BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Batuk (dalam bahasa latin disebut tussis) adalah sebuah mekanisme reflek pertahanan yang dapat membersihkan saluran pernapasan laring, trakea dan bronkus dari lendir, mukus, partikel asing dan mikroba (Chung, 2008). Batuk merupakan gejala paling umum dari suatu penyakit dan alasan kebanyakan orang untuk pergi ke dokter (Schappert, 1997). Selain itu batuk sebagai gejala sendiri menjadi 10-38% alasan rujukan ke dokter spesialis pernapasan (McGarvey et al., 1998; Irwin et al., 1998). Di Indonesia, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan atau pancaroba dapat meningkatkan resiko terserang penyakit, umumnya batuk dan pilek (Maharani, 2015). Penyakit batuk dan saluran nafas bagian atas akut ternyata menempati jumlah kunjungan rumah sakit yang paling tinggi. Batuk merupakan gejala yang dialami cukup sering, terutama pada anak, batuk dapat terjadi 4 hingga 8 kali tiap tahunnya (Susanti, 2007).Dalam kondisi normal, batuk memiliki peran yang penting dalam melindungi saluran pernapasan dan paru-paru dari partikel-partikel asing. Namun, batuk juga memiliki mekanisme yang dapat menyebarkan infeksi saluran pernapasan seperti influenza dan TB (Canning et al., 2014). Sebuah studi mengimplikasikan bahwa syaraf vagal afferent yang berhubungan dengan laring, trakea, dan bronkus intrapulmonary berperan dalam meregulasi batuk. Syaraf vagal afferent yang berhubungan dengan trakea, batang otak dan bronkus memiliki peran yang penting dalam refleks batuk pada hewan 1 2 uji kucing (Canning et al., 2014). Batuk dapat disebabkan oleh adanya mekanisme alergi yang dipicu oleh alergen seperti debu, jamur, serbuk bunga, ataupun lingkungan sekitar (Prabhudesai, 2014). Beberapa tahun belakang, ketertarikan terhadap efikasi dan keamanan obat herbal telah meningkat dengan pesat, karena obat herbal banyak digunakan untuk swamedikasi (Peixoto et al., 2009). Di Indonesia telah banyak ditemui berbagai macam obat batuk, salah satu di antaranya adalah obat batuk herbal “X” yang memiliki indikasi meredakan batuk yang disebabkan alergi. Untuk itu, dilakukan uji aktivitas obat batuk herbal “X” terhadap penghambatan kontraksi dan relaksasi otot polos trakea yang diinduksi histamin sebagai agen alergi. Obat batuk herbal “X” merupakan sirup yang mengandung ekstrak airZingiber officinale. Kaempferia galanga (kencur), dan Glycyrrhiza glabra.Ketiga tanaman tersebut termasuk ke dalam daftar tanaman herbal yang memiliki aktivitas antitusif dan/atau ekspektoran (Sellapan, 2015).Telah dilakukan studi terhadap efek anti batuk pada ekstrak jahe (Zingiber officinale),dengan hasil ekstrak jahe dapat mengurangi batuk yang disebabkan oleh mekanisme stimulus pada trakea (Raja& Pandey, 2012). Glycyrrhiza glabra dikenal dengan efeknya sebagai ekspektoran yang menstimulasi sekresi mukus pada trakea, dan terdapat komponen hasil isolasi dari Glycyrrhiza glabra yang memiliki kemampuan relaksasi otot trakea yang diinduksi dengan asetilkolin, KCl dan histamin (Liu et al.,2008). Uji aktivitas dilakukan pada organ terisolasi yaitu trakea marmut. Marmut merupakan hewan uji yang telah digunakan sebagai model untuk respon alergi 3 pada saluran pernapasan selama lebih dari 100 tahun (Auer dan Lewis, 1910; Gay et al., 1949; Zosky dan Sly, 2007). B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah obat batuk herbal “X” memiliki efek penghambatan kontraksi pada otot polos trakea marmut yang diinduksi histamin? 