Templat tugas akhir S1

advertisement
EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU
DI KOTA BEKASI
DAMARIA WIDASARI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penerapan
Konsep Kota Hijau di Kota Bekasi adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Damaria Widasari
NIM A44090057
ABSTRAK
DAMARIA WIDASARI. Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bekasi.
Dibimbing oleh ALINDA F.M ZAIN.
Kota Bekasi termasuk salah satu kota besar di Indonesia. Secara umum,
permasalahan yang terdapat pada Kota Bekasi hampir sama dengan permasalahan
kota besar lainnya. Disatu sisi, urbanisasi sangat penting untuk pertumbuhan
ekonomi. Namun, disisi lain, urbanisasi mengakibatkan degradasi kualitas
lingkungan dan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kemacetan, area
kumuh, dan permasalahan infrastruktur kota. Penelitian ini mengenai evaluasi
penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi, dengan menggunakan metode Gap
Analysis. Metode Gap Analysisis digunakan untuk membandingkan antara kondisi
ideal kota hijau dengan kondisi aktual pada Kota Bekasi. Hasil akhir dari
penelitian ini adalah mengkaji penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi.
Kata kunci: gap analysis, kota hijau, perkotaan
ABSTRACT
DAMARIA WIDASARI. Evaluation of Implementation Green City Concept in
Bekasi City. Supervised by ALINDA F M ZAIN.
Bekasi is the one of big city in Indonesia. For general, the issues contained
in Bekasi is same as the other urban problems. Urbanization is important for the
economic growth of the city. However, urbanization makes degradation of
environmental quality followed by negative externalities, such as floods, traffic
jam, slum area, and the infrastructure problems. The study is about evaluation of
implementation green city concept in Bekasi city, which is use Gap Analysis
method. Gap Analysis method is compare between ideal conditions of green city
principle with actual conditions in Bekasi city. The output of the study is about
implementation study green city concept in Bekasi city.
Keywords: gap analysis, green city, urban
EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU
DI KOTA BEKASI
DAMARIA WIDASARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bekasi
Nama
: Damaria Widasari
NIM
: A44090057
Disetujui oleh
Dr Ir Alinda F M Zain, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
kota hijau, dengan judul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bekasi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Alinda F M Zain, MSi
selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
pihak dinas Kota Bekasi yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014
Damaria Widasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kawasan Perkotaan
4
Permasalahan Kota dan Lingkungannya
4
Kota Hijau
4
Atribut Kota Hijau
5
Gap Analysis
7
METODOLOGI
8
Waktu dan Lokasi Penelitian
8
Alat dan Bahan
8
Batasan Penelitian
9
Metode Penelitian
9
KONDISI UMUM
22
Sejarah Kota Bekasi
22
Letak, Luas, dan Batas Wilayah
22
Topografi
25
Hidrologi
25
Jenis Tanah
25
Iklim dan Curah Hujan
26
Kependudukan
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
27
Green Planning and Design
27
Green Open Space
38
Green Building
49
Green Waste Management
52
Green Transportation
59
Green Water
66
Green Energy
72
Green Community
76
Penerapan Indikator Kota Hijau di Kota Bekasi
81
PENUTUP
85
Simpulan
85
Saran
85
DAFTAR PUSTAKA
86
LAMPIRAN
88
RIWAYAT HIDUP
89
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Atribut kota hijau yang dikembangkan khusus di Indonesia
Alat dan bahan penelitian
Data yang dibutuhkan
Variabel kota hijau
Batasan skoring indikator green planning and design
Batasan skoring indikator green open space
Batasan skoring indikator green building
Batasan skoring indikator green waste management
Batasan skoring indikator green transportation
Batasan skoring indikator green water
Batasan skoring indikator green energy
Batasan skoring indikator green community
Wilayah administrasi Kota Bekasi
Pembagian sub pusat pelayanan Kota Bekasi
Evaluasi bentuk penerapan green planning and design di Kota Bekasi
Evaluasi bentuk penerapan green open space di Kota Bekasi
Evaluasi bentuk penerapan green building di Kota Bekasi
Evaluasi bentuk penerapan green waste management di Kota Bekasi
Evaluasi bentuk penerapan green transportation di Kota Bekasi
Evaluasi bentuk penerapan green water di Kota Bekasi
Tingkatan kecepatan angin 10 m di atas permukaan tanah
Evaluasi bentuk penerapan green energy di Kota Bekasi
Evaluasi bentuk penerapan green community di Kota Bekasi
5
8
9
10
12
13
16
17
18
19
19
20
24
30
35
46
51
57
64
71
73
75
79
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Kerangka pikir penelitian
Delapan atribut kota hijau dan keterkaitannya
Peta lokasi penelitian
Peta wilayah administratif Kota Bekasi
Jumlah curah hujan dan hari hujan per bulan di Kota Bekasi
Prinsip pengembangan green planning & design
Peta rencana struktur ruang Kota Bekasi
Pola ruang Kota Bekasi
Rencana pengembangan sarana transportasi
Kondisi alun-alun Kota Bekasi
Tempat pemakaman umum Kota Bekasi
Jalur hijau Kota Bekasi
Alokasi RTH Kota Bekasi
Skema manajemen pengolahan sampah
Piramida green transportation
Upaya pengelolaan lingkungan hidup di Kota Bekasi
3
6
8
23
26
28
32
34
37
42
43
44
45
53
60
78
DAFTAR LAMPIRAN
1 Volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Kota Bekasi pertahun
2 Data angkutan umum bidang angkutan tahun 2010
88
88
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada umumnya, kota-kota besar di Indonesia sedang mengalami
pertumbuhan pembangunan. Pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif
dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak positif dari pertumbuhan
pembangunan adalah meningkatnya pendapatan asli daerah, munculnya sentrasentra ekonomi, kesejahteraan masyarakat meningkat, serta indeks kualitas
pendidikan meningkat. Pada sisi lain pertumbuhan dan pembangunan juga
berdampak negatif diantaranya beban ekologis kota yang semakin berat seiring
dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan, kualitas lingkungan
perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau makin berkurang akibat
perkembangan kawasan perumahan dan kawasan industri.
Kota Bekasi termasuk salah satu kota besar yang sedang berkembang di
Indonesia dan termasuk kawasan kota satelit untuk daerah Jabodetabek.
Permasalahan yang terdapat pada Kota Bekasi hampir sama dengan permasalahan
kota besar lainnya, diantaranya meningkatnya jumlah penduduk akibat urbanisasi,
meningkatnya sampah di perkotaan, banjir, polusi, kemacetan lalu lintas,
fenomena pemanasan bumi, dan degradasi kualitas lingkungan. Selain menjadi
wilayah permukiman, Kota Bekasi juga berkembang sebagai kota
perdagangan,jasa, dan industri. Untuk menunjang perkembangannya, pemerintah
Kota Bekasi terus mengembangkan fasilitas-fasilitas yang mendukung aktifitas
masyarakat, seperti pasar tradisional dan modern, permukiman, tempat ibadah,
sarana pendidikan, dan kesehatan.
Sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang diunggulkan di
Kota Bekasi. Selain itu, banyak juga industri kecil yang berkembang dan telah
dapat membuka pasa internasional. Perdagangan ikan hias yang ada di Kota
Bekasi merupakan komoditi terbesar di Asia Tenggara yang kemudian diekspor
ke berbagai negara, seperti Australia, Belanda, dan Selandia Baru. Sektor industri
besar juga telah menetapkan Kota Bekasi sebagai kawasan perindustrian yang
dapat memberikan keuntungan bagi pengusaha lokal maupun internasional.
Berkembangnya industri di Kota Bekasi merupakan salah satu alasan karena
masih tersedianya cukup lahan untuk kegiatan industri dan letak Kota Bekasi yang
strategis. Selain itu, dalam visi Kota Bekasi ingin menjadi kota kreatif. Kota
kreatif yang dimaksud adalah kota yang berbasis pada ekonomi kreatif (industri
kreatif).
Pemerintah Kota Bekasi bekerja sama dengan pihak Kementrian PU dalam
mengembangkan kota hijau di Kota Bekasi. Dengan adanya program P2KH yang
direncanakan oleh Kementrian PU, diharapkan dapat membuat Kota Bekasi
berkembang lebih baik dan berkelanjutan. Penelitian ini pada dasarnya
menganalisis indikator kota hijau yang dapat diterapkan di Kota Bekasi dengan
menyesuaikan kondisi dari Kota Bekasi itu sendiri. Disamping itu juga dapat
memberikan pemahaman kepada masyarakat umum untuk menjaga dan
melestarikan kota agar tetap berkelanjutan.
2
Perumusan Masalah
Permasalahan pada Kota Bekasi umumnya hampir sama seperti kota-kota
besar lainnya, seperti meningkatnya urbanisasi dan kawasan permukiman, jumlah
RTH perkotaan menurun, belum tersedianya bangunan yang ramah lingkungan,
pengelolaan sampah belum menggunakan konsep zero waste, kemacetan dan
polusi, kualitas air tanah menurun, meningkatnya penggunaan energi fosil, serta
partisipasi masyarakat masih rendah. Permasalahan tersebut akan disesuaikan
dengan kedelapan indikator kota hijau kemudian dilakukan evaluasi penerapan
dari kedelapan indikator kota hijau di Kota Bekasi dengan menggunakan Gap
Analysis .
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. mengidentifikasi pengembangan dan penataan Kota Bekasi; dan
b. mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang dapat
menjadi bahan masukan bagi pihak pemerintah Kota Bekasi, masyarakat Kota
Bekasi, serta komunitas Kota Bekasi dalam mewujudkan konsep pengembangan
kota hijau. Dengan menerapkan konsep kota hijau diharapkan pengembangan dan
perbaikan kualitas lingkungan di Kota Bekasi menjadi lebih baik.
3
Kerangka Pikir Penelitian
Kota Bekasi
Masalah Perkotaan yang ada
di Kota Bekasi
Mening
katnya
urbanisasi,
permukiman,
dan
industri
Menurunnya
jumlah
RTH di
perkota
an
Belum
ada
penerapan
bangunan
yang
ramah
lingkun
gan
Mening
katnya
jumlah
sampah
di
perkotaan
Mening
katnya
jumlah
kendaraan
pribadi,
kemacetan,
dan
polusi
Menuru
nnya
kualitas
air
tanah
dan
banjir
Green
planning and
design
Green
open
space
Green
building
Green
waste
management
Green
transportation
Green
water
Mening
katnya
penggunaan
energi
fosil
Green
energy
Kurang
nya
kerjasama
antara
pemerin
tah dan
masyarakat
terhadap
lingkungan
Green
community
Gap Analysis
Evaluasi
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Perkotaan
Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang dicirikan oleh
batasan administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta didominasi
oleh kegiatan produktif bukan pertanian. Suatu kawasan disebut kota jika telah
memiliki keaktifan, keanekaragaman, dan kompleksitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kawasan lainnya (Branch 1995). Sedangkan menurut
Inoguchi, Newman, dan Paoletto (2003), kota merupakan sebuah tempat yang
berfokus kepada pekerjaan, budaya, kreatifitas, politik, dan ekonomi, serta
didukung oleh fasilitas publik, seperti pelayanan kesehatan dan kesejahteraan,
objek rekreasi, pendidikan, perkantoran, dan partisipasi demokrasi yang dinikmati
oleh jutaan bahkan miliaran orang di perkotaan. Kawasan perkotaan merupakan
bentuk lanskap buatan manusia akibat aktifitas manusia mengelola kepentingan
hidup manusianya (Simonds 1983). Hal ini dapat dilihat dari adanya
pembangunan kawasan Central Business Distric (CBD), permukiman, serta
fasilitas rekreasi. Pembangunan yang diimbangi dengan penataan lingkungan yang
estetis akan dapat menperindah kawasan perkotaan sekaligus membentuk kota
yang bersih dan sehat.
Permasalahan Perkotaan dan Lingkungannya
Suatu perkotaan terdapat pusat permukiman penduduk dan berbagai macam
kegiatan ekonomi, budaya, dan pusat pemerintahan setempat. Perkembangan
kegiatan suatu kota sering menjadi tumpuan harapan masyarakat sehingga mereka
berebut kesempatan untuk dapat memperoleh penghidupan di kota tersebut.
Perkembangan perkotaan juga dapat menimbulkan permasalahan, seperti
meningkatnya jumlah penduduk perkotaan, kemacetan lalu lintas, pencemaran
udara, krisis air bersih, banjir, serta kualitas lingkungan menurun.
Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan perkotaan
adalah mengembangkan RTH. Menurut Joga dan Ismaun (2011), RTH dapat
menjadi penyeimbang ekosistem kota, baik itu sistem hidrologi, klimatologi,
keanekaragaman hayati, maupun sistem ekologi lainnya. Selain itu pengembangan
RTH juga bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, estetika kota,
kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat perkotaan.
Kota Hijau (Green City)
Kota hijau adalah kota yang ramah lingkungan yang dibangun berdasarkan
keseimbangan antara dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta dimensi tata
5
kelolanya, termasuk kepemimpinan dan kelembagaan kota yang mantap. Kota
hijau (green city) adalah kota yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam
segala aspek kehidupan dan penunjangnya bagi warganya, maupun unsur lainnya
baik tumbuhan dan tanaman, hewan dan satwa liar, hingga tanah, air, dan udara.
Semuanya saling terkait sehingga memberikan fungsi-fungsi kenyamanan,
keamanan, dan keindahan (Departemen Arsitektur Lanskap Faperta IPB 2008).
Kota hijau merupakan suatu konsep dari upaya untuk meletarikan
lingkungan dengan cara mengembangkan sebagian lingkungan dari suatu kota
menjadi lahan-lahan hijau yang alami agar menciptakan kekompakan antara
kehidupan alami dari lingkungan dengan manusia yang tinggal didalamnya
(Ernawi 2012). Kota hijau dapat dipahami sebagai kota yang ramah lingkungan
dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan
lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan
perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Kota hijau ini perlu dibangun dengan menjaga dan
memupuk aset-aset kota-wilayah, seperti aset manusia dan warga yang
terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas
dan intelektual, karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas
prasarana kota.
Atribut Kota Hijau
Menurut Kurokawa (2004), terdapat lima atribut yang dapat dijadikan
sebagai indikator kota hijau, diantaranya:
1. menciptakan suatu jejaring Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota/wilayah;
2. menghindari/mengendalikan urban sprawl (ekspansi penduduk kota beserta
aktivitasnya ke kawasan pinggiran yang mengakibatkan peralihan fungsi lahan
dari pertanian ke perkotaan);
3. pengembangan usaha untuk mengurangi sampah dan limbah serta
pengembangan proses daur ulang (reduce, reuse, recycle);
4. Pengembangan sumber energi alternatif, misalnya dengan menggunakan energi
biomas, matahari, angin, ombak;
5. Pengembangan sistem transportasi berkelanjutan, misalnya pembangunan
fasilitas pedestrian dan jalur sepeda.
Menurut Kementrian PU dalam bukunya Panduan Kota Hijau (2013),
terdapat delapan kota hijau yang khusus dikembangkan untuk Indonesia. Kedelapan atribut kota hijau tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Atribut kota hijau yang dikembangkan khusus di Indonesia
No
Atribut
Keterangan
Green Planning and
Perencanaan dan perancangan yang
1
Design
beradaptasi pada biofisik kawasan.
Peningkatan kuantitas dan kualitas RTH
2 Green Open Space
dengan target 30%.
6
Tabel 1 Atribut kota hijau yang dikembangkan di Indonesia (lanjutan)
3
Green Waste
4
Green Transportation
5
Green Water
6
Green Energy
7
Green Building
8
Green Community
Usaha untuk zero waste dengan melaksanakan
prinsip 3R yaitu mengurangi sampah/limbah,
mengembangkan proses daur ulang, dan
meningkatkan nilai tambah.
Pengembangan sistem transportasi yang
berkelanjutan.
Efisiensi pemanfaatan sumberdaya air.
Pemanfaatan sumber energi yang efisien dan
ramah lingkungan.
Bangunan hemat energi.
Kepekaan, kepedulian dan peran serta aktif
masyarakat dalam pengembangan atributatribut kota hijau.
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum 2013
Gambar 2 Delapan atribut kota hijau dan keterkaitannya
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum 2013
Dengan pengembangan kedelapan atribut tersebut, maka kota di Indonesia
dapat menjadi kota yang berkelanjutan. Kedelapan atribut tersebut memang saling
berkaitan satu sama lain. Misalnya, air buangan yang dihasilkan sebagai limbah
dari rumah tangga atau dari suatu bangunan/gedung dapat diolah kembali menjadi
air bersih. Selain itu, penggunaan sumur resapan dapat membantu menjaga
ketersediaan air tanah yang nantinya air tersebut akan dapat digunakan oleh
masyarakat kota, sehingga terjadilah efisiensi pemanfaatan air. Demikian halnya
dengan sampah yang dihasilkan dari suatu kota. Sampah tersebut dapat didaur
ulang menjadi pupuk atau bentuk kerajinan yang dapat digunakan kembali oleh
masyarakat. Hal ini akan membangkitkan kota yang kreatif, melalui pengunaan
7
ulang (reuse) dan daur ulang sampah (recycle). Kemudian sampah yang tidak
dapat didaur ulang diolah di TPA dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS) untuk memenuhi
kebutuhan energi suatu kawasan/kota maupun gedung. Selain energi sampah,
masih banyak energi alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, seperti
energi matahari, angin, air, dan tumbuhan. Energi matahari dapat dimanfaatkan
sebagai penerangan pada lampu PJU di jalan-jalan kota serta energi air dan angin
dapat digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik.
Pengembangan ruang terbuka hijau pada suatu kawasan/kota, salah satunya
akan memberikan dampak yang positif terhadap kondisi iklim mikro
kawasan/kota tersebut. Artinya semakin banyak ruang terbuka hijau, maka kondisi
iklim mikro kawasan kota akan semakin sejuk. Dengan demikian penggunaan AC
(air conditioner) pada bangunan gedung dapat diminimalkan yang tentunya akan
menciptakan efisiensi energi. Juga kaitannya dengan pengembangan sistem
transportasi hijau yang berprinsip pada efisiensi penggunaan bahan bakar, ramah
lingkungan, dan berorientasi pada manusia (pengembangan jalur pejalan kaki,
jalur sepeda, dan angkutan umum massal), memberikan dampak terhadap
penghematan energi dan lingkungan udara yang bebas polusi.
Enam atribut tersebut (green open space, green transportation, green
building, green energy, green water, dan green waste) merupakan komponen
yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya dan merupakan bagian yang harus
terintegrasi dalam perencanaan dan perancangan suatu kota (green planning and
design). Cita-cita kota hijau ini akan terwujud jika adanya kepekaan dan
kepedulian yang tinggi dari seluruh elemen masyarakat kota dalam mewujudkan
kota hijau (green community).
Gap Analysis
Secara harfiah “gap” merupakan identifikasi adanya suatu perbedaan
(disparity) antara satu hal dengan hal lainnya. Suatu konsep dan organisasi pada
dasarnya diperlukan dalam mengembangkan prinsip utama metode Gap analysis
(Jennings, 1999). Gap analysis umumnya digunakan oleh pemerintah untuk
mengevaluasi kinerja dari instansi pemerintahan, khususnya dalam upaya
penyediaan pelayanan bagi masyarakat. Hasil analisis tersebut dapat menjadi
input yang berguna bagi perencanaan dan penentuan anggaran di masa yang akan
datang. Namun dalam penelitian ini, gap analysis digunakan untuk
mengidentifikasi kesenjangan antara kondisi ideal kota hijau dengan kondisi
aktual suatu perkotaan. Selain itu Gap analysis juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi kinerja pemerintah dalam merencanakan dan mengembangkan
sarana dan fasilitas kota untuk menuju pengembangan kota hijau di suatu
perkotaan. Gap analysis bermanfaat untuk menilai seberapa besar kesenjangan
antara kondisi aktual suatu perkotaan dengan kondisi ideal kota hijau, dapat
mengetahui permasalahan utama pada suatu perkotaan terkait dengan indikator
kota hijau, dan mencari solusi yang diperlukan untuk menutupi kesenjangan
tersebut.
8
METODOLOGI
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan di Kota Bekasi, Propinsi Jawa Barat dengan
mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi. Waktu penelitian di
lapang dilaksanakan selama 1 bulan yaitu bulan Maret 2013, sedangakan untuk
pengolahan data dilaksanakan pada bulan April – Juni 2013.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011-2031
Alat dan Bahan
Penelitian konsep kota hijau ini menggunakan peralatan baik berupa
perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Sedangkan
bahan yang digunakan mencakup data primer dan sekunder. Berikut adalah alat
dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini yang meliputi:
Tabel 2 Alat dan bahan penelitian
Alat
Kegunaan
Kamera
Pengambilan gambar
Bahan
Kegunaan
Panduan pengambilan dan pengolahan
Peta Kota Bekasi
data
RTRW Kota Bekasi
Analisis perkembangan kota
Bahan Pustaka
Studi literatur
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan
dengan perencanaan kota hijau kota yang bersumber dari Badan Perencana dan
Pembangunan Daerah Kota Bekasi, Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota
9
Bekasi 2011-2031, survey lapang, dan data sekunder yang bersumber dari buku
dan media lainnya. Berikut ini jenis data yang digunakan :
Tabel 3 Data yang dibutuhkan
Jenis Data
Aspek fisik
Letak, luas,
batas kota
Tanah
Topografi
Hidrologi
Bentuk
data
Sumber
Cara
Pengambilan
Sekunder
Profil Kota Bekasi
Studi pustaka
Sekunder
Sekunder
Sekunder
Profil Kota Bekasi
Profil Kota Bekasi
Profil Kota Bekasi
Profil Kota Bekasi
dan BMKG
Studi pustaka
Studi pustaka
Studi pustaka
Iklim
Sekunder
Studi pustaka
Aspek sosial
Jumlah
penduduk
Sekunder
Profil Kota Bekasi
Studi pustaka
Aspek
indikator
kota hijau
Indikator
kota hijau
Primer dan
sekunder
Survey dan dinas
terkait
Pengamatan
dan studi
pustaka
Batasan Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi penerapan kota hijau di Kota Bekasi. Batasan
penelitian ini adalah mengetahui kondisi aktual Kota Bekasi dalam menerapkan
konsep kota hijau berdasarkan kedelapan indikator kota hijau dan mengevaluasi
implementasi konsep kota hijau di Kota Bekasi dengan menggunakan Gap
Analysis.
Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan metode yang
memusatkan pada survey lapang. Metode tersebut dilakukan untuk mengetahui
seperti apa penerapan dari kedelapan indikator kota hijau yang sudah dilakukan di
Kota Bekasi. Secara umum penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahapan
penelitian dimulai dari kegiatan:
a. Persiapan penelitian
Pada tahap ini dilakukan dengan membuat usulan penelitian, perumusan
masalah, penetapan tujuan penelitian, dan perijinan kepada pihak terkait.
Tahapan persiapan menghasilkan proposal penelitian.
b. Inventarisasi
Inventarisasi merupakan tahapan awal dari pengumpulan data. Data yang
dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer
10
dilakukan dengan survey lapang dan wawancara pihak terkait, sedangkan untuk
data sekunder dilakukan dengan studi pustaka. Berikut adalah data-data yang
dibutuhkan terkait dengan indikator kota hijau.
No
1
Indikator
Green
planning
and design
2
Green open
space
3
Green
building
4
Green
waste
management
5
6
7
8
Green
transportation
Green
water
Green
energy
Green
community
Tabel 4 Variabel kota hijau
Variabel
Unit
Sumber
RTRW RDTR,
Dinas tata
dan Masterplan
kota
Kota Bekasi
Bekasi
Jumlah RTH
Luas (m2)
Dinas
pertamana
Baik,
n Kota
Kualitas RTH
sedang,
Bekasi
dan buruk
Dinas
Jumlah
bangunan
Buah
bangunan hijau
Kota
Bekasi
Volume
m3
sampah
Dinas
Kebersiha
Sistem
n Kota
pengelolaan
Bekasi
sampah
Jenis angkutan
umum
Buah
Infrastruktur
jalur pejalan
kaki dan sepeda
Buah
Metode
pengolahan air
Jenis
Jumlah
penggunaan
energi
Buah
Sumber energi
yang digunakan
Jenis
Jumlah
komunitas hijau
dan kegiatan
yang dilakukan
Buah
Dinas
perhubung
an Kota
Bekasi
BPLH
Kota
Bekasi
BPLH
Kota
Bekasi
BPLH
Kota
Bekasi
Evaluasi
Mengetahui
penataan ruang
Kota Bekasi
Mengetahui
luas dan
kondisi RTH
di Kota Bekasi
Mengetahui
jumlah
bangunan hijau
di Kota Bekasi
Mengetahui
volume
sampah dan
sistem
pengelolaan
sampah
Mengetahui
kondisi
transportasi
umum serta
infrastruktur
yang ada
Mengetahui
sistem
pengelolaan air
Mengetahui
jumlah dan
jenis energi
alternatif yang
digunakan di
Kota Bekasi
Mengetahui
jumlah
komunitas
hijau dan
kegiatan yang
dilakukan
11
c. Analisis
Tahapan analisis dimulai dari merumuskan konsep ideal kota hijau melalui
desk study dengan pendekatan delapan indikator kota hijau. Kemudian,
melakukan analisis potensi dan kendala pada setiap indikator menggunakan
Gap Analysis secara desktiptif. Gap Analysis dilakukan untuk membandingkan
kondisi aktual pada Kota Bekasi terhadap kondisi ideal kota hijau. Selain itu
untuk mengetahui implementasi kota hijau yang sudah dicapai Kota Bekasi.
d. Evaluasi
Tahap akhir dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu evaluasi terhadap
kondisi penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi. Pada tahap ini dilakukan
penilaian atau skoring untuk mengetahui pencapaian penerapan tiap indikator
kota hijau. Skoring dilakukan dengan memberi skor 0 hingga skor 4 pada
setiap model penerapan dari kedelapan indikator kota hijau dan mengacu pada
batasan penilaian setiap indikator (Tabel 5 – 12). Setelah dilakukan skoring
untuk mengetahui pencapaian bentuk penerapan di Kota Bekasi, maka tahap
selanjutnya adalah menetukan nilai penerapan dari setiap indikator dengan
rumusan:
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
Dimana:
Xt = persentase total bentuk penerapan setiap indikator
x1= persentase bentuk penerapan indikator 1
xn = persentase bentuk penerapan indikator ke-n
Selanjutnya, dilakukan perhitungan nilai maksimal dari setiap indikator
serta menghitung persentase dari penerapan setiap indikator dengan rumusan
sebagai berikut:
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
% bentuk penerapan =
nilai penerapan total (Xt)
x 100%
nilai maksimal (Xmax)
Setelah dilakukan skoring, maka dapat diketahui indikator kota hijau yang
sudah diterapkan dengan baik dan yang belum diterapkan dengan baik di Kota
Bekasi. Sehingga dapat diketahui perlakuan atau rencana yang akan dilakukan
untuk menciptakan kota hijau yang ideal di Kota Bekasi. Berikut adalah batasanbatasan pada setiap indikator yang dapat menjadi acuan untuk menentukan skor
dari setiap model penerapan.
12
Tabel 5 Batasan skoring indikator green planning and design
Bentuk
Compact city
0
a. Tidak ada
rencana
untuk
pengembang
an kota
dengan
menggunaka
n compact
city dan tidak
tertera dalam
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
Mixed use
development
a.
