EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA BEKASI DAMARIA WIDASARI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bekasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Damaria Widasari NIM A44090057 ABSTRAK DAMARIA WIDASARI. Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bekasi. Dibimbing oleh ALINDA F.M ZAIN. Kota Bekasi termasuk salah satu kota besar di Indonesia. Secara umum, permasalahan yang terdapat pada Kota Bekasi hampir sama dengan permasalahan kota besar lainnya. Disatu sisi, urbanisasi sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, disisi lain, urbanisasi mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan dan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kemacetan, area kumuh, dan permasalahan infrastruktur kota. Penelitian ini mengenai evaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi, dengan menggunakan metode Gap Analysis. Metode Gap Analysisis digunakan untuk membandingkan antara kondisi ideal kota hijau dengan kondisi aktual pada Kota Bekasi. Hasil akhir dari penelitian ini adalah mengkaji penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi. Kata kunci: gap analysis, kota hijau, perkotaan ABSTRACT DAMARIA WIDASARI. Evaluation of Implementation Green City Concept in Bekasi City. Supervised by ALINDA F M ZAIN. Bekasi is the one of big city in Indonesia. For general, the issues contained in Bekasi is same as the other urban problems. Urbanization is important for the economic growth of the city. However, urbanization makes degradation of environmental quality followed by negative externalities, such as floods, traffic jam, slum area, and the infrastructure problems. The study is about evaluation of implementation green city concept in Bekasi city, which is use Gap Analysis method. Gap Analysis method is compare between ideal conditions of green city principle with actual conditions in Bekasi city. The output of the study is about implementation study green city concept in Bekasi city. Keywords: gap analysis, green city, urban EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA BEKASI DAMARIA WIDASARI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Judul Skripsi : Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bekasi Nama : Damaria Widasari NIM : A44090057 Disetujui oleh Dr Ir Alinda F M Zain, MSi Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr Ketua Departemen Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah kota hijau, dengan judul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bekasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Alinda F M Zain, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak dinas Kota Bekasi yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2014 Damaria Widasari DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 Kawasan Perkotaan 4 Permasalahan Kota dan Lingkungannya 4 Kota Hijau 4 Atribut Kota Hijau 5 Gap Analysis 7 METODOLOGI 8 Waktu dan Lokasi Penelitian 8 Alat dan Bahan 8 Batasan Penelitian 9 Metode Penelitian 9 KONDISI UMUM 22 Sejarah Kota Bekasi 22 Letak, Luas, dan Batas Wilayah 22 Topografi 25 Hidrologi 25 Jenis Tanah 25 Iklim dan Curah Hujan 26 Kependudukan 26 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 Green Planning and Design 27 Green Open Space 38 Green Building 49 Green Waste Management 52 Green Transportation 59 Green Water 66 Green Energy 72 Green Community 76 Penerapan Indikator Kota Hijau di Kota Bekasi 81 PENUTUP 85 Simpulan 85 Saran 85 DAFTAR PUSTAKA 86 LAMPIRAN 88 RIWAYAT HIDUP 89 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Atribut kota hijau yang dikembangkan khusus di Indonesia Alat dan bahan penelitian Data yang dibutuhkan Variabel kota hijau Batasan skoring indikator green planning and design Batasan skoring indikator green open space Batasan skoring indikator green building Batasan skoring indikator green waste management Batasan skoring indikator green transportation Batasan skoring indikator green water Batasan skoring indikator green energy Batasan skoring indikator green community Wilayah administrasi Kota Bekasi Pembagian sub pusat pelayanan Kota Bekasi Evaluasi bentuk penerapan green planning and design di Kota Bekasi Evaluasi bentuk penerapan green open space di Kota Bekasi Evaluasi bentuk penerapan green building di Kota Bekasi Evaluasi bentuk penerapan green waste management di Kota Bekasi Evaluasi bentuk penerapan green transportation di Kota Bekasi Evaluasi bentuk penerapan green water di Kota Bekasi Tingkatan kecepatan angin 10 m di atas permukaan tanah Evaluasi bentuk penerapan green energy di Kota Bekasi Evaluasi bentuk penerapan green community di Kota Bekasi 5 8 9 10 12 13 16 17 18 19 19 20 24 30 35 46 51 57 64 71 73 75 79 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Kerangka pikir penelitian Delapan atribut kota hijau dan keterkaitannya Peta lokasi penelitian Peta wilayah administratif Kota Bekasi Jumlah curah hujan dan hari hujan per bulan di Kota Bekasi Prinsip pengembangan green planning & design Peta rencana struktur ruang Kota Bekasi Pola ruang Kota Bekasi Rencana pengembangan sarana transportasi Kondisi alun-alun Kota Bekasi Tempat pemakaman umum Kota Bekasi Jalur hijau Kota Bekasi Alokasi RTH Kota Bekasi Skema manajemen pengolahan sampah Piramida green transportation Upaya pengelolaan lingkungan hidup di Kota Bekasi 3 6 8 23 26 28 32 34 37 42 43 44 45 53 60 78 DAFTAR LAMPIRAN 1 Volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Kota Bekasi pertahun 2 Data angkutan umum bidang angkutan tahun 2010 88 88 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada umumnya, kota-kota besar di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pembangunan. Pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan adalah meningkatnya pendapatan asli daerah, munculnya sentrasentra ekonomi, kesejahteraan masyarakat meningkat, serta indeks kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi lain pertumbuhan dan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban ekologis kota yang semakin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan, kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau makin berkurang akibat perkembangan kawasan perumahan dan kawasan industri. Kota Bekasi termasuk salah satu kota besar yang sedang berkembang di Indonesia dan termasuk kawasan kota satelit untuk daerah Jabodetabek. Permasalahan yang terdapat pada Kota Bekasi hampir sama dengan permasalahan kota besar lainnya, diantaranya meningkatnya jumlah penduduk akibat urbanisasi, meningkatnya sampah di perkotaan, banjir, polusi, kemacetan lalu lintas, fenomena pemanasan bumi, dan degradasi kualitas lingkungan. Selain menjadi wilayah permukiman, Kota Bekasi juga berkembang sebagai kota perdagangan,jasa, dan industri. Untuk menunjang perkembangannya, pemerintah Kota Bekasi terus mengembangkan fasilitas-fasilitas yang mendukung aktifitas masyarakat, seperti pasar tradisional dan modern, permukiman, tempat ibadah, sarana pendidikan, dan kesehatan. Sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang diunggulkan di Kota Bekasi. Selain itu, banyak juga industri kecil yang berkembang dan telah dapat membuka pasa internasional. Perdagangan ikan hias yang ada di Kota Bekasi merupakan komoditi terbesar di Asia Tenggara yang kemudian diekspor ke berbagai negara, seperti Australia, Belanda, dan Selandia Baru. Sektor industri besar juga telah menetapkan Kota Bekasi sebagai kawasan perindustrian yang dapat memberikan keuntungan bagi pengusaha lokal maupun internasional. Berkembangnya industri di Kota Bekasi merupakan salah satu alasan karena masih tersedianya cukup lahan untuk kegiatan industri dan letak Kota Bekasi yang strategis. Selain itu, dalam visi Kota Bekasi ingin menjadi kota kreatif. Kota kreatif yang dimaksud adalah kota yang berbasis pada ekonomi kreatif (industri kreatif). Pemerintah Kota Bekasi bekerja sama dengan pihak Kementrian PU dalam mengembangkan kota hijau di Kota Bekasi. Dengan adanya program P2KH yang direncanakan oleh Kementrian PU, diharapkan dapat membuat Kota Bekasi berkembang lebih baik dan berkelanjutan. Penelitian ini pada dasarnya menganalisis indikator kota hijau yang dapat diterapkan di Kota Bekasi dengan menyesuaikan kondisi dari Kota Bekasi itu sendiri. Disamping itu juga dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat umum untuk menjaga dan melestarikan kota agar tetap berkelanjutan. 2 Perumusan Masalah Permasalahan pada Kota Bekasi umumnya hampir sama seperti kota-kota besar lainnya, seperti meningkatnya urbanisasi dan kawasan permukiman, jumlah RTH perkotaan menurun, belum tersedianya bangunan yang ramah lingkungan, pengelolaan sampah belum menggunakan konsep zero waste, kemacetan dan polusi, kualitas air tanah menurun, meningkatnya penggunaan energi fosil, serta partisipasi masyarakat masih rendah. Permasalahan tersebut akan disesuaikan dengan kedelapan indikator kota hijau kemudian dilakukan evaluasi penerapan dari kedelapan indikator kota hijau di Kota Bekasi dengan menggunakan Gap Analysis . Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. mengidentifikasi pengembangan dan penataan Kota Bekasi; dan b. mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang dapat menjadi bahan masukan bagi pihak pemerintah Kota Bekasi, masyarakat Kota Bekasi, serta komunitas Kota Bekasi dalam mewujudkan konsep pengembangan kota hijau. Dengan menerapkan konsep kota hijau diharapkan pengembangan dan perbaikan kualitas lingkungan di Kota Bekasi menjadi lebih baik. 3 Kerangka Pikir Penelitian Kota Bekasi Masalah Perkotaan yang ada di Kota Bekasi Mening katnya urbanisasi, permukiman, dan industri Menurunnya jumlah RTH di perkota an Belum ada penerapan bangunan yang ramah lingkun gan Mening katnya jumlah sampah di perkotaan Mening katnya jumlah kendaraan pribadi, kemacetan, dan polusi Menuru nnya kualitas air tanah dan banjir Green planning and design Green open space Green building Green waste management Green transportation Green water Mening katnya penggunaan energi fosil Green energy Kurang nya kerjasama antara pemerin tah dan masyarakat terhadap lingkungan Green community Gap Analysis Evaluasi Gambar 1 Kerangka pikir penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Perkotaan Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang dicirikan oleh batasan administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta didominasi oleh kegiatan produktif bukan pertanian. Suatu kawasan disebut kota jika telah memiliki keaktifan, keanekaragaman, dan kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya (Branch 1995). Sedangkan menurut Inoguchi, Newman, dan Paoletto (2003), kota merupakan sebuah tempat yang berfokus kepada pekerjaan, budaya, kreatifitas, politik, dan ekonomi, serta didukung oleh fasilitas publik, seperti pelayanan kesehatan dan kesejahteraan, objek rekreasi, pendidikan, perkantoran, dan partisipasi demokrasi yang dinikmati oleh jutaan bahkan miliaran orang di perkotaan. Kawasan perkotaan merupakan bentuk lanskap buatan manusia akibat aktifitas manusia mengelola kepentingan hidup manusianya (Simonds 1983). Hal ini dapat dilihat dari adanya pembangunan kawasan Central Business Distric (CBD), permukiman, serta fasilitas rekreasi. Pembangunan yang diimbangi dengan penataan lingkungan yang estetis akan dapat menperindah kawasan perkotaan sekaligus membentuk kota yang bersih dan sehat. Permasalahan Perkotaan dan Lingkungannya Suatu perkotaan terdapat pusat permukiman penduduk dan berbagai macam kegiatan ekonomi, budaya, dan pusat pemerintahan setempat. Perkembangan kegiatan suatu kota sering menjadi tumpuan harapan masyarakat sehingga mereka berebut kesempatan untuk dapat memperoleh penghidupan di kota tersebut. Perkembangan perkotaan juga dapat menimbulkan permasalahan, seperti meningkatnya jumlah penduduk perkotaan, kemacetan lalu lintas, pencemaran udara, krisis air bersih, banjir, serta kualitas lingkungan menurun. Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan perkotaan adalah mengembangkan RTH. Menurut Joga dan Ismaun (2011), RTH dapat menjadi penyeimbang ekosistem kota, baik itu sistem hidrologi, klimatologi, keanekaragaman hayati, maupun sistem ekologi lainnya. Selain itu pengembangan RTH juga bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, estetika kota, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat perkotaan. Kota Hijau (Green City) Kota hijau adalah kota yang ramah lingkungan yang dibangun berdasarkan keseimbangan antara dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta dimensi tata 5 kelolanya, termasuk kepemimpinan dan kelembagaan kota yang mantap. Kota hijau (green city) adalah kota yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam segala aspek kehidupan dan penunjangnya bagi warganya, maupun unsur lainnya baik tumbuhan dan tanaman, hewan dan satwa liar, hingga tanah, air, dan udara. Semuanya saling terkait sehingga memberikan fungsi-fungsi kenyamanan, keamanan, dan keindahan (Departemen Arsitektur Lanskap Faperta IPB 2008). Kota hijau merupakan suatu konsep dari upaya untuk meletarikan lingkungan dengan cara mengembangkan sebagian lingkungan dari suatu kota menjadi lahan-lahan hijau yang alami agar menciptakan kekompakan antara kehidupan alami dari lingkungan dengan manusia yang tinggal didalamnya (Ernawi 2012). Kota hijau dapat dipahami sebagai kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kota hijau ini perlu dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota-wilayah, seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota. Atribut Kota Hijau Menurut Kurokawa (2004), terdapat lima atribut yang dapat dijadikan sebagai indikator kota hijau, diantaranya: 1. menciptakan suatu jejaring Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota/wilayah; 2. menghindari/mengendalikan urban sprawl (ekspansi penduduk kota beserta aktivitasnya ke kawasan pinggiran yang mengakibatkan peralihan fungsi lahan dari pertanian ke perkotaan); 3. pengembangan usaha untuk mengurangi sampah dan limbah serta pengembangan proses daur ulang (reduce, reuse, recycle); 4. Pengembangan sumber energi alternatif, misalnya dengan menggunakan energi biomas, matahari, angin, ombak; 5. Pengembangan sistem transportasi berkelanjutan, misalnya pembangunan fasilitas pedestrian dan jalur sepeda. Menurut Kementrian PU dalam bukunya Panduan Kota Hijau (2013), terdapat delapan kota hijau yang khusus dikembangkan untuk Indonesia. Kedelapan atribut kota hijau tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 1 Atribut kota hijau yang dikembangkan khusus di Indonesia No Atribut Keterangan Green Planning and Perencanaan dan perancangan yang 1 Design beradaptasi pada biofisik kawasan. Peningkatan kuantitas dan kualitas RTH 2 Green Open Space dengan target 30%. 6 Tabel 1 Atribut kota hijau yang dikembangkan di Indonesia (lanjutan) 3 Green Waste 4 Green Transportation 5 Green Water 6 Green Energy 7 Green Building 8 Green Community Usaha untuk zero waste dengan melaksanakan prinsip 3R yaitu mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur ulang, dan meningkatkan nilai tambah. Pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya air. Pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan. Bangunan hemat energi. Kepekaan, kepedulian dan peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan atributatribut kota hijau. Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum 2013 Gambar 2 Delapan atribut kota hijau dan keterkaitannya Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum 2013 Dengan pengembangan kedelapan atribut tersebut, maka kota di Indonesia dapat menjadi kota yang berkelanjutan. Kedelapan atribut tersebut memang saling berkaitan satu sama lain. Misalnya, air buangan yang dihasilkan sebagai limbah dari rumah tangga atau dari suatu bangunan/gedung dapat diolah kembali menjadi air bersih. Selain itu, penggunaan sumur resapan dapat membantu menjaga ketersediaan air tanah yang nantinya air tersebut akan dapat digunakan oleh masyarakat kota, sehingga terjadilah efisiensi pemanfaatan air. Demikian halnya dengan sampah yang dihasilkan dari suatu kota. Sampah tersebut dapat didaur ulang menjadi pupuk atau bentuk kerajinan yang dapat digunakan kembali oleh masyarakat. Hal ini akan membangkitkan kota yang kreatif, melalui pengunaan 7 ulang (reuse) dan daur ulang sampah (recycle). Kemudian sampah yang tidak dapat didaur ulang diolah di TPA dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS) untuk memenuhi kebutuhan energi suatu kawasan/kota maupun gedung. Selain energi sampah, masih banyak energi alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, seperti energi matahari, angin, air, dan tumbuhan. Energi matahari dapat dimanfaatkan sebagai penerangan pada lampu PJU di jalan-jalan kota serta energi air dan angin dapat digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik. Pengembangan ruang terbuka hijau pada suatu kawasan/kota, salah satunya akan memberikan dampak yang positif terhadap kondisi iklim mikro kawasan/kota tersebut. Artinya semakin banyak ruang terbuka hijau, maka kondisi iklim mikro kawasan kota akan semakin sejuk. Dengan demikian penggunaan AC (air conditioner) pada bangunan gedung dapat diminimalkan yang tentunya akan menciptakan efisiensi energi. Juga kaitannya dengan pengembangan sistem transportasi hijau yang berprinsip pada efisiensi penggunaan bahan bakar, ramah lingkungan, dan berorientasi pada manusia (pengembangan jalur pejalan kaki, jalur sepeda, dan angkutan umum massal), memberikan dampak terhadap penghematan energi dan lingkungan udara yang bebas polusi. Enam atribut tersebut (green open space, green transportation, green building, green energy, green water, dan green waste) merupakan komponen yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya dan merupakan bagian yang harus terintegrasi dalam perencanaan dan perancangan suatu kota (green planning and design). Cita-cita kota hijau ini akan terwujud jika adanya kepekaan dan kepedulian yang tinggi dari seluruh elemen masyarakat kota dalam mewujudkan kota hijau (green community). Gap Analysis Secara harfiah “gap” merupakan identifikasi adanya suatu perbedaan (disparity) antara satu hal dengan hal lainnya. Suatu konsep dan organisasi pada dasarnya diperlukan dalam mengembangkan prinsip utama metode Gap analysis (Jennings, 1999). Gap analysis umumnya digunakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi kinerja dari instansi pemerintahan, khususnya dalam upaya penyediaan pelayanan bagi masyarakat. Hasil analisis tersebut dapat menjadi input yang berguna bagi perencanaan dan penentuan anggaran di masa yang akan datang. Namun dalam penelitian ini, gap analysis digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan antara kondisi ideal kota hijau dengan kondisi aktual suatu perkotaan. Selain itu Gap analysis juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam merencanakan dan mengembangkan sarana dan fasilitas kota untuk menuju pengembangan kota hijau di suatu perkotaan. Gap analysis bermanfaat untuk menilai seberapa besar kesenjangan antara kondisi aktual suatu perkotaan dengan kondisi ideal kota hijau, dapat mengetahui permasalahan utama pada suatu perkotaan terkait dengan indikator kota hijau, dan mencari solusi yang diperlukan untuk menutupi kesenjangan tersebut. 8 METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di Kota Bekasi, Propinsi Jawa Barat dengan mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi. Waktu penelitian di lapang dilaksanakan selama 1 bulan yaitu bulan Maret 2013, sedangakan untuk pengolahan data dilaksanakan pada bulan April – Juni 2013. Gambar 3 Peta lokasi penelitian Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011-2031 Alat dan Bahan Penelitian konsep kota hijau ini menggunakan peralatan baik berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Sedangkan bahan yang digunakan mencakup data primer dan sekunder. Berikut adalah alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini yang meliputi: Tabel 2 Alat dan bahan penelitian Alat Kegunaan Kamera Pengambilan gambar Bahan Kegunaan Panduan pengambilan dan pengolahan Peta Kota Bekasi data RTRW Kota Bekasi Analisis perkembangan kota Bahan Pustaka Studi literatur Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan perencanaan kota hijau kota yang bersumber dari Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Kota Bekasi, Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota 9 Bekasi 2011-2031, survey lapang, dan data sekunder yang bersumber dari buku dan media lainnya. Berikut ini jenis data yang digunakan : Tabel 3 Data yang dibutuhkan Jenis Data Aspek fisik Letak, luas, batas kota Tanah Topografi Hidrologi Bentuk data Sumber Cara Pengambilan Sekunder Profil Kota Bekasi Studi pustaka Sekunder Sekunder Sekunder Profil Kota Bekasi Profil Kota Bekasi Profil Kota Bekasi Profil Kota Bekasi dan BMKG Studi pustaka Studi pustaka Studi pustaka Iklim Sekunder Studi pustaka Aspek sosial Jumlah penduduk Sekunder Profil Kota Bekasi Studi pustaka Aspek indikator kota hijau Indikator kota hijau Primer dan sekunder Survey dan dinas terkait Pengamatan dan studi pustaka Batasan Penelitian Penelitian ini mengevaluasi penerapan kota hijau di Kota Bekasi. Batasan penelitian ini adalah mengetahui kondisi aktual Kota Bekasi dalam menerapkan konsep kota hijau berdasarkan kedelapan indikator kota hijau dan mengevaluasi implementasi konsep kota hijau di Kota Bekasi dengan menggunakan Gap Analysis. Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan metode yang memusatkan pada survey lapang. Metode tersebut dilakukan untuk mengetahui seperti apa penerapan dari kedelapan indikator kota hijau yang sudah dilakukan di Kota Bekasi. Secara umum penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahapan penelitian dimulai dari kegiatan: a. Persiapan penelitian Pada tahap ini dilakukan dengan membuat usulan penelitian, perumusan masalah, penetapan tujuan penelitian, dan perijinan kepada pihak terkait. Tahapan persiapan menghasilkan proposal penelitian. b. Inventarisasi Inventarisasi merupakan tahapan awal dari pengumpulan data. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer 10 dilakukan dengan survey lapang dan wawancara pihak terkait, sedangkan untuk data sekunder dilakukan dengan studi pustaka. Berikut adalah data-data yang dibutuhkan terkait dengan indikator kota hijau. No 1 Indikator Green planning and design 2 Green open space 3 Green building 4 Green waste management 5 6 7 8 Green transportation Green water Green energy Green community Tabel 4 Variabel kota hijau Variabel Unit Sumber RTRW RDTR, Dinas tata dan Masterplan kota Kota Bekasi Bekasi Jumlah RTH Luas (m2) Dinas pertamana Baik, n Kota Kualitas RTH sedang, Bekasi dan buruk Dinas Jumlah bangunan Buah bangunan hijau Kota Bekasi Volume m3 sampah Dinas Kebersiha Sistem n Kota pengelolaan Bekasi sampah Jenis angkutan umum Buah Infrastruktur jalur pejalan kaki dan sepeda Buah Metode pengolahan air Jenis Jumlah penggunaan energi Buah Sumber energi yang digunakan Jenis Jumlah komunitas hijau dan kegiatan yang dilakukan Buah Dinas perhubung an Kota Bekasi BPLH Kota Bekasi BPLH Kota Bekasi BPLH Kota Bekasi Evaluasi Mengetahui penataan ruang Kota Bekasi Mengetahui luas dan kondisi RTH di Kota Bekasi Mengetahui jumlah bangunan hijau di Kota Bekasi Mengetahui volume sampah dan sistem pengelolaan sampah Mengetahui kondisi transportasi umum serta infrastruktur yang ada Mengetahui sistem pengelolaan air Mengetahui jumlah dan jenis energi alternatif yang digunakan di Kota Bekasi Mengetahui jumlah komunitas hijau dan kegiatan yang dilakukan 11 c. Analisis Tahapan analisis dimulai dari merumuskan konsep ideal kota hijau melalui desk study dengan pendekatan delapan indikator kota hijau. Kemudian, melakukan analisis potensi dan kendala pada setiap indikator menggunakan Gap Analysis secara desktiptif. Gap Analysis dilakukan untuk membandingkan kondisi aktual pada Kota Bekasi terhadap kondisi ideal kota hijau. Selain itu untuk mengetahui implementasi kota hijau yang sudah dicapai Kota Bekasi. d. Evaluasi Tahap akhir dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu evaluasi terhadap kondisi penerapan konsep kota hijau di Kota Bekasi. Pada tahap ini dilakukan penilaian atau skoring untuk mengetahui pencapaian penerapan tiap indikator kota hijau. Skoring dilakukan dengan memberi skor 0 hingga skor 4 pada setiap model penerapan dari kedelapan indikator kota hijau dan mengacu pada batasan penilaian setiap indikator (Tabel 5 – 12). Setelah dilakukan skoring untuk mengetahui pencapaian bentuk penerapan di Kota Bekasi, maka tahap selanjutnya adalah menetukan nilai penerapan dari setiap indikator dengan rumusan: Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn Dimana: Xt = persentase total bentuk penerapan setiap indikator x1= persentase bentuk penerapan indikator 1 xn = persentase bentuk penerapan indikator ke-n Selanjutnya, dilakukan perhitungan nilai maksimal dari setiap indikator serta menghitung persentase dari penerapan setiap indikator dengan rumusan sebagai berikut: Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal % bentuk penerapan = nilai penerapan total (Xt) x 100% nilai maksimal (Xmax) Setelah dilakukan skoring, maka dapat diketahui indikator kota hijau yang sudah diterapkan dengan baik dan yang belum diterapkan dengan baik di Kota Bekasi. Sehingga dapat diketahui perlakuan atau rencana yang akan dilakukan untuk menciptakan kota hijau yang ideal di Kota Bekasi. Berikut adalah batasanbatasan pada setiap indikator yang dapat menjadi acuan untuk menentukan skor dari setiap model penerapan. 