BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembedahan merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembedahan merupakan suatu tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif
dengan membuka dan menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian
tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani
ditampilkan, selanjutnya dilakukan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan
luka (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2005) salah satu jenis tindakan operasi bedah
mayor adalah bedah abdomen. bedah abdomen merupakan pembedahan yang melibatkan
suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen tindakan bedah abdomen juga
merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada
bedah digestif dan obstetri gynecologi.
Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan adalah hernioraphi/herniotomi,
gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepatektomi, splenektomi, apendektomi, kolostomi,
hemoroidektomi dan fistulektomi. Sedangkan tindakan bedah abdomen pada kasus obstetri
gynecologi yang sering dilakukan adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi pada
tuba fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi histerektomi, baik histerektomi total, radikal,
eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
Tindak
bedah
pada
seorang
dapat
memberikan
dampak
yang
seringkali
memperlambat pemulihan. Dalam upaya mencegah berbagai dampak yang tidak diingankan,
penting diberikan program rehabilitas. Tirah baring yang lama menyebabkan kondisi yang
sering dikenal dengan sindrom dekondisi, pada sindrom tersebut ditemukan berbagai
gangguan ikutan yang bermanifestasi dalam sitem kardiovaskuler,system musculoskeletal,
keseimbangan nitrogen dan proten tubuh, regulasi suhu, dan berbagai hasil akhir patologik.
Tirah baring lama dapat menyebabkan kehilangan kekuatan otot besar 10%-15% setiap
minggu. (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
Menurut Lim (2014) efek dari sindrom dekondisi pada pasien dengan imobilisasi
yang lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang- orang lanjut
usia, atau pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama. Dampak yang terutama
muncul ialah dekubitus mencapai 11% dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, perawatan
emboli paru berkisar 0,9%,dimana tiap 200.000 orang meninggal per tahunnya Menurut
penelitian Cooney dan Reuler (1991) di Amerika Serikat ada sekitar 70% pasien yang
mengalamai luka dekubitus di rumah sakit terjadi pada minggu pertama sampai minggu
kedua selama dirawat.
Menurut Mukti, (2005) insidensi dan prevalensi terjadinya dekubitus di Amerika
tergolong masih cukup tinggi dan perlu mendapatkan perhatian dari kalangan tenaga
kesehatan khususnya perawat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa insidensi
terjadinya dekubitus bervariasi, tapi secara umum dilaporkan bahwa 5-11 % terjadi di tatanan
perawatan akut, 15-25% di tatanan perawatan jangka panjang dan 7-12 % di tatanan
perawatan rumah atau home care (Setiyawan,2010)
Dan salah satu intervensi yang dirancang untuk meningkatkan pemulihan dan
mencegah komplikasi adalah mobilisasi dini. Mobilisasi dini mencegah komplikasi
pernafasan, sirkulasi, urinarius, dan gastrointestinal. Mobilisasi juga mencegah kelemahan
otot umum (Kozier, 2011)
Menurut Kiik (2013) Mobilisasi meningkatkan tonus saluran gastrointestinal, dinding
abdomen dan menstimulasi peristaltik usus. Pemulihan pada luka abdomen lebih cepat terjadi
bila mobilisasi dilakukan lebih dini. Kejadian eviserasi pasca operasi jarang terjadi bila
pasien diperbolehkan untuk turun dari tempat tidur secepatnya. Nyeri berkurang bila
mobilisasi dini dilakukan. Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal
Mobilisasi juga mempunyai banyak tujuan seperti mengekspresikan emosi dengan
gerakan nonverbal, pertahanan diri, pemenuhan kebutuhan dasar, aktifitas hidup sehari-hari
dan kegiatan rekreasi. Dalam mempertahankan mobilisasi fisik secara optimal maka system
saraf, otot, dan skeletal harus tetap utuh dan berfungsi baik (Potter dan Perry, 2006)
Mobilisasi pascaoperasi mengarah ke peningkatan penyembuhan
tendon ,
meningkatkan kekuatan tarik , penurunan pembentukan adhesi, kembali awal offunction, dan
kurang kekakuan dan deformitas dibandingkan dengan protokol imobilisasi (Purnima, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boyer (1998), mobilisasi pasca operasi
dapat mempercepat fungsi peristaltik usus. Hal ini didasarkan pada struktur anatomi kolon di
mana gelembung udara bergerak dari bagian kanan bawah ke atas menuju fleksus hepatik,
mengarah ke fleksus spleen kiri dan turun kebagian kiri bawah menuju rektum. Menurut
Doenges (2000), bahwa mobilisasi dini yang berupa latihan di tempat tidur, berpindah ke
tempat tidur lainnya dapat merangsang peristaltik dan kelancaran flatus.
