1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Batuk (dalam

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Batuk (dalam bahasa latin disebut tussis) adalah sebuah mekanisme reflek
pertahanan yang dapat membersihkan saluran pernapasan laring, trakea dan
bronkus dari lendir, mukus, partikel asing dan mikroba (Chung, 2008). Batuk
merupakan gejala paling umum dari suatu penyakit dan alasan kebanyakan orang
untuk pergi ke dokter (Schappert, 1997). Selain itu batuk sebagai gejala sendiri
menjadi 10-38% alasan rujukan ke dokter spesialis pernapasan (McGarvey et al.,
1998; Irwin et al., 1998). Di Indonesia, peralihan dari musim kemarau ke musim
hujan atau pancaroba dapat meningkatkan resiko terserang penyakit, umumnya
batuk dan pilek (Maharani, 2015). Penyakit batuk dan saluran nafas bagian atas
akut ternyata menempati jumlah kunjungan rumah sakit yang paling tinggi. Batuk
merupakan gejala yang dialami cukup sering, terutama pada anak, batuk dapat
terjadi 4 hingga 8 kali tiap tahunnya (Susanti, 2007).Dalam kondisi normal, batuk
memiliki peran yang penting dalam melindungi saluran pernapasan dan paru-paru
dari partikel-partikel asing. Namun, batuk juga memiliki mekanisme yang dapat
menyebarkan infeksi saluran pernapasan seperti influenza dan TB (Canning et al.,
2014).
Sebuah studi mengimplikasikan bahwa syaraf vagal afferent yang
berhubungan dengan laring, trakea, dan bronkus intrapulmonary berperan dalam
meregulasi batuk. Syaraf vagal afferent yang berhubungan dengan trakea, batang
otak dan bronkus memiliki peran yang penting dalam refleks batuk pada hewan
1
2
uji kucing (Canning et al., 2014). Batuk dapat disebabkan oleh adanya mekanisme
alergi yang dipicu oleh alergen seperti debu, jamur, serbuk bunga, ataupun
lingkungan sekitar (Prabhudesai, 2014).
Beberapa tahun belakang, ketertarikan terhadap efikasi dan keamanan obat
herbal telah meningkat dengan pesat, karena obat herbal banyak digunakan untuk
swamedikasi (Peixoto et al., 2009). Di Indonesia telah banyak ditemui berbagai
macam obat batuk, salah satu di antaranya adalah obat batuk herbal “X” yang
memiliki indikasi meredakan batuk yang disebabkan alergi.
Untuk itu, dilakukan uji aktivitas obat batuk herbal “X” terhadap
penghambatan kontraksi dan relaksasi otot polos trakea yang diinduksi histamin
sebagai agen alergi. Obat batuk herbal “X” merupakan sirup yang mengandung
ekstrak airZingiber officinale. Kaempferia galanga (kencur), dan Glycyrrhiza
glabra.Ketiga tanaman tersebut termasuk ke dalam daftar tanaman herbal yang
memiliki aktivitas antitusif dan/atau ekspektoran (Sellapan, 2015).Telah dilakukan
studi terhadap efek anti batuk pada ekstrak jahe (Zingiber officinale),dengan hasil
ekstrak jahe dapat mengurangi batuk yang disebabkan oleh mekanisme stimulus
pada trakea (Raja& Pandey, 2012). Glycyrrhiza glabra dikenal dengan efeknya
sebagai ekspektoran yang menstimulasi sekresi mukus pada trakea, dan terdapat
komponen hasil isolasi dari Glycyrrhiza glabra yang memiliki kemampuan
relaksasi otot trakea yang diinduksi dengan asetilkolin, KCl dan histamin (Liu et
al.,2008).
Uji aktivitas dilakukan pada organ terisolasi yaitu trakea marmut. Marmut
merupakan hewan uji yang telah digunakan sebagai model untuk respon alergi
3
pada saluran pernapasan selama lebih dari 100 tahun (Auer dan Lewis, 1910; Gay
et al., 1949; Zosky dan Sly, 2007).
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.
Apakah obat batuk herbal “X” memiliki efek penghambatan kontraksi
pada otot polos trakea marmut yang diinduksi histamin?
2.
Apakah obat batuk herbal “X” yang diuji memiliki efek relaksasi
terhadap otot polos trakea pada marmut yang sebelumnya diinduksi
histamin? Seberapa besar potensinya?