12 Tabel 5 Batasan skoring indikator green planning and design Bentuk Compact city 0 a. Tidak ada rencana untuk pengembang an kota dengan menggunaka n compact city dan tidak tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan Mixed use development a. 1 a. Sudah ada arahan untuk pengembang an compact city namun belum tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan pada beberapa komponen pembentuk compact city (bangunan vertikal, penentuan KDH) namun belum membentuk kawasan a. Tidak ada a. rencana untuk pengembanga n kota dengan menggunakan kawasan pejalan kaki dan tidak tertera dalam RTRW b. b. Tidak ada penerapan Sudah ada arahan untuk pengembanga n kawasan pejalan kaki dan belum tertera dalam RTRW Tidak ada penerapan 3 Sudah ada rencana untuk pengembangan compact city yang tertera dalam RTRW 4 a. Sudah ada rencana untuk pengembangan compact city yang tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan pada beberapa komponen pembentuk compact city (bangunan vertikal, penentuan KDH) dan sudah membentuk kawasan b. Sudah ada penerapan yang membentuk compact city serta dapat mengatasi masalah perkotaan terkait urban sprawl Sudah ada rencana untuk pengembangan mixed use development yang tertera dalam RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan mixed use development yang tertera dalam RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan mixed use development yang tertera dalam RTRW Sudah ada usaha pengembangan produk properti (perkantoran, hotel, tempat tinggal) b. Sudah ada b. usaha pengembangan produk properti (perkantoran, hotel, tempat tinggal) dan pengembangan jalur pejalan kaki di sekitarnya Sudah ada usaha pengembangan produk properti (perkantoran, hotel, tempat tinggal) dan pengembangan jalur pejalan kaki di sekitarnya serta terintegrasi dengan jaringan transportasi umum b. Sudah ada penerapan pada beberapa komponen pembentuk compact city (bangunan vertikal, penentuan KDH) namun belum membentuk kawasan Tidak ada a. Sudah ada a. rencana arahan untuk untuk pengembang pengembanga an mixed use n kota development dengan namun menggunaka belum tertera n mixed use dalam development RTRW b. dan tidak tertera dalam b. Tidak ada RTRW penerapan b. Tidak ada penerapan Kawasan pejalan kaki Skoring 2 a. Sudah ada rencana untuk pengembangan compact city yang tertera dalam RTRW a. a. Sudah ada rencana untuk pengembangan kawasan pejalan kaki yang tertera dalam RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan kawasan pejalan kaki yang tertera dalam RTRW b. Sudah ada jalur pejalan kaki tanpa disertai dengan fasilitas pendukung yang memadai b. Terdapat di pusat kota dengan kegiatan intensitas tinggi c. Tersedia fasilitas pendukung untuk pejalan kaki a. Sudah ada rencana untuk pengembangan kawasan pejalan kaki yang tertera dalam RTRW b. Terdapat di pusat kota dengan kegiatan intensitas tinggi c. Sudah membentuk kawasan yang terintegrasi dengan tempat lain, serta tersedianya fasilitas pendukung untuk pejalan kaki 13 Tabel 5 Batasan skoring indikator green planning and design (lanjutan) Transit a. Oriented Development (TOD) Tidak ada a. Sudah ada rencana untuk arahan untuk pengembanga pengembang n kota dengan an TOD dan menggunakan belum tertera TOD dan dalam tidak tertera RTRW dalam RTRW b. Tidak ada b. Tidak ada penerapan penerapan a. Sudah ada rencana untuk pengembangan TOD yang tertera dalam RTRW b. Pengembangan sebatas pada pemanfaatan angkutan massal perkotaan a. Sudah ada rencana untuk pengembangan TOD yang tertera dalam RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan TOD yang tertera dalam RTRW b. Sudah ada penggunaan angkutan massal dan pejalan kaki serta sepeda, namun belum terintegrasi seluruhnya b. Memaksimalkan penggunaan angkutan massal (BRT, MRT, angkutan kota) serta dilengkapi dengan jaringan pejalan kaki dan sepeda yang saling terintegrasi c. Jaringan angkutan massal menghubungkan tempat-tempat fungsional Tabel 6 Batasan skoring indikator green open space Bentuk Taman lingkungan 0 a. Tidak ada rencana untuk pengembanga n kota dengan implementasi taman lingkungan dan tidak tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan 1 a. Sudah ada arahan untuk pengembangan taman lingkungan namun belum tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan, namun belum memenuhi standar yang baik Skoring 2 a. Sudah ada rencana untuk pengembangan taman lingkungan yang tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan, namun ukuran taman lingkungan belum memenuhi standar minimal 250 m2 c. Hanya memiliki satu fungsi RTH yaitu sebagai sarana sosial budaya (interaksi sosial) Taman kota a. Tidak ada a. Sudah ada arahan a. Sudah ada rencana untuk untuk rencana untuk pengembanga pengembangan pengembangan n kota dengan taman kota, taman kota implementasi namun belum yang tertera taman kota tertera dalam dalam RTRW dan tidak RTRW tertera dalam b. Sudah ada RTRW b. Sudah ada penerapan dan penerapan terhadap ukuran taman b. Tidak ada taman kota, namun kota belum penerapan belum memenuhi memenuhi standar yang baik standar, yaitu kurang dari 3 a. Sudah ada rencana untuk pengembangan taman lingkungan yang tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan dan ukuran taman lingkungan sudah memenuhi standar minimal 250 m2 c. Hanya memiliki satu fungsi RTH yaitu sebagai sarana sosial budaya (interaksi sosial) 4 a. Sudah ada rencana untuk pengembanagn taman lingkungan yang tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan dan ukuran taman lingkungan sudah memenuhi standar minimal 250 m2 c. Memiliki lebih dari satu fungsi RTH (ekologis, estetika, planologis, ekonomi, dan sosial budaya) d. Lokasi sudah menyebar dengan baik di sekitar perumahan a. Sudah ada rencana untuk pengembangan taman kota yang tertera dalam RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan taman kota yang tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan dan ukuran taman kota sudah memenuhi standar sekitar 9000 m2 – b. Sudah ada penerapan dan ukuran taman kota sudah memenuhi standar sekitar 9000 m2 – 24000 14 Tabel 6 Batasan skoring indikator green open space (lanjutan) 9000 m2 c. Lokasi belum menyebar dengan baik dan tidak berada di pusat wilayah pelayanan kota Hutan kota a. Tidak ada rencana untuk pengembangan kota dengan implementasi hutan kota dan tidak tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan Taman Pemakaman Umum (TPU) a. Tidak ada rencana untuk pengembangan kota dengan implementasi TPU dan tidak tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan a. Sudah ada arahan a. Sudah ada untuk rencana untuk pengembangan pengembangan hutan kota, hutan kota yang namun belum tertera dalam tertera dalam RTRW RTRW b. Sudah ada b. Sudah ada penerapan hutan penerapan hutan kota namun kota, namun fungsi dan luasan fungsi dan luasan dari taman kota dari taman kota belum memenuhi belum memenuhi standar standar a. Sudah ada arahan a. Sudah ada untuk rencana untuk pengembangan pengembangan TPU, namun TPU yang tertera belum tertera dala RTRW dalam RTRW b. Sudah ada b. Sudah ada penerapan RTH penerapan, TPU, namun namun belum belum memenuhi memenuhi standar yang standar yang sesuai dan belum sesuai dan belum dikelola dengan dikelola dengan baik oleh baik oleh pemerintah pemerintah 24000 m2 c. Lokasi belum menyebar dengan baik dan tidak berada di pusat wilayah pelayanan kota m2 c. Lokasi berada di pusat wilayah pelayanan kota d. Memenuhi fungsi taman kota sebagai penyumbang RTH perkotaan a.Sudah ada rencana untuk pengembangan hutan kota yang tertera dalam RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan hutan kota yang tertera dalam RTRW b. Luasan sudah memenuhi standar yaitu 10% dari luas kota b. Luasan sudah memenuhi standar yaitu 10% dari luas kota c. Fungsi hutan kota belum dikembangkan secara maksimal c. Memiliki fungsi yang maksimal dari hutan kota, seperti fungsi ekologis (penghasil oksegen di perkotaan, peredam suara, perbaikan iklim, konservasi, dan habitat satwa), fungsi lanskap, dan fungsi estetika a. Sudah ada rencana untuk pengembangan TPU yang tertera dalam RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan TPU yang tertera dalam RTRW b. Fungsi utama TPU, seperti daya tampung harus terpenuhi dengan baik, fungsi RTH dikembangkan dengan cara pengurangan penggunaan beton pada desain makam sehingga akan memaksimalkan area hijau untuk daerah resapan air b. Fungsi utama TPU, seperti daya tampung harus terpenuhi dengan baik, fungsi RTH dikembangkan dengan cara pengurangan penggunaan beton pada desain makam sehingga akan memaksimalkan area hijau untuk daerah resapan air c. Belum dikelola dengan baik oleh pihak pemerintah c. Sudah dikelola dengan baik oleh pemerintah 15 Tabel 6 Batasan skoring indikator green open space (lanjutan) Jalur hijau (sungai dan jalan) Pertanian perkotaan a. Tidak ada a. Sudah ada arahan a. Sudah ada a. Sudah ada rencana untuk untuk rencana untuk rencana untuk pengembangan pengembangan pengembangan pengembangan kota dengan RTH jalur hijau, RTH jalur hijau RTH jalur hijau implementasi namun belum yang tertera yang tertera RTH jalur hijau tertera dalam dalam RTRW dalam RTRW dan tidak RTRW tertera dalam b. Keberadaan RTH b. Keberadaan RTH RTRW b. Sudah ada jalur hijau belum jalur hijau belum penerapan saling terhubung saling terhubung b. Tidak ada terhadap RTH satu sama lain satu sama lain penerapan jalur hijau namun (terputus) (terputus) belum memenuhi standar yang baik c. Fungsi RTH jalur c. Memiliki fungsi bagi RTH jalur hijau yang ada RTH, seperti hijau hanya sebatas fungsi ekologis pada fungsi (menyerap estetika, namun polutan, belum memenuhi pembentuk iklim fungsi ekkologis mikro, dan pembentuk RTH utama di kawasan tersebut) dan fungsi estetika (pengarah jalan, kenyamanan user) a. Sudah ada rencana untuk pengembangan RTH jalur hijau yang tertera dalam RTRW a. Tidak ada rencana untuk pengembangan kota dengan implementasi pertanian perkotaan dan tidak tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan b. Keberadaan RTH jalur hijau sudah menghubungkan satu sama lain (tidak terputus) c. Memiliki fungsi RTH, seperti fungsi ekologis (menyerap polutan, pembentuk iklim mikro, dan pembentuk RTH utama di kawasan tersebut) dan fungsi estetika (pengarah jalan, kenyamanan user) a. Sudah ada arahan a. Sudah ada untuk rencana untuk pengembangan pengembangan pertanian pertanian perkotaan, namun perkotaan yang belum tertera tertera dalam dalam RTRW RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan pertanian perkotaan yang tertera dalam RTRW a. Sudah ada rencana untuk pengembangan pertanian perkotaan yang tertera dalam RTRW b. Penerapan pertanian perkotaan baru sebatas pada pertanian perkotaan berupa persawahan b. Penerapan pertanian perkotaan berupa sawah maupun kebun dengan kegiatan pertanian yang produktif, namun belum adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dalam mengelola pertanian perkotaan b. Penerapan pertanian perkotaan berupa sawah maupun kebun dengan kegiatan pertanian yang produktif dan sudah ada kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dalam mengelola pertanian perkotaan b. Penerapan pertanian perkotaan berupa sawah maupun kebun c. Adanya pemanfaatan lahan terbuka pada area terbangun untuk dijadikan urban farming seperti kegiatan berkebun organik 16 Tabel 7 Batasan skoring indikator green building Bentuk Penerapan green building 0 a. Tidak ada rencana untuk pengembangan kota dengan pembangunan green building dan tidak tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan 1 a. Sudah ada arahan untuk pembangunan green building namun belum tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan, namun belum memenuhi standar yang baik dari green building (baru diterapkan pada beberapa aspek pembentuk green building Skoring 2 a. Sudah ada rencana untuk pembangunan green building yang tertera dalam RTRW 3 a. Sudah ada rencana untuk pembanguann green building yang tertera daalm RTRW b. Sudah ada b. Minimum luas penerapan, bangunan namun belum adalah 2 500 memenuhi m2 standar yang baik dari green c. Fungsi gedung building (baru sesuai dengan diterapkan pada peruntukan beberapa aspek lahan pembentuk green berdasarkan building) RTRW setempat d. Diterapkan pada bangunan perkantoran maupun perumahan e. Berorientasi pada manusia sebagai pengguna utama bangunan seperti harus tahan gempa, standar keselamatan bagi bahayabahaya, adanya standarisasi aksesibilitas bagi penyandang cacat dan berorientasi pula bagi lingkungan untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya f. Belum tersertifikasi oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) 4 a. Sudah ada rencana untuk pembangunan green building yang tertera dalam RTRW b. Minimum luas bangunan adalah 2 500 m2 c. Fungsi gedung sesuai dengan peruntukan lahan berdasarkan RTRW setempat d. Diterapkan pada bangunan perkantoran maupun perumahan e. Berorientasi pada manusia sebagai pengguna utama bangunan seperti harus tahan gempa, standar keselamatan bagi bahayabahaya, adanya standarisasi aksesibilitas bagi penyandang cacat dan berorientasi pada lingkungan untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya f. Sudah tersertifikasi oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) 17 Tabel 8 Batasan skoring indikator green waste management Bentuk Penerapan konsep 3R 0 a. Tidak ada rencana untuk penerapan 3R dan tidak tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan Skoring 1 2 a. Sudah ada a. Sudah ada rencana arahan penerapan 3R yang menerapkan 3R tertera dalam namun belum RTRW tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan pada b. Sudah ada RT/TPS/TPA penerapan pada beberapa rumah tangga aja Bank sampah a. Tidak ada a. Sudah ada rencana untuk arahan penerapan bank menerapkan sampah dan bank sampah tidak tertera namun belum dalam RTRW tertera dalam RTRW b. Tidak ada b. Sudah terdapat penerapan pada sumber sampah dan belum menyebar Pengolahan a. Tidak ada limbah cair rencana untuk rumah tangga penerapan pengolahan limbah cair rumah tangga dan tidak tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan Pengolahan sampah di TPA (sanitary landfill) a. Sudah ada arahan pengolahan limbah cair rumah tangga namun belum tertera dalam RTRW b. Sudah dilakukan dalam skala rumah tangga namun belum dilakukan menyebar pada tiap rumah tangga a. Tidak ada rencana untuk pengolahan sampah akhir dengan sanitary landfill dan tidak tertera dalam RTRW a. Sudah ada arahan pengolahan sampah akhir dengan sanitary landfill namun belum tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan b. Sudah dilakukan dengan controlled landfill 3 a. Sudah ada rencana untuk penerapan 3R yang tertera dalam RTRW b. Sudah dilakukan pada RT dan TPS 4 a. Sudah ada rencana untuk penerapan 3R yang tertera dalam RTRW b. Sudah dilakukan secara mandiri oleh masyarakat serta terdapat juga penerapan pada tiap TPS dan TPA yang ada a. Sudah ada rencana a. Sudah ada a. Sudah ada rencana penerapan bank rencana penerapan bank sampah yang tertera penerapan bank sampah yang tertera dalam RTRW sampah yang dalam RTRW tertera dalam b. Sudah terdapat di b. Sudah terdapat pada RTRW setiap sumber sampah sumber sampah (pasar dan industri) (pasar atau b. Sudah terdapat dan menyebar industri), namun pada sumber keberadaannya sampah (pasar belum menyebar atau industri) a. Sudah ada rencana penerapan pengolahan limbah cair rumah tangga yang tertera dalam RTRW b. Sudah dilakukan secara komunal, tetapi hanya dilakukan beberapa tempat saja a. Sudah ada rencana penerapan pengolahan limbah cair rumah tangga yang tertera dalam RTRW b. Sudah dilakukan dalam skala rumah tangga dan sudah diterapkan pada seluruh rumah tangga a. Sudah ada rencana a. Sudah ada pengolahan sampah rencana akhir dengan pengolahan sanitary landfill sampah akhir yang tertera dalam dengan RTRW sanitary landfill yang b. Sudah dilakukan tertera dalam dengan konsep RTRW sanitary landfill dengan pemilahan b. Sudah sampah sebelum dilakukan penimbunan dengan konsep sanitary landfill serta terdapat pengumpulan air lindi a. Sudah ada rencana penerapan pengolahan limbah cair rumah angga yang tertera dalam RTRW b. Sudah dilakukan secara komunal dan sudah diterapkan pada setiap kawasan permukiman a. Sudah ada rencana pengolahan sampah akhir dengan sanitary landfill yang tertera dalam RTRW b. Sudah dilakukan dengan konsep sanitary landfill serta terdapat pula kegiatan pemilahan pengumpulan air lindi dan terdapat usaha pengolahan 18 Tabel 9 Batasan skoring indikator green transportation Bentuk Jalur pejalan kaki 0 a. Tidak ada rencana pengembangan jalur pejalan kaki yang tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan Jalur sepeda a. Tidak ada rencana pengembangan jalur sepeda yang tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan Angkutan umum massal a. Tidak ada rencana pengembangan angkutan umum yang tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan Skoring 1 2 3 a. Sudah ada a. Sudah ada a. Sudah ada arahan rencana rencana jalur pengembang pengembangan pejalan kaki yang an jalur jalur pejalan tertera pada pejalan kaki, kaki yang RTRW namun belum tertera pada tertera pada RTRW b. Memiliki dimensi RTRW ideal b. Memiliki b. Tidak ada dimensi jalur c. Menghubungkan penerapan pejalan kaki satu tempat yang ideal dengan tempat lain a. Tidak ada rencana pengembangan car sharing yang tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan b. Memiliki dimensi ideal c. Menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya d. Penempatan site furniture yang tepat a. Sudah ada a. Sudah ada arahan rencana pengembang pengembangan an jalur jalur sepeda sepeda, yang tertera namun belum pada RTRW tertera pada RTRW b. Memiliki dimensi jalur b. Memiliki sepeda yang dimensi jalur ideal sepeda yang ideal a. Sudah ada rencana pengembangan jalur sepeda yang tertera pada RTRW c. Jalur sepeda terpisah dengan kendaraan bermotor d. Terdapat fasilitas shelter sepeda a. Sudah ada a. Sudah ada arahan rencana pengembang pengembangan an angkutan angkutan umum, umum yang namun belum tertera pada tertera pada RTRW RTRW b. Angkutan b. Tidak ada umum belum penerapan saling terintegrasi a. Sudah ada rencana pengembangan angkutan umum yang tertera pada RTRW a. Sudah ada rencana pengembangan angkutan umum yang tertera pada RTRW c. Belum ada arahan penggunaan bahan bakar alternatif Car sharing 4 a. Sudah ada rencana jalur pejalan kaki yang tertera pada RTRW a. Tidak ada a. Sudah ada arahan arahan pengembang pengembangan an car car sharing, sharing, namun belum namun belum tertera pada tertera pada RTRW RTRW b. Terdapat 1 b. Terdapat 1 penerapan car penerapan sharing (mis: car sharing lingkup (mis: lingkup instansi) instansi) a. Sudah ada rencana pengembangan jalur sepeda yang tertera pada RTRW b. Memiliki dimensi ideal b. Memiliki dimensi c. Jalur terpisah dengan ideal kendaraan bermotor b. angkutan umum saling terintegrasi b. Memiliki integrasi antar angkutan umum (min. 2 jenis) c. Memiliki integrasi disetiap zona strategis kota c. Memiliki integrasi zona stategis kota d. Penggunaan bahan bakar alternatif pada setiap angkutan umum d. Penggunaan bahan bakar alternatif pada (min. 2 jenis) angkutan umum a. Sudah ada rencana pengembangan car sharing yang tertera pada RTRW b. Terdapat 2 penerapan car sharing a. Sudah ada rencana pengembangan car sharing yang tertera pada RTRW b. Terdapat >2 penerapan car sharing c. Memiliki integrasi dengan sistem angkutan umum 19 Tabel 10 Batasan skoring indikator green water Bentuk Penerapan biopori Pengelolaan air hujan perkotaan dengan konsep LID 0 a. Tidak ada rencana pengembangan biopori yang tertera dalam RTRW 1 a. Sudah ada arahan pengembangan biopori, namun belum tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan pengembangan biopori b. Sudah ada penerapan pengembangan biopori pada 1 kawasan (rumah tangga/CBD/ industri) a. Tidak ada rencana pengembangan konsep LID yang tertera dalam RTRW a. Tidak ada rencana pengembangan konsep LID yang tertera dalam RTRW b. Tidak ada penerapan b. Sudah ada penerapan konsep LID pada situ/waduk/bad an air Skoring 2 a. Sudah ada rencana pengembangan biopori yang tertera dalam RTRW b. Sudah ada penerapan pengembangan biopori pada 1 kawasan (rumah tangga/CBD/ industri) a. Sudah ada rencana pengembangan konsep LID yang tertera pada RTRW b. Sudah ada penerapan konsep LID pada situ/waduk/badan air dengan menggunakan konsep filtration atau penggunaan permeable paving untuk membantu penyerapan air 3 a. Sudah ada rencana pengembangan biopori yang tertera pada RTRW 4 a. Sudah ada rencana pengembangan biopori yang tertera pada RTRW b. Sudah ada penerapan pengembangan biopori pada 2 kawasan (rumah tangga dan CBD) b. Sudah ada penerapan pengembangan biopori pada >2 kawasan (rumah tangga, CBD, dan industri) a. Sudah ada rencana pengembangan konsep LID yang tertera pada RTRW a. Sudah ada rencana pengembangan konsep LID yang tertera pada RTRW b. Sudah ada penerapan konsep b. Sudah ada LID pada penerapan konsep situ/waduk/badan LID pada air dengan situ/waduk/badan menggunakan air dengan konsep treatment, menggunakan penggunaan konsep permeable paving, infiltration dan serta lebih penggunaan menggunakan soft permeable paving engineering pada untuk membantu infrastruktur air penyerapan air kota Tabel 11 Batasan skoring indikator green energy Bentuk Energi matahari Energi sampah Skoring 0 1 2 a. Tidak ada a. Tidak ada a. Sudah ada rencana rencana rencana pengembangan pengembangan pengembangan energi matahari energi matahari energi matahari yang tertera pada yang tertera yang tertera RTRW pada RTRW pada RTRW b. Terdapat 1 b. Tidak ada b. Terdapat 1 penerapan energi penerapan penerapan matahari (mis: energi matahari hanya pada PJU) (mis: hanya pada PJU) a. Tidak ada rencana pengembangan energi sampah yang tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan a. Sudah ada rencana pengembangan energi sampah, namun belum tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan 3 4 a. Sudah ada a. Sudah ada rencana rencana pengembangan energi pengembangan matahari yang tertera energi matahari pada RTRW yang tertera pada RTRW b. Terdapat > 2 penerapan energi b. Terdapat 2 matahari (PJU, panel penerapan surya RT, dan energi matahari transportasi) (mis: PJU dan panel surya di RT) a. Sudah ada rencana a. Sudah ada pengembangan rencana energi sampah yang pengembangan tertera pada RTRW energi sampah yang tertera b. Terdapat 1 pada RTRW penerapan energi sampah (mis: memanfaatkan gas metan menjadi energi listrik) b. Terdapat 2 penerapan energi sampah a. Sudah ada rencana pengembangan energi sampah yang tertera pada RTRW Terdapat > 2 penerapan energi sampah 20 Tabel 11 Batasan skoring indikator green energy (lanjutan) Energi tumbuhan a. Tidak ada a. Sudah ada rencana rencana pengembangan pengembangan energi energi tumbuhan yang tumbuhan,nam tertera pada un belum RTRW tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan b. Tidak ada penerapan Energi angin a. Tidak ada rencana pengembangan energi angin yang tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan Energi air a. Tidak ada rencana pengembangan energi air yang tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan a. Sudah ada rencana pengembangan energi angin, namun