Demikian pula dengan pasien pasca operasi diharapkan dapat melakukan mobilisasi
sesegera mungkin, seperti melakukan gerakan kaki, bergeser di tempat tidur, melakukan
nafas dalam dan batuk efektif dengan membebat luka dengan jalinan kedua tangan di atas
luka operasi, dan teknik bangkit dari tempat tidur (Kiik, 2013).
Menurut Kiik (2013), dengan melakukan mobilisasi sesegera mungkin, hari
perawatan pasien akan lebih singkat dan komplikasi pasca operasi tidak terjadi. Akhirnya
lama rawat di rumah sakit akan memendek dan lebih murah, yang merupakan keuntungan
bagi rumah sakit dan pasien.
Dengan koordinasi gerakan tubuh merupakan fungsi terintegrasi dari sistem skeletal,
otot skeletal, dan system saraf. Karena ketiga sistem ini berhubungan erat dengan mekanisme
pendukung tubuh, system ini dapat dianggap sebagai satu unit fungsional (Potter dan Perry,
2006)
Menurut Kiik (2013), Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh pasca
operasi karena takut jahitan operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh.
Pandangan seperti ini jelas keliru karena justru jika setelah operasi dan pasien segera
bergerak maka akan lebih cepat merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan
lebih cepat kentut atau flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan penumpukan lendir
pada saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus. Tujuan
lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan menunjang fungsi
pernafasan optimal.
Berdasarkan hasil survey awal peneliti di RSUD Dr. Pirngadi Medan dari bulan Mei
2013 sampai dengan Juni 2013 sebanyak 346 orang yang pernah melakukan bedah abdomen
(Rekam Medik RSUD Dr. Pirngadi Medan,2013).
Mengingat pentingnya dilakukan mobilisasi dini pasien pasca bedah abdomen,
peneliti merasa tertarik untuk menyelidiki bagaimana persepsi dan perilaku pasien pasca
bedah abdomen tentang mobilisasi dini. Secara khusus peneliti ingin meneliti persepsi dan
perilaku pasien pasca bedah abdomen tentang mobilisasi dini di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka didapatkan rumusan masalahnya adalah
“
Bagaimana persepsi dan prilaku pasien pasca bedah abdomen tentang mobilisasi dini di
RSUD Dr. Pirngadi Medan ?”
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui persepsi dan prilaku pasien pasca bedah abdomen tentang
mobilisasi dini di RSUD Dr. Pirngadi Medan
2. Tujuan khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk :
a. Mengidentifikasi persepsi pasien pasca bedah abdomen tentang mobilisasi dini
oleh perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan
b. Mengidentifikasi perilaku pasien pasca bedah abdomen tentang mobilisasi dini
oleh perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan
4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Praktek Keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan akan digunakan oleh perawat di ruangan
untuk melakukan mobilisasi dalam artian bahwa pasien melakukan perawatan lanjut
di rumah.
2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan akan digunakan oleh pendidikan keperawatan agar
memberikan materi tentang mobilisasi dini pada mahasiswa
3. Bagi Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan akan dipergunakan sebagai bahan masukan untuk
penelitian selanjutnya, untuk meneliti persepsi dan perilaku pasien pasca bedah mayor
tentang mobilisasi dini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar tentang Persepsi
1.1.Pengertian Persepsi
Persepsi adalah objek-objek disekitar kita, kita tangkap melalui alat-alat indra dan
diproyeksikan pada bagian tertetu di otak sehingga kita dapat mengamati objek tersebut.
Persepsi berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh
organ-organ bantunya yang kemudia masuk kedalam otak (Sarwono, 2010).
1.2.Prinsip persepsi
Menurut Sarwono (2010) Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip yaitu :
1. Wujud dan Latar
Objek-objek yang kita amati disekitar kita selalu muncul sebagai wujud dengan halhal lainya sebagai latar (ground). Namun, tidak selalu perbedaan wujud dan latar sejelas itu.
Dalam gambar wujud dan latar, kita bias melihatnya sebagai dua wajah yang saling
berhadapan latar belakang putih atau hitam. Bentuk seperti ini dinamakan ambiguous figure
atau disebut juga multi stability dan sering terjadi sehingga terjadilah perbedaan persepsi
atau miskomunikasi.
2.
