BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Subjective well-being Subjective well-being merupakan bagian dari happiness dan Subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008). Ada juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang sama (Snyder, 2007) akan tetapi lebih banyak peneliti yang menggunakan istilah subjective well-being (Eid & Larsen, 2008). 2.1.1 Definisi Subjective well-being Subjective well-being menunjukkan kepuasan hidup dan evaluasi terhadap domain-domain kehidupan yang penting seperti pekerjaan, kesehatan dan hubungan. Termasuk didalamnya emosi mereka, seperti keceriaan dan keterlibatan dan pengalaman emosi yang negatif, seperti kemarahan, kesedihan, dan ketakutan yang sedikit. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah nama yang diberikan untuk pikiran dan perasaan yang positif terhadap seseorang (Diener, 2008). Dalam penelitian ini subjective well-being dijelaskan sebagai evaluasi subyektif seseorang mengenai kehidupannya, yang mencakup kepuasan terhadap hidupnya, tingginya efek positif dan rendahnya efek negatif. 8 2.1.2 Dimensi subjective well-being Diener (1994) menyatakan bahwa subjective well-being memiliki 3 bagian penting, pertama merupakan penilaian subyektif berdasarkan pengalamanpengalaman individu, kedua mencakup penilaian ketidakhadiran faktor-faktor negatif, dan ketiga penilaian kepuasan global. Diener (1994) menyatakan adanya 2 komponen umum dalam subjective wellbeing yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif. a. Dimensi Kognitif Kepuasan hidup (life satisfaction) merupakan bagian dari dimensi kognitif dari subjective well-being. Life Satisfaction (Diener, 1994) merupakan penilaian kognitif seseorang mengenai hidupnya, apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan baik. Ini merupakan perasaan cukup, damai dan puas dari kesenjangan antara keinginan dan kebutuhan dengan pencapaian dan pemenuhan. Campbell, Converse dan Rogers (dalam Diener, 1994) mengatakan bahwa komponen kognitif ini merupakan kesenjangan yang dipersepsikan antara keinginan dan pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak. Dimensi kognitif subjective well-being ini juga mencakup area kepuasan/domain satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan dan waktu luang. b. Dimensi Afektif Dimensi dasar dari subjective well-being adalah afek, dimana didalamnya termasuk mood dan emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang 9 bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau tidak (Diener, 2003). Dimensi afek ini mencakup afek positif yaitu emosi positif yang menyenangkan dan afek negatif yaitu emosi dan mood yang tidak menyenangkan dimana kedua afek ini berdiri sendiri dan masing-masing memiliki frekuensi dan intensitas (Diener, 2000). Diener & Lucas 2000 mengatakan dimensi afektif ini merupakan hal yang sentral untuk subjective well-being. Dimensi afek memiliki peranan dalam mengevaluasi well-being karena dimensi afek memberikan kontribusi perasaan menyenangkan dan perasaaan tidak menyenangkan pada dasar kontinual pengalaman personal. Kedua afek berkaitan dengan evaluasi seseorang karena emosi muncul dari evaluasi yang dibuat oleh orang tersebut. Afek positif meliputi simptom-simptom antusiasme, keceriaaan, dan kebahagiaan hidup. Afek negatif merupkan kehadiran simptom yang menyatakan bahwa hidup tidak menyenangkan (Synder, 2007). Dimensi afek ini menekankan pada pengalaman emosi menyenangkan baik yang pada saat ini sering dialami oleh seseorang ataupun hanya berdasarkan penilaian (Diener, 1984). Diener (1984) juga mengungkapkan bahwa keseimbangan afek merujuk kepada banyaknya perasaan positif yang dialami dibandingkan dengan perasaan negatif. Diener (1994) kepuasan hidup dan banyaknya afek positif dan negatif dapat saling berkaitan, hal ini disebabkan oleh 10 penilaian seseorang terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah, dan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Sekalipun kedua hal ini berkaitan, namun keduanya berbeda kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang secara menyeluruh sedangkan afek positif dan negatif terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang dialami. 