Jenis penelitian

advertisement
KAJIAN PERSAINGAN DALAM INDUSTRI
RETAIL
Oleh :
Dr.Tulus T H Tambunan
Dyah Nirmalawati T, SE, M Si
Arus Akbar Silondae, SH, LLM
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
2004
1
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Bisnis pasar modern sudah cukup lama memasuki industri retail Indonesia dan dengan cepat memperluas
wilayahnya sampai ke pelosok daerah. Keberadaan mereka banyak menimbulkan pendapat pro-kontra. Bagi
sebagian konsumen pasar modern, keberadaan hypermarket, supermarket dan mini market, memang
memberikan alternatif belanja yang menarik. Selain menawarkan kenyamanan dan kualitas produk, harga yang
mereka pasang juga cukup bersaing bahkan lebih murah dibanding pasar tradisional. Sebaliknya, keadaan
semacam ini jelas membuat risau para retailer kecil. Banyak dari retailer kecil mendapat imbas dari kehadiran
pasar modern seperti hypermarket dengan turunnya pendapatan mereka secara signifikan.
Kondisi ini semakin terasa, setelah dikeluarkannya Keppres No 96/1998 tentang Bidang Usaha yang Tertutup
dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Keberadaan Keppres
ini mengundang masuk retailer asing untuk membuka usahanya di Indonesia. Sampai pertengahan tahun ini
(Kapanlagi.com, 2003) jaringan hypermarket multinasional yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 15 gerai.
Kehadiran dua peretail hypermarket, yakni Carrefour (Perancis) dan Giant (Malaysia) sudah menguasai 29,2
persen pasar retail Indonesia. Hingga tahun 2002, 2031 gerai pasar modern nasional hanya membukukan omzet
Rp 33 trilliun, sementara hypermarket asing dengan 15 outlet mampu membukukan Rp 10,88 trilliun.
Masalah persaingan merupakan konsekuensi logis yang timbul dengan hadirnya retailer modern.
Permasalahan timbul ketika retailer modern mulai, memasuki wilayah keberadaan retailer tradisional. Ekspansi
agresif untuk pendirian pusat perbelanjaan modern ini sudah mendapat izin dari Pemerintah Daerah yang
bersangkutan dimana proses pemberian izin oleh aparat setempat tidak dilakukan secara transparan dan sering
berbenturan dengan berbagai kepentingan pribadi didalamnya. Beberapa faktor yang perlu dikaji dalam industri
retail tersebut adalah faktor regulasi, faktor efisiensi produk dan economics of scope, faktor lokasi, faktor
perilaku konsumen termasuk pola selera konsumsi masyarakat serta karakteristik dari produk yang dijual.
Usaha kecil dengan modal terbatas layak untuk mendapatkan perhatian dari KPPU mengingat mereka terbukti
tidak rentan terhadap imbasan krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak 1997. Dari sudut pandang
UU No 5. Tahun 1999 mengenai anti monopoli dan persaingan tidak sehat, kajian sektor retail ini dianggap
penting karena aspek persaingan akan dikaji melalui berbagai sudut pandang dari pasal-pasal dalam undangundang tersebut. Potensi pelanggaran pelaku usaha akan dikaji lebih jauh dengan menggunakan kacamata
persaingan usaha.
I.2 Perumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang kami ajukan adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana perkembangan usaha retailer di pasar domestik.
b.Bagaimana saluran distribusi usaha retail.
c. Bagaimana bentuk persaingan dalam industri retail.
d.Adakah peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UU No 5 / 99
I.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh gambaran mengenai perkembangan usaha retail di pasar domestik.
b.Untuk mengetahui saluran distribusi usaha retail.
c. Untuk mengidentifikasikan bentuk persaingan dalam industri retail.
d.Untuk mengetahui peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999
I.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
a. Sebagai dasar bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memutuskan ada atau tidaknya
persaingan yang tidak sehat dari industri retail di Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta.
2
b.Sebagai masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan industri retail di
Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta.
c. Menambah pengetahuan peneliti mengenai kondisi industri retail di Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta.
d.Sebagai literatur yang dapat memperkaya khasanah keilmuan di bidang Ekonomi.
I.5 Pembatasan Masalah
Pada penelitian mengenai persaingan dalam industri retail ini, peneliti membatasi lokasi penelitian pada daerah
Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Penelitian dilakukan dalam kurun waktu antara bulan
Oktober 2003 sampai dengan bulan Februari 2004, terhadap retail yang menjual barang-barang kebutuhan
masyarakat secara umum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi dan Klasifikasi
II.1.1. Definisi
Bidang usaha eceran sangat kompleks dan luas. Menurut The American Marketing Association, pengecer
didefinisikan sebagai seorang pedagang yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada
konsumen akhir. Definisi ini didasarkan kepada siapa mereka menjual. Jadi, perdagangan eceran meliputi
semua kegiatan pemasaran yang berhubungan dengan usaha-usaha untuk menjual kepada konsumen akhir
(Swastha DH, 1979).
II.1.2. Klasifikasi
Pengecer dapat digolongkan menurut: (1) luasnya lini produk (LP); (2) bentuk pemilikan; (3) penggunaan
fasilitas; dan (4) ukuran toko (Swastha DH, 1979).
a. Luasnya Lini Produk
Lini Produk adalah sekelompok barang yang memiliki tujuan penggunaan yang sama, misalnya alat-alat
rumah tangga, alat-alat olah raga, makanan dan minuman, dll dari sebuah toko serba ada. Berdasarkan
luasnya LP, pengecer dapat dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut (Kotler dan Susanto, 2001):
1.Toko khusus, yaitu toko yang menjual satu macam barang atau LP yang lebih sempit dengan ragam yang
lebih banyak dalam lini tersebut. Contoh pengecer khusus adalah toko alat-alat olah raga, toko pakaian, toko
meubel, toko bunga, dan toko buku. Biasanya volumenya tidak terlalu besar, milik pribadi, dan badan
hukumnya berbentuk usaha perorangan, firma atau CV. Toko khusus dapat diklasifikasikan lagi menurut
tingkat kekhususan LP-nya. Toko pakaian merupakan toko lini tunggal; toko pakaian pria merupakan toko
sangat khusus. Di Indonesia saat ini toko khusus yang berkembang pesat dalam beberapa tahun belakangan
ini adalah AGIS (PT Artha Graha Investama Sentral) sebagai salah satu retail yang mengkhususkan menjual
barang-barang elektronik. Lainnya yang masuk kelompok ini adalah Cosmo yang hanya menjual produkproduk Jepang dan toko roti Holland Bakery yang hanya jual roti.
2.Toko serba ada, yaitu toko yang menjual berbagai macam LP. Biasanya toko seperti ini mempunyai
volume usaha yang besar, kondisi keuangannya lebih kuat, dan badan hukumnya berbentuk perseroan
terbatas atau paling tidak berbentuk CV. Misalnya Ramayana dan Sarinah.
3. Pasar Swalayan, yaitu toko yang merupakan operasi relatif besar, berbiaya rendah, margin rendah, volume
tinggi, swalayan, yang dirancang untuk melayani semua kebutuhan konsumen seperti makanan, cucian, dan
produk-produk perawatan rumah tangga.
4. Toko Convenience, yaitu toko yang relatif kecil dan terletak di daerah pemukiman atau di jalur high traffic,
memiliki jam buka yang panjang (24 jam) selama tujuh hari dalam seminggu, dan menjual LP convenience
3
yang terbatas seperti minuman, makanan ringan, permen, rokok, dll., dengan tingkat perputarannya yang
tinggi. Jam buka yang panjang dan karena konsumen hanya membeli di toko ini hanya sebagai “pelengkap”
menyebabkan toko ini menjadi suatu operasi dengan harga tinggi. Termasuk dalam kelompok ini adalah 7
11.
5. Toko Super, Toko Kombinasi dan Pasar Hyper. Toko Super rata-rata memiliki ruang jual 35.000 kaki
persegi dan bertujuan memenuhi semua kebutuhan konsumen untuk pembelian makanan maupun bukan
makanan secara rutin. Mereka biasanya menawarkan pelayanan seperti cucian, membersihkan, perbaikan
sepatu, penguangan cek, dan pembayaran tagihan, serta makan siang murah. Toko kombinasi merupakan
diversifikasi usaha pasar swalayan ke bidang obat-obatan, dengan luas ruang jual sekitar 55.000 kaki
persegi. Masuk dalam kelompok ini mulai dari yang konvensional seperti Naga SM dan Bilka hingga yang
lebih modern dan besar seperti Hero dan Top’s. Pasar hyper lebih besar lagi, berkisar antara 80.000 sampai
220.000 kaki persegi. Pasar ini tidak hanya menjual barang-barang yang rutin dibeli tetapi juga meliputi
meubel, perkakas besar dan kecil, pakaian, dan banyak jenis lainnya, seperti Carrefour dan Mega M.
6. Toko Diskon, yaitu toko yang menjual secara reguler barang-barang standar dengan harga lebih murah
karena mengambil marjin yang lebih rendah dan menjual dengan volume yang lebih tinggi. Umumnya
menjual merek nasional, bukan barang bermutu rendah. Pengeceran diskon telah bergerak dari barang
dagangan umum ke khusus, seperti toko diskon alat-alat olah raga, toko elektronik, dan toko buku (Kaikati,
1985).
7. Pengecer Potongan Harga. Kalau toko diskon biasanya membeli pada harga grosir dan mengambil margin
yang kecil untuk menekan harga, pengecer potongan harga membeli pada harga yang lebih rendah daripada
harga grosir dan menetapkan harga pada konsumen lebih rendah daripada harga eceran. Mereka cenderung
menjual persediaan barang dagangan yang berubah-rubah dan tidak stabil sering merupakan sisa, tidak laku,
dan cacat yang diperoleh dengan harga lebih rendah dari produsen atau pengecer lainnya. Pengecer
potongan harga telah berkembang pesat dalam bidang pakaian, asesoris, dan perlengkapan kaki. Contoh
dari pengecer potongan harga ini adalah factory outlet, seperti Herritage dan Millenia.
8. Ruang Jual Katalog, yaitu toko yang menjual cukup banyak pilihan produk-produk dengan marjin tinggi,
perputarannya cepat, bermerek, dengan harga diskon. Produk-produk yang dijual meliputi perhiasan, alatalat pertukangan, kamera, koper, perkakas kecil, mainan, dan alat-alat olah raga.
9. MOM & POP Store, yaitu toko berukuran relatif kecil yang dikelola secara tradisional, umumnya hanya
menjual bahan pokok/kebutuhan sehari-hari yang terletak di daerah perumahan/pemukiman. Jenis toko ini
dikenal sebagai toko kelontong.
10. Mini Market, yaitu toko berukuran relatif kecil yang merupakan pengembangan dari Mom & Pop Store,
dimana pengelolaannya lebih modern, dengan jenis barang dagangan lebih banyak. Misalnya Indomaret.
b. Bentuk Pemilikan
Menurut bentuk pemilikannya, pengecer dapat digolongkan ke dalam dua kategori sebagai berikut:
1.Independent store yaitu toko yang tidak dimiliki oleh sekelompok orang, melainkan milik pribadi seseorang
yang juga merupakan pimpinan dari toko tersebut. Dalam kategori ini, pengusaha lebih bebas dalam
menentukan kebijaksanaan dan strategi pemasarannya.
2.Corporate chain store yaitu beberapa toko yang berada di bawah satu organisasi, dan dimiliki oleh
sekelompok orang. Masing-masing toko menjual LP yang sama dan struktur distribusinya juga sama.
c. Penggunaan Fasilitas
Pengecer dapat digolongkan menurut penggunaan fasilitas dalam memasarkan produk mereka ke konsumen,
yakni toko pengecer dan pengecer tanpa toko. Toko pengecer dapat dijumpai di mana-mana, seperti yang telah
4
disebut di atas. Sedangkan pengecer tanpa toko terdiri dari tiga jenis yaitu penjualan dari rumah ke rumah (door
to door saleman), penjualan melalui pos (mail order selling) atau elektronik, dan penjualan dengan mesin
otomatis (automatic vending machine).
d. Ukuran Toko
Menurut ukuran toko, pengecer dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni pengecer kecil dan pengecer
besar. Pembedaan ini dapat didasarkan pada banyak faktor, diantaranya volume penjualan, manajemen, kegiatan
promosi, kondisi keuangan, pembagian tenaga kerja, fleksibilitas dalam operasi, merek pengecer, integrasi
horisontal dan vertikal, dll.
Dari beberapa klasifikasi tersebut di atas, peneliti membagi retail menjadi 2 (dua) kategori, yaitu retail
modern dan retail tradisional. Pembagian kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Klasifikasi
Lini Produk
Tabel 1. Pembagian Retail Modern dan Tradisional
Retail Modern
Retail Tradisional
™
™
™
™
™
Kepemilikan
Penggunaan Fasilitas
™
™
™
™
™
Promosi
Keuangan
™
™
™
Tenaga Kerja
Fleksibilitas Operasi
™
™
Toko Khusus
Toko Serba Ada
Toko Swalayan
Toko Convenience
Toko Super, Kombinasi, dan
Pasar Hyper
Toko Diskon
Pengecer Potongan Harga
Ruang Penjual Katalog
Corporate Chain Store
Alat-alat pembayaran modern
(komputer, credit card,
autodebet)
AC, Eskalator / Lift
Ada
Tercatat dan Dapat
dipublikasikan
Banyak
Tidak Fleksibel
™
™
Mom & Pop Store
Mini Market
™
™
Independent Store
Alat Pembayaran tradisional
(manual / calculator, cash)
™ Tangga, tanpa AC
™
™
Tidak Ada
Belum tentu tercatat dan tidak
dipublikasikan
™ Sedikit, biasanya keluarga
™ Fleksibel
II.2 Saluran Distribusi usaha retail
Alternatif saluran yang digunakan sering dikaitkan dengan golongan barang yang ada. Dalam hal ini terdapat
dua macam saluran, yang juga dipraktekkan di Indonesia, yaitu: (1) saluran distribusi untuk barang konsumsi,
dan (2) saluran distribusi untuk barang industri. Pada prinsipnya, kedua macam saluran tersebut sama (Swastha
DH, 1979).
a. Saluran Distribusi untuk Barang Konsumsi
Seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1, terdapat 5 macam saluran dalam pemasaran barang-barang
konsumsi. Pada masing-masing saluran, produsen mempunyai alternatif untuk menggunakan kantor dan cabang
penjualan. Selain itu, juga terdapat kemungkinan pemakaian pedagang besar, agen penyimpanan atau
pemborong dan pengecer.
Menurut Adi Purnomo, Direktur ALFA, sistem distribusi barang dari pabrik sampai ke retail pada umumnya
adalah lewat distributor dan grosir seperti digambarkan pada Gambar 2. Pada umumnya distributor yang ada
merupakan afiliasi dari pabrik yang memasoknya; walaupun menurut peraturan pemerintah yang berlaku
distributor harus sepenuhnya independen. Sedangkan grosir tidak sepenuhnya independen. Tiap pabrik dan
distributor (P-D) melayani langsung lebih dari satu grosir dan retail (G-R), tanpa lewat pusat distribusi seperti
yang diterapkan di Amerika Serikat. Hal ini dapat dijelaskan dengan Gambar 3.