2. Apakah obat batuk herbal “X” yang diuji memiliki efek relaksasi terhadap otot polos trakea pada marmut yang sebelumnya diinduksi histamin? Seberapa besar potensinya? C. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas relaksasi dan penghambatan kontraksi obat batuk herbal “X” terhadap otot trakea marmut yang diinduksi dengan agonis histamin. D. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian yang lebih dalam mengenai kontraksi dan relaksasi otot polos trakea serta perannya dalam regulasi batuk dan pernapasan. E. Tinjauan pustaka 1. Batuk Batuk (dalam bahasa latin disebut tussis) adalah sebuah mekanisme reflek saluran pernapasan yang berfungsi membersihkan jalur pernapasan bagian atas seperti laring, trakea dan bronkus dari lendir, mukus, partikel 4 asing dan mikroba. Batuk kronis secara umum dapat berlangsung hingga lebih dari 8 minggu. Penyebab batuk dapat bermacam-macam seperti merokok aktif maupun pasif, menghirup polusi udara terutama partikel debu. Selain itu terdapat juga batuk yang disebabkan oleh penyakit seperti asma, bronchitis, postnasal drip syndrome hingga flu ringan (Chung, 2008). Batuk merupakan mekanisme yang efisien untuk membersihkan saluran pernapasan atas, dan dapat dianggap sebagai mekanisme pertahanan tubuh innate/natural. Gangguan dalam mekanisme batuk dapat berbahaya dan bahkan fatal pada suatu penyakit. Namun di sisi lain, batuk juga menjadi tanda adanya penyakit di saluran pernapasan ketika batuk terjadi berlebihan atau lebih dari sekedar mekanisme pertahanan(Chung, 2008).Batuk memiliki tiga fase yaitu (1) inspirasi udara ke dalam saluran pernapasan; (2) usaha untuk menghembuskan napas yang tertahan karena tertutupnya glottis; (3) terbukanya glottis dengan ekspirasi udara yang cepat berulang-ulang menghasilkan suara batuk. Refleks batuk dipacu oleh adanya proses inflamasi atau perubahan mekanisme pada jalur pernapasan dan inhalasi iritan, biasanya dari saluran pernapasan atas terutama laring, karina, dan bagian lain pada tempat percabangan dari saluran pernapasan. Reseptor batuk dapat dipicu oleh kontraksi otot polos bronkus yang diinduksi oleh lepasnya agen konstriktor histamin (Chung, 2008). Refleks batuk sebagian besar dibantu oleh syaraf vagal afferent primer seperti RARs (Rapidly Adapting Receptors) pada bronkus yang diaktifkan oleh mekanisme deformasi dan stimulasi epitel saluran pernapasan akibat 5 adanya partikel asing atau mukus, dan juga dibantu oleh kontraksi otot polos pada saluran pernapan yang diinduksi oleh agen konstriksi (Karlsson et al., 1988; Widdicombe, 1995). Mekanisme di atas terdapat pada laring, trakea dan karina. Aktivasi bronkus C fiber oleh senyawa kimia seperti bradikinin dan capsaicin dapat memacu batuk pada hewan maupun manusia (Fox, 1996). 2. Obat batuk herbal “X” Berdasarkan Certificate of Analysis yang terlampir pada Lampiran II, obat batuk herbal “X” merupakan sebuah produk obat herbal yang diproduksi oleh PT Deltomed danmengandung bahan-bahan sebagai berikut : a. Zingiberis rhizoma Zingiberis rhizoma adalah simplisia akar kering dari tanaman Zingiber officinale. Jahe (Zingiber officinale) merupakan tanaman berakar umbi yang dapat tumbuh secara menahun. Batangnya berbentuk tegak, silinder, dan ditumbuhi oleh daun yang berbentuk lurus dengan ukuran 10-15 cm. Jahe telah digunakan sebagai obat sejak jaman dahulu, tercatat pada awal masa aksara Cina dan Sansekerta serta pada literatur kesehatan Yunani kuno, Romawi dan Arab (Bone, 1997). Jahe telah digunakan selama bertahun-tahun