2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being a. Perbedaan jenis kelamin Shuman (Eddington dan Shuman, 2008) menyatakan penemuan menarik mengenai perbedaan jenis kelamin dan subjective well-being. Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini, tetapi pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global yang sama. Lebih lanjut Shuman menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena wanita mengakui adanya perasaan tersebut sedangkan pria menyangkalnya. Penelitian yang dilakukan di negara Barat menunjukkan bahwa terdapat sedikit perbedaan kebahagiaan antara pria dan wanita (Edington dan Shuman, 2008). Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan subjective well-being signifikan antara pria dan wanita. b. Tujuan Diener (dalam Carr, 2005) menyatakan bahwa orang-orang merasa bahagia ketika mereka mencapai tujuan yang dinilai tinggi dibandingkan dengan 11 tujuan yang dinilai rendah. Carr (2004) menyatakan bahwa semakin terorganisir dan konsisten tujuan dan aspirasi seseorang dengan lingkungannya maka ia akan semakin bahagia, dan orang yang memiliki tujuan yang jelas akan lebih bahagia. c. Agama dan Spiritualitas Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum orang yang religius cenderung untuk memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi dan lebih spesifik. Patisipasi dalam pelayanan religius, afiliasi, hubungan dengan Tuhan dan berdoa dikaitkan dengan well-being yang lebih tinggi. Pengalaman keagamaan menawarkan kebermaknaan hidup, termasuk kebermaknaan pada masa krisis (Pollner dalam Eddington & Shuman, 2008). Carr (2004) juga menyatakan bahwa alasan mengikuti kegiatan keagamaan berhubungan dengan subjective well-being, system kepercayaan keagamaan membantu kebanyakan orang dalam menghadapi tekanan dan kehilangan dalam siklus kehidupan, memberikan optimisme bahwa dalam kehidupan selanjutnya masalah-masalah yang tidak bisa diatasi saat ini akan dapat diselesaikan. d. Kualitas Hubungan Sosial Penelitian yang dilakukan oleh Seligman (Dalam Diener & Scollon, 2003) menunjukkan bahwa semua orang yang paling bahagia memiliki kualitas hubungan sosial yang dinilai baik. Diener dan Scollon (2003) menyatakan bahwa hubungan yang dinilai baik tersebut harus mencakup dua dari tiga hubungan sosial berikut ini yaitu keluarga, teman dan hubungan romantis. 12 e. Kepribadian Tatarkiewicz (dalam Diener, 1984) menyatakan bahwa kepribadian merupakan hal yang lebih berpengaruh pada subjective well-being dibandingkan dengan faktor lainya. Hal ini dikarenakan beberapa variabel kepribadian menunjukkan kekonsistenan dengan subjective well-being diantaranya self esteem (Campbell dalam Diener, 1984) menunjukkan bahwa kepuasan terhadap diri merupakan prediktor kepuasan terhadap hidup. Namun self esteem ini akan menurun selama masa ketidakbahagiaan (Laxer dalam Diener, 1984). 2.2 Konsep self efficacy Konsep self efficacy sebagai salah satu landasan teori dalam penelitian ini telah banyak diteliti oleh para ahli. Pengertian yang akan digunakan adalah definisi dari Bandura yaitu: “Keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan” (Bandura, 2001) Efficacy diri bukan merupakan ekspektasi dari hasil tindakan kita. Bandura (1986) membedakan antara ekspektasi mengenai efficacy dan ekspektasi mengenai hasil. Efikasi merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku, sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku tersebut. Hasilnya tidak boleh digabungkan dengan keberhasilan dalam melakukan perilaku tersebut, hasil merujuk pada konsekuensi dari perilaku, bukan penyelesaian melakukan tindakan tersebut. Efficacy tidak 13 mengimplikasikan bahwa kita dapat melakukan sesuatu tertentu tanpa ada kecemasan, stress atau rasa takut, hal tersebut hanyalah penilaian kita, akurat ataupun tidak melakukan tindakan yang diperlukan (Bandura, 1997). Self efficacy tidak hanya merupakan