5
Produsen
Produsen
Produsen
Produsen
Produsen
Agen
Agen
Pedagang
Besar
Pengecer
Konsumen
Akhir
Pabrik
Pengecer
Pedagang
Besar
Pengecer
Pengecer
Konsumen
Konsumen
Konsumen
Konsumen
Akhir
Akhir
Akhir
Akhir
Gambar 1: Saluran Distribusi untuk Produsen Barang Konsumsi
Sumber: dikutip dari Gambar 19 di Swastha DH (1979).
Distributor
Grosir
besar
Grosir
kecil
Retail
Gambar 2 : Sistem Distribusi Barang yang umum di terapkan di Indonesia
antara Pabrik dan Retail
P-D
G-R
P-D
G-R
P-D
G-R
P-D
G-R
P-D
G-R
P-D
G-R
Gambar 3: Sistem Saluran Distribusi antara Pabrik/Distributor
dengan Grosir/Retail Tanpa Pusat Distribusi
b. Saluran Distribusi untuk Barang Industri
Dalam saluran distribusi untuk barang industri, tidak ada pengecer. Produsen bisa jual langsung ke industri
pemakai atau lewat pedagang besar (distributor industri), atau pertama lewat perwakilan produsen atau cabang
6
penjualan produsen, selanjutnya disuplai ke distributor industri, dan baru ke industri pemakai (Kotler dan
Susanto, 2001).
Sedangkan berdasarkan tingkatan pemasarannya, pemasaran dibedakan menjadi:
i) Sistem Pemasaran Vertikal
Sistem pemasaran vertikal atau disebut juga integrasi vertikal terjadi apabila pengecer menjalankan fungsi
perdagangan besar atau menjalankan kegiatan pemasaran dari produsen. 1 Sistem ini yang merupakan salah satu
dari perkembangan saluran pemasaran yang paling baru berbeda dengan saluran pemasaran konvensional.
Sistem konvensional terdiri dari seorang produsen independen, pedagang besar, dan pengecer. Masing-masing
merupakan entitas bisnis yang terpisah yang bertujuan untuk memaksimalkan labanya sendiri, walaupun dapat
mengurangi keuntungan sistem itu secara keseluruhan. Tidak ada anggota saluran yang memiliki kontrol
lengkap atau penting terhadap anggota lainnya. 2
Sistem pemasaran vertikal, sebaiknya, terdiri dari produsen, pedagang besar, dan pengecer yang bertindak
sebagai satu kesatuan sistem. Satu anggota saluran memiliki yang lain atau memberi hak pada mereka atau
memiliki begitu banyak kekuatan sehingga mereka dapat bekerja sama. Sistem pemasaran ini dapat didominasi
oleh produsen, pedagang besar, atau pengecer.
Salah satu contoh dari sistem pemasaran vertikal adalah organisasi toko berangkai. Beberapa pengecer besar
seperti toko serba ada, supermarket, dan discount house membeli secara langsung pada produsen dan
menjualnya kepada konsumen akhir. Para pengecer tersebut melakukan fungsi perdagangan besar melalui
sebuah kantor pusat. Mereka mempunyai gudang sebagai tempat penyimpanan bersama yang cukup besar,
sehingga dapat melayani kebutuhan barang-barang dalam jumlah besar kepada masing-masing toko. Contoh
lainnya adalah PT Matahari Putera yang menggabungkan beberapa lini pengeceran dengan bentuk kepemilikan
terpusat, yang juga menyatukan fungsi distribusi dan manajemen. Selain toko-toko serba adanya, PT Matahari
Putera juga mengoperasikan Mega M, Super Ekonomi, Matahari Super Bazaar (khusus jaringan pasar
swalayan), dan Galeria.
McCammon (1970) memberi ciri sistem ini sebagai jaringan yang diprogram terpusat dan dikelola secara
profesional, direncanakan lebih dulu untuk mencapai penghematan biaya operasi dan pengaruh pasar maksimal.
Sistem ini muncul untuk mengontrol perilaku saluran dan menghilangkan konflik antar sesama anggota
saluran. 3
Ada tiga macam saluran pemasaran vertikal (Johnson dan Lawrence, 1988). Pertama, sistem pemasaran
vertikal korporat: mengkombinasikan serangkaian tahap produksi dan distribusi di bawah kepemilikan tunggal.
Sistem ini dapat dicapai dengan integrasi ke belakang atau ke depan. Satu contoh di Indonesia, Indomaret
sebagai pengecer yang merupakan tangan produsen. Jika seorang konsumen membeli minyak goreng Bimoli
dari Indomaret, maka telah terjadi suatu proses keterkaitan bisnis mulai dari perkebunan kelapa sawit sampai ke
konsumen akhir dalam satu kelompok perusahaan. Demikian juga dengan indomie, mulai dari gandum impor
menjadi terigu (industri hulu), pembuatan mie siap saji (industri hilir) sampai ke tangan konsumennya di
Indomaret (pengecer)(Kotler dan Susanto, 2001).
Kedua, sistem pemasaran vertikal administrasi: mengkoordinasi serangkaian tahap produksi dan distribusi
tidak melalui kepemilikan biasa tetapi lewat besarnya dan kekuatan salah satu pihak. Produsen merek yang
dominan mampu mengamankan kerja sama perdagangan yang kuat dan dukungan dari para penjualnya. Contoh,
pemasaran yang dilakukan oleh Kodak, Gillette, Procter & Gamble, dan Campbell Soup.
Ketiga, sistem pemasaran vertikal kontrak: terdiri dari perusahaan independen di tingkat produksi dan
distribusi yang berbeda yang menggabungkan program mereka berdasarkan suatu perjanjian untuk
1
Tidak semua perdagangan besar selalu dilakukan sepenuhnya oleh lembaga-lembaga yang disebut pedagang besar. Kadang-kadang
perdagangan besar dikombinasikan dengan kegiatan pengolahan atau perdagangan eceran. Kombinasi semacam ini disebut
perdagangan besar yang terintegrasi (integrated wholesaling), karena menyangkut pemilikan lebih dari satu macam perantara saluran
(Swastha DH, 1979).
2
McCammon (1970) memberi ciri saluran konvensional sebagai jaringan yang sangat terpisah di mana produsen, pedagang besar, dan pengecer
dengan hubungan yang renggang melakukan perundingan, bernegosiasi dengan agresif mengenai syarat penjualan, dan bahkan bertindak secara
otonom.
3
Sistem pemasaran vertikal telah menjadi cara distribusi yang dominan di pasar konsumsi Amerika Serikat, melayani
70% sampai 80% dari total pasar (Kotler dan Susanto, 2001).
7
mendapatkan lebih banyak pengaruh ekonomi dan/atau penjualan daripada yang dapat mereka capai sendiri.
Sistem ini memiliki tiga jenis, yakni jaringan sukarela yang disponsori pedagang besar, koperasi pengecer dan
organisasi frenchise. Dalam jenis pertama, pedagang besar mengatur jaringan suka rela yang terdiri dari
pengecer independen untuk membantu mereka bersaing dengan jaringan organisasi besar. Dalam jenis kedua,
pengecer mengorganisasikan sebuah entitas bisnis baru untuk melaksanakan penjualan dalam jumlah besar dan
mungkin sebagian produksi. Dalam jenis organisasi franchise, seorang anggota saluran yang disebut franchisor
(pemberi franchise) dapat menghubungkan beberapa tahap yang berurutan dalam proses produksi-distribusi.
Banyak pengecer independen, jika tidak bergabung dengan sistem pemasaran vertikal, mengembangkan
toko khusus yang melayani segmen pasar yang tidak menarik bagi pedagang masal. Hasilnya adalah polarisasi
di sektor eceran antara organisasi pemasaran vertikal besar di satu pihak, dan toko independen khusus di pihak
lain. Sistem pemasaran vertikal jika sudah sangat kuat bisa mengancam produsen dengan memulai produksi
mereka sendiri. Persaingan baru dalam sektor eceran tidak lagi antara unit bisnis independen tetapi antara
keseluruhan sistem dari jaringan yang diprogram secara terpusat yang bersaing satu sama lain untuk mencapai
biaya operasi paling rendah dan respons pelanggn yang terbaik (Kotler dan Susanto, 2001).
Di dalam sistem pemasaran vertikal bisa terjadi konflik bila ada pertentangan antara tingkat saluran yang
berbeda dalam saluran yang sama. Sebagai contoh, Hero yang menyediakan produk house brand mencemaskan
produsen, terutama produsen konsumen seperti Aqua, SMART Corp. (produsen minyak goreng Filma), dan
Unilever karena Hero mulai memproduksi air mineral, minyak goreng, sabun krim, dan deterjen.
ii) Sistem Pemasaran Horisontal
Sistem pemasaran horisontal terjadi apabila pengecer (biasanya pengecer besar) menjual barang-barang dari
berbagai produsen dengan merk yang berbeda-beda. Atau, oleh Kotler dan Susanto (2001) didefinisikan sebagai
penggabungan sumber daya atau program oleh dua atau lebih perusahaan yang tidak berhubungan untuk
memanfaatkan munculnya peluang pasar. Kerja sama ini bisa sifatnya sementara atau permanen. Adler (1966)
dan Varadarajan dan Rajaratman (1986) menyebutnya pemasaran simbiotik.
II.3 Persaingan Industri Retail
Sejarah membuktikan, ekonomi pasar merupakan sistem terbaik untuk membangun dan mempertahankan
kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem ekonomi pasar, aktivitas produsen dan konsumen tidak direncanakan
oleh sebuah lembaga sentral, melainkan secara individual oleh para pelaku ekonomi. Dan persainganlah yang
bertindak sebagai tangan-tangan tak terlihat yang mengkoordinasi rencana masing-masing. Sistem persaingan
yang terbentuk dapat membuat produksi serta konsumsi dan alokasi sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan modal menjadi efisien.(KPPU, 2001)
Para ekonom melihat proses bekerjanya sistem persaingan dengan indikator yang dikenal dengan Structure
– Conduct – Performance (SCP). Dari sisi structure, indiator sistem persaingan adalah sebagai berikut: (Martin,
1994)
1. Number and Size Distribution of Sellers and Buyers
Dalam pasar persaingan, terdapat banyak penjual dan pembeli yang masing-masing tidak dapat mempengaruhi
harga.
2. Product Differentiation
Produk yang standar tidak pernah ada di dunia nyata. Semakin berbeda barang tersebut, semakin kecil
kemungkinan substitusi dengan barang lain.
3. Entry Conditions
Entry Conditions menentukan potensi persaingan antara perusahaan yang telah ada dan perusahaan yang akan
masuk ke dalam industri.
Di sisi Conduct, indikator yang digunakan adalah ada tidaknya kerja sama (collusion) dan strategi yang
dilakukan oleh pelaku ekonomi, serta adanya advertising atau Research and Development (R&D). Yang
terakhir, dari sisi Performance, ekonom melihat berjalannya sistem persaingan dari profitabilitasnya, dan
efisiensinya.
Pendekatan SCP ini dapat juga digunakan dalam mengamati persaingan dalam industri retail. Yang menjadi
kendala dalam industri retail ini adalah adanya pengklasifikasian retail modern dan retail tradisional. Untuk
8
memahami pola persaingan dan tingkat intensitasnya antara retail modern dengan retail tradisional, perlu
diketahui dulu perbedaan karakteristik antara kedua jenis retail tersebut. Perbedaan karakterisktik tersebut dapat
dilihat di Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2: Perbedaan Karakteristik antara Pasar Tradisional dengan Pasar Modern
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Aspek
Histori
Fisik
Pemilikan/
kelembagaan
Modal
Konsumen
Metode
pembayaran
Status tanah
Pembiayaan
Pembangunan
10
Pedagang
masuk
11
Peluang
masuk/partisipasi
Jaringan
12
yang
Pasar Tradisional
Evolusi panjang
Kurang baik, sebagian baik
Milik masyarakat/desa, Pemda, sedikit swasta
Pasar Modern
Fenomena baru
Baik dan mewah
Umumnya perorangan/swasta
Modal lemah/subsidi/swadaya
Inpres.
Golongan menengah ke bawah
Ciri dilayani, tawar menawar
Modal kuat/digerakkan oleh swasta
masyarakat/
Tanah Negara, sedikit sekali swasta
Kadang-kadang ada subsidi
Umumnya pembanguna dilakukan oleh Pemda/
desa/ masyarakat
Beragam, masal, dari sektor informal sampai
pedagang menengah dan besar
Bersifat masal (pedagang kecil, menengah dan
bahkan besar
Pasar regional, pasar kota, pasar kawasan
Umumnya golongan menengah ke atas
Ada ciri swalayan, pasti
Tanah swasta/perorangan
Tidak ada subsidi
Pembangunan
fisik umumnya oleh
swasta
Pemilik modal juga pedagangnya
(tunggal) atau beberapa pedagang formal
skala menengah dan besar.
Terbatas, umumnya pedagang tunggal,
dan menengah ke atas
Sistem rantai korporasi nasional atau
bahkan terkait dengan modal luar negeri
(manajemen tersentralisasi.
Sumber: CESS (1998).
Meskipun terdapat beberapa perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya persaingan di
antara keduanya. Persaingan ini terjadi ketika masyarakat memilih satu diantara keduanya sebagai tempat
mereka berbelanja. Penentuan pilihan itu dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti peningkatan pendapatan ratarata masyarakat per kapita, terutama fisik, modal dan kelompok konsumen.
Semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita semakin besar kelompok konsumen menengah ke
atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke pasar modern yang fisiknya jauh lebih baik
dibandingkan pasar tradisional seperti kenyamanan, keamanan, kebersihan dan arena parkir yang luas; dan
untuk pengadaan fisik seperti memerlukan modal yang besar.
Maka, secara hipotesa, pertumbuhan retail moderen berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan ratarata masyarakat. Dengan kata lain, semakin tinggi pendapatan masayarakat, semakin pesat pertumbuhan retail
modern. Sebaliknya, pertumbuhan retail tradisional berkorelasi negatif dengan pendapatan atau berkorelasi
positif dengan kemiskinan. Yaitu, semakin besar populasi di bawah garis kemiskinan semakin banyak pasarpasar tradisional.
Data deret waktu selama 20 tahun belakangan ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat DKI rata-rata
per kapita meningkat tajam, namun ketimpangan juga semakin besar. Dalam kata lain, retail moderen akan terus
tumbuh sedangkan retail tradisional untuk jangka waktu ke depan akan tetap bertahan karena ada konsumennya,
yakni penduduk DKI berpendapatan rendah. Salah satu indikator dari peningkatan ini adalah pesatnya
pertumbuhan penjualan mobil pribadi dan pembangunan perumahan mewah.
