Meraih Kemandirian Kebudayaan Oleh Kacung Marijan Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Inti dari kemerdekaan adalah kemandirian. Namun, bangsa yang mandiri secara politik tidak akan kuat jika tidak ditopang oleh kemandirin secara kebudayaan. Pertanyaannya, bagaimana cara kita memperkuat kemandirian di bidang kebudayaan? Salah satu di antaranya adalah dengan cara memperkokoh pembangunan kebudayaan, misalnya melakukan registrasi kebudayaan. Dengan registrasi, kita dapat mengetahui jenis kebudayaan mana yang perlu masuk konservasi, mana yang dikembangkan, dan mana yang dimanfaatkan. K emandirian kebudayaan ini erat kaitannya dengan kemandirian ekonomi. Oleh karena itu, jika kita tidak mandiri dengan kebudayaan, secara ekonomi kita juga rugi. Hal itu karena manusia tidak hanya mengonsumsi barangbarang tapi juga mengonsumsi kebudayaan. Nah, karena kita tidak mandiri dalam kebudayaan, maka kita mengimpor film dan fesyen. Selain kehilangan modal, kita – ini yang lebih berbahaya - juga kehilangan jati diri bangsa. Di beberapa negara lain, menurut UNESCO, sekitar 70 persen kebudayaan itu hasil impor. Cita-cita para pendiri bangsa, bukan hanya mandiri politik dan ekonomi tetapi juga mandiri dalam hal kebudayaan. Pada masa mendatang, kita menjadi lebih baik secara ekonomi. Pada tahun 2030 diperkirakan kita nomor 7 terbaik di dunia, tahun 2045 nomor 4 atau nomor 5. Namun, ini semua menjadi kurang bermakna kalau kemandirian dalam hal kebudayaan belum tercapai. Oleh sebab itu, mau tidak mau kita memperkuat bidang kebudayaaan. Berdasarkan pemikiran itulah, Ditjen Kebudayaan terus menerus menyosialisasikan mainstreaming pengarusutamaan bidang kebudayaan, sehingga menjadi pemikiran semua pihak. Bukan hanya urusan Direktorat Kebudayaan. Lembaga lain, provinsi, kabupaten, kota, maupun pihak swasta, juga harus ikut memikirkannya. Kalau semua pihak berkontribusi, saya yakin kemandirian kebudayaan ini bukan hal yang tidak mungkin kita raih. Sebagai upaya menuju kemandirian kebudayaan, sekarang ini Ditjen Kebudyaan sedang mengembangkan apa yang disebut statistik kebudayaan. Berkaitan dengan hal ini, kami akan mengembangkan indeks pembangunan kebudayaan, yang sebenarnya sudah dikembangkan di UNESCO. Oleh sebab itu, kami akan kerjasama dengan UNESCO utuk menyusunnya. Dari situlah parameter kemandirian kebudayaan dapat dilihat. Pelestarian Kebudayaan Salah satu tantangan besar kita adalah melestarikan kebudayaan. Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu konservasi, pengembangan atau modernisasi, dan pemanfaatan budaya. Bagaimana cara kita No. 05 Tahun IV • September 2013 • DikbuD 23 melestarikan kebudayaan? Langkah terpenting adalah mengidentifikasi warisan budaya. Setelah mengetahuinya, lalu menentukan cara mengembangkannya. Selama ini ada dua kebudayaan penting, yaitu kebudayaan benda dan tak benda. Inventarisasi kebudayaan benda relatif lebih mudah dilakukan, karena wujudnya dan tempatnya sudah jelas. Candi Borobudur contohnya, cara melakukan konservasi dan pengembangan jelas. Tapi untuk kebudayaan tak benda, wujud dan tempatnya perlu penelusuran. Misalnya tentang sebuah tarian, harus diusut asal-usulnya. akan diprioritaskan pembentukannya. Dalam rangka manajemen tata kelola, Kemdikbud juga sedang mendata aset-aset warisan budaya non sumber daya manusia untuk budaya berupa benda. Misalnya aset rangka kepala manusia prasejarah Sangiran, ada yang menawar Rp 6 miliar di balai lelang Christie. Padahal di Sangiran koleksi kita lebih dari 500 tengkorak, berarti sebenarnya nilai aset yang kita miliki di Indonesia sangat besar dan tentunya sangat berharga. Dengan pendataan dan penghitungan aset-aset budaya inilah kita bisa lebih menghargai