belum tertera pada RTRW a. Sudah ada rencana pengembangan energi tumbuhan yang tertera pada RTRW b. Terdapat 1 penerapan energi tumbuhan (pemanfaatan bioethanol menjadi bahan bakar alternatif transportasi) a. Sudah ada rencana pengembangan energi angin yang tertera pada RTRW b. Terdapat 1 penerapan energi angin b. Tidak ada penerapan a. Sudah ada rencana pengembangan energi air, namun belum tertera pada RTRW b. Tidak ada penerapan a. Sudah ada rencana pengembangan energi air yang tertera pada RTRW b. Terdapat 1 penerapan energi air a. Sudah ada a. Sudah ada rencana rencana pengembangan energi pengembangan tumbuhan yang tertera energi pada RTRW tumbuhan yang tertera pada b. Terdapat > 2 RTRW penerapan energi tumbuhan b. Terdapat 2 penerapan energi tumbuhan a. Sudah ada rencana pengembangan energi angin yang tertera pada RTRW b. Terdapat 2 penerapan energi angin a. Sudah ada rencana pengembangan energi air yang tertera pada RTRW a. Sudah ada rencana pengembangan energi angin yan tertera pada RTRW b. Terdapat > 2 penerapan energi angin a. Sudah ada rencana pengembangan energi air yang tertera pada RTRW b. Terdapat > 2 penerapan energi air b. Terdapat 2 penerapan energi air Tabel 12 Batasan skoring indikator green community Bentuk Partisipasi masyarakat Skoring 0 1 2 3 4 a. Tidak ada a. Sudah ada arahan a. Sudah ada a. Sudah ada a. Sudah ada rencana rencana untuk untuk rencana untuk rencana untuk untuk pengembangan mengembangka pengembangan pengembangan pengembangan partisipasi masyarakat n partisipasi partisipasi partisipasi partisipasi dan sudah tertera masyarakat dan masyarakat masyarakat dan masyarakat dan dalm RTRW tidak tertera namun belum sudah tertera sudah tertera dalam RTRW tertera dalam dalam RTRW dalam RTRW b. Sudah ada program RTRW untuk meningkatkan b. Tidak ada b. Sudah ada b. Sudah ada partisipasi penerapan b. Sudah ada program untuk program untuk masyarakat, program untuk meningkatkan meningkatkan sosialisasi sudah meningkatkan partisipasi partisipasi dilakukan secara partisipasi masyarakat, masyarakat, merata, masyarakat masyarakat, namun sosialisasi sosialisasi sudah berpartisipasi namun sosialisasi belum merata sudah secara aktif kepada dilakukan dan dilakukan masyarakat sudah ada secara merata, belum dilakukan partisipasi namun belum dan belum adanya masyarakat dilakukan partisipasi aktif namun belum secara dari masyarakat dilakukan secara keseluruhan keseluruhan 21 Tabel 12 Batasan skoring indikator green community (lanjutan) Komunitas warga a. Tidak ada a. Sudah ada arahan a. Sudah ada a. Sudah ada a. Sudah ada rencana rencana untuk untuk rencana untuk rencana untuk untuk pengembangan mengembangka pengembangan pengembangan pengembangan komunitas warga n partisipasi komunitas warga komunitas warga komunitas sebagai salah satu masyarakat dan namun belum sebagai salah satu warga sebagai upaya untuk tidak tertera tertera dalam upaya untuk salah satu menangani masalah dalam RTRW RTRW menangani upaya untuk lingkungan dan sudah masalah menangani tertera dalam RTRW b. Tidak ada b. Sudah ada lingkungan dan masalah penerapan program untuk sudah tertera lingkungan dan b. Sudah ada kerjasama meningkatkan dalam RTRW sudah tertera antara pemerintah komunitas warga, dalam RTRW dengan komunitas namun sosialisasi b. Sudah ada warga untuk kepada program untuk b. Belum adanya memperbaiki kualitas masyarakat meningkatkan kerjasama antar lingkungan belum dilakukan komunitas warga, pemerintah namun sosialisasi dengan kepada komunitas masyarakat warga belum dilakukan 22 KONDISI UMUM Sejarah Kota Bekasi Dalam catatan sejarah, nama “Bekasi” memiliki arti dan nilai sejarah yang khas. Menurut Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno), asal mula kata Bekasi secara filosofis berasal dari kata Chandrabhaga. Chandra berarti “bulan” (dalam bahasa Jawa kuno, sama dengan kata Sasi) dana Bhaga berarti “bagian”. Jadi, secara etimologis kata Chandrabhaga berarti bagian dari bulan. Kata Chandrabhaga berubah menjadi Bhagasasi yang pengucapannya sering disingkat menjadi Bhagasi. Kata Bhagasi ini dalam pelafalan bahasa Belanda seringkali ditulis “Bacassie” kemudian berubah menjadi Bekasi hingga kini. Bekasi dikenal sebagai “Bumi Patriot”, yakni sebuah daerah yang dijaga oleh para pembela tanah air. Balada kepahlawanan tersebut tertulis dengan jelas dalam setiap bait guratan puisi heroik Pujangga Besar Chairil Anwar yang berjudul “Krawang – Bekasi”. Berdasarkan UU No 14 tahun 1950, terbentuklah Kabupaten Bekasi. Kabupaten Bekasi ini memiliki wilayah yang cukup luas, dan terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut adanya Kota Administratif Bekasi. Pembentukan Kota Administratif Bekasi ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 1981. Pada awal pembentukan ini Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982 dengan walikota pertama adalah H. Soedjono. Kota Administratif Bekasi mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini tampak pada peningkatan jumlah penduduk serta tingginya aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, status Kota Administratif Bekasi diubah menjadi Kotamadya Bekasi. Hal ini diatur dalam UU No. 9 tahun 1996. Letak, Luas, dan Batas Wilayah Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi Kota Bekasi terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi menjadi salah satu daerah penyeimbang DKI Jakarta. Kota Bekasi memiliki luas ± 210,49 km2 dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km2) sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2). Secara geografi kota Bekasi berada pada posisi 106°55’ BT dan 6°7’ - 6°15’ LS dengan ketinggian antara 11 – 81 mdpl (Bekasi Dalam Angka 2011). Batas-batas wilayah administrasi yang mengelilingi wilayah kota Bekasi adalah: utara : Kabupaten Bekasi timur : Kabupaten Bekasi selatan : Kabupaten Bogor dan Kota Depok barat : Propinsi DKI Jakarta 23 Gambar 4 Peta wilayah administratif Kota Bekasi Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031 24 Sejak tahun 2001 wilayah administrasi Kota Bekasi terbagi menjadi 12 kecamatan yang terdiri dari 56 kelurahan. Tabel 13 Wilayah administrasi Kota Bekasi No Kecamatan 1 Bekasi Timur 2 Bekasi Barat 3 Bekasi Selatan 4 Bekasi Utara 5 Mustika Jaya 6 Bantar Gebang 7 Medan Satria 8 Jatiasih 9 Pondok Melati Kelurahan 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. Margahayu Bekasi Jaya Duren Jaya Aren Jaya Bintara Jaya Bintara Kranji Kota Baru Jaka Sampurna Jaka Mulya Jaka Setia Pekayon Jaya Marga Jaya Kayuringin Jaya Harapan Jaya Kaliabang Tengah Perwira Harapan baru Teluk Pucung Marga Mulya Pedurenan Cimuning Mustika Jaya Mustika Sari Ciketing Udik Sumur Batu Cikiwul Bantar Gebang 1. 2. 3. 4. Harapan Mulya Kali Baru Medan Satria Pejuang 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. Jati Sari Jati Luhur Jati Rasa Jatiasih Jati Mekar Jati Kramat Jati Murni Jati Melati 25 Tabel 13 Wilayah administrasi Kota Bekasi (lanjutan) 3. Jati Warna 4. Jati Rahayu 1. Jati Karya 2. Jatisampurna 10 Jatisampurna 3. Jati Rangga 4. Jati Ranggon 5. Jati Raden 1. Jati Makmur 2. Jati Waringin 11 Pondok Gede 3. Jati Bening 4. Jati Cempaka 5. Jati Bening Baru 1. Bojong Menteng 2. Bojong Rawalumbu 12 Rawalumbu 3. Sepanjang Raya 4. Pengasinan Sumber: Bekasi Dalam Angka 2011 Topografi Kondisi topografi relatif datar dengan kemiringan lahan 0 - 2%. Wilayah Kota Bekasi terletak pada ketinggian antara 11 – 81 mdpl (Bekasi dalam Angka 2011). Wilayah dengan ketinggian kurang dari 25 mdpl terletak pada kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Medan Satria, dan Pondok Gede. Sedangkan wilayah dengan ketinggian lebih dari 25 mdpl terletak pada Kecamatan Bantar Gebang, Jatiasih, dan Jatisampurna (Bappeda Kota Bekasi 2011). Hidrologi Kondisi hidrologi Kota Bekasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan yang terdapat di wilayah Kota Bekasi meliputi sungai/kali Bekasi dan beberapa sungai/kali kecil lainnya serta saluran irigasi yang selain digunakan untuk mengairi sawah juga merupakan sumber air baku bagi kebutuhan air minum wilayah Bekasi dan DKI Jakarta (Bappeda Kota Bekasi 2011). Jenis Tanah Struktur geologi wilayah kota Bekasi didominasi oleh Pleistocene Volcanic Facies. Struktur aluvium menempati sebagian kecil wilayah kota Bekasi bagian utara. Sedangkan struktur Miocene Sedimentary Facies terdapat di bagian timur wilayah Kota Bekasi sepanjang perbatasan dengan DKI Jakarta. Tanah di 26 Kota Bekasi didominasi oleh jenis tanah latosol dan aluvial (Bappeda Kota Bekasi 2011). Iklim dan Curah Hujan Wilayah Kota Bekasi secara umum tergolong pada iklim kering dengan tingkat kelembaban yang rendah. Penutupan lahan yang didominasi oleh bangunan (industri, perdagangan, dan pemukiman) menimbulkan kondisi lingkungan yang panas. Temperatur harian berkisar antara 24 - 33ËšC (Bappeda Kota Bekasi 2011). Sepanjang tahun 2011, hampir setiap bulan terjadi hujan di kota Bekasi. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, yaitu tercatat 858 mm dengan jumlah hari hujan 56 hari sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan September dengan jumlah curah hujan 20 mm dengan jumlah hari hujan dua hari. Total curah hujan yang tercatat sepanjang tahun 2011 adalah 4351 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 328 hari (Bekasi Dalam Angka 2011). Gambar 5 Jumlah curah hujan dan hari hujan per bulan di Kota Bekasi Sumber: Bekasi Dalam Angka 2011 Kependudukan Mayoritas penduduk Kota Bekasi adalah pendatang/migran dari daerah lain. Secara umum komposisi penduduk di Kota Bekasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang datang dari DKI Jakarta dan yang datang dari luar Jakarta, yang secara umumnya tinggal menetap di Kota Bekasi. Persebaran penduduk tertinggi terjadi pada Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 13,56% (332,040 jiwa), Pondokgede 12,20% (298.737 jiwa), Bekasi Barat 11,69% (286.135 jiwa) dan terendah di Kecamatan Jatisampurna sebesar 4,15% (101.542 jiwa). Jumlah penduduk kota Bekasi tahun 2011 menurut dinas kependudukan dan catatan sipil sebesar 2.447.930 jiwa (Bekasi Dalam Angka 2011). 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Green Planning and Design Menurut pendapat para ahli (Brutland, 1997; Holden dan Ehrlich, 1992; Stren dan Whitney, 1992; Sarageldin dan Steer; 1994 dalam Budihardjo dan Sutjarto, 2009) tentang pembangunan berkelanjutan atau kota berkelanjutan (sustainable city) adalah kota yang dalam perkembangannya mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global dengan mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya, politik, dan pertahanan keamananya tanpa mengabaikan atau mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kota Bekasi merupakan salah satu kota besar yamg terdapat pada lingkup Jabodetabek. Kota Bekasi akan tumbuh dan berkembang dikarenakan daya tarik berbagai faktor sosial-ekonomi, kelengkapan infrastruktur, dan lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan Kota Bekasi menimbulkan berbagai permasalahan seperti inefiensi pemanfaatan sumberdaya dan ruang, penurunan kualitas lingkungan, dan penurunan kualitas hidup. Untuk mengatasi persoalan tersebut, dibutuhkan suatu konsep perencanaan dan perancangan yang memperhatikan keseimbangan ekosistem, baik itu yang alami maupun terbangun. Salah satu konsepnya adalah green planning and design. Kondisi Ideal Kota Hijau Menurut Panduan Kota Hijau (2013), green planning and design merupakan suatu perencanaan dan perancangan wilayah/kota/kawasan yang memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan ruang, mengutamakan keseimbangan lingkungan alami dan terbangun dalam rangka mewujudkan kualitas ruang wilayah/kota/kawasan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Manfaat yang didapat melalui green planning and design antara lain: a. efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan ruang; b. mencegah pengembangan kota yang ekspansif-horizontal, dalam kaitannya dengan pengendalian urban sprawl; c. mampu mengantisipasi dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh perkembangan kota; d. menyediakan ruang-ruang publik yang memiliki multi fungsi (lingkungan, ekonomi, dan sosial) lebih leluasa, terencana, dan terorganisir; serta e. pengembangan ecological corridor (jejaring ruang terbuka hijau kota-wilayah) dapat lebih terintegrasi. Pengembangan rencana tata ruang wilayah suatu kota harus mengacu pada prinsip-prinsip kota hijau dan menjamin karakter kota. Dalam merumuskan rencana pola ruang harus mengacu pada prinsip: a. memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan ruang, mengutamakan keseimbangan 28 lingkungan alami dan terbangun dalam rangka mewujudkan kualitas ruang wilayah/kota/kawasan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; b. arahan pengembangan kawasan terbangun perkotaan menganut prinsip-prinsip compact city dengan maksud untuk memberikan keleluasaan dalam penyediaan ruang terbuka; dan c. alokasi untuk ruang terbuka hijau minimal 30% dimana dalam arahan pola ruangnya dibentuk sedemikian ruang, sehingga menciptakan jejaring ruang terbuka hijau (ecological corridor) yang terintegrasi. Dalam konteks hirarki, suatu penataan ruang harus tercantum dalam dokumen rencana kota, seperti rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana detil tata ruang (RDTR), masterplan, rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL), dan detail engineering design (DED). Penerapan pembangunan kota berkelanjutan (sustainable city) merupakan konsep integrasi dari nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk menghasilkan kehidupan yang sejahtera bagi manusia. Dalam aplikasi pembangunan yang berkelanjutan, ketiga elemen tersebut harus berjalan secara simultan (sejajar). Ketimpangan pembangunan akan terjadi apabila perkembangan aspek yang satu lebih tinggi dari aspek yang lain. Gambar 6 Prinsip pengembangan green planning and design 1. Compact City Compact city merupakan sebuah strategi kebijakan kota yang sejalan dengan usaha perwujudan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai sebuah sinergi antara kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran ideal sebuah kota, pengkonsentrasian semua kegiatan kota, intensifikasi transportasi publik, perwujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju peningkatan taraf dan kualitas hidup kota (Jenks 1996). Konsep compact city adalah untuk mengurangi/mengendalikan perluasan area kota yang dari waktu ke waktu semakin luas yang diakibatkan oleh urban sprawl serta usaha untuk melakukan simbiosis antara alam dan populasi tinggi, misalnya dengan pengembangan/pembangunan bangunan-bangunan vertikal sehingga kebutuhan akan ruang terbuka hijau dapat terpenuhi. 2. Mixed use development Mixed Use development merupakan keberadaan variasi kegiatan yang berbeda seperti tempat tinggal, bekerja, belanja, dan bermain yang jaraknya berdekatan dan dapat dicapai melalui berjalan kaki (Coupland, 1997). 29 Tujuannya adalah untuk mempermudah masyarakat dalam mencapai atau memenuhi kebutuhannya. Kawasan mixed use biasanya didominasi oleh kawasan perdagangan dan jasa dengan mempunyai ciri dan model tertentu, ada beberapa macam fasilitas perdagangan, baik yang bersifat tradisional maupun yang bersifat modern (Rahardian, 2003). Konsep ini berkembang karena adanya permasalahan perkotaan dalam hal pengembangan infrastruktur dan properti, seperti: a. keterbatasan lahan & nilai lahan (sistem pertanahan dan harga patokan) b. keterbatasan sumber daya (alam, manusia, buatan) c. peraturan (pertanahan, zoning regulation) d. tata nilai perkotaan (keteraturan dan ketertiban) e. urbanisasi f. penyediaan prasarana dasar (air, listrik, rumah), dan g. jumlah penduduk yang besar. 3. Kawasan Pejalan Kaki Kawasan pejalan kaki merupakan kawasan khusus bagi pejalan kaki, biasanya ditempatkan di kawasan tempat bermain anak, dipusat perbelanjaan yang sebelumnya dibuka untuk lalu lintas kendaraan yang ditutup untuk lalu lintas kendaraan, namun pada kasus-kasus tertentu ada kawasan pejalan kaki yang membolehkan kendaraan lain untuk tetap bisa masuk, seperti kendaraan yang mengantar pasokan ke pertokoan, yang biasanya waktunya sangat dibatasi, kendaraan darurat seperti pemadan kebakaran dan ambulans, dan kendaraan patroli polisi. 4. Transit Oriented Development (TOD) Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan maksimalisasi penggunaan angkutan massal dan dilengkapi jaringan pejalan kaki atau sepeda. Dengan demikian perjalanan akan didominasi dengan menggunakan angkutan umum yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan. Pengembangan bentuk TOD dapat ditandai dengan penggunaan ruang campuran (permukiman, perkantoran, serta fasilitas pendukung), kepadatan penduduk yang tinggi. Penggunaan bentuk TOD juga ditandai dengan penggunaan angkutan umum yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan serta dilengkapi dengan jaringan pejalan kaki atau sepeda. Kondisi Aktual Kota Bekasi Kota Bekasi sudah membuat dokumen rencana mengenai perencanaan dan perancangan kota yang berupa RTRW, RDTR, dan masterplan. Masterplan yang direncanakan adalah masterplan RTH, dimana saat ini masih dalam tahap penyusunan. Dokumen teknis masterplan RTH akan memuat tentang gambaran umum kota, identifikasi dan evaluasi RTH kota, analisis kebutuhan RTH dan RTNH kota dalam satu sistem perencanaan, rencana pembangunan RTH dan RTNH perkotaan yang menyatu, program dan pengembangan RTH untuk 20 tahun ke depan, serta draft peraturan walikota tentang perwujudan RTH 30%. 30 Berdasarkan penatan ruang wilayah Kota Bekasi melalui RTRWK, tujuan penataan ruang wilayah Kota Bekasi adalah sebagai tempat hunian dan usaha yang kreatif yang nyaman dengan peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan. Dalam perencanaan kota, Kota Bekasi berfokus kepada pembuatan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan rencana pengembangan kawasan strategis. Dimana rencana struktur ruang merupakan rencana penyusunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Rencana struktur ruang wilayah Kota Bekasi terdiri dari sistem pusat pelayanan kota dan sistem jaringan prasarana kota. Di dalam rencana sistem pusat pelayanan, Kota Bekasi membagi menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah pusat pelayanan kota (PPK), wilayah sub pusat pelayanan kota (SPPK), dan wilayah pusat pelayanan lingkungan (PPL). Wilayah pusat pelayanan kota (PPK) adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial, dan administrasi yang melayani seluruh sub wilayah kota. Penetapan PPK di Kota Bekasi berada di sebagian wilayah Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara, Bekasi Timur, Rawalumbu, dan Bekasi Selatan yang meliputi kawasan Jalan Sudirman – Juanda – Cut Meutia – Ahmad Yani dengan fungsi sebagai pusat pelayanan pemerintahan, kesehatan, pendidikan tinggi, pusat perdagangan, pusat hiburan dan rekreasi. Kota Bekasi juga menetapkan sub pusat pelayanan kota (SPPK) yang merupakan pusat pelayanan ekonomi, sosial, dan administrasi yang melayani seluruh sub wilayah kota. Tabel 14 Pembagian sub pusat pelayanan Kota Bekasi SPPK Lokasi Pelayanan Fungsi Pondok Gede 1. 2. 3. 4. 5. Jaticempaka Jatibening Baru Jatibening Jatiwaringin Jatimakmur Pusat pemerintahan, perdagangan skala grosir dan retail berkelompok, jasa, dan pendidikan. Bekasi Utara 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kaliabang Tengah Harapan Jaya Perwira Teluk Pucung Harapan Baru Margamulya Pusat pemerintahan, pusat permukiman, dan pusat perdagangan. Jatisampurna 1. 2. 3. 4. 5. Jatisampurna Jatirangga Jatiraden Jatikarya Jatiranggon Pusat permukiman skala besar dan pusat perdagangan. Mustikajaya Mustikasari Pedurenan Cimuning Pusat pemerintahan, pusat industri dan jasa pergudangan, pusat permukiman skala besar, dan pusat prasarana persampahan (TPPAS Bantargebang) Mustikajaya 1. 2. 3. 4. 31 Selain menetapkan wilayah PPK dan SPPK, Kota Bekasi juga menetapkan wilayah pusat pelayanan lingkungan (PPL) merupakan pusat pelayanan ekonomi, sosial, dan administrasi lingkungan kota. Penetapan PPL oleh pemerintah Kota Bekasi terdapat pada Kelurahan Medan Satria, Bojong Rawalumbu, Jaka Setia, Bintara, Jatirasa, Jatiwarna, dan Bantargebang dengan fungsi sebagai pusat pelayanan pemerintahan dan perdagangan dengan skala pelayanan kelurahan atau lingkungan perumahan. Kota Bekasi juga merencanakan sistem jaringan prasarana kota yang meliputi rencana pengembangan sistem transportasi darat, rencana pengembangan sistem jaringan energi gas dan listrik, rencana pengembangan sistem telekomunikasi, rencana pengembangan sistem jaringan sumberdaya air, serta rencana pengembangan infrastruktur kota. Rencana pengembangan sistem transportasi darat meliputi pengembangan sistem jaringan jalan (pembangunan jalan yang melintasi atau berada di Kota Bekasi, pengembangan jaringan jlaan dalam kota dengan peningkatan jalan dan pembangunan jalan baru, penanganan persimpangan sebidang dan tidak sebidang, dan pengembangan terminal), pengembangan manajemen lalu lintas (penanganan parkir, pengembangan sistem angkutan umum, dan pengaturan lalu lintas), serta sistem jaringan kereta api. Selain itu, pemerintah juga merencanakan pengembangan jaringan energi gas dan listrik meliputi jaringan pipa distribusi gas, penataan jaringan energi gas melalui jaringan terpadu bawah tanah, penataan jaringan listrik di kawasan pusat pelayanan kota dan sub pusat pelayanan kota melalui jaringan terpadu bawah tanah, dan penataan dan pengaman jaringan listrik yang ada di kawasan perumahan. Kemudian, rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi meliputi pentaan jaringan telekomunikasi di kawasan pusat pelayanan kota dan sub pusat pelayanankota, pengembangan BTS terpadu, dan pengembangan sistem jaringan teknologi informasi yang terjangkau dan merata di seluruh wilayah kota. Rencana sistem jaringan sumberdaya air meliputi sungai lintas kabupaten/kota (Kali Cikeas, Kali Cileungsi, Kali Bekasi, Kali Sunter, dan Kali Cakung), situ (Situ Rawalumbu, Situ Rawa Gede, dan Situ Rawa Pulo), dan saluran Tarum Barat (Kalimalang) sebagai sumber utama air baku untuk air minum. Sedangkan rencana pengembangan infrastruktur perkotaan meliputi pengembangan jaringan drainase dan pengendali banjir, penyediaan air minum, pengelolaan sampah, pengelolaan limbah, jaringan penerangan jalan umum, jaringan pejalan kaki, serta jalur evakuasi bencana dan sistem pemadam kebakaran. 32 Gambar 7 Peta rencana struktur ruang Kota Bekasi Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031 33 Selain rencana struktur ruang, Kota Bekasi juga merencanakan pola ruang kota. Dimana rencana pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rencana pengembangan kawasan lindung di Kota Bekasi dibagi menjadi kawasan perlindungan setempat dan RTH kota. Kawasan perlindungan setempat di Kota Bekasi meliputi sempadan sungai, sempadan situ, dan kawasan lainnya. Rencana pengelolaan pada sempadan sungai dilakukan di Kali Cikeas, Kali Cileungsi, Kali Bekasi, Kali Sunter, Kali Cakung, dan Bantaran Sungai Cikiwul. Adapun rencana pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bekasi pada kawasan sempadan sungai, diantaranya rehabilitasi, memperbanyak keragaman tanaman pohon serta melarang pemanfatan lahan di sepanjang sempadan sungai sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Rencana pengelolaan yang dilakukan pemerintah Kota Bekasi pada sempadan situ, yaitu rehabilitasi, memperbanyak keragaman tanaman pohon serta pengawasan dan pengendalian pemnafaatan ruang sekitar situ. Rencana pengelolaan pada kawasan lainnya adalah ditetapkan sebagai tampungan air dan pengendali banjir. Rencana pengembangan ruang terbuka hijau terdiri atas komponen RTH kota, yang terdiri dari kawasan penyangga (buffer zone), hutan kota, taman kota, taman lingkungan, taman rekreasi, tempat pemakaman umum, lapangan oleh raga, sempadan jalan, sempadan sungai, pulau jalan, sempadan instalasi berbahaya, sempadan rel kereta api, taman halaman gedung, taman persil, dan lahan pekarangan. Sedangkan untuk rencana pengembangan kawasan budidaya terdiri dari pengembangan kawasan peruntukan industri, pengembangan kawasan peruntukan perumahan, pengembangan kawasan peruntukan perdagangan dan jasa, pengembangan kawasan peruntukan pariwisata dan rekreasi perkotaan, pengembangan kawasan pertambangan gas, ruang terbuka non hijau kota, ruang evakuasi bencana, pengembangan kawasan peruntukan bagi kegiatan sektor informal, serta pengembangan kawasan peruntukan lainnya. Pengembangan kawasan peruntukan lainnya dapat berupa sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, dan sarana pemerintahan. 