C. Tujuan penelitian
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
aktivitas
relaksasi
dan
penghambatan kontraksi obat batuk herbal “X” terhadap otot trakea marmut yang
diinduksi dengan agonis histamin.
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian yang lebih
dalam mengenai kontraksi dan relaksasi otot polos trakea serta perannya dalam
regulasi batuk dan pernapasan.
E. Tinjauan pustaka
1. Batuk
Batuk (dalam bahasa latin disebut tussis) adalah sebuah mekanisme
reflek saluran pernapasan yang berfungsi membersihkan jalur pernapasan
bagian atas seperti laring, trakea dan bronkus dari lendir, mukus, partikel
4
asing dan mikroba. Batuk kronis secara umum dapat berlangsung hingga
lebih dari 8 minggu. Penyebab batuk dapat bermacam-macam seperti
merokok aktif maupun pasif, menghirup polusi udara terutama partikel debu.
Selain itu terdapat juga batuk yang disebabkan oleh penyakit seperti asma,
bronchitis, postnasal drip syndrome hingga flu ringan (Chung, 2008).
Batuk merupakan mekanisme yang efisien untuk membersihkan saluran
pernapasan atas, dan dapat dianggap sebagai mekanisme pertahanan tubuh
innate/natural. Gangguan dalam mekanisme batuk dapat berbahaya dan
bahkan fatal pada suatu penyakit. Namun di sisi lain, batuk juga menjadi
tanda adanya penyakit di saluran pernapasan ketika batuk terjadi berlebihan
atau lebih dari sekedar mekanisme pertahanan(Chung, 2008).Batuk memiliki
tiga fase yaitu (1) inspirasi udara ke dalam saluran pernapasan; (2) usaha
untuk menghembuskan napas yang tertahan karena tertutupnya glottis; (3)
terbukanya glottis dengan ekspirasi udara yang cepat berulang-ulang
menghasilkan suara batuk. Refleks batuk dipacu oleh adanya proses inflamasi
atau perubahan mekanisme pada jalur pernapasan dan inhalasi iritan, biasanya
dari saluran pernapasan atas terutama laring, karina, dan bagian lain pada
tempat percabangan dari saluran pernapasan. Reseptor batuk dapat dipicu
oleh kontraksi otot polos bronkus yang diinduksi oleh lepasnya agen
konstriktor histamin (Chung, 2008).
Refleks batuk sebagian besar dibantu oleh syaraf vagal afferent primer
seperti RARs (Rapidly Adapting Receptors) pada bronkus yang diaktifkan
oleh mekanisme deformasi dan stimulasi epitel saluran pernapasan akibat
5
adanya partikel asing atau mukus, dan juga dibantu oleh kontraksi otot polos
pada saluran pernapan yang diinduksi oleh agen konstriksi (Karlsson et al.,
1988; Widdicombe, 1995). Mekanisme di atas terdapat pada laring, trakea
dan karina. Aktivasi bronkus C fiber oleh senyawa kimia seperti bradikinin
dan capsaicin dapat memacu batuk pada hewan maupun manusia (Fox, 1996).
2. Obat batuk herbal “X”
Berdasarkan Certificate of Analysis yang terlampir pada Lampiran II,
obat batuk herbal “X” merupakan sebuah produk obat herbal yang diproduksi
oleh PT Deltomed danmengandung bahan-bahan sebagai berikut :
a. Zingiberis rhizoma
Zingiberis rhizoma adalah simplisia akar kering dari tanaman Zingiber
officinale. Jahe (Zingiber officinale) merupakan tanaman berakar umbi
yang dapat tumbuh secara menahun. Batangnya berbentuk tegak, silinder,
dan ditumbuhi oleh daun yang berbentuk lurus dengan ukuran 10-15 cm.
Jahe telah digunakan sebagai obat sejak jaman dahulu, tercatat pada awal
masa aksara Cina dan Sansekerta serta pada literatur kesehatan Yunani
kuno, Romawi dan Arab (Bone, 1997).