Pola Pengelompokkan
Dalam psikologi, cara manusia mengelompokkan apa yang dipersepsinya dengan
mengikuti hokum tertentu yang dinamakan hukum gestalt atau hukum pragnanz. Termasuk
di dalamnya adalah hukum kesamaan (law of similarity), hukum keutuhan (law of
contiguity) , dan hukum kedekatan (law of proximity)
3. Ketetapan
Teori gestalt juga mengemukakan bahwa dari proses belajarnya, manusia cenderung
akan mempersepsikan segala sesuatu sebagai sesuatu yabg tidak berubah, walaupun indra
kita sebetulnya menangkap adanya perubahan. Dalam persepsi ada empat ketetapan dasar
yang di kemukakan oleh psikologi gestalt, yaitu ketetapan warna, ketetapan bentuk,
ketetapan ukuran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi antar individu dan antar
kelompok yaitu : perhatian, set, kebutuhan sistem nilai, tipe kepribadian, dan gangguan
kejiwaan (Sarwono, 2010)
2. Konsep Dasar tentang Perilaku
2.1.Pengertian Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai
tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka
mempunyai aktifitas masing-masing. (Notoatmodjo, 2012)
Menurut Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini menjadi terjadi melalui
proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons,
maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau stimulus organisme respons.
Dalam teori Skiner dibedakan adanya dua respon yaitu Respondent respon, dan operant
respon.
a. Respondent respons atau flexi, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsanganrangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eleciting stimulalation
karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap.
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan berkembang
kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau
reinforcer, karena mencakup respon.
Menurut Notoatmodjo (2011) dilihat dari bentuk respon stimulus ini maka perilaku dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu perilaku tertutup dan perilaku terbuka.
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus
tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam atau praktik (practice) yang
dengan mudah diamati atau dilihat orang lain.
2.2.Domain perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan
dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada
karakteristik atau faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan.
Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda yang disebut
determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang
bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin
dan sebagainya.
2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2011).
Notoatmodjo (2011), membagi perilaku manusia kedalam 3 domain ranah atau
kawasan yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor).
Dalam perkembangannya, teori ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan
kesehatan yakni:
2.2.1. Pengetahuan
Menurut Noatmodjo (2011), pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, pengetahuan
yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkat yaitu : Tahu (know),
memahami (comprehension), aplikasi ( application), analisa (analysis) , sintesis (synthesis),
dan evaluasi.
2.2.2. Sikap
Sikap merupakan reksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek Tingkatan dari pembentuk sikap yakni: menerima (receiving), merespon
(responding), menghargai (valuing), bertanggung jawab (responsible).
2.2.3. Praktik atau Tindakan
Menurut Notoatmodjo, (2011)
untuk mewujudkan suatu sikap menjadi tindakan
nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tingkatan
praktik atau tindakan, yaitu: persepsi (persepstion), respon terpimpin (guided response),
mekanisme (mechanism), adopsi (adaption)
2.3.Pengukuran perilaku
Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara, secara
langsung, yakni dengan pengamatan (obsevasi), yaitu mengamati tindakan dari subyek dalam
rangka memelihara kesehatannya. Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode
mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaanpertanyaan terhadap
subyek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan obyek tertentu (Notoatmodjo,
2011).
2.4.Perilaku kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2011), perilaku kesehatan adalah sesuatu respon (organisme)
terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku pemeliharaan
kesehatan ini terjadi dari 3 aspek yaitu Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan
penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah senbuh dari sakit, Perilaku
peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat dan Perilaku gizi (makanan)
dan minuman.
3. Konsep Bedah Abdomen
3.1.Pengertian
Bedah abdomen adalah tindakan bedah besar yang menggunakan anestesi umum/ general
anestesi, yang merupakan salah satu bentuk dari pembedahan yang sering dilakukan
(Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Bedah abdomen merupakan prosedur pembedahan yang
melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsuhidajat dan
Jong, 2005). Ditambahkan pula bahwa tindakan bedah abdomen merupakan teknik sayatan
yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan obstetri
ginekologi.
3.2.Indikasi Bedah Abdomen
Indikasi dilakukan tindakan bedah abdomen menurut Smeltzer dan Bare (2001) adalah
karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: trauma abdomen (tumpul atau tajam), Peritonitis,
Perdarahan saluran pencernaan, sumbatan pada usus halus dan usus besar, masa pada
abdomen, perforasi usus, pancreatitis, cholelithiasis.
3.3.Macam-macam Bedah Abdomen
Adapun tindakan bedah abdomen yang sering dilakukan adalah laparatomi, gasterektomi,
kolesistoduodenostomi,
cholesistektomi,
hepatektomi,
splenektomi,
kolostomi,
dan
fistulektomi (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
Setiap pembedahan selalu berhubungan dengan insisi/sayatan yang merupakan trauma
atau kekerasan bagi penderita yang menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Salah satu
keluhan yang sering dikemukakan adalah nyeri (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
4. KONSEP MOBILISASI DINI
4.1.Pengertian Mobilisasi Dini
Menurut Kozier (2011) mobilisasi adalah kemampuan menggerakkan anggota tubuh
secara bebas dan normal sebagai hasil darienergi dan sebagai kebutuhan manusia.