34 Gambar 8 Pola ruang Kota Bekasi Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031 35 Selanjutnya rencana pengembangan kawasan strategis Kota Bekasi dilakukan dengan memperhatikan KSN Kawasan Perkotaan Jabodetabek – Punjur. Kawasan strategis kota (KSK) merupakan wilayah yang penatan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Penetapan kawasan strategi di Kota Bekasi meliputi KSK pusat kota, dengan sudut kepentingan ekonomi skala kota dan regional; KSK Mustikajaya dan Bantargebang, dengan sudut kepentingan ekonomi berbasis industri teknologi tinggi; serta KSK Jatisampurna, dengan sudut kepentingan pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi. Analisis dan evaluasi Perencanaan Kota Bekasi sudah memiliki perkembangan yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari pembagian wilayah Kota Bekasi kedalam wilayah pusat pelayanan kota (PPK), sub pusat pelayanan kota (SPPK), dan kawasan strategis kota. Dengan adanya pembagian wilayah kota diharapkan akan mengurangi pergerakan masyarakat ke pusat kota. Bentuk penerapan compact city dan kawasan pejalan kaki belum diterapkan di Kota Bekasi, namun beberapa bentuk sudah direncanakan oleh pemerintah Kota Bekasi, diantaranya mixed use dan TOD. Tabel 15 Evaluasi bentuk penerapan green planning and design di Kota Bekasi Skoring (a) Gambar Bentuk Evaluasi 0 1 2 3 4 Compact Pembangunan di Kota Bekasi City umumnya masih dilakukan secara horizontal. Namun pemerintah kota sudah merencanakan pembangunan secara vertikal dalam suatu √ kawasan. Dengan adanya pembangunan vertikal maka alokasi ketersediaan RTH akan semakin bertambah. Mixed use development Pengembangan produk mixed use sudah dikembangkan pada kawasan perdagangan dan jasa, namun masih berupa dua produk properti. Untuk pengembangan mixed use lebih lanjut saat ini masih dalam proses pembangunan. √ 36 Tabel 15 Evaluasi bentuk penerapan green planning and design di Kota Bekasi (lanjutan) Kawasan Saat ini di Kota Bekasi sudah Pejalan tersedia jalur pejalan kaki, Kaki namun belum membentuk suatu √ kawasan. Transit Oriented Development (TOD) Di dalam RTRW Kota Bekasi, pengembangan TOD akan diarahkan pada kawasan yang memiliki aksesibilitas angkutan umum massal yang tinggi, terutama pada lokasi yang berdekatan dengan terminal. Nilai penerapan total (Xt) Nilai maksimal (Xmax) √ 2 (b) 16 (c) % penerapan green planning and design di Kota Bekasi adalah 12.5% (d) a Keterangan skoring terdapat pada tabel 5 Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn c Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal nilai penerapan total (Xt ) d % bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100% b Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green planning and design di Kota Bekasi adalah 12.5%. Pengembangan pembangunan vertikal di Kota Bekasi sudah dilakukan pada kawasan permukiman, pemerintahan, perkantoran, dan perdagangan dan jasa. Dengan adanya pembangunan vertikal diharapkan alokasi untuk ketersedian RTH di Kota Bekasi akan semakin bertambah. Selain itu, pemerintah juga sudah merencanakan pengembangan mixed use development pada kawasan perdagangan dan jasa. Kawasan campuran yang sudah dikembangkan di Kota Bekasi meliputi rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan), apartement, hotel atau penginapan. Dalam RDTR Kota Bekasi 2011 – 2031, pengembangan kawasan campuran akan diarahkan pada kawasan perdagangan dan jasa yang berada di Pusat Kota, Bekasi Utara, dan Pondok Gede. Selain itu, pengembangan produk mixed use lebih lanjut yang akan dikembangkan di Kota Bekasi terdiri dari shopping mall, apartment, condohotel, ballroom, office, dan rumah sakit. Dengan adanya pengembangan produk mixed use akan menyelesaikan permasalahan pengembangan properti pada suatu wilayah perkotaan. Saat ini pemerintah Kota Bekasi masih merencanakan pengembangan jaringan pejalan kaki yang dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat Kota Bekasi dengan aman dan nyaman. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031, rencana pengembangan Transit Oriented Development (TOD) di Kota Bekasi akan dikembangkan untuk kawasan pada simpul-simpul jalur angkutan umum massal yang memiliki aksesibilitas tinggi. Pengembangan TOD diarahkan pada lokasi yang berdekatan dengan sarana transportasi dan pengembangannya akan dilakukan pada Stasiun Kranji di Kelurahan Kranji, Terminal Bekasi, dan Stasiun 37 Kebun Paya di Kelurahan Margahayu. Diharapkan rencana pengembangan TOD diharapkan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di Kota Bekasi. Gambar 9 Rencana pengembangan sarana transportasi Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 - 2031 38 Green Open Space Green Open Space merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut. Menurut Joga dan Ismaun (2011), Keberadaan RTH perkotaan dapat menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain. RTH sangat diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara bersih bagi masyarakat serta menciptakan estetika kota. Berkurangnya RTH di perkotaan berdampak pada keseimbangan ekosistem kota dengan indikasi penurunan kualitas lingkungan perkotaan, seperti banjir dan meningkatnya pencemaran udara. Tujuan pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah perkotaan adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, dan bersih, sebagai sarana lingkungan perkotaan, yaitu menciptakan keserasian lingkungan alami dan buatan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, dan menciptakan kota yang sehat dan berkelanjutan (liveable, habitable, sustainable) (Joga dan Ismaun 2011). Kondisi Ideal Kota Hijau Berdasarkan undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang dijelaskan bahwa proporsi luas RTH minimal adalah 30% dari luas kota. RTH tersebut terdiri dari 20% dikelola pemerintah daerah dan 10% dikelola oleh swasta atau masyarakat. Luas RTH 30% bertujuan untuk menyeimbangkan ekosistem kota, baik sistem hidrologi, klimatologi untuk menjamin udara bersih, maupun sistem ekologis lainnya, termasuk menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan estetika kota. Tujuan dari keberadaan RTH di wilayah perkotaan adalah untuk meningkatkan lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih, dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan serta menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat. Manfaat dari RTH di wilayah perkotaan adalah: a. memberi kesegaran, kenyamanan, keindahan lingkungan sebagai paru-paru kota; b. mencerminkan identitas daerah; c. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan; d. sebagai tempat hidup satwa dan melindungi plasma nutfah; e. sebagai area resapan air, guna menjaga keseimbangan tata air, mengurangi aliran air permukaan (banjir), menangkap dan menyimpan air, menjaga keseimbangan tanah agar kesuburan tanah tetap terjamin; f. sebagai sirkulasi udara dalam kota; dan g. sebagai sarana dan prasarana kegiatan rekreasi. 39 Adapun fungsi green open space pada kawasan perkotaan terdiri dari fungsi ekologis, fungsi sosial budaya, fungsi ekonomi, dan fungsi estetika. a. Fungsi ekologis RTH di kawasan perkotaan dapat dijadikan sebagai penjaga kualitas lingkungan perkotaan. Dengan adanya penghijauan maka RTH dapat berfungsi sebagai paru-paru kota, ameliorasi iklim, penyerap air hujan, sebagai peneduh, penyedia habitat satwa, penahan angin, penyerap polutan udara, air, dan tanah, serta pelembut arsitektur bangunan. b. Fungsi sosial budaya RTH di kawasan perkotaan dapat dijadikan sebagai tempat berinteraksi atau bersosialisasi bagi masyarakat kota, seperti olahraga, rekreasi, bermain, menunggu, dan melakukan kegiatan atau acara di perkotaan. Selain itu, RTH di perkotaan dapat dijadikan landmark dari sebuah kota. c. Fungsi ekonomi Memanfaatkan sumber produk yang dapat dijual seperti tanaman bunga, buah, daun, dan sayur, serta dapat menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan d. Fungsi estetika Meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota, baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan permukiman) maupun makro (kawasan kota), pembentuk faktor keindahan arsitektural, menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Secara fisik, RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami dan RTH binaan. RTH alami terdiri atas daerah hijau yang masih alami (wilderness areas), daerah hijau yang dilindungi agar tetap dalam kondisi alami (protected areas), dan daerah hijau yang difungsikan sebagai taman publik tetapi tetap dengan mempertahankan karakter alam sebagai basis tamannya (natural park areas). Sedangkan untuk RTH binaan terdiri atas daerah hijau di perkotaan yang dibangun sebagai taman kota (urban park areas), daerah hijau yang dibangun dengan fungsi rekreasi bagi warga kota (recreational areas), dan daerah hijau antar bangunan maupun halaman bangunan yang digunakan sebagai area penghijauan (urban development open spaces). Selain itu, adapun pembagian RTH dari berbagai literatur atau kepustakaan yang telah dilakukan yang terdiri dari taman lingkungan, taman kota, hutan kota, tempat pemakaman umum, jalur hijau, dan pertanian perkotaan. 1. Taman lingkungan Taman lingkungan merupakan taman yang berada disekitar perumahan atau kelurahan. Taman ini disediakan untuk melayani jumlah penduduk tertentu. Menurut fungsinya, taman lingkungan dapat dibedakan menjadi taman lingkungan aktif dan pasif. Taman lingkungan dapat dikatakan aktif apabila para pengunjung atau pengguna taman dapat beraktifitas secara leluasa di dalam area taman, sedangkan taman pasif adalah apabila pengguna taman hanya daat menikmati dan melihat taman serta tidak melakukan aktifitas fisik apapun. 40 2. Taman kota Taman Kota merupakan taman yang berada di pusat kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani seluruh atau sebagian masyarakat kota, berolahraga, pameran pembangunan atau kegiatan lainnya yang memiliki skala kota. 3. Hutan kota Hutan Kota merupakan komunitas vegetasi berupa pohon yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, berbentuk jalur-jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk). Struktur hutan kota menyerupai hutan alami, dapat dijadikan habitat bagi satwa liar dan dapat menciptakan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk, dan estetis. Hutan kota dapat berperan dalam memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, serta mendukung pelestarian keanekaragaman hayati. Manfaat dari hutan kota adalah dapat dijadikan pariwisata alam, tempat rekreasi atau olahraga, tempat penelitian atau pendidikan, serta dapat dijadikan tempat pelestarian plasma nutfah. 4. Tempat pemakaman umum Tempat pemakaman merupakan fasilitas sosial yang disediakan pemerintah untuk melayani masyarakat dalam hal penguburan serta aktifitas ritual lainnya. Dilihat dari fungsi sosial maka pemakaman adalah ruang terbuka untuk umum, sehingga sangat memungkinkan memiliki fungsi ganda sebagai RTH, khususnya berperan seperti halnya taman pasif. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah sulitnya dalam penyediaan pemakaman pada kota besar di Indonesia. Permasalahan ini harus diatasi dengan merubah desain makam pada bentuk makam untuk memperkuat fungsi RTH dengan daya tampung makam menjadi lebih banyak. Untuk menegmbalikan TPU sebagai RTH kota, maka makam dengan bangunan beton harus dirubah menjadi makam tanpa beton. Model makam tanpa gundukan tanah dapat meningkatkan fungsi RTH TPU, serta meningkatkan daya tampung makam. 5. Jalur hijau Jalur hijau merupakan RTH berbentuk memanjang mengikuti jalan, sungai atau jaringan utilitas lainnya dan fungsi tertentu di perkotaan. Secara struktural jalur hijau berfungsi untuk membatasi jalan, sungai, dan jaringan utilitas lainnya dari gangguan berbagai aktifitas perkotaan atau meningkatkan keamanan bagi masyarakat terhadap dampak negatif dari jaringan yang dibatasinya. Secara fungsional jalur hijau merupakan tempat tumbuh berbagai jenis tumbuhan yang berperan sebagai pembatas perkembangan kota, serta menjadi jalur penghubung antara RTH di perkotaan sehingga membentuk konektifitas antara satu RTH dengan RTH lainnya baik di dalam maupun di tepian kota. 6. Pertanian perkotaan Pertanian perkotaan merupakan kegiatan memanfaatkan sudut-sudut, tepi sungai di lingkungan/ di kota sebagai area berkebun. Kota dapat mendorong dan mengajak warganya untuk memanfaatkan lahan kosong untuk dijadikan 41 kebun perkotaan. Kebun perkotaan dapat menjadikan masyarakat aktif dan terlibat dalam kegiatan di luar ruangan. Manfaat yang didapatkan dari pertanian perkotaan adalah: a. menghubungkan warga kota untuk sistem pangan, masyarakat kota dapat memproduksi makanan dari pertanian perkotaan tersebut; b. menyediakan RTH dan rekreasi, lahan-lahan perkotaan yang kosong dapat diubah menjadi kawasan pertanian dan tempat rekreasi sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat kota; c. memberikan manfaat ekologi dan infrastruktur hijau, dimana lahan tersebut dapat menyerap air hujan, sebagai ameliorasi iklim, dan menyediakan habitat bagi serangga dan burung; dan d. meningkatkan akses pangan, kesehatan masyarakat, dan berotensi sebagai pembangunan ekonomi kota. Kondisi Aktual Kota Bekasi Berdasarkan kepemilikan, RTH yang terdapat di Kota Bekasi dapat dibedakan menjadi RTH publik dan RTH privat. RTH publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah maupun pusat. RTH publik di Kota Bekasi terdiri dari sempadan sungai, sempadan situ, sempadan jalan, sempadan rel kereta api, taman, hutan kota, lapangan olahraga, dan tempat pemakaman umum. Selain RTH publik, Kota Bekasi juga memiliki RTH privat yang merupakan ruang terbuka yang dimiliki oleh swasta ataupun perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa pekarangan, halaman rumah ataupun gedung milik swasta maupun masyarakat. Ruang terbuka hijau yang terdapat di Kota Bekasi belum mencapai 30% dari luas Kota Bekasi. Saat ini luas RTH yang terdapat di Kota Bekasi mencapai 774 ha atau sekitar 11%, dengan cakupan RTH publik sebesar 3.55% dan RTH privat sebesar 7.4%. Untuk memenuhi RTH 30% pada dasarnya Kota Bekasi harus memiliki luasan RTH sebesar 6 314.7 ha. Oleh karena itu, Kota Bekasi perlu menambah luasan RTH sebesar 5 540.7 ha atau sekitar 19% dari luas Kota Bekasi. Dalam merealisasikan RTH 30%, pemerintah kota melakukan upaya memperluas RTH melalui konsolidasi lahan, mengembangkan RTH di sekeliling zona Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Bantargebang, mengembalikan fungsi RTH yang telah berubah menjadi fungsi lain, revitalisasi RTH, penyediaan taman kota, taman lingkungan, hutan kota, sabuk hijau, jalur hijau jalan, serta meningkatkan jumlah RTH privat melalui penetapan KDH minimal 10% pada setiap kavling lahan. Ketersediaan RTH publik pada kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa, permukiman, dan industri umumnya masih sedikit dan kondisi taman kurang memadai, sedangkan pada kegiatan industri, perdagangan dan jasa yang berkembang di Kota Bekasi umumnya tidak menyediakan taman, baik berupa taman bermain, taman lingkungan atau berupa buffer zone guna memisahkan antar kegiatan industri dengan kegiatan lainnya. Selain RTH publik, ketersediaan RTH privat yang dikembangkan oleh pihak swasta umumnya terdapat pada kawasan permukiman dan kondisinya sudah memadai. 42 1. Taman lingkungan Taman lingkungan di Kota Bekasi hanya terdapat pada kecamatan Bekasi Barat dan Medan Satria, dengan kelurahan Kotabaru, Kalibaru, Harapan Mulya, Kelurahan Bintara, Medan Satria, Pejuang, Jakasampurna, Kranji, dan Bintara Jaya. Ketersediaan taman lingkungan yang terdapat di Kota Bekasi dan terkelola dengan baik umumnya dikembangkan oleh pihak swasta. Taman lingkungan yang dikembangkan oleh pihak swasta terdapat pada kawasan perumahan, komersil, dan industri. Sedangkan taman lingkungan yang disediakan oleh pemerintah hanya terdapat pada beberapa kawasan perumahan dan memiliki kondisi yang berbeda-beda tergantung dana pemeliharaan yang tersedia, umumnya dilakukan oleh swasembada masyarakat. 2. Taman kota Taman kota di Kota Bekasi terdapat di sembilan titik, yaitu di Jalan Cut Mutia, Jalan Hasibuan, Jalan KH. Noer Ali, Taman Bulan-bulan, Jalan Ahmad Yani, Jaka Sampurna, Tol Timur, Jalan Juanda, dan Alun-alun. Alun-alun biasanya merupakan sebidang tanah lapang yang sekelilingnya ditanami pohon pelindung. Umumnya fasilitas yang terdapat di sekitar alun-alun berupa masjid, pusat pemerintahan, dan fasilitas umum kota lainnya. Alun-alun Kota Bekasi berfungsi sebagai salah satu taman kota yang memiliki fasilitas olahraga sepak bola dan tenis, taman terbuka, dan plaza. Di sebelah barat terdapat masjid AlBarkah dan di sebelah timur terdapat RSUD Bekasi. Sebagai taman kota, kondisi alun-alun Bekasi masih apa adanya, seperti kurangnya penanaman pohon besar dan masih banyak terdapat area terbuka. Alun-alun Bekasi masih belum memberikan identitas bagi Kota Bekasi. Pada beberapa area sudah ditumbuhi oleh beberapa pohon besar, namun masih banyak area terbuka dengan kondisi tidak tertutupi rumput (tanah terbuka). Gambar 10 Kondisi alun-alun Kota Bekasi 3. Hutan kota Hutan kota yang terdapat di Kota Bekasi memiliki luas sebesar 150 ha. Keberadaan hutan kota tersebut belum menyebar keseluruh bagian wilayah Kota Bekasi, hanya terdapat di empat kecamatan. Diantaranya, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi Timur, Jati Asih, dan Jatisampurna. Hutan kota yang terdapat di Kota Bekasi memiliki bentuk menyebar, dimana hutan kota tersebut tidak mempunyai pola bentuk tertentu dengan komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil. Salah satu hutan kota yang terdapat di Kota Bekasi terletak pada Bumi Perkemahan Bina Bangsa. Hutan kota tersebut sudah banyak ditanami oleh pepohonan, namun masih terdapat area yang gundul akibat sering digunakan oleh aktifitas masyarakat. 43 4. Tempat pemakaman umum (TPU) Luas TPU yang terdapat di Kota Bekasi baru mencapai 54.88 ha. Untuk kedepannya, Dinas Pertamanan, Pemakaman, dan Penerangan Jalan Umum Kota Bekasi akan menambah luasan RTH sebesar 84.50 ha. Saat ini, keberadaan TPU hanya terdapat pada tujuh kecamatan, yang berlokasi di TPU Medan Satria, TPU Mustikasari, TPU Pendurenan, TPU Pereng, TPU Perwira, TPU Rawalodar, dan TPU Sumur Batu. Kondisi pemakaman sebagian sudah ramah lingkungan (tidak menggunakan perkerasan) sementara sebagian lagi masih menggunakan perkerasan pada makam-makamnya. Umumnya makam lama masih menggunakan perkerasan, serta pola penanaman vegetasi belum teratur dan ketersediaan PJU masih kurang. Pada area makam lama ditumbuhi pohon-pohon besar, sementara pada area makam baru masih dilakukan penanaman pohon, sebagian masih berukuran kecil dan pendek. Gambar 11 Tempat pemakaman umum Kota Bekasi Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum (2013) 5. Jalur hijau a. Jalur hijau Situ dan Sungai Sempadan Situ yang terdapat di Kota Bekasi saat ini mencapai 23.4 ha. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031, pemerintah Kota Bekasi sedang melakukan rencana pengelolaan daerah sekitar Situ sebagai kawasan perlindungan setempat, salah satunya adalah memperbanyak keragaman tanaman pohon serta pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang sekitar situ. Selain sempadan situ, sempadan sungai di Kota Bekasi juga sudah menyebar diseluruh kecamatan. Luasan eksisting sempadan sungai di Kota Bekasi adalah 609.32 ha. Pemerintah Kota Bekasi juga melakukan rencana pengelolaan sempadan sungai sebagai kawasan perlindungan setempat, seperti yang tercantum dalam RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031, salah satunya memperbanyak keragaman tanaman pohon serta melarang pemanfaatan lahan disepanjang sempadan sungai. Jalur hijau pada tepi sungai di Kota Bekasi diperkeras dengan batu kali. Pada salah satu tepinya dibatasi jalur hijau yang langsung berbatasan dengan jalan raya. 44 b. Jalur hijau jalan Kondisi jalur hijau jalan pada Kota Bekasi umumnya sudah dilakukan perkerasan solid maupun semi solid. Hal tersebut mengakibatkan ruang tersebut tidak dapat ditumbuhi tanaman dan tidak dapat menyerap air hujan. Ruang terbuka non hijau seperti ini rata-rata terdapat di pusat pergerakan ekonomi ataupun di pusat kota yang terdapat di sepanjang jalan Ir. H. Juanda. Ruang terbuka hijau pada sempadan jalan yang masih dapat ditumbuhi tanaman terdapat pada sub pusat pelayanan (SPP) Mustika Jaya. Pada daerah tersebut, sempadan jalan sebagian sudah dilakukan perkerasan namun sebagian masih berupa lahan terbuka yang masih dapat dimanfaatkan sebagai jalur hijau. Selain itu, jalur hijau jalan juga dijadikan sebagai tempat pemberhentian angkutan umum dan tempat warung kaki lima sehingga kondisi jalur hijau jalan menjadi terlihat tidak rapi. Gambar 12 Jalur hijau jalan Kota Bekasi 6. Pertanian perkotaan Penggunaan lahan terbangun di Kota Bekasi lebih besar dibandingkan lahan tidak terbangun. Penggunaan lahan terbangun sebagian besar digunakan sebagai lahan perumahan yang lokasinya sebagian besar berada pada wilayah utara Kota Bekasi, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara. Sedangkan lahan tidak terbangun atau lahan kosong yang terdapat pada Kota Bekasi terdapat di wilayah bagian selatan Kota Bekasi, yaitu Kecamatan Jatiasih, Jatisampurna, Bantargebang, dan Mustikajaya. Sebagian besar wilayah tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian berupa tegalan, kebun campuran, dan sawah. 