BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Harga bahan bakar fosil terus mengalami peningkatan, persediaan untuk memenuhi kebutuhan nasional juga terus menipis. Hal ini menjadikan pemerintah berupaya untuk mencari solusi untuk dapat mengatasi masalah kebutuhan bahan bakar nasional. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2006 adalah mencanangkan program pengembangan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar alternatif menggantikan bahan bakar fosil. Bahan bakar alternatif yang menjadi perhatian pemerintah adalah biofuel. Biofuel merupakan minyak yang berasal dari tumbuhan, salah satunya adalah biji tanaman jarak pagar (Jatropha curcas). Jarak pagar (Jatropha curcas) berasal dari daerah tropis Amerika Tengah dan telah menyebar di berbagai tempat di Afrika dan Asia (Puslitbangbun, 2005). Tanaman ini sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat dan penghasil minyak lampu. Pada masa penjajahan Jepang bahkan minyaknya diolah untuk bahan bakar pesawat terbang. Jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan tanaman serbaguna, tahan kering dan tumbuh dengan cepat, dapat digunakan untuk kayu bakar, mereklamasi lahan-lahan tererosi atau sebagai pagar hidup di pekarangan atau kebun karena tidak disukai oleh ternak. Minyak jarak pagar (Jatropha curcas) selain sebagai bahan bakar juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan sabun dan industri kosmetika. Rencana pemerintah untuk mengembangkan sistem penyediaan dan pemanfaatan energi yang dapat diperbarui ini tentunya membutuhkan informasi tentang ketersediaan lahan sebagai lokasi yang sesuai untuk pengembangan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas). Setiap jenis tanaman memiliki sifat yang berbeda untuk dapat tumbuh dengan baik. Karakteristik tanah, iklim dan topografi suatu wilayah merupakan beberapa kondisi yang mempengaruhi tanaman untuk 1 dapat tumbuh dengan baik. Menurut Iswanto (2006) dalam Zubaidah, Y, et al Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) memiliki sifat dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, drainase baik, dan tidak tergenang. Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-pengunaan tertentu (Hardjowigeno, 2007). Evaluasi lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan yang dibutuhkan oleh suatu penggunaan lahan tertentu dengan karakteristik yang dimiliki oleh lahan tersebut. Menurut FAO (1976), dalam proses menentukan klasifikasi kesesuaian lahan, kualitas lahan seperti tingkat erosi lahan, ketersediaan air dan bahaya banjir tidak diperhitungkan secara langsung tetapi faktor-faktor tersebut diperoleh dari karaktersitik lahan, seperti kemiringan lereng, curah hujan dan tekstur tanah yang mana faktor tersebut dapat diukur. Sistem Evaluasi Lahan menggunakan beberapa pendekatan seperti sistem pengkalian, atau penjumlahan parameter maupun sistem pencocokan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan syarat tumbuh tanaman. Tujuan utama dari Evaluasi lahan adalah memprediksi kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan tertentu dalam jangka waktu yang lama tanpa merusak lahan dan untuk meminimalisir biaya sosio-ekonomi dan perbaikan lingkungan (de la Rosa 2000) dalam Parakash et al. Berdasarkan ruang lingkupnya terdapat dua tipe klasifikasi menurut FAO, Kesesuaian lahan aktual yaitu kesesuaian lahan yang ada tanpa mempertimbangkan masukan-masukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas berupa sifat fisik lahan.Kesesuaian lahan potensial yaitu kesesuaian lahan yang diharapkan setelah mengatasi kendala atau faktor pembatas berupa sifat fisik lahan.Penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan kesesuaian lahan aktual tanaman jarak pagar(Jatropha curcas). Wilayah kabupaten Gunungkidul termasuk daerah beriklim tropis, dengan topografi wilayah yang didominasi oleh perbukitan, khususnya perbukitan Karst dibagian selatan Gunungkidul. Daerah Karst ini banyak terdapat goa-goa alam dan 2 juga memiliki sungai bawah tanah yang mengalir yang disebabkan oleh tingkat porositas yang tinggi batuan kapur. Kondisi alam tersebut menyebabkan lahan di kawasan ini kurang subur yang berakibat pada kurang optimalnya budidaya pertanian di kawasan ini. Dengan gambaran umum tersebut wilayah Gunungkidul ditaksir memiliki potensi sebagai lokasi pengembangan budidaya tanaman jarak pagar (Jatropha curcas). 1.2 Rumusan Masalah 1. Proses klasifikasi kesesuaian lahan adalah proses menggelompokan informasi dari beberapa bidang ilmu seperti ilmu tanah, meteorologi, sosial ekonomi dan pertanian untuk mengetahui wilayah yang memiliki kriteria sesuai atau tidak sesuai dengan tujuan tertentu. Kriteria kesesuaian lahan dari parameter yang beragam tersebut diukur dan dicocokan untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan. Cakupan wilayah yang luas tentunya akan menyulitkan dan membutuhkan waktu lama bila pengumpulan data dilakukan secara manual. 2. Semenjak tahun 2006 program pemerintah untuk mewujudkan mandiri energi melalui produksi energi alternatif yang salah satunya menggunakan biofuel dari proses ekstraksi minyak jarak pagar (Jatropha curcas) dinilai belum berhasil. Gunungkidul merupakan salah diperkirakan cocok sebagai tempat budidaya tanaman jarak pagar (Jatropha curcas), oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian kesesuaian lahan untuk tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) di wilayah Gunungkidul. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana pemanfaatan data penginderaan jauh citra Landsat 8 dapat membantu klasifikasi kesesuaian lahan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas)? 3 2. Bagaimanakah sebaran spasial kesesuaian lahan aktual di wilayah Gunungkidul untuk tanaman jarak pagar (Jatropha curcas)? 1.4 Tujuan Penelitian 1. Menyusun peta dan sebaran spasial kesesuaian lahan untuk tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) berdasarkan analisis citra Landsat 8. 1.5 Hasil yang Diharapkan 1. Peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) dengan memanfaatkan data penginderaan jauh citra Landsat 8 skala 1:350.000 di kabupaten Gunungkidul. 4