Jahe telah digunakan selama bertahun-tahun pada terapi tradisional
untuk demam, bronchitis dan batuk (Bera et al., 2015). Jahe juga
merupakan satu di antara obat tradisional dari seluruh dunia yang poten
untuk menyembuhkan penyakit flu dan gejala-gejalanya (Ali et al.,
2008).Jahe termasuk ke dalam daftar tanaman herbal yang memiliki
fungsi sebagai antitusif dan/atau ekspektoran yang disusun oleh MIMS
6
Pharmacy. Pada umumnya efek farmakologi yang ditimbulkan oleh jahe
disebabkan oleh komponen gingerol dan shogaolnya. Sedangkan untuk
efek antitusif, shogaol diketahui lebih poten daripadi gingerol (Mishraet
al., 2012).
Pada studi yang telah dilakukan sebelumnya, ditemukan bahwa
ekstrak jahe dapat mengurangi batuk yang disebabkan oleh mekanisme
stimulus pada trakea dibandingkan dengan kontrol yang digunakan yaitu
benadryl atau difenhidramin (Raja et al., 2012). Komponen akar jahe
yaitu 6-shogaol, 8-gingerol dan 6-gingerol diketahui dapat meningkatkan
potensi isoprotenol dalam relaksasi otot polos trakea marmut maupun
manusia yang diinduksi dengan asetilkolin. Salah satu mekanisme yang
ditemukan adalah penghambatan enzim phospodiesterase (PDE) yang
bekerja
mendegradasi
cAMP.
Penghambatan
enzim
PDE
akan
mengakibatkan kenaikan cAMP sehingga terjadi relaksasi pada otot
saluran pernapasan (Townsendet al., 2014). Komponen 6-shogaol juga
diketahui memiliki kemampuan dalam menghambat enzim phospolipase
C. Enzim tersebut berfungsi untuk meregulasi IP3 dan DAG. IP3
berfungsi melepaskan Ca2+ dari retikulum endoplasma dan DAG
berfungsi membuka kanal Ca2+. Hal ini menyebabkan peningkatan
influks Ca2+ sehingga dapat terjadi kontraksi. Maka, dengan cara
menghambat
enzim
phospolipase
C,
senyawa
6-shogaol
dapat
menghambat peningkatan Ca2+ intraseluler dengan mencegah influks
Ca2+ (Townsendet al., 2014; Townsendet al., 2013). Gingerol dan
7
shogaol juga diketahui dapat menghambat prostaglandin dan leukotrien
sebagai agen inflamasi ketika terjadi paparan alergen. Leukotrien
bertanggung jawab atas reaksi inflamasi yang timbul ketika ada alergen,
termasuk menyebabkan kontraksi pada otot polos saluran pernapasa.
Apabila leukotrien dihambat maka kontraksi pada otot polos akan
menurun atau terhambat (Tjendraputra et al., 2001).
b. Kaempferia rhizoma
Kaempferiae rhizome merupakan simplisia akar kering dari tanaman
Kaempferiae galangaatau kencur. Kencur adalah tanaman herbal kecil
yang sebagian batangnya berada di dalam tanah. Daunnya biasanya
berpasangan dua-dua dengan bentuk oval, berujung runcing dengan
permukaan yang halus dan berukuran 6-15 cm. Di Indonesia, kencur
digunakan untuk mengobati sakit perut, mengurangi bengkak dan rematik
otot. Sedangkan di India, kencur digunakan sebagai tanaman obat yang
memiliki
fungsi
ekspektoran,
karminatif
dan
dapat
membantu
menyembuhkan rematik, dipepsia dan batuk (Kirtikar dan Basu,1982).
Kencur termasuk ke dalam daftar tanaman herbal yang memiliki fungsi
sebagai antitusif dan/atau ekspektoran yang disusun oleh MIMS
Pharmacy (Sellapan, 2015).
Dari penelitian sebelumnya, ditemukan senyawa dari kencur yaitu
ethyl-p-methoxycinnamate (EPMC) dapat menghambat sitokin seperti
interleukin yang bekerja sebagai agen inflamasi. Selain itu kencur juga
memiliki efek antitusif pada mencit yang diinduksi dengan SO2 (Umaret
8
al., 2012). Namun belum ditemukan adanya penelitian mengenai
pengaruh Kaempferia galanga pada trakea marmut.
c. Akar manis (Licorice)
Akar manis adalah simplisia kering dari akar tanaman Glycyrrhiza
glabra. Glycyrrhiza glabra adalah tanaman perennial yang tumbuh
secara tegak dengan tinggi hingga lebih dari 1m (Anonim, 1985).Akar
manis telah digunakan sebagai obat selama lebih dari 4000 tahun (Anil
dan Jyotsna, 2012). Akar manis juga diketahui sebagai anti inflamasi,
antivirus, hingga antimikroba (Tianet al., 2008).
