II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifiiisi Ikan Betok Betok adalah nama sejenis ikan yang umumnya hidup liar di perairan tawar. Ikan ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti bethok atau bethik (Jawa.), puyu (Malaysia) atau pepuyuk (Bahasa Banjar). Dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai climbing gouramy atau climbing perch, merujuk pada kemampuannya memanjat ke daratan. Narna ilrniabnya adalah Anabas testudineus (Bloch, 1792). Klasiftkasi ilmiah ikan betok adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Labyrinthici Sub ordo: Anabantoidei Famili: Anabantidae Genus: Anabas Spesies: A. testudineus D XVII-XVIII 8-10, P I 13-14. V 15, A VIII-XI 9-11, C 17, LL 28-32 (Kottelat et al., 1993.) Ikan ini umumnya berukuran kecil dengan panjang maksimum sekitar 25 cm, narnun kebanyakan lebih kecil. Berkepala besar dan bersisik keras dan kaku. Sisik bagian atas tubuh (dorsal) berwarna gelap kehitaman agak atau kecoklatan atau kehijauan. Sisik bagian samping (lateral) kekuningan, terutama di sebelah bawah, dengan garis-garis gelap melintzing yang samar dan talc beraturan. Sebuah bintik hitam (terkadang tak jelas kelihatan) terdapat di ujung belakang tutup insang. Sisik pada belakang tutup insang bergerigi tajam seperti duri (http:llwikipedia.~~miinfo/ikan betowhtml) (Gambar 2). Gambar 2. Ikan betok (A. testudineus) (Koleksi foto: Mustakim, 2008) &an betok umumnya ditemukan di rawa-rawa, sawah, sungai kecil dan parit-parit, serta di kolam-kolam yang mendapatkan air banjir atau berhubungan dengan saluran air terbuka. Ikan ini memangsa aneka serangga dan hewan-hewan air yang berukuran kecil. Ikan betok jarang dipelihara orang, dan lebih sering ditangkap sebagai ikan liar. Dalam keadaan normal, sebagaimana ikan umumnya, betok bernafas dalam air dengan insang. Akan tetapi seperti ikan gabus dan lele, betok juga merniliki kemampuan untuk mengambil oksigen langsung dari udara karena adanya organ labirin (labyrinth organ) yang terdapat pada bagian atas rongga insang. Alat pernapasan tarnbahan ini sangat berguna manakala ikan mengalami kekeringan, dan ikan harus berpindah ke tempat lain yang masih berair (http://www.fishbase.org/Summary/speciesSum.php/O7 September 2007) Ikan betok mampu merayap naik dan berjalan di daratan dengan menggunakan tutup insang yang dapat dikernbangkan, dan berlaku sebagai semacam 'kaki depan'. Narnun tentu saja ikan ini tidak dapat terlalu lama bertahan di daratan, dan hams mendapatkan air dalam beberapa jam. Ikan ini menyebar luas, mulai dari India, Tiongkok hingga Asia Tenggara dan Kepulauan Nusantara di sebelah Barat Garis Wallace (http:l~.fishbase.org~Summary/species. Summary.phpl07 September 2007) 2.2, Tipologi Lingkungan dan Komunitas Ikan di Danau Melintang Lingkungan Danau Melintang merupakan salah satu tipe ekologi lahan basah (wet land) yang berada di Daerah Mahakam Tengah (DMT). Daerah tersebut mempunyai ekosistem yang sangat beragam, baik secara spasial maupun temporal. Sebagai bagian dari ekosistem sungai, daerah ini dicirikan oleh fluktuasi air antara musirn kemarau dan penghujan yang sangat bervariasi sepanjang tahun. Habitat yang ada di sekitar Danau Melintang terdiri dari daerah lothik, yaitu alur sungai (rivers channel) baik yang besar maupun yang kecil; daerah Ienthik yaitu daerah rawa, dan danau atau genangan yang semi perrnanen maupun permanen. Lingkungan Danau Melintang bertipe paparan banjir. Pada saat musim penghujan luas paparan banjir tersebut mencapai 165.800 ha dengan kedalaman maksimum sekitar 6,s m serta fluktuasi permukaan tahunan mencapai 4,5 m (LIPI, 2004 dalam UNMUL, 2006). Pada saat musim penghujan air meluap menggenangi daerah paparan danau, rawa, daratan, dm alur-alur sungai. Kondisi ini mengakibatkan beragarnnya habitat yang tersedia. Besarnya keragaman habitat yang tersedia memungkinkan