1
a. Sudah ada
arahan untuk
pengembang
an compact
city namun
belum tertera
dalam
RTRW
b. Sudah ada
penerapan
pada
beberapa
komponen
pembentuk
compact city
(bangunan
vertikal,
penentuan
KDH)
namun
belum
membentuk
kawasan
a. Tidak ada
a.
rencana untuk
pengembanga
n kota dengan
menggunakan
kawasan
pejalan kaki
dan tidak
tertera dalam
RTRW
b.
b. Tidak ada
penerapan
Sudah ada
arahan untuk
pengembanga
n kawasan
pejalan kaki
dan belum
tertera dalam
RTRW
Tidak ada
penerapan
3
Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city
yang tertera
dalam RTRW
4
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city yang
tertera dalam
RTRW
b.
Sudah ada
penerapan pada
beberapa
komponen
pembentuk
compact city
(bangunan
vertikal,
penentuan
KDH) dan
sudah
membentuk
kawasan
b. Sudah ada
penerapan yang
membentuk
compact city serta
dapat mengatasi
masalah
perkotaan terkait
urban sprawl
Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
mixed use
development
yang tertera
dalam RTRW
a.
Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
mixed use
development
yang tertera
dalam RTRW
a.
Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
mixed use
development yang
tertera dalam
RTRW
Sudah ada usaha
pengembangan
produk properti
(perkantoran,
hotel, tempat
tinggal)
b.
Sudah ada
b.
usaha
pengembangan
produk properti
(perkantoran,
hotel, tempat
tinggal) dan
pengembangan
jalur pejalan
kaki di
sekitarnya
Sudah ada usaha
pengembangan
produk properti
(perkantoran,
hotel, tempat
tinggal) dan
pengembangan
jalur pejalan kaki
di sekitarnya serta
terintegrasi
dengan jaringan
transportasi
umum
b. Sudah ada
penerapan pada
beberapa
komponen
pembentuk
compact city
(bangunan
vertikal,
penentuan KDH)
namun belum
membentuk
kawasan
Tidak ada
a. Sudah ada
a.
rencana
arahan untuk
untuk
pengembang
pengembanga
an mixed use
n kota
development
dengan
namun
menggunaka
belum tertera
n mixed use
dalam
development
RTRW
b.
dan tidak
tertera dalam b. Tidak ada
RTRW
penerapan
b. Tidak ada
penerapan
Kawasan
pejalan kaki
Skoring
2
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
compact city
yang tertera
dalam RTRW
a.
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
kawasan pejalan
kaki yang
tertera dalam
RTRW
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
kawasan
pejalan kaki
yang tertera
dalam RTRW
b. Sudah ada jalur
pejalan kaki
tanpa disertai
dengan fasilitas
pendukung
yang memadai
b. Terdapat di
pusat kota
dengan
kegiatan
intensitas
tinggi
c. Tersedia
fasilitas
pendukung
untuk pejalan
kaki
a. Sudah ada rencana
untuk
pengembangan
kawasan pejalan
kaki yang tertera
dalam RTRW
b. Terdapat di pusat
kota dengan
kegiatan intensitas
tinggi
c. Sudah membentuk
kawasan yang
terintegrasi dengan
tempat lain, serta
tersedianya fasilitas
pendukung untuk
pejalan kaki
13
Tabel 5 Batasan skoring indikator green planning and design (lanjutan)
Transit
a.
Oriented
Development
(TOD)
Tidak ada
a. Sudah ada
rencana untuk
arahan untuk
pengembanga
pengembang
n kota dengan
an TOD dan
menggunakan
belum tertera
TOD dan
dalam
tidak tertera
RTRW
dalam RTRW
b. Tidak ada
b. Tidak ada
penerapan
penerapan
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
TOD yang tertera
dalam RTRW
b. Pengembangan
sebatas pada
pemanfaatan
angkutan massal
perkotaan
a.
Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
TOD yang
tertera dalam
RTRW
a.
Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
TOD yang
tertera dalam
RTRW
b.
Sudah ada
penggunaan
angkutan
massal dan
pejalan kaki
serta sepeda,
namun belum
terintegrasi
seluruhnya
b. Memaksimalkan
penggunaan
angkutan massal
(BRT, MRT,
angkutan kota)
serta dilengkapi
dengan jaringan
pejalan kaki dan
sepeda yang
saling terintegrasi
c. Jaringan
angkutan massal
menghubungkan
tempat-tempat
fungsional
Tabel 6 Batasan skoring indikator green open space
Bentuk
Taman
lingkungan
0
a. Tidak ada
rencana untuk
pengembanga
n kota dengan
implementasi
taman
lingkungan
dan tidak
tertera dalam
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
1
a. Sudah ada
arahan untuk
pengembangan
taman
lingkungan
namun belum
tertera dalam
RTRW
b. Sudah ada
penerapan,
namun belum
memenuhi
standar yang
baik
Skoring
2
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
taman
lingkungan
yang tertera
dalam RTRW
b. Sudah ada
penerapan,
namun ukuran
taman
lingkungan
belum
memenuhi
standar minimal
250 m2
c. Hanya memiliki
satu fungsi
RTH yaitu
sebagai sarana
sosial budaya
(interaksi
sosial)
Taman kota
a. Tidak ada
a. Sudah ada arahan
a. Sudah ada
rencana untuk
untuk
rencana untuk
pengembanga
pengembangan
pengembangan
n kota dengan
taman kota,
taman kota
implementasi
namun belum
yang tertera
taman kota
tertera dalam
dalam RTRW
dan tidak
RTRW
tertera dalam
b. Sudah ada
RTRW
b. Sudah ada
penerapan dan
penerapan terhadap
ukuran taman
b. Tidak ada
taman kota, namun
kota belum
penerapan
belum memenuhi
memenuhi
standar yang baik
standar, yaitu
kurang dari
3
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
taman
lingkungan
yang tertera
dalam RTRW
b. Sudah ada
penerapan dan
ukuran taman
lingkungan
sudah
memenuhi
standar minimal
250 m2
c. Hanya memiliki
satu fungsi
RTH yaitu
sebagai sarana
sosial budaya
(interaksi
sosial)
4
a. Sudah ada rencana
untuk
pengembanagn
taman lingkungan
yang tertera dalam
RTRW
b. Sudah ada
penerapan dan
ukuran taman
lingkungan sudah
memenuhi standar
minimal 250 m2
c. Memiliki lebih
dari satu fungsi
RTH (ekologis,
estetika,
planologis,
ekonomi, dan
sosial budaya)
d. Lokasi sudah
menyebar dengan
baik di sekitar
perumahan
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
taman kota
yang tertera
dalam RTRW
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
taman kota yang
tertera dalam
RTRW
b. Sudah ada
penerapan dan
ukuran taman
kota sudah
memenuhi
standar sekitar
9000 m2 –
b. Sudah ada
penerapan dan
ukuran taman
kota sudah
memenuhi
standar sekitar
9000 m2 – 24000
14
Tabel 6 Batasan skoring indikator green open space (lanjutan)
9000 m2
c. Lokasi belum
menyebar
dengan baik
dan tidak
berada di pusat
wilayah
pelayanan kota
Hutan kota
a. Tidak ada
rencana untuk
pengembangan
kota dengan
implementasi
hutan kota dan
tidak tertera
dalam RTRW
b. Tidak ada
penerapan
Taman
Pemakaman
Umum
(TPU)
a. Tidak ada
rencana untuk
pengembangan
kota dengan
implementasi
TPU dan tidak
tertera dalam
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
a. Sudah ada arahan a. Sudah ada
untuk
rencana untuk
pengembangan
pengembangan
hutan kota,
hutan kota yang
namun belum
tertera dalam
tertera dalam
RTRW
RTRW
b. Sudah ada
b. Sudah ada
penerapan hutan
penerapan hutan
kota namun
kota, namun
fungsi dan luasan
fungsi dan luasan
dari taman kota
dari taman kota
belum memenuhi
belum memenuhi
standar
standar
a. Sudah ada arahan a. Sudah ada
untuk
rencana untuk
pengembangan
pengembangan
TPU, namun
TPU yang tertera
belum tertera
dala RTRW
dalam RTRW
b. Sudah ada
b. Sudah ada
penerapan RTH
penerapan,
TPU, namun
namun belum
belum memenuhi
memenuhi
standar yang
standar yang
sesuai dan belum
sesuai dan belum
dikelola dengan
dikelola dengan
baik oleh
baik oleh
pemerintah
pemerintah
24000 m2
c. Lokasi belum
menyebar
dengan baik
dan tidak
berada di pusat
wilayah
pelayanan kota
m2
c. Lokasi berada di
pusat wilayah
pelayanan kota
d. Memenuhi fungsi
taman kota
sebagai
penyumbang
RTH perkotaan
a.Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
hutan kota yang
tertera dalam
RTRW
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
hutan kota yang
tertera dalam
RTRW
b. Luasan sudah
memenuhi
standar yaitu 10%
dari luas kota
b. Luasan sudah
memenuhi
standar yaitu 10%
dari luas kota
c. Fungsi hutan kota
belum
dikembangkan
secara maksimal
c. Memiliki fungsi
yang maksimal
dari hutan kota,
seperti fungsi
ekologis
(penghasil
oksegen di
perkotaan,
peredam suara,
perbaikan iklim,
konservasi, dan
habitat satwa),
fungsi lanskap,
dan fungsi
estetika
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
TPU yang tertera
dalam RTRW
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
TPU yang tertera
dalam RTRW
b. Fungsi utama
TPU, seperti daya
tampung harus
terpenuhi dengan
baik, fungsi RTH
dikembangkan
dengan cara
pengurangan
penggunaan
beton pada desain
makam sehingga
akan
memaksimalkan
area hijau untuk
daerah resapan air
b. Fungsi utama
TPU, seperti daya
tampung harus
terpenuhi dengan
baik, fungsi RTH
dikembangkan
dengan cara
pengurangan
penggunaan
beton pada desain
makam sehingga
akan
memaksimalkan
area hijau untuk
daerah resapan air
c. Belum dikelola
dengan baik oleh
pihak pemerintah
c. Sudah dikelola
dengan baik oleh
pemerintah
15
Tabel 6 Batasan skoring indikator green open space (lanjutan)
Jalur hijau
(sungai dan
jalan)
Pertanian
perkotaan
a. Tidak ada
a. Sudah ada arahan a. Sudah ada
a. Sudah ada
rencana untuk
untuk
rencana untuk
rencana untuk
pengembangan
pengembangan
pengembangan
pengembangan
kota dengan
RTH jalur hijau,
RTH jalur hijau
RTH jalur hijau
implementasi
namun belum
yang tertera
yang tertera
RTH jalur hijau
tertera dalam
dalam RTRW
dalam RTRW
dan tidak
RTRW
tertera dalam
b. Keberadaan RTH b. Keberadaan RTH
RTRW
b. Sudah ada
jalur hijau belum
jalur hijau belum
penerapan
saling terhubung
saling terhubung
b. Tidak ada
terhadap RTH
satu sama lain
satu sama lain
penerapan
jalur hijau namun
(terputus)
(terputus)
belum memenuhi
standar yang baik c. Fungsi RTH jalur c. Memiliki fungsi
bagi RTH jalur
hijau yang ada
RTH, seperti
hijau
hanya sebatas
fungsi ekologis
pada fungsi
(menyerap
estetika, namun
polutan,
belum memenuhi
pembentuk iklim
fungsi ekkologis
mikro, dan
pembentuk RTH
utama di kawasan
tersebut) dan
fungsi estetika
(pengarah jalan,
kenyamanan
user)
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
RTH jalur hijau
yang tertera
dalam RTRW
a. Tidak ada
rencana untuk
pengembangan
kota dengan
implementasi
pertanian
perkotaan dan
tidak tertera
pada RTRW
b. Tidak ada
penerapan
b. Keberadaan RTH
jalur hijau sudah
menghubungkan
satu sama lain
(tidak terputus)
c. Memiliki fungsi
RTH, seperti
fungsi ekologis
(menyerap
polutan,
pembentuk iklim
mikro, dan
pembentuk RTH
utama di kawasan
tersebut) dan
fungsi estetika
(pengarah jalan,
kenyamanan
user)
a. Sudah ada arahan a. Sudah ada
untuk
rencana untuk
pengembangan
pengembangan
pertanian
pertanian
perkotaan, namun
perkotaan yang
belum tertera
tertera dalam
dalam RTRW
RTRW
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
pertanian
perkotaan yang
tertera dalam
RTRW
a. Sudah ada
rencana untuk
pengembangan
pertanian
perkotaan yang
tertera dalam
RTRW
b. Penerapan
pertanian
perkotaan baru
sebatas pada
pertanian
perkotaan berupa
persawahan
b. Penerapan
pertanian
perkotaan berupa
sawah maupun
kebun dengan
kegiatan
pertanian yang
produktif, namun
belum adanya
kerjasama yang
baik antara
pemerintah
dengan
masyarakat dalam
mengelola
pertanian
perkotaan
b. Penerapan
pertanian
perkotaan berupa
sawah maupun
kebun dengan
kegiatan
pertanian yang
produktif dan
sudah ada
kerjasama yang
baik antara
pemerintah
dengan
masyarakat dalam
mengelola
pertanian
perkotaan
b. Penerapan
pertanian
perkotaan berupa
sawah maupun
kebun
c. Adanya
pemanfaatan
lahan terbuka
pada area
terbangun untuk
dijadikan urban
farming seperti
kegiatan
berkebun organik
16
Tabel 7 Batasan skoring indikator green building
Bentuk
Penerapan
green
building
0
a. Tidak ada
rencana untuk
pengembangan
kota dengan
pembangunan
green building
dan tidak
tertera dalam
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
1
a. Sudah ada
arahan untuk
pembangunan
green building
namun belum
tertera dalam
RTRW
b. Sudah ada
penerapan,
namun belum
memenuhi
standar yang
baik dari green
building (baru
diterapkan pada
beberapa aspek
pembentuk
green building
Skoring
2
a. Sudah ada
rencana untuk
pembangunan
green building
yang tertera
dalam RTRW
3
a. Sudah ada
rencana untuk
pembanguann
green building
yang tertera
daalm RTRW
b. Sudah ada
b. Minimum luas
penerapan,
bangunan
namun belum
adalah 2 500
memenuhi
m2
standar yang baik
dari green
c. Fungsi gedung
building (baru
sesuai dengan
diterapkan pada
peruntukan
beberapa aspek
lahan
pembentuk green
berdasarkan
building)
RTRW
setempat
d. Diterapkan
pada bangunan
perkantoran
maupun
perumahan
e. Berorientasi
pada manusia
sebagai
pengguna
utama
bangunan
seperti harus
tahan gempa,
standar
keselamatan
bagi bahayabahaya, adanya
standarisasi
aksesibilitas
bagi
penyandang
cacat dan
berorientasi
pula bagi
lingkungan
untuk menjaga
kelestarian
lingkungan
sekitarnya
f. Belum
tersertifikasi
oleh Green
Building
Council
Indonesia
(GBCI)
4
a. Sudah ada rencana
untuk pembangunan
green building yang
tertera dalam
RTRW
b. Minimum luas
bangunan adalah 2
500 m2
c. Fungsi gedung
sesuai dengan
peruntukan lahan
berdasarkan RTRW
setempat
d. Diterapkan pada
bangunan
perkantoran
maupun perumahan
e. Berorientasi pada
manusia sebagai
pengguna utama
bangunan seperti
harus tahan gempa,
standar keselamatan
bagi bahayabahaya, adanya
standarisasi
aksesibilitas bagi
penyandang cacat
dan berorientasi
pada lingkungan
untuk menjaga
kelestarian
lingkungan
sekitarnya
f. Sudah tersertifikasi
oleh Green Building
Council Indonesia
(GBCI)
17
Tabel 8 Batasan skoring indikator green waste management
Bentuk
Penerapan
konsep 3R
0
a. Tidak ada
rencana untuk
penerapan 3R
dan tidak
tertera dalam
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
Skoring
1
2
a. Sudah ada
a. Sudah ada rencana
arahan
penerapan 3R yang
menerapkan 3R
tertera dalam
namun belum
RTRW
tertera dalam
RTRW
b. Sudah ada
penerapan pada
b. Sudah ada
RT/TPS/TPA
penerapan pada
beberapa
rumah tangga
aja
Bank sampah a. Tidak ada
a. Sudah ada
rencana untuk
arahan
penerapan bank
menerapkan
sampah dan
bank sampah
tidak tertera
namun belum
dalam RTRW
tertera dalam
RTRW
b. Tidak ada
b. Sudah terdapat
penerapan
pada sumber
sampah dan
belum
menyebar
Pengolahan a. Tidak ada
limbah cair
rencana untuk
rumah tangga
penerapan
pengolahan
limbah cair
rumah tangga
dan tidak
tertera dalam
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
Pengolahan
sampah di
TPA
(sanitary
landfill)
a. Sudah ada
arahan
pengolahan
limbah cair
rumah tangga
namun belum
tertera dalam
RTRW
b. Sudah
dilakukan
dalam skala
rumah tangga
namun belum
dilakukan
menyebar pada
tiap rumah
tangga
a. Tidak ada
rencana untuk
pengolahan
sampah akhir
dengan
sanitary
landfill dan
tidak tertera
dalam RTRW
a. Sudah ada
arahan
pengolahan
sampah akhir
dengan
sanitary
landfill namun
belum tertera
dalam RTRW
b. Tidak ada
penerapan
b. Sudah
dilakukan
dengan
controlled
landfill
3
a. Sudah ada
rencana untuk
penerapan 3R
yang tertera
dalam RTRW
b. Sudah
dilakukan pada
RT dan TPS
4
a. Sudah ada rencana
untuk penerapan 3R
yang tertera dalam
RTRW
b. Sudah dilakukan
secara mandiri oleh
masyarakat serta
terdapat juga
penerapan pada tiap
TPS dan TPA yang
ada
a. Sudah ada rencana a. Sudah ada
a. Sudah ada rencana
penerapan bank
rencana
penerapan bank
sampah yang tertera
penerapan bank
sampah yang tertera
dalam RTRW
sampah yang
dalam RTRW
tertera dalam
b. Sudah terdapat di
b. Sudah terdapat pada
RTRW
setiap sumber sampah
sumber sampah
(pasar dan industri)
(pasar atau
b. Sudah terdapat
dan menyebar
industri), namun
pada sumber
keberadaannya
sampah (pasar
belum menyebar
atau industri)
a. Sudah ada rencana
penerapan
pengolahan limbah
cair rumah tangga
yang tertera dalam
RTRW
b. Sudah dilakukan
secara komunal,
tetapi hanya
dilakukan beberapa
tempat saja
a. Sudah ada
rencana
penerapan
pengolahan
limbah cair
rumah tangga
yang tertera
dalam RTRW
b. Sudah
dilakukan
dalam skala
rumah tangga
dan sudah
diterapkan pada
seluruh rumah
tangga
a. Sudah ada rencana a. Sudah ada
pengolahan sampah
rencana
akhir dengan
pengolahan
sanitary landfill
sampah akhir
yang tertera dalam
dengan
RTRW
sanitary
landfill yang
b. Sudah dilakukan
tertera dalam
dengan konsep
RTRW
sanitary landfill
dengan pemilahan
b. Sudah
sampah sebelum
dilakukan
penimbunan
dengan konsep
sanitary
landfill serta
terdapat
pengumpulan
air lindi
a. Sudah ada rencana
penerapan pengolahan
limbah cair rumah
angga yang tertera
dalam RTRW
b. Sudah dilakukan
secara komunal dan
sudah diterapkan pada
setiap kawasan
permukiman
a. Sudah ada rencana
pengolahan sampah
akhir dengan sanitary
landfill yang tertera
dalam RTRW
b. Sudah dilakukan
dengan konsep
sanitary landfill serta
terdapat pula kegiatan
pemilahan
pengumpulan air lindi
dan terdapat usaha
pengolahan
18
Tabel 9 Batasan skoring indikator green transportation
Bentuk
Jalur pejalan
kaki
0
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
jalur pejalan
kaki yang
tertera pada
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
Jalur sepeda
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
jalur sepeda
yang tertera
pada RTRW
b. Tidak ada
penerapan
Angkutan
umum massal
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
angkutan
umum yang
tertera pada
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
Skoring
1
2
3
a. Sudah ada
a. Sudah ada
a. Sudah ada
arahan
rencana
rencana jalur
pengembang
pengembangan
pejalan kaki yang
an jalur
jalur pejalan
tertera pada
pejalan kaki,
kaki yang
RTRW
namun belum
tertera pada
tertera pada
RTRW
b. Memiliki dimensi
RTRW
ideal
b. Memiliki
b. Tidak ada
dimensi jalur
c. Menghubungkan
penerapan
pejalan kaki
satu tempat
yang ideal
dengan tempat
lain
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
car sharing
yang tertera
pada RTRW
b. Tidak ada
penerapan
b. Memiliki dimensi ideal
c. Menghubungkan satu
tempat dengan tempat
lainnya
d. Penempatan site
furniture yang tepat
a. Sudah ada
a. Sudah ada
arahan
rencana
pengembang
pengembangan
an jalur
jalur sepeda
sepeda,
yang tertera
namun belum
pada RTRW
tertera pada
RTRW
b. Memiliki
dimensi jalur
b. Memiliki
sepeda yang
dimensi jalur
ideal
sepeda yang
ideal
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
jalur sepeda yang
tertera pada
RTRW
c. Jalur sepeda
terpisah dengan
kendaraan
bermotor
d. Terdapat fasilitas shelter
sepeda
a. Sudah ada
a. Sudah ada
arahan
rencana
pengembang
pengembangan
an angkutan
angkutan
umum,
umum yang
namun belum
tertera pada
tertera pada
RTRW
RTRW
b. Angkutan
b. Tidak ada
umum belum
penerapan
saling
terintegrasi
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
angkutan umum
yang tertera pada
RTRW
a. Sudah ada rencana
pengembangan
angkutan umum yang
tertera pada RTRW
c. Belum ada
arahan
penggunaan
bahan bakar
alternatif
Car sharing
4
a. Sudah ada rencana jalur
pejalan kaki yang tertera
pada RTRW
a. Tidak ada
a. Sudah ada
arahan
arahan
pengembang
pengembangan
an car
car sharing,
sharing,
namun belum
namun belum
tertera pada
tertera pada
RTRW
RTRW
b. Terdapat 1
b. Terdapat 1
penerapan car
penerapan
sharing (mis:
car sharing
lingkup
(mis: lingkup
instansi)
instansi)
a. Sudah ada rencana
pengembangan jalur
sepeda yang tertera pada
RTRW
b. Memiliki dimensi ideal
b. Memiliki dimensi c. Jalur terpisah dengan
ideal
kendaraan bermotor
b. angkutan umum saling
terintegrasi
b. Memiliki
integrasi antar
angkutan umum
(min. 2 jenis)
c. Memiliki integrasi
disetiap zona strategis
kota
c. Memiliki
integrasi zona
stategis kota
d. Penggunaan bahan
bakar alternatif pada
setiap angkutan umum
d. Penggunaan
bahan bakar
alternatif pada
(min. 2 jenis)
angkutan umum
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
car sharing yang
tertera pada
RTRW
b. Terdapat 2
penerapan car
sharing
a. Sudah ada rencana
pengembangan car
sharing yang tertera
pada RTRW
b. Terdapat >2 penerapan
car sharing
c. Memiliki integrasi
dengan sistem angkutan
umum
19
Tabel 10 Batasan skoring indikator green water
Bentuk
Penerapan
biopori
Pengelolaan
air hujan
perkotaan
dengan
konsep LID
0
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
biopori yang
tertera dalam
RTRW
1
a. Sudah ada
arahan
pengembangan
biopori, namun
belum tertera
dalam RTRW
b. Tidak ada
penerapan
pengembangan
biopori
b. Sudah ada
penerapan
pengembangan
biopori pada 1
kawasan
(rumah
tangga/CBD/
industri)
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
konsep LID
yang tertera
dalam RTRW
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
konsep LID
yang tertera
dalam RTRW
b. Tidak ada
penerapan
b. Sudah ada
penerapan
konsep LID
pada
situ/waduk/bad
an air
Skoring
2
a. Sudah ada rencana
pengembangan
biopori yang tertera
dalam RTRW
b. Sudah ada
penerapan
pengembangan
biopori pada 1
kawasan (rumah
tangga/CBD/
industri)
a. Sudah ada rencana
pengembangan
konsep LID yang
tertera pada RTRW
b. Sudah ada
penerapan konsep
LID pada
situ/waduk/badan
air dengan
menggunakan
konsep filtration
atau penggunaan
permeable paving
untuk membantu
penyerapan air
3
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
biopori yang
tertera pada
RTRW
4
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
biopori yang
tertera pada
RTRW
b. Sudah ada
penerapan
pengembangan
biopori pada 2
kawasan
(rumah tangga
dan CBD)
b. Sudah ada
penerapan
pengembangan
biopori pada >2
kawasan
(rumah tangga,
CBD, dan
industri)
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
konsep LID yang
tertera pada
RTRW
a. Sudah ada rencana
pengembangan
konsep LID yang
tertera pada RTRW
b. Sudah ada
penerapan konsep
b. Sudah ada
LID pada
penerapan konsep
situ/waduk/badan
LID pada
air dengan
situ/waduk/badan
menggunakan
air dengan
konsep treatment,
menggunakan
penggunaan
konsep
permeable paving,
infiltration dan
serta lebih
penggunaan
menggunakan soft
permeable paving
engineering pada
untuk membantu
infrastruktur air
penyerapan air
kota
Tabel 11 Batasan skoring indikator green energy
Bentuk
Energi
matahari
Energi
sampah
Skoring
0
1
2
a. Tidak ada
a. Tidak ada
a. Sudah ada rencana
rencana
rencana
pengembangan
pengembangan
pengembangan
energi matahari
energi matahari
energi matahari
yang tertera pada
yang tertera
yang tertera
RTRW
pada RTRW
pada RTRW
b. Terdapat 1
b. Tidak ada
b. Terdapat 1
penerapan energi
penerapan
penerapan
matahari (mis:
energi matahari
hanya pada PJU)
(mis: hanya
pada PJU)
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
energi sampah
yang tertera
pada RTRW
b. Tidak ada
penerapan
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
energi sampah,
namun belum
tertera pada
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
3
4
a. Sudah ada
a. Sudah ada rencana
rencana
pengembangan energi
pengembangan
matahari yang tertera
energi matahari
pada RTRW
yang tertera
pada RTRW
b. Terdapat > 2
penerapan energi
b. Terdapat 2
matahari (PJU, panel
penerapan
surya RT, dan
energi matahari
transportasi)
(mis: PJU dan
panel surya di
RT)
a. Sudah ada rencana a. Sudah ada
pengembangan
rencana
energi sampah yang
pengembangan
tertera pada RTRW
energi sampah
yang tertera
b. Terdapat 1
pada RTRW
penerapan energi
sampah (mis:
memanfaatkan gas
metan menjadi
energi listrik)
b. Terdapat 2
penerapan
energi sampah
a. Sudah ada rencana
pengembangan energi
sampah yang tertera
pada RTRW
Terdapat > 2 penerapan
energi sampah
20
Tabel 11 Batasan skoring indikator green energy (lanjutan)
Energi
tumbuhan
a. Tidak ada
a. Sudah ada
rencana
rencana
pengembangan
pengembangan
energi
energi
tumbuhan yang
tumbuhan,nam
tertera pada
un belum
RTRW
tertera pada
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
b. Tidak ada
penerapan
Energi angin a. Tidak ada
rencana
pengembangan
energi angin
yang tertera
pada RTRW
b. Tidak ada
penerapan
Energi air
a. Tidak ada
rencana
pengembangan
energi air yang
tertera pada
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
energi angin,
namun belum
tertera pada
RTRW
a. Sudah ada rencana
pengembangan
energi tumbuhan
yang tertera pada
RTRW
b. Terdapat 1
penerapan energi
tumbuhan
(pemanfaatan
bioethanol menjadi
bahan bakar
alternatif
transportasi)
a. Sudah ada rencana
pengembangan
energi angin yang
tertera pada RTRW
b. Terdapat 1
penerapan energi
angin
b. Tidak ada
penerapan
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
energi air,
namun belum
tertera pada
RTRW
b. Tidak ada
penerapan
a. Sudah ada rencana
pengembangan
energi air yang
tertera pada RTRW
b. Terdapat 1
penerapan energi air
a. Sudah ada
a. Sudah ada rencana
rencana
pengembangan energi
pengembangan
tumbuhan yang tertera
energi
pada RTRW
tumbuhan yang
tertera pada
b. Terdapat > 2
RTRW
penerapan energi
tumbuhan
b. Terdapat 2
penerapan
energi
tumbuhan
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
energi angin
yang tertera
pada RTRW
b. Terdapat 2
penerapan
energi angin
a. Sudah ada
rencana
pengembangan
energi air yang
tertera pada
RTRW
a. Sudah ada rencana
pengembangan energi
angin yan tertera pada
RTRW
b. Terdapat > 2
penerapan energi
angin
a. Sudah ada rencana
pengembangan energi
air yang tertera pada
RTRW
b. Terdapat > 2
penerapan energi air
b. Terdapat 2
penerapan
energi air
Tabel 12 Batasan skoring indikator green community
Bentuk
Partisipasi
masyarakat
Skoring
0
1
2
3
4
a. Tidak ada
a. Sudah ada arahan a. Sudah ada
a. Sudah ada
a. Sudah ada rencana
rencana untuk
untuk
rencana untuk
rencana untuk
untuk pengembangan
mengembangka
pengembangan
pengembangan
pengembangan
partisipasi masyarakat
n partisipasi
partisipasi
partisipasi
partisipasi
dan sudah tertera
masyarakat dan
masyarakat
masyarakat dan
masyarakat dan
dalm RTRW
tidak tertera
namun belum
sudah tertera
sudah tertera
dalam RTRW
tertera dalam
dalam RTRW
dalam RTRW
b. Sudah ada program
RTRW
untuk meningkatkan
b. Tidak ada
b. Sudah ada
b. Sudah ada
partisipasi
penerapan
b. Sudah ada
program untuk
program untuk
masyarakat,
program untuk
meningkatkan
meningkatkan
sosialisasi sudah
meningkatkan
partisipasi
partisipasi
dilakukan secara
partisipasi
masyarakat,
masyarakat,
merata, masyarakat
masyarakat,
namun sosialisasi
sosialisasi
sudah berpartisipasi
namun sosialisasi
belum merata
sudah
secara aktif
kepada
dilakukan dan
dilakukan
masyarakat
sudah ada
secara merata,
belum dilakukan
partisipasi
namun belum
dan belum adanya
masyarakat
dilakukan
partisipasi aktif
namun belum
secara
dari masyarakat
dilakukan secara
keseluruhan
keseluruhan
21
Tabel 12 Batasan skoring indikator green community (lanjutan)
Komunitas
warga
a. Tidak ada
a. Sudah ada arahan a. Sudah ada
a. Sudah ada
a. Sudah ada rencana
rencana untuk
untuk
rencana untuk
rencana untuk
untuk pengembangan
mengembangka
pengembangan
pengembangan
pengembangan
komunitas warga
n partisipasi
komunitas warga
komunitas warga
komunitas
sebagai salah satu
masyarakat dan
namun belum
sebagai salah satu
warga sebagai
upaya untuk
tidak tertera
tertera dalam
upaya untuk
salah satu
menangani masalah
dalam RTRW
RTRW
menangani
upaya untuk
lingkungan dan sudah
masalah
menangani
tertera dalam RTRW
b. Tidak ada
b. Sudah ada
lingkungan dan
masalah
penerapan
program untuk
sudah tertera
lingkungan dan b. Sudah ada kerjasama
meningkatkan
dalam RTRW
sudah tertera
antara pemerintah
komunitas warga,
dalam RTRW
dengan komunitas
namun sosialisasi b. Sudah ada
warga untuk
kepada
program untuk
b. Belum adanya
memperbaiki kualitas
masyarakat
meningkatkan
kerjasama antar
lingkungan
belum dilakukan
komunitas warga,
pemerintah
namun sosialisasi
dengan
kepada
komunitas
masyarakat
warga
belum dilakukan
22
KONDISI UMUM
Sejarah Kota Bekasi
Dalam catatan sejarah, nama “Bekasi” memiliki arti dan nilai sejarah yang
khas. Menurut Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno), asal
mula kata Bekasi secara filosofis berasal dari kata Chandrabhaga. Chandra berarti
“bulan” (dalam bahasa Jawa kuno, sama dengan kata Sasi) dana Bhaga berarti
“bagian”. Jadi, secara etimologis kata Chandrabhaga berarti bagian dari bulan.