Hubungan erat antara pertumbuhann retail moderen di satu sisi, dan peningkatan pendapatan dan perubahan
pola konsumsi masyarakat di sisi lain juga ditegaskan oleh Abdullah (2003) dalam tulisannya mengenai
persaingan ketat di bisnis retail. Ia mengatakan bahwa persaingan antara retail moderen dan retail tradisional di
Indonesia yang belakangan ini sangat pesat tidak lepas dari kenyataan bahwa minat konsumen berbelanja ke
retail moderen, terutama yang besar seperti hypermarket semakin tinggi, khususnya di Jakarta.
Hal ini sesuai dengan perubahan pola belanja masyarakat modern, yakni pergi berbelanja bersama keluarga ke
gerai one stop shopping yang lengkap dan serba ada. Pola belanja masyarakat moderen yang menginginkan
9
kenyamanan, kebersihan dan efisien dalam berbelanja menyebabkan pasar tradisional semakin ditinggalkan
konsumen. Terlebih lagi jika tidak ada usaha-usaha dari PD Pasar Jaya selaku pengelola pasar tradisional untuk
melakukan perbaikan ke dalam maupun lingkungan di sekitarnya (Abdullah, 2003).
Dampak negatif dari pertumbuhan retail moderen yang semakin pesat belakangan ini, khususnya di kota-kota
besar seperti Jakarta sudah mulai dirasakan oleh banyak pedagang tradisional. Hasil diskusi antara pengamat
retail di Indonesia Koestarjono Prodjolalito dengan sejumlah pedagang alat-alat listrik tradisional menunjukkan
bahwa banyaknya macam/merek barang yang ditawarkan oleh hypermarket, termasuk alat-alat listrik telah
mengancam usaha mereka. Ia berpendapat bahwa kelangsungan usaha pasar tradisional yang ada sekarang
tidak mencerminkan daya saing yang sesungguhnya di tengah pesatnya pembangunan pusat perdagangan atau
pasar retail moderen (BI, 2003a).
Salah satu bentuk persaingan antara retail moderen dan retail tradisional yang sering mendapatkan perhatian
banyak orang adalah persaingan dalam harga. Permasalahan utamanya adalah bahwa retail modern terutama
skala besar sering menjual produknya dengan harga jauh lebih rendah daripada harga jual dari produk yang
sama di pasar tradisional. Pada tahun 1999, Asosiasi Perngusaha Retail Indonesia (Apindo), menuduh retail
besar seperti hypermarket dan perkulakan besar semacam Makro, Goro dan Alfa yang menjual produk grosir
dan juga eceran melakukan praktek dumping. (Kotler dan Susanto, 2001)
Menurut Direktur Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Thomas Gunawan, tidak
ada produsen yang menjual barangnya dibawah harga normal. Produsen biasanya menetapkan harga eceran
tertinggi (HET) suatu barang bagi pengecer yang besarnya untuk produk makanan sekitar 4%-7% dari harga
pokok. Pemberlakuan HET tersebut untuk melindungi produk itu sendiri agar tetap diminati konsumen dengan
harga yang terjangkau. Apabila melanggar HET tersebut maka pasokannya akan dihentikan kendati telah
mendapat beberapa kali teguran.
Sedangkan untuk harga terendah, pemasok tidak menentukan besarnya dan tergantung kepada masing-masing
pengecer. Hal ini karena pengecer diizinkan melakukan potongan harga dengan alasan produk itu lambat
penjualannya, daya tahan atau kadaluarsa yang mau habis atau produk tersebut bungkusnya rusak namun tetap
bisa dikonsumsi, seperti kaleng yang penyok. Apabila ada eceran yang melakukan potongan harga besarbesaran karena mau tutup, biasanya produsen membeli kembali produk itu agar tidak merusak harga. Harga
pemasok antara satu retail dengan lainnya biasa berbeda, tergantung dari besarnya volume pengambilan dan
cepatnya pembayaran. Pada prinsipnya produsen tidak dirugikan dengan adanya penjualan di bawah harga
pemasok. (Kotler dan Susanto, 2001).
Sementara, menurut Fauzy (Corporate Secretary PT Tigaraksa Satria), distributor umumnya memberikan
diskon kepada minimarket, supermarket dan hypermarket serta grosir sekitar 3% lebih murah dibandingkan
dengan diskon yang diberikan kepada toko biasa. Distributor bisa memberikan diskon lebih besar jika pihak
principal itu sedang melakukan promosi dagang untuk produk baru atau memberikan insentif berupa diskon
kepada retail yang melakukan pembayaran lebih cepat yang besarnya sama dengan bunga bank, atau sedikit
lebih tinggi. Selain itu, principal sering kali hanya mengambil marjin sangat tipis, yaitu untuk suatu produk
yang laris terjual dengan pertimbangan bahwa modal kerja mereka lebih murah.
Jadi, hypermarket tidak melakukan dumping dengan menjual produknya lebih murah dari peretail lainnya.
Sebab retail raksasa itu selain hanya mengambil marjin yang sangat tipis juga memberikan semua fasilitas yang
diperoleh dari distributor, baik berupa promosi dagang maupun insentif diskon kepada konsumennya.
Larinya banyak pembeli ke retail moderen bukan suatu fenomena yang mengejutkan, melihat kenyataan
bahwa di Indonesia kondisi dari pasar tradisional sangat buruk karena jarang direnovasi dan disempurnakan
secara berkala mengikuti zaman. Kebanyakan, pasar tradisional baru direnovasi jika terjadi kebakaran.
Sehingga, banyak sekali pasar tradisional di Indonesia yang kualitasnya makin buruk. Ini merupakan penyebab
utama banyaknya konsumen yang meninggalkan pasar tradisional pindah ke pasar retail moderen. Lain halnya
dengan pasar swalayan moderen. Mereka punya aturan ketat. Biasanya, setiap 5-7 tahun sekali, pasar swalayan
moderen direnovasi untuk mengikuti perubahan zaman. Kurnia (2000).
Hasil survei yang dilakukan oleh CESS (1998) seperti yang dapat dilihat di Tabel 3 bahwa tempat lebih
nyaman ternyata memang merupakan alasan utama dari semua konsumen yang masuk di dalam sampel
penelitiannya. Sedangkan sebagai alasan kedua dan ketiga adalah masing-masing adanya kepastian harga dan
merasa bebas untuk memilih dan melihat-lihat. Selanjutnya di Tabel 4, dapat dilhat bahwa tidak semua jenis
10
komoditi dibeli konsumen di pasar moderen. Untuk jenis komoditi tertentu ada juga yang dirasakan konsumen
lebih baik untuk berbelanja di pasar tradisional atau pertokoan. Untuk pakaian jadi, sebagian besar konsumen
yang diwawancarai (67,5%) lebih memilih untuk belanja di pasar moderen. Sementara untuk berbelanja sayursayur dan buah-buahan, sebagian besar konsumen lebih memilih berbelanja di pasar tradisional.
Tabel 3: Alasan Konsumen Berbelanja di Pasar Moderen (%)
Alasan Utama
Tempat lebih nyaman
Adanya kepastian harga
Merasa bebas untuk memilih dan melihat-lihat
Kualitas barang lebih terjamin
Kualitas barang lebih baik
Jenis barang lebih lengkap
Model barang sangat beragam
Sumber: CESS (1998)
% Distribusi
100,0
95,0
92,5
82,5
80,0
77,5
75,0
Tabel 4 : Kecenderungan Konsumen untuk Berbelanja Menurut Jenis Komoditi (%)
Jenis komoditi
Pasar
%
Pakaian jadi
Moderen
67,5
Keperluan rumah tangga
Moderen
50,0
Makanan dan minuman
Moderen
47,5
Kosmetik
Moderen
62,5
Bahan pokok
Tradisional
42,5
Sayur-sayuran
Tradisional
92,5
Buah-buahan
Tradisional
70,0
Elektronik
Pertokoan
60,0
Sumber: CESS (1998).
Peter Gale, direktur eksekutif retail services practice Asia Pacific AC Nielsen Bangkok (2003) melihat
adanya kecenderungan pergeseran pengeluaran uang para pembeli dari pasar tradisional ke pasar moderen.
Terutama konsumen di Jakarta, Bandung dan Surabaya yang membelanjakan sebagian besar dari uangnya ke
pasar swalayan, mengalami suatu peningkatan yang cukup besar dalam setahun yakni dari sekitar 35% pada
tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002.
Sebaliknya, persentase dari total konsumen ke pasar tradisional mengalami suatu penurunan dari 65% ke
52% dalam jangka waktu yang sama. Khususnya di Jakarta minat konsumen berbelanja ke pasar swalayan
meningkat cukup signifikan dari sekitar 31% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002, sedangkan yang
ke pasar tradisional menurun dari 69% ke 52% selama periode yang sama.
Perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta erat kaitannya
dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat. Pengamat retail Koestarjono Prodjolalito mengatakan
kepada Bisnis Indonesia bahwa kalau daya beli masyarakat meningkat maka otomatis pengeluaran juga
meningkat, dan lambat laun pasar tradisional akan ditinggalkan; kenaikan pendapatan atau daya beli masyarakat
merupakan faktor terpenting yang membuat konsumen beralih ke pasar moderen (BI, 2003a).
Whardono (2001), berpendapat bahwa pergeseran selera konsumen seperti di atas juga akan terjadi di
masyarakat daerah sejalan dengan otonomi daerah. Selera konsumen di daerah yang biasanya hanya puas
dengan harga dan kualitas pasar tradisional akan berubah ke pasar modern yang semata-mata untuk kelihatan
trendi dan sedikit beraksi hanya sekedar gengsi (berkesan “elite”). Pergeseran selera konsumen di daerah juga
didorong oleh perpindahan penduduk ataupun pemekaran kota-kota maupun daerah pemerintahan yang berarti
juga pemerintah daerah harus menyediakan sarana belanja umum bagi masyarakatnya. Shoping center,
hypermarket, dan supermarket tentunya menjadi alternative untuk memuaskan bergesernya selera belanja dari
masyarakat daerah. Whardono (2001) juga menambahkan bahwa pergeseran selera konsumen daerah dari pasar
tradisional ke pasar modern juga disebabkan oleh demonstrative effect yang besar yang didorong oleh media
11
masa, baik cetak maupun audio visual. Selain itu, sarana transportasi yang semakin baik yang menghubungkan
kota dengan desa juga sangat berperan, yang membuat mobilisasi penduduk dari desa ke kota semakin tinggi.
Menurut Kurnia (2000), kemampuan bersaing para pedagang tradisional sesungguhnya unik. Para pedagang
tradisional bertindak sesuai dengan filosofi “small is beautiful”. Tentu, hal ini disebabkan oleh modal mereka
yang pas-pasan, sehingga mereka hanya berdagang sesuai dengan kemampuan mereka, yakni dalam skala kecil.
Banyak di antara mereka yang membeli barang dagangannya secara harian. Tetapi, dengan begitu, produk
mereka jadi lebih segar, dan kualitasnya bisa menyamai pasar swalayan moderen. Karena skala yang kecil,
pedagang tradisional juga dinamis, dan mobilitas mereka sangat tinggi. Mereka selalu mengincar lokasi yang
ramai seperti di terminal bus, di taman, atau di pinggir jalan protocol, atau bahkan di depan pertokoan moderen.
III. METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk basic research, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui permasalahan secara
komprehensif, yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan mengenai solusi yang dibutuhkan. (Sekaran,
2000) Berdasarkan metodenya, penelitian ini dapat dikategorikan pada penelitian survey, dimana data diambil
dari sebagian populasi yang ada, dan kemudian dilakukan generalisasi untuk semua populasi.
Sesuai dengan permasalahan yang kami ajukan, ditinjau dari tingkat eksplanasinya, penelitian ini tergolong
pada penelitian deskriptif asosiatif. Penelitian jenis ini dilakukan untuk menggambarkan fenomena yang terjadi
pada retail modern dan retail tradisional, dan kemudian kami dapat menunjukkan hubungan dari keduanya, serta
berbagai hal yang berkaitan dengan hal tersebut.
III.2 Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari observasi dan wawancara kami dengan pelaku usaha retail yaitu pedagang ataupun pihak
manajemen usaha retail, asosiasi retail, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan usaha retail. Sedangkan
data sekunder diperoleh dari laporan tahunan usaha retail, Text Book, peraturan-peraturan, Biro Pusat Statistik
(BPS), Depperindag, Kadin Jaya, majalah, surat kabar, dan artikel di internet.
Dalam melakukan observasi, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh usaha retail yang ada di wilayah
Jakarta. Dari populasi tersebut, kami membagi dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan kepemilikannya, yaitu:
1.Usaha retail milik asing. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Carefour, Giant, dll.
2.Usaha retail frenchise. Usaha retail yang termasuk kelompok ini adalah Alfa, Indomaret, dll.
3.Usaha retail milik swasta nasional. Usaha retail yang merupakan milik swasta nasional adalah Matahari.
4.Usaha retail tradisional. Yang termasuk dalam kelopok usaha retail tradisional adalah toko-toko yang ada
pada PD Pasar Jaya, warung-warung, dll
Dari seluruh populasi tersebut di atas, kami mengambil sampel berdasarkan Metode Stratified Random
Sampling, dengan tujuan agar masing-masing kelompok terwakili. Pada kelompok pertama sampai ketiga, kami
mengambil satu sampel untuk diobservasi, yaitu Carefour, Indomaret, dan Hero. Sedangkan pada kelompok
keempat kami mengambil beberapa sampel usaha retail yang berada pada PD Pasar jaya mampang.
III.3 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tempat-tempat sesuai sampel tersebut di atas, yaitu Carefour, Indomaret, Matahari,
dan PD Pasar Jaya Mampang, selama Bulan Oktober - Desember 2003 dan Januari – Februari 2004.
III.4 Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data
Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan untuk menjawab seluruh permasalahan yang kami ajukan dalam
penelitian ini, teknik pengumpulan data yang kami gunakan ada 3 (tiga), yaitu:
1.Wawancara langsung dan memberikan kuesioner kepada pelaku usaha retail.
2.Indept Interview dengan pihak-pihak yang responden.
12
3.Diskusi terbatas mengenai hasil analisa tim peneliti dengan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan
insudtri retail, seperti Asisiasi retail (API), Depperindag, pelaku usaha retail, LSM, perguruan tinggi, dan lainlain.
Dalam menganalisis data yang kami peroleh hingga mendapatkan hasil yang dapat menjawab perumusan
permasalahan di atas, kami melakukan beberapa teknik analisis. Pertama, kami akan melakukan studi literatur
terutama untuk memdapatkan suatu gambaran yang lengkap mengenai perkembangan, saluran distribusi, bentuk
persaingan, dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan industri retail, baik retail modern maupun retail
trasisional yang ada di Jakarta. Proses studi literatur ini akan terus berjalan hingga penelitian berakhir, untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
Kedua, kami akan melakukan observasi dan wawancara dengan beberapa responden yang menjadi sampel
kami dengan menggunakan kuesioner yang sudah kami persiapkan. Hasil observasi dan wawancara ini akan
kami analisis, dan jika dalam proses ini kami menemukan hal-hal yang “menarik” ataupun “kontroversial”,
kami akan melakukan indepth study pada beberapa responden. Setelah melalui tahap ini, diharapkan \kami
sudah mendapatkan jawaban dari tiga permasalahan pertama.