Glycyrrhiza glabra termasuk ke dalam daftar tanaman herbal yang
memiliki fungsi sebagai antitusif dan/atau ekspektoran yang disusun oleh
MIMS Pharmacy. Akar manis atau simplisia akarnya bekerja sebagai
demulcent, yaitu agen yang dapat mengurangi iritasi pada membran
mukus dengan cara membentuk sebuah lapisan film pelindung atau yang
juga biasa disebut mukoprotektif (Sellapan, 2015). Akar manisbekerja
secara efektif sebagai obat batuk yang dapat menghasilkan efek
ekspektoran dan menstimulasi sekresi mukus pada trakea. Glycyrrhizin
merupakan senyawa yang berperan sebagai demulcent dalam akar manis
(Damle, 2014).
Pada penelitian yang telah dilakukan, salah satu komponen dari akar
manis yaitu isoliquiritigenin dapat menyebabkan relaksasi pada otot
trakea marmut yang diinduksi dengan asetilkolin, histamin, dan KCl.
Salah satu mekanisme yang diketahui adalah dengan meningkatkan
9
cGMP intraselular yang menyebabkan menurunnya kadar Ca2+ dan pada
akhirnya relaksasi otot trakea (Liuet al., 2008). Selain itu, senyawa
glycyrrhizin juga diketahui dapat meningkatkan efek salbutamol dalam
relaksasi otot trakea (Yanget al., 2010).
3. Trakea
Trakea berbentuk seperti tabung yang membentang bagian bawah laring
hingga bagian atas dada yang terletak di atas jantung. Trakea terdiri dari
jaringan ikat yang rapat dan cincin yang terbentuk dari kartilago hialin.
Cincin kartilago ini berbentuk seperti sepatu kuda atau huruf C dimana tidak
melingkar secara sempurna namun memiliki bagian yang terbuka secara
posterior sepanjang trakea. Pada bagian posterior trakea, terdapat ligament
otot polos trakea yang dapat berkontraksi. Fungsi dari trakea adalah
menyalurkan udara dari laring ke paru-paru. Pada bagian ujung, trakea
membelah menjadi dua bronkus yang dinamakan karina (Assefa, 2003;
Forciea, 2014).
Reseptor histamine dapat ditemukan pada bagian melingkar trakea dan
pulmonary arteri. Reseptor ini merespon terhadap agonis H1, H2 dan H3. Pada
trakea marmut kontraksi otot polosnya disebabkan oleh adanya agonis
histamin pada reseptor H1 (Cardell dan Edvinsson, 1994).
4. Interaksi Obat dan Reseptor
Aktivitas obat pada sistem biologi disebabkan oleh adanya interaksi
antara molekul obat dengan suatu kompleks molekul spesifik yang
merupakan komponen dari sistem biologi. Komponen dimana obat
10
berinteraksi disebut dengan reseptor. Interaksi obat dengan reseptor dapat
secara sederhana digambarkan sebagai berikut dengan asumsi kompleksnya
bersifat reversibel dan jumlah obat lebih banyak daripada reseptor yang
tersedia.
Obat + Reseptor ⇌ Komplek obat-reseptor→→→ Efek biologis
Timbulnya efek biologis tergantung pada banyaknya dan kuatnya
kompleks obat-reseptor yang terbentuk. Semakin banyak dan semakin kuat
kompleks obat-reseptor, maka semakin kuat pula efek biologis yang
dihasilkan.Untuk melakukan studi mengenai interaksi obat-reseptor dan
hubungannya dengan efek biologisnya maka metode yang paling sering
digunakan adalah metode organ terisolasi.Obat merupakan suatu molekul
spesifik atau ligan yang dapat mengikat reseptor. Ada dua macam ligan, yaitu
agonis dan antagonis yang perbedaanya dapat digambarkan pada gambar 2.
Gambar 1. Aksi spesifik ligan pada reseptor
11
a.