nilai-nilai budaya dan menyintainya dalam konteks kualitatif dan kuantitatif. Laboratorium Seni Budaya Segera Dibangun di Sekolah Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akan membangun laboratorium seni budaya di sekolah-sekolah jenjang pendidikan menengah. Selain bertujuan mendukung proses belajar mengajar mata pelajaran seni budaya, pembangunan laboratorium tersebut juga untuk memfasilitasi siswa supaya memiliki pengetahuan yang cukup FOTO: WJ PIH SMK 10 Bandung Sejumlah siswi berlatih tari. Menumbuhkan kecintaan pada budaya sendiri. Untuk keperluan registrasi budaya, Ditjen Kebudayaan telah membentuk tim yang melakukan evaluasi, identifikasi, dan memberi rekomendasi cagar budaya. Tim cagar budaya ini terdiri dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten. Berdasarkan Undangundang Cagar Budaya, nanti cagar budaya diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu cagar budaya nasional, cagar budaya provinsi, dan cagar budaya kabupaten/kota. Untuk sementara ini, tim yang terbentuk baru tingkat nasional. Secara bertahap akan dibentuk pula tim tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang memiliki banyak cagar budaya Terkait dengan pembangunan kebudayaan melalui bidang pendidikan, direncanakan tahun depan Kemdikbud akan merintis pembangunan teater mini di sekolahsekolah. Dengan adanya teater ini diharapkan akan ada aktivitas pengembangan kebudayaan yang dilakukan peserta didik, seperti belajar menari, menyanyi, membuat film, dan lain sebagainya. Program pengembangan sarana seni budaya ini sudah tentu komprehensif dengan implementasi Kurikulum 2013. (Ditulis ulang oleh Arifah dari wawancara di Jakarta, 12 Agustus 2013) 24 DikbuD • No. 05 Tahun IV • September 2013 Sekolah sebagai Laboratorium Seni Budaya Bandung - Animo positif implementasi Kurikulum 2013 bukanlah barang baru bagi SMK Negeri 10 Bandung. SMK Negeri ini bahkan sejak dulu sudah mengarahkan metode pengajarannya sebagaimana yang diamanatkan Kurikulum 2013. Kesiapan dan keoptimisan melaksanakan Kurikulum 2013 ini disampaikan kepala sekolah, Ontahari, ketika ditemui di Bandung (5/09). Ia menjelaskan, saat ini Ditjen Kebudayaan masih melakukan kajian tentang rencana pembangunan laboratorium seni budaya. Rencananya, untuk awal Kemdikbud akan membangun 20 laboratorium di sekolah-sekolah percontohan. “Yang pasti di kota-kota besar dulu, tapi tidak menutup kemungkinan di daerah juga,” ujarnya. Diharapkan, Menurut Ontahari, kesiapan SMK Negeri 10 Bandung dapat dinilai dari kesiapan sumber daya manusianya, fasilitas pembelajarannya, sampai metode mengajar dimana guru-guru sudah terbiasa men-support peserta didik untuk lebih kreatif. “Tidak hanya itu, kesiapan ini juga ditunjang dengan kemampuan guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga mampu menumbuhkan kreatifitas dan prestasi peserta didik,” ujarnya. Tidaklah mengherankan jika Ontahari sangat optimis SMK 10 Bandung dapat menjadi laboratorium seni budaya Sunda mengingat sekolah adalah wujud “Sekarang kan pelajaran seni budaya sudah ada bukunya. Cuma kalau untuk operasional, belajar menari kan nggak dari buku, belajar main film juga nggak dari buku. Perlu praktik dan perlu audio visual. Jadi akan kita lengkapi dengan video,” jelasnya. tahun depan pembangunannya bisa terealisasi. Setelah rampung dikerjakan, selanjutnya pengelolaan laboratorium akan menjadi wewenang Ditjen Pendidikan Menengah. Sedangkan modul kedua adalah modul pengayaan, yang bertema budaya daerah, sehingga masing-masing daerah akan memiliki modul tentang kebudayaan daerahnya. “Jangan sampai orang di Palangkaraya sana ngerti budaya nasional tapi nggak ngerti budaya Palangkaraya sendiri dan sekitarnya,” ujar Kacung. (Desliana) Selain