pada terapi tradisional untuk demam, bronchitis dan batuk (Bera et al., 2015). Jahe juga merupakan satu di antara obat tradisional dari seluruh dunia yang poten untuk menyembuhkan penyakit flu dan gejala-gejalanya (Ali et al., 2008).Jahe termasuk ke dalam daftar tanaman herbal yang memiliki fungsi sebagai antitusif dan/atau ekspektoran yang disusun oleh MIMS 6 Pharmacy. Pada umumnya efek farmakologi yang ditimbulkan oleh jahe disebabkan oleh komponen gingerol dan shogaolnya. Sedangkan untuk efek antitusif, shogaol diketahui lebih poten daripadi gingerol (Mishraet al., 2012). Pada studi yang telah dilakukan sebelumnya, ditemukan bahwa ekstrak jahe dapat mengurangi batuk yang disebabkan oleh mekanisme stimulus pada trakea dibandingkan dengan kontrol yang digunakan yaitu benadryl atau difenhidramin (Raja et al., 2012). Komponen akar jahe yaitu 6-shogaol, 8-gingerol dan 6-gingerol diketahui dapat meningkatkan potensi isoprotenol dalam relaksasi otot polos trakea marmut maupun manusia yang diinduksi dengan asetilkolin. Salah satu mekanisme yang ditemukan adalah penghambatan enzim phospodiesterase (PDE) yang bekerja mendegradasi cAMP. Penghambatan enzim PDE akan mengakibatkan kenaikan cAMP sehingga terjadi relaksasi pada otot saluran pernapasan (Townsendet al., 2014). Komponen 6-shogaol juga diketahui memiliki kemampuan dalam menghambat enzim phospolipase C. Enzim tersebut berfungsi untuk meregulasi IP3 dan DAG. IP3 berfungsi melepaskan Ca2+ dari retikulum endoplasma dan DAG berfungsi membuka kanal Ca2+. Hal ini menyebabkan peningkatan influks Ca2+ sehingga dapat terjadi kontraksi. Maka, dengan cara menghambat enzim phospolipase C, senyawa 6-shogaol dapat menghambat peningkatan Ca2+ intraseluler dengan mencegah influks Ca2+ (Townsendet al., 2014; Townsendet al., 2013). Gingerol dan 7 shogaol juga diketahui dapat menghambat prostaglandin dan leukotrien sebagai agen inflamasi ketika terjadi paparan alergen. Leukotrien bertanggung jawab atas reaksi inflamasi yang timbul ketika ada alergen, termasuk menyebabkan kontraksi pada otot polos saluran pernapasa. Apabila leukotrien dihambat maka kontraksi pada otot polos akan menurun atau terhambat (Tjendraputra et al., 2001). b. Kaempferia rhizoma Kaempferiae rhizome merupakan simplisia akar kering dari tanaman Kaempferiae galangaatau kencur. Kencur adalah tanaman herbal kecil yang sebagian batangnya berada di dalam tanah. Daunnya biasanya berpasangan dua-dua dengan bentuk oval, berujung runcing dengan permukaan yang halus dan berukuran 6-15 cm. Di Indonesia, kencur digunakan untuk mengobati sakit perut, mengurangi bengkak dan rematik otot. Sedangkan di India, kencur digunakan sebagai tanaman obat yang memiliki fungsi ekspektoran, karminatif dan dapat membantu menyembuhkan rematik, dipepsia dan batuk (Kirtikar dan Basu,1982). Kencur termasuk ke dalam daftar tanaman herbal yang memiliki fungsi sebagai antitusif dan/atau ekspektoran yang disusun oleh MIMS Pharmacy (Sellapan, 2015). Dari penelitian sebelumnya, ditemukan senyawa dari kencur yaitu ethyl-p-methoxycinnamate (EPMC) dapat menghambat sitokin seperti interleukin yang bekerja sebagai agen inflamasi. Selain itu kencur juga memiliki efek antitusif pada mencit yang diinduksi dengan SO2 (Umaret 8 al., 2012). Namun belum ditemukan adanya penelitian mengenai pengaruh Kaempferia galanga pada trakea marmut. c. Akar manis (Licorice) Akar manis adalah simplisia kering dari akar tanaman Glycyrrhiza glabra. Glycyrrhiza glabra adalah tanaman perennial