Berikutnya, kami akan menganalisis lebih dalam peraturan –peraturan yang bertentangan dengan UU No. 5 /
99, dan bagaimana konsekuensinya. Terakhir, kami akan menyelenggarakan suatu diskusi terbatas yang
mengundang semua stakeholders yang berkepentingan dalam pelaksanaan UU No 5 / 99 seperti API,
Depperindag, beberapa responden, LSM, dan Perguruan Tinggi. Dalam pertemuan tersebut, bahan diskusi akan
berdasarkan pada hasil analisa dari tim peneliti.
IV HASIL PENELITIAN
IV.1 Perkembangan Usaha Eceran
Data terakhir mengenai perkembangan usaha eceran di Indonesia dapat dilihat di Tabel 4 dan kontribusi retail
moderen terhadap pasar nasional dapat dilihat di Tabel 5. Dari jumlah unit, kelihatan jelas bahwa bisnis eceran
moderen di Indonesia di kuasai oleh Indomaret, dan disusul kemudian oleh Alfamart. Sedangkan dalam skala
sedang, Hero berada pada posisi teratas dengan jumlah gerai sebanyak 89 unit. Sedangkan untuk skala besar,
Carrefour paling besar dilihat dari jumlah gerainya yang mencapai 11 unit.
Tabel 5 Perkembangan Bisnis Eceran di Indonesia (unit) September 2003
Skala
Kecil/minimarket
Sedang/supermarket
Besar/hypermarket
Gerai
Indomaret
Alfamart
Circle K
Starmart
AMPM
Hero
Matahari
Super Indo
Alfa Supermarket
Rench 99 Market
Gelael
Carrefour
Giant
Matahari Marketplace
Jumlah
743
492
65
32
89
52
38
28
4
11
4
1
Sumber: Abdullah (2003).
Berdasarkan hasil survei dari AC Nielsen, pada Tabel 6 ditunjukkan suatu gambaran yang menarik, dimana
pasar tradisional masih paling besar dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan pasar nasional; walaupun
mengalami penurunan selama periode 2000-2003. Penurunan ini dapat diduga sebagai salah satu konsukuensi
langsung dari pesatnya pertumbuhan retail moderen yang pangsa pasar nasionalnya mengalami suatu
peningkatan yang pesat selama periode yang sama. Fakta ini memberi suatu indikasi bahwa pasar tradisional
13
cenderung semakin tergeser oleh retail moderen di pasar nasional, walupun kontribusinya terhadap
pertumbuhan pasar nasional masih paling besar
Jika strutur pertumbuhan seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil pada suatu saat retail modern akan
mendominasi pertumbuhan omzert maupun jumlah unit pasar nasional. Menurut perkiraan Business Intelligence
Report (BIRO), pertumbuhan gerai retail moderen, khususnya asing, akan semakin pesat, dan hingga 2005 akan
mencapai sekitar 8% dan akan menguasai lebih dari 25% dari total omzet retail national.
Dari data tersebut di atas, diperkirakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan retail modern baik asing
maupun lokal akan menggeser keberadaan pasar tradisional. Pemerintah Indonesia memang tidak bisa
menghentikan perkembangan hypermarket asing seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Disamping
masyarakat masih membutuhkan, Indonesia juga terikat perjanjian dengan IMF yang memperbolehkan retail
asing masuk.
Tabel 6 Kontribusi Retail Moderen terhadap Pasar Nasional April 2002 – Maret 2003 (%)
Jenis Retail
Supermarket/hypermarket
Minimarket
Pasar tradisional/konvensional
2003
21,1
5,1
73,8
2002
20,2
4,9
74,9
2001
20,5
4,6
74,9
2000
16,7
3,4
79,8
Beberapa perkembangan lebih detail mengenai retail modern yang menjadi obyek penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Hero Supermarket
Hero merupakan perusahaan publik, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh paretail asing yaitu Dairy Farm
(Hongkong). Sampai dengan Maret 2003, Hero telah memiliki 202 gerai, yang terdiri dari super market,
Departement Store, toko obat Guardian, mini market Star Mart, dan Hypermarket Giant. Gerai-gerai tersebut
tersebar di seluruh Indonesia, dengan komposisi sebagai yang tertera di Tabel 7:
Tabel 7: Jumlah Gerai Hero di Seluruh Indonesia Maret 2003
Lokasi
Jakarta
Hero
Guardian
Starmart
Dept Store
36
34
25
Tangerang
2
3
3
Bogor
4
1
7
Depok
3
2
0
Bekasi
4
2
2
Jawa Barat
9
6
1
Jawa Tengah
6
3
0
Jawa Timur
4
6
0
Bali
1
2
0
Lombok
1
1
0
Sumatera
4
2
0
Kalimantan
5
3
0
Sulawesi
3
2
0
Irian
2
2
5
Jumlah
Giant
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Jumlah
1
1
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
96
9
12
5
9
16
9
11
3
2
6
8
5
11
202
Sumber: Data Laporan Tahunan 2002 diolah
Hingga Juni 2003, kumlah karyawan PT Hero Supermarket adalah 8.793 orang yang terdiri dari 8.785
karyawan Warga negara Indonesia (WNI) dan 8 orang karyawan asing. Total omset per tahunnya diperkirakan
mencapai lebih dari 4 triliun rupiah. Selama tahun 2002, penjualannya meningkat 20 persen mencapai Rp 2.396
14
miliar , melampaui pertumbuhan yang dicapai tahun 2001 yang terutama disebabkan oleh program pembukaan
gerai-gerai baru, termasuk peluncuran Giant format hipermarket yang berjalan sukses.
Dilihat dari margin laba kotor sebesar 21,5 persen, turun dari 22,7 persen di tahun 2001. Hal ini
menunjukkan ketatnya persaingan harga dan margin lebih rendah yang berlaku di sektor hipermarket. Beban
usaha meningkat 28,6 persen terutama disebabkan oleh peningkatan biaya listrik dan bahan bakar, gaji,
depresiasi, dan biaya sewa. Sebagai akibatnya, laba usaha turun menjadi Rp 41 miliar dibandingkan dengan Rp
82 miliar di tahun 2001.
2. Indomaret Mini Market
Sampai dengan akhir Oktober 2003, Indomaret telah memiliki 761 toko yang terdiri dari 743 toko minimarket
yang tersebar diberbagai lokasi, yang lebih dari setengahnya berada di Jabotabek. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8 :Jumlah dan Sebaran Toko Indomaret (IDM) di Indonesia
Cabang
Toko IDM
Toko Waralaba IDM
Jakarta I
76
136
Jakarta II
93
88
Tangerang
63
81
Bandung
74
5
Surabaya
115
32
Yogyakarta
18
0
Nasional
439
342
Sumber: Indomaret, Jakarta 2003 (hasil wawancara)
Total
212
181
144
79
147
18
781
Menurut rencana Indomaret akan menambah tokonya hingga mencapai 800 unit pada akhir tahun 2003.
Indomaret dari badan usaha PT. Indomarco Prismatama, adalah nama (brand) yang dipakai untuk jaringan
minimarket/grocery store, yang mulai beroperasi tahun 1988 dengan dibukanya toko pertama. Indomaret
merupakan suatu perusahaan nasional, yang sejak tahun 1997 sudah di-waralaba-kan. Dari jumlah toko di Tabel
8 tersebut, sebagian besar adalah dalam bentuk waralaba, yakni 342 unit, yang terdiri dari 3 bentuk, yakni badan
hukum/usaha (181 unit), perorangan (149 unit), dan koperasi (12 unit). Rata-rata penjualan per hari
diperkirakan sebesar 10 juta rupiah, atau per tahunnya hampir mencapai 2,5 triliun rupiah. Pangsa pasarnya
diperkirakan sebesar 11%, atau sedikit di bawah Makro. Indomaret mini market cenderung berada dipinggiran
kota dan dekat dengan pemukiman.
3. Carrefour
Carrefour merupakan perusahaan Perancis yang telah mengoperasikan 324 outlet di 17 negara. Sistem yang
digunakan adalah pengusahaan global dengan gaya atau ciri lokal (mengijinkan perbedaan lokal, tetapi
berbicara dengan bahasa yang sama).
Sampai dengan akhir September 2003, Carrefour telah memiliki 8 toko yang berada di Jakarta dan 3 di
Bandung. Penjualan rata-rata per tahunnya diperkirakan hampir mencapai 2,1 triliun rupiah, dan pangsa
pasarnya hingga akhir 2001 adalah sebesar 4% (Annual Report 2001). Carrefour yang baru 3 tahun beroperasi
di Indonesia adalah 100 PMA (Perancis). Ke 8 toko di Jakarta tersebar di beberapa tempat saja yang potensi
konsumennya banyak dan akses mudah (gampang tercapai), yaitu:
™ Lebak Bulus
™ Ratu Plaza
™ Pasar Festival
™ Mal Ambasador
™ MT Haryono
™ Duta Merlin
™ Puri Indah
™ Cempaka Putih
™ Cempaka Mas
15
™ Mega Mal Pluit
Omset per hari Carrefour di Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih sebesar Rp 980 juta atau mencapai Rp 525
miliar setahun. Sedangkan outlet di Duta Merlin diperkirakan mencapai Rp 420 miliar setahun (Data Consult,
2000)
4. Alfamart
Pada awalnya ALFA memposisikan sebagai gudang rabat, di mana pedagang kecil merupakan target pasar
utama, tetapi di dalam perkembangannya ALFA juga mengembangkan usahanya melalui pembangunan super
market dan mini market (Alfa Mart). Fungsi dari gudang rabatnya juga telah berubah, tidak lagi hanya melayani
pedagang tetapi juga konsumen/pemakai akhir. Sampai dengan akhir Septemer 2003, ALFA telah memiliki 492
minimarket, mempekerjakan 5.898 karyawan lokal dan penjualan rata-rata per tahunnya diperkirakan mencapai
1,8 triliun rupiah dengan pangsa pasar sebesar 8%.
Sesuai kepemilikan, Alfamart terdiri dari tiga macam, yakni milik Alfa sendiri, waralaba dan independent
operator. Dalam kategori terakhir ini, biasanya koperasi kepolisian dan pesantren, Alfa membiayai rak-rak di
dalam toko.
Sejak tahun 1994, kegiatan perusahaan dibagi menjadi 3 (tiga) divisi, yaitu divisi swalayan, divisi grosir,
dan divisi distribusi. Penjualan di masing-masing divisi dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Penjualan Masing-Masing Divisi ALFAMART 1998 – 2002
Divisi
Swalayan
Grosir
Distribusi
Jumlah
2002
1.654.505
1.536.693
86.813
3.278.011
2001
1.576.880
1.061.210
74.922
2.713.012
2000
1.295.508
680.762
64.261
2.040.531
1999
1.060.695
303.036
54.904
1.418.635
1998
770.454
380.197
55.099
1.205.750
5. Matahari
Matahari adalah perusahaan retail Indonesia yang mengfokuskan untuk memberi pelayanan bagi lapisan
masyarakat kelas menengah ke atas. Matahari didirikan pada tahun 1958 oleh Bapak dan ibu Hari Darmawan,
berawal dari toko pakaian anak-anak di Pasar Baru, Jakarta hingga menjadi retail besar. Dengan Visi menjadi
market leader di pasar retail nasional dan sejajar dengan retail internasional, matahari menerapkan konsep one
stop shopping melalui 2 jenis bisnis, yaitu Matahari Departement Stores dan Matahari Supermarket. Hingga
September 2003, Matahari telah mempunyai 75 Departemen Stores dan 53 supermarket di 35 kota di Indonesia.
Total penjualan bersih selama periode September 2002 – September 2003 mencapai 3.312,5 miliar rupiah.
IV.2 Saluran Distribusi Antara Pemasok dan Retail di Indonesia
Banyak pengecer-pengecer besar mempunyai integrasi langsung ke belakang (integrasi vertical) dengan pabrikpabrik besar tanpa perantara, Misalnya PT Unilever yang memiliki berbagai macam LP dengan jumlah
produknya kurang lebih 1000 macam menggunakan pola distribusi dengan sistem penjualan langsung dan tidak
langsung. Penjualan tidak langsung dilakukan lewat beberapa Sub-Distributor untuk masing-masing kota besar
di Indonesia, dan masing-masing sub-distributor mensuplai ke pedagang atau pengecer.
Sedangkan penjualan langsung dilakukan oleh PT Unilever dengan pengecer-pengecer besar seperti
Carrefour dan Hero dan juga dengan grosir besar seperti Makro. Pengecer-pengecer besar tersebut juga
berintegrasi langsung ke belakang dengan pabrik-pabrik besar lainnya (Gambar 4).
16
Pabrik Besar
Sub-distributor
Pengecer besar seperti
Carrefour & Hero
Pengecer
lokal
Konsumen
Gambar 4 Jalur Distribusi Langsung dan Tidak Langsung
IV.2.1. Carrefour
Selain dengan PT Unilever, seperti retail-retail moderen lainnya, Carrefour juga memiliki hubungan bisnis
dengan ratusan produsen/suppliers/distributor atau pemasok di dalam negeri. Walaupun Carrefour adalah suatu
perusahaan dagang asing, tetapi Carrefour di Indonesia tidak melakukan kontrak pembelian barang dengan
pabrik/produsen di luar negeri seperti misalnya Unilever di Belanda.
Karena barang yang dibutuhkan oleh Carrefour di Indonesia adalah unik, dalam arti sesuai selera
masyarakat Indonesia, maka kontrak beli dan pemasokan dilakukan dengan PT Unilever Indonesia. Carrefour
menerapkan sistem dual dalam pengadaaan barang: langsung dengan pabrik dan lewat agen/distributor.
Selain itu, Carrefour juga membuat kontrak bisnis dengan sejumlah kelompok tani yang tersebar terutama di
Jawa Barat untuk pemasokan buah-buahan dan komoditi pertanian lainnya, seperti ditunjukkan pada Gambar 5
berikut ini. 4
Kelompok
tani
Pabrik besar
Agen/distribut
Carrefour
Gambar 5 Sistem Pengadaan Barang Carefour
IV.2.2. Alfamart
Sistem pengadaan barang yang diterapkan oleh Alfa adalah sistem yang mana pabrik-pabrik, khususnya yang
skala besar, mensuplai produknya ke pusat distribusi (Alfa Distribution Centre), yang selanjutnya di salurkan ke
semua toko Alfamart. Sedangkan pabrik-pabrik kecil atau pabrik baru mensuplai langsung ke Alfamart.
Alfamart juga mempunyai kontrak bisnis dengan sejumlah pengumpul komoditi-komoditi pertanian. Pabrikpabrik dan pengumpul-pengumpul pertanian yang mensuplai Alfa juga mensuplai toko-toko dan distributor
lainnya (Gambar 6).