konsep global atau yang digeneralisasi, seperti harga diri (self esteem) atau kepercayaan diri (self confidence). Orang dapat mempunyai keyakinan diri yang tinggi dalam suatu situasi dan mempunyai keyakinan diri yang rendah dalam situasi lainnya. Keyakinan diri ini bervareasi dari satu situasi ke situasi lainnya tergantung pada kompetensi yang dibutuhkan untuk kegiatatan yang berbeda, ada tidaknya orang lain, kompetensi yang dipersepsikan dari orang lain. Self efficacy yang tinggi dan rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif untuk menghasilkan variabel prediktif (Bandura, 1997). Ketika keyakinan diri tinggi dan lingkungan sosial responsif hasilnya kemungkinan besar akan tercapai. Saat keyakinan diri rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif, manusia mungkin akan merasa depresi karena mengobservasi bahwa orang lain dapat berhasil melakukan suatu tugas yang terlalu sulit untuknya. Saat seseorang dengan keyakinan diri tinggi menemui suatu lingkungan yang tidak responsif, biasanya akan meningkatkan usahanya untuk mengubah lingkungan. Saat keyakinan diri rendah dikombinasikan dengan lingkungan yang tidak responsif orang-orang akan merasa apatis, segan, tidak berdaya. 14 2.2.1 Dimensi Self efficacy Bandura (1997) mengemukakan bahwa self efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu : a. Tingkat (level) Yaitu penilaian kemampuan individu pada tugas yang sedang dihadapinya. self efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki self efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan individu dalam kemampuannya. b. Keluasan (generality) Yaitu mengacu pada ketahanan dan keuletan menyelesaikan masalah. Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas. 15 c. Kekuatan (strength) Yaitu dapat menunjukkan apakah self efficacy tetap bertahan dalam berbagai macam aktifitas, situasi dan mengacu pada penilaian keyakinan diri berdasarkan aktivitas keseluruhan tugas yang dijalaninya. Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. self efficacy menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun. 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy Menurut Bandura, 1997 ada 4 (empat) cara yaitu: (1) Pengalaman mengusai sesuatu (mastery experinces) Sumber yang paling berpengaruh dari self efficacy adalah pengalaman menguasai sesuatu yaitu performa masa lalu ekspektasi mengenai kemampuan, kegagalan cenderung akan menurunkan hal tersebut. (2) Modelling Sosial (Vicarious experiences) Keyakinan diri meningkat saat kita mengobservasi pencapaian orang lain yang mempunyai kompetensi yang setara, namun akan berkurang saat kita melihat rekan sebaya kita gagal. Secara umum dampak dari modeling sosial tidak sekuat dampak yang diberikan oleh performa pribadi dalam meningkatkan level keyakinan diri, tetapi dapat mempunyai dampak yang kuat saat memperhatikan penurunan keyakinan diri. 16 (3) Persuasi Sosial, Keyakinan diri dapat juga diperoleh atau dilemahkan melalui persuasi sosial (Bandura, 1997). Dampak dari sumber ini cukup terbatas, tetapi dibawah kondisi yang tepat, persuasi dari orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan keyakinan diri. Kondisi pertama adalah bahwa orang tersebut harus mempercayai pihak yang melakukan persuasi, karena kata-kata dari yang lebih terpercaya akan efektif dibandingkan dari sumber yang tidak terpercaya. Bandura (1986) berhipotesis bahwa daya yang lebih efektif dari sugesti berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi. Status dan otoritas tertentu saja tidak identik. (4) Kondisi Fisik dan Emosional Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat seseorang mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stress yang tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekspektasi keyakinan diri yang rendah. Pada waktu seseorang menilai kemampuan mereka juga mempertimbangkan keadaan fisiologis mereka. Mereka menafsirkan naiknya emosi dan ketegangan sebagai tanda bahwa mereka akan menunjukkan prestasi yang buruk. Oleh karena itu untuk mengubah keyakinan terhadap keyakinan diri, seseorang harus mengurangi tingkat stress dan meningkatkan keadaan fisik yang prima. Dalam aspek fisiologis (kesehatan), orang yang tidak memiliki self efficacy mengalami stres yang berdampak pada kesehatan dan sistem imunnya. 