4.2.Prinsip dan Tujuan Mobilisasi
Menurut Potter dan Perry (2006), mengemukakan bahwa mobilisasi mempunyai banyak
tujuan, seperti mengekspresikan emosi dengan gerakan non verbal, pertahan diri, pemenuhan
kebutuhan dasar, aktivitas hidup sehari-hari dan kegiatan rekreasi. Dalam mempertahankan
mobilisasi fisik secara optimal maka system saraf, otot, skeletal harus tetap utuh dan
berfungsi baik.
4.3.Manfaat Mobilisasi
Menurut Potter dan Perry (2006) keuntungan yang dapat diperoleh dari mobilisasi bagi
sistem tubuh adalahsebagai berikut :
a. Sistem Muskuloskeletal
Ukuran, bentuk, tonus, dan kekuatan rangka dan otot jantung dapat dipertahankan dengan
melakukan latihan yang ringan dan dapat ditingkatkan dengan melakukan latihan yang berat.
Dengan melakukan latihan, tonus otot dan kemampuan kontraksi otot meningkat. Dengan
melakukan latihan atau mobilisasi dapat meningkatkan fleksibilitas tonus otot dan range of
motion.
b. Sistem Kardiovaskular
Dengan melakukan latihan atau mobilisasi yang adekuat dapat meningkatkan denyut
jantung (heart rate), menguatkan kontraksi otot jantung, dan menyuplai darah ke jantung dan
otot. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) meningkat karena aliran balik
dari aliran darah. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) normal adalah 5
liter/menit, dengan mobilisasi dapat meningkatkan cardiac output sampai 30 liter/ menit.
c. Sistem Respirasi
Jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan oleh paru (ventilasi) meningkat. Ventilasi
normal sekitar 5-6 liter/menit. Pada mobilisasi yang berat, kebutuhan oksigen meningkat
hingga mencapai 20x dari kebutuhan normal. Aktivitas yang adekuat juga dapat mencegah
penumpukan sekret pada bronkus dan bronkiolus, menurunkan usaha pernapasan.
d. Sistem Gastrointestinal
Dengan beraktivitas dapat memperbaiki nafsu makan dan meningkatkan tonus saluran
pencernaan, memperbaiki pencernaan dan eliminasi seperti kembalinya mempercepat
pemulihan peristaltik usus dan mencegah terjadinya konstipasi serta menghilangkan distensi
abdomen.
e. Sistem Metabolik
Dengan latihan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme, dengan demikian
peningkatan produksi dari panas tubuh dan hasil pembuangan. Selama melakukan aktivitas
berat, kecepatan metabolisme dapat meningkat sampai 20x dari kecepatan normal. Berbaring
di tempat tidur dan makan diit dapat mengeluarkan 1.850 kalori per hari. Dengan beraktivitas
juga dapat meningkatkan penggunaan trigliserid dan asam lemak, sehingga dapat mengurangi
tingkat trigliserid serum dan kolesterol dalam tubuh.
f. Sistem Urinary
Karena aktivitas yang adekuat dapat menaikkan aliran darah, tubuh dapat memisahkan
sampah dengan lebih efektif, dengan demikian dapat mencegah terjadinya statis urinary.
Kejadian retensi urin juga dapat dicegah dengan melakukan aktivitas.
4.4.Rentang Gerak dalam Mobilisasi
Menurut Potter dan Perry (2006) Rentang gerak merupakan jumlah maksimum gerakan
yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh: Sagital, frontal, dan
transversal. Mobilisasi sendi disetiap potongan dibatasi oleh ligament, otot, dan kontruksi
Sendi. Beberapa gerakan sendi adalah spesifik untuk setiap potongan.
Menurut Carpenito (2000, yang dikutip oleh Rismalia, 2010), terdapat tiga rentang gerak
dalam mobilisasi dini yaitu :
a. Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian
dengan menggerakkan otot
orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan
menggerakkan kaki pasien.
b. Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan
otot-ototnya secara aktif misalnya pasien berbaring sambil menggerakkan kakinya.
c. Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan.