4
Namun menurut Koestarjono Prodjolalito (seorang pakar retail di Jakarta), pada umumnya hubungan antara retail moderen dengan pabrik lewat
agen, bukan saja karena cara ini sesuai dengan peraturan pemerintah, tetapi juga lebih mudah dalam mengelolanya (administrasi
keuangan/pembayaran). Jika pabrik langsung mensuplai ke pengecer biasanya dengan pemberitahuan (qq) kepada agennya.
17
Pabrik
kecil/baru
alfamart
alfamart
Pabrik
besar
alfamart
Pabrik
besar
Alfa
Distribution
Centre
alfamart
Pabrik
besar
alfamart
Pengumpul
alfamart
Pengumpul
Gambar 6: Sistem Distribusi Alfamart
IV.2.3. Indomaret
Sedangkan jalur distribusi yang diterapkan oleh Indomaret yang memiliki lebih dari 400
produsen/suppliers/distributor/ pemasok besar dan kecil, dan dalam pengadaan barang-barang, adalah
menerapkan 2 sistem, yakni langsung dengan pabrik-pabrik besar yang sifatnya nasional, yakni pabrik-pabrik
yang mensuplai tidak hanya Indomaret tetapi juga toko-toko lainnya seperti Alfa, Carrefour, dll., termasuk juga
pasar-pasar tradisional di Indonesia, seperti yang terdapat pada Table 10, dan tidak langsung, lewat pusat
distribusi yang disebut merchandizing, yakni dengan pemasok-pemasok kecil (industri rumah tangga) untuk
jenis-jenis barang tertentu, seperti dijelaskan pada Gambar 7. 5
5
. Hal ini sesuai dengan anggapan Koestarjono Prodjolalito bahwa tidak ada pengecer moderen (terutama skala besar) yang bertindak sebagai
monopsoni atau pembeli satu-satunya dari pabrik tersebut.
18
Tabel 10 produsen/suppliers/distributor/pemasok
No
Nama perusahaan
1
Indomarco Adi Prima
2
Nestle Distribution Indonesia
3
Unilever Indonesia
4
Tiga Raksa Satria
5
Tesori Mulia
6
Sayap Mas Utama
7
Nusa Pro Telemedia Persada
8
Nirwana Lestari
9
Artha Boga Cemerlang
10
PT Indomarco Perdana
11
Lainnya (>400 suppliers)
Sumber: Indomaret, Jakarta 2003 (hasil wawancara)
Pabrik-pabrik
besar (nasional)
IRT
IRT
IRT
Merchandizing
Indomaret
Gambar 7 Sistem Pengadaan Barang Indomaret
IV.2.4. Hero Supermarket
Dalam menangani masalah distribusi barang, PT Hero Supermarket Tbk menyerahkan pengelolaan bagi
sebagian barangnya kepada PT David Distribution Indonesia dan sebagian bagi dengan pengelolaan
desentralisasi. Selain itu, PT Hero membuat persyaratan baku bagi suppliernya, yaitu: (a) mempunyai produk
yang berkualitas dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan. Mempunyai usaha pribadi atau
kelompok; (b) bersedia mengirim produk ke gudang sentral (PT David Distribusi Indonesia) atau ke gerai-gerai
(outlet); (c) bersedia mengirim dalam jumlah dan kualitas yang kontinyu; (d) bersedia mengirim tepat waktu
sesuai dengan pesanan; (e) mengisi aplikasi pemasok; (f) mengisi permohonan pembayaran; (g) menggunakan
faktur yag diseragamkan; (h) bersedia negosiasi jika terjadi kenaikan atau penurunan harga; (i) bersedia
mengirim barang sepanjang tahun termasuk hari raya keagamaan; (j) setelah memenuhi persyaratan supplier
akan diberi kode supplier; dan (k) bersedia membayar biaya distribusi.
Sinyalemen terjadinya integrasi vertical dalam bisnis eceran skala besar, disinggung di dalam penelitian
yang dilakukan oleh CESS (1998) mengenai pengembangan pedagang eceran kecil dan menengah di Indonesia.
Menurut penelitian tersebut, sinyalemen tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa banyak pengecer besar yang
dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih murah. Integrasi vertical ini dapat dilakukan karena bisnis
eceran merupakan satu di antara sekian banyak perusahaan produsen barang dan jasa yang berada dalam satu
perusahaan induk (holding company). 6
Tetapi, menurut Koestarjono Prodjolalito, 7 pada umumnya hubungan antara retail moderen dengan pabrik
lewat agen, bukan saja karena cara ini sesuai dengan peraturan pemerintah, tetapi juga lebih mudah dalam
mengelolanya (administrasi keuangan/pembayaran). Jika pabrik langsung mensuplai ke pengecer biasanya
6
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Retail Indonesia (Apindo), Kustarjono Prodjolalito, pernah menyatakan bahwa eceran asing
yang beroperasi di Indonesia dengan segala modal, menjual produknya secara dumping untuk mematikan pesaing. Pernyataan ini
dikutip dari Bisnis Indonesia, 7 September 1996.
7
Hasil iwawancara.
19
dengan pemberitahuan (qq) kepada agennya. Dan, menurutnya juga tidak ada pengecer moderen (besar) yang
bertindak sebagai monopsoni atau pembeli satu-satunya dari pabrik tersebut. Dalam kata lain, pabrik tersebut
bebas menjual produknya ke siapa saja.
IV.3 Persaingan Dalam Industri Retail
Persaingan dalam industri retail yang ada di jakarta dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu pertama, persaingan
antara retail modern dan tradisional, persaingan antar sesama retail modern, persaingan antar sesama retail
tradisional, dan persaingan antar supplier.
a. Persaingan antara Retail Modern dan Tradisional
Menurut seorang pakar retail, Bapak Koestarjono Prodjolalito, permasalahan utama antara retail modern
(minimarket, supermarket dan hypermarket) dan retail tradisional, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta
adalah lokasi, di mana retail modern dengan kekuatan modalnya yang luar biasa berkembang begitu pesat yang
lokasinya berdekatan dengan lokasi retail tradisional (yang hampir 100% milik PD Pasar Jaya) yang sudah lebih
dulu berada di lokasi tersebut. Padahal sudah ada Peraturan Daerah No 2 Tahun 2002 mengenai pengaturan
(izin) lokasi bagi retail modern. Dua komponen penting dari SK tersebut adalah jarak minimum antara retail
modern dengan retail tradisional, dan jam buka retail moderen berbeda, yakni antara jam 10 pagi hingga jam 10
malam.
Perbedaan jarak ini dimaksud untuk memberi kesempatan bagi pasar-pasar tradisional untuk tetap bisa
mendapatkan pembeli dari masyarakat sekitar pasar tersebut. Sedangkan perbedaan waktu buka adalah untuk
memberi kesempatan bagi pasar-pasar tradisional yang biasanya buka sejak pagi sekali, bahkan lepas tengah
malam, untuk tetap mendapatkan pembeli yang ingin belanja di bawah jam 10 pagi.
Kenyataannya, beberapa retail modern berlokasi sangat dekat dengan pasar tradisional yang ada. Seperti
misalnya, PD Pasar Jaya di Mampang Prapatan yang berhadapan dengan Hero Supermarket, dan berdekatan
dengan Golden Truly yang sekarang menjadi ALFA. Bagi pedagang tradisional yang ada pada PD Pasar Jaya
Mampang Prapatan, kondisi ini cukup merugikan usaha mereka.
Dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa pedagang di Pasar Mampang Prapatan, diketahui bahwa
beberapa pedagang mempunyai pendapat yang sama tentang pengaruh retail modern terhadap penjualan
mereka. Sejak adanya retail modern yaitu Hero Supermarket (di depan Pasar Mampang Prapatan) dan Golden
Truly yang sekarang menjadi Alfa Supermarket (di samping Pasar Mampang Prapatan) tersebut, para pedagang
merasa bahwa pendapatan mereka menurun dari tahun ke tahun. Penurunan pendapatan ini dikarenakan
banyaknya pelanggan mereka yang lebih memilih berbelanja di retail modern tersebut daripada belanja di pasar
tradisional, khususnya pasar Mampang Prapatan.
Memang kondisi tersebut bukanlah hal yang mutlak, artinya pedagang tidak akan kehilangan sama sekali
pelanggannya. Ibarat “hilang satu tumbuh seribu”, pembeli yang “pergi” akan digantikan oleh pembeli yang lain
atau paling tidak sesekali pembeli itu membeli keperluannya di pedagang yang sudah menjadi langganannya
tersebut. Tetapi hal ini tetap menimbulkan kekhawatiran para pedagang akan kehilangan mata pencaharian
mereka, di mana sudah banyak fenomena gulung tikar karena pedagang rugi dan tidak kuat dengan persaingan
yang terjadi. Akibatnya pasar menjadi sepi baik pembeli maupun penjualnya.
Hal serupa juga dialami oleh banyak PD Pasar Jaya lainnya di lokasi-lokasi lain di Jakarta yang berdekatan
dengan retail moderen. Jika ini terus berlangsung, tidak mustahil suatu ketika PD Pasar Jaya yang sekarang ini
sudah berjumlah 156 unit akan mengalami kemerosotan omset yang sangat besar, dan bahkan bisa mati.
Berkaitan dengan hal tersebut, Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) mengusulkan agar
ditetapkannya daerah kegiatan eceran (zoning). Zona I atau ring A merupakan pusat kota, hanya diijinkan
berdiri supermarket dengan luas tanah 2.500 M2. Zona II atau ring B berada di pinggiran kota dengan luas
tanah 5.000 M2. Sedangkan zona C atau ring C berada jauh dari kota dan tidak dibatasi luas lantainya.
Akan tetapi, Peter Gale memperkirakan bahwa walaupun pasar modern seperti hypermarket di masa depan
akan mendapatkan tempat untuk pembelanjaan dalam jumlah besar, pembelanjaan jenis barang yang banyak,
serta merupakan sarana hiburan sambil berbelanja bagi keluarga di akhir pekan, untuk kawasan Asia Tenggara,
pasar tradisional masih mendapat tempat dominan di kalangan para pembeli, atau di masa depan masih tetap
penting di dalam perdagangan domestik. Pergeseran pembeli dari pasar tradisional ke pasar moderen masih
20
tergolong lambat sehingga pasar tradisional masih dominan. Hal ini didukung oleh survei paling akhirnya
(dilakukan oleh perusahaan jasa survei AC Nielsen) di 12 negara dengan jumlah pembeli yang disurvei
mencapai 16.000 orang, yang menunjukkan bahwa sebanyak 45% dari jumlah pembeli tersebut masih
mendatangi pasar tradisional, sedangkan 34% berbelanja di pasar moderen, dan 21% mendatangi kedua jenis
retail/pasar tersebut.
Di dalam laporannya disebut sejumlah alasan kenapa masih banyak pembeli tetap setia dengan pasar
tradisional, diantaranya adalah dekat dengan rumah, ada pendekatan kemanusiaan antara pembeli dan penjual,
dan dengan uang terbatas, pembeli masih bisa mendapatkan barang yang diinginkannya, dan mudah
mendapatkannya.
Berpindahnya konsumen dari pasar tradisional ke retail modern disebabkan karena retail modern lebih
memberikan kenyamanan dalam berbelanja, lebih bersih, berkesan “elite” dan yang lebih penting adalah
“murah meriah”. Sebab yang terakhir inilah yang paling meresahkan pedagang di pasar tradisional. Misalnya
untuk barang-barang kalengan, kecap, susu, sabun, dan lain-lain, retail modern langsung membeli dari pabrik
dengan harga yang lebih murah karena membeli dalam partai besar. Sedangkan pedagang tradisional
mengambil barang- barang tersebut, dari distributor yang notabene telah menetapkan harga yang lebih mahal
daripada retail modern. Selain itu, biaya transpor dari agen ke pembeli semakin mahal jika pembelian dalam
jumlah yang kecil. 8 Kondisi ini bisa menjadi salah satu faktor penting yang membuat semakin menjauhkan
pasar tradisional dari kemampuan untuk bersaing dengan retail modern.
Selama survei diketahui bahwa hubungan yang tidak begitu harmonis antara Pasar Mampang tersebut
dengan retail modern di sekitarnya pernah mencapai titik terburuknya, yakni para pedagang di Pasar tersebut
pernah melakukan aksi demonstrasi kepada Golden Truly. Sayangnya, aksi ini kurang berpengaruh dan kurang
ditanggapi oleh owner retail modern, pemerintah maupun pengurus pasar tersebut.
Menurut pedagang, pemilik retail modern mempunyai strategi pemasaran yang lebih bagus dan “pintar”
membaca situasi sehingga dapat menarik perhatian masyarakat. Selain itu, pemilik retail modern mempunyai
modal yang besar dan berani untuk mengambil resiko dalam memasarkan barangnya. Harapan para pedagang,
pemerintah tidak menambah jumlah retail modern apabila ingin memajukan retail tradisional.
Lebih lanjut menurut para pedagang, pembeli langganannya tidak dengan mudah meninggalkan mereka
begitu saja, karena ada beberapa keunggulan berbelanja di pasar tradisional, yaitu : (a) para pembeli yang
berasal dari masyarakat berpendapatan menengah ke bawah merasa lebih percaya diri jika berbelanja di pasar
tradisional dibandingkan di retail modern; (b) para pedagang paham benar bahwa pembelinya adalah mereka
yang berasal dari golongan menengah ke bawah, sehingga memungkinkan pembelian barang dalam kuantitas
yang sangat kecil; (c) hubungan antara pedagang dan pembeli cukup akrab dan saling percaya, sehingga
memungkinkan pembeli melakukan pembelian secara kredit; (d) untuk menjaga hubungan tersebut, para
pedagang seringa kali memberikan discount ataupun hadiah pada hari-hari tertentu, misalnya ketika lebaran;
dan (e) pedagang mengerti benar kualitas barang dagangannya, sehingga dapat memberikan informasi dan
mengarahkan pembeli pada barang yang terbaik. Hal seperti inilah yang tidak akan didapatkan oleh pembeli
apabila mereka berbelanja di retail modern.
Dari hasil survey peneliti dengan 100 konsumen di sekitar Carefour Pasar Festival, diperoleh diketahui
bahwa alasan utama mereka berbelanja di retail modern adalah karena harga yang murah (24 %), lengkap (23
%), dan nyaman (16 %). Rupanya konsep one stop shopping memang sudah menjadi pilihan para konsumen
(Gambar 8).
Selain carefour, ternyata pilihan alternatif belanja konsumen pada retail modern (69 %) lain tetap lebih besar
daripada pada retail tradisional (31% yang terdiri dari warung 13 % dan pasar tradisional 18 %) (Gambar 9).
Sebenarnya, sebagian besar (92 %) konsumen pernah berbelanja di pasar tradisional, tetapi ternyata hanya
22 % saja yang menyatakan lebih menyukai berbelanja di pasar tradisional. Alasan utama meraka adalah
karena di pasar tradisional tidak nyaman (33 %), tidak bersih (34%), dan kualitas barangnya rendah (17 %).
