6 PEMBAHASAN 6.1 Variasi Parameter Fisika-kimia Perairan Kondisi parameter-fisika kimia perairan sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan, sekaligus menjadi faktor pembatas kehidupan biota karang dan ikan karang. Biota karang sebagai habitat ikan kerapu dapat mentolerir suhu tahunan maksimum sebesar 36-400C dan suhu minimum 180C; sedangkan salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran 2740 ‰ dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36‰ (Nybakken 1988; Thamrin 2006). Sementara, parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu, suhu berkisar antara 24-310C dan salinitas berkisar antara 30-33‰ (Lembaga Penelitian Undana 2006). Kedua nilai parameter ini berdasarkan hasil penelitian, baik di daerah reservasi maupun nonreservasi masih berada dalam kisaran yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan biota karang dan ikan kerapu. Peranan sirkulasi air (arus) dalam suatu perairan sangat penting bagi organisme yang hidup di dalamnya, termasuk bagi biota karang dan ikan karang. Peranan utama arus bagi organisme perairan adalah berhubungan dengan penyediaan oksigen dan makanan (Thamrin 2006). Bagi biota karang, penyuplai nutrient terbesar berasal dari zooxanthellae, namun arus diperlukan karang dalam memperoleh makanan dalam bentuk zooplankton dan oksigen serta dalam membersihkan permukaan karang dari sedimen (Thamrin 2006). Bagi biota ikan, pergerakan air merupakan salah satu faktor fisika yang berperan dalam proses rekruitmen yakni pada tahap penyebaran larva pelagik di perairan laut (Cowen 1991). Hasil pengukuran di lokasi penelitian menunjukkan terdapatnya pergerakan arus yang cukup dan cenderung mengarah ke barat. Hal ini berkaitan erat dengan angin musim tenggara dan angin musim timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan data. Cahaya matahari diperlukan karang dalam proses fotosintesis alga simbiotik zooxhantella yang merupakan penyuplai utama kebutuhan hidup karang (Thamrin 2006) . Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik sehingga diduga hal ini juga mempengaruhi 65 penyebarannya (Sukarno 1977). Penetrasi sinar matahari sangat dipengaruhi oleh kondisi kecerahan dan kekeruhan. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar dan semakin dalam bila perairan memiliki tingkat kecerahan yang tinggi (Thamrin 2006), sebaliknya akan semakin kecil dan semakin dangkal bila perairan memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecerahan dan kekeruhan masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang sesuai dengan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Kepmen. LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut) yakni masing-masing sebesar >5m dan <5 NTU, sehingga dapat disimpulkan bahwa cukup tersedia cahaya matahari untuk berlangsungnya fotosintesis bagi kelangsungan hidup hewan karang. Nilai kecerahan di daerah reservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hal ini diduga berkaitan erat dengan letak daerah reservasi yang lebih jauh dari daratan utama (teluk Jakarta) dan lokasi pemukiman sebagai sumber sedimentasi dan padatan tersuspensi yang sangat mempengaruhi kecerahan suatu perairan. Derajat keasaman (pH) air adalah faktor lain yang ikut mempengaruhi pertumbuhan biota perairan. Menurut baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, kisaran pH air laut bagi biota adalah 7-8,5. Sementara, Lembaga Penelitian Undana (2006) menyimpulkan bahwa kisaran pH yang cocok bagi pertumbuhan ikan kerapu adalah 7,8-8, tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan lebih tingginya kandungan ammonium di zona pemukiman (non-reservasi) dibandingkan dengan di zona inti (reservasi). Hal ini dimungkinkan karena tingginya buangan limbah organik di perairan kedua pulau yang terletak di zona pemukiman. Sumber buangan limbah organik tersebut diduga terutama berasal dari sisa pakan ikan bandeng di karamba yang ada di Gosong Pramuka dan sisa pakan dari karamba jaring apung yang banyak terdapat di Pulau Panggang, serta buangan limbah rumah tangga dari kedua pulau yang memiliki jumlah penduduk cukup padat. Secara umum, hasil pengukuran terhadap parameter fisika-kimia perairan menunjukkan variasi yang relatif kecil dan homogen antar stasiun pengamatan 66 serta masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang dan ikan karang. 