banyak spesies ikan memanfaatkan daerah ini dalam berbagai cara untuk menunjang proses kehidupan mereka seperti untuk pemijahan (Copp, 1989; Lim et al,, 2004 dalam Simanjuntak, 2007), pengasuhan anak-anak ikan (Riberio et al., 2004; Sommer et al., 2004 dalam Simanjuntak, 2007). Penggenangan dalam waktu yang lama &an mengakibatkan kekayaan spesies ikan khususnya kelimpahan ikan di daerah genangan. Vegetasi yang tergenangi akan meningkatkan kelimpahan ikan dengan menciptakan struktur habitat yang komplek dan menyediakan lebih banyak makanan serta perlindungan bagi anak-anak ikan (Simanjuntak, 2007). Kondisi ini sering ditemui pada tipe ekologi rawa banjiran. Dalam konteks ekologi, daerah rawa banjiran termasuk lahan basah (Notohadiprawiro,1979; Andriese, 1988; Mitsch dan Gosselink, 1993 dalam Noor, 2007), Pengertian iahan basah mempunyai cakupan lebih luas lagi, menurut konvensi Ramsar (1971) dalam Noor (2007), yaitu sernua badan perairan (danau, waduk, sungai, rawa, tarnbak), persawahan (irigasi, tadah hujan, pasang surut) dan kawasan pantai yang mempunyai kedalaman air minimal 6 meter. Daerah rawa banjiran merupakan salah sat- tipe ekosistem yang produktif bagi @anan air tawar (Welcomme, 1985). Komunitas ikan yang berasosiasi di rawa banjiran dapat dikelompokan menjadi dua yaitu, (1) ikan-ikan peruaya (whitefish) yakni ikan-ikan yang beruaya ke daerah tersebut pada saat musim penghujan, untuk memijah, mencari makan dan perbesaran anak-an& ikan, kelompok ikan ini diantaranya adalah dari farnili Cyprinidae dan Pangasidae. Kelompok, (2) ikan-ikan yang penetap (resident fish), yakni spesies ikan yang telah beradaptasi dan tahan pada kondisi oksigen rendah, di daerah Asia Tenggara disebut blackfish. Ikan ini tetap bertahan pada rawa banjiran saat musim kernmu. Ikan yang termasuk dalam kategori ini, yaitu sebagian besar ikan Siluridae, Ophiochepalidae (Channidae), Anabantidae, Osteoglossidae, d m ikan Polyteridae (Welcomme, 1979). Haryono (2006) dan UNMUL (2006) menyatakan bahwa, lingkungan Danau Melintang memiliki kekayaan iktiofauna dengan ditemukannya beragam spesies, antara lain: Barbichthys laevis, Barbodes collingwoodi, Osteochilus kappni, Thynichthys vaillanti, Rasbora sp, Chela oxygastroides, Pangasius sp, Anabas testudineus, Hemibragus nemurus, Trichogaster trichopterus, T. pectoralis, Pristolepisfasciata, Oxyoleotris marmorata, Helostoma teminckii, Macrognuthus aculeatus, Clarias sp, Ophiocepalus striatus, Ophiocepalus sp. Tingginya keragaman fauna ikan yang ditemukan merupakan ciri dinamika ekologi sebagai respon ikan terhadap heterogenitas habitat (Agostinho et al., 2000). 2.3. Distribusi Ikan Pada umumnya ikan-ikan perairan umum seperti sungai, danau, dan rawa berdistribusi pada perairan yang bisa ditolerii oleh ikan tersebut. Ikan-ikan yang hidup di danau clan rawa banjiran juga akan melakukan ruaya apabila kondisi perairannya memburuk, mencari tempat yang lebih bagus kondisi kualitas perairannya Faktor-Wor yang mempengaruhi ikan dalarn ~nelakukanruaya pemijahan, dibagi dalam dua kelompok, yaitu faktor eksternal dan fhktor internal. Faktor eksternal ialah W o r lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung herperan dalam aktivitas ruaya ikan. seperti suhu, intensitas cahaya matahari, air hujan (menimbulkan arus), dan perubahan tinggi perm* menjadi rangsangan ikan untuk beruaya. perairan dapat Faktor internal ialah faktor yang ter&pat di dalam tubuh misalnya sekresi kelenjar hormon dan lain- lain yang berhubungan dengan faktor eksternal tadi (Effendie, 2002). 