pelatihan
Tindakan TTNA seharusnya dilakukan atau dibawah supervisi seorang spesialis paru
atau spesialis radiologi yang berpengalaman. Yang sedang mengikuti pelatihan harus
terlebih dahulu berlatih pada objek latihan, dan harus telah melakukan lebih dari atau
sama dengan sepuluh tindakan TTNA yang disupervisi sebelum melakukannya sendiri.
Untuk mempertahankan kompetensi, 5-10 tindakan TTNA dalam setahun harus
dilakukan. Terapi untuk pneumotoraks harus disediakan. (ERS/ATS, 2002)
2.2.5
Keuntungan dan kerugian penggunaan tuntunan USG toraks
Keuntungan USG dibandingkan alat yang lain adalah biaya peralatan yang
relatif murah, nonionisasi dan aman, pemindaian dapat dilakukan pada setiap bidang,
dapat sering diulang, deteksi pergerakan aliran darah, peralatan yang mudah dibawa ke
sisi tempat tidur pasien, dan dapat digunakan mendampingi prosedur aspirasi/biopsi dan
drainase. (Liao et al, 2013; Anantham & Ernst, 2010) Penggunaan USG toraks realtime di bidang pulmonologi meningkatkan keberhasilan tindakan-tindakan invasif di
rongga toraks dan menurunkan risiko yang mungkin terjadi. ((Liao et al, 2013;
Koegelenberg, Bidlingmajer, dan Bolliger, 2012) Namun demikian, disamping beberapa
keuntungan tersebut USG toraks juga memiliki beberapa kelemahan seperti sangat
tergantung pada kemampuan operator, ketidakmampuan suara untuk menembus gas
atau tulang yang menyebabkan visualisasi yang kurang baik pada struktur-struktur di
bawahnya, serta penyebaran gelombang suara saat melewati lemak menghasilkan citra
yang buruk pada pasien obesitas. (Anantham dan Ernst, 2010; Patel, 2007)
60
Universitas Sumatera Utara
2.3
Interpretasi sitologi TTNA
Klasifikasi diagnosis sitologi dibuat berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh
World Health Organization, yakni:
Masalah yang sering dihadapi dalam pembacaan sitologi adalah kesulitan dalam
menentukan benign dan malignan, maka dari itu ahli patologi anatomi membuat suatu
sistem kategori sitologi yang mana akan mempermudah dalam pembacaan sitologi,
yaitu:
C1
: inadekuat
C2
: benign
C3
: atipikal
C4
: kecurigaan maligna
C5
: malignansi
61
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka konsep
Pasien dengan sangkaan kanker
paru
Jenis kelamin
Usia
Massa
KGB
ukuran
Riwayat keluarga
Riwayat radiasi
Progresivitas
Suara serak
Anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Radiologi toraks
Bronkoskopi
US Guided
TTNA
CT toraks
Sitologi sputum
Diagnosis
sitologi
Non-diagnsotik
Diagnostik
Biopsi bedah /
diagnois
histopatologi
Follow-up klinis
DIAGNOSIS AKHIR
Gambar. 2.19 Kerangka konsep akurasi diagnsotik TTNA dengan tuntunan USG toraks
62
Universitas Sumatera Utara
Download