6.2 Variasi Karakteristik Habitat Bentik Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik habitat bentik, baik berupa komposisi tutupan komponen bentik maupun keanekaragaman karang di daerah reservasi (zona inti) dan non-reservasi (zona pemukiman) tidak berbeda secara signifikan. Kondisi habitat bentik terlihat sangat bervariasi di stasiun pengamatan di masing-masing zona, sehingga tidak mencerminkan adanya perbedaan yang signifikan sesuai dengan status perlindungannya. Penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian sejenis sebelumnya di Tanzania yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan karakteristik habitat bentik (tutupan karang hidup, karang mati, batu, patahan karang, makroalga, lamun, karang lunak dan sponge) antara kawasan reservasi (Mafia Island Marine Park-Tanzania) dengan kawasan perairan sekitarnya, yang aktifitas penangkapannya terjadi secara intensif (Kamukuru et al. 2004). Di luar dugaan, penutupan karang mati di daerah reservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Penutupan karang mati berdasarkan hasil penelitian tampak didominasi oleh karang mati berupa patahan karang, hal yang menunjukkan bahwa kematian dan degradasi terumbu karang di lokasi penelitian lebih disebabkan karena kerusakan secara fisik. Berdasarkan pengamatan di lapangan diduga bahwa kerusakan fisik terumbu karang di lokasi penelitian terutama disebabkan oleh faktor antropogenik, seperti aktivitas penangkapan ikan yang merusak terutama menggunakan alat tangkap muro-ami, penambangan pasir dan batu karang, dampak lego jangkar perahu/kapal (anchoring) dan dampak aktivitas penyelaman yang tidak profesional. Penangkapan ikan menggunakan muro-ami walaupun diyakini berdampak pada kerusakan terumbu karang, saat ini masih marak digunakan di perairan Kepulauan Seribu. Aktani (2003) menyimpulkan bahwa tutupan karang mati berupa patahan karang yang mendominasi tutupan substrat bentik di zona inti dan zona pemanfaatan TNL-KS merupakan dampak dari aktifitas penangkapan ikan menggunakan bom (blast fishing) yang marak dilakukan sebelum tahun 1995, saat 67 dimana status kawasan Kepulauan Seribu belum menjadi taman nasional. Namun, mengingat “era” maraknya penggunaan bom sudah sangat lama berlalu seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat, serta secara visual tampak bahwa patahan karang yang ditemukan masih tergolong “baru” (lihat Lampiran 5), maka sangat kecil kemungkinan bahwa pengeboman ikan menjadi faktor utama yang menyebabkan kerusakan terumbu karang di lokasi penelitian saat ini. Kategori tutupan karang berdasarkan Gomez dan Yap (1988) menunjukkan bahwa di daerah reservasi ditemukan 3 stasiun yang memiliki kategori “Sedang” (timur P. KA Bira, utara dan selatan P. Belanda) dan 1 stasiun memiliki kategori “Baik” (barat P. KA Bira), sedangkan di daerah non-reservasi ditemukan 2 stasiun dengan kategori “Buruk” (timur dan utara P. Pramuka) dan 2 stasiun memiliki kategori “sedang” (barat dan selatan P. Panggang). Penilaian secara kualitatif ini menunjukkan bahwa kondisi tutupan karang di daerah reservasi masih sedikit lebih baik dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hasil berbeda dilaporkan Aktani (2003), yakni kondisi tutupan karang di stasiun pengamatan P. KA Bira dan P. Putri (zona inti/daerah reservasi) berada dalam kategori “buruk”, sedangkan tutupan karang di P. Melinjo dan P. Genteng (zona pemanfaatan intensif/daerah non-reservasi) masuk dalam kategori “sedang”. Adanya perbedaan hasil ini diduga terjadi karena yang pertama sebagai akibat terjadinya perbaikan kondisi tutupan karang di daerah reservasi, dan dugaan kedua disebabkan adanya perbedaan titik sampling. Rerata