membangun laboratorium, untuk mendukung mata pelajaran seni budaya, Ditjen Kebudayaan juga melakukan pelatihan kepada guru-guru yang mengajar seni budaya. “Itu sudah mulai dilakukan, termasuk pelajaran sejarah,” katanya. Dua modul pun akan lembaga formal transfer ilmu kepada peserta didik, khususnya seni dan budaya. “Kami melestarikan budaya melalui pendidikan ini, dari guru ke siswa sehingga juga ada proses filter budaya yang baik,” jelasnya. kompetensi siswa yang berhubungan dengan kebutuhan industri. “Jadi ketika lulus nanti, siswa tidak kaget lagi dan industri juga sudah tahu persis potensi lulusan sekolah ini,” jelasnya. Dengan jumlah peserta didik lebih dari 800 orang, SMK ini terbukti menjadi juara umum pada Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional di Medan pada Juli 2013, pentas di berbagai tempat baik di Indonesia dan mancanegara, maupun prestasi ekstrakurikuler lainnya. Sekolah yang berlokasi di Jalan Cijawura Hilir Nomor 339 Buah Batu, Bandung ini juga terus berupaya meningkatkan Selain itu, menurut Ontahari, dukungan pemerintah baik pusat dan daerah sangat berperan dalam peningkatan kualitas dan kuantitas sekolah. Selain bantuan material untuk pengembangan fasilitas pendidikan, juga dukungan moral yang sangat dirasakan manfaatnya bagi aktualisasi siswa, seperti mendapat kesempatan tampil diberbagai acara baik tingkat nasional maupun internasional. (Arifah) FOTO: WJ PIH “Selama ini kita kan mengenal laboratoriumnya pun laboratorium fisika atau kimia. Seni budaya belum ada. Kita tentu saja ingin anak-anak sekolah juga memiliki pengetahuan yang cukup tentang seni budaya,” ujar Dirjen Kebudayaan, Kemdikbud, Kacung Maridjan, usai launching produksi Film Soekarno, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (5/09). diterbitkan untuk menjadi pedoman guru dalam mengajar. Modul pertama merupakan modul tambahan bertema budaya nasional untuk mendukung buku pelajaran yang sudah ada. FOTO: WJ PIH mengenai seni budaya melalui praktik. No. 05 Tahun IV • September 2013 • DikbuD 25 Balai Pelestarian Nilai Budaya “Letakkan Roh Pelestarian Nilai Budaya pada Tempatnya” Oleh Drs. Nurmatias Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pelestarian nilai budaya merupakan sebuah kekuatan terpenting dalam membingkai ranah kebudayaan secara umum, mulai dari perlindungan, pengembangan, sampai pemanfaatan. Sekarang ini kekuatan tersebut paling dominan dan domainnya dimiliki oleh daerah-daerah, tempat kebudayaan tersebut tumbuh dan berkembang. Konsekuensinya adalah pemahaman, apresiasi, dan komitmen menjadi tugas utama setiap daerah, khususnya pemerintah daerah terutama dinas/lembagalembaga yang mengurus kebudayaan di dalam pengelolaan kekayaan budaya. R oh strategi pelestarian nilai budaya tidak sekadar pengelolaan cara berpikir suatu bangsa, namun sekaligus cara bereaksi dan bertindak yang menjadikannya mampu menjadi daya produktivitas sebuah bangsa. Disinilah diperlukan strategi budaya. Strategi budaya adalah pola reaksi dan tindakan agar kerja pemerintah tersosialisasi menjadi pelayanan dan pengawasan publik, sekaligus menumbuhkan proses emansipatoris. Pada gilirannya, mewujudkan proses pembentukan kehendak bersama antara pemerintah dengan komunitas dan individu kreatif lewat perbincangan yang mewujudkan tindakan (Garin Nugroho, Kompas, Rabu 10 Januari 2007). kekayaan budaya. Dalam situasi semacam ini, muncul pula dalam skala daerah, marginalisasi budaya yang didukung kelompok kecil yang seringkali juga memiliki posisi yang lemah. Kenyataan tersebut seakan-akan manjadi kontradiktif dengan kenyataan lain yang menyangkut otonomi daerah. Pluralisme yang dipahami sebatas wacana tersebut di atas dijadikan alasan utama untuk