Sebenarnya meraka juga menyadari bahwa di pasar tradisional terdapat beberapa keunggulan, yaitu harga dapat
8
Sebenarnya, biaya transpor ini bisa ditekan, jika pemda DKI membangun gudang penyimpan atau pusat distribusi di setiap wilayah di DKI (4
wilayah), dan dari situ barang dipasok ke pengecer-pengecer yang berlokasi di wilayah masing-masing. Misalnya, pabrik memasok barang ke gudang
penyimpanan di Jakarta Selatan, dan dari sana dipasok oleh agen ke pengecer-pengecer yang berlokasi di wilayah selatan Jakarta.
21
ditawar. Tetapi ternyata hal tersebut tidaklah cukup kuat jika dibandingkan keinginan masyarakat untuk
mendapatkan kenyamanan (Gambar 10).
Mengapa Konsumen menyukai carefour?
0.05 0.03
0.03
0.16
Nyaman
Pelayanan Bagus
0.09
0.05
Harga murah
Lengkap
0.04
Barang Berkualitas
Bersih
0.07
Lokasi Strategis
0.24
Aman
Luas
Dapat memilih barang
0.23
Gambar 8 : Alasan Konsumen menyukai Carefour
Alternatif Belanja
0.13
0.18
Warung terdekat
Supermarket
Pasar Tradisional
0.69
Gambar 9: Alternatif Belanja selain Carefour
Kelemahan Pasar Tradisional
0.17
Tidak Bersih
0.33
Tidak Nyaman
0.03
Tidak Aman
0.03
Harga Mahal
0.10
Tidak lengkap
Kualitas Barang
Rendah
0.33
Gambar 10: Kelemahan pasar Tradisional
22
Dari sisi pedagang, memang tidak semua pedagang di pasar Mampang Prapatan menganggap kehadiran
retail modern sebagai pesaingnya. Beberapa pedagang merasa tidak terpengaruh oleh keberadaan retail modern.
Biasanya mereka adalah pedagang yang bermodal kecil, bependapatan kecil, atau pedagang yang “nrimo”,
santai dan tidak mau telalu memikirkan persaingan baik di dalam maupun di luar.
Bahkan ada pedagang yang justru memanfaatkan harga yang murah di retail modern, dengan membeli
barang di retail modern kemudian menjualnya kembali di pasar tradisional. Menurut mereka, retail tradisional
kalah bersaing dengan retail modern karena retail tradisional tidak menjaga kenyamanan pasar, seperti
kebersihan, keamanan, dan ketersediaan parkir. Parkir di pasar Mampang tersebut semakin sulit karena trotoar
di depannya dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang mulai berdagang sejak lepas tengah malam hingga sore
hari. Kehadiran pedagang kaki lima tersebut menyulitkan pengendara yang ingin parker dan belanja di pasar
tersebut.
Memang jika diperhatikan, kondisi PD Pasar Jaya Mampang Prapatan mencerminkan kondisi retail
tradisional (pasar) yang ada di DKI, yakni tidak berkembang secara signifikan dari dulu hingga sekarang.
Walaupun ada kecenderungan pasar tradisional semakin ditinggalkan oleh masyarakat, sebenarnya masih
ada pasar-pasar tradisional yang tidak kalah bersaing dengan retail moderen, bahkan mereka saling mendukung
secara sengaja maupun tidak sengaja. Misalnya Pasar Mayestik, Pasar Cikini, dan Pasar Tebet Barat. Pasar
Mayestik cenderung menjadi primadona karena selain ada komoditi tertentu yang menjadi idola sehingga
terkesan elite. Sementara, retail modern di sekitarnya seperti Hero tidak terlalu menarik karena tempat parkirnya
yang sempit, namun tetap bertahan. Kehadiran retail moderen di tengah-tengah pasar tradisional membuat Pasar
Mayestik menjadi ramai setiap hari.
Fenomena bersatunya kedua retail tersebut dapat dilihat di pasar Tebet Barat yang berada dalam satu
bangunan dengan Ramayana. Mereka saling mendukung. Konsumen memang lebih tertarik untuk berbelanja di
Ramayana yang berani memberikan diskon, tetapi kadang konsumen akan membeli barang di pasar Tebet Barat
apabila mereka tidak menemukan barang yang akan dibelinya di Ramayana.
Menurut Koestarjono Prodjolalito 9 , masih banyaknya pasar jaya yang tetap bisa bertahan hingga saat ini
(dan kemungkinan juga di masa depan), walaupun pertumbuhan retail moderen sangat pesat, juga disebabkan
oleh adanya perbedaan dalam segmen pasar. Berdasarkan pendapatan, konsumen dapat dibagi dalam 5 segmen,
yaitu atas-atas (paling kaya), menengah-atas, menengah, menengah-bawah, dan bawah-bawah (paling miskin)
Seperti yang terlihat pada Gambar 11 berikut ini.
Segmen Pasar
Special market atau
toko yang menjual
Atas-atas
produk dengan
kualitas tinggi
-Menengah-Atas
-Menengah
-Menengah-Bawah
Retail Moderen
Retail tradisional
-
Bawah-bawah
Gambar 11 Segmen Pasar dari Retail Moderen dan Retail Tradisional
Misalnya, Carrefour memfokuskan pada kelompok masyarakat menengah-atas hingga menengah-bawah.
Sedangkan kelompok atas-atas belanja di toko-toko yang menjual produk-produk dengan kualitas yang lebih
baik (walaupun lebih mahal), misalnya ke Hero, Sogo, supermarket atau special market seperti toko buahbuahan, yang jual fresh products.
9
Hasil wawancara untuk studi ini.
23
Kadang-kadang untuk membeli berbagai macam kebutuhan, mereka juga pergi ke Carrefour. Sedangkan,
kelompok bawah-bawah hanya pergi ke pasar jaya atau pasar-pasar di pinggir jalan, atau warung-warung di
sekitar rumah mereka, atau membelinya dari pedagang keliling (misalnya tukang sayur), dan kelompok
menengah-bawah sekali-sekali ke retail moderen. 10
Dalam hal persaingan harga, beberapa harga barang yang ditawarkan oleh retail modern lebih murah
daripada harga di pasar tradisional. Dari hasil wawancara tim peneliti dengan Bapak Triyono Prijosoesilo,
Public Relation manager dari Carrefour, harga yang lebih murah di Carrefour adalah disebabkan oleh dua hal,
yaitu :
a) Economies of Scale.
Semakin besar jumlah yang dibeli dari supplier, semakin besar potongan harga yang diberikan oleh supplier
tersebut kepada Carrefour. Akibatnya, Carrefour juga menetapkan harga yang murah kepada konsumennya.
b) Sistem Pembelian Putus dari Produsen
Carrefour menetapkan sistem pembelian putus dari produsennya. Akibatnya, produsen dapat menekan harga
menjadi lebih rendah, karena tidak ada faktor risiko yang harus mereka tanggung.
Harga yang bersaing adalah sebuah keunggulan.Untuk itu, Carrefour selalu melakukan survei harga di
beberapa retail modern yang merupakan pesaingnya. Kemudian sebagai jaminan kepada masyarakat, Carrefour
selalu mengembalikan selisih harga antara Carrefour dengan retail modern lainnya.
Sementara pada retail tradisional, harga yang lebih tinggi bukan saja karena jumlah barang dibeli relatif lebih
sedikit, tetapi juga karena biaya transpor dari agen ke pembeli. Sebenarnya, biaya transpor ini bisa ditekan, jika
pemda DKI membangun gudang penyimpan atau pusat distribusi di setiap wilayah di DKI (4 wilayah), dan dari
situ barang dipasok ke pengecer-pengecer yang berlokasi di wilayah masing-masing. Misalnya, pabrik
memasok barang ke gudang penyimpanan di Jakarta Selatan, dan dari sana dipasok oleh agen ke pengecerpengecer yang berlokasi di wilayah selatan Jakarta.
Bagi sebuah hypermarket seperti Carrefour, retail tradisional bukanlah pesaing mereka, meskipun Carrefour
juga tidak menganggap sebagai mitra. Hal ini disebabkan, Carrefour menganggap bahwa segmen pasar dari
keduanya adalah berbeda, sehingga keberadaannya tidaklah mengganggu retailer tradisional. Ijin pendirian
yang ia kantongi dikeluarkan oleh Depperindag dan Pemda DKI, sehingga pasti sudah memenuhi semua
persyaratan yang diminta kedua lembaga tersebut, termasuk pertimbangan adanya pasar tradisional.
b. Persaingan antara Sesama Retail Modern
Persaingan antar retail dalam memperebutkan konsumen tidak hanya terjadi antara retail moderen dengan retail
tradisional, tetapi juga terjadi antara sesama perusahaan retail moderen. Persaingan antar sesama perusahaan
retail moderen terjadi pada kelas yang berbeda. Persaingan pada kelas minimarket bisa dilihat dari strategi dan
ekspansi yang dilakukan pihak Indomaret, Alfamart, Cirkel K, AM PM. Demikian pula persaingan antar sesama
pengelola factory outlet sejenis milik perorangan yang jumlah tokonya hanya bisa dihitung dengan jari, maupun
antara factory outlet dengan department store. Ide awalnya factory outlet berada jauh di luar kota, namun
sekarang justru berdampingan dengan department store
Sementara persaingan di kelas yang lebih besar yakni supermarket Alfa, Hero, Super Indo, Matahari, dan
Rench 99 Market juga sangat sengit. Demikian juga, persaingan yang tidak kalah sengit terjadi antara sesama
raksasa hypermarket, seperti Carrefour, Giant, dan Makro. Tak jarang terjadi perang harga secara terangterangan antar mereka. Misalnya melalui iklan di media massa, Spanduk, ataupun katalog.
Menurut pengamatan Abdullah (2003), persaingan antar sesama department store juga cukup sengit, seperti
Sogo, Metro, Rimo Matahari, Ramayana, dan Pojok Busana yang terus aktif berekspansi.
Persaingan bisnis retail pada tahun depan diperkirakan semakin ketat dengan akan dibukanya beberapa
pusat perbelanjaan baru. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia, A. Stefanus Ridwan,
dibukanya sejumlah pusat perbelanjaan baru seperti Plaza Semanggi di Jakarta akan mengakibatkan persaingan
10
Menurut Triyono Prijosoesilo dari Carrefour, Bagi sebuah hypermarket seperti Carrefour, retailer tradisional bukanlah pesaing mereka, meskipun
Carrefour juga tidak menganggap sebagai mitra. Hal ini disebabkan, Carrefour menganggap bahwa segmen pasar dari keduanya adalah berbeda,
sehingga keberadaannya tidaklah mengganggu retailer tradisional. Ijin pendirian yang ia kantongi dikeluarkan oleh Depperindag dan Pemda DKI,
sehingga pasti sudah memenuhi semua persyaratan yang diminta kedua lembaga tersebut, termasuk pertimbangan adanya pasar tradisional.
24
di bisnis retail menjadi semakin ketat. Oleh sebab itu, pengusaha retail dituntut untuk melakukan segmentasi
pasar yang lebih terfokus agar dapat tetap eksis. (Bisnis Indonesia, 2003)
Dari sisi konsumen, keberadaan retail modern yang semakin banyak justru menguntungkan mereka, karena
masing-masing retail berusaha memuaskan konsumen. Dikatakan oleh Eksekutif Aperindo, Rudy Hartono,
retail yang mampu bertahan atau memenangkan persaingan antar pengusaha eceran itu adalah yang memiliki
sistem pelayanan terbaik kepada konsumen. Sebab, pengusaha retail dalam perkembangan bisnisnya tidak
sekedar berkosentrasi pada penjualan produk tetapi harus memperhatikan sistem pelayanannya secara integral
demi kepuasan pelanggan.
Salah satu bentuk persaingan yang terjadi adalah persaingan harga. Harga yang bersaing adalah sebuah
keunggulan. Menyadari hal tersebut, Carrefour selalu melakukan survey harga di beberapa retail modern yang
merupakan pesaingnya. Kemudian sebagai jaminan kepada masyarakat, Carrefour selalu mengembalikan
selisih harga antara Carrefour dengan retail modern lainnya.
Beberapa strategi persaingan dari retail modern yang menjadi obyek penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hero Supermarket
Strategi persaingan yang diterapkan oleh Hero Supermarket adalah berusaha mempertahankan pelanggannya
dengan menyediakan produk-produk yang berkualitas. Dalam upayanya menjaga kualitas produk yang
dijualnya, PT Hero mempunyai persyaratan mutu produk yang dijualnya.
i). Produk yang bermutu
Mutu produk sesuai dengan segmentasi pasar, mempunyai keunggulan dan spesifikasi pada masing-masing
jenis dan sanggup memproduksi secara kontinyu sesuai dengan pasar.
ii) Tidak rusak
Produk utuh luar dalam, tidak busuk, tidak cacat fisik, cacat hama, cacat penyakit, cacat mekanis karena
benturan, gesekan memar atau disebabkan mikrobiologi dan sebagainya.
iii) Kemasan produk
a. Kemasan yang baik sesuai dengan karakteristik produk yang diberlakukan secara baik, dikemas dalam
karton, styro foam, wrapping film, ikat, dan lain-lain, dengan volume yang sama dan kualitas seragam.
b.Design simple dan menarik dengan warna yang serasi disesuaikan dengan karakteristik produk
c. Nama barang dan merk jelas
d.Mencantumkan informasi kadaluwarsa dan regristrasi Departement Kesehatan.Jika memungkinkan
mencantumkan bar code.
iv) Ukuran
Bentuk dan ukuran produk diusahakan seragam dengan kualifiaksi tertentu sesuai dengan berat atau besar
produknya.
v) Kebersihan produk
Bersih dari kotoran yang tidak diinginkan seperti rambut, tanah, getah, bebas benda asing, serangga, ulat,
dan lain sebagainya.
vi) Keamanan produk
Tidak mengandung zat aditif, residu pestisida, dan bahan kimia yang tidak dianjurkan.
2. Indomaret Mini Market
Berbeda dengan Hero Supermarket, strategi yang diterapkan oleh Indomaret mini market adalah melakukan
segmantasi dari target pasarnya. Indomaret memfokuskan diri pada area pemukiman, perkantoran dan fasilitas
umum. Kategori produk-produk yang dijual adalah untuk kebutuhan sehari-hari (total 3300 items) seperti
makanan (sarapan pagi, susu, dan makanan bayi), produk-produk non-makanan (pemeliharaan rambut,
kosmetik, pemeliharaan mulut), barang-barang umum (keperluan bayi, pakaian dan alas kaki) dan produkproduk yang mudah busuk (buah-buahan, unggas, roti dan pastry). Sasarannya adalah terutama ibu rumah
tangga/perempuan dan kelas menengah.
Dalam hal persaingan, diantara retail-retail moderen, pesaing-pesaing langsung bagi Indomaret adalah circle
K, Alfa dan Starmart. Sedangkan supermarket dan hypermarket adalah pesaing-pesaing yang sifatnya tidak
25
langsung karena kategori retailnya memang berbeda. Menurut pimpinan dari Indomaret, Indomaret juga tidak
bersaing langsung dengan pasar-pasar tradisional karena segmen pasarnya menurut kategori pendapatan.