17 self efficacy juga terkait dengan potensi individu untuk berperilaku sehat. Orang yang tidak yakin bahwa mereka dapat melakukan suatu perilaku yang dapat menunjang kesehatan akan cenderung enggan mencobanya, Bandura dalam Friedman dan Schustack (2008). 2.2.3 Pengaruh self-efficacy terhadap perilaku Self efficacy selalu berhubungan dan berdampak pada pemilihan perilaku, motivasi dan keteguhan individu dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapi. Sehingga menurut Luthans (2008:205) bahwa self efficacy secara langsung meliputi tiga hal : a. Pemilihan perilaku, yakni keputusan akan dibuat atas dasar betapa ampuhnya seseorang merasa terhadap pilihan. b. Usaha motivasi, yakni orang akan mencoba lebih keras dan memberikan lebih banyak usaha pada masalah dimana individu memiliki efikasi diri yang lebih tinggi daripada individu dengan kemampuan rendah. c. Keteguhan, yakni orang dengan efikasi diri tinggi akan bertahan ketika menghadapi masalah atau bahkan gagal, sedangkan orang dengan efikasi rendah cenderung menyerah ketika hambatan muncul. Artinya bahwa semakin tinggi self efficacy yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi keyakinan untuk menyelesaikan setiap tugas dan persoalan yang dihadapi, ini berarti self efficacy yang telah dibentuk akan mempengaruhi dan memberi fungsi pada setiap aktivitas individu. Bandura (1997) menguraikan 18 proses psikologis self efficacy dalam mempengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara dibawah ini : a. Proses kognitif Dalam kehidupannya, individu menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadiankejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi. b. Proses motivasi Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Self efficacy mempengaruhi atribusi penyebab, dimana individu yang memiliki self efficacy yang tinggi menilai kegagalannya dalam suatu permasalahan disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan individu 19 dengan self efficacy yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan. c. Proses afeksi Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan. Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut. d. Proses seleksi Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi sulit. Self efficacy dapat membentuk hidup individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini 20 mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan. 2.3 Kerangka Pemikiran Menerima kenyataan bahwa seseorang telah tertular virus HIV sangat tidak mudah. ODHA tidak hanya dihadapkan pada permasalahan penyakitnya saja tetapi juga harus menghadapi stigma sosial yang sangat diskriminatif. Dengan permasalahan yang sangat kompleks tersebut, tentunya akan mempengaruhi kondisi kesehatan fisiologis maupun psikologisnya. Seseorang cenderung akan memiliki perasaan bahwa dirinya tidak berguna, tidak ada harapan, takut, sedih, marah ketika ia dinyatakan positif tertular HIV. Jurnal Role of self-efficacy in quality of life of people living with HIV/AIDS menyatakan bahwa self efficacy (mengelola depresi, mengelola obat, mengelola gejala, konsultasi dengan paramedis, mendapatkan dukungan dan mengelola gejala) berkorelasi positif dengan fisik yang menyenangkan, fungsi kognitif, kesehatan mental dan kepuasan hidup (Sharma, Sokhey, 2013). Bagan 2.3 Kerangka Pemikiran self efficacy subjective well-being level, strenght, 2.4 Hipotesa statistika generality afeksi, kognisi 21 2.4. Hipotesa Penelitian Hipotesis merupakan jawaban, dugaan, penjelasan atau pernyataan tentative mengenai suatu masalah yang dirumuskan dalam bentuk proporsional dan dapat diuji secara empiric (Sugiyono, 2010). Hipotesis penelitian yang telah disebutkan sebagai berikut: H0 : R ≠0 : Terdapat hubungan antara self efficacy dengan subjective well-being pada ODHA di Jakarta 22