yang tumbuh secara tegak dengan tinggi hingga lebih dari 1m (Anonim, 1985).Akar manis telah digunakan sebagai obat selama lebih dari 4000 tahun (Anil dan Jyotsna, 2012). Akar manis juga diketahui sebagai anti inflamasi, antivirus, hingga antimikroba (Tianet al., 2008). Glycyrrhiza glabra termasuk ke dalam daftar tanaman herbal yang memiliki fungsi sebagai antitusif dan/atau ekspektoran yang disusun oleh MIMS Pharmacy. Akar manis atau simplisia akarnya bekerja sebagai demulcent, yaitu agen yang dapat mengurangi iritasi pada membran mukus dengan cara membentuk sebuah lapisan film pelindung atau yang juga biasa disebut mukoprotektif (Sellapan, 2015). Akar manisbekerja secara efektif sebagai obat batuk yang dapat menghasilkan efek ekspektoran dan menstimulasi sekresi mukus pada trakea. Glycyrrhizin merupakan senyawa yang berperan sebagai demulcent dalam akar manis (Damle, 2014). Pada penelitian yang telah dilakukan, salah satu komponen dari akar manis yaitu isoliquiritigenin dapat menyebabkan relaksasi pada otot trakea marmut yang diinduksi dengan asetilkolin, histamin, dan KCl. Salah satu mekanisme yang diketahui adalah dengan meningkatkan 9 cGMP intraselular yang menyebabkan menurunnya kadar Ca2+ dan pada akhirnya relaksasi otot trakea (Liuet al., 2008). Selain itu, senyawa glycyrrhizin juga diketahui dapat meningkatkan efek salbutamol dalam relaksasi otot trakea (Yanget al., 2010). 3. Trakea Trakea berbentuk seperti tabung yang membentang bagian bawah laring hingga bagian atas dada yang terletak di atas jantung. Trakea terdiri dari jaringan ikat yang rapat dan cincin yang terbentuk dari kartilago hialin. Cincin kartilago ini berbentuk seperti sepatu kuda atau huruf C dimana tidak melingkar secara sempurna namun memiliki bagian yang terbuka secara posterior sepanjang trakea. Pada bagian posterior trakea, terdapat ligament otot polos trakea yang dapat berkontraksi. Fungsi dari trakea adalah menyalurkan udara dari laring ke paru-paru. Pada bagian ujung, trakea membelah menjadi dua bronkus yang dinamakan karina (Assefa, 2003; Forciea, 2014). Reseptor histamine dapat ditemukan pada bagian melingkar trakea dan pulmonary arteri. Reseptor ini merespon terhadap agonis H1, H2 dan H3. Pada trakea marmut kontraksi otot polosnya disebabkan oleh adanya agonis histamin pada reseptor H1 (Cardell dan Edvinsson, 1994). 4. Interaksi Obat dan Reseptor Aktivitas obat pada sistem biologi disebabkan oleh adanya interaksi antara molekul obat dengan suatu kompleks molekul spesifik yang merupakan komponen dari sistem biologi. Komponen dimana obat 10 berinteraksi disebut dengan reseptor. Interaksi obat dengan reseptor dapat secara sederhana digambarkan sebagai berikut dengan asumsi kompleksnya bersifat reversibel dan jumlah obat lebih banyak daripada reseptor yang tersedia. Obat + Reseptor ⇌ Komplek obat-reseptor→→→ Efek biologis Timbulnya efek biologis tergantung pada banyaknya dan kuatnya kompleks obat-reseptor yang terbentuk. Semakin banyak dan semakin kuat kompleks obat-reseptor, maka semakin kuat pula efek biologis yang dihasilkan.Untuk melakukan studi mengenai interaksi obat-reseptor dan hubungannya dengan efek biologisnya maka metode yang paling sering digunakan adalah metode organ terisolasi.Obat merupakan suatu molekul spesifik atau ligan yang dapat mengikat reseptor. Ada dua macam ligan, yaitu agonis dan antagonis yang perbedaanya dapat digambarkan pada gambar 2. Gambar 1. Aksi spesifik ligan pada reseptor 11 a. Agonis Agonis adalah sebuah