Agonis
Agonis adalah sebuah ligan atau obat yang bila berikatan dengan
reseptor akan menghasilkan efek biologis. Ada dua syarat agonis agar
dapat menghasilkan respon, yaitu:
1. Afinitas, merupakan kemampuan obat untuk berinteraksi dengan
reseptornya. Parameter yang digunakan untuk mengukur afinitas
adalah nilai pD2. Apabila nilainya besar, maka afinitas ligan
terhadap reseptor semakin besar. pD2 merupakan nilai minus
logaritma dari ED50 sehingga jika pD2 besar,nilai ED50 kecil dan
konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencapai respon 50% akan
lebih kecil.
2. Aktivitas intrinsik, merupakan kemampuan suatu obat untuk
menghasilkan efek atau respon dari jaringan. Aktivitas intrinsik
berfungsi dalam menentukan besarnya efek maksimum yang
dicapai oleh suatu senyawa.
b.
Antagonis
Antagonis adalah sebuah ligan atau obat yang bila berikatan dengan
reseptor tidak akan menghasilkan efek biologis atau mengurangi
efek yang ada. Terdapat dua jenis antagonis, yaitu:
1. Antagonis kompetitif, adalah antagonis yang mengikat reseptor
secara reversibel pada daerah yang sama dengan tempat ikatan
agonis, namun tidak menimbulkan efek. Efek antagonis
kompetitif dapat diatasi dengan penambahan agonis, karena
12
dapat meningkatkan jumlah reseptor yang berkompleks dengan
agonis. Antagonis kompetitif akan menggeser profil kurva ke
arah kanan (Gambar 2) dan menurunkan afinitas ligan terhadap
reseptor namun tidak menurunkan efek maksimalnya.
2. Antagonis non kompetitif, adalah antagonis yang dapat
mengurangi efektifitas suatu agonis melalui mekanisme selain
berikatan dengan tempat agonis pada reseptor. Efek antagonis
non kompetitif tidak dapat diatasi dengan penambahan agonis,
karena ikatan dengan reseptornya bersifat irreversibel. Antagonis
non kompetitif akan menurunkan respon maksimal yang
ditimbulkan oleh aktivasi reseptor (Gambar 3) namun tidak
mempengaruhi afinitas ligan terhadap reseptor.
5. Histamin
Gambar 4. Struktur molekul histamin
Bobot molekul
: 184,1 g/mol
Histamin memiliki titik didih 209-210oC, titik lebur 83-84oC dan bersifat
larut dalam air, alkohol, dan kloroform panas. Stabil dalam air, namun
terpengaruh pada cahaya. Memiliki dua pKa yaitu 9,68 dan 5,88. Histamin
13
disintesis dan dilepaskan oleh berbagai macam sel dalam tubuh manusia
seperti basofil, sel mast, platelet, dan limfosit. Histamin disimpan dalan
vesikel atau granul yang dilepaskan ketika adanya stimulasi. Histamin (2-4[emidazolyl]ethylamine) ditemukan pada tahun 1910 dan diidentifikasi
sebagai mediator reaksi anafilaksis pada tahun 1932. Histamin merupakan
mediator poten dalam berbagai macam reaksi fisiologis (Criado et al., 2010).
Histamin juga memiliki peran yang penting dalam reaksi patofisiologis.
Pada kondisi alergi, yaitu ketika tubuh terpapar alergen, histamin dilepaskan
dari basofil dan sel mast yang kemudian akan bertanggung jawab pada gejala
alergi yang muncul baik pada kulit maupun saluran pernapasan. Histamin
adalah sebuah Autakoid, yaitu substansi kimia yang secara normal terdapat
dalam tubuh dan memiliki fungsi fisiologik dan patologik yang penting.
Histamin banyak ditemukan di berbagai tempat dalam tubuh namun memiliki
konsentrasi tertinggi di otak, organ pencernaan, kulit dan paru-paru. Histamin
terkonsentrasi pada 3 sel utama, yaitu sel mast, enterochromaffin-like cell
(ECL) dan berbagai macam neuron. Aktivitas farmakologi yang dihasilkan
oleh histamin tergantung pada jenis jaringan dan tipe reseptor yang teraktivasi
(Guenthner, 2015).
6. Reseptor histamin
Reseptor histamin merupakan bagian dari keluarga G-protein coupled
receptor (GPCR). Histamin memiliki empat reseptor yaitu H1, H2, H3 dan H4.