Kata Chandrabhaga berubah menjadi Bhagasasi yang pengucapannya sering
disingkat menjadi Bhagasi. Kata Bhagasi ini dalam pelafalan bahasa Belanda
seringkali ditulis “Bacassie” kemudian berubah menjadi Bekasi hingga kini.
Bekasi dikenal sebagai “Bumi Patriot”, yakni sebuah daerah yang dijaga oleh para
pembela tanah air. Balada kepahlawanan tersebut tertulis dengan jelas dalam
setiap bait guratan puisi heroik Pujangga Besar Chairil Anwar yang berjudul
“Krawang – Bekasi”.
Berdasarkan UU No 14 tahun 1950, terbentuklah Kabupaten Bekasi.
Kabupaten Bekasi ini memiliki wilayah yang cukup luas, dan terdiri dari 4
kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Perkembangan Kecamatan Bekasi
menuntut adanya Kota Administratif Bekasi. Pembentukan Kota Administratif
Bekasi ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 1981. Pada awal
pembentukan ini Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
pada tanggal 20 April 1982 dengan walikota pertama adalah H. Soedjono.
Kota Administratif Bekasi mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Hal ini tampak pada peningkatan jumlah penduduk serta tingginya aktivitas
ekonomi. Oleh karena itu, status Kota Administratif Bekasi diubah menjadi
Kotamadya Bekasi. Hal ini diatur dalam UU No. 9 tahun 1996.
Letak, Luas, dan Batas Wilayah
Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi Kota
Bekasi terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan
kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi menjadi salah satu
daerah penyeimbang DKI Jakarta. Kota Bekasi memiliki luas ± 210,49 km2
dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km2)
sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2). Secara
geografi kota Bekasi berada pada posisi 106°55’ BT dan 6°7’ - 6°15’ LS dengan
ketinggian antara 11 – 81 mdpl (Bekasi Dalam Angka 2011). Batas-batas wilayah
administrasi yang mengelilingi wilayah kota Bekasi adalah:
utara : Kabupaten Bekasi
timur : Kabupaten Bekasi
selatan : Kabupaten Bogor dan Kota Depok
barat : Propinsi DKI Jakarta
23
Gambar 4 Peta wilayah administratif Kota Bekasi
Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031
24
Sejak tahun 2001 wilayah administrasi Kota Bekasi terbagi menjadi 12 kecamatan
yang terdiri dari 56 kelurahan.
Tabel 13 Wilayah administrasi Kota Bekasi
No
Kecamatan
1
Bekasi Timur
2
Bekasi Barat
3
Bekasi Selatan
4
Bekasi Utara
5
Mustika Jaya
6
Bantar Gebang
7
Medan Satria
8
Jatiasih
9
Pondok Melati
Kelurahan
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Margahayu
Bekasi Jaya
Duren Jaya
Aren Jaya
Bintara Jaya
Bintara
Kranji
Kota Baru
Jaka Sampurna
Jaka Mulya
Jaka Setia
Pekayon Jaya
Marga Jaya
Kayuringin Jaya
Harapan Jaya
Kaliabang Tengah
Perwira
Harapan baru
Teluk Pucung
Marga Mulya
Pedurenan
Cimuning
Mustika Jaya
Mustika Sari
Ciketing Udik
Sumur Batu
Cikiwul
Bantar Gebang
1.
2.
3.
4.
Harapan Mulya
Kali Baru
Medan Satria
Pejuang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
Jati Sari
Jati Luhur
Jati Rasa
Jatiasih
Jati Mekar
Jati Kramat
Jati Murni
Jati Melati
25
Tabel 13 Wilayah administrasi Kota Bekasi (lanjutan)
3. Jati Warna
4. Jati Rahayu
1. Jati Karya
2. Jatisampurna
10
Jatisampurna
3. Jati Rangga
4. Jati Ranggon
5. Jati Raden
1. Jati Makmur
2. Jati Waringin
11
Pondok Gede
3. Jati Bening
4. Jati Cempaka
5. Jati Bening Baru
1. Bojong Menteng
2. Bojong Rawalumbu
12
Rawalumbu
3. Sepanjang Raya
4. Pengasinan
Sumber: Bekasi Dalam Angka 2011
Topografi
Kondisi topografi relatif datar dengan kemiringan lahan 0 - 2%. Wilayah
Kota Bekasi terletak pada ketinggian antara 11 – 81 mdpl (Bekasi dalam Angka
2011). Wilayah dengan ketinggian kurang dari 25 mdpl terletak pada kecamatan
Bekasi Utara, Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Medan Satria, dan Pondok Gede.
Sedangkan wilayah dengan ketinggian lebih dari 25 mdpl terletak pada
Kecamatan Bantar Gebang, Jatiasih, dan Jatisampurna (Bappeda Kota Bekasi
2011).
Hidrologi
Kondisi hidrologi Kota Bekasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu air
permukaan dan air tanah. Air permukaan yang terdapat di wilayah Kota Bekasi
meliputi sungai/kali Bekasi dan beberapa sungai/kali kecil lainnya serta saluran
irigasi yang selain digunakan untuk mengairi sawah juga merupakan sumber air
baku bagi kebutuhan air minum wilayah Bekasi dan DKI Jakarta (Bappeda Kota
Bekasi 2011).
Jenis Tanah
Struktur geologi wilayah kota Bekasi didominasi oleh Pleistocene
Volcanic Facies. Struktur aluvium menempati sebagian kecil wilayah kota Bekasi
bagian utara. Sedangkan struktur Miocene Sedimentary Facies terdapat di bagian
timur wilayah Kota Bekasi sepanjang perbatasan dengan DKI Jakarta. Tanah di
26
Kota Bekasi didominasi oleh jenis tanah latosol dan aluvial (Bappeda Kota Bekasi
2011).
Iklim dan Curah Hujan
Wilayah Kota Bekasi secara umum tergolong pada iklim kering dengan
tingkat kelembaban yang rendah. Penutupan lahan yang didominasi oleh
bangunan (industri, perdagangan, dan pemukiman) menimbulkan kondisi
lingkungan yang panas. Temperatur harian berkisar antara 24 - 33ËšC (Bappeda
Kota Bekasi 2011).
Sepanjang tahun 2011, hampir setiap bulan terjadi hujan di kota Bekasi.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, yaitu tercatat 858 mm dengan
jumlah hari hujan 56 hari sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan
September dengan jumlah curah hujan 20 mm dengan jumlah hari hujan dua hari.
Total curah hujan yang tercatat sepanjang tahun 2011 adalah 4351 mm dengan
jumlah hari hujan sebanyak 328 hari (Bekasi Dalam Angka 2011).
Gambar 5 Jumlah curah hujan dan hari hujan per bulan di Kota Bekasi
Sumber: Bekasi Dalam Angka 2011
Kependudukan
Mayoritas penduduk Kota Bekasi adalah pendatang/migran dari daerah lain.
Secara umum komposisi penduduk di Kota Bekasi dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu yang datang dari DKI Jakarta dan yang datang dari luar Jakarta, yang
secara umumnya tinggal menetap di Kota Bekasi. Persebaran penduduk tertinggi
terjadi pada Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 13,56% (332,040 jiwa),
Pondokgede 12,20% (298.737 jiwa), Bekasi Barat 11,69% (286.135 jiwa) dan
terendah di Kecamatan Jatisampurna sebesar 4,15% (101.542 jiwa). Jumlah
penduduk kota Bekasi tahun 2011 menurut dinas kependudukan dan catatan sipil
sebesar 2.447.930 jiwa (Bekasi Dalam Angka 2011).
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Green Planning and Design
Menurut pendapat para ahli (Brutland, 1997; Holden dan Ehrlich, 1992;
Stren dan Whitney, 1992; Sarageldin dan Steer; 1994 dalam Budihardjo dan
Sutjarto, 2009) tentang pembangunan berkelanjutan atau kota berkelanjutan
(sustainable city) adalah kota yang dalam perkembangannya mampu memenuhi
kebutuhan masyarakatnya masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global
dengan mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya, politik,
dan pertahanan keamananya tanpa mengabaikan atau mengurangi kemampuan
generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kota Bekasi
merupakan salah satu kota besar yamg terdapat pada lingkup Jabodetabek. Kota
Bekasi akan tumbuh dan berkembang dikarenakan daya tarik berbagai faktor
sosial-ekonomi, kelengkapan infrastruktur, dan lainnya. Pertumbuhan dan
perkembangan Kota Bekasi menimbulkan berbagai permasalahan seperti inefiensi
pemanfaatan sumberdaya dan ruang, penurunan kualitas lingkungan, dan
penurunan kualitas hidup. Untuk mengatasi persoalan tersebut, dibutuhkan suatu
konsep perencanaan dan perancangan yang memperhatikan keseimbangan
ekosistem, baik itu yang alami maupun terbangun. Salah satu konsepnya adalah
green planning and design.
Kondisi Ideal Kota Hijau
Menurut Panduan Kota Hijau (2013), green planning and design merupakan
suatu perencanaan dan perancangan wilayah/kota/kawasan yang memperhatikan
kapasitas daya dukung lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan
ruang, mengutamakan keseimbangan lingkungan alami dan terbangun dalam
rangka mewujudkan kualitas ruang wilayah/kota/kawasan yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan. Manfaat yang didapat melalui green planning and
design antara lain:
a. efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan ruang;
b. mencegah pengembangan kota yang ekspansif-horizontal, dalam kaitannya
dengan pengendalian urban sprawl;
c. mampu mengantisipasi dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh
perkembangan kota;
d. menyediakan ruang-ruang publik yang memiliki multi fungsi (lingkungan,
ekonomi, dan sosial) lebih leluasa, terencana, dan terorganisir; serta
e. pengembangan ecological corridor (jejaring ruang terbuka hijau kota-wilayah)
dapat lebih terintegrasi.
Pengembangan rencana tata ruang wilayah suatu kota harus mengacu pada
prinsip-prinsip kota hijau dan menjamin karakter kota. Dalam merumuskan
rencana pola ruang harus mengacu pada prinsip:
a. memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan, efisiensi dalam
pengalokasian sumberdaya dan ruang, mengutamakan keseimbangan
28
lingkungan alami dan terbangun dalam rangka mewujudkan kualitas ruang
wilayah/kota/kawasan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b. arahan pengembangan kawasan terbangun perkotaan menganut prinsip-prinsip
compact city dengan maksud untuk memberikan keleluasaan dalam penyediaan
ruang terbuka; dan
c. alokasi untuk ruang terbuka hijau minimal 30% dimana dalam arahan pola
ruangnya dibentuk sedemikian ruang, sehingga menciptakan jejaring ruang
terbuka hijau (ecological corridor) yang terintegrasi.
Dalam konteks hirarki, suatu penataan ruang harus tercantum dalam
dokumen rencana kota, seperti rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana detil
tata ruang (RDTR), masterplan, rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL),
dan detail engineering design (DED). Penerapan pembangunan kota berkelanjutan
(sustainable city) merupakan konsep integrasi dari nilai ekonomi, sosial, dan
lingkungan untuk menghasilkan kehidupan yang sejahtera bagi manusia. Dalam
aplikasi pembangunan yang berkelanjutan, ketiga elemen tersebut harus berjalan
secara simultan (sejajar). Ketimpangan pembangunan akan terjadi apabila
perkembangan aspek yang satu lebih tinggi dari aspek yang lain.
Gambar 6 Prinsip pengembangan green planning and design
1. Compact City
Compact city merupakan sebuah strategi kebijakan kota yang sejalan dengan
usaha perwujudan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai sebuah sinergi
antara kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran ideal
sebuah kota, pengkonsentrasian semua kegiatan kota, intensifikasi transportasi
publik, perwujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju
peningkatan taraf dan kualitas hidup kota (Jenks 1996). Konsep compact city
adalah untuk mengurangi/mengendalikan perluasan area kota yang dari waktu
ke waktu semakin luas yang diakibatkan oleh urban sprawl serta usaha untuk
melakukan simbiosis antara alam dan populasi tinggi, misalnya dengan
pengembangan/pembangunan bangunan-bangunan vertikal sehingga kebutuhan
akan ruang terbuka hijau dapat terpenuhi.
2. Mixed use development
Mixed Use development merupakan keberadaan variasi kegiatan yang
berbeda seperti tempat tinggal, bekerja, belanja, dan bermain yang jaraknya
berdekatan dan dapat dicapai melalui berjalan kaki (Coupland, 1997).
29
Tujuannya adalah untuk mempermudah masyarakat dalam mencapai atau
memenuhi kebutuhannya. Kawasan mixed use biasanya didominasi oleh
kawasan perdagangan dan jasa dengan mempunyai ciri dan model tertentu, ada
beberapa macam fasilitas perdagangan, baik yang bersifat tradisional maupun
yang bersifat modern (Rahardian, 2003). Konsep ini berkembang karena
adanya permasalahan perkotaan dalam hal pengembangan infrastruktur dan
properti, seperti:
a. keterbatasan lahan & nilai lahan (sistem pertanahan dan harga patokan)
b. keterbatasan sumber daya (alam, manusia, buatan)
c. peraturan (pertanahan, zoning regulation)
d. tata nilai perkotaan (keteraturan dan ketertiban)
e. urbanisasi
f. penyediaan prasarana dasar (air, listrik, rumah), dan
g. jumlah penduduk yang besar.
3. Kawasan Pejalan Kaki
Kawasan pejalan kaki merupakan kawasan khusus bagi pejalan kaki,
biasanya ditempatkan di kawasan tempat bermain anak, dipusat perbelanjaan
yang sebelumnya dibuka untuk lalu lintas kendaraan yang ditutup untuk lalu
lintas kendaraan, namun pada kasus-kasus tertentu ada kawasan pejalan kaki
yang membolehkan kendaraan lain untuk tetap bisa masuk, seperti kendaraan
yang mengantar pasokan ke pertokoan, yang biasanya waktunya sangat
dibatasi, kendaraan darurat seperti pemadan kebakaran dan ambulans, dan
kendaraan patroli polisi.
4. Transit Oriented Development (TOD)
Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu pendekatan
pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan maksimalisasi
penggunaan angkutan massal dan dilengkapi jaringan pejalan kaki atau sepeda.
Dengan demikian perjalanan akan didominasi dengan menggunakan angkutan
umum yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan. Pengembangan
bentuk TOD dapat ditandai dengan penggunaan ruang campuran (permukiman,
perkantoran, serta fasilitas pendukung), kepadatan penduduk yang tinggi.
Penggunaan bentuk TOD juga ditandai dengan penggunaan angkutan umum
yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan serta dilengkapi dengan
jaringan pejalan kaki atau sepeda.
Kondisi Aktual Kota Bekasi
Kota Bekasi sudah membuat dokumen rencana mengenai perencanaan dan
perancangan kota yang berupa RTRW, RDTR, dan masterplan. Masterplan yang
direncanakan adalah masterplan RTH, dimana saat ini masih dalam tahap
penyusunan. Dokumen teknis masterplan RTH akan memuat tentang gambaran
umum kota, identifikasi dan evaluasi RTH kota, analisis kebutuhan RTH dan
RTNH kota dalam satu sistem perencanaan, rencana pembangunan RTH dan
RTNH perkotaan yang menyatu, program dan pengembangan RTH untuk 20
tahun ke depan, serta draft peraturan walikota tentang perwujudan RTH 30%.
30
Berdasarkan penatan ruang wilayah Kota Bekasi melalui RTRWK, tujuan
penataan ruang wilayah Kota Bekasi adalah sebagai tempat hunian dan usaha
yang kreatif yang nyaman dengan peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan.
Dalam perencanaan kota, Kota Bekasi berfokus kepada pembuatan rencana
struktur ruang, rencana pola ruang, dan rencana pengembangan kawasan strategis.
Dimana rencana struktur ruang merupakan rencana penyusunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki
hubungan fungsional. Rencana struktur ruang wilayah Kota Bekasi terdiri dari
sistem pusat pelayanan kota dan sistem jaringan prasarana kota.
Di dalam rencana sistem pusat pelayanan, Kota Bekasi membagi menjadi
tiga wilayah, yaitu wilayah pusat pelayanan kota (PPK), wilayah sub pusat
pelayanan kota (SPPK), dan wilayah pusat pelayanan lingkungan (PPL). Wilayah
pusat pelayanan kota (PPK) adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial, dan
administrasi yang melayani seluruh sub wilayah kota. Penetapan PPK di Kota
Bekasi berada di sebagian wilayah Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara,
Bekasi Timur, Rawalumbu, dan Bekasi Selatan yang meliputi kawasan Jalan
Sudirman – Juanda – Cut Meutia – Ahmad Yani dengan fungsi sebagai pusat
pelayanan pemerintahan, kesehatan, pendidikan tinggi, pusat perdagangan, pusat
hiburan dan rekreasi. Kota Bekasi juga menetapkan sub pusat pelayanan kota
(SPPK) yang merupakan pusat pelayanan ekonomi, sosial, dan administrasi yang
melayani seluruh sub wilayah kota.
Tabel 14 Pembagian sub pusat pelayanan Kota Bekasi
SPPK
Lokasi Pelayanan
Fungsi
Pondok Gede
1.
2.
3.
4.
5.
Jaticempaka
Jatibening Baru
Jatibening
Jatiwaringin
Jatimakmur
Pusat
pemerintahan,
perdagangan skala grosir dan
retail berkelompok, jasa, dan
pendidikan.
Bekasi Utara
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kaliabang Tengah
Harapan Jaya
Perwira
Teluk Pucung
Harapan Baru
Margamulya
Pusat pemerintahan, pusat
permukiman, dan pusat perdagangan.
Jatisampurna
1.
2.
3.
4.
5.
Jatisampurna
Jatirangga
Jatiraden
Jatikarya
Jatiranggon
Pusat permukiman skala besar
dan pusat perdagangan.
Mustikajaya
Mustikasari
Pedurenan
Cimuning
Pusat pemerintahan, pusat
industri dan jasa pergudangan,
pusat permukiman skala besar,
dan pusat prasarana persampahan
(TPPAS
Bantargebang)
Mustikajaya
1.
2.
3.
4.
31
Selain menetapkan wilayah PPK dan SPPK, Kota Bekasi juga menetapkan
wilayah pusat pelayanan lingkungan (PPL) merupakan pusat pelayanan ekonomi,
sosial, dan administrasi lingkungan kota. Penetapan PPL oleh pemerintah Kota
Bekasi terdapat pada Kelurahan Medan Satria, Bojong Rawalumbu, Jaka Setia,
Bintara, Jatirasa, Jatiwarna, dan Bantargebang dengan fungsi sebagai pusat
pelayanan pemerintahan dan perdagangan dengan skala pelayanan kelurahan atau
lingkungan perumahan.
Kota Bekasi juga merencanakan sistem jaringan prasarana kota yang
meliputi rencana pengembangan sistem transportasi darat, rencana pengembangan
sistem jaringan energi gas dan listrik, rencana pengembangan sistem
telekomunikasi, rencana pengembangan sistem jaringan sumberdaya air, serta
rencana pengembangan infrastruktur kota. Rencana pengembangan sistem
transportasi darat meliputi pengembangan sistem jaringan jalan (pembangunan
jalan yang melintasi atau berada di Kota Bekasi, pengembangan jaringan jlaan
dalam kota dengan peningkatan jalan dan pembangunan jalan baru, penanganan
persimpangan sebidang dan tidak sebidang, dan pengembangan terminal),
pengembangan manajemen lalu lintas (penanganan parkir, pengembangan sistem
angkutan umum, dan pengaturan lalu lintas), serta sistem jaringan kereta api.
Selain itu, pemerintah juga merencanakan pengembangan jaringan energi gas dan
listrik meliputi jaringan pipa distribusi gas, penataan jaringan energi gas melalui
jaringan terpadu bawah tanah, penataan jaringan listrik di kawasan pusat
pelayanan kota dan sub pusat pelayanan kota melalui jaringan terpadu bawah
tanah, dan penataan dan pengaman jaringan listrik yang ada di kawasan
perumahan. Kemudian, rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi
meliputi pentaan jaringan telekomunikasi di kawasan pusat pelayanan kota dan
sub pusat pelayanankota, pengembangan BTS terpadu, dan pengembangan sistem
jaringan teknologi informasi yang terjangkau dan merata di seluruh wilayah kota.
Rencana sistem jaringan sumberdaya air meliputi sungai lintas kabupaten/kota
(Kali Cikeas, Kali Cileungsi, Kali Bekasi, Kali Sunter, dan Kali Cakung), situ
(Situ Rawalumbu, Situ Rawa Gede, dan Situ Rawa Pulo), dan saluran Tarum
Barat (Kalimalang) sebagai sumber utama air baku untuk air minum. Sedangkan
rencana pengembangan infrastruktur perkotaan meliputi pengembangan jaringan
drainase dan pengendali banjir, penyediaan air minum, pengelolaan sampah,
pengelolaan limbah, jaringan penerangan jalan umum, jaringan pejalan kaki, serta
jalur evakuasi bencana dan sistem pemadam kebakaran.
32
Gambar 7 Peta rencana struktur ruang Kota Bekasi
Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031
33
Selain rencana struktur ruang, Kota Bekasi juga merencanakan pola ruang
kota. Dimana rencana pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rencana pengembangan kawasan
lindung di Kota Bekasi dibagi menjadi kawasan perlindungan setempat dan RTH
kota. Kawasan perlindungan setempat di Kota Bekasi meliputi sempadan sungai,
sempadan situ, dan kawasan lainnya. Rencana pengelolaan pada sempadan sungai
dilakukan di Kali Cikeas, Kali Cileungsi, Kali Bekasi, Kali Sunter, Kali Cakung,
dan Bantaran Sungai Cikiwul. Adapun rencana pengelolaan yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Bekasi pada kawasan sempadan sungai, diantaranya rehabilitasi,
memperbanyak keragaman tanaman pohon serta melarang pemanfatan lahan di
sepanjang sempadan sungai sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Rencana pengelolaan yang dilakukan pemerintah Kota Bekasi pada sempadan
situ, yaitu rehabilitasi, memperbanyak keragaman tanaman pohon serta
pengawasan dan pengendalian pemnafaatan ruang sekitar situ. Rencana
pengelolaan pada kawasan lainnya adalah ditetapkan sebagai tampungan air dan
pengendali banjir. Rencana pengembangan ruang terbuka hijau terdiri atas
komponen RTH kota, yang terdiri dari kawasan penyangga (buffer zone), hutan
kota, taman kota, taman lingkungan, taman rekreasi, tempat pemakaman umum,
lapangan oleh raga, sempadan jalan, sempadan sungai, pulau jalan, sempadan
instalasi berbahaya, sempadan rel kereta api, taman halaman gedung, taman persil,
dan lahan pekarangan.