ligan atau obat yang bila berikatan dengan reseptor akan menghasilkan efek biologis. Ada dua syarat agonis agar dapat menghasilkan respon, yaitu: 1. Afinitas, merupakan kemampuan obat untuk berinteraksi dengan reseptornya. Parameter yang digunakan untuk mengukur afinitas adalah nilai pD2. Apabila nilainya besar, maka afinitas ligan terhadap reseptor semakin besar. pD2 merupakan nilai minus logaritma dari ED50 sehingga jika pD2 besar,nilai ED50 kecil dan konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencapai respon 50% akan lebih kecil. 2. Aktivitas intrinsik, merupakan kemampuan suatu obat untuk menghasilkan efek atau respon dari jaringan. Aktivitas intrinsik berfungsi dalam menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh suatu senyawa. b. Antagonis Antagonis adalah sebuah ligan atau obat yang bila berikatan dengan reseptor tidak akan menghasilkan efek biologis atau mengurangi efek yang ada. Terdapat dua jenis antagonis, yaitu: 1. Antagonis kompetitif, adalah antagonis yang mengikat reseptor secara reversibel pada daerah yang sama dengan tempat ikatan agonis, namun tidak menimbulkan efek. Efek antagonis kompetitif dapat diatasi dengan penambahan agonis, karena 12 dapat meningkatkan jumlah reseptor yang berkompleks dengan agonis. Antagonis kompetitif akan menggeser profil kurva ke arah kanan (Gambar 2) dan menurunkan afinitas ligan terhadap reseptor namun tidak menurunkan efek maksimalnya. 2. Antagonis non kompetitif, adalah antagonis yang dapat mengurangi efektifitas suatu agonis melalui mekanisme selain berikatan dengan tempat agonis pada reseptor. Efek antagonis non kompetitif tidak dapat diatasi dengan penambahan agonis, karena ikatan dengan reseptornya bersifat irreversibel. Antagonis non kompetitif akan menurunkan respon maksimal yang ditimbulkan oleh aktivasi reseptor (Gambar 3) namun tidak mempengaruhi afinitas ligan terhadap reseptor. 5. Histamin Gambar 4. Struktur molekul histamin Bobot molekul : 184,1 g/mol Histamin memiliki titik didih 209-210oC, titik lebur 83-84oC dan bersifat larut dalam air, alkohol, dan kloroform panas. Stabil dalam air, namun terpengaruh pada cahaya. Memiliki dua pKa yaitu 9,68 dan 5,88. Histamin 13 disintesis dan dilepaskan oleh berbagai macam sel dalam tubuh manusia seperti basofil, sel mast, platelet, dan limfosit. Histamin disimpan dalan vesikel atau granul yang dilepaskan ketika adanya stimulasi. Histamin (2-4[emidazolyl]ethylamine) ditemukan pada tahun 1910 dan diidentifikasi sebagai mediator reaksi anafilaksis pada tahun 1932. Histamin merupakan mediator poten dalam berbagai macam reaksi fisiologis (Criado et al., 2010). Histamin juga memiliki peran yang penting dalam reaksi patofisiologis. Pada kondisi alergi, yaitu ketika tubuh terpapar alergen, histamin dilepaskan dari basofil dan sel mast yang kemudian akan bertanggung jawab pada gejala alergi yang muncul baik pada kulit maupun saluran pernapasan. Histamin adalah sebuah Autakoid, yaitu substansi kimia yang secara normal terdapat dalam tubuh dan memiliki fungsi fisiologik dan patologik yang penting. Histamin banyak ditemukan di berbagai tempat dalam tubuh namun memiliki konsentrasi tertinggi di otak, organ pencernaan, kulit dan paru-paru. Histamin terkonsentrasi pada 3 sel utama, yaitu sel mast, enterochromaffin-like cell (ECL) dan berbagai macam neuron. Aktivitas farmakologi yang dihasilkan oleh histamin tergantung pada jenis jaringan dan tipe reseptor yang teraktivasi (Guenthner, 2015). 