45 Gambar 13 Alokasi RTH Kota Bekasi Sumber: RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031 46 Analisis dan evaluasi Luas RTH di Kota Bekasi baru mencapai 774 ha atau sekitar 11% dari luas Kota Bekasi, dengan luas RTH publik 3.55% dan RTH privat 7.4%. Untuk memenuhi RTH 30% seperti yang telah diamanatkan UU no. 26 tahun 2007, maka Kota Bekasi perlu menambah luasan RTH sebesar 5 540.7 ha atau sekitar 19% dari luas Kota Bekasi. Ketersediaan RTH umumnya masih belum menyebar di seluruh bagian wilayah Kota Bekasi. Seharusnya pengembangan RTH dilakukan menyebar agar keseimbangan ekologis kota tetap terjaga. Bentuk dari green open space yang terdapat di Kota Bekasi terdiri dari taman lingkungan, taman kota, hutan kota, tempat pemakaman umum, jalur hijau, dan pertanian perkotaan. Tabel 16 Evaluasi bentuk penerapan green open space di Kota Bekasi Skoring (a) Gambar Bentuk Evaluasi 0 1 2 3 4 Taman Taman lingkungan Lingkungan yang berada di Kota Bekasi umumnya terdapat di lingkungan √ perumahan dan banyak dikembangkan oleh pihak swasta. Taman Kota Kondisi taman kota di Kota Bekasi masih kurang dalam penanaman pohon besar dan sebagian area masih dalam kondisi tanah terbuka. Saat ini taman kota di Kota Bekasi berjumlah 9 buah. Hutan Kota Luasan hutan kota di Kota Bekasi adalah 150 ha. Untuk kedepannya, pemerintah merencanakan untuk menambah luasan hutan kota sebanyak 465.33 ha. √ √ 47 Tabel 16 Evaluasi bentuk penerapan green open space di Kota Bekasi (lanjutan) Tempat Luasan TPU di Pemakaman Kota Bekasi sudah Umum mencapai 54.88 ha. Kondisi TPU sudah ramah lingkungan (tidak menggunakan √ perkerasan), namun masih kurang dalam penyediaan PJU pola tanam vegetasi tidak teratur. Jalur Hijau Kondisi jalur hijau yang ada pada Kota Bekasi khususnya di pusat kota sebagian besar sudah didominasi oleh perkerasan dan bangunan. Pertanian Perkotaan √ Lahan kosong untuk pertanian umumnya dikembangkan di bagian selatan Kota Bekasi. Sebaiknya √ pengembangan pertanian perkotaan dilakukan menyebar di bagian wilayah Kota Bekasi lainnya. Nilai penerapan total (Xt) 11 (b) Nilai maksimal (Xmax) 24 (c) % penerapan green open space di Kota Bekasi adalah 45.8% (d) a Keterangan skoring terdapat pada tabel 6 Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn c Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal nilai penerapan total (Xt ) d % bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100% b 48 Berdasarkan hasil skoring, penerapan green open space di Kota Bekasi adalah 45.8%. Taman lingkungan di Kota Bekasi umumnya banyak terdapat pada kawasan perumahan, sebaiknya taman lingkungan tidak hanya diterapkan pada kawasan perumahan, namun juga diterapkan pada kawasan CBD dan industri. Taman kota di Kota Bekasi sebaiknya dapat menampung kebutuhan bagi masyarakat kota. Oleh karena itu, diperlukan fasilitas dan utilitas pendukung yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Hutan kota sudah banyak ditanami oleh pepohonan. Namun, masih ada area yang gundul akibat sering digunakan oleh aktifitas masyarakat. Hutan kota dapat menjadi salah satu tujuan rekreasi dan fasilitas kegiatan bagi masyarakat Kota Bekasi. Masyarakat Kota Bekasi masih banyak yang melakukan pemakaman di sekitar area permukiman mereka akibat terlalu jauhnya lahan pemakaman dari kawasan tempat tinggal mereka. Hal ini menunjukan bahwa pelayanan TPU belum menyentuh seluruh warga Bekasi. TPU hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan sosial oleh masyarakat kota serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung. Perlakuan perkerasan pada tepian sungai dapat memusnahkan sebagian ekosistem tepian perairan yang menjadi habitat bagi belut, serangga, kadal, dan sebagainya. Sebaiknya pada bagian tepian sungai ditumbuhi semak yang dapat hidup di tepian air. Tanaman ini akan turut membantu dalam pembentukan ekosistem baru pada tepian sungai. Tanaman ini juga akan memberikan nutrisi bagi air sungai yang sangat penting bagi pembentukan ekosistem air. Jalur hijau yang terdapat pada sempadan jalan umumnya juga sudah dilakukan perkerasan. Ruang terbuka seperti ini sudah tidak dapat ditumbuhi tanaman ataupun menyerap air. Untuk menciptakan jalur hijau jalan yang menggunakan perkerasan, dapat dilakukan dengan penggunaan tanaman pada planter box. Pada bagian wilayah selatan Kota Bekasi pembangunan masih relatif belum banyak dan masih dapat ditemukan lahan-lahan kosong atau belum terbangun, sehingga memiliki potensi RTH yang tinggi. Lahan-lahan kosong tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tegalan, kebun campuran, dan sawah yang dimanfaatkan oleh masyarakat disekitarnya. Meskipun dalam RTRW beberapa bagian kawasan akan dikembangkan menjadi kawasan permukiman namun penyediaan RTH masih dapat dilakukan dengan mengikuti arahan pemerintah. Setiap perumahan baru dapat menyediakan RTH skala lingkungan serta pembangunan RTH dengan luasan yang lebih seperti taman kota dan hutan kota dapat dirahkan pada bagian wilyah selatan Kota Bekasi. Pengembangan RTH sebaiknya dilakukan secara menyebar disetiap wilayah Kota Bekasi. Pengembangan RTH masih dapat dilakukan pada bagian selatan Kota Bekasi karena masih memiliki banyak lahan kosong. Sedangkan untuk bagian wilayah utara Kota Bekasi sudah didominasi oleh pembangunan. Namun, pembangunan RTH masih dapat dilakukan di bagian wilayah utara Kota Bekasi dengan memanfaatkan vertical garden atau roof garden. Berdasarkan RTRW, pemerintah akan merencanakan pembangunan vertikal pada suatu kawasan, sehingga lahan kosong tersebut dapat dimanfaatkan sebagai penggunaan RTH. 49 Green Building Menurut GBC Indonesia dalam Panduan Kota Hijau (2013), green building adalah bangunan baru ataupun bangunan lama, yang direncanakan dibangun, dan dioperasikan dengan memperhatikan faktor-faktor keberlanjutan lingkungan. Suatu bangunan yang memiliki konsep bangunan hijau apabila perencanaan, pembangunan, pengoperasian, serta pemeliharaan bangunan tersebut memperhatikan aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, mengurangi penggunaan sumber daya alam, menjaga mutu baik bangunan maupun mutu dari kualitas udara di dalam ruangan, dan memperhatikan kesehatan penghuninya. Tujuan dasar konsep green building adalah: a. meminimalkan atau mengurangi pengunaan sumberdaya alam; b. meningkatkan efisiensi energi; dan c. meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. Kondisi ideal kota hijau Penerapan green building akan bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya serta kualitas lingkungan yang baik. Penerapan green building tidak hanya menghasilkan bangunan yang lebih baik tetapi juga menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih baik. Desain green building akan memperhatikan ketersediaan ruang terbuka untuk memaksimalkan sirkulasi udra dan pencahayaan alami, dengan mengurangi penggunaan lampu dan AC pada siang hari. Selain itu, bangunan tersebut akan menggunakan material yang ramah lingkungan. Desain green building yang umum digunakan saat ini adalah pengembangan taman atap (roof garden). Roof garden dalam suatu bangunan memiliki nilai ekologis yang tinggi, yaitu mengurangi suhu udara dan pencemaran serta menambah RTH. Dalam menyusun strategi pembangunan green building terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dalam menerapkan green building, antara lain: a. bangunan lebih awet dan tahan lama dengan perawatan minimal; b. efisiensi penggunaan energi dan air; c. bangunan lebih nyaman untuk ditinggali; d. meningkatkan kesehatan penghuni bangunan; dan e. turut berperan serta dalam kepedulian lingkungan. Suatu bangunan dapat dikatakan sebagai bangunan hijau apabila bangunan tersebut memiliki kriteria seperti: a. efisiensi energi, sebagian besar energi yang tersedia saat ini merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui dan pada tahap produksi maupun pemenfaatannya menghasilkan CO2 yang cukup besar. Contoh penerapan energi yang efisien dalam bangunan adalah penerapan panel surya yang dapat mengurangi biaya listrik bangunan. Selain itu, bangunan tersebut juga dilengkapi dengan jendela untuk menghemat penggunaan energi, terutama lampu dan AC. Pada siang hari, jendela sebaiknya dibuka agar mengurangi pemakaian listrik dan sinar matahari dapat masuk ke dalam ruangan. Sinar matahari tersebut dapat meningkatkan kesehatan penghuni bangunan tersebut. 50 Dengan menerapkan energi yang efisien, maka bangunan tersebut dapat menghemat emisi karbon yang dihasilkan. b. konservasi air, penggunaan efisiensi air dalam bangunan dapat dilakukan dengan menerapkan sistem tangkapan air hujan atau menggunakan water recycling system yang berfungsi untuk mengolah air kotor atau air bekas sehingga dapat digunakan kembali untuk menyiram toilet atau tanaman. Dengan sistem ini, akan menciptakan penghematan dalam penggunaan air bersih. c. tata guna lahan, penggunaan tata guna lahan terkait dengan kemudahan akses kendaraan untuk mencapai bangunan tersebut. Bangunan tersebut sebaiknya dapat diakses oleh pengguna sepeda dengan menyediakan fasilitas parkir sepeda. Dengan demikian, penggunaan kendaraan pribadi yang dapat menghasilkan polusi dapat dikurangi. d. efisiensi material, green building dapat memanfaatkan material bangunan yang ramah lingkungan atau berkelanjutan dalam konstruksinya, misalnya material hasil reuse dan recycle atau terbuat dari sumberdaya terbarukan. Selain itu bangunan tersebut juga menggunakan perabotan yang ramah lingkungan. e. manajemen lingkungan bangunan, pemeliharaan dan operasional bangunan termasuk pengelolaan limbah bangunan mengacu pada prinsip-prinsip ramah lingkungan. f. kualitas udara dan kenyamanan ruangan, kualitas udara dalam ruangan dapat ditingkatkan dengan menggunakan sistem ventilasi. Kondisi aktual Kota Bekasi Pengembangan lahan terbangun di Kota Bekasi umumnya terdapat pada bagian wilayah utara Kota Bekasi. Pembangunan pada wilayah ini sangat pesat sehingga keberadaan RTH terbatas. RTH yang ada dibandingkan dengan penduduk dan aktivitas kegiatan yang berlangsung pada wilayah ini tidak seimbang. Kondisi ini akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, seperti kualitas udara, air, tanah, serta dapat menimbulkan kawasan kumuh. Penanganan pemerintah untuk menangani kawasan kumuh di Kota Bekasi yaitu menerapkan konsep land sharting yang merupakan penggabungan dan modifikasi dari konsep-konsep land sharing, land consolidation, atau land readjustment, dan konsep rumah susun sewa. Dengan konsep land sharting pembangunan kawasan tidak perlu menggusur (secara fisik) penduduk asli perkampungan yang dibangun kembali (redevelop) dan juga tidak perlu menggeser (secara hak milik) status kepemilikan tanah dari penduduk asli kepada para pendatang. Penanganan dengan pengembangan rumah susun sangat efektif untuk mengatasi permasalahan kawasan kumuh, dimana lahan yang digunakan tidak terlalu besar dan penyediaan sarana umum dapat terakomodir dengan baik. Penyediaan rumah susun dapat menampung jumlah penduduk yang ada dalam kawasan perencanaan, hal ini dikarenakan seluruh perumahan dan permukiman yang ada di kawasan 51 perencanaan akan dipindahkan dalam rumah susun. Sedangkan lahan yang ada dapat dikembangkan sebagai RTH. Penerapan green building belum diterapkan oleh pemerintah Kota Bekasi. Namun dalam RTRW Kota Bekasi 2011-2031, perencanaan green building akan dilakukan pada kawasan perumahan yang terstruktur melalui pendekatan kawasan siap bangun (Kasiba) dengan pola hunian vertikal. Pola hunian vertikal ini akan dikembangkan pada kawasan perumahan kepadatan tinggi, sedang, dan rendah. Analisis dan evaluasi Rencana pengembangan hunian vertikal di Kota Bekasi merupakan salah satu pendekatan green building. Dengan mengembangkan pola vertikal, akan menambah alokasi ketersediaan lahan untuk RTH. Bentuk green building terdiri dari tepat guna lahan, efisiensi energi, konservasi air, penggunaan material daur ulang, manajemen lingkungan gedung, serta kualitas udara luar dan dalam ruangan. Tabel 17 Evaluasi bentuk penerapan green building di Kota Bekasi Gambar Bentuk Evaluasi Skoring (a) 1 2 3 0 Belum ada dikembangkan oleh pemerintah kota. Penerapan Namun dalam RTRW green building Kota Bekasi, √ yang sudah pengembangan green tersertifikasi building akan dikembangkan pada kawasan permukiman Nilai penerapan total (Xt) 0 (b) Nilai maksimal (Xmax) 4 (c) % penerapan green building di Kota Bekasi adalah 0% (d) 4 a Keterangan skoring terdapat pada tabel 7 Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn c Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal nilai penerapan total (Xt ) d % bentuk penerapan = x 100% b nilai maksimal (Xmax ) Dari hasil skoring, penerapan green building di Kota Bekasi adalah 0%. Green building belum diterapkan di Kota Bekasi, namun penerapan green building akan dikembangkan pada kawasan perumahan skala besar (Kasiba atau Lisiba) yang telah dikeluarkan izinnya. Pengembangan perumahan skala besar diarahkan untuk mengembangkan konsep pengembangan rumah taman atau rumah kebun dengan ketentuan KDB maksimal 50%. Selain itu, pemerintah kota mewajibkan kepada pihak yang ingin mengembangkan kawasan permukiman dalam penyediaan infrastruktur untuk mengelola lingkungan secara terpadu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan upaya membuat IPAL komunal, mengelola sampah secara 3R, menyediakan RTH paling 52 sedikit 10% dari luas lahan, menggunakan material yang ramah lingkungan, dan memaksimalkan atap bangunan untuk dijadikan taman atap (Roof top garden) dan vertical greenery. Dengan demikian, pemanfaatan area tidak hanya sebatas dilakukan secara horizontal namun juga secara vertikal. Green Waste Management Green Waste adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mencegah terjadinya masalah yang disebabkan oleh adanya sampah dan limbah. Upaya yang dimaksudkan diatas meliputi pengurangan (reduce), pemanfaatan kembali (reuse), dan daur ulang (recycle) yang dikenal sebagai pendekatan 3R. Green waste dibatasi pada penanganan sampah berkelanjutan, sedangkan penanganan limbah lainnya, telah diatur dalam SOP khusus yang spesifik sesuai jenis dan kandungan limbahnya Tujuan dari green waste adalah masalah lingkungan seperti banjir, penyakit dan lingkungan kotor yang disebabkan oleh sampah tidak lagi terjadi di perkotaan. Sedangkan manfaatnya adalah: a. munculnya kesadaran seluruh masyarakat terhadap pengelolaan sampah sendiri; b. berkurangnya volume sampah yang menjadika beban kota; c. berkurangnya ancaman banjir dan penyakit; d. berkurangnya kebutuhan lahan untuk TPS dan TPA yang sangat bermasalah di perkotaan; e. terjaganya kesuburan dan kualitas tanah; dan f. membangkitkan kota yang kreatif, melalui penggunaan ulang (reuse) dan daur ulang sampah (recycle). Kondisi ideal kota hijau Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang meliputi lima aspek/komponen yang saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, aspek peran serta masyarakat. 53 Gambar 14 Skema Manajemen Pengelolaan Sampah Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum Aspek hukum dan peraturan dalam pengelolaan sampah dilakukan oleh dinas kebersihan kota. Umumnya dinas kebersihan selain berfungsi sebagai pengelola persampahan kota, juga berfungsi sebagai pengatur, pengawas, dam pembina pengelolaan sampah. Sebagai pengatur, dinas kebersihan membuat peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh operator pengelola persampahan. Selain pengatur, dinas kebersihan juga berfungsi sebagai pengawas, yaitu mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah dibuat dan memberikan sanksi kepada operator apabila dalam pelaksanaan tugasnya tidak mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Sedangkan fungsinya sebagai pembina pengelolaan sampah adalah melakukan peningkatan kemampuan dari operator. Pembinaan tersebut dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan maupun menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat untuk mendapatkan umpan balik atas pelayanan pengelolaan persampahan. Aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan aspek yang terpenting untuk diperhatikan dalam sistem pengelolaan sampah terpadu. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan salah satu faktor teknis untuk menanggulangi persoalan sampah perkotaan atau lingkungan permukiman dimana dari tahun ke tahun semakin kompleks. Dalam pengelolaan sampah perkotaan yang ideal, sistem manajemen persampahan yang dikembangkan merupakan sistem yang berbasis pada masyarakat yang dapat dimulai dari pengelolaan samah di tingkat rumah tangga. Dalam rencana pengelolaan sampah perlu adanya metode pengolahan sampah yang lebih baik, peningkatan peran serta dari lembaga-lembaga yang terkait dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sampah, meningkatkan pemberdayaan masyarakat, peningkatan aspek ekonomi yang mencakup upaya meningkatkan retribusi sampah dan mengurangi beban pendanaan serta peningkatan aspek legal dalam pengelolaan sampah. Aspek teknik operasional dalam pengelolaan sampah sebaiknya bersifat terpadu secara berantai dengan urutan penampungan/pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, dan pembuangan/pengelolaan. Kegiatan ini dimulai dari penampungan dan pengumpulan sampah di tempat timbulan sampah (tempat sampah) yang kemudian dipindahkan ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Pemindahan sampah umumnya dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk 54 sampah yang dikelola oleh kelompok masyarakat maupun dinas kebersihan kota.. Tahap berikutnya adalah pengangkutan sampah dari TPS menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sampah yang diangkut dari TPS akan dikelola lebih lanjut di TPA. Pengelolaan sampah di TPA dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu open dumping, controlled landfill, dan sanitary landfill. Metode open dumping merupakan sistem pengolahan sampah dengan membuang atau menimbun sampah di suatu tempat tanpa ada perlakuan khusus, sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Metode controlled landfill adalah penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh yang dipadatkan atau setelah mencapai periode tertentu. Sedangkan metode sanitary landfill merupakan sistem pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara sampah ditimbun dan dipadatkan dengan tanah yang dilakukan setiap hari. Aspek pembiayaan pada pengelolaan sampah berasal dari pemerintah daerah dan retribusi jasa pelayanan persampahan yang berasal dari konsumen. Aspek pembiayaan berfungsi untuk membiayai operasional pengelolaan sampah yang dimulai dari sumber sampah/penyapuan, pengumpulan, transfer dan pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Adapun metode pengelolaan sampah yang dapat diterapkan di kawasan perkotaan, diantaranya: 1. Penerapan sistem 3R Penerapan prinsip 3R terdiri dari reduce, menghindari perilaku yang menyebabkan munculnya sampah; reuse, menggunakan kembali barang-barang yang sudah tidak terpakai; dan recycle, mendaur ulang kembali barang lama menjadi barang baru. Program pengelolaan sampah terpadu dengan prinsip 3R dapat bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dengan prinsip tersebut, jumlah sampah yang dibuang ke TPA berkurang sehingga meringankan beban TPA sekaligus memperpanjang masa pemakaiannya. 2. Bank sampah Bank sampah adalah institusi yang didirikan masyarakat dengan tujuan mengurangi jumlah sampah buangan, dengan mekanisme menabung sampah yang masih memiliki nilai ekonomi sehingga menghasilkan nilai ekonomi. Dalam melakukan kegiatan bank sampah, nasabah hanya menyetor sampah yang sudah dipilah menjadi sampah organik dan sampah anorganik, kemudian petugas bank sampah akan menimbang dan mencatat berat sampah di buku tabungan nasabah. Setelah itu, nasabah akan mendapatkan uang atau barang dari hasil penyetoran sampah. Sampah yang dikumpulkan oleh pihak bank sampah dapat menjadi nilai ekonomi. Misalnya sampah basah hasil rumah tangga seperti sayuran, dikumpulkan untuk dijadikan pupuk kompos. Sampah kering seperti botol, kaleng, plastik, dan kertas dipisah lagi untuk digunakan atau dimanfaatkan lagi. Sampah plastik didaur ulang menjadi barang yang dapat bermanfaat seperti karpet, tas, tudung saji, tempat tissue dan lain-lain. 3. Pengelolaan limbah cair Sampah spesifik berupa limbah cair yang khususnya dari rumah tangga atau biasa disebut sebagai grey water adalah air buangan yang berasal dari penggunaan untuk kebersihan, seperti air bekas kamar mandi, cucian, dan 55 limbah dapur. Sistem pengolahan air limbah terdiri dari dua macam, yaitu sistem pengolahan on site dan off site. Sistem pengolahan setempat (on site) merupakan sistem pembuangan air limbah dimana air limbah tidak dikumpulkan serta disalurkan ke dalam suatu saluran yang akan membawanya ke suatu tempat pengolahan air buangan. Sistem pengelolaan on site dapat berupa cubluk dan septic tank. Sedangkan sistem pengelolaan terpusat (off site) merupakan sistem pembuangan air buangan rumah tangga yang disalurkan keluar dari lokasi pekarangan rumah ke saluran pengumpul air buangan untuk diolah kembali sebelum dibuang ke badan air. Adapun sistem pengelolaan air limbah terpadu, yaitu dengan menggunakan fitoremediasi. Konsep fitoremediasi adalah dengan mengalirkan air limbah rumah tangga ke bak penampung yang berisi kerikil dan ditumbuhi dengan berbagai jenis tanaman. Tumbuhan akan menyerap nutrisi air limbah dan melenyapkan bakteri berbahaya, sehingga air yang dihasilkan dari proses tersebut dapat digunakan kembali, misalnya untuk menyiram tanaman. 4. Pengelolaan limbah padat Limbah padat merupakan hasil buangan industri berupa padatan, lumpur, dan bubur yang berasal dari proses pengolahan. Limbah padat dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu limbah padat dapat didaur ulang dan limbah padat yang tidak dapat didaur ulang. Contoh limbah padat yang dapat didaur ulang adalah kertas, aluminium, plastik, baja, dan kaca. Pengolahan limbah padat di TPA dapat dilakukan dengan sistem open dumping, controlled landfill, sanitary landfill, dan pembakaran. Pembakaran umumnya dilakukan untuk sampah yang sudah tidak dapat didaur ulang atau dimanfaatkan kembali. Kondisi aktual Kota Bekasi Menurut Perda Kota Bekasi No 15 tahun 2011 tentang pengelolaan sampah, terdapat klasifikasi sampah, diantaranya: a. sampah rumah tangga Sampah rumah tangga merupakan sampah berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. b. sampah sejenis sampah rumah tangga Sampah sejenis sampah rumah tangga merupakan sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, dan kawasan khusus. c. sampah spesifik Sampah spesifik merupakan sampah yang berupa sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, limbah, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, dan sampah yang timbul secara tidak periodik. Pengelolaan sampah pada Kota Bekasi dapat diuraikan seperti berikut: 1. Penerapan 3R Sesuai dengan peraturan daerah Kota Bekasi no.15 tahun 2011 tentang pengelolaan sampah, pemerintah kota Bekasi berupaya mensosialisasikan pengelolaan sampah kepada masyarakat Kota Bekasi, seperti pendidikan dan 56 pelatihan, pembuatan pilot project, studi banding dan diseminasi, serta menyediakan sarana prasarana. Tidak hanya sebatas lingkup sekolah dan rumah tangga saja, pemerintah kota juga mewajibkan bagi pengembangan kawasan perumahan untuk mengelola lingkungan secara terpadu dengan membuat IPAL komunal dan mengelola sampah komunal secara 3R. Pengelolaan sampah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Kota Bekasi, namun pemerintah Kota Bekasi juga turut serta dalam mengurangi jumlah sampah di Kota Bekasi. Oleh karena itu, pemerintah Kota memberikan fasilitas berupa penerapan teknologi yang ramah lingkungan serta memfasilitasi kegiatan mendaur ulang yang dilakukan oleh masyarakat Kota Bekasi. Penerapan 3R umumnya belum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Kota Bekasi. 2. Bank sampah Jumlah bank sampah di Kota Bekasi saat ini baru mencapai 87 buah. Bank sampah tersebut sudah menyebar diseluruh kecamatan Kota Bekasi. Sampahsampah yang dihasilkan oleh bank sampah umumnya masih dikelola oleh kelompok masyarakat tertentu ataupun ibu-ibu PKK. Sampah-sampah tersebut diolah menjadi barang-barang yang dapat digunakan kembali oleh masyarakat. 3. Pengelolaan limbah cair Saat ini, pengelolaan limbah rumah tangga di Kota Bekasi sudah dikelola dengan IPAL komunal, namun sebagian masih ada yang membuang air limbah ke saluran drainase dan sungai. Seharusnya air limbah dikelola terlebih dahulu sebelum dibuang kedalam badan air atau diresapkan kedalam tanah. Selain itu, untuk penanganan limbah domestik berupa lumpur tinja (black water). Pemerintah kota telah menyediakan sistem pengelolaan On site dan Off site. Penanganan On site berupa pengadaan septic tank, cubluk, dan MCK, sedangkan pengelolaan Off site berupa pengadaan IPLT yang terletak di Sumur Batu dengan luas 1 ha dengan kapasitas pengolahan 115m3/hari. 4. Pengelolaan limbah padat Pengelolaan limbah padat di Kota Bekasi dilakukan pada TPA Sumur Batu dan TPA Bantar Gebang. TPA Sumur Batu digunakan sebagai tempat pembuangan sampah masyarakat Kota Bekasi, sedangkan untuk TPA Bantar Gebang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah masyarakat Kota Jakarta. Sistem pengelolaan yang terdapat di Sumur Batu adalah menggunakan sistem controlled landfill. Untuk mencegah penumpukan gas metan, saat ini di TPA Sumur Batu telah menyediakan LFG Flaring System. Sedangkan pada TPA Bantar Gebang sistem pengelolaan sampah sudah menggunakan sanitary landfill. Analisis dan evaluasi Bentuk dari penerapan green waste management terdiri dari penerapan 3R, bank sampah, pengelolaan limbah cair, dan pengelolaan limbah padat umumnya sudah dikembangkan di Kota Bekasi. Namun, pengelolaan dari masing-masing 57 bentuk masih belum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Kota Bekasi. Peran pemerintah dalam pembina pengelolaan sampah masih kurang. Pemerintah kota seharusnya memberikan pengarahan atau sosialisasi kepada masyarakat Kota Bekasi tentang pengelolaan sampah terpadu, sehingga dengan demikian masyarakat dapat mengelola sampah rumah tangga mereka sendiri dan hasil dari daur ulang tersebut dapat dijadikan sebagai nilai tambah ekonomi masyarakat Kota Bekasi. Tabel 18 Evaluasi bentuk penerapan green waste management di Kota Bekasi Gambar Bentuk Evaluasi Skoring (a) 0 1 2 3 4 Penerapan 3R (reduce, reuse, recycle) Penerapan 3R baru dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Kota Bekasi dan TPS, namun belum dilakukan di TPA. √ Bank sampah Jumlah bank sampah yang terdapat di Kota Bekasi saat ini sudah mencapai 87 buah. Namun sistem pengelolaannya masih dilakukan oleh komunitas tertentu. √ Sistem pembuangan air limbah masih menggunakan septic tank dan IPAL. Sebaiknya diterapkan pengelolaan air limbah berupa fitoremediasi untuk mengubah air limbah menjadi tidak berbahaya dan dapat digunakan kembali. √ Pengolahan limbah cair 58 Pengolahan Pengelolaan samlimbah padat pah TPA Sumur Batu menggunakan sistem controlled landfill. Namun √ saat ini sudah mulai menggunakan LFG flaring untuk mengelola gas metan. Nilai penerapan total (Xt) 4 (b) Nilai maksimal (Xmax) 16 (c) % penerapan green waste management di Kota Bekasi adalah 25% (d) a Keterangan skoring terdapat pada tabel 8 Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn c Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal nilai penerapan total (Xt ) d % bentuk penerapan = x 100% b nilai maksimal (Xmax ) Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green waste management pada Kota Bekasi adalah 25%. Penerapan sampah dengan menggunakan 3R umumnya masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Kota Bekasi dan TPS. Sampah yang dapat didaur ulang dikerjakan secara swadaya oleh ibu-ibu pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) dan komunitas tertentu, sedangkan sampah yang tidak dapat didaur ulang akan diproses di TPA. Saat ini pemerintah Kota Bekasi merencanakan penambahan jumlah bank sampah dengan target 120 bank. Pengelolaan limbah cair secara secara terpadu belum diterapkan di Kota Bekasi. Prinsip pengelolaan limbah cair secara terpadu adalah sebagai berikut: a. Reuse, menggunakan teknologi yang memungkinkan suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa mengalami perlakuan fisika/kimia/biologi. b. Reduction, teknologi yang dapat mengurangi atau mencegah timbulnya pencemaran di awal produksi. c. Recovery, teknologi untuk memisahkan suatu bahan/energi dari suatu limbah untuk kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa perlakuan fisikakimia/biologi. d. Recycling, teknologi yang berfungsi untuk memanfaatkan limbah dengan memprosesnya kembali ke proses semula yang dapat dicapai melalui perlakuan fisik/kimia/biologi. Pengelolaan limbah cair secara terpadu dapat dilakukan dengan mengunakan tanaman atau biasa disebut fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan kolam buatan maupun in-situ (langsung di lapangan) pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah. Konsep fitoremediasi menggunakan sistem tanaman dan mikroorganisme dan dapat mengubah zat kontaminan (polutan) menjadi kurang berbahaya atau tidak berbahaya (Subroto 1996). 