Sedangkan untuk rencana pengembangan kawasan budidaya terdiri dari
pengembangan kawasan peruntukan industri, pengembangan kawasan peruntukan
perumahan, pengembangan kawasan peruntukan perdagangan dan jasa,
pengembangan kawasan peruntukan pariwisata dan rekreasi perkotaan,
pengembangan kawasan pertambangan gas, ruang terbuka non hijau kota, ruang
evakuasi bencana, pengembangan kawasan peruntukan bagi kegiatan sektor
informal, serta pengembangan kawasan peruntukan lainnya. Pengembangan
kawasan peruntukan lainnya dapat berupa sarana pendidikan, sarana kesehatan,
sarana peribadatan, dan sarana pemerintahan.
34
Gambar 8 Pola ruang Kota Bekasi
Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031
35
Selanjutnya rencana pengembangan kawasan strategis Kota Bekasi
dilakukan dengan memperhatikan KSN Kawasan Perkotaan Jabodetabek – Punjur.
Kawasan strategis kota (KSK) merupakan wilayah yang penatan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota
terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Penetapan kawasan strategi di
Kota Bekasi meliputi KSK pusat kota, dengan sudut kepentingan ekonomi skala
kota dan regional; KSK Mustikajaya dan Bantargebang, dengan sudut
kepentingan ekonomi berbasis industri teknologi tinggi; serta KSK Jatisampurna,
dengan sudut kepentingan pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi.
Analisis dan evaluasi
Perencanaan Kota Bekasi sudah memiliki perkembangan yang cukup baik.
Hal ini dapat dilihat dari pembagian wilayah Kota Bekasi kedalam wilayah pusat
pelayanan kota (PPK), sub pusat pelayanan kota (SPPK), dan kawasan strategis
kota. Dengan adanya pembagian wilayah kota diharapkan akan mengurangi
pergerakan masyarakat ke pusat kota. Bentuk penerapan compact city dan
kawasan pejalan kaki belum diterapkan di Kota Bekasi, namun beberapa bentuk
sudah direncanakan oleh pemerintah Kota Bekasi, diantaranya mixed use dan
TOD.
Tabel 15 Evaluasi bentuk penerapan green planning and design di Kota Bekasi
Skoring (a)
Gambar
Bentuk
Evaluasi
0 1 2 3 4
Compact
Pembangunan di Kota Bekasi
City
umumnya masih dilakukan
secara
horizontal.
Namun
pemerintah
kota
sudah
merencanakan
pembangunan
secara vertikal dalam suatu √
kawasan.
Dengan
adanya
pembangunan vertikal maka
alokasi ketersediaan RTH akan
semakin bertambah.
Mixed use
development
Pengembangan produk mixed
use sudah dikembangkan pada
kawasan perdagangan dan jasa,
namun masih berupa dua
produk
properti.
Untuk
pengembangan mixed use lebih
lanjut saat ini masih dalam
proses pembangunan.
√
36
Tabel 15 Evaluasi bentuk penerapan green planning and design di Kota Bekasi
(lanjutan)
Kawasan
Saat ini di Kota Bekasi sudah
Pejalan
tersedia jalur pejalan kaki,
Kaki
namun belum membentuk suatu √
kawasan.
Transit
Oriented
Development (TOD)
Di dalam RTRW Kota Bekasi,
pengembangan
TOD
akan
diarahkan pada kawasan yang
memiliki aksesibilitas angkutan
umum massal yang tinggi,
terutama pada lokasi yang
berdekatan dengan terminal.
Nilai penerapan total (Xt)
Nilai maksimal (Xmax)
√
2 (b)
16 (c)
% penerapan green planning and design di Kota Bekasi adalah 12.5% (d)
a
Keterangan skoring terdapat pada tabel 5
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
c
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
nilai penerapan total (Xt )
d
% bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100%
b
Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green planning and
design di Kota Bekasi adalah 12.5%. Pengembangan pembangunan vertikal di
Kota Bekasi sudah dilakukan pada kawasan permukiman, pemerintahan,
perkantoran, dan perdagangan dan jasa. Dengan adanya pembangunan vertikal
diharapkan alokasi untuk ketersedian RTH di Kota Bekasi akan semakin
bertambah. Selain itu, pemerintah juga sudah merencanakan pengembangan mixed
use development pada kawasan perdagangan dan jasa. Kawasan campuran yang
sudah dikembangkan di Kota Bekasi meliputi rumah toko (ruko), rumah kantor
(rukan), apartement, hotel atau penginapan. Dalam RDTR Kota Bekasi 2011 –
2031, pengembangan kawasan campuran akan diarahkan pada kawasan
perdagangan dan jasa yang berada di Pusat Kota, Bekasi Utara, dan Pondok Gede.
Selain itu, pengembangan produk mixed use lebih lanjut yang akan dikembangkan
di Kota Bekasi terdiri dari shopping mall, apartment, condohotel, ballroom,
office, dan rumah sakit. Dengan adanya pengembangan produk mixed use akan
menyelesaikan permasalahan pengembangan properti pada suatu wilayah
perkotaan.
Saat ini pemerintah Kota Bekasi masih merencanakan pengembangan
jaringan pejalan kaki yang dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat Kota
Bekasi dengan aman dan nyaman. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031,
rencana pengembangan Transit Oriented Development (TOD) di Kota Bekasi
akan dikembangkan untuk kawasan pada simpul-simpul jalur angkutan umum
massal yang memiliki aksesibilitas tinggi. Pengembangan TOD diarahkan pada
lokasi yang berdekatan dengan sarana transportasi dan pengembangannya akan
dilakukan pada Stasiun Kranji di Kelurahan Kranji, Terminal Bekasi, dan Stasiun
37
Kebun Paya di Kelurahan Margahayu. Diharapkan rencana pengembangan TOD
diharapkan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di Kota Bekasi.
Gambar 9 Rencana pengembangan sarana transportasi
Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 - 2031
38
Green Open Space
Green Open Space merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka suatu
wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik,
introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang
dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut. Menurut Joga dan Ismaun (2011),
Keberadaan RTH perkotaan dapat menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik
keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis
lain. RTH sangat diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara
bersih bagi masyarakat serta menciptakan estetika kota. Berkurangnya RTH di
perkotaan berdampak pada keseimbangan ekosistem kota dengan indikasi
penurunan kualitas lingkungan perkotaan, seperti banjir dan meningkatnya
pencemaran udara. Tujuan pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di
wilayah perkotaan adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan
yang nyaman, segar, indah, dan bersih, sebagai sarana lingkungan perkotaan, yaitu
menciptakan keserasian lingkungan alami dan buatan yang berguna untuk
kepentingan masyarakat, dan menciptakan kota yang sehat dan berkelanjutan
(liveable, habitable, sustainable) (Joga dan Ismaun 2011).
Kondisi Ideal Kota Hijau
Berdasarkan undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang
dijelaskan bahwa proporsi luas RTH minimal adalah 30% dari luas kota. RTH
tersebut terdiri dari 20% dikelola pemerintah daerah dan 10% dikelola oleh swasta
atau masyarakat. Luas RTH 30% bertujuan untuk menyeimbangkan ekosistem
kota, baik sistem hidrologi, klimatologi untuk menjamin udara bersih, maupun
sistem ekologis lainnya, termasuk menjaga keanekaragaman hayati dan
meningkatkan estetika kota. Tujuan dari keberadaan RTH di wilayah perkotaan
adalah untuk meningkatkan lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar,
indah, bersih, dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan serta
menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna
untuk kepentingan masyarakat. Manfaat dari RTH di wilayah perkotaan adalah:
a. memberi kesegaran, kenyamanan, keindahan lingkungan sebagai paru-paru
kota;
b. mencerminkan identitas daerah;
c. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
d. sebagai tempat hidup satwa dan melindungi plasma nutfah;
e. sebagai area resapan air, guna menjaga keseimbangan tata air, mengurangi
aliran air permukaan (banjir), menangkap dan menyimpan air, menjaga
keseimbangan tanah agar kesuburan tanah tetap terjamin;
f. sebagai sirkulasi udara dalam kota; dan
g. sebagai sarana dan prasarana kegiatan rekreasi.
39
Adapun fungsi green open space pada kawasan perkotaan terdiri dari fungsi
ekologis, fungsi sosial budaya, fungsi ekonomi, dan fungsi estetika.
a. Fungsi ekologis
RTH di kawasan perkotaan dapat dijadikan sebagai penjaga kualitas
lingkungan perkotaan. Dengan adanya penghijauan maka RTH dapat berfungsi
sebagai paru-paru kota, ameliorasi iklim, penyerap air hujan, sebagai peneduh,
penyedia habitat satwa, penahan angin, penyerap polutan udara, air, dan tanah,
serta pelembut arsitektur bangunan.
b. Fungsi sosial budaya
RTH di kawasan perkotaan dapat dijadikan sebagai tempat berinteraksi atau
bersosialisasi bagi masyarakat kota, seperti olahraga, rekreasi, bermain,
menunggu, dan melakukan kegiatan atau acara di perkotaan. Selain itu, RTH di
perkotaan dapat dijadikan landmark dari sebuah kota.
c. Fungsi ekonomi
Memanfaatkan sumber produk yang dapat dijual seperti tanaman bunga,
buah, daun, dan sayur, serta dapat menjadi bagian dari usaha pertanian,
perkebunan, dan kehutanan
d. Fungsi estetika
Meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota, baik dari skala
mikro (halaman rumah, lingkungan permukiman) maupun makro (kawasan
kota), pembentuk faktor keindahan arsitektural, menciptakan suasana serasi
dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.
Secara fisik, RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami dan RTH binaan. RTH
alami terdiri atas daerah hijau yang masih alami (wilderness areas), daerah hijau
yang dilindungi agar tetap dalam kondisi alami (protected areas), dan daerah
hijau yang difungsikan sebagai taman publik tetapi tetap dengan mempertahankan
karakter alam sebagai basis tamannya (natural park areas). Sedangkan untuk
RTH binaan terdiri atas daerah hijau di perkotaan yang dibangun sebagai taman
kota (urban park areas), daerah hijau yang dibangun dengan fungsi rekreasi bagi
warga kota (recreational areas), dan daerah hijau antar bangunan maupun
halaman bangunan yang digunakan sebagai area penghijauan (urban development
open spaces). Selain itu, adapun pembagian RTH dari berbagai literatur atau
kepustakaan yang telah dilakukan yang terdiri dari taman lingkungan, taman kota,
hutan kota, tempat pemakaman umum, jalur hijau, dan pertanian perkotaan.
1. Taman lingkungan
Taman lingkungan merupakan taman yang berada disekitar perumahan atau
kelurahan. Taman ini disediakan untuk melayani jumlah penduduk tertentu.
Menurut fungsinya, taman lingkungan dapat dibedakan menjadi taman
lingkungan aktif dan pasif. Taman lingkungan dapat dikatakan aktif apabila
para pengunjung atau pengguna taman dapat beraktifitas secara leluasa di
dalam area taman, sedangkan taman pasif adalah apabila pengguna taman
hanya daat menikmati dan melihat taman serta tidak melakukan aktifitas fisik
apapun.
40
2. Taman kota
Taman Kota merupakan taman yang berada di pusat kota atau bagian
wilayah kota. Taman ini melayani seluruh atau sebagian masyarakat kota,
berolahraga, pameran pembangunan atau kegiatan lainnya yang memiliki skala
kota.
3. Hutan kota
Hutan Kota merupakan komunitas vegetasi berupa pohon yang tumbuh di
lahan kota atau sekitarnya, berbentuk jalur-jalur, menyebar atau bergerombol
(menumpuk). Struktur hutan kota menyerupai hutan alami, dapat dijadikan
habitat bagi satwa liar dan dapat menciptakan lingkungan sehat, suasana
nyaman, sejuk, dan estetis. Hutan kota dapat berperan dalam memperbaiki dan
menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan
keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, serta mendukung
pelestarian keanekaragaman hayati. Manfaat dari hutan kota adalah dapat
dijadikan pariwisata alam, tempat rekreasi atau olahraga, tempat penelitian atau
pendidikan, serta dapat dijadikan tempat pelestarian plasma nutfah.
4. Tempat pemakaman umum
Tempat pemakaman merupakan fasilitas sosial yang disediakan pemerintah
untuk melayani masyarakat dalam hal penguburan serta aktifitas ritual lainnya.
Dilihat dari fungsi sosial maka pemakaman adalah ruang terbuka untuk umum,
sehingga sangat memungkinkan memiliki fungsi ganda sebagai RTH,
khususnya berperan seperti halnya taman pasif. Permasalahan yang terjadi saat
ini adalah sulitnya dalam penyediaan pemakaman pada kota besar di Indonesia.
Permasalahan ini harus diatasi dengan merubah desain makam pada bentuk
makam untuk memperkuat fungsi RTH dengan daya tampung makam menjadi
lebih banyak. Untuk menegmbalikan TPU sebagai RTH kota, maka makam
dengan bangunan beton harus dirubah menjadi makam tanpa beton. Model
makam tanpa gundukan tanah dapat meningkatkan fungsi RTH TPU, serta
meningkatkan daya tampung makam.
5. Jalur hijau
Jalur hijau merupakan RTH berbentuk memanjang mengikuti jalan, sungai
atau jaringan utilitas lainnya dan fungsi tertentu di perkotaan. Secara struktural
jalur hijau berfungsi untuk membatasi jalan, sungai, dan jaringan utilitas
lainnya dari gangguan berbagai aktifitas perkotaan atau meningkatkan
keamanan bagi masyarakat terhadap dampak negatif dari jaringan yang
dibatasinya. Secara fungsional jalur hijau merupakan tempat tumbuh berbagai
jenis tumbuhan yang berperan sebagai pembatas perkembangan kota, serta
menjadi jalur penghubung antara RTH di perkotaan sehingga membentuk
konektifitas antara satu RTH dengan RTH lainnya baik di dalam maupun di
tepian kota.
6. Pertanian perkotaan
Pertanian perkotaan merupakan kegiatan memanfaatkan sudut-sudut, tepi
sungai di lingkungan/ di kota sebagai area berkebun. Kota dapat mendorong
dan mengajak warganya untuk memanfaatkan lahan kosong untuk dijadikan
41
kebun perkotaan. Kebun perkotaan dapat menjadikan masyarakat aktif dan
terlibat dalam kegiatan di luar ruangan. Manfaat yang didapatkan dari
pertanian perkotaan adalah:
a. menghubungkan warga kota untuk sistem pangan, masyarakat kota dapat
memproduksi makanan dari pertanian perkotaan tersebut;
b. menyediakan RTH dan rekreasi, lahan-lahan perkotaan yang kosong dapat
diubah menjadi kawasan pertanian dan tempat rekreasi sehingga dapat
dinikmati oleh masyarakat kota;
c. memberikan manfaat ekologi dan infrastruktur hijau, dimana lahan tersebut
dapat menyerap air hujan, sebagai ameliorasi iklim, dan menyediakan
habitat bagi serangga dan burung; dan
d. meningkatkan akses pangan, kesehatan masyarakat, dan berotensi sebagai
pembangunan ekonomi kota.
Kondisi Aktual Kota Bekasi
Berdasarkan kepemilikan, RTH yang terdapat di Kota Bekasi dapat
dibedakan menjadi RTH publik dan RTH privat. RTH publik merupakan ruang
terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah maupun pusat.
RTH publik di Kota Bekasi terdiri dari sempadan sungai, sempadan situ,
sempadan jalan, sempadan rel kereta api, taman, hutan kota, lapangan olahraga,
dan tempat pemakaman umum. Selain RTH publik, Kota Bekasi juga memiliki
RTH privat yang merupakan ruang terbuka yang dimiliki oleh swasta ataupun
perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa
pekarangan, halaman rumah ataupun gedung milik swasta maupun masyarakat.
Ruang terbuka hijau yang terdapat di Kota Bekasi belum mencapai 30% dari
luas Kota Bekasi. Saat ini luas RTH yang terdapat di Kota Bekasi mencapai 774
ha atau sekitar 11%, dengan cakupan RTH publik sebesar 3.55% dan RTH privat
sebesar 7.4%. Untuk memenuhi RTH 30% pada dasarnya Kota Bekasi harus
memiliki luasan RTH sebesar 6 314.7 ha. Oleh karena itu, Kota Bekasi perlu
menambah luasan RTH sebesar 5 540.7 ha atau sekitar 19% dari luas Kota Bekasi.
Dalam merealisasikan RTH 30%, pemerintah kota melakukan upaya memperluas
RTH melalui konsolidasi lahan, mengembangkan RTH di sekeliling zona Tempat
Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Bantargebang,
mengembalikan fungsi RTH yang telah berubah menjadi fungsi lain, revitalisasi
RTH, penyediaan taman kota, taman lingkungan, hutan kota, sabuk hijau, jalur
hijau jalan, serta meningkatkan jumlah RTH privat melalui penetapan KDH
minimal 10% pada setiap kavling lahan.
Ketersediaan RTH publik pada kegiatan pemerintahan, perdagangan dan
jasa, permukiman, dan industri umumnya masih sedikit dan kondisi taman kurang
memadai, sedangkan pada kegiatan industri, perdagangan dan jasa yang
berkembang di Kota Bekasi umumnya tidak menyediakan taman, baik berupa
taman bermain, taman lingkungan atau berupa buffer zone guna memisahkan antar
kegiatan industri dengan kegiatan lainnya. Selain RTH publik, ketersediaan RTH
privat yang dikembangkan oleh pihak swasta umumnya terdapat pada kawasan
permukiman dan kondisinya sudah memadai.
42
1. Taman lingkungan
Taman lingkungan di Kota Bekasi hanya terdapat pada kecamatan Bekasi
Barat dan Medan Satria, dengan kelurahan Kotabaru, Kalibaru, Harapan Mulya,
Kelurahan Bintara, Medan Satria, Pejuang, Jakasampurna, Kranji, dan Bintara
Jaya. Ketersediaan taman lingkungan yang terdapat di Kota Bekasi dan
terkelola dengan baik umumnya dikembangkan oleh pihak swasta. Taman
lingkungan yang dikembangkan oleh pihak swasta terdapat pada kawasan
perumahan, komersil, dan industri. Sedangkan taman lingkungan yang
disediakan oleh pemerintah hanya terdapat pada beberapa kawasan perumahan
dan memiliki kondisi yang berbeda-beda tergantung dana pemeliharaan yang
tersedia, umumnya dilakukan oleh swasembada masyarakat.
2. Taman kota
Taman kota di Kota Bekasi terdapat di sembilan titik, yaitu di Jalan Cut
Mutia, Jalan Hasibuan, Jalan KH. Noer Ali, Taman Bulan-bulan, Jalan Ahmad
Yani, Jaka Sampurna, Tol Timur, Jalan Juanda, dan Alun-alun. Alun-alun
biasanya merupakan sebidang tanah lapang yang sekelilingnya ditanami pohon
pelindung. Umumnya fasilitas yang terdapat di sekitar alun-alun berupa masjid,
pusat pemerintahan, dan fasilitas umum kota lainnya. Alun-alun Kota Bekasi
berfungsi sebagai salah satu taman kota yang memiliki fasilitas olahraga sepak
bola dan tenis, taman terbuka, dan plaza. Di sebelah barat terdapat masjid AlBarkah dan di sebelah timur terdapat RSUD Bekasi. Sebagai taman kota,
kondisi alun-alun Bekasi masih apa adanya, seperti kurangnya penanaman
pohon besar dan masih banyak terdapat area terbuka. Alun-alun Bekasi masih
belum memberikan identitas bagi Kota Bekasi. Pada beberapa area sudah
ditumbuhi oleh beberapa pohon besar, namun masih banyak area terbuka
dengan kondisi tidak tertutupi rumput (tanah terbuka).
Gambar 10 Kondisi alun-alun Kota Bekasi
3. Hutan kota
Hutan kota yang terdapat di Kota Bekasi memiliki luas sebesar 150 ha.
Keberadaan hutan kota tersebut belum menyebar keseluruh bagian wilayah
Kota Bekasi, hanya terdapat di empat kecamatan. Diantaranya, Kecamatan
Bantar Gebang, Bekasi Timur, Jati Asih, dan Jatisampurna. Hutan kota yang
terdapat di Kota Bekasi memiliki bentuk menyebar, dimana hutan kota tersebut
tidak mempunyai pola bentuk tertentu dengan komunitas vegetasi tumbuh
menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol
kecil. Salah satu hutan kota yang terdapat di Kota Bekasi terletak pada Bumi
Perkemahan Bina Bangsa. Hutan kota tersebut sudah banyak ditanami oleh
pepohonan, namun masih terdapat area yang gundul akibat sering digunakan
oleh aktifitas masyarakat.
43
4. Tempat pemakaman umum (TPU)
Luas TPU yang terdapat di Kota Bekasi baru mencapai 54.88 ha. Untuk
kedepannya, Dinas Pertamanan, Pemakaman, dan Penerangan Jalan Umum
Kota Bekasi akan menambah luasan RTH sebesar 84.50 ha. Saat ini,
keberadaan TPU hanya terdapat pada tujuh kecamatan, yang berlokasi di TPU
Medan Satria, TPU Mustikasari, TPU Pendurenan, TPU Pereng, TPU Perwira,
TPU Rawalodar, dan TPU Sumur Batu.
Kondisi pemakaman sebagian sudah ramah lingkungan (tidak menggunakan
perkerasan) sementara sebagian lagi masih menggunakan perkerasan pada
makam-makamnya. Umumnya makam lama masih menggunakan perkerasan,
serta pola penanaman vegetasi belum teratur dan ketersediaan PJU masih
kurang. Pada area makam lama ditumbuhi pohon-pohon besar, sementara pada
area makam baru masih dilakukan penanaman pohon, sebagian masih
berukuran kecil dan pendek.
Gambar 11 Tempat pemakaman umum Kota Bekasi
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum (2013)
5. Jalur hijau
a. Jalur hijau Situ dan Sungai
Sempadan Situ yang terdapat di Kota Bekasi saat ini mencapai 23.4 ha.
Berdasarkan RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031, pemerintah Kota Bekasi
sedang melakukan rencana pengelolaan daerah sekitar Situ sebagai kawasan
perlindungan setempat, salah satunya adalah memperbanyak keragaman
tanaman pohon serta pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang
sekitar situ. Selain sempadan situ, sempadan sungai di Kota Bekasi juga
sudah menyebar diseluruh kecamatan. Luasan eksisting sempadan sungai di
Kota Bekasi adalah 609.32 ha. Pemerintah Kota Bekasi juga melakukan
rencana pengelolaan sempadan sungai sebagai kawasan perlindungan
setempat, seperti yang tercantum dalam RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031,
salah satunya memperbanyak keragaman tanaman pohon serta melarang
pemanfaatan lahan disepanjang sempadan sungai. Jalur hijau pada tepi
sungai di Kota Bekasi diperkeras dengan batu kali. Pada salah satu tepinya
dibatasi jalur hijau yang langsung berbatasan dengan jalan raya.
44
b. Jalur hijau jalan
Kondisi jalur hijau jalan pada Kota Bekasi umumnya sudah dilakukan
perkerasan solid maupun semi solid. Hal tersebut mengakibatkan ruang
tersebut tidak dapat ditumbuhi tanaman dan tidak dapat menyerap air hujan.
Ruang terbuka non hijau seperti ini rata-rata terdapat di pusat pergerakan
ekonomi ataupun di pusat kota yang terdapat di sepanjang jalan Ir. H.
Juanda. Ruang terbuka hijau pada sempadan jalan yang masih dapat
ditumbuhi tanaman terdapat pada sub pusat pelayanan (SPP) Mustika Jaya.
Pada daerah tersebut, sempadan jalan sebagian sudah dilakukan perkerasan
namun sebagian masih berupa lahan terbuka yang masih dapat dimanfaatkan
sebagai jalur hijau. Selain itu, jalur hijau jalan juga dijadikan sebagai tempat
pemberhentian angkutan umum dan tempat warung kaki lima sehingga
kondisi jalur hijau jalan menjadi terlihat tidak rapi.
Gambar 12 Jalur hijau jalan Kota Bekasi
6. Pertanian perkotaan
Penggunaan lahan terbangun di Kota Bekasi lebih besar dibandingkan lahan
tidak terbangun. Penggunaan lahan terbangun sebagian besar digunakan
sebagai lahan perumahan yang lokasinya sebagian besar berada pada wilayah
utara Kota Bekasi, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi
Barat, dan Bekasi Utara. Sedangkan lahan tidak terbangun atau lahan kosong
yang terdapat pada Kota Bekasi terdapat di wilayah bagian selatan Kota Bekasi,
yaitu Kecamatan Jatiasih, Jatisampurna, Bantargebang, dan Mustikajaya.
Sebagian besar wilayah tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian berupa
tegalan, kebun campuran, dan sawah.
45
Gambar 13 Alokasi RTH Kota Bekasi
Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031
46
Analisis dan evaluasi
Luas RTH di Kota Bekasi baru mencapai 774 ha atau sekitar 11% dari luas
Kota Bekasi, dengan luas RTH publik 3.55% dan RTH privat 7.4%. Untuk
memenuhi RTH 30% seperti yang telah diamanatkan UU no. 26 tahun 2007, maka
Kota Bekasi perlu menambah luasan RTH sebesar 5 540.7 ha atau sekitar 19%
dari luas Kota Bekasi. Ketersediaan RTH umumnya masih belum menyebar di
seluruh bagian wilayah Kota Bekasi. Seharusnya pengembangan RTH dilakukan
menyebar agar keseimbangan ekologis kota tetap terjaga. Bentuk dari green open
space yang terdapat di Kota Bekasi terdiri dari taman lingkungan, taman kota,
hutan kota, tempat pemakaman umum, jalur hijau, dan pertanian perkotaan.
Tabel 16 Evaluasi bentuk penerapan green open space di Kota Bekasi
Skoring (a)
Gambar
Bentuk
Evaluasi
0 1 2 3 4
Taman
Taman lingkungan
Lingkungan yang berada di
Kota
Bekasi
umumnya terdapat
di
lingkungan
√
perumahan
dan
banyak
dikembangkan
oleh
pihak swasta.
Taman Kota Kondisi
taman
kota
di
Kota
Bekasi
masih
kurang
dalam
penanaman pohon
besar dan sebagian
area masih dalam
kondisi tanah terbuka. Saat ini
taman kota di
Kota
Bekasi
berjumlah 9 buah.
Hutan Kota
Luasan hutan kota
di Kota Bekasi
adalah 150 ha.
Untuk kedepannya, pemerintah
merencanakan
untuk menambah
luasan hutan kota
sebanyak 465.33
ha.