6. Reseptor histamin Reseptor histamin merupakan bagian dari keluarga G-protein coupled receptor (GPCR). Histamin memiliki empat reseptor yaitu H1, H2, H3 dan H4. Tiap reseptor histamin memiliki fungsinya masing-masing dengan mekanisme kerja yang berbeda. Reseptor H1 berikatan dengan protein Gq 14 yang memiliki fungsi stimulasi phospholipase C, sedangkan reseptor H2 berikatan dengan protein Gs yang dapat mengaktivasi adenylyl cyclase. Reseptor H3 dan H4 berikatan dengan protein Gi yang kerjanya menghambat adenylyl cyclase. Tabel I. Lokasi reseptor histamin beserta aksi agonis dan mekanismenya pada reseptor masing-masing Reseptor H1 Lokasi Otot polos, endotelium, otak H2 Mukosa lambung, otot jantung, sel mast, otak H3 Presinaptik pada otak, myenteric plexus, syarafneuron H4 Eosinofil, Neutrofil, Sel T CD4 Aktivasi reseptor H1 Aksi Agonis Kontraksi otot polos, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler Stimulasi sekresi asam lambung, stimulasi jantung Mekanisme pada reseptor Peningkatan IP3, DAG (Gq) Peningkatan cAMP (Gs) Penghambatan pelepasan neurotransmitter Penurunan cAMP, Ca2+ (Gi) - Penurunan cAMP, Ca2+ (Gi) dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, menstimulasi saraf sensorik pernapasan dan meningkatkan kemotaksis eosinofil sehingga menyebabkan bersin, nasal kongesti dan rhinorrhea. Pada bagian korteks serebral atau bagian otak bagian luar, aktivasi reseptor H1 dapat menyebabkan terjadinya inhibisi kanal K+ pada sel membran, depolarisasi neuron, sehingga meningkatkan tegangan voltase sel. Antagonis reseptor H1 dapat menyebabkan kantuk karena efeknya berkebalikan yaitu menghambat aktivasi reseptor H1 dan menurunkan tegangan voltase sel. Reseptor H1 banyak ditemukan di bagian perifer, seperti pada otot polos 15 dimana aktivasi reseptor dapat menyebabkan vasokonstriksi (Parsons dan Ganellin, 2006).Untuk mengetahui potensi obat-obatan antihistamin, dilakukan uji farmakologi pada usus marmut atau kontraksi otot trakeanya (Criado, 2010). F. Landasan teori Batuk merupakan penyakit umum yang paling sering dijumpai di masyarakat. Beberapa di antaranya dapat beruba gejala dari penyakit lain seperti penyakit pernapasan TBC atau influenza. Pada kondisi normal, batuk berfungsi sebagai mekanisme perlindungan tubuh dari bakteri, mikroba atau partikel asing, namun apabila terjadi dengan frekuensi yang tinggi menyebabkan ketidaknyamanan penderitanya. Di Indonesia telah banyak beredar obat-obatan herbal yang dapat menangani berbagai penyakit dengan bahan-bahan yang alami. Obat batuk herbal “X” yang akan diteliti memiliki komposisi Zingiber officinales, Kaempferia galanga, dan Glycyrrhiza glabra. Ketiganya termasuk dalam daftar tanaman obat herbal yang diketahui memiliki efek antitusif dan/atau ekspektoran (Sellapan, 2015). Dari penelitian sebelumnya, diketahui ekstrak jahe dapat mengurangi batuk yang disebabkan oleh mekanisme stimulus pada trakea (Raja et al., 2012). Sedangkan komponen dari Glycyrrhiza glabra yaitu isoliquiritigenin diketahui dapat menyebabkan relaksasi pada otot trakea marmut yang diinduksi dengan asetilkolin, histamin, dan KCl (Liu et al., 2010). Berdasarkan penelitian sebelumnya, diharapkan obat batuk herbal “X” yang berisi campuran ekstrak tanaman dapat memberikan efek yang mirip atau sejenis. 16 G. Hipotesis 1. Obat batuk herbal “X” dapat menghambat kontraksi otot trakea marmut yang diinduksi dengan histamin. 2. Obat batuk herbal “X” memiliki efek relaksasi terhadap otottrakea marmut yang telah diinduksi dengan histamin.