menerapkan otonomi daerah yang menyangkut berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di satu wilayah tertentu. Pengukuhan otonomi daerah dipahami sebatas permintaan hak ekonomi dan kekuasaan dari “pusat” tanpa dilandasi pemahaman yang benar dan lengkap mengenai identitas budaya yang bersangkutan, apalagi yang berkaitan dengan pengelolalan Seiring dengan itu, pelestarian nilai budaya yang memiliki keragaman budaya rupanya belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan khasanah nasional yang dapat memberi nilai tambah, melainkan lebih sering dianggap sebagai rongrongan yang mengancam otoritas atau keutuhan negara atau hegemoni tertentu. Persoalan kemudian muncul lagi, ketika kita dihadapkan atas kemampuan kita menguasai teknologi yang masih jauh dari negara-negara lain, terutama dengan negara tetangga kita. Dengan kemampuan tersebut mereka lebih dahulu bisa memanfaatkan akulturasi dan 26 DikbuD • No. 05 Tahun IV • September 2013 Disinilah dituntut peran pemerintah lebih mengedepan. Hal ini tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh lembaga-lembaga kebudayaan, yakni melaksanakan pelestarian kebudayaan mulai dari perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, pendukumentasian sampai melakukan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) terhadap semua produk budaya yang ada dalam masyarakat yang bersifat unik dan mencerminkan ciri identitas bangsa Indonesia. transisi budaya dengan menggunakan kemampuan teknologi secara efektif. Disamping itu, pembangunan dalam bidang kebudayaan umumnya sampai saat ini masih menghadapi permasalahan sebagai akibat dari berbagai perubahan tatanan kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat khususnya generasi muda. Meskipun pembangunan dalam bidang kebudayaan yang dilakukan melalui revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya dan pranata sosial kemasyarakatan telah menunjukkan hasil yang cukup mengembirakan yang ditandai dengan berkembangnya pemahaman terhadap pentingnya kesadaran multikultural dan menurunnya eskalasi konflik horizontal yang marak pasca reformasi. Sehubungan dengan itu, pelestarian nilai budaya tak bisa dipisahkan dengan persoalan pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. Peran Lembaga Pemerintah Peran pemerintah terutama lembaga-lembaga/dinas yang mengurus masalah kebudayaan dalam pelestarian nilai budaya sangat dituntut berperan. Mulai dari melindungi dan melestarikan, mengkoordinasi semua lembagalembaga kebudayaan yang ada sampai kepada persoalan pendanaan yang juga mesti diberikan buat urusan pengelolaan kebudayaan itu sendiri. Pengelolaan kekayaan budaya sebetulnya merupakan cara bagaimana budaya itu bisa kita pahami, kita lindungi dan lestarikan. Hal ini terkait dengan citra, harkat, dan martabat bangsa. Ketika pengelolaan kekayaan budaya dikelola dengan baik, maka akan muncul suatu “keterjaminan dan kelestarian” akan budaya kita. Namun sebaliknya, ketika pengelolaan kekayaan budaya tidak baik maka akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, seperti “dicurinya” warisan budaya dan akhirnya mulai “terganggu” kepemilikannya. Pembentukan Karakter Bangsa Kita tahu, bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidupan masyarakat. Pendidikan tidak mungkin terjadi atau terlepas dari kehidupan bermasyarakat, karena setiap masyarakat mempunyai kebudayaannya, maka pendidikan merupakan suatu kegiatan budaya. FOTO: WJ PIH Media pelestarian nilai budaya dapat dibagi dua, pertama pendidikan formal, yakni pewarisan nilai-nilai, baik nilai budaya, sejarah dan sebagainya. Di dalamnya berfungsilah sekolah, dalam hal sekolah sebagai preserver dan transmitter dari culture heratage sebagai instrument