2.4. Kebiasaan Makanan Umumnya rnakanan yang pertama kali datang dari luar untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya, ialah plankton bersel tunggal dan berukuran kecil. Jika pertama kali ikan itu menemukan makanan berukuran tepat dengan mulutnya, diperkirakan akan dapat meneruskan hidupnya. Dalam mengelompokan &an berdasarkan rnakanan, ada ikan sebagai pemakan plankton, pernakan tumbuhan, pemakan dasar, pemakan detritus, &an buas dan ikan pernakan campuran Menurut Effendie (2002), berdasarkan jumlah variasi dari macam-macam rnakanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi euryphagic yaitu ikan pernakan bemacam-macam makanan; Stenophagic, ikan pemakan yang macamnya sedikit atau sempit; dan monophagic, ikan yang makanannya terdiri dari satu macam makanan saja. Kebanyakan cara ikan mencari makanan dengan menggunakan mata. Pembauan dan persentuhan digunakan juga untuk mencari makanan terutarna oleh ikan pemakan dasar dalam perairan yang kekurangan cahaya atau dalam perairan keruh. Pada umumnya ikan mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap kebiasaan makannya serta dalam memanfaatkan rnakanan yang tersedia. Menurut Bhukaswan (1980), variasi distribusi ikan di suatu perairan berhubungan dengan kebiasaan makan dan ketersediaan makanan. 2.5. Pertumbuhan Perhunbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi kesehatan individu, populasi, dan lingkungan. Laju pertumbuhan yang cepat menunjukkan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan tempat hidup yang sesuai. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan ukuran (panjang, dan bobot ikan) selama waktu tertentu. Pertumbuhan dari segi energi juga dapat diartikan sebagai perubahan jaringan somatik dan reproduksi dilihat dari kalori yang tersimpan. Definisi pertumbuhan dari segi energi berguna untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pertmibuhan ikan, yaitu asupan energi dari rnakanan, keluaran energi untuk metabolisme, keluaran energi untuk pertumbuhan, dan keluaran energi melalui ekskresi (Brett dan Groves, 1979 dalam Moyle dan Cech, 2004). Pertumbuhan dalam individu acidah pertambahan jaringan akibat pembelahan sel secara mitosis (Effendie, 1997). Pada muianya, saat ukuran ikan kecil, ukufan ikan mulai meningkat secara lambat. Akan tetapi kemudian, laju pertumbuhan semakin cepat. Setelah waktu tertentu, laju pertumbuhan kembali meningkat dengan larnbat sampai akhirnya tetap pada suatu garis asimtotik. Sebagian besar ikan memiliki kemampuan untuk menemkan pertumbuhan selama hidup bila kondisi iingkungannya sesuai dan ketersediaan makanan cukup baik, walaupun pada umur tua pertumbuhan ikan hanya sedikit. Ikan tidak memiliki limit tertentu untuk membatasi pertumbuhan (undetenninate growth) (Effendie, 1997). Secara urnurn pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan penyakit (Effendie, 1997), serta umur dan maturitas (Moyle dan Cech, 2004). Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jurnlah dan ukuran makanan yang tersedia, jurnlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut (Weatherley, 1972), kadar amonia di perairan, dan salinitas (Moyle dan Cech, 2004). Pertumbuhan ikan bersifat sangat labil (Weatherley, 1972). 2.6. Reproduksi Ikan Ikan yang ukuran tububnya kecil dan masa hidupnya singkat, akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebii muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang lebih besar dm umurnya yang lebii panjang (Lagler et al., 1977). Pemijahan buatan pada ikan liar masih menghadapi banyak kendala diantaranya ikan yang mernijah di habitatnya tidak dapat memijah di kolarn-kolam. Hal tersebut terjadi karena masih kurangnya penelitian mengenal siklus reproduksi khususnya ikan-ikan di Indonesia di habitat alamiahnya. Faktor-faktor yang mengontrol siklus reproduksi ikan di perairan terdiri dari faktor fisika, kimia dan biologi. Ikan yang hidup di daerah tropis, faktor fisika utama yang mengontrol siklus reproduksi adalah arus, suhu dan substrat. Faktor kimia adalah gas-gas terlarut, pH, nitrogen dan metabolitnya serta zat buangan yang berbahaya bagi kehidupan ikan diperairan. Faktor biologi yang mengontrol siklus reproduksi ikan dibagi menjadi faktor dalam dan luar. Faktor dalam meliputi faktor fisiologis individu dan respon terhadap berbagai faktor lingkungan, selanjutnya faktor luar adalah patogen, predator dan kompetisi sesama spesies ikan tertentu atau dengan spesies lain. Induk yang siap memijah adalah induk yang telah melakukan fase pembentukan kuning telur (phase vitellogenesis) dan masuk fase dorman (Woynarovich dan Horvath, 1980). Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur (yolk) dalarn sel teiur. dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ketengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Menurut Lam (1985), bila rangsangan diberikan pada saat ini akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah atau lebur, se!anjutnya terjadi ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Effendie (2002) menyatakan, bilarnana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut akan mengalami degradasi atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel ovarium, telur yang demikian dikenal dengan oosit atresia. Ikan air tawar di daerah tropis memiliki waktu musim pemijahan yang lebih panjang. Setiap individu dapat memijah pada waktu yang berlainan dengan individu lainnya, tetapi masih terlihat adanya puncak-puncak musim pemijahan dalam setiap periode waktu tertentu, yaitu biasanya terjadi pada saat m u s h penghujan (Welcomrne, 1985). Lama pemijahan pada ikan dapat diduga dari ukuran diameter telur. Jika waktu pemijahan pendek, semua telur masak yang terdapat dalam ovarium berukuran sama dimana ukuran ini berbeda dengan ukuran telur pada saat folikel masih muda. Tetapi bila waktu pemijahan tersebut terus menerus pada kisaran waktu yang lama, maka ukuran telur yang berada dalam ovarium berbeda-beda (Hoar, 1957). Menurut Selman dan Wallace (1981), bila dihubungkan dengan periode waktu pemijahan dengan oosit yang berada dalam ovarium, maka ovarium ikan dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu sinkronisrne total (seluruh oosit berada pada tingkat perkembangan atau stadia yang sama), sinkronisme kelompok (sedikitnya ada dua populasi yang berada dalam stadia yang sama) dan tidak ada sinkronisrne atau metakrom (oosit terdiri dari semua tingkat perkembangan). 2.7. Seksualitas, Perkembangan Gonad, dan Fekunditas Perbedaan jenis kelamin pada ikan dapat diidentifikasi dengan cara mengamati ciri-ciri seksual sekunder dan primer. Ciri-ciri seksual sekunder diidentifikasi dengan mengarnati bentuk luar tubuh clan pelengkapnya. Seksual primer adalah mengarnati organ yang secara langsung berhubungan dengan proses reproduksi yaitu ovarium dengan pembuluhnya pada ikan betina dan testis dengan pembuluhnya pada ikan jantan (Effendie, 1997). Pola seksual dan nisbah kelamin ikan sangat menentukan keberhasilan proses reproduksi. Nisbah kelamin antara ikan jantan dengan ikan betina yang ideal adalah mengikuti pola 1:1. Penyimpangan nisbah kelamin dari pola 1:1 dapat timbul dari faktor yang mencakup perbedaan distribusi, aktifitas, dan gerakan ikan (Turkmen et al., 2002). Nikolsky (1963) menambahkan bahwa, jika ketersediaan makanan berlimpah maka ikan betina akan lebih dominan, sebaliknya ikan jantan dominan saat ketersediaan makanan berkurang. Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi sebagian besar energi hasil metabolisme ikan akan tertuju untuk perkembangan gonad atau pertumbuhan gonad (Effendie, 2002). Perkembangan gonad ikan sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan ikan sehingga faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan juga berpengaruh pada perkembangan gonad. Ada dua tahapan perkembangan gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin (sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (garnet maturation). Pada hewan vertebrata termasuk ikan, saat terjadinya kematangan gonad adalah mempakan periode dimana