persen tutupan alga stasiun pengamatan yang terletak di daerah nonreservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan rerata persen tutupan alga di daerah reservasi. Keberadaan alga yang cukup tinggi mencirikan kondisi terumbu karang yang mengalami degradasi (Szmant 2002). Szmant (2002) selanjutnya menjelaskan bahwa selain faktor pengkayaan nutrient (nutrient enrichment) yang dapat menjadi penyebab kematian karang dan peningkatan tutupan alga, faktor utama lain adalah menurunnya kelimpahan ikan herbivor akibat penangkapan dan menurunnya kelimpahan bulu babi akibat penyakit; stress dan kematian karang akibat perubahan suhu (contoh: pemutihan karang/coral bleaching) sehingga membentuk lebih banyak lagi substrat bagi kolonisasi alga; sedimentasi yang dapat mengancam karang dewasa dan menghambat terjadinya rekruitmen; serta 68 meningkatnya predator karang sebagai dampak sekunder terjadinya overfishing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nutrient berupa ammonium secara rerata terlihat lebih tinggi di daerah non-reservasi dibandingkan dengan daerah reservasi, disamping itu, status pengelolaannya sebagai zona pemukiman sangat memungkinkan terjadinya intensitas penangkapan yang tinggi sehingga menurunkan jumlah ikan herbivor yang memiliki peran ekologi sangat penting dalam mengontrol pertumbuhan alga. Hasil analisis kelompok terhadap variabel habitat bentik menunjukkan bahwa tidak terdapat pola yang menunjukkan adanya hubungan spesifik antara karakteristik habitat bentik dengan status pengelolaan atau zonasi. Kelompok yang terbentuk adalah berdasarkan kualitas habitat bentik, hal ini terlihat dari variabel yang mencirikan masing-masing kelompok. Hasil ini sejalan dengan Estradivari et al. (2007) yang tidak menemukan pola yang mengindikasikan hubungan antarlokasi pengamatan dengan struktur komunitas karang dan menekankan bahwa pola pemanfaatan terumbu karang dan penzonasian taman nasional di Kepulauan Seribu pada dasarnya tidak memberikan pengaruh besar terhadap struktur komunitas karang. Starr et al. (2004) menyimpulkan hasil yang sama walaupun penelitian dilakukan di lokasi berbeda, yakni di daerah reservasi laut di Central Californial. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa karakteristik habitat di lokasi penelitian bervariasi tidak berdasarkan status reservasi dan nonreservasi. Hasil berbeda dikemukakan oleh Aktani (2003) yang menemukan adanya kecenderungan pengelompokan habitat bentik berdasarkan lokasi geografis yang kemungkinan berhubungan dengan pengaruh siklus monsoon sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi tutupan lifeform antara sisi barat dan sisi timur Kepulauan Seribu. 6.3 Variasi Karakteristik Komunitas Kerapu Hasil uji statistik terhadap beberapa variabel ekologi komunitas kerapu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan beberapa variabel secara spasial antara daerah reservasi dengan non-reservasi, juga terlihat adanya perbedaan signifikan secara temporal antara hasil sensus visual bulan Mei dan Juni. Perbedaan secara temporal diduga berkaitan dengan variasi akibat adanya perbedaan musim. 69 Bulan Mei bertepatan dengan berlangsungnya musim tenggara yang dikenal masyarakat setempat sebagai musim sampah. Pada musim ini, berbagai jenis sampah mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah pabrik bergerak mengikuti angin musim tenggara dari Teluk Jakarta menuju kawasan perairan Kepulauan Seribu. Sampah-sampah ini bahkan terlihat mencapai perairan P.Belanda (zona inti) pada saat sampling dilakukan. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) perairan pada bulan Mei juga menunjukkan adanya kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran pada bulan Juni (Lampiran 1) yang diduga berkaitan dengan pergerakan massa air dari arah Teluk Jakarta pada bulan Mei. Variasi temporal yang terjadi terhadap kelimpahan dan keanekaragaman komunitas ikan kerapu diduga sebagai dampak dari respon komunitas ikan kerapu terhadap perubahan kualitas perairan yang terjadi. Variabel keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu hasil sensus visual (jumlah spesies, indeks keanekaragaman dan densitas) terlihat berbeda secara signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun perbedaan tersebut hanya pada pengamatan di bulan Juni. Berdasarkan nilai rerata terlihat bahwa kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi kira-kira dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi, demikian pula halnya dengan indikator keanekaragaman (jumlah spesies dan indeks keanekaragaman Shannon) terlihat lebih tinggi di daerah reservasi dibandingkan dengan daerah non-reservasi. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengkaji komunitas ikan karang target di daerah reservasi (atau daerah perlindungan laut) dan di daerah yang tereksploitasi (Watson & Ormond 1994; Starr et al. 2004; Kamukuru et al. 2004; Unsworth et al. 2007). Sebagai contoh, Watson & Ormond 1994 melaporkan bahwa kelimpahan Lutjanus fulfivlamma dan L. ehrenbergi di kawasan taman nasional di Kenya lebih tinggi sebesar 170 kali dibandingkan dengan perairan sekitarnya dimana aktivitas penangkapan berlangsung secara intensif; Starr et al. 2004 menyebutkan bahwa densitas beberapa jenis rockfish di daerah reservasi di Central California lebih tinggi sebesar 12-35% dibandingkan dengan kawasan di luar daerah reservasi, walaupun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik; Kamukuru et al. 2004 menggambarkan bahwa densitas Lutjanus fulfivlamma di dalam sebuah kawasan taman nasional di Tanzania 4 kali lebih besar, dan biomassa 70 6 hingga 10 kali lebih besar dibandingkan dengan perairan sekitarnya yang tereksploitasi berat akibat tingginya aktivitas penangkapan; sedangkan Unsworth et al. (2007) menemukan bahwa setelah 5 tahun dilindungi dan berstatus sebagai kawasan larang ambil (no-take area), populasi ikan kerapu di dalam kawasan yang berada di Taman Nasional Laut Wakatobi ini menjadi 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitar dimana aktivitas penangkapan tidak terlalu intensif, dan hampir 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perairan sekitarnya dimana aktivitas penangkapan berlangsung sangat intensif. Sementara itu, variabel kelimpahan stok ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu (CPUE) secara stastitik tidak berbeda nyata antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun rerata nilai CPUE di daerah reservasi lebih tinggi sebesar 67-79% dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Demikian pula halnya dengan komposisi ukuran ikan kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan, secara statistik tidak terdapat perbedaan distribusi ukuran ikan kerapu antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun terlihat bahwa kelas ukuran kerapu yang tercacah di daerah reservasi lebih beragam dibandingkan dengan di daerah non-reservasi, serta ikan kerapu yang tercacah di daerah reservasi didominasi oleh ikan berukuran yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Namun demikian hasil berbeda didapat dari pengukuran panjang total (total length) ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu, dimana rerata panjang ikan di daerah non-reservasi (30.57 cm) tidak berbeda jauh dengan rerata panjang ikan di daerah reservasi (30.44). Di Cape Canaveral, Florida, Johnson et al. (1999) mempelajari populasi ikan dengan menggunakan alat tangkap trammel net di daerah penangkapan dan daerah non-penangkapan yang telah ditetapkan sebagai daerah reservasi selama 24-28 tahun. Hasilnya adalah ikan yang tertangkap di daerah non-penangkapan lebih banyak dan berukuran lebih besar dibandingkan dengan di daerah penangkapan, nilai CPUE di daerah nonpenangkapan 2,6 kali lebih besar dibandingkan dengan di daerah penangkapan. Dalam penelitian ini terlihat kecenderungan perbedaan karaketristik populasi berdasarkan kedalaman perairan yang terlihat dari hasil sensus visual dan hasil tangkapan bubu. Pada perairan yang lebih dangkal (3-10 m), jenis-jenis kerapu