Dengan visi menjadi aset nasional dalam bentuk jaringan retail waralaba yang unggul dalam persaingan
global, Indomaret menjadi mini market modern khas Indonesia. Yang menjadi keunggulan dari Indomaret
adalah: (a) lokasi toko dekat pemukiman atau aktivitas consumen, dan (b) kesegaran produk, dijamin dengan
pemeriksaan produk mulai dari penerimaan, dan penanganan produk. Berlaku First In First Out (FIFO).
3. Carrefour
Carrefour mengambil konsep Hypermarket dengan menawarkan berbagai jenis produk yang berkualitas tinggi
tetapi dengan harga yang murah dan kenyamanan berbelanja. Manajemen Carrefour menetapkan mengambil
margin keuntungan yang kecil dengan penetapan harga jual yang relatif lebih murah dibandingkan dengan retail
lainnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya jaminan uang kembali jika harga di toko lain yang sejenis adalah
lebih murah. Promosi penjualan dibuat hampir di semua media massa, meliputi media cetak dan media
elektronik, spanduk, reklame, stiker, dan lain-lain.
4. Alfamart
Alfamart mengfokuskan pemasaran pada golongan menengah dan menengah ke bawah. Adapun strategi
pemasaran yang ditetapkan oleh divisi swalayan adalah sebagai berikut: (a) promosi dalam gerai, meliputi
promosi bersama dengan pemasok untuk produk baru termasuk produk sampling dan demo masak yang
diselenggarakan secara berkala; (b) komunikasi dengan pelanggan melalui telepon bebas pulsa 0-800-1090-234
dan situs www.alfa-retail.co.id; (c) penjualan murah untuk barang-barang yang dibeli dengan harga khusus dari
pemasok dilakukan secara berkala oleh perseroan dan diinformasikan melalui Alfa Info yaitu brosur yang
diterbitkan 2 minggu sekali; (d) pembentukan Alfa Familly Club (AFC) sebagai wadah loyalitas konsumen.
Anggota mendapat diskon khusus; (e) pembentukan divisi customer care melalui pembinaan pelayanan
karyawan kepada konsumen, serta melakukan kegiatan sosial dalam pundi amal alfa; dan (f) hadiah undian.
c. Persaingan antara Sesama Retail Tradisional
Berbeda dengan retailer modern yang dalam menentukan lokasinya selalu mempertimbangkan banyaknya
konsumen, accessibility dan feasibility, bagi retail tradisional, seperti di Pasar Mampang Prapatan lokasi
tidaklah mempengaruhi omzet penjualannya yang berkisar Rp 500.000,- hingga Rp 1.000.000,- perharinya.
Masing – masing pedagang tradisional sudah mempunyai pelanggan sendiri. Tidak adanya kesepakatan harga di
antara para pedagang, menimbulkan persaingan di antara mereka sehingga mereka berusaha dengan caranya
sendiri untuk menggaet pelanggan.
Selain itu, persaingan juga terjadi kemudahan dalam pelayanan yang diberikan kepada pelanggan.
Kemudahan tersebut misalnya pembayaran di belakang, layanan antar ke tempat konsumen, discount untuk
pembelian besar, bonus atau hadiah Hari Raya, dan lain sebagainya.
d. Persaingan antara Supplier
Menurut Koestarjono Prodjolalito, pada umumnya hubungan antara retail moderen dengan pabrik lewat agen,
bukan saja karena cara ini sesuai dengan peraturan pemerintah, tetapi juga lebih mudah dalam mengelolanya
(administrasi keuangan / pembayaran). Jika pabrik langsung mensuplai ke pengecer biasanya dengan
pemberitahuan (qq) kepada agennya. Dan, menurutnya juga tidak ada pengecer moderen (besar) yang bertindak
sebagai monopsoni atau pembeli satu-satunya dari pabrik tersebut. Dalam kata lain, pabrik tersebut bebas
menjual produknya ke siapa saja.
Banyak pengecer-pengecer besar mempunyai integrasi langsung ke belakang dengan pabrik-pabrik besar
tanpa perantara. Misalnya PT Unilever yang memiliki berbagai macam LP dengan jumlah produknya kurang
lebih 1000 macam menggunakan pola distribusi dengan sistem penjualan langsung dan tidak langsung.
Penjualan tidak langsung dilakukan lewat beberapa Sub-Distributor untuk masing-masing kota besar di
Indonesia, dan masing-masing sub-distributor mensuplai ke pedagang atau pengecer. Sedangkan penjualan
langsung dilakukan oleh PT Unilever dengan pengecer-pengecer besar seperti Carrefour dan Hero dan juga
26
dengan grosir besar seperti Makro. Pengecer-pengecer besar tersebut juga berintegrasi langsung ke belakang
dengan pabrik-pabrik besar lainnya (Gambar 12).
Pabrik Besar
Distributor
Pengecer besar
seperti Carrefour
& Hero
Pengecer
Konsumen
Gambar 12 Jalur Distribusi Langsung dan Tidak Langsung
Jalur distribusi ini juga berlaku bagi Procter&Gamble dan Mead Jhonson. Hasil wawancara peneliti dengan
Procter & Gamble, diketahui bahwa terdapat perbedaan jalur distribusi antara supply barang kepada retail
modern dan retail tradisional. Pada retail modern, karena jumlah pembeliannya besar, maka Procter & gamble
memberlakukan distribusi langsung dari pabrik ke retail modern. Sedangkan bagi retail tradisional, karena
jumlah pembeliannya relatif kecil, diberlakukan distribusi tidak langsung, yaitu melalui distributor.
Harga dari pabrik sama, sehingga memungkinkan harga yang sampai di retailer tradisional lebih mahal,
karena adanya distribution fee. Hal ini secara otomatis menurunkan daya saing retail tradisional. Harga jual
yang ditetapkan adalah harga eceran tertinggi (HET), bukan harga terendah. Sehingga memungkinkan terjadi
persaingan harga antar retail.
Sedangkan pada produk Mead Jhonson yang berupa susu anak, mengingat harga per unit produk relatif
mahal, 80 persen konsumen adalah kalangan menengah ke atas. Dengan kondisi tersebut, Mead Jhonson lebih
mengfokuskan penjualan pada retail modern.
Persaingan yang terjadi antar supplier adalah persaingan dalam memberikan keuntungan bagi retail. Hal
yang sering dikeluhkan oleh supllier adalah bahwa kalangan produsen dan supplier mengeluhkan lemahnya
posisi tawar (bargaining position) mereka terhadap pengusaha retail modern. Menurut Ketua Umum Forum
Komunikasi Hortikultura Krakatau (DKI Jakarta, Jabar, Banten, dan Lampung) Beni Kusbini, selama ini
kalangan supplier cenderung mensubsidi pengusaha retail modern akibat lemahnya posisi tawar mereka.
Misalnya, perjanjian pembayaran yang jatuh temponya tiga minggu sampai satu bulan ternyata bisa mundur
menjadi 1,5 sampai dua bulan dengan berbagai dalih, misalnya karena barang belum laku.(Bisnis Indonesia,
2003).
Retail modern terkadang meminta supplier agar memberikan harga khusus pada hari-hari tertentu. Padahal,
margin keuntungan yang diperoleh sudah tipis. Contohnya harga bawang daun yang biasanya Rp3.000 per kg
harus diturunkan menjadi Rp2.600 per kg pada hari Jumat. Akhirnya karena margin yang terlalu tipis itu
supplier memutuskan untuk tidak mensuplai lagi ke Carrefour dan Makro.
Selain itu, dari hasil wawancara peneliti dengan Trade Marketing Manager Mead Jhonson, Bpk Muhammad
Taufik, untuk memasok ke Carrefour, supplier dikenai biaya tambahan antara lain Listing Fee, Display, Promosi
(pembuatan katalog), dan biaya gondola yang besarnya berkisar Rp 2.500.000,- per stock keeping unitnya.
Tentu saja permintaan retail modern ini tidak selalu dipenuhi 100 %. Biasanya terjadi proses negosiasi yang
memungkinkan terjadi biaya yang berbeda-beda antar supplier.
Dari hasil wawancara, diketahui bahwa keluhan seperti di atas tidak pernah berlaku pada produk Procter &
Gamble. Hal ini dikarenakan Procter & Gamble selalu membuat Join Business Plan dengan retail modern untuk
27
jangka waktu satu tahun dan 4 bulan sekali dilakukan review. Dalam Join Business Plan tersebut, antara lain
disepakati bahwa pihak Procter & Gamble tidak dikenakan biaya penyewaan Gondola dan Rak.
Poin terpenting dari Join Business Plan adalah Procter & Gamble memberikan konsep bisnis yang
menguntungkan. Bahwa retail modern akan mendapatkan keuntungan jika menjual produk Procter & Gamble
meskipun tanpa biaya sewa rak dan Gondola.
Bagi procter & Gamble, perusahaan berskala Internasional, persaingan dengan supplier lain tidaklah terlalu
mengkhawatirkan. Differentiation product mengakibatkan barangnya mempunyai pelanggan tersendiri,
sehingga tidak mudah disubstitusi oleh produk lain, meskipun diakui bahwa produknya relatif lebih mahal
daripada produk sejenis lainnya.
IV.4 Peraturan-Peraturan Retail dan Hubungannya dengan UU No. 5 tahun 1999
Dalam kajian ini yang menjadi pokok kajian adalah untuk mengetahui peraturan-peraturan yang berlaku di
bidang usaha retail apakah bertentangan atau tidak dengan UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan yang berlaku untuk wilayah Jabotabek dalam bidang
retail adalah pada tiga produk hukum yaitu (1) Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan Dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 145/MPP/Kep/5/1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pusat
Pertokoan; (2) Perda DKI No.2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta Di Propinsi DKI Jakarta, dan (3)
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 44 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perpasaran Swasta Di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Keputusan bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan Dan Menteri Dalam Negeri tsb di atas pada
intinya memberikan syarat-syarat bagi pasar modern untuk tidak merugikan pengusaha kecil yang melakukan
usaha retail tradisional.
Pasal 10 Perda DKI No. 2 tahun 2002 mengatur luas dan jarak tempat penyelenggaraan Usaha sbb: (a) usaha
perpasaran swasta yang luas lantainya 100 m2 s.d 200 m2 harus berjarak radius 0,5 km dari pasar lingkungan
dan terletak disisi jalan Lingkungan/Kolektor/Arteri; (b) usaha perpasaran swasta di atas 200 m2 s.d 1000 m2
harus berjarak radius 1,0 km dari pasar lingkungan dan terletak disis jalan Kolektor/Arteri, 1000 m2 s.d 2000
m2 berjarak radius 1,5 km dari pasar lingkungan dan terletak disisi jalan Kolektor/Arteri, dan (c) usaha
perpasaran yang luas lantainya di atas 2000 m2 s.d 4000 m2 harus berjarak radius 2 km dari pasar lingkungan
dan terletak disisi jalan Kolektor/Arteri.
Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 44 tahun 2003 pada pokoknya mengatur perlindungan bagi warung
dan toko atau usaha kecil dari usaha perpasaran swasta skala besar.
Dari ketiga ketentuan yang mengatur kegiatan usaha retail tersebut di atas, maka yang significant
mengendalikan persaingan antara usaha retail tradisional dengan usaha retail modern di Jabotabek adalah Perda
adalah No 2 tahun 2002.
Dengan berlakunya Perda No 2 tahun 2002 membawa konsekwensi sbb. Pertama, dalam area 2 km hanya
ada satu pasar, yaitu pasar tradisional yang dikelola oleh PD Pasar Jaya yang di dalamnya terdapat beberapa
pelaku usaha retail tradisional. Dengan demikian Perda ini menciptakan hambatan untuk masuk ke ‘pasar’ bagi
usaha retail modern skala besar. Substansi dari Perda DKI tersebut jika dilihat dari aspek praktis maka dapat
menciptakan pasar tradisional tsb potensial melakukan ‘penguasaan pemasaran barang’ yang dapat melahirkan
praktek monopoli, karena pasar tradisional yang dikelola oleh PD Pasar Jaya menjadi pelaku usaha tunggal
yang menguasai lebih dari 75%. Kedua, dalam usaha Mini Market, Pasar Swalayan harga jual barang-barang
sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah dengan yang ada di warung dan toko sekitarnya. Ketiga,
ketentuan ini jika dihubungkan dengan tujuan pembentukan UU No.5 tahun 1999 bertentangan Pasal 3 huruf b
bahwa tujuan UU No 5 thn 1999 adalah untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil.
IV.4.1. Pengecualian
Sudah menjadi kesepakatan nasional bahwa untuk menjaga kepentingan nasional sebagai salah satu upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan perlu adanya perlindungan terhadap Usaha Kecil dan Menengah, dalam
pengertian ini termasuk usaha retail tradisional.
28
Sekalipun ketiga peraturan tsb di atas memberikan pembatasan terhadap usaha retail modern yang dapat
mengakibatkan terjadinya iklim persaingan usaha yang tidak sehat antara pelaku usaha retail modern dengan
usaha retail tradisional, namun hal tersebut menjadi tidak bertentangan dengan UU No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Antimonopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat, karena Pasal 51 huruf h UndangUndang No. 5 tahun 1999 memberikan pengecualian bahwa segala ketentuan dalam UU tersebut tidak berlaku
bagi pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil.
Dalam klassifikasi pelaku usaha retail di Jabotabek terdapat dua golongan pelaku yaitu pelaku usaha retail
tradisional dan pelaku usaha retail modern. Pelaku usaha retail tradisional merupakan pelaku usaha dengan
modal kecil atau lemah dan tidak dikelola dengan suatu managemen yang baik, namun pelaku usaha ini terdiri
dari jutaan orang anggota masyarakat. Dalam rangka ini peraturan-peraturan di bidang retail mengatur
keseimbangan berusaha antara pelaku usaha retail tradisional dengan pelakuk usaha retail modern.
IV.4.2. Celah Dalam Peraturan Bidang Retail
Sekalipun pemerintah telah membuat kebijakan yang memperhatikan kepentingan pelaku usaha retail
tradisional, namun kebijakan tersebut belum banyak membantu atau bahkan merugikan pelaku usaha retail
tradisional yang tergolong usaha kecil berupa warung dan toko. Perda DKI No 2 tahun 2002 yang antara lain
mengatur bahwa pasar swasta yang luas lantainya 100 s.d 200 m2 harus berjarak radius 0,5 km dari dari pasar
lingkungan dan terletak disisi jalan lingkungan/kolektor/arteri, justru mememberikan justifikasi bagi ekspansi
mini market ke daerah pemukiman yang mengancam kelangsungan peritel tradisional berupa warung dan toko
yang sebelum keluarnya peraturan tsb telah mensuplai kebutuhan masyarakat lingkungannya.