√
√
47
Tabel 16 Evaluasi bentuk penerapan green open space di Kota Bekasi
(lanjutan)
Tempat
Luasan TPU di
Pemakaman Kota Bekasi sudah
Umum
mencapai
54.88
ha. Kondisi TPU
sudah
ramah
lingkungan (tidak
menggunakan
√
perkerasan), namun masih kurang
dalam penyediaan
PJU pola tanam
vegetasi
tidak
teratur.
Jalur Hijau
Kondisi jalur hijau
yang ada pada
Kota
Bekasi
khususnya di pusat
kota
sebagian
besar sudah didominasi
oleh
perkerasan
dan
bangunan.
Pertanian
Perkotaan
√
Lahan
kosong
untuk
pertanian
umumnya
dikembangkan di
bagian
selatan
Kota
Bekasi.
Sebaiknya
√
pengembangan
pertanian
perkotaan dilakukan
menyebar
di
bagian
wilayah
Kota
Bekasi
lainnya.
Nilai penerapan total (Xt)
11 (b)
Nilai maksimal (Xmax)
24 (c)
% penerapan green open space di Kota Bekasi adalah 45.8% (d)
a
Keterangan skoring terdapat pada tabel 6
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
c
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
nilai penerapan total (Xt )
d
% bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100%
b
48
Berdasarkan hasil skoring, penerapan green open space di Kota Bekasi
adalah 45.8%. Taman lingkungan di Kota Bekasi umumnya banyak terdapat pada
kawasan perumahan, sebaiknya taman lingkungan tidak hanya diterapkan pada
kawasan perumahan, namun juga diterapkan pada kawasan CBD dan industri.
Taman kota di Kota Bekasi sebaiknya dapat menampung kebutuhan bagi
masyarakat kota. Oleh karena itu, diperlukan fasilitas dan utilitas pendukung yang
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Hutan kota sudah banyak ditanami
oleh pepohonan. Namun, masih ada area yang gundul akibat sering digunakan
oleh aktifitas masyarakat. Hutan kota dapat menjadi salah satu tujuan rekreasi dan
fasilitas kegiatan bagi masyarakat Kota Bekasi.
Masyarakat Kota Bekasi masih banyak yang melakukan pemakaman di
sekitar area permukiman mereka akibat terlalu jauhnya lahan pemakaman dari
kawasan tempat tinggal mereka. Hal ini menunjukan bahwa pelayanan TPU
belum menyentuh seluruh warga Bekasi. TPU hendaknya dapat dimanfaatkan
sebagai tempat kegiatan sosial oleh masyarakat kota serta dilengkapi dengan
fasilitas pendukung.
Perlakuan perkerasan pada tepian sungai dapat memusnahkan sebagian
ekosistem tepian perairan yang menjadi habitat bagi belut, serangga, kadal, dan
sebagainya. Sebaiknya pada bagian tepian sungai ditumbuhi semak yang dapat
hidup di tepian air. Tanaman ini akan turut membantu dalam pembentukan
ekosistem baru pada tepian sungai. Tanaman ini juga akan memberikan nutrisi
bagi air sungai yang sangat penting bagi pembentukan ekosistem air. Jalur hijau
yang terdapat pada sempadan jalan umumnya juga sudah dilakukan perkerasan.
Ruang terbuka seperti ini sudah tidak dapat ditumbuhi tanaman ataupun menyerap
air. Untuk menciptakan jalur hijau jalan yang menggunakan perkerasan, dapat
dilakukan dengan penggunaan tanaman pada planter box.
Pada bagian wilayah selatan Kota Bekasi pembangunan masih relatif belum
banyak dan masih dapat ditemukan lahan-lahan kosong atau belum terbangun,
sehingga memiliki potensi RTH yang tinggi. Lahan-lahan kosong tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai tegalan, kebun campuran, dan sawah yang dimanfaatkan
oleh masyarakat disekitarnya. Meskipun dalam RTRW beberapa bagian kawasan
akan dikembangkan menjadi kawasan permukiman namun penyediaan RTH
masih dapat dilakukan dengan mengikuti arahan pemerintah. Setiap perumahan
baru dapat menyediakan RTH skala lingkungan serta pembangunan RTH dengan
luasan yang lebih seperti taman kota dan hutan kota dapat dirahkan pada bagian
wilyah selatan Kota Bekasi.
Pengembangan RTH sebaiknya dilakukan secara menyebar disetiap wilayah
Kota Bekasi. Pengembangan RTH masih dapat dilakukan pada bagian selatan
Kota Bekasi karena masih memiliki banyak lahan kosong. Sedangkan untuk
bagian wilayah utara Kota Bekasi sudah didominasi oleh pembangunan. Namun,
pembangunan RTH masih dapat dilakukan di bagian wilayah utara Kota Bekasi
dengan memanfaatkan vertical garden atau roof garden. Berdasarkan RTRW,
pemerintah akan merencanakan pembangunan vertikal pada suatu kawasan,
sehingga lahan kosong tersebut dapat dimanfaatkan sebagai penggunaan RTH.
49
Green Building
Menurut GBC Indonesia dalam Panduan Kota Hijau (2013), green building
adalah bangunan baru ataupun bangunan lama, yang direncanakan dibangun, dan
dioperasikan dengan memperhatikan faktor-faktor keberlanjutan lingkungan.
Suatu bangunan yang memiliki konsep bangunan hijau apabila perencanaan,
pembangunan, pengoperasian, serta pemeliharaan bangunan tersebut
memperhatikan aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, mengurangi
penggunaan sumber daya alam, menjaga mutu baik bangunan maupun mutu dari
kualitas udara di dalam ruangan, dan memperhatikan kesehatan penghuninya.
Tujuan dasar konsep green building adalah:
a. meminimalkan atau mengurangi pengunaan sumberdaya alam;
b. meningkatkan efisiensi energi; dan
c. meningkatkan kualitas udara dalam ruangan.
Kondisi ideal kota hijau
Penerapan green building akan bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya
serta kualitas lingkungan yang baik. Penerapan green building tidak hanya
menghasilkan bangunan yang lebih baik tetapi juga menghasilkan keuntungan
ekonomi yang lebih baik. Desain green building akan memperhatikan
ketersediaan ruang terbuka untuk memaksimalkan sirkulasi udra dan pencahayaan
alami, dengan mengurangi penggunaan lampu dan AC pada siang hari. Selain itu,
bangunan tersebut akan menggunakan material yang ramah lingkungan. Desain
green building yang umum digunakan saat ini adalah pengembangan taman atap
(roof garden). Roof garden dalam suatu bangunan memiliki nilai ekologis yang
tinggi, yaitu mengurangi suhu udara dan pencemaran serta menambah RTH.
Dalam menyusun strategi pembangunan green building terdapat beberapa manfaat
yang dapat diperoleh dalam menerapkan green building, antara lain:
a. bangunan lebih awet dan tahan lama dengan perawatan minimal;
b. efisiensi penggunaan energi dan air;
c. bangunan lebih nyaman untuk ditinggali;
d. meningkatkan kesehatan penghuni bangunan; dan
e. turut berperan serta dalam kepedulian lingkungan.
Suatu bangunan dapat dikatakan sebagai bangunan hijau apabila bangunan
tersebut memiliki kriteria seperti:
a. efisiensi energi, sebagian besar energi yang tersedia saat ini merupakan energi
yang tidak dapat diperbaharui dan pada tahap produksi maupun
pemenfaatannya menghasilkan CO2 yang cukup besar. Contoh penerapan
energi yang efisien dalam bangunan adalah penerapan panel surya yang dapat
mengurangi biaya listrik bangunan. Selain itu, bangunan tersebut juga
dilengkapi dengan jendela untuk menghemat penggunaan energi, terutama
lampu dan AC. Pada siang hari, jendela sebaiknya dibuka agar mengurangi
pemakaian listrik dan sinar matahari dapat masuk ke dalam ruangan. Sinar
matahari tersebut dapat meningkatkan kesehatan penghuni bangunan tersebut.
50
Dengan menerapkan energi yang efisien, maka bangunan tersebut dapat
menghemat emisi karbon yang dihasilkan.
b. konservasi air, penggunaan efisiensi air dalam bangunan dapat dilakukan
dengan menerapkan sistem tangkapan air hujan atau menggunakan water
recycling system yang berfungsi untuk mengolah air kotor atau air bekas
sehingga dapat digunakan kembali untuk menyiram toilet atau tanaman.
Dengan sistem ini, akan menciptakan penghematan dalam penggunaan air
bersih.
c. tata guna lahan, penggunaan tata guna lahan terkait dengan kemudahan akses
kendaraan untuk mencapai bangunan tersebut. Bangunan tersebut sebaiknya
dapat diakses oleh pengguna sepeda dengan menyediakan fasilitas parkir
sepeda. Dengan demikian, penggunaan kendaraan pribadi yang dapat
menghasilkan polusi dapat dikurangi.
d. efisiensi material, green building dapat memanfaatkan material bangunan yang
ramah lingkungan atau berkelanjutan dalam konstruksinya, misalnya material
hasil reuse dan recycle atau terbuat dari sumberdaya terbarukan. Selain itu
bangunan tersebut juga menggunakan perabotan yang ramah lingkungan.
e. manajemen lingkungan bangunan, pemeliharaan dan operasional bangunan
termasuk pengelolaan limbah bangunan mengacu pada prinsip-prinsip ramah
lingkungan.
f. kualitas udara dan kenyamanan ruangan, kualitas udara dalam ruangan dapat
ditingkatkan dengan menggunakan sistem ventilasi.
Kondisi aktual Kota Bekasi
Pengembangan lahan terbangun di Kota Bekasi umumnya terdapat pada
bagian wilayah utara Kota Bekasi. Pembangunan pada wilayah ini sangat pesat
sehingga keberadaan RTH terbatas. RTH yang ada dibandingkan dengan
penduduk dan aktivitas kegiatan yang berlangsung pada wilayah ini tidak
seimbang. Kondisi ini akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan,
seperti kualitas udara, air, tanah, serta dapat menimbulkan kawasan kumuh.
Penanganan pemerintah untuk menangani kawasan kumuh di Kota Bekasi yaitu
menerapkan konsep land sharting yang merupakan penggabungan dan modifikasi
dari konsep-konsep land sharing, land consolidation, atau land readjustment,
dan konsep rumah susun sewa. Dengan konsep land sharting pembangunan
kawasan tidak perlu menggusur (secara fisik) penduduk asli perkampungan yang
dibangun kembali (redevelop) dan juga tidak perlu menggeser (secara hak milik)
status kepemilikan tanah dari penduduk asli kepada para pendatang. Penanganan
dengan pengembangan rumah susun sangat efektif untuk mengatasi permasalahan
kawasan kumuh, dimana lahan yang digunakan tidak terlalu besar dan penyediaan
sarana umum dapat terakomodir dengan baik. Penyediaan rumah susun dapat
menampung jumlah penduduk yang ada dalam kawasan perencanaan, hal ini
dikarenakan seluruh perumahan dan permukiman yang ada di kawasan
51
perencanaan akan dipindahkan dalam rumah susun. Sedangkan lahan yang ada
dapat dikembangkan sebagai RTH.
Penerapan green building belum diterapkan oleh pemerintah Kota Bekasi.
Namun dalam RTRW Kota Bekasi 2011-2031, perencanaan green building akan
dilakukan pada kawasan perumahan yang terstruktur melalui pendekatan kawasan
siap bangun (Kasiba) dengan pola hunian vertikal. Pola hunian vertikal ini akan
dikembangkan pada kawasan perumahan kepadatan tinggi, sedang, dan rendah.
Analisis dan evaluasi
Rencana pengembangan hunian vertikal di Kota Bekasi merupakan salah
satu pendekatan green building. Dengan mengembangkan pola vertikal, akan
menambah alokasi ketersediaan lahan untuk RTH. Bentuk green building terdiri
dari tepat guna lahan, efisiensi energi, konservasi air, penggunaan material daur
ulang, manajemen lingkungan gedung, serta kualitas udara luar dan dalam
ruangan.
Tabel 17 Evaluasi bentuk penerapan green building di Kota Bekasi
Gambar
Bentuk
Evaluasi
Skoring (a)
1 2 3
0
Belum ada dikembangkan
oleh pemerintah kota.
Penerapan
Namun dalam RTRW
green building Kota
Bekasi,
√
yang sudah
pengembangan
green
tersertifikasi building
akan
dikembangkan
pada
kawasan permukiman
Nilai penerapan total (Xt)
0 (b)
Nilai maksimal (Xmax)
4 (c)
% penerapan green building di Kota Bekasi adalah 0% (d)
4
a
Keterangan skoring terdapat pada tabel 7
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
c
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
nilai penerapan total (Xt )
d
% bentuk penerapan =
x 100%
b
nilai maksimal (Xmax )
Dari hasil skoring, penerapan green building di Kota Bekasi adalah 0%.
Green building belum diterapkan di Kota Bekasi, namun penerapan green
building akan dikembangkan pada kawasan perumahan skala besar (Kasiba atau
Lisiba) yang telah dikeluarkan izinnya. Pengembangan perumahan skala besar
diarahkan untuk mengembangkan konsep pengembangan rumah taman atau
rumah kebun dengan ketentuan KDB maksimal 50%.
Selain itu, pemerintah kota mewajibkan kepada pihak yang ingin
mengembangkan kawasan permukiman dalam penyediaan infrastruktur untuk
mengelola lingkungan secara terpadu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan upaya
membuat IPAL komunal, mengelola sampah secara 3R, menyediakan RTH paling
52
sedikit 10% dari luas lahan, menggunakan material yang ramah lingkungan, dan
memaksimalkan atap bangunan untuk dijadikan taman atap (Roof top garden) dan
vertical greenery. Dengan demikian, pemanfaatan area tidak hanya sebatas
dilakukan secara horizontal namun juga secara vertikal.
Green Waste Management
Green Waste adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan
masyarakat untuk mencegah terjadinya masalah yang disebabkan oleh adanya
sampah dan limbah. Upaya yang dimaksudkan diatas meliputi pengurangan
(reduce), pemanfaatan kembali (reuse), dan daur ulang (recycle) yang dikenal
sebagai pendekatan 3R. Green waste dibatasi pada penanganan sampah
berkelanjutan, sedangkan penanganan limbah lainnya, telah diatur dalam SOP
khusus yang spesifik sesuai jenis dan kandungan limbahnya Tujuan dari green
waste adalah masalah lingkungan seperti banjir, penyakit dan lingkungan kotor
yang disebabkan oleh sampah tidak lagi terjadi di perkotaan. Sedangkan
manfaatnya adalah:
a. munculnya kesadaran seluruh masyarakat terhadap pengelolaan sampah
sendiri;
b. berkurangnya volume sampah yang menjadika beban kota;
c. berkurangnya ancaman banjir dan penyakit;
d. berkurangnya kebutuhan lahan untuk TPS dan TPA yang sangat bermasalah di
perkotaan;
e. terjaganya kesuburan dan kualitas tanah; dan
f. membangkitkan kota yang kreatif, melalui penggunaan ulang (reuse) dan daur
ulang sampah (recycle).
Kondisi ideal kota hijau
Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang
meliputi lima aspek/komponen yang saling mendukung dimana antara satu
dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Kelima aspek
tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi dan manajemen,
aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, aspek peran serta masyarakat.
53
Gambar 14 Skema Manajemen Pengelolaan Sampah
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum
Aspek hukum dan peraturan dalam pengelolaan sampah dilakukan oleh
dinas kebersihan kota. Umumnya dinas kebersihan selain berfungsi sebagai
pengelola persampahan kota, juga berfungsi sebagai pengatur, pengawas, dam
pembina pengelolaan sampah. Sebagai pengatur, dinas kebersihan membuat
peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh operator pengelola
persampahan. Selain pengatur, dinas kebersihan juga berfungsi sebagai pengawas,
yaitu mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah dibuat dan
memberikan sanksi kepada operator apabila dalam pelaksanaan tugasnya tidak
mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Sedangkan fungsinya sebagai pembina
pengelolaan sampah adalah melakukan peningkatan kemampuan dari operator.
Pembinaan tersebut dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan maupun
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat untuk
mendapatkan umpan balik atas pelayanan pengelolaan persampahan.
Aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan aspek
yang terpenting untuk diperhatikan dalam sistem pengelolaan sampah terpadu.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan salah satu faktor
teknis untuk menanggulangi persoalan sampah perkotaan atau lingkungan
permukiman dimana dari tahun ke tahun semakin kompleks.
Dalam pengelolaan sampah perkotaan yang ideal, sistem manajemen
persampahan yang dikembangkan merupakan sistem yang berbasis pada
masyarakat yang dapat dimulai dari pengelolaan samah di tingkat rumah tangga.
Dalam rencana pengelolaan sampah perlu adanya metode pengolahan sampah
yang lebih baik, peningkatan peran serta dari lembaga-lembaga yang terkait dalam
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sampah, meningkatkan
pemberdayaan masyarakat, peningkatan aspek ekonomi yang mencakup upaya
meningkatkan retribusi sampah dan mengurangi beban pendanaan serta
peningkatan aspek legal dalam pengelolaan sampah.
Aspek teknik operasional dalam pengelolaan sampah sebaiknya bersifat
terpadu secara berantai dengan urutan penampungan/pewadahan, pengumpulan,
pemindahan, pengangkutan, dan pembuangan/pengelolaan. Kegiatan ini dimulai
dari penampungan dan pengumpulan sampah di tempat timbulan sampah (tempat
sampah) yang kemudian dipindahkan ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS).
Pemindahan sampah umumnya dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk
54
sampah yang dikelola oleh kelompok masyarakat maupun dinas kebersihan kota..
Tahap berikutnya adalah pengangkutan sampah dari TPS menuju Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Sampah yang diangkut dari TPS akan dikelola lebih
lanjut di TPA. Pengelolaan sampah di TPA dapat dilakukan dengan empat cara,
yaitu open dumping, controlled landfill, dan sanitary landfill. Metode open
dumping merupakan sistem pengolahan sampah dengan membuang atau
menimbun sampah di suatu tempat tanpa ada perlakuan khusus, sehingga dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan. Metode controlled landfill adalah
penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh yang
dipadatkan atau setelah mencapai periode tertentu. Sedangkan metode sanitary
landfill merupakan sistem pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara
sampah ditimbun dan dipadatkan dengan tanah yang dilakukan setiap hari.
Aspek pembiayaan pada pengelolaan sampah berasal dari pemerintah daerah
dan retribusi jasa pelayanan persampahan yang berasal dari konsumen. Aspek
pembiayaan berfungsi untuk membiayai operasional pengelolaan sampah yang
dimulai dari sumber sampah/penyapuan, pengumpulan, transfer dan
pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir.
Adapun metode pengelolaan sampah yang dapat diterapkan di kawasan perkotaan,
diantaranya:
1. Penerapan sistem 3R
Penerapan prinsip 3R terdiri dari reduce, menghindari perilaku yang
menyebabkan munculnya sampah; reuse, menggunakan kembali barang-barang
yang sudah tidak terpakai; dan recycle, mendaur ulang kembali barang lama
menjadi barang baru. Program pengelolaan sampah terpadu dengan prinsip 3R
dapat bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dengan prinsip
tersebut, jumlah sampah yang dibuang ke TPA berkurang sehingga
meringankan beban TPA sekaligus memperpanjang masa pemakaiannya.
2. Bank sampah
Bank sampah adalah institusi yang didirikan masyarakat dengan tujuan
mengurangi jumlah sampah buangan, dengan mekanisme menabung sampah
yang masih memiliki nilai ekonomi sehingga menghasilkan nilai ekonomi.
Dalam melakukan kegiatan bank sampah, nasabah hanya menyetor sampah
yang sudah dipilah menjadi sampah organik dan sampah anorganik, kemudian
petugas bank sampah akan menimbang dan mencatat berat sampah di buku
tabungan nasabah. Setelah itu, nasabah akan mendapatkan uang atau barang
dari hasil penyetoran sampah.
Sampah yang dikumpulkan oleh pihak bank sampah dapat menjadi nilai
ekonomi. Misalnya sampah basah hasil rumah tangga seperti sayuran,
dikumpulkan untuk dijadikan pupuk kompos. Sampah kering seperti botol,
kaleng, plastik, dan kertas dipisah lagi untuk digunakan atau dimanfaatkan lagi.
Sampah plastik didaur ulang menjadi barang yang dapat bermanfaat seperti
karpet, tas, tudung saji, tempat tissue dan lain-lain.
3. Pengelolaan limbah cair
Sampah spesifik berupa limbah cair yang khususnya dari rumah tangga atau
biasa disebut sebagai grey water adalah air buangan yang berasal dari
penggunaan untuk kebersihan, seperti air bekas kamar mandi, cucian, dan
55
limbah dapur. Sistem pengolahan air limbah terdiri dari dua macam, yaitu
sistem pengolahan on site dan off site. Sistem pengolahan setempat (on site)
merupakan sistem pembuangan air limbah dimana air limbah tidak
dikumpulkan serta disalurkan ke dalam suatu saluran yang akan membawanya
ke suatu tempat pengolahan air buangan. Sistem pengelolaan on site dapat
berupa cubluk dan septic tank. Sedangkan sistem pengelolaan terpusat (off site)
merupakan sistem pembuangan air buangan rumah tangga yang disalurkan
keluar dari lokasi pekarangan rumah ke saluran pengumpul air buangan untuk
diolah kembali sebelum dibuang ke badan air.
Adapun sistem pengelolaan air limbah terpadu, yaitu dengan menggunakan
fitoremediasi. Konsep fitoremediasi adalah dengan mengalirkan air limbah
rumah tangga ke bak penampung yang berisi kerikil dan ditumbuhi dengan
berbagai jenis tanaman. Tumbuhan akan menyerap nutrisi air limbah dan
melenyapkan bakteri berbahaya, sehingga air yang dihasilkan dari proses
tersebut dapat digunakan kembali, misalnya untuk menyiram tanaman.
4. Pengelolaan limbah padat
Limbah padat merupakan hasil buangan industri berupa padatan, lumpur,
dan bubur yang berasal dari proses pengolahan. Limbah padat dapat
dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu limbah padat dapat didaur ulang dan
limbah padat yang tidak dapat didaur ulang. Contoh limbah padat yang dapat
didaur ulang adalah kertas, aluminium, plastik, baja, dan kaca.
Pengolahan limbah padat di TPA dapat dilakukan dengan sistem open
dumping, controlled landfill, sanitary landfill, dan pembakaran. Pembakaran
umumnya dilakukan untuk sampah yang sudah tidak dapat didaur ulang atau
dimanfaatkan kembali.
Kondisi aktual Kota Bekasi
Menurut Perda Kota Bekasi No 15 tahun 2011 tentang pengelolaan sampah,
terdapat klasifikasi sampah, diantaranya:
a. sampah rumah tangga
Sampah rumah tangga merupakan sampah berasal dari kegiatan sehari-hari
dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
b. sampah sejenis sampah rumah tangga
Sampah sejenis sampah rumah tangga merupakan sampah yang berasal dari
kawasan komersial, kawasan industri, dan kawasan khusus.
c. sampah spesifik
Sampah spesifik merupakan sampah yang berupa sampah yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun, limbah, puing bongkaran bangunan, sampah
yang secara teknologi belum dapat diolah, dan sampah yang timbul secara
tidak periodik.
Pengelolaan sampah pada Kota Bekasi dapat diuraikan seperti berikut:
1. Penerapan 3R
Sesuai dengan peraturan daerah Kota Bekasi no.15 tahun 2011 tentang
pengelolaan sampah, pemerintah kota Bekasi berupaya mensosialisasikan
pengelolaan sampah kepada masyarakat Kota Bekasi, seperti pendidikan dan
56
pelatihan, pembuatan pilot project, studi banding dan diseminasi, serta
menyediakan sarana prasarana. Tidak hanya sebatas lingkup sekolah dan
rumah tangga saja, pemerintah kota juga mewajibkan bagi pengembangan
kawasan perumahan untuk mengelola lingkungan secara terpadu dengan
membuat IPAL komunal dan mengelola sampah komunal secara 3R.
Pengelolaan sampah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Kota Bekasi,
namun pemerintah Kota Bekasi juga turut serta dalam mengurangi jumlah
sampah di Kota Bekasi. Oleh karena itu, pemerintah Kota memberikan fasilitas
berupa penerapan teknologi yang ramah lingkungan serta memfasilitasi
kegiatan mendaur ulang yang dilakukan oleh masyarakat Kota Bekasi.
Penerapan 3R umumnya belum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Kota
Bekasi.
2. Bank sampah
Jumlah bank sampah di Kota Bekasi saat ini baru mencapai 87 buah. Bank
sampah tersebut sudah menyebar diseluruh kecamatan Kota Bekasi. Sampahsampah yang dihasilkan oleh bank sampah umumnya masih dikelola oleh
kelompok masyarakat tertentu ataupun ibu-ibu PKK. Sampah-sampah tersebut
diolah menjadi barang-barang yang dapat digunakan kembali oleh masyarakat.
3. Pengelolaan limbah cair
Saat ini, pengelolaan limbah rumah tangga di Kota Bekasi sudah dikelola
dengan IPAL komunal, namun sebagian masih ada yang membuang air limbah
ke saluran drainase dan sungai. Seharusnya air limbah dikelola terlebih dahulu
sebelum dibuang kedalam badan air atau diresapkan kedalam tanah. Selain itu,
untuk penanganan limbah domestik berupa lumpur tinja (black water).
Pemerintah kota telah menyediakan sistem pengelolaan On site dan Off site.
Penanganan On site berupa pengadaan septic tank, cubluk, dan MCK,
sedangkan pengelolaan Off site berupa pengadaan IPLT yang terletak di Sumur
Batu dengan luas 1 ha dengan kapasitas pengolahan 115m3/hari.
4. Pengelolaan limbah padat
Pengelolaan limbah padat di Kota Bekasi dilakukan pada TPA Sumur Batu
dan TPA Bantar Gebang. TPA Sumur Batu digunakan sebagai tempat
pembuangan sampah masyarakat Kota Bekasi, sedangkan untuk TPA Bantar
Gebang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah masyarakat Kota
Jakarta. Sistem pengelolaan yang terdapat di Sumur Batu adalah menggunakan
sistem controlled landfill. Untuk mencegah penumpukan gas metan, saat ini di
TPA Sumur Batu telah menyediakan LFG Flaring System. Sedangkan pada
TPA Bantar Gebang sistem pengelolaan sampah sudah menggunakan sanitary
landfill.
Analisis dan evaluasi
Bentuk dari penerapan green waste management terdiri dari penerapan 3R,
bank sampah, pengelolaan limbah cair, dan pengelolaan limbah padat umumnya
sudah dikembangkan di Kota Bekasi. Namun, pengelolaan dari masing-masing
57
bentuk masih belum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Kota Bekasi.
Peran pemerintah dalam pembina pengelolaan sampah masih kurang. Pemerintah
kota seharusnya memberikan pengarahan atau sosialisasi kepada masyarakat Kota
Bekasi tentang pengelolaan sampah terpadu, sehingga dengan demikian
masyarakat dapat mengelola sampah rumah tangga mereka sendiri dan hasil dari
daur ulang tersebut dapat dijadikan sebagai nilai tambah ekonomi masyarakat
Kota Bekasi.