4.5.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi Dini
Menurut Kozier (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah :
a. Gaya Hidup
Istilah gaya hidup merupakan prinsip yang dapat dicapai sebagai landasan untuk
memahami perilaku seseorang yang melatarbelakangi sifat khas seseorang, terlihat dari
beberapa pengertian yang diungkapkan di bawah ini. Menurut Adler dalam Hall (1993)
mendefinisikan gaya hidup sebagai sistem utama yang memungkinkan berfungsinya
kepribadian individu sebagai keseluruhan yang menggerakkan bagian-bagiannya.
b. Proses Penyakit dan Injury
Proses penyakit adalah keadaan dimana seseorang sedang menderita suatu penyakit
tertentu. Keadaan tersebut mengakibatkan keadaan kesehatan seseorang menjadi terganggu
sehingga sulit melakukan aktivitas seperti biasa. Ada kalanya pasien harus istirahat di tempat
tidur karena menderita penyakit tertentu. Hal tersebut dikarenakan kondisi fisik pasien yang
lemah dan energi yang kurang menyebabkan pasien beristirahat di tempat tidur dan tidak
dapat melakukan mobilisasi.
c. Kebudayaan
Menurut Berger kebudayaan adalah produk manusia; produk itu lalu menjadi
kenyataan objektif yang kembali mempengaruhi yang menghasilkannya (Lawang, 1994).
Maksud pernyataan tersebut adalah bahwa manusia berposisi sebagai subyek yang
menghasilkan kebudayaan sebagai obyek. Tetapi setelah kebudayaan itu menjadi obyek,
dengan sendirinya ia akan mempengaruhi manusia dan kehidupan lingkungannya.
d. Tingkat Energi
Seseorang yang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau tenaga. Orang
yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan orang yang dalam kondisi
sehat. Untuk itu asupan makanan yang bergizi sangat diperlukan bagi orang yang sedang
sakit apalagi orang yang baru menjalani tindakan operasi agar energi atau tenaga orang
tersebut dapat kembali optimal sehingga dapat melakukan mobilitas sebagaimana yang
dianjurkan
4.6. Pergerakan dan Mobilisasi
Dorong klien untuk berbalik dari satu sisi ke sisi lain setidaknya setiap 2 jam.
Membalikkan posisi tubuh secara bergantian dapat meningkatkan ekspansi paru secara
maksimal karena paru-paru berada paling diatas. Hindari meletakkan bantal atau bantal
guling dibawah lutut karena tekanan pada pembuluh darah popliteal dapat mengganggu
sirkulasi darah ke dan dari ekstremitas bawah (Kozier, 2011)
Menurut Potter dan Perry (2006), Latihan Rentang Gerak Dalam Mobilisasi Dini terdiri
dari : Fleksi, Ekstensi, Adduksi, Abduksi, Supinasi, Pronasi, Dorsifleksi, Plantarfleksi,
Inversi, Eversi
4.7.Tahap-Tahap Mobilisasi Dini pada Pasien Paska Operasi
Untuk mencegah komplikasi pada pasien paska operasi, pasien harus melakukan
mobilisasi dini sesuai dengan tahapannya. Semakin cepat bergerak itu semakin baik, namun
ambulasi harus tetap dilakukan secara hati-hati (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Waher,
Salmond dan Pellino (2002, yang dikutip oleh Eldawati 2010), pada pasien dengan
keterbatasan beban pada tubuh, mulai latihan ambulasi dengan bantuan alat gerak.
Untuk meyakinkan pasien aman atau selamat selama latihan melangkah maka respon
kardiovaskular harus dikaji, karena latihan seperti berpindah atau turun naik tangga adalah
sebagian dari proses rehabilitasi dan membutuhkan pengkajian hemodinamik. Hal ini harus
diperhatikan, bahwa kondisi medis harus selalu stabil karena latihan tidak bisa dilakukan
pada kondisi kronis seperti Cronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) dan Coronary
Arteri Disease (CAD).
Tujuan tahapan ambulasi ini adalah untuk mencapai fungsi yang independen pada
ambulasi merupakan usaha aktif yang dilakukan oleh pasien.
Menurut Cetrione (2009, dalam Rismalia, 2010) tahap –tahap mobilisasi dini pasien
paska operasi meliputi:
a. Pada saat awal (6 sampai 8 jam setelah operasi), pergerakan fisik bisa dilakukan di
atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk dan
diluruskan, mengkontraksikan otot-otot termasuk juga menggerakkan badan lainnya,
miring ke kiri atau ke kanan.
b. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa
diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk di atas
tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerakgerakkan.
c. Pada hari kedua paska operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau
bangsal tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa
berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya ke toilet atau kamar
mandi sendiri. Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa segera
mungkin, hal ini perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien paska operasi untuk
mengembalikan fungsi pasien kembali normal.
Download