Dengan ketentuan bahwa minimarket harus jarak minimal 0.5 km dari pasar lingkungan tidak berarti mini
market tersebut tidak merebut pasar peritel lainnya, karena mini market yang hadir ditengah-tengah lingkungan
pemukiman justru merebut pasar dari peritel tradisional berupa warung dan toko yang sudah beroperasi. Adanya
pembatasan jarak 0,5 km dari pasar lingkungan tidak membantu menciptakan iklim berusaha yang sehat. Yang
perlu dilindungi bukan saja peritel tradisional yang berada dalam suatu pasar lingkungan tetapi juga peritel
tradisonal lainnya diluar pasar lingkungan. Dengan dimungkinkannya kehadiran peritel modern yang memiliki
jaringan dan kapital lebih besar seperti minimarket Indomaret dan Alfa Mart mematikan peritel tradisional
seperti warung dan toko ((Syamsul Munir, Managing Partner Retail Managent Center, “Perlunya Zonasi dan
UU Ritel” Investoe Daily, 17 April 2004). Kehadiran Alfa Mart milik Group HM Sampoerna & Alfa Group dan
Indomaret selain mematikan peritel tradisional juga melahirkan memonopoli baru atas pemasaran barang
dilingkungan pemukiman.
Ironis sekali bahwa peritel modern seperti Alfa maret yang telah mengoperasikan beberapa hypermarket
Alfa dan telah mengancam eksistensi supermarket, juga mematikan peritel tradisional seperti warung dan toko.
Sekalipun dalam pengoperasian Alfa Maret dengan pola perjanjian mandiri, secara legal minimart tersebut milik
PT Sumber Alfaria Trijaya, badan usaha di bawah HM Sampoerna & Alfa Group yang mengelola minimarket,
masyarakat sebagai mitra usaha yang telah melakukan investasi sebesar Rp 160.000. 000 baru dapat
memilikinya 48 bulan kemudian.
Kebijakan berupa pembatasan jarak tempat penyelenggaraan usaha ritel modern sekilas menunjukkan
komitmen pembentuk Perda No 2 tahun 2002 yang pro UKM karena bersifat melindungi pelaku usaha ritel
tradisional, namun jika dicermati substansinya sesungguhnya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi
usaha ritel modern untuk memonopoli pasar di daerah pemukiman. Usaha ritel modern dalam prakteknya
melakukan ekspansi dengan menetrapkan sistem waralaba, sehingga dengan cepat dapat menguasai pangsa
pasar di pemukiman, dan sebagian besar hasilnya (sesuai dengan sistem waralaba) masuk ke kantong pemberi
waralaba.
IV.4.3. Indikasi Perbuatan Anti Persaingan Sehat dan Pelanggaran Peraturan di Bidang Retail
Sulit untuk menyajikan bukti yang kuat tentang terjadinya suatu pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli atau
peraturan lainnya, karena nara sumber dalam penelitian ini enggan untuk memberikan dokumen-dokumen yang
di butuhkan.
29
1. Perjanjian Tertutup
Dari wawancara Tim Peneliti dengan nara sumber terungkap adanya klausula dalam perjanjian bahwa pihak
pemasok dilarang mensuplai barang sejenis kepada pelaku usaha retail lainnya lainnya. Suatu Hypermarket
mengadakan perjanjian pemasokan sayur mayur dengan sejumlah petani di wilayah tertentu untuk secara
kontinyu menyediakan pasokan dengan harga tertentu kepada pembeli. Dalam perjanian tersebut petani sayur
mayur tersebut tidak diperbolehkan untuk menjual sayur mayur tersebut kepada pelaku usaha lainnya.
2. Pelanggaran Perda No 2 tahun 2002
Dalam Perda No 2 tahun 2002 diatur bahwa pasar modern yang luasnya di atas 2000 m2 s.d 4000 m2 harus
berjarak radius 2 km dari pasar lingkungan. Dalam penelitian ini ada dugaan bahwa telah terdapat satu
Hypermarket dan sedang dalam pembangunan satu Hypermarket lagi di daerah Lebak Bulus yang lokasinyanya
diduga hanya berjarak 1,2 km dari pasar Jum’at.
Kondisi persaingan yang dialami oleh peritel tradisional ini mirip dengan kondisi yang dialami oleh
supermarket yang mati karena disekitarnya hadir hypermarket. Dengan kata supermarket saja bisa mati apabila
dekat hypermarket, apalagi peritel kecil (Pengamat Ritel Koestardjono Prodjolalito, “Pemerintah harus Atur
Kembali Izin Hipermarket” Investor Daily, 26 April 2004) Keadaan yang demikian tidak sejalan dengan tujuan
pembentukan UU No nomor 5 tahun 1999 Pasal 3 huruf b yang menegaskan bahwa tujuan pembentukan
undang-undang ini untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku
usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Bahkan dalam pasal 3 huruf b disebutkan bahwa tujuan pembentukan
undang-undang ini adalah untuk mencegah praktek monopoli. Meskipun Pemda DKI telah mengeluarkan aturan
mengenai peruntukan ritel modern dan tradisional, secara faktual ekspansi yang dilakukan peritel modern terus
menggusur eksistensi ritel tradisional.
Dengan tergusurnya peritel tradisional berupa usaha kecil dan warung membawa akibat terancamnya
eksistensi pedagang grosiran maupun koperasi pasar (Koppas) yang mensuplai barang kepada peritel tradisional
berupa toko atau warung. Disisi lain Alfa Mart dan Indomaret milik Unilever tidak mengambil barang dari
pedagang grosiran dari pasar lingkungan tetapi mendapat suplai barang langsung dari produsen.
V KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 KESIMPULAN
1. Ketika tingkat taraf hidup masyarakat meningkat, disamping membutuhkan ketersediaan berbagai macam
barang yang lengkap dari kebutuhan primer hingga kebutuhan tersier, mayarakat juga membutuhkan
fasilitas pendukung seperti kenyamanan, kebebasan, ataupun jaminan harga murah dan kualitas baik.
Kenyamanan menjadi alasan utama untuk beralihnya tempat berbelanja bagi masyarakat dari pasar
tradisional ke pasar modern, meskipun masyarakat tidak mungkin meninggalkan pasar tradisional 100
persen. Untuk pakaian jadi, 67,5 persen orang membeli di pasar modern, tetapi untuk sayur mayur 92,5
persen orang masih membeli di pasar tradisional. Meskipun minat masyarakat untuk berbelanja di pasar
tradisional meningkat hingga 48 persen pada tahun 2002, pasar tradisioanal masih mempunyai kontribusi
terbesar terhadap pertumbuhan pasar nasional yaitu sebesar 73,8 persen di tahun 2003. Dengan adanya
permintaan masyarakat terhadap retail modern yang cukup tinggi (hasil survey 78% responden lebih
menyukai belanja di retail modern), hingga bulan September 2003, terdapat 1332 minimarket, 211
supermarket, dan 16 hypermarket di seluruh Indonesia.
2. Pada sisi saluran distribusi antara pemasok dan retail di Indonesia, terdapat perbedaan antara retail modern
dan retail tradisional. Untuk barang-barang non pabrik seperti sayur-mayur, buah-buahan, dan barang yang
dihasilkan industri rumah tangga, distribusi di kedua retail sama, yaitu dari produsen (petani) langsung.
Tetapi untuk barang-barang yang dihasilkan oleh pabrik besar, pada retail modern, dengan pertimbangan
economies of scale, distribusi barang biasanya langsung dari produsen. Sedangkan pada retail tradisional,
harus malalui agen atau distributor. Perbedaan sistem distribusi inilah yang menimbulkan perbedaan harga
pada retail modern dan retail tradisional. Masing-masing retail modern juga mempunyai keunikan sistem
30
distribusi sendiri-sendiri, seperti pada model Carefour, model Alfamart dengan Alfa Distribution Centrenya,
model Indomart demgam merchandizing nya, ataupun Hero dengan David Distributon Indonesia nya.
3. Perkembangan tersebut membawa konsekuensi adanya persaingan antara pelaku industri retail. Persaingan
tersebut terjadi antara retail modern dengan retail tradisional, antara sesama retail modern, antara sesama
retail tradisional, dan antara pemasok (supplier). Persaingan yang paling dirasakan adalah persaingan antara
retail modern dan retail tradisional. Dimana retail tradisional merasa makin terpinggirkan dengan kehadiran
retail modern yang mampu menghadirkan kebutuhan konsumen dengan fasilitas yang lebih baik dan harga
yang lebih murah. Persaingan antara retail modern lebih segmented, yaitu sesuai dengan kelasnya. Tetapi
masing-masing mempunyai strategi persaingan yang unik. Tak jarang dalam persaingan harga terjadi
perang harga secara terang-terangan. Antara retail tradisional, selain terjadi persaingan harga, juga terdapat
persaingan dalam layanan yang memberikan kemudahan kepada konsumen. Sedangkan antar supplier,
persaingan terjadi dalam memberikan keuntungan bagi retail.
4. Pada tinjauan mengenai peraturan retail dan hubungannya dengan Undang-Undang No 5 tahun 1999,
peraturan yang paling signifikan mengendalikan persaingan usaha retail tradisional dengan retail modern
adalah Perda No 2 tahun 2002. Perda ini mampu menciptakan hambatan masuk bagi retail modern berskala
besar. Namun dengan berlakunya Perda ini, terdapat konsekuensi munculnya monopoli dari retail
tradisional, kecuali jika minimarket modern memasuki daerah persaingan. Dari hasil penelitian,
diindikasikan adanya beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh retail modern, yaitu adanya perjanjian
tertutup (pelanggaran UU No 5/1999) dan pembangunan hypermarket dengan jarak kurang dari 2 Km dari
pasar lingkungan (pelanggaran Perda No 2/2002). Solusi yang diperlukan adakah adanya pembentukan
advokasi bagi retail tradisional, revisi Perda No 2/2002, dan sosialisasi UU No 2/1999 yang berkelanjutan.
V.1 SARAN
Untuk mengatasi beberapa masalah yang disebutkan di atas, dapat ditempuh beberapa langkah untuk
menghindari terjadinya pelanggaran terhadap UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak sehat
1. Perlu ada upaya untuk memberdayakan masyarakat yang mampu melindungi dan melakukan advokasi
terhadap hak-hak peritel tradisional atau usaha kecil terhadap kegiatan-kegiatan usaha yang merugikan
mereka. Upaya tersebut berupa pembentukan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau adanya
himpunan dari para peritel tradisonal
2. Perlu melakukan revisi terhadap Pasal 10 huruf a Perda Nomor 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta Di
Propinsi DKI Jakarta yang mengatur bahwa usaha perpasaran swasta yang luas lantainya 100 m2 s.d 200 m2
harus berjarak radius 0,5 km dari pasar lingkungan dan terletak disis jalan Lingkungan /Kolektor/Arteri.
Ketentuan yang mengatur minimart ternyata melahirkan monopoli dalam pemasaran barang melalui usaha
ritel dilingkungan pemukiman. Tempat penyelenggaraan minimart hendaknya tidak ditentukan berdasarkan
jaraknya dari suatu pasar lingkungan, karena yang menjadi persoalan adalah keberadaan minimart juga
mematikan peritel tradisonal berupa warung dan toko di lingkungan pemukiman. Pengaturan yang dapat
memberi kesempatan yang adil kepada peritel modern maupun peritel tradisional adalah dalam memberikan
izin untuk minimart dengan mengacu pada jumlah peritel tradisional berupa usaha kecil atau warung yang
sudah beroperasi dalam radius tertentu, misalnya apabila dalam radius 500 m2 a sudah berdiri 25 unit peritel
tradisional berupa toko atau warung dari lokasi akan didirikannya minimart, maka izin tidak dapat
dikeluarkan
3. Sosialisasi UU No 5 tahun 1995 perlu dilakukan secara berkelanjutan dan meluas terutama kepada pelaku
usaha kecil dan menengah. Hal ini untuk mencegah kegiatan anti persaingan sehat yang merugikan
produsen atau usaha kecil sebagaimana perjanjian antara petani sayur mayur dengan suatu hypermarket.
Dengan pemahaman yang luas dari masyarakat maka anggota masyarat sendiri dapat mencegah timbulnya
kegiatan atau perjanjian yang anti persaingan usaha tidak sehat.
31
32
Daftar Pustaka
Abdullah, Nurudin (2003), “Persaingan ketat di bisnis retail”, Business Indonesia, Arah Bisnis & Politik Pasca
IMF, Sektor Riil, Oktober
Adler, Lee (1966), “Symbiotic Marketing”, Harvard Business Review, November-Desember.
BI (2003a), “Pemda dinilai tak serius bina pasar tradisional”, dalam Bisnis Indonesia, Jasa & Perdagangan,
Rabu, 08/10.
CESS (1998), “Dampak Krisis Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Strategi dan Arah
Pengembangan Pedagang Eceran Kecil-Menengah di Indonesia”, November, TAF dan USAID, Jakarta.
Gale, Peter (2003), “Changing Shopper Trends-How is Indonesia compared to the Rest of Asia”, makalah,
Kamis 7/8, Jakarta.
Johnson, Russel dan Paul R. Lawrence (1988), “Beyond Vertical Integration – the Rise of the Value-Adding
Partnership”, Harvard Business Review, Juli-Agustus.
Kaikati, Jack G. (1985), “Don’t Discount Off-Price Retailers”, Harvard Business Review, Mei-Juni.
Kapanlagi.Com. (2003), Hypermarket Asing Ancam Retail Lokal
Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
145/MPP/Kep/5/97 dan Nomor 57 Tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan.
Keputusan Gubernur Proppinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 44 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perpasaran Swasta di propinsi Daerah Khusu Ibukota Jakarta
Kotler, Philip dan A.B. Susanto (2001), Manajemen Pemasaran di Indonesia, Buku 2, Jakarta: Penerbit
Salemba Empat dan Pearson Education Asia Pte.Ltd.
KPPU. (2001), Menjamin Persaingan Usaha yang Efektif
Kurnia, Kafi (2000), “Kompetisi”, 26 Februari, No.15/VI, http://www.gatranews.net/VI/15/INT1-15.html.
Martin., Stephen ( 1994) Industrial Economics: Economic Analysis and Public Policy, Second Edition, New
jersey, Prentice Hall Inc.
McCammon, Bert C. (1970), “Perspective for Distribution Programming”, dalam Louis P. Bucklin (ed.),
Vertical Marketing Systems, Gleinview, Il: Scott, Foresman.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Swastha DH, Basu (1979), Saluran Pemasaran. Edisi 1, Yogyakarta: BPFE.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Varadarajan P. dan Daniel Rajaratnam (1986), “Symbiotic Marketing Revisited”, Journal of Marketing, Januari.
Wardhono, Adhitya (2001), “ Peluang Bisnis Retail di Era Otonomi Daerah”, Marburg, 23 September,
http://www.students.unimarburg.de/~Wardhono/Peluang%20; Bisnis%20Retail%20di%20Era%20Otonomi
%20Daerah.htm.
Warta Ekonomi.Com, Kamis 7 Agustus 2003, Pola Distribusi Lebih Enak Punya Sendiri
Widjaya, Henky Nyoto, Pikiran Rakyat, Rabu 09 Juli 2003, Kehadirannya Membuat Ketir Peretail Lokal;
Mengungkap Sukses “Hyermarket” Asing, www.bisnis.com, www.kompas.co.id, www.tempo.co.id
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
Download