59 Sampah yang dikelola di TPA belum menggunakan prinsip 3R dan sistem pengelolaan TPA Sumur Batu saat ini menggunakan sistem controlled landfill. Sebaiknya sampah yang akan dibuang di TPA dilakukan pemilahan terlebih dahulu. Untuk mencegah penumpukan gas metan yang diakibatkan dari sampah, saat ini TPA Sumur Batu menggunakan Landfill Gas Flaring System. LFG Flaring System merupakan fasilitas dan instalasi pembakaran gas metana. Prinsip dasar dari teknologi LFG Flaring System adalah mengumpulkan gas metana, menyalurkannya ke tungku pembakar, dan memusnahkan gas tersebut. Saat ini TPA Sumur Batu mampu memproduksi listrik dari hasil pengolahan gas metan dari tumpukan sampah. Listrik yang dihasilkan sebesar 120 KW digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik operasional LFG Flaring System. Green Transportation Green transportation merupakan suatu usaha pembangunan dan pengembangan sistem transportasi yang berprinsip pada pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan, efisiensi penggunaan bahan bakar, dan berorientasi pada manusia yang meliputi pengembangan jalur-jalur khusus pejalan kaki dan sepeda, pengembangan angkutan umum massal yang memanfaatkan energi alternatif terbarukan yang bebas polusi dan ramah lingkungan, serta mempromosikan gaya hidup sehat dalam bertransportasi. Tujuan dari green transportation adalah mengarahkan pembangunan dan pengembangan sistem transportasi yang ramah lingkungan yang berorientasi pada manusia dan pemanfaatan sumber energi alternatif terbarukan yang bebas polusi, untuk mencapai kualitas lingkungan yang sehar dan nyaman. Manfaat dari penerapan green transportation adalah mengurangi pencemaran udara, mengurangi kemacetan, serta memperlambat dan mencegah perubahan iklim global. Kondisi ideal kota hijau Komponen dari pengembangan green transportation secara hirarki berdasarkan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: 1. Jalur pejalan kaki; 2. Jalur sepeda; 3. Angkutan umum massal; dan 4. High occupancy vehicle (kendaraan berokupansi tinggi, seperti pengembangan car sharing / ride sharing). 60 Gambar 15 Piramida Green Transportation Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum 2013 1. Jalur pejalan kaki Jalur pejalan kaki (pedestrian line) merupakan fasilitas pendukung yang disediakan untuk mendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan baik yang berada di badan jalan maupun yang berada di luar badan jalan, dalam rangka keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas serta memberikan kemudahan bagi pemakai jalan. Fasilitas pejalan kaki dapat berupa trotoar, tempat penyebrangan yang ditandai dengan marka jalan (zebra cross), jembatan penyebrangan, dan terowongan penyebrangan (subway). Fungsi jalur pejalan kaki adalah: a. vitalitas ruang perkotaan; b. mengurangi frekuensi pemakaian kendaraan bermotor di pusat-pusat kota; c. daya tarik pergerakan ke kawasan pusat kota; d. menciptakan suasana ruang yang berskala manusia; dan e. menciptakan udara yang bersih dan bebas polusi. Jalur pejalan kaki umumnya berupa trotoar, jalur penyebrangan (zebra cross), plasa, dan subway. Trotoar merupakan fasilitas pejalan kaki yang disediakan di pinggir jalan dengan karakteristik arah jelas, lokasi di tepi jalan bebas hambatan, serta permukaan rata (max 5%) lebar 1.5 – 2 m. Jalur penyebrangan (zebra cross) biasanya disediakan di atas jalan. Jalur penyebrangan bertujuan untuk menghindari konflik dengan kendaraan. Jalur penyebrangan biasanya memiliki karakteristik menyilang diatas jalan, dilengkapi traffic light dan memiliki lebar 2 – 4 m. Selain itu terdapat juga jalur pejalan kaki berupa plasa yang biasanya ditujukan untuk kegiatan santai dan rekreatif. Karekteristik dari plasa ini adalah bebas kendaraan, ruang lapang, dan terdapat fasilitas. Sedangkan subway merupakan tempat pejalan kaki yang menghubungkan antar bangunan di bawah tanah. Biasanya subway memiliki karakteristik berupa terowongan bawah tanah, dilengkapi pengkondisian udara dan penerangan, serta bebas lalu lintas kendaraan. Terdapat juga skyway yang merupakan jalur pejalan kaki yang menghubungkan bangunan di atas tanah dengan karakteristik berupa jembatan penyebrangan antar bangunan, sirkulasi pejalan menerus, dan bebas lalu lintas kendaraan. 61 2. Jalur sepeda Jalur sepeda adalah jalur yang khusus diperuntukkan untuk lalu lintas pengguna sepeda dan kendaraan yang tidak bermotor, dipisah dari lalu lintas kendaraan bermotor untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas pengguna sepeda. Jalur sepeda memiliki beberapa desain jalur sepeda, diantaranya: a. Jalur sepeda (bike path), yaitu jalur sepeda yang sepenuhnya terpisah dari jalan raya dan seringkali dipadukan dengan fasilitas pejan kaki; b. Lajur sepeda (bike line), yaitu bagian dari jalan yang ditandai dengan marka untuk pengguna sepeda. Biasanya dibuat searah dengan arus lajur bermotor, meski dapat juga didesain untuk dua arah pada salah satu sisi jalan. c. Rute sepeda (bike route), yaitu rute sepeda yang didesain dan dapat digunakan bersama dengan kendaraan bermotor. Lebar minimum jalur sepeda untuk jalur satu arah adalah 1 m, sedangkan untuk dua arah adalah 1.8 m. Jalur sepeda dapat dipisahkan dengan pembatas fisik terhadap jalur lalu lintas bermotor dengan desain yang memungkinkan jalur sepeda masih dapat dilewati oleh kendaraan bermotor dlam kondisi darurat.. Selain itu, diperlukan penyediaan fasilitas parkir sepeda untuk meningkatkan daya tarik transportasi sepeda 3. Angkutan umum Angkutan umum atau transportasi massal adalah sebuah sarana berkendara bagi banyak orang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga dapat memberikan efisiensi waktu dan biaya. Angkutan umum dapat dibagi menjadi beberapa tipe yang meliputi a. Bus Bus merupakan sebuah alat transportasi darat untuk memindahkan seseorang dari satu tempat ke tempat lainnya. Terdapat juga Bus Rapid Transit (BRT) yang merupakan perkembangan dari bus, yaitu sistem transportasi yang menggunakan armada bus dengan kualitas pelayanan yang nyaman, aman, cepat, dan tepat waktu. BRT yang ideal biasanya memiliki ciri-ciri jalur khusus sehingga bebas dari kemacetan di jalan raya, BRT dapat menggunakan jalur biasa di jalan raya jika tidak memungkinkan untuk adanya jalur khusus BRT, sistem pembayaran dilakukan di halte (terminal), ketinggian lantai shelter sejajar dengan pintu bus untuk memudahkan penumpang menaiki bus, dan kualitas pengendara baik sehingga menciptakan kenyemanan bagi penumpang. b. Kereta api komuter Kereta api komuter merupakan sebuah layanan transportasi yang membawa sejumlah besar orang yang melakukan perjalanan setiap hari antara pusat kota dan pinggiran kota. Penggunaan kereta api komuter dapat mengurangi kemacetan di jalan raya. Ciri-ciri kereta komuter diantaranya menghubungkan beberapa stasiun di wilayah perkotaan, memiliki jarak atau waktu tempuh yang berdekatan, melayani penumpang dari pinggiran kota menuju pusat kota atau sebaliknya, dan memiliki layanan jadwal. 62 c. Angkutan kota Angkutan kota merupakan angkutan umum dengan karakter kendaraan kecil, kepemilikan sebagian besar oleh individu, untuk melayani rute jarak pendek yang penetapannya dilakukan oleh pemerintah kota. Angkutan kota biasanya melayani kategori perjalanan jarak pendek, seperti perjalanan ke sekolah atau pasar. 4. High Occupancy Vehicle (HOV) HOV merupakan kendaraan berokupansi tinggi yang dapat dilakukan dengan menerapkan ride sharing. Ride sharing merupakan proses dimana seorang pengemudi kendaran memberikan tumpangan kepada orang lain. Bentuk tumpangan dapat diberikan kepada teman, keluarga, atau dapat juga diorganisasikan dari tempat kerja (perusahaan). Pada beberapa negara ride sharing dapat memberikan tumpangan dalam berbagai bentuk. Misalnya untuk wilayah Amerika Utara ride sharing dapat berupa car pooling, dan di Inggiris berupa car sharing. Car sharing merupakan bentuk dari penyewaan mobil dimana seseorang dapat meminjam mobil dalam waktu dekat maupun waktu yang lama. Penggunaan ride sharing biasa digunakan oleh seseorang penumpang lainnya yang memiliki tujuan yang sama. Konsep ride sharing dapat mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi, sehingga kemacetan dan polusi perkotaan dapat dikurangi. Kondisi aktual Kota Bekasi Menurut peraturan daerah RTRW Kota Bekasi 2011 - 2031, dalam pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan pemerintah Kota Bekasi melakukan beberapa kebijakan dalam pengembangan sistem transportasi yang terintegrasi dengan sistem transportasi Jabodetabek yag dilakukan melalui strategi: a. meningkatkan aksesibilitas untuk mendukung pengembangan jalan tol; b. mengembangkan jaringan transportasi umum masal yang terintegrasi dengan sistem jaringan transportasi masal Jabodetabek; c. memelihara serta menegaskan kembali fungsi dan hirarki jalan; d. meningkatkan aksesibilitas yang seimbang menuju pusat-pusat kegiatan, baik untuk arah utara-selatan maupun barat-timur; e. mengembangkan jalur-jalur sirkulasi pedestrian; f. menyediakan angkutan umum masal berbasis rel atau jalan raay sesuai rencana berdasarkan kewenangan pemerintah; g. menata dan mengembangakn terminal dan sub-terminal yang ada di kota Bekasi; serta h. mengalihkan beban pergerakan di wilayah pusat kota ke sub pusat pelayanan kota lainnya. Pengembangan green transportation di Kota Bekasi terdiri dari jalur pejalan kaki, jalur sepeda, angkutan umum, dan car sharing dapat diuraikan dibawah ini. 1. Jalur pejalan kaki Pengembangan jalur pejalan kaki di Kota Bekasi umumnya masih berupa trotoar dan jalur penyebrangan. Ketersediaan trotoar di Kota Bekasi belum 63 menyebar di seluruh kota. Beberapa trotoar di Kota Bekasi memiliki kondisi yang baik, namun terdapat juga beberapa trotoar yang belum berjalan sesuai fungsinya, seperti tempat pedagang kaki lima dan kondisi paving tidak terawat. Kondisi jalur penyebrangan di Kota Bekasi umumnya sudah cukup baik. Sesuai dengan peraturan daerah, pemerintah Kota Bekasi juga sedang merencanakan pengembangan jaringan jalan umum sesuai dengan RTRW Kota Bekasi 2011-2031, yang meliputi: a. penyediaan jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman pada kawasan perdagangan dan jasa, jaringan arteri, dan jaringan jalan kolektor; b. penyediaan jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman dapat diakses oleh penyandang cacat sesuai dengan ketentuan yang berlaku terutama di kawasan pusat kota; serta c. penyediaan jalur pejalan kaki yang menghubungkan antar perumahan di jalan lingkungan maupun di jalan kolektor. 2. Jalur sepeda Penerapan jalur sepeda kota Bekasi sudah diterapkan di ruas jalan Ahmad Yani, Bekasi Timur. Jalur khusus sepeda di jalan Ahmad Yani dibuat di lajur paling kiri dengan lebar sekitar 1.5 meter di kedua sisi jalan dengan panjang 500 meter, mulai dari depan kantor Wali Kota sampai perempatan Bekasi Cyber Park. Jalur sepeda di Kota Bekasi termasuk ke dalam tipe bike line, yaitu jalur yang diberi marka dengan cara pemberian gambar sepeda berwarna putih di bagian aspalnya. 3. Angkutan umum Perkembangan transportasi Kota Bekasi semakin meningkat pesat (Lampiran 2), oleh karena itu dalam RTRW Kota Bekasi 2011-2031 pemerintah merencanakan pengembangan sistem angkutan umum, melalui: a. pengaturan kembali jumlah dan pembatasan jumlah dan jenis armada angkuan umum; b. pengaturan kembali rute trayek angkutan umum; c. peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum; serta d. pengembangan sistem angkutan umum massal Jalur Barat – Timur dan Jalur Utara – Selatan. Kota Bekasi masih berada dalam tahap pengembangan transportasi yang terintegrasi. Untuk meningkatkan pelayanan transportasi, pemerintah kota Bekasi kini tengah menyusun pengadaan transportasi massal selain kereta commuter, yaitu BRT (Bus Rapid Transit) yang dikembangkan dalam 10 tahun ke depan serta diharapkan mampu mengatasi kebuntuan arus lalu lintas rute Bekasi – Jakarta. Kota Bekasi juga telah memiliki dua feeder busway dalam rangka inter-connection dengan busway di Jakarta (Blok M dan Sudirman/Thamrin). Feeder busway tersebut berada di perumahan Kemang Pratama dan Harapan indah untuk mengantarkan masyarakat Kota Bekasi dengan lokasi kerjanya di Jakarta. Kereta api merupakan sarana transportasi massal yang cukup banyak digunakan oleh masyarakat Kota Bekasi. Jumlah pengguna sarana kereta api commuter Jabodetabek mengalami peningkatan dari 4.4 juta orang selama 64 tahun 2010 menjadi 4.5 juta orang selama tahun 2011 (SLDH Kota Bekasi 2012). Angkutan kota (paratransit) Pelayanan trayek angkutan kota di Kota Bekasi sudah dapat menjangkau ke seluruh wilayah Kota Bekasi serta frekuensi lewat angkutan kota sudah terbilang cepat. 4. High Occupancy Vehicle (HOV) Penggunaan konsep ride sharing di Kota Bekasi belum direncanakan oleh pemerintah kota. Bentuk dari penggunaan konsep ride sharing di Kota Bekasi adalah car sharing. Namun, pengembangan car sharing di Kota Bekasi umumnya sudah dilakukan dan dikembangkan di lingkungan instansi atau perusahaan. Analisis dan evaluasi Perkembangan green transportation di Kota Bekasi sudah cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari ketersediaan transportasi yang terdapat di Kota Bekasi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Bekasi. Rencana pengembangan BRT Bekasi - Jakarta dapat mengurangi kemacetan dan penggunaan kendaraan pribadi. Selain itu, BRT dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Bekasi ke lokasi kerjanya di Jakarta. Pengembangan jalur pejalan kaki dan sepeda sudah dilakukan oleh pemerintah Kota Bekasi. Dengan demikian, dapat mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi dan mengurangi tingkat polusi di Kota Bekasi. Bentuk penerapan green transportation di Kota Bekasi terdiri dari jalur pejalan kaki, jalur sepeda, angkutan umum yang meliputi bus, kereta, dan angkutan kota, serta pengembangan car sharing. Tabel 19 Evaluasi bentuk penerapan green transportation di Kota Bekasi Skoring (a) Gambar Bentuk Evaluasi 0 1 2 3 4 Jalur pejalan Ketersediaan jalur pejalan √ kaki kaki umumnya tedapat pada jalan utama Kota Bekasi. Namun, kondisi jalur belum memenuhi kriteria, seperti jalur terputus pada ruas jalan dan tempat PKL. 65 Tabel 19 Evaluasi bentuk penerapan green transportation di Kota Bekasi (lanjutan) Jalur sepeda Jalur sepeda di Kota Bekasi √ berupa bike line. Kondisi jalur sepeda masih belum optimal karena pengguna kendaraan bermotor masih menggunakan jalur khusus sepeda tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pembatas fisik atau signage agar pengguna kendaraan bermotor tidak melewati jalur sepeda tersebut. Angkutan umum (bus, kereta, angkutan kota) Permasalahan angkutan umum pada Kota Bekasi adalah kemacetan dan polusi. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan transportasi umum yang menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Selain itu, dibutuhkan peningkatan pelayanan pada angkutan umum untuk kenyamanan dan keamanan masyarakat. √ Pengembangan car sharing √ umumnya hanya pada lingkup instansi tertentu. Sebaiknya dilakukan juga pengembangan car sharing di lingkungan masyarakat. Nilai penerapan total (Xt) 6 (b) Nilai maksimal (Xmax) 16 (c) % penerapan green transportation di Kota Bekasi adalah 37.5% (d) HOV (car sharing) a Keterangan skoring terdapat pada tabel 9 Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn c Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal nilai penerapan total (Xt ) d % bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100% b Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green transportation pada Kota Bekasi adalah 37.5%. Jalur pejalan kaki yang terdapat di Kota Bekasi umumnya berupa trotoar dan jalur penyebrangan (zebra cross). Kondisi trotoar pada Kota Bekasi umumnya hanya memiliki lebar 1 – 1.5 meter dan penggunaan trotoar masih belum optimal, karena masih banyak digunakan oleh pedagang kaki lima dan pada beberapa area, kondisi trotoar tidak terawat. 66 Untuk pengembangan jalur pejalan kaki selanjutnya, pemerintah kota dapat mengembangkan jalur pejalan kaki berupa plaza, yaitu jalur pejalan kaki yang ditujukan untuk kegiatan santai dan rekreatif. Plaza memiliki karakter seperti bebas kendaraan, ruang lapang, lebar bervariasi, dan terdapat fasilitas. Penerapan jalur sepeda ini masih belum optimal, karena masih banyak kendaraan bermotor yang menggunakan jalur khusus sepeda tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemberian rambu-rambu pada jalur sepeda tersebut dengan jelas atau pembatas fisik sehingga pengguna kendaraan bermotor paham akan jalur tersebut dan pengguna sepeda dapat melewati jalur tersebut dengan aman dan nyaman. Pembatas fisik yang dimaksud dapat berupa pembedaan ketinggian, sehingga jalur tersebut dapat dilewati oleh kendaraan bermotor dalam keadaan darurat. Selain itu perlu ditambahkan fasilitas parkir sepeda untuk meningkatkan daya tarik tarnsportasi sepeda. Dalam pengembangan BRT di Kota Bekasi, dua shelter Transjakarta telah dipilih sebagai tujuan yang akan menghubungkan armada dari kota Bekasi. Dua titik shelter penghubung itu ialah Kampung Rambutan dan Pulogadung. Selain itu sebanyak lima belas armada bantuan dari Direktorat Jenderal Angkutan Darat Kementrian Perhubungan siap dioperasikan untuk melayani dua tujuan tersebut. Perkembangan angkutan kota di Kota Bekasi semakin pesat menimbulkan beberapa permasalahan, seperti kemacetan, polusi udara dan suara, serta penggunaan ruang publik yang besar dimana para pejalan kaki dan pengguna sepeda tidak mendapatkan ruang agar bisa bergerak sebagaimana mestinya. Umumnya angkutan tersebut sudah berjalan dengan baik, hanya perlu ditambahkan beberapa fasilitas pelayanan agar memudahkan masyarakat dalam menggunakan transportasi tersebut. Car sharing yang dikembangkan di Kota Bekasi umumnya hanya dikembangkan oleh beberapa instansi tertentu dan belum menyebar keseluruh masyarakat Kota Bekasi. Green Water Green water merupakan suatu konsep untuk menyediakan kemungkinan penyerapan air dan mengurangi puncak limpasan, sehingga tercapai efisiensi pemanfaatan sumberdaya air. Tujuan dari green water adalah menawarkan suatu solusi lingkungan untuk masalah air dan sanitasi dalam lingkungan rumah, komersial, industri, dan pertanian. Dalam skala yang lebih luas, green water dapat menawarkan suatu solusi lingkungan pada tingkat perkotaan. Kondisi ideal kota hijau Konsep green water adalah menyerapkan air ke dalam tanah sehingga tidak langsung dialirkan ke sungai ataupun laut, dengan demikian akan tercapai efisiensi pemanfaatan air dan meminimalisir efek yang terjadi pada lingkungan. Diharapkan kualitas air tanah perkotaan menjadi lebih baik dengan menerapkan green water. Manfaat yang didapatkan dari green water adalah: a. melindungi, melestarikan, dan investasi di lingkungan; 67 b. c. d. e. meningkatkan keanekaragaman hayati; meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap air; mengurangi resiko banjir; mengurangi air hujan yang harus ditransportasikan dan diproses di saluran pembuangan; f. mencegah pencemaran air tanah; dan g. menghemat biaya yang dikeluarkan. Penerapan green water dapat dilakukan di lingkungan perkotaan. Berikut adalah contoh penerapan green water pada perkotaan. 