Tiap
reseptor
histamin
memiliki
fungsinya
masing-masing
dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Reseptor H1 berikatan dengan protein Gq
14
yang memiliki fungsi stimulasi phospholipase C, sedangkan reseptor H2
berikatan dengan protein Gs yang dapat mengaktivasi adenylyl cyclase.
Reseptor H3 dan H4 berikatan dengan protein Gi yang kerjanya menghambat
adenylyl cyclase.
Tabel I. Lokasi reseptor histamin beserta aksi agonis dan mekanismenya pada
reseptor masing-masing
Reseptor
H1
Lokasi
Otot polos,
endotelium,
otak
H2
Mukosa
lambung,
otot jantung,
sel mast,
otak
H3
Presinaptik
pada otak,
myenteric
plexus,
syarafneuron
H4
Eosinofil,
Neutrofil,
Sel T CD4
Aktivasi reseptor H1
Aksi Agonis
Kontraksi otot polos,
vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskuler
Stimulasi sekresi asam
lambung, stimulasi jantung
Mekanisme
pada reseptor
Peningkatan
IP3, DAG (Gq)
Peningkatan
cAMP (Gs)
Penghambatan pelepasan
neurotransmitter
Penurunan
cAMP, Ca2+ (Gi)
-
Penurunan
cAMP, Ca2+ (Gi)
dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler,
menstimulasi saraf sensorik pernapasan dan meningkatkan kemotaksis
eosinofil sehingga menyebabkan bersin, nasal kongesti dan rhinorrhea. Pada
bagian korteks serebral atau bagian otak bagian luar, aktivasi reseptor H1
dapat menyebabkan terjadinya inhibisi kanal K+ pada sel membran,
depolarisasi neuron, sehingga meningkatkan tegangan voltase sel. Antagonis
reseptor H1 dapat menyebabkan kantuk karena efeknya berkebalikan yaitu
menghambat aktivasi reseptor H1 dan menurunkan tegangan voltase sel.
Reseptor H1 banyak ditemukan di bagian perifer, seperti pada otot polos
15
dimana aktivasi reseptor dapat menyebabkan vasokonstriksi (Parsons dan
Ganellin,
2006).Untuk
mengetahui
potensi
obat-obatan
antihistamin,
dilakukan uji farmakologi pada usus marmut atau kontraksi otot trakeanya
(Criado, 2010).
F. Landasan teori
Batuk merupakan penyakit umum yang paling sering dijumpai di masyarakat.
Beberapa di antaranya dapat beruba gejala dari penyakit lain seperti penyakit
pernapasan TBC atau influenza. Pada kondisi normal, batuk berfungsi sebagai
mekanisme perlindungan tubuh dari bakteri, mikroba atau partikel asing, namun
apabila terjadi dengan frekuensi yang tinggi menyebabkan ketidaknyamanan
penderitanya. Di Indonesia telah banyak beredar obat-obatan herbal yang dapat
menangani berbagai penyakit dengan bahan-bahan yang alami. Obat batuk herbal
“X” yang akan diteliti memiliki komposisi Zingiber officinales, Kaempferia
galanga, dan Glycyrrhiza glabra. Ketiganya termasuk dalam daftar tanaman obat
herbal yang diketahui memiliki efek antitusif dan/atau ekspektoran (Sellapan,
2015). Dari penelitian sebelumnya, diketahui ekstrak jahe dapat mengurangi batuk
yang disebabkan oleh mekanisme stimulus pada trakea (Raja et al., 2012).
Sedangkan komponen dari Glycyrrhiza glabra yaitu isoliquiritigenin diketahui
dapat menyebabkan relaksasi pada otot trakea marmut yang diinduksi dengan
asetilkolin, histamin, dan KCl (Liu et al., 2010).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, diharapkan obat batuk herbal “X” yang
berisi campuran ekstrak tanaman dapat memberikan efek yang mirip atau sejenis.
16
G. Hipotesis
1. Obat batuk herbal “X” dapat menghambat kontraksi otot trakea marmut
yang diinduksi dengan histamin.
2. Obat batuk herbal “X” memiliki efek relaksasi terhadap otottrakea marmut
yang telah diinduksi dengan histamin.
Download