ikan yang muda memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi. Hal ini terjadi dengan teraktivasinya axis hipotalamuspituitary- gonad (Amer et al., 2001). Perkembangan gonad pada ikan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad hingga mencapai tingkat dewasa kelamin dan tahap pematangan produksi seksual. Tahap pertumbuhan berlangsung sejak ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin, sedangkan tahap pematangan berlangsung setelah ikan dewasa. Tahap pernatangan akan terus beriangsung dan berkesinambungan selama h g s i reproduksi ikan berjalan normal (Lagler, et al., 1977) Pada proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad akan semakin bertambah berat diimbangi dengan bertambah besar ukurannya (Effendie, 2002). Selama perkembangan gonad oosit dikelilingi oleh lapisan sel-sel folikel yang membentuk dua lapisan, yaitu lapisan grandosa di sebelah dalarn yang menempel dengan oosit dan lapisan teka di sebelah luarnya (Nagahama, 1987). Sel folikel pada pinggiran oosit berperan penting dalam penyerapan material lipoprotein yang berasd dari hati kedalam oosit. Pada saat proses perkembangan dan pematangan gonad ikan maka sebagian besar energi pertumbuhan akan dialihkan dari perkembangan sel somatis menjadi perturnbuhan sel garnet. Sehingga pada saat ikan sudah matang gonad, bobot gonad pada ikan betina beratnya dapat mencapai 10-25% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan antara 510% dari berat tubuhnya (Effendi, 1979). Secara kuantitatif tingkat perkembangan gonad ini dapat dihitung dengan mengunakan Gonadal Somatic Index (GSI). Semakin tinggi perkembangan gonad maka perbandingan antara berat tubuh dan gonad semakin besar yang diperlihatkan dengan nilai GSI yang besar, semakin besar nilai GSI maka dapat dijadikan indikator semakin dekatnya waktu pernijahan. Fekunditas merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting untuk pembentukan ovulasi dengan dinamikanya. Dari nilai fekunditas dapat ditaksir jumlah an& ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan jumlah ikan ddam kelas umur yang bersangkutan. Fekunditas adalah jurnlab telur ikan betina sebelum dikeluarkan pada waktu akan memijah. Secara terperinci Wootton (1992) mendefkisikan tentang fekunditas yaitu, pada ikan yang berbiak setahun sekali, fekunditas adalah jumlah telur yang diproduksi per tahun. Sebelurnnya Nikolsky (1 963) menyatakan bahwa fekunditas individu adalah jumlah telur yang terdapat di dalam ovarium &an. Menentukan fekunditas ikan sebaiknya dilakukan pada tingkat kematangan gonad IV dan yang paling baik sesaat sebelum tejadinya pernijahan. Nilai fekunditas dari suatu spesies ikan dipengaruhi olen beberapa faktor, antara lain ketersediaan makanan, ukuran ikan (panjang dan berat) dan faktor lingkungan (Effendie, 2002). 2.8. Sifat Fisika, kimia ,dan Biologi Air Bagi biota air terutama ikan, air berfkgsi sebagai media, baik media internal maupun ekstemal. Sebagai media internal, air b e h g s i sebagai bahan baku untuk reaksi di dalam tubuh, pengangkutan bahan makanan keseiuruh tubuh, pengangkutan sisa metabolisme, dan pengaturan atau penyangga suhu tubuh. Sementara sebagai media eksternal, air berfimgsi sebagai habitatnya. Oleh karena itu peran air sangat esensial, maka kualitas dan kuantitasnyapun dijaga sesuai kebutuhan ikan. Fluktuasi air sangat berpengaruh terhadap keberadaan suatu jenis ikan di suatu perairan. Pada musim penghujan, tinggi air sangat berfluktuasi yang berpengaruh terhadap keberadaan benih ikan clan ketersediaan makanan. Fluktuasi air juga mempengaruhi proses-proses reproduksi ikan pada saat tertentu seperti pada musim penghujan ikan banyak berada di daerah banjiran untuk berbagai kepentingan seperti mencari makan, mijah dm sebagai kawasan habitat anakan. Kedalaman air mempengaruhi temperatur, kandungan oksigen, ruang gerak dan media