1. Lubang resapan (biopori dan sumur resapan) adalah lubang-lubang kecil atau pori-pori di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktifitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, dan fauna tanah lainnya. Pori-pori yang ada dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air dengan cara mensirkulasikan air dan oksigen ke dalam tanah. Lubang resapan biopori secara tidak langsung akan menambah bidang resapan air. Dengan mengubah struktur tanah menjadi lebih berpori, kemampuan tanah meresap air menjadi meningkat dan mencegah tarjadinya banjir & kekeringan. Lubang bipori dapat diterapkan pada dasar saluran pembuangan/ selokan air hujan, sekeliling batang pohon, dan batas tanaman. Pembuatan biopori pada selokan pengalir air hujan dapat mengurangi volume air yang dialirkan sehingga mencegah air meluap ke luar selokan. Sedangkan lubang resapan biopori yang dibuat disekeliling ohon dapat menjadi sumber air untuk pohon tersebut. Bulu-bulu akar dari pohon akan tumbuh ke arah LRB tersebut. Langkah-langkah pembuatan lubang biopori: a. membuat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter 10 cm, kedalaman 100 cm atau tidak melampaui kedalaman air tanah. Jarak pembuatan lubang antara 50 – 100 cm. Pembuatan lubang dapat dilakukan dengan memakai alat bantu yang disebut bor biopori; b. memperkuat mulut atau pangkal menggunakan paralon (diameter 10 cm, panjang 10 cm) atau adukan semen (lebar 2-3 cm, tebal 2 cm) di sekeliling mulut lubang; c. mengisi lubang dengan sampah organik yang berasal dari dedaunan, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur; dan d. menutup lubang resapan biopori dengan saringan kawat. Jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Intensitas hujan mm/jam x luas bidang kedap (m2) Jumlah LRB = Laju peresapan air per lubang (liter/jam) Sebagai contoh, untuk daerah dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat), dengan laju peresapan air per lubang 3 liter/menit (180 liter/jam) pada 100 m2 bidang kedap, perlu dibuat sebanyak (50 x 100)/180 = 28 lubang biopori. Sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air berupa bangunan yang menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh dan meresapkannya ke dalam tanah. Sumur resapan dapat diterapkan pada kawasan permukiman, perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas 68 umum lainnya. Sumur resapan berfungsi memberikan imbuhan air secara buatan dengan cara meninjeksikan air hujan ke dalam tanah. Manfaat menerapkan sumur resapan adalah: a. mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah atau mengurangi terjadinya banjir dan genangan air; b. mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah; c. mengurangi erosi dan sedimentasi; d. mengurangi atau menahan intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan kawasan pantai; e. mencegah penurunan tanah (land subsidance); serta f. mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah. 2. Konsep low impact development Low Impact Development (LID) merupakan konsep pengelolaan air hujan yang dilakukan di lokasi atau di sekitar daerah tangkapan air hujan. LID dikembangkan untuk mempertahankan kondisi lingkungan dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengembangan pengelolaan air hujan konvensional (drainase). Dimana sistem drainase konvensional direncanakan dengan konsep mengumpulkan, mengalirkan, dan membuang limpasan permukaan secepat mungkin. Sistem kerja drainase konvensional akan menurunkan kualitas dan kuantitas air tanah, meningkatkan volume limpasan permukaan, mempersingkat waktu pengaliran, serta menambah besarnya banjir. LID dikembangkan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Prinsip teknologi LID dalam mengelola air hujan ialah mempertahankan kondisi hidrologi suatu daerah yang dikembangkan sama dengan kondisi hidrologi awal daerah tersebut pada saat belum dikembangkan. Usaha yang dilakukan adalah meningkatkan intensitas infiltrasi, penyaringan, penampungan, evaporasi, menampung sementara air hujan, dan meminimumkan limpasan air permukaan. Contoh teknologi LID adalah bioretensi. Bioretensi merupakan suatu bentang lahan semaksimal mungkin meresapkan air kedalam tanah dengan menggunakan unsur tanaman dan air agar air dapat selama mungkin berada di dalam DAS untuk mengisi aquifer bebas, sehinga air dapat dikendalikan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat. Teknik bioretensi dapat dibangun pada RTH dan dirancang berdasarkan jenis tanahnya, kondisi lokasi, dan tata ruang rencana wilayah pengembangan. Aplikasi bioretensi di jalan raya berfungsi untuk menyerap polutan air hujan yang berasal dari partikel sedimen, bahan kimia, dan oli yang menetes di permukaan jalan. Prosesnya dimulai dari hujan yang turun akan mencuci jalan sehingga aliran permukaannya akan membawa partikel sedimen, bahan kimia, dan oli yang menetes di permukaan jalan, dan mengalir masuk ke dalam sistem bioretensi. Aliran permukaan akan menjalani proses pemurnian di dalam sistem bioretensi. Jika kapasitas tampungan sistem bioretensi sudah terlampaui, air akan mengalir langsung ke sistem saluran drainase. Hujan awal sudah mencuci permukaan jalan sehingga kualitas air limpasan permukaan dari hujan berikutnya diharapkan sudah baik dan dapat mengalir langsung ke badan air. 69 Kondisi aktual Kota Bekasi Berkembangnya Kota Bekasi dengan meningkatnya penduduk serta pertumbuhan daerah permukiman yang menjadi daerah perkotaan, maka Situ di Kota Bekasi juga berubah fungsi. Umumnya Situ dijadikan sebagai tempat wisata atau pemeliharaan ikan, namun sekarang banyak yang sudah hilang karena di fill untuk dijadikan daerah perumahan. Hal ini menyebabkan Kota Bekasi rentan terhadap bencana banjir. Dalam RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031, rencana yang dilakukan pemerintah Kota Bekasi untuk mengembangkan sistem drainase dan mengendalikan banjir, diantaranya: a. menata ulang struktur hirarki drainase dan mengintegrasikan saluran drainase pada daerah-daerah yang baru dikembangkan; b. optimalisasi fungsi saluran primer dan rehabilitasi saluran sekunder; c. pemeliharaan dan pengembangan saluran tersier; d. pengembalian fungsi situ-situ sebagai sistem retensi di Kelurahan Bojong Rawalumbu (Situ Rawalumbu), Kelurahan Bojongmenteng (Situ Rawa Gede) dan Situ Rawa Pulo; e. pembangunan sistem tampungan air di sepanjang saluran primer dan sekunder; f. pembuatan atau peninggian tanggul banjir untuk mengendalikan banjir dengan kala ulang yang besar; g. penyediaan tampungan air di perumahan baru yang tidak memiliki badan air penerima melalui kerjasama dengan pihak pengembang; h. pembuatan sumur resapan di kawasan peruntukan perumahan, industri, serta perdagangan dan jasa; i. membuat bangunan pintu klep dan pompa untuk mengatasi arus balik; j. pengendalian dan penertiban bangunan pada sempadan sungai; k. mempertahankan fungsi kawasan peresapan air; l. normalisasi kali lama di hilir Kali Bekasi dan integrasi sistem jaringan drainase pengendali banjir Kota Bekasi dengan Banjir Kanal Timur (BKT); dan m. meningkatkan kerjasama pembangunan prasarana pengendalian banjir dengan pemerintah daerah sekitar melalui pembuatan program pembangunan bersama. 1. Lubang resapan (biopori dan sumur resapan) Penerapan biopori sudah dilakukan pada daerah-daerah rawan banjir di Kota Bekasi, terutama pada Kecamatan Jatiasih sebagai daerah paling rawan banjir. Penerapan biopori di Kota Bekasi dikembangkan pada kawasan permukiman. Pemerintah Kota Bekasi juga sudah melakukan pembuatan lubang biopori di beberapa sekolah Kota Bekasi. Penerapan lubang biopori di sekolah umumnya dilakukan pada sekolah-sekolah yang sering terkena banjir. Sumur resapan di Kota Bekasi sudah berjumlah 14 buah, diantaranya berlokasi di Kantor Kelurahan Kota Baru, Kantor Kelurahan Margajaya, SDN Aren Jaya 6, SDN Kayuringin, SDN Jatimakmur, SDN Bekasi Jaya, SDN Jaka Mulya 4, SMPN 12, SMPN 7, Pondok pesantren An Nida, SMAN 3, SMAN 8, SMAN 10, dan SMAN 12 (BPLH Kota Bekasi 2012). Sumur resapan masih dilakukan di kawasan perkantoran dan sekolah, namun pemerintah Kota Bekasi sudah merencanakan pengembangan sumur resapan pada kawasan perumahan, industri, serta perdagangan dan jasa. 70 2. Konsep Low Impact Development Kota Bekasi memiliki beberapa danau atau situ yang berperan penting dalam pengendalian banjir, diantaranya situ Rawalumbu, Rawagede, Rawa Pulo. Berdasarkan RTRW Kota Bekasi 2011 – 2031, pemerintah Kota Bekasi sedang melakukan rencana pengelolaan daerah sekitar situ sebagai kawasan perlindungan setempat, diantaranya melakukan rehabilitasi, memperbanyak keragaman tanaman pohon serta pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang sekitar situ. Pada umumnya situ-situ dan beberapa waduk di wilayah Kota Bekasi difungsikan sebagai situ dan waduk retensi untuk me-recharge daerah sekitarnya. Fungsi tersebut terkait dengan fungsi kawasan konservasi di daerah hulu sungai yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Dengan mengoptimalkan fungsi situ diharapkan run off air hujan yang turun dapat ditahan sebelum masuk ke badan air atau sungai. Selanjutnya aliran air hujan yang menjadi limpasan dan masuk kedalam badan air atau sungai akan berkurang jumlahnya, dengan cara mengurangi puncak banjir yang terjadi di daerah aliran sungai tersebut. Berdasarkan konsep tersebut, situ-situ dimanfaatkan untuk dapat dioptimalkan fungsi detensi dan fungsi retensinya. Fungsi detensi yaitu menahan air hujan berlebih di dalam suatu ruang pengontrol untuk jangka waktu tertentu sampai air hujan dapat disalurkan ke badan air atau sungai. Dengan demikian kapasitas badan air atau sungai tersebut tidak terlampaui dan banjir dapat dihindarkan. Saat ini sistem drainase Kota Bekasi mencakup wilayah seluas kurang lebih 9.035 ha, atau kurang lebih 43% dari luas wilayah kota. Pembuangan limpasan air hujan dari sumber daerah tangkapan air ke saluran makro umumnya melalui saluran pembuangan sekunder. Selain itu juga terjadi banjir dari daerah hulu melalui sungai utama (makro) menjadikan beberapa wilayah rendah di Kota Bekasi rawan genangan. Penerapan bioretensi sudah direncanakan dan dikembangkan oleh pemerintah Kota Bekasi. Saat ini jumlah bioretensi yang terdapat di Kota Bekasi adalah 24 489 unit. Analisis dan evaluasi Penerapan green water sudah dilakukan di Kota Bekasi, seperti pembuatan lubang biopori dan sumur resapan, bioretensi, waduk, dan situ. Penerapan lubang biopori masih dilakukan pada daerah rawan banjir di Kota Bekasi. Pengembangan lubang biopori juga belum dilakukan menyebar di daerah rawan banjir Kota Bekasi, umumnya hanya diterapkan di kawasan permukiman dan sekolah. Lubang biopori tersebut sudah dapat mengurangi genangan-genangan air pada kawasan tersebut, namun belum dapat mengatasi banjir pada daerah rawan banjir tersebut karena ketersediaannya belum menyebar. Untuk mengatasi banjir di Kota Bekasi, pemerintah kota juga sudah menerapkan bioretensi, pengembangan situ dan waduk yang difungsikan sebagai recharge water untuk daerah disekitarnya. Selain itu, fungsi situ dan waduk ini dapat menampung air hujan yang turun sehingga air hujan tidak langsung mengalir ke badan air. 71 Tabel 20 Evaluasi bentuk penerapan green water di Kota Bekasi Gambar Bentuk green water LRB (biopori dan sumur resapan) Skoring (a) 0 1 2 3 4 Pengembangan lubang √ resapan umumnya hanya dikembangkan pada kawasan tertentu, seperti permukiman, perkantoran, dan sekolah yang rawan banjir. Evaluasi Pengelolaan air hujan perkotaan dengan konsep low impact development Pengembangan yang diterapkan di Kota Bekasi berupa bioretensi, waduk, dan situ. Selain itu, pemerintah Kota √ Bekasi juga merencanakan pengembalian fungsi situ, serta memperbaiki sistem drainase Nilai penerapan total (Xt) 2 (b) Nilai maksimal (Xmax) 8 (c) % penerapan green water di Kota Bekasi adalah 25% (d) a Keterangan skoring terdapat pada tabel 10 Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn c Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal nilai penerapan total (Xt ) d % bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100% b Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green water pada Kota Bekasi adalah 25%. Penerapan lubang biopori di Kota Bekasi masih dilakukan pada area rawan banjir, umumnya kawasan permukiman dan sekolah. Sebaiknya dilakukan juga pada kawasan lainnya seperti perdagangan dan perkantoran di seluruh kelurahan agar air hujan tidak lagi menimbulkan genangan air serta mengurangi resiko banjir. Pemerintah juga telah merencanakan pengembangan sumur resapan di kawasan perumahan, industri, serta perdagangan dan jasa. Salah satu peran pemerintah kota untuk mengendalikan banjir adalah mengoptimalkan keberadaan Situ. Optimalisasi Situ merupakan bagian dan konsep Pengelolaan Aliran Permukaan (Storm Water Management) dimana air hujan yang turun ditahan selama mungkin di suatu tempat sebelum masuk ke dalam saluran pembuangan. Diharapkan aliran air hujan yang menjadi limpasan dan masuk ke dalam saluran pembuangan atau sungai berkurang jumlahnya untuk mengurangi besar banjir pada daerah aliran pembuangan atau sungai tersebut. 72 Green Energy Green energy merupakan energi yang dihasilkan dari sumber-sumber yang ramah lingkungan atau menimbulkan dampak negatif yang sedikit bagi ekosistem lingkungan. Green energy menggunakan sumber energi alternatif atau terbarukan, misalnya sinar matahari, angin, aliran air, panas bumi, dan bioenergi. Konsep green energy ini berkembang karena adanya dampak negatif yang luar biasa akibat dari penggunaan energi fosil. Tujuan dari green energy adalah menemukan sumber-sumber energi alternatif selain energi fosil yang dapat meminimalkan dampak negatif bagi lingkungan. Kondisi ideal kota hijau Konsep green energy merupakan upaya pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan. Tujuan dari green energy adalah menemukan sumbersumber energi alternatif selain energi fosil, yang dapat meminimalkan dampak negatif bagi lingkungan. Selain untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, penggunaan energi alternatif juga dapat dijadikan sebagai pengganti fosil. Manfaat dari green energy adalah: a. tersedianya kelestarian lingkungan hidup; b. terciptanya lapangan kerja baru bagi masyarakat; dan c. terwujudnya kesadaran terhadap peran penting keberadaan energi fosil yang terbatas jumlahnya. Penggunaan energi alternatif juga dapat menggantikan penggunaan energi fosil di masa depan. Beberapa contoh green energy yang umum diterapkan di perkotaan antara lain: 1. Energi matahari Energi matahari banyak dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Energi ini mampu menyediakan kebutuhan konsumsi energi dalam jangka panjang. Energi matahari dapat disimpan dan diubah menjadi bentuk energi lain. Misalnya dapat digunakan untuk memproduksi listrik, memanaskan air dan ruangan, dan mendinginkan ruangan. Energi matahari merupakan salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan dan keberadaannya untuk jangka panjang. 2. Energi sampah Sampah yang ditumpuk di TPA akan menghasilkan gas metan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Sampah dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Selain dapat mengurangi volume sampah di TPA, sampah juga dapat diolah menjadi energi listrik. Proses pegubahan sampah menjadi energi listrik dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi tertentu seperti incenerator. Sampah dari kota yang telah dikumpulkan kemudian dibakar di dalam tungku pembakaran. Hasil pembakaran sampah akan menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan boiler, sedangkan uap panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin. Turbin tersebut dihubungkan ke generator yang dapat menghasilkan tenaga listrik. Uap 73 yang kehilangan panasnya setelah melewati turbin akan disalurkan ke boiler lagi untuk dipanaskan. Sisa dari proses pembakaran sampah adalah abu. Abu tersebut dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku batako atau bahan bangunan lainnya. Dengan demikian, akan terwujud proses pengelolaan sampah yang zero waste. 3. Energi tumbuhan Salah satu contoh penerapan energi tumbuhan adalah bioethanol. Bioethanol dapat ditemukan dari tanaman tebu, singkong, jagung, san sagu. Efisiensi produksi bioethanol dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan bagian tumbuhan yang tidak dapat digunakan sebagai bahan bakar yang dapat menghasilkan listrik. Selain bioethanol, energi alternatif yang berasal dari tumbuhan adalah biodiesel. Biodiesel didapatkan dari minyak tumbuhan seperti sawit, kelapa, dan jarak pagar. Prosesnya sama seperti bioethanol, yaitu memanfaatkan bagian tanaman yang sudah tidak terpakai. 4. Energi angin Pemanfaatan energi angin menjadi enerfi listrik merupakan salah satu energi alternatif. Untuk mengubah energi angin menjadi energi listrik menggunakan teknologi turbin angin atau kincir angin. Energi angin yang memutar turbin angin disalurkan untuk memutar rotor pada generator dibagian belakang turbin angin, sehingga akan menghasilkan energi listrik. Energi listrik ini kemudian akan disimpan kedalam baterai sebelum dimanfaatkan. Menurut data BMKG dalam Habibie (2011), terdapat tingkatan kecepatan angin pada 10 m permukaan tanah. Tabel 21 Tingkatan kecepatan angin 10 m di atas permukaan tanah Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kecepatan (m/s) Kondisi alam di daratan 0.00 - 0.02 0.3 - 1.5 Angin tenang, asap lurus ke atas 1.6 – 3.3 Asap bergerak mengikuti arah angin Wajah terasa ada angin, daun bergoyang pelan, 3.4 – 5.5 petunjuk arah angin bergerak Debu jalan, kertas berterbangan, ranting pohon 5.5 – 7.9 bergoyang 8 – 10.7 Ranting pohon bergoyang, bendera berkibar 10.8 – 13.8 Ranting pohon besar bergoyang, air berombak kecil Ujung pohon melengkung, hembusan angin terasa di 13.9 – 17.1 telinga Dapat mematahkan ranting pohon, jalan berat 17.2 – 20.7 melawan arah angin 20.8 – 24.4 Dapat mematahkan ranting pohon, rumah rubuh 24.5 – 28.4 Dapat merubuhkan pohon, menimbulkan kerusakan 28.5 – 32.6 Menimbulkan kerusakan parah 32.7 – 36.9 Tornado 74 Batas minimum untuk memanfaatkan energi angin menjadi energi listrik adalah kelas 3 dengan kecepatan angin antara 1.6 – 3.3 m/s, sedangkan batas maksimum terdapat pada kelas 8 dengan kecepatan angin 13.9 – 17.1 m/s. Kondisi aktual Kota Bekasi Konsumsi energi fosil menurut sektor pengguna di Kota Bekasi dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu dari sektor transportasi, industri, dan rumah tangga. Konsumsi energi sektor transportasi di Kota Bekasi umunya berasal dari pemakaian bahan bakar bensin dan solar untuk kendaraan roda empat maupun dua. Pada sektor industri juga banyak memanfaatkan sumber energi dari berbagai macam bahan bakar, diantaranya bensin, solar, minyak tanah, batu bara, oli, pelumas, gas LPG, serta listrik. Pada sektor rumah tangga, energi berfungsi untuk penerangan, memasak, pendingin ruangan, serta berbagai kegiatan rumah tangga yang lain. Energi yang dipakai oleh sektor rumah tangga di Kota Bekasi adalah briket batubara, LPG, gas kota, minyak tanah, kayu bakar, arang dan listrik. 1. Energi matahari Pengembangan green energy yang sudah diterapkan di Kota Bekasi adalah pembangkit listrik energi matahari dan sampah. Penerapan energi matahari sudah diterapkan melalui lampu PJU di beberapa jalan Kota Bekasi. Penggunaan energi matahari sebaiknya dikembangkan juga pada jalan lainnya. Biaya pembangunan PJU tenaga surya lebih mahal daripada pembangunan PJU konvensional yang memanfaatkan tenaga listrik dari PLN. Namun, biaya perawatannya lebih murah karena tidak membayar biaya bulanan PLN, selain itu juga memiliki tingkat kerusakan yang rendah, dan membantu mengurangi kebutuhan energi yang harus dipasok oleh PLN. 2. Energi sampah Penerapan energi sampah di Kota Bekasi terdapat di TPA Sumur Batu dan mampu menghasilkan listrik sebesar 120 kW. Untuk memaksimalkan pengumpulan gas metana dari tumpukan sampah, bukit sampah ditutup rapat dengan terpal plastik tebal. Kemudian di dalam tumpukan sampah dipasang pipa-pipa berukuran besar yang berfungsi menyalurkan gas metana yang terbentuk ke tungku pembakar, sebagaian gas disalurkan untuk menghasilkan listrik guna memenuhi kebutuhan internal sistem LFG Flaring System. Analisis dan evaluasi Penerapan green energy di Kota Bekasi masih berupa energi matahari dan energi sampah. Pemerintah Kota Bekasi belum merencanakan untuk penggunaan energi alternatif lainnya, namun penggunaan energi matahari dan sampah merupakan salah satu bentuk pemerintah Kota Bekasi sudah peduli terhadap penggunaan ernergi alternatif yang ramah lingkungan. Penggunaan energi matahari di Kota Bekasi baru dikembangkan pada lampu PJU di beberapa jalan kota. Sebaiknya penggunaan energi matahari tidak hanya dimanfaatkan untuk 75 penerangan pada jalan kota, namun juga dapat diterapkan pada kawasan permukiman dan perkantoran sebagai sumber listrik. Pemanfaatan energi sampah sudah diterapkan di Kota Bekasi. Energi sampah yang diubah menjadi energi listrik menggunakan teknologi LFG Flaring system. Energi listrik tersebut belum dijadikan sebagai sumber listrik bagi masyarakat Kota Bekasi karena masih digunakan untuk keperluan LFG Flaring System tersebut. Bentuk penerapan green energy terdiri dari energi matahari, energi sampah, energi angin, energi tumbuhan, dan energi air. Tabel 22 Evaluasi bentuk penerapan green energy di Kota Bekasi Skoring (a) Gambar Bentuk Evaluasi 0 1 2 3 4 Energi Umumnya diterapkan matahari pada lampu PJU di beberapa jalan Kota Bekasi. Sebaiknya √ juga diterapkan pada lampu PJU di jalanjalan lainnya. Energi sampah Saat ini energi sampah di Kota Bekasi mampu menghasilkan listrik sebesar 120 kW √ Energi angin Pengembangan energi angin belum diterapkan di Kota Bekasi karena kondisi √ geografis Kota Bekasi tidak sesuai Energi tumbuhan Saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah kota untuk √ memanfaatkan energi tumbuhan Energi air Belum ada kebijakan dari pemerintah Kota √ Bekasi Nilai penerapan total (Xt) 3 (b) Nilai maksimal (Xmax) 20 (c) % penerapan green energy di Kota Bekasi adalah 15% (d) a b Keterangan skoring terdapat pada tabel 11 Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn 76 c d Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal nilai penerapan total (Xt ) % bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100% Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green energy pada Kota Bekasi adalah 15%. Penggunaan energi matahari tidak hanya diterapkan pada PJU namun juga dikembangkan untuk kegiatan lainnya dengan menggunakan teknologi, seperti pemanas surya, arsitektur surya, transportasi tenaga surya, dan fotosintesis buatan. Sedangkan untuk pengelolaan energi sampah, diharapkan Kota Bekasi dapat mengembangkan energi sampah lebih lanjut seperti negara Singapura dan Amerika Serikat. Penggunaan energi angin, tumbuhan, dan air belum diterapkan di Kota Bekasi. Penggunaan energi angin tidak digunakan di Kota Bekasi karena kondisi geografis dan alam Kota Bekasi tidak sesuai dengan kriteria penggunaan energi angin, dimana lebih tepat digunakan pada area pantai atau lahan kosong yang luas serta memiliki kecepatan angin antara 1.6 – 17.1 m/detik. Kecepatan angin di Kota Bekasi adalah 8.37 km/jam atau 2.32 m/detik. Kondisi angin Kota Bekasi memungkinkan untuk penggunaan energi angin , namun ketersediaan lahan untuk penggunaan teknologi tersebut terbatas. Kota Bekasi dialiri tiga sungai utama, yaitu Sungai Bekasi, Cakung, dan Sunter yang dapat dimanfaatkan sebagai tenaga air. Namun, saat ini ketiga sungai tersebut hanya dimanfaatkan sebagai pengairan untuk kawasan pertanian. Green Community Green community merupakan sebuah komunitas/kelompok warga yang peduli terhadap masalah lingkungan dan berperan aktif bersama pemerintah dalam upaya pelestarian lingkungan. Komunitas hijau tumbuh disebabkan oleh semakin meningkatnya tingkat kepedulian dan kesadaran untuk bertanggung jawab dalam menjaga lingkungan dan alam bukan semata berada di tangan pemerintah dan institusi besar, namun juga terletak pada individu dan komunitas masyarakat. Kondisi ideal kota hijau Pembentukan green community diperlukan untuk mengupayakan perubahan perilaku warga untuk menjadi lebih ramah terhadap lingkungan dan lebih peka terhadap perubahan yang terjadi, dengan tujuan akhir untuk mendorong perwujudan lingkungan dan hunian yang aman, nyaman, lestari, serta berkelanjutan sesuai dengan aspirasi warga. Keterlibatan masyarakat dapat menjadi penggerak dalam pengembangan kota hijau serta menjamin keberlanjutan program di masa yang mendatang. Manfaat dari penerapan green community adalah: a. meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengembangan kota hijau untuk mewujudkan fungsi kota yang berkelanjutan; b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat tentang perwujudan kota hijau; 77 c. mendorong peran aktif masyarakat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas ruang yang berwawasan lingkungan; serta d. terbentuknya forum hijau sebagai mitra pemerintah kota/kabupaten dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang. Pembentukan green community dapat dibentuk melalui partisipasi masyarakat dan komunitas warga. 1. Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Slamet 2003). UUPPLH No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 65 ayat (1) juga menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Manfaat yang didapatkan dari partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kelayak hunian lingkungan sekitar, menurunkan tingkat kriminal dan anti sosial, keamanan meningkat, kontrol sosial dan kohesi sosial menjadi lebih baik, masyarakat lebih mengenal lingkungan sekitar mereka. 2. Komunitas warga Komunitas warga merupakan perkumpulan yang sifat keanggotaannya terbuka dan berorientasi sosial. Contoh komunitas warga peduli lingkungan diantaranya komunitas berkebun, komunitas sepeda, komunitas pondok hijau, dan lain-lain. Fungsi dari komunitas warga adalah sebagai media yang menghubungkan antara pemerintah kota dengan masyarakat. Komunitas warga seharusnya dapat menjembatani kegiatan-kegiatan yang diberikan dari pemerintah kepada masyarakat. Begitu juga sebaliknya, dapat menyampaikan kebutuhan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian, program pemerintah yang disampaikan kepada masyarakat dalam mewujudkan kota hijau akan berjalan dengan baik. Kondisi aktual Kota Bekasi Berdasarkan arahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat daerah (Renstra-SKPD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Bekasi 2009 - 2013, pemerintah Kota Bekasi khususnya Badan Pengelolaa Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bekasi beserta masyarakat dan seluruh stakeholder sudsh melakukan kegiata-kegiatan pengelolaan lingkungan dalam upaya penanggulangan permasalahan dan kondisi lingkungan akibat tekanan aktifitas manusia maupun pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bekasi meliputi kegiatan rehabilitasi terhadap lahan, taman, maupun sempadan sungai atau Situ dengan melakukan penanaman 5000 pohon. Berbagai jenis pohon penaung yang ditanam, seperti bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.), bintaro (Cerbera manghas), mahoni (Switenia 78 mahogany), glodokan tiang (Polyalthea longifolia), jati mas (Cordia subcordata), tanjung (mimusops elengi), mangga (Mangifera indica), sukun (Artocarpus communis), dan kecapi (Sandoricum koecape) (BPLH 2012). Disamping kegiatan penghijauan kota, kegiatan fisik lain dalam rangka rehabilitasi lingkungan di Kota Bekasi adalah pelaksanaan uji emisi gas buang kendaraan. Pelaksanaan uji emisi dilakukan selama tiga hari pada tiga lokasi, yaitu Jl. Ahmad Yani, Jl. Jatiwaringin, dan Harapan Baru. Pada kegiatan ini BPLH berhasil menguji 2 067 kendaran dari target 1 500 kendaraan. Upaya lain yang dilakukan dalam rehabilitasi lingkungan adalah penanaman bambu kuning disepanjang Kali Bekasi. Penanaman bibit bambu kuning sebanyak 4 002 buah tersebut dilakukan bersama oleh BPLH Kota Bekasi, pihak swasta dan lembaga atau instansi di Kota Bekasi. Selain itu, pemerintah Kota Bekasi juga melakukan kegiatan kebersihan, ketertiban, dan keindahan (K3) di kantor BPLH Kota Bekasi dan alun-alun Kota Bekasi. Dalam hal ini, BPLH Kota Bekasi berupaya untuk menata dan membuat hijau dalam upaya meraih piala adipura. Kemudian pemerintah juga melaksanakan implementasi Clean Development Mechanism (CDM) di TPA Sumur Batu. Pengembangan program CDM dilakukan melalui penerapan teknologi LFG (Land Fill Gas) Flaring System. Kegiatan CDM ini diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup sekitar TPA khususnya dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Gambar 16 Upaya pengelolaan lingkungan hidup di Kota Bekasi Sumber: BPLH Kota Bekasi 2012 Green community dapat dibentuk melalui partisipasi masyarakat dan komunitas warga. 1. Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan. Demi terpeliharanya lingkungan yang sehat, masyarakat Kota Bekasi telah melakukan beberapa upaya partisipasi aktif pengelolaan lingkungan antara lain melaksanakan kegiatan kebersihan lingkungan, penghijauan, dan penanganan sampah. Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di Kota Bekasi, pemerintah Kota Bekasi melaksanakan berbagai upaya penyuluhan kepada masyarakat dan sekolah di Kota Bekasi, diantaranya bimbingan teknis pengelolaan sampah 3R (reduce, reuse, recycle), pembinaan eco school, dan dialog interaktif lingkungan hidup. 79 Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Kota Bekasi dalam pengelolaan lingkungan adalah melaksanakan program Kali bersih. Program ini ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat bantara kali agar tidak membuang sampah di Kali Bekasi dan meningkatkan kerjasama dan kepedulian masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain melaksanakan program Kali bersih, kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Kota Bekasi adalah pembuatan rumah kompos di Kecamatan Bekasi Selatan untuk menangani limbah padat. Kegiatan pembuatan rumah kompos tersebut juga dibantu oleh pembinaan dari BPLH Kota Bekasi. 2. Komunitas warga Sebagai perwujudan dari meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap permasalahan lingkungan hidup maupun sosial di Kota Bekasi, telah tumbuh dan berkembang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup dan sosial kemasyarakatan. Komunitas warga di Kota Bekasi umumnya dibawah naungan LSM. Kota Bekasi memiliki beberapa komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, diantaranya Indonesia Green Roots (IGR) dan Akar Hijau Lingkungan Indonesia (AHLI) yang berperan aktif dalam pembelaan isu konservasi lingkungan, SAPULIDI ynag berperan aktif dalam permasalahan persampahan dan kebersihan kota, Peduli Lingkungan Bukalam, dan Forum Peduli Lingkungan dan Kesehatan (Pelita Hati). Analisis dan evaluasi Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam mewujudkan kota hijau. Peranan pemerintah sebagai pembina masyarakat dengan merencanakan program-program yang untuk perkembangan kota hijau yang dibantu dengan peranan komunitas warga sebagai mediator dari pemerintah kepada masyarakat. Kegiatan program- program yang telah direncanakan tersebut hendaknya dapat dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat. Tabel 23 Evaluasi bentuk penerapan green community di Kota Bekasi Skoring (a) Gambar Bentuk Evaluasi 0 1 2 3 4 Partisipasi Masyarakat belum masyarakat sepenuhnya aktif dalam program yang dikembangkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan √ sosialisasi dari pemerintah daerah atau komunitas untuk menangani masalah tersebut. 80 Tabel 23 Evaluasi bentuk penerapan green community di Kota Bekasi (lanjutan) Komunitas Komunitas warga di warga Kota Bekasi masih belum optimal dalam kegiatan sosialisasi masyarakat. Komunitas warga seha√ rusnya dapat menjembatani kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah kota kepada masyarakat. Nilai penerapan total (Xt) 2 (b) Nilai maksimal (Xmax) 16 (c) (d) % penerapan green community di Kota Bekasi 12.5% a Keterangan skoring terdapat pada tabel 12 Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn c Nilai maksimal (Xmax) = jumlah model penerapan x poin skoring maksimal nilai penerapan total (Xt ) d % bentuk penerapan = nilai maksimal (Xmax ) x 100% b Dari hasil skoring, dapat disimpulkan bahwa penerapan green energy pada Kota Bekasi adalah 12.5%. Partisipasi masyarakat belum sepenuhnya aktif dalam melaksanakan program dari pemerintah. Program-program yang direncanakan oleh pemerintah seperti melaksanakan program Kali bersih dan rumah kompos hanya dilakukan oleh masyarakat sekitar Kali dan TPA Sumur Batu. Kegiatan lainnya seperti penerapan 3R, umumnya baru dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Kota Bekasi. Oleh karena itu, pemerintah juga melakukan penyuluhan mengenai 3R kepada masyarakat dan lingkungan sekolah. Penyuluhan tersebut ditujukan agar masyarakat Kota Bekasi dapat mengelola sampah rumah tangga mereka dan mengurangi jumlah volume sampah di TPA. Rencana pemerintah dalam mengembangkan program upaya pengelolaan lingkungan hidup tidak hanya dilakukan pada satu kawasan, namun ditargetkan secara menyebar di seluruh Kota Bekasi, seperti kegiatan K3 tidak hanya dilakukan pada kantor BPLH dan alunalun Kota Bekasi, namun juga dilakukan pada taman-taman kota untuk mewujudkan keindahan dari taman kota tersebut. Sehingga masyarakat juga dapat berpartisipasi lebih aktif lagi dalam melakukan program K3 tersebut untuk keindahan taman kota di Kota Bekasi. Dengan demikian, masyarakat juga dapat menikmati keindahan taman kota tersebut. Komunitas warga di Kota Bekasi berada dalam naungan LSM Kota Bekasi. Komunitas dan pemerintah dapat bekerja sama dalam merealisasikan programprogram upaya pengelolaan lingkungan Kota Bekasi. Begitu juga kerjasama antara komunitas dan masyarakat, dimana komunitas dapat mensosialisasikan atau menghimbau masyarakat untuk melaksanakan program-program tersebut. Sosialisasi kepada masyarakat hendaknya dilakukan secara menyebar di seluruh Kota Bekasi, agar masyarakat yang melaksanakan program tersebut tidak hanya di satu daerah, namun juga di seluruh daerah Kota Bekasi. Misalnya program 81 penanaman pohon dalam rangka penghijauan tidak hanya dilakukan pada satu taman, namun juga pada taman-taman kota. Sehingga program penghijauan di Kota Bekasi dapat terwujud dengan baik dan manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Kota Bekasi. Penerapan Indikator Kota Hijau di Kota Bekasi Dalam pengembangan kota hijau terdapat beberapa indikator yang perlu dikembangkan untuk pencapaian kota hijau. Kedelapan indikator tersebut adalah green planning and design, green open space, green building, green waste management, green transportation, green water, green energy, dan green community. Setiap indikator memiliki fungsi atau perannya masing-masing dalam meningkatkan infrastruktur kota. Keterkaitan antar indikator tersebut sangat dibutuhkan dalam penerapan konsep kota hijau. Kota Bekasi sudah menerapkan kedelapan indikator kota hijau. Dari masing-masing penerapan indikator tersebut dapat diketahui pencapaian kota hijau di Kota Bekasi. Dilihat dari aspek perencanaan dan perancangan kota, Kota Bekasi sudah membuat beberapa dokumen, yaitu RTRW, RDTR, dan masterplan. Masterplan saat ini sedang dalam tahap penyusunan, masterplan yang direncanakan adalah masterplan RTH kota. Kota Bekasi sudah merencanakan pembagian kota ke dalam wilayah pusat pelayanan kota (PPK), sub pusat pelayanan kota (SPPK), dan kawasan strategis kota. Tujuannya adalah agar pergerakan aktivitas tidak hanya terpusat pada pusat kota, namun juga pada bagian wilayah lainnya. Pencapaian menuju kota hijau dari segi perencanaan dan perancangan kota adalah 12.5%. Kedepannya pemerintah Kota Bekasi dapat melengkapi dokumen perencanaan dan perancangan kota, seperti membuat masterplan persampahan, RTBL, dan DED. Sehingga perencanaan dan perancangan Kota Bekasi dapat terarah dengan baik sesuai dengan dokumendokumen tersebut. Penerapan green open space di Kota Bekasi belum mencapai 30%. Saat ini penerapan RTH di Kota Bekasi adalah 11% atau sekitar 774 ha. Pencapaian menuju kota hijau dari aspek green open space di Kota Bekasi adalah 45.8%. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah ingin mengembangkan Kota Bekasi menuju kota hijau dimulai dari pengembangan RTH perkotaan. RTH yang sudah dikembangkan secara menyebar di setiap kecamatan Kota Bekasi adalah taman lingkungan, taman kota, dan sempadan sungai. Sedangkan keberadaan hutan kota, TPU, sempadan jalan, dan pertanian perkotaan belum menyebar pada setiap kecamatan. Kedepannya pemerintah Kota Bekasi dapat menambahkan luasan RTH secara menyebar, selain itu untuk penerapan jalur hijau tidak hanya dilakukan pada sempadan sungai dan sempadan jalan, namun juga dilakukan pada jalur SUTET dan KA. Penerapan green building di Kota Bekasi belum diterapkan. Pembangunan green building dapat diterapkan pada gedung-gedung pemerintahan atau gedung perkantoran yang relatif besar dan biasanya lebih banyak menghabiskan energi. Setelah dilakukan penerapan pada gedung-gedung tersebut, baru dapat diaplikasikan pada kawasan perumahan. 82 Penerapan green waste management di Kota Bekasi adalah. 25%. Penerapan 3R umumnya dikembangkan dalam skala rumah tangga dan TPST, namun belum diterapkan pada TPA. Sedangkan jumlah bank sampah yang terdapat di Kota Bekasi baru mencapai 87 buah, selain itu pengolahan grey water dalam skala perumahan masih menggunakan septic tank, cubluk, dan MCK per rumah tangga. Untuk kedepannya, pengembangan green waste dapat dikembangkan dengan melakukan penerapan 3R tidak hanya pada rumah tangga dan TPST tetapi juga pada TPA. Penerapan 3R pada rumah tangga sebaiknya juga dilakukan dengan mandiri agar volume sampah yang diangkut hingga ke TPA tidak memenuhi TPA tersebut. TPA di Kota Bekasi masih menggunakan sistem controlled landfill dan sudah mulai melakukan penyedotan gas metan untuk dijadikan sumber listrik. Sistem controlled landfill ini dapat diganti menjadi sanitary landfill, dimana masalah air lindi pada sampah yang dibuang sudah diperhatikan. Sedangkan untuk pengolahan grey water dapat ditingkatkan secara komunal, dimana pada beberapa kelompok rumah tangga memiliki pengolahan limbah rumah tangga (grey water) sendiri. Selain itu pada setiap rumah dapat menerapkan sistem pengelolaan air limbah dimana air yang telah dibuang dapat digunakan kembali, seperti penggunaan fitoremediasi atau eco tech garden. Berikut adalah ketentuan untuk membuat sistem fitoremediasi, yaitu: a. unit wetland harus didahului dengan baik; b. konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman ± 1m; c. kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet; d. kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) dengan diameter 5 – 10 mm dan tinggi 80 cm; e. ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat, dengan melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan; f. dialirkan air limbah setinggi 70 cm dengan mengatur level ketinggian outlet yang memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan koral; dan g. desain luas kolam berdasarkan beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan loading rate pada umumnya (pada umumnya, untuk daerah tropis 40 kg BOD/ha per hari). Adapun tanaman-tanaman yang sering digunakan dalam fitoremediasi, antara lain: a. Melati air (Echinodorus palaefolius); b. Bambu air (Equisetum hyemale); c. Lotus/teratai (Nelumbo nucifera); d. Pacing merah (Costus specious); e. Papyrus payung (Cyperus alternifolius); dan f. Spider lily (Hymenocallis speciosa). Pencapaian green transportation menuju kota hijau di Kota Bekasi adalah 37.5%. Jalur pejalan kaki yang sudah diterapkan di Kota Bekasi sudah memiliki lebar yang ideal, namun pada beberapa kawasan jalur pejalan kaki tersebut belum memiliki integritas menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Sedangkan penggunaan jalur sepeda sudah diterapkan, namun jalur tersebut masih digunakan oleh kendaraan bermotor. Dan ketersediaan fasilitas parkir sepeda hampir tidak ada dan belum tersedianya peta jalur sepeda. Sedangkan untuk 83 perkembangan angkutan massal, Kota Bekasi sudah memiliki angkutan umum yang terintegrasi, namun arahan dan penggunaan bahan bakar alternatif belum dilakukan di Kota Bekasi. Selain itu, Kota Bekasi sudah menerapkan untuk penggunaan car sharing/ride sharing, namun tidak ada arahan dari pemerintah mengenai pengembangan car sharing tersebut. Permasalahan transportasi yang terdapat di Kota Bekasi umumnya adalah kemacetan dan polusi. Dalam mewujudkan green transportation di Kota Bekasi sebaiknya pemerintah kota menyediakan transportasi yang menggunakan bahan bakar ramah lingkungan untuk mengurangi polusi yang ditimbulkan dari kendaraan tersebut dan pengembangan jalur sepeda pada area jalan lainnya. Serta pemerintah kota perlu meningkatkan pelayanan fasilitas angkutan massal sehingga masyarakat yang menggunakan angkutan massal merasa nyaman dan aman. Selain itu upaya untuk mengurangi kemacetan, saat ini pemerintah kota tengah melakukan upaya menciptakan transportasi massal yang diharapkan berkontribusi lebih baik, yaitu Bus Rapid Transit yang dikembangkan dalam 10 tahun ke depan serta diharapkan mampu mengatasi kebuntuan arus lalu lintas Pencapaian green water menuju kota hijau di Kota Bekasi adalah 25%. Penerapan bentuk green water di Kota Bekasi adalah biopori, sumur resapan, bioretensi, waduk, dan situ. Pengembangan biopori umumnya masih dikembangkan pada wilayah rawan banjir Kota Bekasi dan hanya diterapkan pada beberapa area, misalnya sekolah dan perumahan. Pengembangan biopori tersebut belum menyebar di seluruh wilayah Kota Bekasi. Untuk kedepannya penggunaan biopori tidak hanya dikembangkan pada wilayah rawan banjir, namun juga dikembangkan secara menyebar. Sedangkan untuk penggunaan sumur resapan, bioretensi, waduk, dan situ sudah cukup baik. Waduk atau situ difungsikan sebagai recharge daerah sekitarnya. Air hujan akan ditampung terlebih dahulu sebelum dialirkan ke badan sungai. Pencapaian green energy menuju kota hijau di Kota Bekasi adalah 15%. Penerapan green energy yang sudah diterapkan di Kota Bekasi adalah energi matahari dan energi sampah. Energi matahari sudah diterapkan pada PJU jalan, sedangkan penerapan energi sampah dengan menggunakan LFG flaring system, dengan mengambil gas metan pada tumpukan sampah kemudian diubah menjadi energi listrik. Penggunaan energi sampah saat ini sudah dapat menghasilkan listrik sebesar 120 kW. Untuk kedepannya, pemerintah Kota Bekasi tidak hanya mengembangkan energi matahari sebagai PJU jalan saja, namun juga diterapkan pada atap bangunan. Contoh penggunaan teknologi energi matahari di negara Spanyol adalah menerapkan pembangkit listrik yang memiliki kapasitas 19.9 MW dan memiliki daya simpan 15 jam serta mampu menyediakan listrik 24 jam per hari. Selain itu, perlu adanya peningkatan energi sampah sehingga energi listrik yang dihasilkan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat Kota Bekasi seperti di negara Amerika Serikat dan Singapura. Pada tahun 2008, Singapura berhasil memproduksi 1.04 MWh listrik dan Amerika Serikat berhasil memproduksi 5 MWh listrik dari sampah dan dapat menerangi 5 500 hingga 6 200 rumah. Dengan demikian, penggunaan bahan bakar fosil dapat dikurangi dengan penggunaan energi alternatif tersebut. Pencapaian green community menuju kota hijau di Kota Bekasi adalah 12.5%. Bentuk partisipasi masyarakat belum terlihat aktif dalam menjalankan program dari pemerintah. Sebaiknya perlu adanya sosialisasi dari pemerintah 84 dibantu dengan komunitas warga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dengan bekerjasama dalam menjalankan suatu program. Seperti menjalankan program 3R dan K3. Program 3R dapat disosialisasikan ke sekolah-sekolah di Kota Bekasi, dengan adanya program ini mengajarkan kepada para siswa dapat belajar mengelola sampah dengan baik, seperti menggunakan kembali kertaskertas yang masih dapat digunakan atau menggunakan sistem bank sampah di sekolah. Sedangkan kegiatan K3 tidak hanya dilakukan pada kantor BPLH dan alun-alun Kota Bekasi, namun juga dilakukan pada taman-taman kota untuk mewujudkan keindahan dari taman kota tersebut. Sehingga masyarakat juga dapat berpartisipasi lebih aktif lagi dalam melakukan program K3 tersebut untuk keindahan taman kota di Kota Bekasi. Dengan demikian, masyarakat juga dapat menikmati keindahan taman kota tersebut. Peran komunitas warga dalam mensosialisasikan program-program kepada masyarakat yang telah direncanakan oleh pemerintah kota sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kota hijau. Begitu juga dengan partisipasi masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam menjalankan program-program dari pemerintah kota. Keterlibatan masyarakat dapat menjadi penggerak dalam mewujudkan kota hijau serta menjamin keberlanjutan program di masa mendatang. 85 PENUTUP Simpulan Berdasarkan evaluasi dari kedelapan atribut kota hijau, Kota Bekasi masih belum dapat dikatakan sebagai kota hijau. Penerapan dari kedelapan indikator kota hijau di Kota Bekasi belum ada yang mencapai 100%. Saat ini Kota Bekasi masih dalam tahapan pembangunan kota hijau, hal tersebut dapat dilihat dari rencana dan aplikasi yang diterapkan di Kota Bekasi. Masalah yang terdapat pada Kota Bekasi umumnya adalah banjir, kemacetan dan polusi, serta pengelolaan sampah. Namun dari hasil skoring penelitian, masalah utama di Kota Bekasi berdasarkan kedelapan indikator kota hijau adalah green building dengan penerapan 0%. Penerapan green building saat ini belum diterapkan oleh pemerintah Kota Bekasi, namun green building tersebut akan diterapkan pada kawasan perumahan. Penilaian tertinggi ditujukan pada indikator green open space dengan penerapan 58.3%. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah yang ingin mengembangkan Kota Bekasi menuju kota hijau dimulai dari pengembangan luasan RTH. Selain itu, terdapat beberapa pihak pemerintah yang tidak memiliki atau belum mengumpulkan database dengan lengkap mengenai kedelapan indikator kota hijau tersebut. Database tersebut sangat berpengaruh terhadap pencapaian Kota Bekasi menuju kota hijau. Saran Diharapkan kepada pemerintah Kota Bekasi untuk dapat mengumpulkan database dengan lengkap mengenai indikator-indikator kota hijau. Database tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian Kota Bekasi menuju kota hijau, serta pemerintah kota dapat merencanakan kota dan mengembangkan fasilitas dan utilitas kota yang lebih baik lagi, seperti perencanaan kota hendaknya mengikuti RTRW, mengembangkan energi alternatif terbarukan, menyediakan penyerapan air, dan mengembangkan konsep zero waste dalam mengolah sampah. Selain itu, peran aktif masyarakat Kota Bekasi sangat membantu Kota Bekasi dalam perjalanannya menuju kota hijau. 86 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, 2006. Kota Bekasi Dalam Angka (Bekasi Municipality in Figure) 2005. Bekasi Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, 2012. Kota Bekasi Dalam Angka (Data Primer Kota Bekasi) 2011. Bekasi Branch, M.C. 1995. Pengantar dan Penjelasan Perencanaan Kota Komprehensif. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Budihardjo, E dan Sudjarto, DJ. 2009. Kota Berkelanjutan (Sustainable City). Bandung (ID): PT Alumni Coupland, A. 1997. Reclaiming the City: Mixed Use Development. London (UK): FN Spon. Departemen Arsitektur Lanskap Faperta IPB. 2008. Sampoerna Hijau Kotaku Hijau. Cetakan Pertama Edisi Kedua, Bogor (tidak dipublikasi). 185 hal. Ernawi, Imam S. 2012. Gerakan Kota Hijau. Buletin Tata Ruang edisi Januari - Februari. [Internet]. Diakses pada September 2012. Tersedia dalam: http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik 20120511114327.pdf Habibie N, Sasmito A, Kurniawan R. 2011. Kajian potensi energi angin di wilayah Sulawesi dan Maluku. Meteorologi dan Geofisika. 12(2):181187. Inoguchi T, Newman E, Paoletto G. 2003. Kota dan Lingkungan: Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta: LP3ES. Jenks, Burton M, Williams K. 1996. The Compact City: A Sustainable Urban Form. London (UK): E & FN Spon. Jennings, Michael D. 2000. Gap analysis: concepts, methods, and recent results. Landscape Ecology. 15: 5-20. Joga, Nirwono & Ismaun, Iwan. 2011. RTH 30%: Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kristiyanto, Teguh. 2007. Pengelolaan persampahan berkelanjutan berdasarkan peran serta masyarakat Kota Kebumen [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Kurniaty, Ratih M. 2008. Pelaksanaan konstruksi taman dan pemeliharaan RTH jalan Kota Bekasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kurokawa, Kisho. 2004. Architect and Associate, Selected and Current Works. Hong Kong: Image Publ Group. Nainggolan, Azas Tigor, dan Ahmad Safrudin. 2001. A Long Way To Zero Waste Management. www.geocities.com/persampahan/0-waste.doc. Diakses tanggal 20 Agustus 2013, 20.00. 87 Prayogo, Imam & Utomo, Christiono. [tahun tidak diketahui]. Model pengukuran kerja sustainable building suatu perspektip pada gedung H kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Rahardian Novita, C. 2003. Kajian perkembangan kawasan koridor jalan Pandanaran Semarang sebagai kawasan komersial jasa dan perdagangan ditinjau dari aspek perancangan kota [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Setyorina, E., 2007. Distribusi spasial lahan pertanian perkotaan sebagai salah satu bentuk RTH di Kota Bekasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor (ID): IPB Press Simonds, J.O. 1983. Landscape Architecture: A Manual of Site Planning and Design. New York (USA): McGraw-Hill Book Co. Sumardjito. [tahun tidak diketahui]. Permasalahan Perkotaan dan Kecenderungan Perilaku Individualis Penduduknya. Yogyakarta (ID): FPTK IKIP Yogyakarta. U.S. Green Building Council. 2005. LEED Green Building Rating System. Di dalam: Prayogo I, Utomo C, editor. Model pengukuran kinerja sustainable building suatu perspektip pada gedung H kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya; [waktu tidak diketahui]; Surabaya, Indonesia. Surabaya (ID): ITS. 88 LAMPIRAN Lampiran 1 Volume sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Bekasi Tahun Volume sampah (m3) 2009 2 712 164 2010 2 801 666 2011 2 894 121 2012 2 989 627 2013 3 088 284 Sumber: Rencana Strategis Dinas Kebersihan Kota Bekasi 2009 – 2013 Lampiran 2 Data Angkutan Bidang Angkutan Tahun 2010 No Jenis Angkutan Jumlah 1 Taxi 4188 2 Bis AKDP 437 3 Angkutan Kota AKDP 3246 4 Angkutan Kota (Lokal) 3325 Antar Kota Antar Propinsi 5 247 (AKAP) Barang Double Cabin, Tempelan, 6 110 Gandengan 7 Truck, Tangki 2211 8 Light Truck 2122 9 Pick up, Box 14672 Angkutan Khusus 10 Angkutan Karyawan 161 Angkutan Sekolah 11 19 Mengemudi 12 Angkutan Anak Sekolah 31 13 Angkutan Pariwisata 70 14 Angkutan Sewa 4 Sumber: Rencana Strategis Dinas Perhubungan kota Bekasi 2009 – 2013 89 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Medan, Sumatera Utara pada tanggal 20 November 1991. Penulis merupakan putri pertama dari pasangan Danang Bayu Saksono dan Desria Eka Rustanti. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Swasta Ikal Medan pada tahun 1997 dan lulus pada tahun 2003. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di SMP Swasta Harapan 1 Medan pada tahun 2003 dan lulus tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan SMA di SMA Swasta Harapan 1 Medan pada tahun 2006 dan tamat pada tahun 2009. Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah). Semasa kuliah, penulis pernah mengikuti kepanitian Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB), Masa Perkenalan Fakultas (MPF), dan Masa Perkenalan Departemen (MPD). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Desain Penanaman Lanskap pada tahun 2013, asisten Konstruksi Bangunan Lanskap tahun 2013, dan asisten Proyek Studio tahun 2013.