for transforming culture. Pengalaman menunjukkan, bahwa penanaman nilai termasuk pelestarian nilai, apa yang berharga dan bernilai yang diinginkan oleh generasi muda khususnya dapat dilakukan secara formal melalui berbagai media seperti dalam materi bahan ajar (kurikulum) di sekolah-sekolah, terutama kurikulum muatan lokal. Disinilah dituntut peran pemerintah dalam memasukkan kurikulum ini ke sekolah-sekolah. Kedua, pendidikan informal. Adapun lewat jalur ini bisa dilakukan sosialisasi langsung kelapangan yang menyentuh langsung kemasyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan kekayaan budaya yang bersifat mandiri. Sebab landasan semangat yang terkandung pada era otonomi daerah adalah kemandirian. Rumah gadang kaya akan ukiran, seperti motif jantung pisang ini merupakan pemahaman hakekat mengenai eksistensi diri dan kehidupan sebagai prasyarat penting bagi jalannya proses kehidupan secara alamiah. Dibutuhkan komitmen semua pihak untuk melestarikannya. No. 05 Tahun IV • September 2013 • DikbuD 27 Bahkan pendidikan, menurut filsafat Plato, merupakan bagian dari negara. Tujuan akhir pendidikan ialah menjadi warga negara yang baik. Demikianlah hakikat pendidikan berubah menurut zamannya. Pendidikan diarahkan kepada nilai-nilai budaya yang ada, baik penekanan pada suatu nilai tertentu ataupun secara keseluruhan, ataupun menjadikan pendidikan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan dalam masyarakat. Untuk itulah kita harus meletakkan roh pendidikan itu kepada fondasinya. Melihat pada tujuannya, bahwa pendidikan adalah pembebasan, maka sekolah seharusnya berpihak pada anak, tak boleh memanipulasi murid, tapi sebaliknya harus mempersiapkan individu untuk memimpin dirinya dengan tidak boleh dipisahkan dari aspek kehidupan murid. Lebih jauh lagi, pendidikan harus memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mempelajari apa saja yang perlu diketahui agar bisa bertindak secara cerdas demi kepentingan mempertahankan kehidupan kelak. Proses pembelajaran dapat merangsang, menantang dan menyenangkan seperti yang dikemukakan oleh Whitehead (dalam H. Soedijarto, 2010) sampai pada tingkat ”joy of discovery”, diharapkan proses pembelajaran itu akan bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni mengunakan ilmu pengetahuan. Bukan pendidikan yang mengarahkan anak didik untuk mengejar nilai yang tinggi, namun harus mampu membentuk kecerdasan inlektual, pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter, sehingga pelestarian nilai budaya dapat diarahkan kepada anak didik. Akhinya dengan memahami dan meletakkan roh pelestarian nilai budaya dan pendidikan pada tempatnya, maka akan dapat membentuk karakter bangsa menjadi kearah yang lebih baik. (*) FOTO: Pendhi PIH Proses pembelajaran, sebagai hal ikhwal dalam pendidikan memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan jati dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target. Proses pembelajaran akan dapat bermakna proses pembudayaan, bila didukung oleh sistem evaluasi yang merupakan sarana pedagogik. Dalam kaitan ini penulis berpandangan bahwa hampir tidak ada orang yang menolak bahwa diselenggarakan suatu sistem pendidikan adalah dapat dihasilkannya manusia terdidik yang dewasa secara intelektual, moral, kepribadian, dan kemampuan sehingga adanya pembentukan karakter bangsa. Namun, yang sering disoroti orang seperti yang terakhirakhir ini berlangsung adalah dimensi penguasaan pengetahuan peserta didik yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter. Seorang pelajar mengamati sebuah benda purbakala. Mempelajari benda peninggalan sejarah merupakan bentuk penghormatan terhadap nenek moyang. 28 DikbuD • No. 05 Tahun IV • September 2013