Tabel 18 Evaluasi bentuk penerapan green waste management di Kota Bekasi
Gambar
Bentuk
Evaluasi
Skoring (a)
0 1 2 3 4
Penerapan
3R (reduce,
reuse,
recycle)
Penerapan 3R baru
dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat
Kota
Bekasi dan TPS,
namun
belum
dilakukan di TPA.
√
Bank
sampah
Jumlah bank sampah yang terdapat
di Kota Bekasi saat
ini sudah mencapai
87 buah. Namun
sistem
pengelolaannya
masih
dilakukan
oleh
komunitas tertentu.
√
Sistem pembuangan
air limbah masih
menggunakan septic tank dan IPAL.
Sebaiknya
diterapkan pengelolaan
air limbah berupa
fitoremediasi untuk
mengubah air limbah menjadi tidak
berbahaya
dan
dapat
digunakan
kembali.
√
Pengolahan
limbah cair
58
Pengolahan Pengelolaan samlimbah padat pah TPA Sumur
Batu menggunakan
sistem controlled
landfill.
Namun
√
saat ini sudah mulai
menggunakan LFG
flaring
untuk
mengelola
gas
metan.
Nilai penerapan total (Xt)
4 (b)
Nilai maksimal (Xmax)
16 (c)
% penerapan green waste management di Kota Bekasi adalah 25% (d)
a
Keterangan skoring terdapat pada tabel 8
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
c
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
nilai penerapan total (Xt )
d
% bentuk penerapan =
x 100%
b
nilai maksimal (Xmax )
Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green waste
management pada Kota Bekasi adalah 25%. Penerapan sampah dengan
menggunakan 3R umumnya masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Kota
Bekasi dan TPS. Sampah yang dapat didaur ulang dikerjakan secara swadaya oleh
ibu-ibu pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) dan komunitas tertentu,
sedangkan sampah yang tidak dapat didaur ulang akan diproses di TPA. Saat ini
pemerintah Kota Bekasi merencanakan penambahan jumlah bank sampah dengan
target 120 bank.
Pengelolaan limbah cair secara secara terpadu belum diterapkan di Kota
Bekasi. Prinsip pengelolaan limbah cair secara terpadu adalah sebagai berikut:
a. Reuse, menggunakan teknologi yang memungkinkan suatu limbah dapat
digunakan kembali tanpa mengalami perlakuan fisika/kimia/biologi.
b. Reduction, teknologi yang dapat mengurangi atau mencegah timbulnya
pencemaran di awal produksi.
c. Recovery, teknologi untuk memisahkan suatu bahan/energi dari suatu limbah
untuk kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa
perlakuan fisikakimia/biologi.
d. Recycling, teknologi yang berfungsi untuk memanfaatkan limbah dengan
memprosesnya kembali ke proses semula yang dapat dicapai melalui perlakuan
fisik/kimia/biologi.
Pengelolaan limbah cair secara terpadu dapat dilakukan dengan
mengunakan tanaman atau biasa disebut fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan
upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah
dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan
kolam buatan maupun in-situ (langsung di lapangan) pada tanah atau daerah yang
terkontaminasi limbah. Konsep fitoremediasi menggunakan sistem tanaman dan
mikroorganisme dan dapat mengubah zat kontaminan (polutan) menjadi kurang
berbahaya atau tidak berbahaya (Subroto 1996).
59
Sampah yang dikelola di TPA belum menggunakan prinsip 3R dan sistem
pengelolaan TPA Sumur Batu saat ini menggunakan sistem controlled landfill.
Sebaiknya sampah yang akan dibuang di TPA dilakukan pemilahan terlebih
dahulu. Untuk mencegah penumpukan gas metan yang diakibatkan dari sampah,
saat ini TPA Sumur Batu menggunakan Landfill Gas Flaring System. LFG
Flaring System merupakan fasilitas dan instalasi pembakaran gas metana. Prinsip
dasar dari teknologi LFG Flaring System adalah mengumpulkan gas metana,
menyalurkannya ke tungku pembakar, dan memusnahkan gas tersebut. Saat ini
TPA Sumur Batu mampu memproduksi listrik dari hasil pengolahan gas metan
dari tumpukan sampah. Listrik yang dihasilkan sebesar 120 KW digunakan untuk
memenuhi kebutuhan listrik operasional LFG Flaring System.
Green Transportation
Green transportation merupakan suatu usaha pembangunan dan
pengembangan sistem transportasi yang berprinsip pada pengurangan dampak
negatif terhadap lingkungan, efisiensi penggunaan bahan bakar, dan berorientasi
pada manusia yang meliputi pengembangan jalur-jalur khusus pejalan kaki dan
sepeda, pengembangan angkutan umum massal yang memanfaatkan energi
alternatif terbarukan yang bebas polusi dan ramah lingkungan, serta
mempromosikan gaya hidup sehat dalam bertransportasi. Tujuan dari green
transportation adalah mengarahkan pembangunan dan pengembangan sistem
transportasi yang ramah lingkungan yang berorientasi pada manusia dan
pemanfaatan sumber energi alternatif terbarukan yang bebas polusi, untuk
mencapai kualitas lingkungan yang sehar dan nyaman. Manfaat dari penerapan
green transportation adalah mengurangi pencemaran udara, mengurangi
kemacetan, serta memperlambat dan mencegah perubahan iklim global.
Kondisi ideal kota hijau
Komponen dari pengembangan green transportation secara hirarki
berdasarkan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut:
1. Jalur pejalan kaki;
2. Jalur sepeda;
3. Angkutan umum massal; dan
4. High occupancy vehicle (kendaraan berokupansi tinggi, seperti pengembangan
car sharing / ride sharing).
60
Gambar 15 Piramida Green Transportation
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum 2013
1. Jalur pejalan kaki
Jalur pejalan kaki (pedestrian line) merupakan fasilitas pendukung yang
disediakan untuk mendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan baik yang
berada di badan jalan maupun yang berada di luar badan jalan, dalam rangka
keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas serta
memberikan kemudahan bagi pemakai jalan. Fasilitas pejalan kaki dapat
berupa trotoar, tempat penyebrangan yang ditandai dengan marka jalan (zebra
cross), jembatan penyebrangan, dan terowongan penyebrangan (subway).
Fungsi jalur pejalan kaki adalah:
a. vitalitas ruang perkotaan;
b. mengurangi frekuensi pemakaian kendaraan bermotor di pusat-pusat kota;
c. daya tarik pergerakan ke kawasan pusat kota;
d. menciptakan suasana ruang yang berskala manusia; dan
e. menciptakan udara yang bersih dan bebas polusi.
Jalur pejalan kaki umumnya berupa trotoar, jalur penyebrangan (zebra
cross), plasa, dan subway. Trotoar merupakan fasilitas pejalan kaki yang
disediakan di pinggir jalan dengan karakteristik arah jelas, lokasi di tepi jalan
bebas hambatan, serta permukaan rata (max 5%) lebar 1.5 – 2 m. Jalur
penyebrangan (zebra cross) biasanya disediakan di atas jalan. Jalur
penyebrangan bertujuan untuk menghindari konflik dengan kendaraan. Jalur
penyebrangan biasanya memiliki karakteristik menyilang diatas jalan,
dilengkapi traffic light dan memiliki lebar 2 – 4 m. Selain itu terdapat juga
jalur pejalan kaki berupa plasa yang biasanya ditujukan untuk kegiatan santai
dan rekreatif. Karekteristik dari plasa ini adalah bebas kendaraan, ruang
lapang, dan terdapat fasilitas. Sedangkan subway merupakan tempat pejalan
kaki yang menghubungkan antar bangunan di bawah tanah. Biasanya subway
memiliki karakteristik berupa terowongan bawah tanah, dilengkapi
pengkondisian udara dan penerangan, serta bebas lalu lintas kendaraan.
Terdapat juga skyway yang merupakan jalur pejalan kaki yang menghubungkan
bangunan di atas tanah dengan karakteristik berupa jembatan penyebrangan
antar bangunan, sirkulasi pejalan menerus, dan bebas lalu lintas kendaraan.
61
2. Jalur sepeda
Jalur sepeda adalah jalur yang khusus diperuntukkan untuk lalu lintas
pengguna sepeda dan kendaraan yang tidak bermotor, dipisah dari lalu lintas
kendaraan bermotor untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas pengguna
sepeda. Jalur sepeda memiliki beberapa desain jalur sepeda, diantaranya:
a. Jalur sepeda (bike path), yaitu jalur sepeda yang sepenuhnya terpisah dari
jalan raya dan seringkali dipadukan dengan fasilitas pejan kaki;
b. Lajur sepeda (bike line), yaitu bagian dari jalan yang ditandai dengan marka
untuk pengguna sepeda. Biasanya dibuat searah dengan arus lajur bermotor,
meski dapat juga didesain untuk dua arah pada salah satu sisi jalan.
c. Rute sepeda (bike route), yaitu rute sepeda yang didesain dan dapat
digunakan bersama dengan kendaraan bermotor.
Lebar minimum jalur sepeda untuk jalur satu arah adalah 1 m, sedangkan
untuk dua arah adalah 1.8 m. Jalur sepeda dapat dipisahkan dengan pembatas
fisik terhadap jalur lalu lintas bermotor dengan desain yang memungkinkan
jalur sepeda masih dapat dilewati oleh kendaraan bermotor dlam kondisi
darurat.. Selain itu, diperlukan penyediaan fasilitas parkir sepeda untuk
meningkatkan daya tarik transportasi sepeda
3. Angkutan umum
Angkutan umum atau transportasi massal adalah sebuah sarana berkendara
bagi banyak orang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya,
sehingga dapat memberikan efisiensi waktu dan biaya. Angkutan umum dapat
dibagi menjadi beberapa tipe yang meliputi
a. Bus
Bus merupakan sebuah alat transportasi darat untuk memindahkan
seseorang dari satu tempat ke tempat lainnya. Terdapat juga Bus Rapid
Transit (BRT) yang merupakan perkembangan dari bus, yaitu sistem
transportasi yang menggunakan armada bus dengan kualitas pelayanan yang
nyaman, aman, cepat, dan tepat waktu. BRT yang ideal biasanya memiliki
ciri-ciri jalur khusus sehingga bebas dari kemacetan di jalan raya, BRT
dapat menggunakan jalur biasa di jalan raya jika tidak memungkinkan untuk
adanya jalur khusus BRT, sistem pembayaran dilakukan di halte (terminal),
ketinggian lantai shelter sejajar dengan pintu bus untuk memudahkan
penumpang menaiki bus, dan kualitas pengendara baik sehingga
menciptakan kenyemanan bagi penumpang.
b. Kereta api komuter
Kereta api komuter merupakan sebuah layanan transportasi yang membawa
sejumlah besar orang yang melakukan perjalanan setiap hari antara pusat
kota dan pinggiran kota. Penggunaan kereta api komuter dapat mengurangi
kemacetan di jalan raya. Ciri-ciri kereta komuter diantaranya
menghubungkan beberapa stasiun di wilayah perkotaan, memiliki jarak atau
waktu tempuh yang berdekatan, melayani penumpang dari pinggiran kota
menuju pusat kota atau sebaliknya, dan memiliki layanan jadwal.
62
c. Angkutan kota
Angkutan kota merupakan angkutan umum dengan karakter kendaraan
kecil, kepemilikan sebagian besar oleh individu, untuk melayani rute jarak
pendek yang penetapannya dilakukan oleh pemerintah kota. Angkutan kota
biasanya melayani kategori perjalanan jarak pendek, seperti perjalanan ke
sekolah atau pasar.
4. High Occupancy Vehicle (HOV)
HOV merupakan kendaraan berokupansi tinggi yang dapat dilakukan
dengan menerapkan ride sharing. Ride sharing merupakan proses dimana
seorang pengemudi kendaran memberikan tumpangan kepada orang lain.
Bentuk tumpangan dapat diberikan kepada teman, keluarga, atau dapat juga
diorganisasikan dari tempat kerja (perusahaan). Pada beberapa negara ride
sharing dapat memberikan tumpangan dalam berbagai bentuk. Misalnya untuk
wilayah Amerika Utara ride sharing dapat berupa car pooling, dan di Inggiris
berupa car sharing. Car sharing merupakan bentuk dari penyewaan mobil
dimana seseorang dapat meminjam mobil dalam waktu dekat maupun waktu
yang lama. Penggunaan ride sharing biasa digunakan oleh seseorang
penumpang lainnya yang memiliki tujuan yang sama. Konsep ride sharing
dapat mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi, sehingga kemacetan
dan polusi perkotaan dapat dikurangi.
Kondisi aktual Kota Bekasi
Menurut peraturan daerah RTRW Kota Bekasi 2011 - 2031, dalam
pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan pemerintah Kota Bekasi
melakukan beberapa kebijakan dalam pengembangan sistem transportasi yang
terintegrasi dengan sistem transportasi Jabodetabek yag dilakukan melalui
strategi:
a. meningkatkan aksesibilitas untuk mendukung pengembangan jalan tol;
b. mengembangkan jaringan transportasi umum masal yang terintegrasi dengan
sistem jaringan transportasi masal Jabodetabek;
c. memelihara serta menegaskan kembali fungsi dan hirarki jalan;
d. meningkatkan aksesibilitas yang seimbang menuju pusat-pusat kegiatan, baik
untuk arah utara-selatan maupun barat-timur;
e. mengembangkan jalur-jalur sirkulasi pedestrian;
f. menyediakan angkutan umum masal berbasis rel atau jalan raay sesuai rencana
berdasarkan kewenangan pemerintah;
g. menata dan mengembangakn terminal dan sub-terminal yang ada di kota
Bekasi; serta
h. mengalihkan beban pergerakan di wilayah pusat kota ke sub pusat pelayanan
kota lainnya.
Pengembangan green transportation di Kota Bekasi terdiri dari jalur pejalan
kaki, jalur sepeda, angkutan umum, dan car sharing dapat diuraikan dibawah ini.
1. Jalur pejalan kaki
Pengembangan jalur pejalan kaki di Kota Bekasi umumnya masih berupa
trotoar dan jalur penyebrangan. Ketersediaan trotoar di Kota Bekasi belum
63
menyebar di seluruh kota. Beberapa trotoar di Kota Bekasi memiliki kondisi
yang baik, namun terdapat juga beberapa trotoar yang belum berjalan sesuai
fungsinya, seperti tempat pedagang kaki lima dan kondisi paving tidak
terawat. Kondisi jalur penyebrangan di Kota Bekasi umumnya sudah cukup
baik.
Sesuai dengan peraturan daerah, pemerintah Kota Bekasi juga sedang
merencanakan pengembangan jaringan jalan umum sesuai dengan RTRW Kota
Bekasi 2011-2031, yang meliputi:
a. penyediaan jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman pada kawasan
perdagangan dan jasa, jaringan arteri, dan jaringan jalan kolektor;
b. penyediaan jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman dapat diakses oleh
penyandang cacat sesuai dengan ketentuan yang berlaku terutama di
kawasan pusat kota; serta
c. penyediaan jalur pejalan kaki yang menghubungkan antar perumahan di
jalan lingkungan maupun di jalan kolektor.
2. Jalur sepeda
Penerapan jalur sepeda kota Bekasi sudah diterapkan di ruas jalan Ahmad
Yani, Bekasi Timur. Jalur khusus sepeda di jalan Ahmad Yani dibuat di lajur
paling kiri dengan lebar sekitar 1.5 meter di kedua sisi jalan dengan panjang
500 meter, mulai dari depan kantor Wali Kota sampai perempatan Bekasi
Cyber Park. Jalur sepeda di Kota Bekasi termasuk ke dalam tipe bike line,
yaitu jalur yang diberi marka dengan cara pemberian gambar sepeda berwarna
putih di bagian aspalnya.
3. Angkutan umum
Perkembangan transportasi Kota Bekasi semakin meningkat pesat
(Lampiran 2), oleh karena itu dalam RTRW Kota Bekasi 2011-2031
pemerintah merencanakan pengembangan sistem angkutan umum, melalui:
a. pengaturan kembali jumlah dan pembatasan jumlah dan jenis armada
angkuan umum;
b. pengaturan kembali rute trayek angkutan umum;
c. peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum; serta
d. pengembangan sistem angkutan umum massal Jalur Barat – Timur dan Jalur
Utara – Selatan.
Kota Bekasi masih berada dalam tahap pengembangan transportasi yang
terintegrasi. Untuk meningkatkan pelayanan transportasi, pemerintah kota
Bekasi kini tengah menyusun pengadaan transportasi massal selain kereta
commuter, yaitu BRT (Bus Rapid Transit) yang dikembangkan dalam 10 tahun
ke depan serta diharapkan mampu mengatasi kebuntuan arus lalu lintas rute
Bekasi – Jakarta. Kota Bekasi juga telah memiliki dua feeder busway dalam
rangka inter-connection dengan busway di Jakarta (Blok M dan
Sudirman/Thamrin). Feeder busway tersebut berada di perumahan Kemang
Pratama dan Harapan indah untuk mengantarkan masyarakat Kota Bekasi
dengan lokasi kerjanya di Jakarta.
Kereta api merupakan sarana transportasi massal yang cukup banyak
digunakan oleh masyarakat Kota Bekasi. Jumlah pengguna sarana kereta api
commuter Jabodetabek mengalami peningkatan dari 4.4 juta orang selama
64
tahun 2010 menjadi 4.5 juta orang selama tahun 2011 (SLDH Kota Bekasi
2012). Angkutan kota (paratransit) Pelayanan trayek angkutan kota di Kota
Bekasi sudah dapat menjangkau ke seluruh wilayah Kota Bekasi serta
frekuensi lewat angkutan kota sudah terbilang cepat.
4. High Occupancy Vehicle (HOV)
Penggunaan konsep ride sharing di Kota Bekasi belum direncanakan oleh
pemerintah kota. Bentuk dari penggunaan konsep ride sharing di Kota Bekasi
adalah car sharing. Namun, pengembangan car sharing di Kota Bekasi
umumnya sudah dilakukan dan dikembangkan di lingkungan instansi atau
perusahaan.
Analisis dan evaluasi
Perkembangan green transportation di Kota Bekasi sudah cukup baik. Hal
tersebut dapat dilihat dari ketersediaan transportasi yang terdapat di Kota Bekasi
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Bekasi. Rencana pengembangan
BRT Bekasi - Jakarta dapat mengurangi kemacetan dan penggunaan kendaraan
pribadi. Selain itu, BRT dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Bekasi ke
lokasi kerjanya di Jakarta. Pengembangan jalur pejalan kaki dan sepeda sudah
dilakukan oleh pemerintah Kota Bekasi. Dengan demikian, dapat mengurangi
jumlah penggunaan kendaraan pribadi dan mengurangi tingkat polusi di Kota
Bekasi.
Bentuk penerapan green transportation di Kota Bekasi terdiri dari jalur
pejalan kaki, jalur sepeda, angkutan umum yang meliputi bus, kereta, dan
angkutan kota, serta pengembangan car sharing.
Tabel 19 Evaluasi bentuk penerapan green transportation di Kota Bekasi
Skoring (a)
Gambar
Bentuk
Evaluasi
0 1 2 3 4
Jalur pejalan Ketersediaan jalur pejalan
√
kaki
kaki umumnya tedapat pada
jalan utama Kota Bekasi.
Namun, kondisi jalur belum
memenuhi kriteria, seperti
jalur terputus pada ruas
jalan dan tempat PKL.
65
Tabel 19 Evaluasi bentuk penerapan green transportation di Kota Bekasi
(lanjutan)
Jalur sepeda Jalur sepeda di Kota Bekasi
√
berupa bike line. Kondisi
jalur sepeda masih belum
optimal karena pengguna
kendaraan bermotor masih
menggunakan jalur khusus
sepeda
tersebut.
Oleh
karena
itu,
diperlukan
pembatas fisik atau signage
agar pengguna kendaraan
bermotor tidak melewati
jalur sepeda tersebut.
Angkutan
umum (bus,
kereta,
angkutan
kota)
Permasalahan
angkutan
umum pada Kota Bekasi
adalah kemacetan dan
polusi. Oleh karena itu,
diperlukan pengembangan
transportasi umum yang
menggunakan bahan bakar
ramah lingkungan. Selain
itu, dibutuhkan peningkatan
pelayanan pada angkutan
umum untuk kenyamanan
dan keamanan masyarakat.
√
Pengembangan car sharing
√
umumnya
hanya
pada
lingkup instansi tertentu.
Sebaiknya dilakukan juga
pengembangan car sharing
di lingkungan masyarakat.
Nilai penerapan total (Xt)
6 (b)
Nilai maksimal (Xmax)
16 (c)
% penerapan green transportation di Kota Bekasi adalah 37.5% (d)
HOV (car
sharing)
a
Keterangan skoring terdapat pada tabel 9
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
c
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
nilai penerapan total (Xt )
d
% bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100%
b
Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green
transportation pada Kota Bekasi adalah 37.5%. Jalur pejalan kaki yang terdapat di
Kota Bekasi umumnya berupa trotoar dan jalur penyebrangan (zebra cross).
Kondisi trotoar pada Kota Bekasi umumnya hanya memiliki lebar 1 – 1.5 meter
dan penggunaan trotoar masih belum optimal, karena masih banyak digunakan
oleh pedagang kaki lima dan pada beberapa area, kondisi trotoar tidak terawat.
66
Untuk pengembangan jalur pejalan kaki selanjutnya, pemerintah kota dapat
mengembangkan jalur pejalan kaki berupa plaza, yaitu jalur pejalan kaki yang
ditujukan untuk kegiatan santai dan rekreatif. Plaza memiliki karakter seperti
bebas kendaraan, ruang lapang, lebar bervariasi, dan terdapat fasilitas.
Penerapan jalur sepeda ini masih belum optimal, karena masih banyak
kendaraan bermotor yang menggunakan jalur khusus sepeda tersebut. Oleh karena
itu, diperlukan adanya pemberian rambu-rambu pada jalur sepeda tersebut dengan
jelas atau pembatas fisik sehingga pengguna kendaraan bermotor paham akan
jalur tersebut dan pengguna sepeda dapat melewati jalur tersebut dengan aman
dan nyaman. Pembatas fisik yang dimaksud dapat berupa pembedaan ketinggian,
sehingga jalur tersebut dapat dilewati oleh kendaraan bermotor dalam keadaan
darurat. Selain itu perlu ditambahkan fasilitas parkir sepeda untuk meningkatkan
daya tarik tarnsportasi sepeda.
Dalam pengembangan BRT di Kota Bekasi, dua shelter Transjakarta telah
dipilih sebagai tujuan yang akan menghubungkan armada dari kota Bekasi. Dua
titik shelter penghubung itu ialah Kampung Rambutan dan Pulogadung. Selain itu
sebanyak lima belas armada bantuan dari Direktorat Jenderal Angkutan Darat
Kementrian Perhubungan siap dioperasikan untuk melayani dua tujuan tersebut.
Perkembangan angkutan kota di Kota Bekasi semakin pesat menimbulkan
beberapa permasalahan, seperti kemacetan, polusi udara dan suara, serta
penggunaan ruang publik yang besar dimana para pejalan kaki dan pengguna
sepeda tidak mendapatkan ruang agar bisa bergerak sebagaimana mestinya.
Umumnya angkutan tersebut sudah berjalan dengan baik, hanya perlu
ditambahkan beberapa fasilitas pelayanan agar memudahkan masyarakat dalam
menggunakan transportasi tersebut. Car sharing yang dikembangkan di Kota
Bekasi umumnya hanya dikembangkan oleh beberapa instansi tertentu dan belum
menyebar keseluruh masyarakat Kota Bekasi.
Green Water
Green water merupakan suatu konsep untuk menyediakan kemungkinan
penyerapan air dan mengurangi puncak limpasan, sehingga tercapai efisiensi
pemanfaatan sumberdaya air. Tujuan dari green water adalah menawarkan suatu
solusi lingkungan untuk masalah air dan sanitasi dalam lingkungan rumah,
komersial, industri, dan pertanian. Dalam skala yang lebih luas, green water dapat
menawarkan suatu solusi lingkungan pada tingkat perkotaan.
Kondisi ideal kota hijau
Konsep green water adalah menyerapkan air ke dalam tanah sehingga tidak
langsung dialirkan ke sungai ataupun laut, dengan demikian akan tercapai
efisiensi pemanfaatan air dan meminimalisir efek yang terjadi pada lingkungan.
Diharapkan kualitas air tanah perkotaan menjadi lebih baik dengan menerapkan
green water. Manfaat yang didapatkan dari green water adalah:
a. melindungi, melestarikan, dan investasi di lingkungan;
67
b.
c.
d.
e.
meningkatkan keanekaragaman hayati;
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap air;
mengurangi resiko banjir;
mengurangi air hujan yang harus ditransportasikan dan diproses di saluran
pembuangan;
f. mencegah pencemaran air tanah; dan
g. menghemat biaya yang dikeluarkan.
Penerapan green water dapat dilakukan di lingkungan perkotaan. Berikut
adalah contoh penerapan green water pada perkotaan.
1. Lubang resapan (biopori dan sumur resapan)
adalah lubang-lubang kecil atau pori-pori di dalam tanah yang terbentuk
akibat berbagai aktifitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran
tanaman, dan fauna tanah lainnya. Pori-pori yang ada dapat meningkatkan
kemampuan tanah menahan air dengan cara mensirkulasikan air dan oksigen ke
dalam tanah. Lubang resapan biopori secara tidak langsung akan menambah
bidang resapan air. Dengan mengubah struktur tanah menjadi lebih berpori,
kemampuan tanah meresap air menjadi meningkat dan mencegah tarjadinya
banjir & kekeringan.
Lubang bipori dapat diterapkan pada dasar saluran pembuangan/ selokan air
hujan, sekeliling batang pohon, dan batas tanaman. Pembuatan biopori pada
selokan pengalir air hujan dapat mengurangi volume air yang dialirkan
sehingga mencegah air meluap ke luar selokan. Sedangkan lubang resapan
biopori yang dibuat disekeliling ohon dapat menjadi sumber air untuk pohon
tersebut. Bulu-bulu akar dari pohon akan tumbuh ke arah LRB tersebut.
Langkah-langkah pembuatan lubang biopori:
a. membuat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter 10 cm,
kedalaman 100 cm atau tidak melampaui kedalaman air tanah. Jarak
pembuatan lubang antara 50 – 100 cm. Pembuatan lubang dapat dilakukan
dengan memakai alat bantu yang disebut bor biopori;
b. memperkuat mulut atau pangkal menggunakan paralon (diameter 10 cm,
panjang 10 cm) atau adukan semen (lebar 2-3 cm, tebal 2 cm) di sekeliling
mulut lubang;
c. mengisi lubang dengan sampah organik yang berasal dari dedaunan,
pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur; dan
d. menutup lubang resapan biopori dengan saringan kawat.
Jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:
Intensitas hujan mm/jam x luas bidang kedap (m2)
Jumlah LRB =
Laju peresapan air per lubang (liter/jam)
Sebagai contoh, untuk daerah dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat),
dengan laju peresapan air per lubang 3 liter/menit (180 liter/jam) pada 100 m2
bidang kedap, perlu dibuat sebanyak (50 x 100)/180 = 28 lubang biopori.
Sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air berupa
bangunan yang menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang
berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh dan meresapkannya
ke dalam tanah. Sumur resapan dapat diterapkan pada kawasan permukiman,
perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas
68
umum lainnya. Sumur resapan berfungsi memberikan imbuhan air secara
buatan dengan cara meninjeksikan air hujan ke dalam tanah. Manfaat
menerapkan sumur resapan adalah:
a. mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah atau mengurangi
terjadinya banjir dan genangan air;
b. mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah;
c. mengurangi erosi dan sedimentasi;
d. mengurangi atau menahan intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan
dengan kawasan pantai;
e. mencegah penurunan tanah (land subsidance); serta
f. mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah.
2. Konsep low impact development
Low Impact Development (LID) merupakan konsep pengelolaan air hujan
yang dilakukan di lokasi atau di sekitar daerah tangkapan air hujan. LID
dikembangkan untuk mempertahankan kondisi lingkungan dari dampak negatif
yang ditimbulkan oleh pengembangan pengelolaan air hujan konvensional
(drainase). Dimana sistem drainase konvensional direncanakan dengan konsep
mengumpulkan, mengalirkan, dan membuang limpasan permukaan secepat
mungkin. Sistem kerja drainase konvensional akan menurunkan kualitas dan
kuantitas air tanah, meningkatkan volume limpasan permukaan,
mempersingkat waktu pengaliran, serta menambah besarnya banjir. LID
dikembangkan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Prinsip
teknologi LID dalam mengelola air hujan ialah mempertahankan kondisi
hidrologi suatu daerah yang dikembangkan sama dengan kondisi hidrologi
awal daerah tersebut pada saat belum dikembangkan. Usaha yang dilakukan
adalah meningkatkan intensitas infiltrasi, penyaringan, penampungan,
evaporasi, menampung sementara air hujan, dan meminimumkan limpasan air
permukaan. Contoh teknologi LID adalah bioretensi.
Bioretensi merupakan suatu bentang lahan semaksimal mungkin
meresapkan air kedalam tanah dengan menggunakan unsur tanaman dan air
agar air dapat selama mungkin berada di dalam DAS untuk mengisi aquifer
bebas, sehinga air dapat dikendalikan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin
untuk kepentingan masyarakat. Teknik bioretensi dapat dibangun pada RTH
dan dirancang berdasarkan jenis tanahnya, kondisi lokasi, dan tata ruang
rencana wilayah pengembangan. Aplikasi bioretensi di jalan raya berfungsi
untuk menyerap polutan air hujan yang berasal dari partikel sedimen, bahan
kimia, dan oli yang menetes di permukaan jalan. Prosesnya dimulai dari hujan
yang turun akan mencuci jalan sehingga aliran permukaannya akan membawa
partikel sedimen, bahan kimia, dan oli yang menetes di permukaan jalan, dan
mengalir masuk ke dalam sistem bioretensi. Aliran permukaan akan menjalani
proses pemurnian di dalam sistem bioretensi.
Jika kapasitas tampungan sistem bioretensi sudah terlampaui, air akan
mengalir langsung ke sistem saluran drainase. Hujan awal sudah mencuci
permukaan jalan sehingga kualitas air limpasan permukaan dari hujan
berikutnya diharapkan sudah baik dan dapat mengalir langsung ke badan air.
69
Kondisi aktual Kota Bekasi
Berkembangnya Kota Bekasi dengan meningkatnya penduduk serta
pertumbuhan daerah permukiman yang menjadi daerah perkotaan, maka Situ di
Kota Bekasi juga berubah fungsi. Umumnya Situ dijadikan sebagai tempat wisata
atau pemeliharaan ikan, namun sekarang banyak yang sudah hilang karena di fill
untuk dijadikan daerah perumahan. Hal ini menyebabkan Kota Bekasi rentan
terhadap bencana banjir. Dalam RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031, rencana yang
dilakukan pemerintah Kota Bekasi untuk mengembangkan sistem drainase dan
mengendalikan banjir, diantaranya:
a. menata ulang struktur hirarki drainase dan mengintegrasikan saluran drainase
pada daerah-daerah yang baru dikembangkan;
b. optimalisasi fungsi saluran primer dan rehabilitasi saluran sekunder;
c. pemeliharaan dan pengembangan saluran tersier;
d. pengembalian fungsi situ-situ sebagai sistem retensi di Kelurahan Bojong
Rawalumbu (Situ Rawalumbu), Kelurahan Bojongmenteng (Situ Rawa Gede)
dan Situ Rawa Pulo;
e. pembangunan sistem tampungan air di sepanjang saluran primer dan sekunder;
f. pembuatan atau peninggian tanggul banjir untuk mengendalikan banjir dengan
kala ulang yang besar;
g. penyediaan tampungan air di perumahan baru yang tidak memiliki badan air
penerima melalui kerjasama dengan pihak pengembang;
h. pembuatan sumur resapan di kawasan peruntukan perumahan, industri, serta
perdagangan dan jasa;
i. membuat bangunan pintu klep dan pompa untuk mengatasi arus balik;
j. pengendalian dan penertiban bangunan pada sempadan sungai;
k. mempertahankan fungsi kawasan peresapan air;
l. normalisasi kali lama di hilir Kali Bekasi dan integrasi sistem jaringan drainase
pengendali banjir Kota Bekasi dengan Banjir Kanal Timur (BKT); dan
m. meningkatkan kerjasama pembangunan prasarana pengendalian banjir dengan
pemerintah daerah sekitar melalui pembuatan program pembangunan bersama.
1. Lubang resapan (biopori dan sumur resapan)
Penerapan biopori sudah dilakukan pada daerah-daerah rawan banjir di Kota
Bekasi, terutama pada Kecamatan Jatiasih sebagai daerah paling rawan banjir.
Penerapan biopori di Kota Bekasi dikembangkan pada kawasan permukiman.
Pemerintah Kota Bekasi juga sudah melakukan pembuatan lubang biopori di
beberapa sekolah Kota Bekasi. Penerapan lubang biopori di sekolah umumnya
dilakukan pada sekolah-sekolah yang sering terkena banjir. Sumur resapan di
Kota Bekasi sudah berjumlah 14 buah, diantaranya berlokasi di Kantor
Kelurahan Kota Baru, Kantor Kelurahan Margajaya, SDN Aren Jaya 6, SDN
Kayuringin, SDN Jatimakmur, SDN Bekasi Jaya, SDN Jaka Mulya 4, SMPN
12, SMPN 7, Pondok pesantren An Nida, SMAN 3, SMAN 8, SMAN 10, dan
SMAN 12 (BPLH Kota Bekasi 2012). Sumur resapan masih dilakukan di
kawasan perkantoran dan sekolah, namun pemerintah Kota Bekasi sudah
merencanakan pengembangan sumur resapan pada kawasan perumahan,
industri, serta perdagangan dan jasa.
70
2. Konsep Low Impact Development
Kota Bekasi memiliki beberapa danau atau situ yang berperan penting
dalam pengendalian banjir, diantaranya situ Rawalumbu, Rawagede, Rawa
Pulo. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031, pemerintah Kota Bekasi
sedang melakukan rencana pengelolaan daerah sekitar situ sebagai kawasan
perlindungan setempat, diantaranya melakukan rehabilitasi, memperbanyak
keragaman tanaman pohon serta pengawasan dan pengendalian pemanfaatan
ruang sekitar situ.
Pada umumnya situ-situ dan beberapa waduk di wilayah Kota Bekasi
difungsikan sebagai situ dan waduk retensi untuk me-recharge daerah
sekitarnya. Fungsi tersebut terkait dengan fungsi kawasan konservasi di daerah
hulu sungai yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Dengan
mengoptimalkan fungsi situ diharapkan run off air hujan yang turun dapat
ditahan sebelum masuk ke badan air atau sungai. Selanjutnya aliran air hujan
yang menjadi limpasan dan masuk kedalam badan air atau sungai akan
berkurang jumlahnya, dengan cara mengurangi puncak banjir yang terjadi di
daerah aliran sungai tersebut. Berdasarkan konsep tersebut, situ-situ
dimanfaatkan untuk dapat dioptimalkan fungsi detensi dan fungsi retensinya.
Fungsi detensi yaitu menahan air hujan berlebih di dalam suatu ruang
pengontrol untuk jangka waktu tertentu sampai air hujan dapat disalurkan ke
badan air atau sungai. Dengan demikian kapasitas badan air atau sungai
tersebut tidak terlampaui dan banjir dapat dihindarkan.
Saat ini sistem drainase Kota Bekasi mencakup wilayah seluas kurang lebih
9.035 ha, atau kurang lebih 43% dari luas wilayah kota. Pembuangan limpasan
air hujan dari sumber daerah tangkapan air ke saluran makro umumnya melalui
saluran pembuangan sekunder. Selain itu juga terjadi banjir dari daerah hulu
melalui sungai utama (makro) menjadikan beberapa wilayah rendah di Kota
Bekasi rawan genangan. Penerapan bioretensi sudah direncanakan dan
dikembangkan oleh pemerintah Kota Bekasi. Saat ini jumlah bioretensi yang
terdapat di Kota Bekasi adalah 24 489 unit.
Analisis dan evaluasi
Penerapan green water sudah dilakukan di Kota Bekasi, seperti pembuatan
lubang biopori dan sumur resapan, bioretensi, waduk, dan situ. Penerapan lubang
biopori masih dilakukan pada daerah rawan banjir di Kota Bekasi. Pengembangan
lubang biopori juga belum dilakukan menyebar di daerah rawan banjir Kota
Bekasi, umumnya hanya diterapkan di kawasan permukiman dan sekolah. Lubang
biopori tersebut sudah dapat mengurangi genangan-genangan air pada kawasan
tersebut, namun belum dapat mengatasi banjir pada daerah rawan banjir tersebut
karena ketersediaannya belum menyebar. Untuk mengatasi banjir di Kota Bekasi,
pemerintah kota juga sudah menerapkan bioretensi, pengembangan situ dan
waduk yang difungsikan sebagai recharge water untuk daerah disekitarnya. Selain
itu, fungsi situ dan waduk ini dapat menampung air hujan yang turun sehingga air
hujan tidak langsung mengalir ke badan air.
71
Tabel 20 Evaluasi bentuk penerapan green water di Kota Bekasi
Gambar
Bentuk green
water
LRB (biopori
dan sumur
resapan)
Skoring (a)
0 1 2 3 4
Pengembangan lubang
√
resapan
umumnya
hanya dikembangkan
pada kawasan tertentu,
seperti
permukiman,
perkantoran,
dan
sekolah yang rawan
banjir.
Evaluasi
Pengelolaan air
hujan perkotaan
dengan konsep
low impact
development
Pengembangan
yang
diterapkan di Kota
Bekasi
berupa
bioretensi, waduk, dan
situ.
Selain
itu,
pemerintah
Kota
√
Bekasi
juga
merencanakan pengembalian fungsi situ, serta
memperbaiki
sistem
drainase
Nilai penerapan total (Xt)
2 (b)
Nilai maksimal (Xmax)
8 (c)
% penerapan green water di Kota Bekasi adalah 25% (d)
a
Keterangan skoring terdapat pada tabel 10
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
c
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
nilai penerapan total (Xt )
d
% bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100%
b
Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green water pada
Kota Bekasi adalah 25%. Penerapan lubang biopori di Kota Bekasi masih
dilakukan pada area rawan banjir, umumnya kawasan permukiman dan sekolah.
Sebaiknya dilakukan juga pada kawasan lainnya seperti perdagangan dan
perkantoran di seluruh kelurahan agar air hujan tidak lagi menimbulkan genangan
air serta mengurangi resiko banjir. Pemerintah juga telah merencanakan
pengembangan sumur resapan di kawasan perumahan, industri, serta perdagangan
dan jasa.
Salah satu peran pemerintah kota untuk mengendalikan banjir adalah
mengoptimalkan keberadaan Situ. Optimalisasi Situ merupakan bagian dan
konsep Pengelolaan Aliran Permukaan (Storm Water Management) dimana air
hujan yang turun ditahan selama mungkin di suatu tempat sebelum masuk ke
dalam saluran pembuangan. Diharapkan aliran air hujan yang menjadi limpasan
dan masuk ke dalam saluran pembuangan atau sungai berkurang jumlahnya untuk
mengurangi besar banjir pada daerah aliran pembuangan atau sungai tersebut.
72
Green Energy
Green energy merupakan energi yang dihasilkan dari sumber-sumber yang
ramah lingkungan atau menimbulkan dampak negatif yang sedikit bagi ekosistem
lingkungan. Green energy menggunakan sumber energi alternatif atau terbarukan,
misalnya sinar matahari, angin, aliran air, panas bumi, dan bioenergi. Konsep
green energy ini berkembang karena adanya dampak negatif yang luar biasa
akibat dari penggunaan energi fosil. Tujuan dari green energy adalah menemukan
sumber-sumber energi alternatif selain energi fosil yang dapat meminimalkan
dampak negatif bagi lingkungan.
Kondisi ideal kota hijau
Konsep green energy merupakan upaya pemanfaatan energi yang efisien
dan ramah lingkungan. Tujuan dari green energy adalah menemukan sumbersumber energi alternatif selain energi fosil, yang dapat meminimalkan dampak
negatif bagi lingkungan. Selain untuk mengurangi dampak negatif terhadap
lingkungan, penggunaan energi alternatif juga dapat dijadikan sebagai pengganti
fosil. Manfaat dari green energy adalah:
a. tersedianya kelestarian lingkungan hidup;
b. terciptanya lapangan kerja baru bagi masyarakat; dan
c. terwujudnya kesadaran terhadap peran penting keberadaan energi fosil yang
terbatas jumlahnya.
Penggunaan energi alternatif juga dapat menggantikan penggunaan energi
fosil di masa depan. Beberapa contoh green energy yang umum diterapkan di
perkotaan antara lain:
1. Energi matahari
Energi matahari banyak dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Energi ini
mampu menyediakan kebutuhan konsumsi energi dalam jangka panjang.
Energi matahari dapat disimpan dan diubah menjadi bentuk energi lain.
Misalnya dapat digunakan untuk memproduksi listrik, memanaskan air dan
ruangan, dan mendinginkan ruangan. Energi matahari merupakan salah satu
energi alternatif yang ramah lingkungan dan keberadaannya untuk jangka
panjang.
2. Energi sampah
Sampah yang ditumpuk di TPA akan menghasilkan gas metan yang dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan. Sampah dapat dimanfaatkan untuk
kebutuhan masyarakat. Selain dapat mengurangi volume sampah di TPA,
sampah juga dapat diolah menjadi energi listrik. Proses pegubahan sampah
menjadi energi listrik dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi tertentu
seperti incenerator. Sampah dari kota yang telah dikumpulkan kemudian
dibakar di dalam tungku pembakaran. Hasil pembakaran sampah akan
menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan boiler,
sedangkan uap panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin. Turbin
tersebut dihubungkan ke generator yang dapat menghasilkan tenaga listrik. Uap
73
yang kehilangan panasnya setelah melewati turbin akan disalurkan ke boiler
lagi untuk dipanaskan. Sisa dari proses pembakaran sampah adalah abu. Abu
tersebut dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku batako atau bahan bangunan
lainnya. Dengan demikian, akan terwujud proses pengelolaan sampah yang
zero waste.
3. Energi tumbuhan
Salah satu contoh penerapan energi tumbuhan adalah bioethanol. Bioethanol
dapat ditemukan dari tanaman tebu, singkong, jagung, san sagu. Efisiensi
produksi bioethanol dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan bagian
tumbuhan yang tidak dapat digunakan sebagai bahan bakar yang dapat
menghasilkan listrik.
Selain bioethanol, energi alternatif yang berasal dari tumbuhan adalah
biodiesel. Biodiesel didapatkan dari minyak tumbuhan seperti sawit, kelapa,
dan jarak pagar. Prosesnya sama seperti bioethanol, yaitu memanfaatkan
bagian tanaman yang sudah tidak terpakai.
4. Energi angin
Pemanfaatan energi angin menjadi enerfi listrik merupakan salah satu energi
alternatif. Untuk mengubah energi angin menjadi energi listrik menggunakan
teknologi turbin angin atau kincir angin. Energi angin yang memutar turbin
angin disalurkan untuk memutar rotor pada generator dibagian belakang turbin
angin, sehingga akan menghasilkan energi listrik. Energi listrik ini kemudian
akan disimpan kedalam baterai sebelum dimanfaatkan. Menurut data BMKG
dalam Habibie (2011), terdapat tingkatan kecepatan angin pada 10 m
permukaan tanah.
Tabel 21 Tingkatan kecepatan angin 10 m di atas permukaan tanah
Kelas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Kecepatan (m/s)
Kondisi alam di daratan
0.00 - 0.02
0.3 - 1.5
Angin tenang, asap lurus ke atas
1.6 – 3.3
Asap bergerak mengikuti arah angin
Wajah terasa ada angin, daun bergoyang pelan,
3.4 – 5.5
petunjuk arah angin bergerak
Debu jalan, kertas berterbangan, ranting pohon
5.5 – 7.9
bergoyang
8 – 10.7
Ranting pohon bergoyang, bendera berkibar
10.8 – 13.8
Ranting pohon besar bergoyang, air berombak kecil
Ujung pohon melengkung, hembusan angin terasa di
13.9 – 17.1
telinga
Dapat mematahkan ranting pohon, jalan berat
17.2 – 20.7
melawan arah angin
20.8 – 24.4
Dapat mematahkan ranting pohon, rumah rubuh
24.5 – 28.4
Dapat merubuhkan pohon, menimbulkan kerusakan
28.5 – 32.6
Menimbulkan kerusakan parah
32.7 – 36.9
Tornado
74
Batas minimum untuk memanfaatkan energi angin menjadi energi listrik adalah
kelas 3 dengan kecepatan angin antara 1.6 – 3.3 m/s, sedangkan batas maksimum
terdapat pada kelas 8 dengan kecepatan angin 13.9 – 17.1 m/s.
Kondisi aktual Kota Bekasi
Konsumsi energi fosil menurut sektor pengguna di Kota Bekasi dibedakan
menjadi tiga kategori, yaitu dari sektor transportasi, industri, dan rumah tangga.
Konsumsi energi sektor transportasi di Kota Bekasi umunya berasal dari
pemakaian bahan bakar bensin dan solar untuk kendaraan roda empat maupun
dua. Pada sektor industri juga banyak memanfaatkan sumber energi dari berbagai
macam bahan bakar, diantaranya bensin, solar, minyak tanah, batu bara, oli,
pelumas, gas LPG, serta listrik. Pada sektor rumah tangga, energi berfungsi untuk
penerangan, memasak, pendingin ruangan, serta berbagai kegiatan rumah tangga
yang lain. Energi yang dipakai oleh sektor rumah tangga di Kota Bekasi adalah
briket batubara, LPG, gas kota, minyak tanah, kayu bakar, arang dan listrik.
1. Energi matahari
Pengembangan green energy yang sudah diterapkan di Kota Bekasi adalah
pembangkit listrik energi matahari dan sampah. Penerapan energi matahari
sudah diterapkan melalui lampu PJU di beberapa jalan Kota Bekasi.
Penggunaan energi matahari sebaiknya dikembangkan juga pada jalan lainnya.
Biaya pembangunan PJU tenaga surya lebih mahal daripada pembangunan PJU
konvensional yang memanfaatkan tenaga listrik dari PLN. Namun, biaya
perawatannya lebih murah karena tidak membayar biaya bulanan PLN, selain
itu juga memiliki tingkat kerusakan yang rendah, dan membantu mengurangi
kebutuhan energi yang harus dipasok oleh PLN.
2. Energi sampah
Penerapan energi sampah di Kota Bekasi terdapat di TPA Sumur Batu dan
mampu menghasilkan listrik sebesar 120 kW. Untuk memaksimalkan
pengumpulan gas metana dari tumpukan sampah, bukit sampah ditutup rapat
dengan terpal plastik tebal. Kemudian di dalam tumpukan sampah dipasang
pipa-pipa berukuran besar yang berfungsi menyalurkan gas metana yang
terbentuk ke tungku pembakar, sebagaian gas disalurkan untuk menghasilkan
listrik guna memenuhi kebutuhan internal sistem LFG Flaring System.
Analisis dan evaluasi
Penerapan green energy di Kota Bekasi masih berupa energi matahari dan
energi sampah. Pemerintah Kota Bekasi belum merencanakan untuk penggunaan
energi alternatif lainnya, namun penggunaan energi matahari dan sampah
merupakan salah satu bentuk pemerintah Kota Bekasi sudah peduli terhadap
penggunaan ernergi alternatif yang ramah lingkungan. Penggunaan energi
matahari di Kota Bekasi baru dikembangkan pada lampu PJU di beberapa jalan
kota. Sebaiknya penggunaan energi matahari tidak hanya dimanfaatkan untuk
75
penerangan pada jalan kota, namun juga dapat diterapkan pada kawasan
permukiman dan perkantoran sebagai sumber listrik.
Pemanfaatan energi sampah sudah diterapkan di Kota Bekasi. Energi
sampah yang diubah menjadi energi listrik menggunakan teknologi LFG Flaring
system. Energi listrik tersebut belum dijadikan sebagai sumber listrik bagi
masyarakat Kota Bekasi karena masih digunakan untuk keperluan LFG Flaring
System tersebut.
Bentuk penerapan green energy terdiri dari energi matahari, energi sampah,
energi angin, energi tumbuhan, dan energi air.
Tabel 22 Evaluasi bentuk penerapan green energy di Kota Bekasi
Skoring (a)
Gambar
Bentuk
Evaluasi
0 1 2 3 4
Energi
Umumnya diterapkan
matahari
pada lampu PJU di
beberapa jalan Kota
Bekasi.
Sebaiknya
√
juga diterapkan pada
lampu PJU di jalanjalan lainnya.
Energi
sampah
Saat
ini
energi
sampah
di
Kota
Bekasi mampu menghasilkan listrik sebesar 120 kW
√
Energi angin Pengembangan energi
angin belum diterapkan
di
Kota
Bekasi karena kondisi √
geografis Kota Bekasi
tidak sesuai
Energi
tumbuhan
Saat ini belum ada
kebijakan dari pemerintah kota untuk √
memanfaatkan energi
tumbuhan
Energi air
Belum ada kebijakan
dari pemerintah Kota √
Bekasi
Nilai penerapan total (Xt)
3 (b)
Nilai maksimal (Xmax)
20 (c)
% penerapan green energy di Kota Bekasi adalah 15% (d)
a
b
Keterangan skoring terdapat pada tabel 11
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
76
c
d
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
nilai penerapan total (Xt )
% bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100%
Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green energy pada
Kota Bekasi adalah 15%. Penggunaan energi matahari tidak hanya diterapkan
pada PJU namun juga dikembangkan untuk kegiatan lainnya dengan
menggunakan teknologi, seperti pemanas surya, arsitektur surya, transportasi
tenaga surya, dan fotosintesis buatan. Sedangkan untuk pengelolaan energi
sampah, diharapkan Kota Bekasi dapat mengembangkan energi sampah lebih
lanjut seperti negara Singapura dan Amerika Serikat.
Penggunaan energi angin, tumbuhan, dan air belum diterapkan di Kota
Bekasi. Penggunaan energi angin tidak digunakan di Kota Bekasi karena kondisi
geografis dan alam Kota Bekasi tidak sesuai dengan kriteria penggunaan energi
angin, dimana lebih tepat digunakan pada area pantai atau lahan kosong yang luas
serta memiliki kecepatan angin antara 1.6 – 17.1 m/detik. Kecepatan angin di
Kota Bekasi adalah 8.37 km/jam atau 2.32 m/detik. Kondisi angin Kota Bekasi
memungkinkan untuk penggunaan energi angin , namun ketersediaan lahan untuk
penggunaan teknologi tersebut terbatas. Kota Bekasi dialiri tiga sungai utama,
yaitu Sungai Bekasi, Cakung, dan Sunter yang dapat dimanfaatkan sebagai tenaga
air. Namun, saat ini ketiga sungai tersebut hanya dimanfaatkan sebagai pengairan
untuk kawasan pertanian.
Green Community
Green community merupakan sebuah komunitas/kelompok warga yang
peduli terhadap masalah lingkungan dan berperan aktif bersama pemerintah dalam
upaya pelestarian lingkungan. Komunitas hijau tumbuh disebabkan oleh semakin
meningkatnya tingkat kepedulian dan kesadaran untuk bertanggung jawab dalam
menjaga lingkungan dan alam bukan semata berada di tangan pemerintah dan
institusi besar, namun juga terletak pada individu dan komunitas masyarakat.
Kondisi ideal kota hijau
Pembentukan green community diperlukan untuk mengupayakan perubahan
perilaku warga untuk menjadi lebih ramah terhadap lingkungan dan lebih peka
terhadap perubahan yang terjadi, dengan tujuan akhir untuk mendorong
perwujudan lingkungan dan hunian yang aman, nyaman, lestari, serta
berkelanjutan sesuai dengan aspirasi warga. Keterlibatan masyarakat dapat
menjadi penggerak dalam pengembangan kota hijau serta menjamin keberlanjutan
program di masa yang mendatang. Manfaat dari penerapan green community
adalah:
a. meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengembangan kota
hijau untuk mewujudkan fungsi kota yang berkelanjutan;
b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat tentang perwujudan kota
hijau;
77
c. mendorong peran aktif masyarakat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas
ruang yang berwawasan lingkungan; serta
d. terbentuknya forum hijau sebagai mitra pemerintah kota/kabupaten dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang.
Pembentukan green community dapat dibentuk melalui partisipasi
masyarakat dan komunitas warga.
1. Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat
dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut
serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Slamet 2003).
UUPPLH No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pasal 65 ayat (1) juga menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,
serta setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Manfaat yang
didapatkan dari partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kelayak hunian
lingkungan sekitar, menurunkan tingkat kriminal dan anti sosial, keamanan
meningkat, kontrol sosial dan kohesi sosial menjadi lebih baik, masyarakat
lebih mengenal lingkungan sekitar mereka.
2. Komunitas warga
Komunitas warga merupakan perkumpulan yang sifat keanggotaannya
terbuka dan berorientasi sosial. Contoh komunitas warga peduli lingkungan
diantaranya komunitas berkebun, komunitas sepeda, komunitas pondok hijau,
dan lain-lain. Fungsi dari komunitas warga adalah sebagai media yang
menghubungkan antara pemerintah kota dengan masyarakat. Komunitas warga
seharusnya dapat menjembatani kegiatan-kegiatan yang diberikan dari
pemerintah kepada masyarakat. Begitu juga sebaliknya, dapat menyampaikan
kebutuhan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian, program
pemerintah yang disampaikan kepada masyarakat dalam mewujudkan kota
hijau akan berjalan dengan baik.
Kondisi aktual Kota Bekasi
Berdasarkan arahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, Rencana Strategis
Satuan Kerja Perangkat daerah (Renstra-SKPD), dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) Kota Bekasi 2009 - 2013, pemerintah Kota Bekasi khususnya
Badan Pengelolaa Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bekasi beserta masyarakat
dan seluruh stakeholder sudsh melakukan kegiata-kegiatan pengelolaan
lingkungan dalam upaya penanggulangan permasalahan dan kondisi lingkungan
akibat tekanan aktifitas manusia maupun pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah Kota Bekasi meliputi kegiatan rehabilitasi terhadap
lahan, taman, maupun sempadan sungai atau Situ dengan melakukan penanaman
5000 pohon. Berbagai jenis pohon penaung yang ditanam, seperti bungur
(Lagerstroemia speciosa Pers.), bintaro (Cerbera manghas), mahoni (Switenia
78
mahogany), glodokan tiang (Polyalthea longifolia), jati mas (Cordia subcordata),
tanjung (mimusops elengi), mangga (Mangifera indica), sukun (Artocarpus
communis), dan kecapi (Sandoricum koecape) (BPLH 2012).