untuk kehidupan produsen primer maupun sekunder. Suhu air berpengaruh terhadap sintasan, reproduksi, pertumbuhan organisme muda dan kompetisi (Krebs, 1985). Naiknya suhu air menyebabkan pengurangan konsentrasi oksigen terlarut dalam air. Semakin tinggi suhu maka semakin meningkat metabolisme organisme yang hidup di perairan dm semakin meningkat kebutuhan oksigen, tetapi kemampuan haemoglobin untuk mengikat oksigen sernakin berkurang. Walk et al., (2000) menyatakan bahwa suhu tinggi akan berpengaruh langsung terhadap proses fisiologis pada beberapa jenis ikan dan menurunkan kelimpahannya di perairan. Sejalan dengan itu Pescod (1973) mengemukakan bahwa perubahan suhu di perairan yang mengalir tidak boleh melebiihi 28OC. Bagi ikan yang hidup di perairan tawar, perubahan suhu perairan pada musirn penghujan memberikan tanda secara alamiah untuk melakukan pemijahan, beruaya dan mencari makan. Suhu juga mempengaruhi distribusi ikan dan kelimpahan makanan di suatu perairan. Rifai (1983) mengemukakan bahwa distribusi ikan akan berubah jika suhu perairan di sekitarnya berubah. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan yang disebabkan oleh bahan organik seperti plankton clan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur dan pasir halus. Kekeruhan tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernapasan, daya lihat organisme akuatik serta dapat mengharnbat penetrasi cahaya di dalam air. Oksigen terlarut dibutuhkan untuk respirasi plankton (65%), respirasi ikan (20%) dan juga organisme dasar. Oksigen terlarut di badan air dari hasil fotosintesis plankton (90-95%), dan sisanya diksi dari udara. Pada danau eutrofik tinggi, rendahnya oksigen terlarut dan meningkatnya C@ dapat menyebabkan LODOS (Low Dissolved Oxigen), stres ekologi pada ikan, tidak stabilnya ekologi (Schimttou, 1991). Konsentrasi oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk kedalam air (Effendi, 2000). Parameter pH air menunjukkan reaksi basa atau asam terhadap titk netral pH 7,O (Schmittou, 1991). Nilai pH berkaitan erat dengan CO2 bebas d m alkalinitas. Semakin tinggi pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah konsentrasi C02 bebas. Nilai pH juga mempengarubi toksisitas suatu senyawa kirnia. Pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia yang talc terionisasi dan bersifat toksik. Arnonia talc terionisasi lebih mudah diserap tubuh oranisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut dalam Effendi, 2000). Nilai pH perairan berfluktuasi pada siklus siang harildiurnal secara primer dipengaruhi oleh konsentrasi C 0 2 , kepadatan fitoplankton, alkalinitas total dan tingkat kesadahan (Schmittou, 1991). Alkalinitas berperan sebagai buffer perairan terhadap perubahan pH yang drastis. Tingkat produktivitas perairan sebenamya tidak berkaitan secara langsung dengan nilai alkalinitas tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lain yang kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalinitas. Alkalinitas yang baik berkisar antara 30 -500 mgL CaC03, jika > 40 mg/L CaC03 disebut perairan sadah dan jika < 40 mg/L CaC03 disebut perairan dengan kesadahan sedang (Effendi, 2000). Senyawa nitrat dan fosfat merupakan zat hara yang dapat dijadikan sebagai petunjuk kesuburan perairan d m dibutuhkan organisme dalam perturnbuhan dan perkembangan hidupnya. Salah satu organisme yang mengkonsurnsi zat hara adalah fitoplankton. Menurut Nybakken (1992) zat-zat organik utama yang yang diperlukan fitoplankton untuk perturnbuhan dan perkembangbiakan adalah nitrogen (sebagai nitrat) dan fosfor (sebagai fosfat). Kandungan fosfat yang rendah diperoleh pada lapisan permukaan ,dan yang tertinggi dijumpai pada perairan yang lebih dalam. Hal ini umumnya terjadi pada laut dalam sedangkan di laut dangkal sangat dipengaruhi pengadukan air laut dan organisme yang mengkonsurnsi zat hara tersebut. Kadar fosfat yang tinggi dan . melebihi kebutuhan normal organisme nabati akan menyebabkan keadaan lewat subur (eutrofikasi) yang &an merangsang terjadinya blooming. Hal ini memungkinkan terjadinya keadaan air yang an-aerob sehingga akan menyebabkan kematian massal oragnisme perairan terutarna ikan ( Wardojo, 1975). Dampak yang merugikan dari melimpahnya konsentrasi unsur hara fosfat dan nitrat di suatu perairan adalah, terjadinya alga bloom di Waduk Karang Kates (Brahrnana et al., 2002). Tingginya kadar total nitrogen dan fosfat yang merupakan bahan nutrisi utarna ganggang. Populasi ganggang yang sangat padat di waduk karang kates tersebar di pinggir-pinggir periran waduk terutama di bagian teluknya. Ganggang yang terperangkap tersebut membentuk lapisan- lapisan. Dari hasil pengamatan di lapangan lapisan ganggang yng terbentuk tersebut mencapai ketebalan 5-15 cm. dan terjadi pembusukan yang mengakibatkan terbentuknya H2S,CHs yang beracun bagi organisme air termasuk ikan. Adapun ditinjau dari sifat biologi air, plankton merupakan organime yang memegang peranan penting bagi proses-proses jaring makanan. Plankton merupakan organisme yang melayang bebas dalam air serta lemah daya renangnya. Hal ini menyebabkan pergerakan plankton sangat dipengaruhi oleh pergerakan air (Nybakken, 1992). Plankton dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu, fitoplankton dan zooplankton. Kehidupan plankton terkait erat dengan kondisi lingkungan seperti suhu, intensitas cahaya, dan unsur hara sebagai sumber rnakanan. Perbedaan komposisi plankton pada suatu perairan disebabkan oleh daya toleransi dari masing-masing plankton tersebut pada keadaan lingkungan. Pada interval waktu tertentu beberapa genus atau spesies plankton secara bergantian mendominasi dalam suatu perairan. Hal ini juga tergantung pada keadaan musim. Komposisi spesies, jumlah, nilai penting, jurnlah sel, volume dari masing-masing plankton adalah parameter yang mencerminkan stabilitas komunitas bersangkutan (Nybakken, 1992). Penurunan kualitas .- .-. . habitat terjadi akibat penebangan hutan di hulu sungai -.. yang menyebabkan sedimentasi, pencemaran dari limbah perusahaan pertambangan dan pertanian serta penangkapan ikan ilegal yang mempengaruhi perkembangbiakan clan kelangsungan hidup jenis ikan tersebut. Sedimentasi dapat merangsang pertumbuhan tumbuhan air di sungai dan danau-danau karena tingginya kandungan unsur hara. Tanarnan air yang berlebihan akan menyebabkan penwnan kandungan oksigen di dalam air dan meningkatkan kadar asam akibat proses pembusukan. Penebangan pohon akan rneningkatkan laju arus perrnukaan dan mengurangi naungan, dengan demikian meningkatkan kapasitas sungai untuk rnenyerap panas. Di perairan yang lebih tenang, khususnya danau dan rawa di dataran rendab, yang suhunya lebih tinggi, oksigen yang lebih sedikit dan hara yang lebih banyak, akan menyebabkan eutrofikasi dan meningkatkan kadar asam, sehingga menjadikan habitat tersebut h a n g cocok untuk jenis-jenis ikan putih seperti suku Cyprinidae dan jika terjadi peningkatan yang b e r l e b i i maka kemungkinan jenis-jenis ikan hitam pun tidak akan mampu bertahan hidup. Temperatur tinggi akan meningkatkan kebutuhan ikan akan oksigen, namun akan men& daya serap haemglobin terhadap oksigen. Selama musim kemarau, ha1 tersebut dapat menyebabkan kematian massal (Santiapillai dan Suprahman, 1984). Peningkatan sedimentasi akibat peaebangan hutan riparian juga memberikan dampak langsung terhadap perikanan karena kandungan endapan dan zat besi dapat mempengaruhi insang jenis ikan tertentu, dan akan mati akibat kekurangan oksigen (MacKinnon et at., 1997). Selanjutnya pada bagian sungai yang berarus pelan, endapan lumpur dapat menekan sumber makanan (plankton), telur-telur, dan sarang telur, seperti halnya penurunan kedalaman dan lebar pada danau (MacKinnon et al., 1997).