didominasi oleh kerapu balong (Genus Cephalopolis dan Epinephelus) yang 71 berukuran kecil dan memiliki nila ekonomi lebih rendah, sedangkan di perairan yang lebih dalam (15-25 meter), jenis kerapu didominasi oleh kerapu sunu (Genus Plectropomus) yang berukuran lebih besar dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini diduga berkaitan dengan siklus hidup jenis-jenis kerapu pada umumnya, dimana ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Selain itu, lebih intensifnya aktivitas penangkapan di perairan yang lebih dangkal menyebabkan jenis-jenis ikan berukuran besar dan memiliki nilai ekonomi tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk tertangkap. Disamping jenis kerapu, hasil penelitian juga mengindikasikan tingginya kondisi kelimpahan jenis ikan karang lainnya di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hal ini terlihat dari variabel jumlah tangkapan sampingan (by catch) alat tangkap bubu yang berbeda secara signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi. Hasil tangkapan sampingan alat tangkap bubu terdiri dari berbagai jenis ikan karang, seperti: ekor kuning (Caesionidae), lencam (Lethrinidae), swanggi (Holocentridae), baronang (Siganidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), biji nangka (Mulidae), pasir-pasir (Nemipteridae), kakaktua (Scaridae) dan jenis ikan karang lainnya (Lampiran 7). Hasil analisis multivariat menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) terhadap variabel populasi ikan kerapu menunjukkan perbedaan antara karakteristik komunitas ikan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi. Berdasarkan analisis kelompok terlihat bahwa komunitas ikan kerapu di daerah reservasi memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Selain itu, ukuran kerapu yang lebih besar ditemukan lebih melimpah di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Perbedaan kondisi keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu antara daerah reservasi dan non-reservasi dalam penelitian ini, pada dasarnya merupakan gambaran dari dampak penangkapan dan dampak reservasi terhadap stok ikan kerapu di lokasi penelitian. Russ (1991a) menyatakan bahwa salah satu dampak langsung penangkapan pada level populasi yang paling sederhana untuk dideteksi adalah penurunan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) yang pada akhirnya menurunkan total tangkapan. Lebih jauh Russ (1991a) menjelaskan bahwa 72 kematian akibat penangkapan sering terjadi secara efektif pada individu berukuran besar dan lebih tua pada suatu populasi (sebagian besar karena banyak alat tangkap dirancang untuk secara selektif menangkap ikan ukuran tersebut), sehingga dengan demikian penangkapan berdampak pada struktur ukuran dan umur populasi. 6.4 Keterkaitan Karakteristik Habitat dan Komunitas Kerapu Hasil analisis kelompok terhadap variabel komunitas kerapu menunjukkan bahwa stasiun pengamatan menunjukkan kemiripan berdasarkan status perlindungan, berbeda dengan hasil analisis kelompok terhadap variabel habitat bentik yang menunjukkan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan kemiripan kualitas habitat bentik. Hal ini mengindikasikan bahwa status perlindungan berperan penting dalam menentukan kondisi komunitas ikan kerapu di lokasi penelitian. Hasil analisis korelasi selanjutnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antara kelimpahan ikan kerapu dengan status perlindungan. Selain itu terdapat juga korelasi yang cukup kuat dan cukup signifikan antara tutupan karang hidup dengan jumlah spesies dan indeks keanekaragaman ikan kerapu. Hasil ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian lebih dipengaruhi oleh status perlindungan yang merepresentasikan perbedaan tekanan penangkapan, sedangkan keanekaragaman ikan kerapu dipengaruhi oleh kondisi tutupan karang hidup. Beberapa penelitian sebelumnya menyimpulkan hasil yang sama dengan penelitian ini (Tuya et al. 2000; May 2003; Starr et al. 2004; Unsworth et al. 2007; dan Chabanet et al. 1997). Tuya