Disamping kegiatan penghijauan kota, kegiatan fisik lain dalam rangka
rehabilitasi lingkungan di Kota Bekasi adalah pelaksanaan uji emisi gas buang
kendaraan. Pelaksanaan uji emisi dilakukan selama tiga hari pada tiga lokasi, yaitu
Jl. Ahmad Yani, Jl. Jatiwaringin, dan Harapan Baru. Pada kegiatan ini BPLH
berhasil menguji 2 067 kendaran dari target 1 500 kendaraan. Upaya lain yang
dilakukan dalam rehabilitasi lingkungan adalah penanaman bambu kuning
disepanjang Kali Bekasi. Penanaman bibit bambu kuning sebanyak 4 002 buah
tersebut dilakukan bersama oleh BPLH Kota Bekasi, pihak swasta dan lembaga
atau instansi di Kota Bekasi.
Selain itu, pemerintah Kota Bekasi juga melakukan kegiatan kebersihan,
ketertiban, dan keindahan (K3) di kantor BPLH Kota Bekasi dan alun-alun Kota
Bekasi. Dalam hal ini, BPLH Kota Bekasi berupaya untuk menata dan membuat
hijau dalam upaya meraih piala adipura. Kemudian pemerintah juga
melaksanakan implementasi Clean Development Mechanism (CDM) di TPA
Sumur Batu. Pengembangan program CDM dilakukan melalui penerapan
teknologi LFG (Land Fill Gas) Flaring System. Kegiatan CDM ini diharapkan
dapat meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup sekitar TPA khususnya dalam
upaya menurunkan emisi gas rumah kaca.
Gambar 16 Upaya pengelolaan lingkungan hidup di Kota Bekasi
Sumber: BPLH Kota Bekasi 2012
Green community dapat dibentuk melalui partisipasi masyarakat dan
komunitas warga.
1. Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan masyarakat dalam proses
perencanaan dan pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan. Demi
terpeliharanya lingkungan yang sehat, masyarakat Kota Bekasi telah
melakukan beberapa upaya partisipasi aktif pengelolaan lingkungan antara lain
melaksanakan kegiatan kebersihan lingkungan, penghijauan, dan penanganan
sampah. Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di Kota Bekasi,
pemerintah Kota Bekasi melaksanakan berbagai upaya penyuluhan kepada
masyarakat dan sekolah di Kota Bekasi, diantaranya bimbingan teknis
pengelolaan sampah 3R (reduce, reuse, recycle), pembinaan eco school, dan
dialog interaktif lingkungan hidup.
79
Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Kota Bekasi dalam
pengelolaan lingkungan adalah melaksanakan program Kali bersih. Program
ini ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat bantara kali agar
tidak membuang sampah di Kali Bekasi dan meningkatkan kerjasama dan
kepedulian masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain
melaksanakan program Kali bersih, kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
Kota Bekasi adalah pembuatan rumah kompos di Kecamatan Bekasi Selatan
untuk menangani limbah padat. Kegiatan pembuatan rumah kompos tersebut
juga dibantu oleh pembinaan dari BPLH Kota Bekasi.
2. Komunitas warga
Sebagai perwujudan dari meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
permasalahan lingkungan hidup maupun sosial di Kota Bekasi, telah tumbuh
dan berkembang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam
bidang lingkungan hidup dan sosial kemasyarakatan. Komunitas warga di Kota
Bekasi umumnya dibawah naungan LSM. Kota Bekasi memiliki beberapa
komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, diantaranya Indonesia Green
Roots (IGR) dan Akar Hijau Lingkungan Indonesia (AHLI) yang berperan aktif
dalam pembelaan isu konservasi lingkungan, SAPULIDI ynag berperan aktif
dalam permasalahan persampahan dan kebersihan kota, Peduli Lingkungan
Bukalam, dan Forum Peduli Lingkungan dan Kesehatan (Pelita Hati).
Analisis dan evaluasi
Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam
mewujudkan kota hijau. Peranan pemerintah sebagai pembina masyarakat dengan
merencanakan program-program yang untuk perkembangan kota hijau yang
dibantu dengan peranan komunitas warga sebagai mediator dari pemerintah
kepada masyarakat. Kegiatan program- program yang telah direncanakan tersebut
hendaknya dapat dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat.
Tabel 23 Evaluasi bentuk penerapan green community di Kota Bekasi
Skoring (a)
Gambar
Bentuk
Evaluasi
0 1 2 3 4
Partisipasi
Masyarakat
belum
masyarakat
sepenuhnya aktif dalam program yang dikembangkan oleh pemerintah.
Oleh
karena itu, diperlukan
√
sosialisasi
dari
pemerintah
daerah
atau komunitas untuk
menangani masalah
tersebut.
80
Tabel 23 Evaluasi bentuk penerapan green community di Kota Bekasi
(lanjutan)
Komunitas
Komunitas warga di
warga
Kota Bekasi masih
belum optimal dalam
kegiatan sosialisasi
masyarakat. Komunitas warga seha√
rusnya dapat menjembatani
kegiatan
yang dilakukan oleh
pemerintah
kota
kepada masyarakat.
Nilai penerapan total (Xt)
2 (b)
Nilai maksimal (Xmax)
16 (c)
(d)
% penerapan green community di Kota Bekasi 12.5%
a
Keterangan skoring terdapat pada tabel 12
Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn
c
Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal
nilai penerapan total (Xt )
d
% bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100%
b
Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green energy pada
Kota Bekasi adalah 12.5%. Partisipasi masyarakat belum sepenuhnya aktif dalam
melaksanakan program dari pemerintah. Program-program yang direncanakan
oleh pemerintah seperti melaksanakan program Kali bersih dan rumah kompos
hanya dilakukan oleh masyarakat sekitar Kali dan TPA Sumur Batu. Kegiatan
lainnya seperti penerapan 3R, umumnya baru dilakukan oleh sebagian kecil
masyarakat Kota Bekasi. Oleh karena itu, pemerintah juga melakukan penyuluhan
mengenai 3R kepada masyarakat dan lingkungan sekolah. Penyuluhan tersebut
ditujukan agar masyarakat Kota Bekasi dapat mengelola sampah rumah tangga
mereka dan mengurangi jumlah volume sampah di TPA. Rencana pemerintah
dalam mengembangkan program upaya pengelolaan lingkungan hidup tidak hanya
dilakukan pada satu kawasan, namun ditargetkan secara menyebar di seluruh Kota
Bekasi, seperti kegiatan K3 tidak hanya dilakukan pada kantor BPLH dan alunalun Kota Bekasi, namun juga dilakukan pada taman-taman kota untuk
mewujudkan keindahan dari taman kota tersebut. Sehingga masyarakat juga dapat
berpartisipasi lebih aktif lagi dalam melakukan program K3 tersebut untuk
keindahan taman kota di Kota Bekasi. Dengan demikian, masyarakat juga dapat
menikmati keindahan taman kota tersebut.
Komunitas warga di Kota Bekasi berada dalam naungan LSM Kota Bekasi.
Komunitas dan pemerintah dapat bekerja sama dalam merealisasikan programprogram upaya pengelolaan lingkungan Kota Bekasi. Begitu juga kerjasama
antara komunitas dan masyarakat, dimana komunitas dapat mensosialisasikan atau
menghimbau masyarakat untuk melaksanakan program-program tersebut.
Sosialisasi kepada masyarakat hendaknya dilakukan secara menyebar di seluruh
Kota Bekasi, agar masyarakat yang melaksanakan program tersebut tidak hanya di
satu daerah, namun juga di seluruh daerah Kota Bekasi. Misalnya program
81
penanaman pohon dalam rangka penghijauan tidak hanya dilakukan pada satu
taman, namun juga pada taman-taman kota. Sehingga program penghijauan di
Kota Bekasi dapat terwujud dengan baik dan manfaatnya dapat dirasakan oleh
seluruh masyarakat Kota Bekasi.
Penerapan Indikator Kota Hijau di Kota Bekasi
Dalam pengembangan kota hijau terdapat beberapa indikator yang perlu
dikembangkan untuk pencapaian kota hijau. Kedelapan indikator tersebut adalah
green planning and design, green open space, green building, green waste
management, green transportation, green water, green energy, dan green
community. Setiap indikator memiliki fungsi atau perannya masing-masing dalam
meningkatkan infrastruktur kota. Keterkaitan antar indikator tersebut sangat
dibutuhkan dalam penerapan konsep kota hijau.
Kota Bekasi sudah menerapkan kedelapan indikator kota hijau. Dari
masing-masing penerapan indikator tersebut dapat diketahui pencapaian kota
hijau di Kota Bekasi. Dilihat dari aspek perencanaan dan perancangan kota, Kota
Bekasi sudah membuat beberapa dokumen, yaitu RTRW, RDTR, dan masterplan.
Masterplan saat ini sedang dalam tahap penyusunan, masterplan yang
direncanakan adalah masterplan RTH kota. Kota Bekasi sudah merencanakan
pembagian kota ke dalam wilayah pusat pelayanan kota (PPK), sub pusat
pelayanan kota (SPPK), dan kawasan strategis kota. Tujuannya adalah agar
pergerakan aktivitas tidak hanya terpusat pada pusat kota, namun juga pada
bagian wilayah lainnya. Pencapaian menuju kota hijau dari segi perencanaan dan
perancangan kota adalah 12.5%. Kedepannya pemerintah Kota Bekasi dapat
melengkapi dokumen perencanaan dan perancangan kota, seperti membuat
masterplan persampahan, RTBL, dan DED. Sehingga perencanaan dan
perancangan Kota Bekasi dapat terarah dengan baik sesuai dengan dokumendokumen tersebut.
Penerapan green open space di Kota Bekasi belum mencapai 30%. Saat ini
penerapan RTH di Kota Bekasi adalah 11% atau sekitar 774 ha. Pencapaian
menuju kota hijau dari aspek green open space di Kota Bekasi adalah 45.8%. Hal
ini membuktikan bahwa pemerintah ingin mengembangkan Kota Bekasi menuju
kota hijau dimulai dari pengembangan RTH perkotaan. RTH yang sudah
dikembangkan secara menyebar di setiap kecamatan Kota Bekasi adalah taman
lingkungan, taman kota, dan sempadan sungai. Sedangkan keberadaan hutan kota,
TPU, sempadan jalan, dan pertanian perkotaan belum menyebar pada setiap
kecamatan. Kedepannya pemerintah Kota Bekasi dapat menambahkan luasan
RTH secara menyebar, selain itu untuk penerapan jalur hijau tidak hanya
dilakukan pada sempadan sungai dan sempadan jalan, namun juga dilakukan pada
jalur SUTET dan KA.
Penerapan green building di Kota Bekasi belum diterapkan. Pembangunan
green building dapat diterapkan pada gedung-gedung pemerintahan atau gedung
perkantoran yang relatif besar dan biasanya lebih banyak menghabiskan energi.
Setelah dilakukan penerapan pada gedung-gedung tersebut, baru dapat
diaplikasikan pada kawasan perumahan.
82
Penerapan green waste management di Kota Bekasi adalah. 25%. Penerapan
3R umumnya dikembangkan dalam skala rumah tangga dan TPST, namun belum
diterapkan pada TPA. Sedangkan jumlah bank sampah yang terdapat di Kota
Bekasi baru mencapai 87 buah, selain itu pengolahan grey water dalam skala
perumahan masih menggunakan septic tank, cubluk, dan MCK per rumah tangga.
Untuk kedepannya, pengembangan green waste dapat dikembangkan dengan
melakukan penerapan 3R tidak hanya pada rumah tangga dan TPST tetapi juga
pada TPA. Penerapan 3R pada rumah tangga sebaiknya juga dilakukan dengan
mandiri agar volume sampah yang diangkut hingga ke TPA tidak memenuhi TPA
tersebut. TPA di Kota Bekasi masih menggunakan sistem controlled landfill dan
sudah mulai melakukan penyedotan gas metan untuk dijadikan sumber listrik.
Sistem controlled landfill ini dapat diganti menjadi sanitary landfill, dimana
masalah air lindi pada sampah yang dibuang sudah diperhatikan. Sedangkan untuk
pengolahan grey water dapat ditingkatkan secara komunal, dimana pada beberapa
kelompok rumah tangga memiliki pengolahan limbah rumah tangga (grey water)
sendiri. Selain itu pada setiap rumah dapat menerapkan sistem pengelolaan air
limbah dimana air yang telah dibuang dapat digunakan kembali, seperti
penggunaan fitoremediasi atau eco tech garden. Berikut adalah ketentuan untuk
membuat sistem fitoremediasi, yaitu:
a. unit wetland harus didahului dengan baik;
b. konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman ±
1m;
c. kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet;
d. kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) dengan diameter 5 –
10 mm dan tinggi 80 cm;
e. ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat,
dengan melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan
tumbuhan;
f. dialirkan air limbah setinggi 70 cm dengan mengatur level ketinggian outlet
yang memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan
koral; dan
g. desain luas kolam berdasarkan beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan
loading rate pada umumnya (pada umumnya, untuk daerah tropis 40 kg
BOD/ha per hari).
Adapun tanaman-tanaman yang sering digunakan dalam fitoremediasi, antara lain:
a. Melati air (Echinodorus palaefolius);
b. Bambu air (Equisetum hyemale);
c. Lotus/teratai (Nelumbo nucifera);
d. Pacing merah (Costus specious);
e. Papyrus payung (Cyperus alternifolius); dan
f. Spider lily (Hymenocallis speciosa).
Pencapaian green transportation menuju kota hijau di Kota Bekasi adalah
37.5%. Jalur pejalan kaki yang sudah diterapkan di Kota Bekasi sudah memiliki
lebar yang ideal, namun pada beberapa kawasan jalur pejalan kaki tersebut belum
memiliki integritas menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya.
Sedangkan penggunaan jalur sepeda sudah diterapkan, namun jalur tersebut masih
digunakan oleh kendaraan bermotor. Dan ketersediaan fasilitas parkir sepeda
hampir tidak ada dan belum tersedianya peta jalur sepeda. Sedangkan untuk
83
perkembangan angkutan massal, Kota Bekasi sudah memiliki angkutan umum
yang terintegrasi, namun arahan dan penggunaan bahan bakar alternatif belum
dilakukan di Kota Bekasi. Selain itu, Kota Bekasi sudah menerapkan untuk
penggunaan car sharing/ride sharing, namun tidak ada arahan dari pemerintah
mengenai pengembangan car sharing tersebut. Permasalahan transportasi yang
terdapat di Kota Bekasi umumnya adalah kemacetan dan polusi. Dalam
mewujudkan green transportation di Kota Bekasi sebaiknya pemerintah kota
menyediakan transportasi yang menggunakan bahan bakar ramah lingkungan
untuk mengurangi polusi yang ditimbulkan dari kendaraan tersebut dan
pengembangan jalur sepeda pada area jalan lainnya. Serta pemerintah kota perlu
meningkatkan pelayanan fasilitas angkutan massal sehingga masyarakat yang
menggunakan angkutan massal merasa nyaman dan aman. Selain itu upaya untuk
mengurangi kemacetan, saat ini pemerintah kota tengah melakukan upaya
menciptakan transportasi massal yang diharapkan berkontribusi lebih baik, yaitu
Bus Rapid Transit yang dikembangkan dalam 10 tahun ke depan serta diharapkan
mampu mengatasi kebuntuan arus lalu lintas
Pencapaian green water menuju kota hijau di Kota Bekasi adalah 25%.
Penerapan bentuk green water di Kota Bekasi adalah biopori, sumur resapan,
bioretensi, waduk, dan situ. Pengembangan biopori umumnya masih
dikembangkan pada wilayah rawan banjir Kota Bekasi dan hanya diterapkan pada
beberapa area, misalnya sekolah dan perumahan. Pengembangan biopori tersebut
belum menyebar di seluruh wilayah Kota Bekasi. Untuk kedepannya penggunaan
biopori tidak hanya dikembangkan pada wilayah rawan banjir, namun juga
dikembangkan secara menyebar. Sedangkan untuk penggunaan sumur resapan,
bioretensi, waduk, dan situ sudah cukup baik. Waduk atau situ difungsikan
sebagai recharge daerah sekitarnya. Air hujan akan ditampung terlebih dahulu
sebelum dialirkan ke badan sungai.
Pencapaian green energy menuju kota hijau di Kota Bekasi adalah 15%.
Penerapan green energy yang sudah diterapkan di Kota Bekasi adalah energi
matahari dan energi sampah. Energi matahari sudah diterapkan pada PJU jalan,
sedangkan penerapan energi sampah dengan menggunakan LFG flaring system,
dengan mengambil gas metan pada tumpukan sampah kemudian diubah menjadi
energi listrik. Penggunaan energi sampah saat ini sudah dapat menghasilkan listrik
sebesar 120 kW. Untuk kedepannya, pemerintah Kota Bekasi tidak hanya
mengembangkan energi matahari sebagai PJU jalan saja, namun juga diterapkan
pada atap bangunan. Contoh penggunaan teknologi energi matahari di negara
Spanyol adalah menerapkan pembangkit listrik yang memiliki kapasitas 19.9 MW
dan memiliki daya simpan 15 jam serta mampu menyediakan listrik 24 jam per
hari. Selain itu, perlu adanya peningkatan energi sampah sehingga energi listrik
yang dihasilkan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat Kota
Bekasi seperti di negara Amerika Serikat dan Singapura. Pada tahun 2008,
Singapura berhasil memproduksi 1.04 MWh listrik dan Amerika Serikat berhasil
memproduksi 5 MWh listrik dari sampah dan dapat menerangi 5 500 hingga 6
200 rumah. Dengan demikian, penggunaan bahan bakar fosil dapat dikurangi
dengan penggunaan energi alternatif tersebut.
Pencapaian green community menuju kota hijau di Kota Bekasi adalah
12.5%. Bentuk partisipasi masyarakat belum terlihat aktif dalam menjalankan
program dari pemerintah. Sebaiknya perlu adanya sosialisasi dari pemerintah
84
dibantu dengan komunitas warga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dengan bekerjasama dalam menjalankan suatu program. Seperti menjalankan
program 3R dan K3. Program 3R dapat disosialisasikan ke sekolah-sekolah di
Kota Bekasi, dengan adanya program ini mengajarkan kepada para siswa dapat
belajar mengelola sampah dengan baik, seperti menggunakan kembali kertaskertas yang masih dapat digunakan atau menggunakan sistem bank sampah di
sekolah. Sedangkan kegiatan K3 tidak hanya dilakukan pada kantor BPLH dan
alun-alun Kota Bekasi, namun juga dilakukan pada taman-taman kota untuk
mewujudkan keindahan dari taman kota tersebut. Sehingga masyarakat juga dapat
berpartisipasi lebih aktif lagi dalam melakukan program K3 tersebut untuk
keindahan taman kota di Kota Bekasi. Dengan demikian, masyarakat juga dapat
menikmati keindahan taman kota tersebut.
Peran komunitas warga dalam mensosialisasikan program-program kepada
masyarakat yang telah direncanakan oleh pemerintah kota sangat dibutuhkan
untuk mewujudkan kota hijau. Begitu juga dengan partisipasi masyarakat juga
sangat dibutuhkan dalam menjalankan program-program dari pemerintah kota.
Keterlibatan masyarakat dapat menjadi penggerak dalam mewujudkan kota hijau
serta menjamin keberlanjutan program di masa mendatang.
85
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan evaluasi dari kedelapan atribut kota hijau, Kota Bekasi masih
belum dapat dikatakan sebagai kota hijau. Penerapan dari kedelapan indikator
kota hijau di Kota Bekasi belum ada yang mencapai 100%. Saat ini Kota Bekasi
masih dalam tahapan pembangunan kota hijau, hal tersebut dapat dilihat dari
rencana dan aplikasi yang diterapkan di Kota Bekasi.
Masalah yang terdapat pada Kota Bekasi umumnya adalah banjir,
kemacetan dan polusi, serta pengelolaan sampah. Namun dari hasil skoring
penelitian, masalah utama di Kota Bekasi berdasarkan kedelapan indikator kota
hijau adalah green building dengan penerapan 0%. Penerapan green building saat
ini belum diterapkan oleh pemerintah Kota Bekasi, namun green building tersebut
akan diterapkan pada kawasan perumahan.
Penilaian tertinggi ditujukan pada indikator green open space dengan
penerapan 58.3%. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah yang ingin
mengembangkan Kota Bekasi menuju kota hijau dimulai dari pengembangan
luasan RTH. Selain itu, terdapat beberapa pihak pemerintah yang tidak memiliki
atau belum mengumpulkan database dengan lengkap mengenai kedelapan
indikator kota hijau tersebut. Database tersebut sangat berpengaruh terhadap
pencapaian Kota Bekasi menuju kota hijau.
Saran
Diharapkan kepada pemerintah Kota Bekasi untuk dapat mengumpulkan
database dengan lengkap mengenai indikator-indikator kota hijau. Database
tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian Kota Bekasi menuju kota
hijau, serta pemerintah kota dapat merencanakan kota dan mengembangkan
fasilitas dan utilitas kota yang lebih baik lagi, seperti perencanaan kota hendaknya
mengikuti RTRW, mengembangkan energi alternatif terbarukan, menyediakan
penyerapan air, dan mengembangkan konsep zero waste dalam mengolah sampah.
Selain itu, peran aktif masyarakat Kota Bekasi sangat membantu Kota Bekasi
dalam perjalanannya menuju kota hijau.
86
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, 2006. Kota Bekasi Dalam Angka (Bekasi
Municipality in Figure) 2005. Bekasi
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, 2012. Kota Bekasi Dalam Angka (Data Primer
Kota Bekasi) 2011. Bekasi
Branch, M.C. 1995. Pengantar dan Penjelasan Perencanaan Kota Komprehensif.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Budihardjo, E dan Sudjarto, DJ. 2009. Kota Berkelanjutan (Sustainable City).
Bandung (ID): PT Alumni
Coupland, A. 1997. Reclaiming the City: Mixed Use Development. London (UK):
FN Spon.
Departemen Arsitektur Lanskap Faperta IPB. 2008. Sampoerna Hijau Kotaku
Hijau. Cetakan Pertama Edisi Kedua, Bogor (tidak dipublikasi). 185 hal.
Ernawi, Imam S. 2012. Gerakan Kota Hijau. Buletin Tata Ruang edisi
Januari - Februari. [Internet]. Diakses pada September 2012.
Tersedia dalam: http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik
20120511114327.pdf
Habibie N, Sasmito A, Kurniawan R. 2011. Kajian potensi energi angin di
wilayah Sulawesi dan Maluku. Meteorologi dan Geofisika. 12(2):181187.
Inoguchi T, Newman E, Paoletto G. 2003. Kota dan Lingkungan:
Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta: LP3ES.
Jenks, Burton M, Williams K. 1996. The Compact City: A Sustainable
Urban Form. London (UK): E & FN Spon.
Jennings, Michael D. 2000. Gap analysis: concepts, methods, and recent
results. Landscape Ecology. 15: 5-20.
Joga, Nirwono & Ismaun, Iwan. 2011. RTH 30%: Resolusi (Kota) Hijau.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kristiyanto, Teguh. 2007. Pengelolaan persampahan berkelanjutan
berdasarkan peran serta masyarakat Kota Kebumen [tesis]. Semarang
(ID): Universitas Diponegoro.
Kurniaty, Ratih M. 2008. Pelaksanaan konstruksi taman dan pemeliharaan
RTH jalan Kota Bekasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kurokawa, Kisho. 2004. Architect and Associate, Selected and Current
Works. Hong Kong: Image Publ Group.
Nainggolan, Azas Tigor, dan Ahmad Safrudin. 2001. A Long Way To Zero
Waste Management. www.geocities.com/persampahan/0-waste.doc.
Diakses tanggal 20 Agustus 2013, 20.00.
87
Prayogo, Imam & Utomo, Christiono. [tahun tidak diketahui]. Model
pengukuran kerja sustainable building suatu perspektip pada gedung
H kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Surabaya
(ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Rahardian Novita, C. 2003. Kajian perkembangan kawasan koridor jalan
Pandanaran Semarang sebagai kawasan komersial jasa dan
perdagangan ditinjau dari aspek perancangan kota [tesis]. Semarang
(ID): Universitas Diponegoro.
Setyorina, E., 2007. Distribusi spasial lahan pertanian perkotaan sebagai
salah satu bentuk RTH di Kota Bekasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor
(ID): IPB Press
Simonds, J.O. 1983. Landscape Architecture: A Manual of Site Planning
and Design. New York (USA): McGraw-Hill Book Co.
Sumardjito. [tahun tidak diketahui]. Permasalahan Perkotaan dan
Kecenderungan Perilaku Individualis Penduduknya. Yogyakarta (ID):
FPTK IKIP Yogyakarta.
U.S. Green Building Council. 2005. LEED Green Building Rating System.
Di dalam: Prayogo I, Utomo C, editor. Model pengukuran kinerja
sustainable building suatu perspektip pada gedung H kampus Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya; [waktu tidak diketahui];
Surabaya, Indonesia. Surabaya (ID): ITS.
88
LAMPIRAN
Lampiran 1 Volume sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Bekasi
Tahun
Volume sampah (m3)
2009
2 712 164
2010
2 801 666
2011
2 894 121
2012
2 989 627
2013
3 088 284
Sumber: Rencana Strategis Dinas Kebersihan Kota Bekasi 2009 – 2013
Lampiran 2 Data Angkutan Bidang Angkutan Tahun 2010
No
Jenis Angkutan
Jumlah
1
Taxi
4188
2
Bis AKDP
437
3
Angkutan Kota AKDP
3246
4
Angkutan Kota (Lokal)
3325
Antar Kota Antar Propinsi
5
247
(AKAP)
Barang
Double Cabin, Tempelan,
6
110
Gandengan
7
Truck, Tangki
2211
8
Light Truck
2122
9
Pick up, Box
14672
Angkutan Khusus
10
Angkutan Karyawan
161
Angkutan Sekolah
11
19
Mengemudi
12
Angkutan Anak Sekolah
31
13
Angkutan Pariwisata
70
14
Angkutan Sewa
4
Sumber: Rencana Strategis Dinas Perhubungan kota Bekasi 2009 – 2013
89
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Medan, Sumatera Utara pada tanggal 20
November 1991. Penulis merupakan putri pertama dari pasangan Danang Bayu
Saksono dan Desria Eka Rustanti. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah
Dasar di SD Swasta Ikal Medan pada tahun 1997 dan lulus pada tahun 2003.
Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di SMP Swasta Harapan 1 Medan pada
tahun 2003 dan lulus tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan
SMA di SMA Swasta Harapan 1 Medan pada tahun 2006 dan tamat pada tahun
2009. Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut
Pertanian Bogor, melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah). Semasa kuliah,
penulis pernah mengikuti kepanitian Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru
(MPKMB), Masa Perkenalan Fakultas (MPF), dan Masa Perkenalan Departemen
(MPD). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Desain
Penanaman Lanskap pada tahun 2013, asisten Konstruksi Bangunan Lanskap
tahun 2013, dan asisten Proyek Studio tahun 2013.
Download