et al. (2000) menemukan bahwa lokasi studi menunjukkan kemiripan yang lebih besar berdasarkan status perlindungan dibandingkan dengan variabel lain, dan menyimpulkan bahwa tekanan penangkapan merupakan penyebab utama menurunnya populasi spesies target di San Juan Islands, Washington. May (2003) juga menemukan bahwa aktivitas penangkapan menjadi penyebab utama penurunan jumlah ikan piscivore dan ikan komersial di sekitar lokasi studi di Pulau Kaledupa, Wakatobi. Sementara itu, Starr et al. (2004) menyimpulkan bahwa karakteristik habitat hanya menjelaskan 4% dari keragaman densitas ikan di daerah reservasi Central California, USA. Senada dengan hal ini, Unsworth et al. (2007) di Taman Nasional Laut Wakatobi 73 menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara kelimpahan kerapu dengan karakteristik habitat bentik. Walaupun spesies kerapu dipengaruhi oleh kualitas dan kompleksitas habitat, namun terdapat variabel lain yang berpengaruh lebih kuat, yakni tekanan penangkapan. Sementara, Chabanet et al. (1997) menemukan bahwa variabel substrat bentik karang di Reunion Island , Laut Hindia berkorelasi erat dengan kekayaan spesies dan keanekaragaman ikan karang. Berbeda dengan hasil penelitian ini, Edgar and Barret (1997) menyimpulkan bahwa lokasi studi di reservasi laut Tasmania menunjukkan kemiripan yang lebih besar berdasarkan parameter abiotik dibandingkan dengan status perlindungan. Sejalan dengan itu, Friedlander et al. (2003) mencatat bahwa ekspos gelombang, tutupan karang hidup dan kompleksitas habitat menjadi parameter lingkungan yang penting secara ekologi bagi kelompok ikan karang di Hawaii dan parameter ini harus dipertimbangkan dalam mendesain reservasi laut di masa mendatang. Sementara, Kamukuru et al. (2004) menemukan bahwa terdapat peningkatan signifikan kelimpahan dan biomassa ikan dengan meningkatnya kompleksitas dan tutupan karang keras di Mafia Island Marine Park, Tanzania. Beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang berbeda untuk hubungan antara populasi ikan karang dan habitatnya adalah penggunaan kumpulan taksonomi dan kumpulan ikan yang berbeda serta keragaman metode yang digunakan. Selain itu, hubungan antara populasi ikan dan substrat juga berbeda diantara habitat dan kawasan karang serta kawasan biogeografi yang berlainan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke dan Speight 2005). 6.5 Efektivitas Ekologi Zona Inti Kawasan reservasi laut dapat berfungsi sebagai penyangga untuk menghadapi kerusakan yang diakibatkan oleh interaksi antara eksploitasi dan kondisi lingkungan yang ekstrim (Bohnsack 1993 dalam Starr et al. 2004), sekaligus sebagai pelindung dari resiko ketidakpastian pengelolaan perikanan (Lauck et al. 1998 dalam Starr et al. 2004). Lebih lanjut kawasan ini dapat membantu dalam keberlanjutan dan peningkatan kondisi stok perikanan (Murray et al.1999). 74 Beberapa studi menunjukkan dampak manfaat suatu kawasan reservasi laut terhadap populasi ikan dan invertebrata. Dampak tersebut termasuk meningkatnya kelimpahan dan meningkatnya ukuran dan umur individu dari populasi ikan yang menjadi target penangkapan (Starr et al. 2004). Kawasan larang ambil dapat juga meningkatkan kualitas habitat, seperti pemulihan karang (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004), keanekaragaman spesies ( Russ and Alcala 1996) dan stabilitas komunitas (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004). Dampak suatu kawasan reservasi dapat mencapai kawasan di luar batas reservasi melalui limpahan (spillover) individu dewasa dan/atau larva ke daerah penangkapan (fishing ground) (Russ 1991b; Castilla and Fernandez 1998 dalam Starr et al. 2004). Zona inti III –TNL-Kepulauan Seribu yang mencakup Pulau Belanda dan Pulau Kayu Angin Bira merupakan kawasan larang ambil (tertutup bagi aktivitas ekstraksi). Kawasan ini hanya diperbolehkan untuk aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan pendidikan. Penetapan kawasan zona inti III terutama bertujuan untuk melindungi ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut dimana berbagai jenis ikan karang, termasuk jenis-jenis kerapu turut menjadi bagian dari ekosistem tersebut. Analisis univariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik habitat bentik di zona inti tidak berbeda secara signifikan dengan di zona pemukiman, dan rerata penutupan karang mati di zona inti terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di zona pemukiman. Lebih lanjut analisis multivariat menggunakan analisis kelompok tidak menunjukkan adanya pengelompokan habitat bentik menurut zonasi, yang juga berarti status perlindungan yang berlaku di zona inti tidak memberikan dampak bagi kondisi terumbu karang . Berdasarkan kedua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan zona inti III tidak efektif dalam mencapai tujuan penetapannya, yakni perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang. Status reservasi yang disandang tidak berdampak pada perbaikan kualitas habitat, seperti pemulihan karang (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004) di kawasan tersebut. Karakteristik komunitas kerapu berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara zona inti dan zona pemukiman, walaupun untuk beberapa 75 variabel, tidak cukup fakta untuk menunjukkan perbedaan diantara ke dua zona tersebut. Namun dapat disimpulkan secara umum bahwa di zona inti ditemukan keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu yang lebih tinggi dibandingkan dengan di zona pemukiman. Kelimpahan kerapu di zona inti terutama didominasi oleh individu yang berukuran lebih besar, menunjukkan struktur komunitas yang lebih matang (Unsworth et al. 2007). Berdasarkan karakteristik populasi tersebut terlihat bahwa zona inti cukup efektif dalam mempertahankan dan memelihara keanekaragaman dan kelimpahan populasi kerapu, terutama dari tekanan penangkapan. Namun demikian, beberapa variabel populasi kerapu berdasarkan hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi, seperti distribusi frekuensi ukuran dan CPUE. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun cukup efektif, namun pengelolaan kawasan zona inti belum mencapai level optimal. Starr et al. (2004) mengajukan beberapa kemungkinan alasan kenapa suatu area reservasi laut tidak menunjukkan performa yang bagus dan optimal, yakni: 1) kawasan reservasi terlalu kecil untuk terjadinya akumulasi biomassa atau mempertahankan populasi spesies target atau spesies langka, 2) terjadinya limpahan (spillover) dalam intensitas tinggi dari area reservasi ke area nonreservasi, 3) proses pemulihan akibat eksploitasi berlebihan di area reservasi masih berlangsung, 4) pencurian ikan merupakan faktor yang signifikan di lokasi reservasi, atau 5) dampak dari eksploitasi oleh manusia dulunya telah menyebabkan perubahan fungsi ekosistem dalam skala luas yang mempengaruhi area reservasi dan non-reservasi secara bersamaan. Untuk kasus zona inti di lokasi penelitian, kemungkinan pertama cukup beralasan jika dilihat dari ukuran zona inti yang tidak terlalu luas. Jenis ikan kerapu memiliki home range (jangkauan habitat) yang sangat luas. Kebanyakan spesies kerapu pada saat-saat tertentu melakukan migrasi ke lokasi pemijahan yang jaraknya bisa mencapai ratusan mil sehingga peluang untuk tertangkap pada saat bermigrasi dan pada saat melakukan pemijahan massal (spawning aggregation) cukup besar. Meskipun perlu pembuktian lebih lanjut, dari ukuran ikan hasil tangkapan menggunakan bubu terlihat bahwa jumlah ikan berukuran besar terlihat tidak berbeda jauh diantara kedua zona, menunjukkan bahwa 76 terdapat kemungkinan kerapu berukuran besar tidak lagi banyak ditemukan di zona inti. Untuk mengetahui apakah kemungkinan kedua juga terjadi di lokasi studi, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melihat produktifitas tangkapan di perairan sekitar yang berbatasan dengan zona inti. Kemungkinan ketiga, keempat dan kelima juga cukup beralasan terjadi di zona inti mengingat sejarah eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Kepulauan Seribu yang sempat didominasi oleh praktek-praktek penangkapan yang bersifat merusak (destructive fishing) seperti penggunaan bom dan potas serta masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di dalam kawasan zona inti. Kondisi tutupan karang mati yang tinggi di zona inti menunjukkan bahwa tekanan lingkungan masih cukup besar terjadi di dalam kawasan ini. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan hasil komunikasi pribadi dengan beberapa orang nelayan dan staf Balai TNL-KS, tidak efektifnya zona inti dalam melindungi ekosistem terumbu karang serta belum optimalnya dampak yang diharapkan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu, terutama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Belum ada pengawasan yang intensif dan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran aturan di kawasan zona inti. Selama sampling berlangsung di zona inti, beberapa kali terlihat tindakan pelanggaran di dalam kawasan zona inti berupa aktivitas penangkapan menggunakan berbagai alat tangkap seperti: muro-ami, bubu kompresor dan pancing; 2) Kesadaran masyarakat akan manfaat zona inti masih rendah. Masih banyak nelayan yang tidak mengetahui tentang keberadaan zona inti, sedangkan beberapa nelayan yang mengetahui banyak yang tidak mengerti apa tujuan dan manfaatnya; 3) Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan, termasuk dalam hal pengawasan masih rendah; 4) Zona inti yang ada memang tidak dirancang untuk keperluan pengelolaan perikanan spesies target tertentu, khususnya perikanan kerapu, sehingga tidak mempertimbangkan aspek bio-ekologi ikan kerapu (seperti: daerah pemijahan massal dan daerah asuhan) sebagaimana kriteria penetapan zona inti yang 77 gunakan oleh Departemen Kehutanan (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional). Gell and Roberts (2002) menekankan bahwa kunci untuk mendapatkan dampak manfaat dari sebuah reservasi adalah proteksi dilakukan di tempat dan waktu dimana spesies target sangat rentan terhadap aktivitas penangkapan. Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996), termasuk jenis-jenis kerapu (Claydon 2004). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997). 6.6 Implikasi Pengelolaan Ada 2 hal pokok dari hasil penelitian ini yang berimplikasi pada saran dan rekomendasi bagi pengelolan perikanan kerapu di lokasi penelitian, yaitu: 1) upaya untuk menekan intensitas penangkapan melalui penutupan suatu kawasan akan berdampak signifikan terhadap peningkatan kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian; 2) zona inti yang sudah ada cukup efektif dalam mempertahankan keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di dalam kawasan, namun relatif belum optimal. Berdasarkan hasil tersebut penelitian ini menyarankan 2 hal sebagai bagian dari upaya pengelolaan perikanan kerapu berbasis ekologi di perairan Kepulauan Seribu, yaitu: 1) Penguatan pengelolaan zona inti yang sudah ada untuk meningkatkan efektivitas zona inti dan memberikan dampak manfaat bagi komunitas dan habitat ikan kerapu, dengan cara: a) Melakukan pengawasan secara intensif dan penegakan hukum secara tegas, seperti: melakukan patroli rutin dan menindak setiap pelanggaran yang terjadi dalam kawasan zona inti. b) Melakukan sosialisasi dan penyadaran masyarakat, seperti: memasang papan pengumuman yang berisikan peta lokasi dan aturan yang berlaku dalam zona inti di sentra-sentra pemukiman nelayan, serta memasang tanda batas yang jelas di lokasi zona inti. 78 c) Melibatkan masyarakat dalam sistem pengelolaan, terutama dalam hal pengawasan. Pelibatan masyarakat dapat membantu keterbatasan pengelola taman nasional dalam hal sumberdaya dan anggaran. d) Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan untuk perbaikan pengelolaan di masa mendatang. 2) Mengidentifikasi dan memetakan lokasi dan waktu pemijahan massal (spawning aggregation) spesies kerapu sebagai salah satu dasar pertimbangan bagi pengelolaan perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu.