Naskah 4 OSCM - Website Staff UI

advertisement
Vol. 62, No. 1, Januari-April l 2013, Hal. 11-16 | ISSN 0024-9548
11
Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui
analisis histologis dan DNA dalam identifikasi
odontologi forensik
(Sex determination using histological and DNA analysis in forensic odontology)
Kharlina Syafitri1, Elza Auerkari2 dan Winoto Suhartono2
1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar-Forensik Kedokteran Gigi
Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia
Jakarta - Indonesia
2
Korespondensi (correspondence): Kharlina Syafitri, Mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar-Forensik Kedokteran Gigi, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Jl. Salemba Raya No. 4, Jakarta Pusat, Indonesia. E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Background: Identification in forensic science is an effort to help investigators to determine the person’s identity. Human
identification is an individual character recognition based on the unique physical characteristics. Sex determination is one of a
biological identity in forensic science conducted as an initial step of identification because it can determine the following other
identification method. Sex determination can be done in various ways. Common methods of sex identification in odontology
forensic such as morphological and measurement characteristics of teeth, histological examination, and DNA analysis from teeth.
Purpose: This article discusses about sex determination methods through histological examination and DNA analysis. Review:
Histological examination for sex determination can be done through presence of Barr body and Y-body. DNA analysis for sex
determination using Amelogenin, SRY and Y-STRs. Conclusion: Each of these methods have its own accuracy and weakness.
Selection of the method depends on the conditions found at the scenes or type of disaster that occurs. Combination of existing
methods will increase the accuracy in establishing the identification of individuals.
Key words: Sex determination, forensic odontology, Barr body, DNA analysis
PENDAHULUAN
Identifikasi atau pengenalan identitas seseorang
pada awalnya berkembang untuk kebutuhan dalam
proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya
penyelesaian permasalahan kriminal. Adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan masalah
sosial, identifikasi dimanfaatkan juga untuk
keperluan yang berhubungan dengan pelbagai kasus
sipil, seperti kecelakaan baik di darat, laut, maupun
udara, kasus terorisme, bencana alam, dan lain
sebagainya. Pada kasus-kasus seperti ini, tidak jarang
terjadi kesulitan dalam melakukan identifikasi
korban karena kerusakan yang membuat sulit untuk
dikenali jenazah. Proses identifikasi menjadi penting
bukan hanya untuk menganalisis penyebab suatu
kematian, namun juga upaya untuk memberikan
ketenangan psikologis pada keluarga dengan adanya
kepastian identitas korban.1
Identifikasi individu dapat dilakukan melalui
beberapa parameter, yaitu identifikasi usia, ras dan
jenis kelamin. Identifikasi jenis kelamin merupakan
langkah pertama yang penting dilakukan dalam
proses identifikasi forensik karena dapat
menentukan 50% probabilitas kecocokan dalam
identifikasi individu serta dapat mempengaruhi
Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik
Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013
12
beberapa metode pemeriksaan lainnya, seperti
estimasi usia dan tinggi tubuh individu.2
Identifikasi jenis kelamin dalam ruang lingkup
antropologi dan kedokteran gigi forensik dapat
dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang
dapat dilakukan antara lain melalui metode
karakteristik morfologi, metode morfometrik
(pengukuran), pemeriksaan histologis, serta
pemeriksaan analisis DNA baik dari tulang maupun
gigi.3,4 Pada kasus-kasus tertentu, tulang tidak dapat
memberikan hasil identifikasi yang optimal, lain
halnya dengan gigi. Gigi digunakan sebagai media
identifikasi karena gigi merupakan bagian tubuh yang
paling keras dan secara kimiawi merupakan jaringan
paling stabil dan paling tahan terhadap degradasi dan
dekomposisi, sehingga membuat gigi dapat bertahan
untuk periode yang lama dibandingkan dengan
jaringan tubuh lainnya. Gigi juga memiliki ketahanan
terhadap temperatur yang tinggi sehingga sangat
bermanfaat dalam identifikasi pada korban terbakar.
Hal ini disebabkan sedikitnya jaringan organik yang
dikandungnya, terutama lapisan enamel, yang
merupakan jaringan paling keras pada tubuh
manusia.5-9
Metode karakteristik morfologi maupun
morfometrik merupakan metode penentuan jenis
kelamin yang paling sederhana, namun umumnya
lebih bersifat subjektif dan membutuhkan data
berbasis populasi untuk dapat diterapkan dalam
identifikasi individual. 10 Oleh sebab itu, perlu
dilakukan pemeriksaan dengan metode analisis lain
yang dapat memberikan hasil yang lebih objektif dan
akurat dalam penentuan jenis kelamin seseorang.
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas
metode pemeriksaan jenis kelamin lain melalui gigi
yaitu secara histologis dan analisis DNA.
Metode identifikasi jenis kelamin melalui gigi
ada beberapa metode dan identifikasi jenis kelamin
melalui gigi (Tabel 1).
Metode identifikasi jenis kelamin histologis
Secara mikroskopis atau histologis jenis kelamin
dapat dideteksi dengan melihat keberadaan kromatin
seks yaitu; kromatin-X dan kromatin-Y. Pada tahun
1949, Barr dan Bertam menemukan perbedaan
diantara keduanya. Mereka menemukan adanya
kondensasi kromatin yang berukuran kecil pada inti
sel dari sel saraf kucing betina tetapi tidak dimiliki
oleh sel-sel kucing jantan.11 Penemuan tersebut
dinamakan sesuai dengan nama penemunya yaitu
Barr body. Pada manusia, kondensasi kromatin ini juga
dapat ditemukan di tulang, sel retina, sel mukosa
rongga mulut, biopsi sel kulit, darah, tulang rawan,
akar batang rambut dan pulpa gigi.3, 12
Barr body dapat ditemukan pada sekitar 40% sel
wanita sedangkan pada sel pria tidak memiliki Barr
body sehingga disebut kromatin negatif. Kromatin Y
dapat diteliti di dalam sel selama masa interfase
dengan memberikan pewarnaan Quinacrine mustard,
dimana dengan pewarnaan tersebut keberadaan
kromatin Y akan berfluoresensi lebih terang dan
dengan kehadirannya dapat secara konklusif
mengindikasikan kromosom Y dan jenis kelamin
positif sebagai pria.3, 13
Tabel 1. Metode Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Gigi
Gigi
KARAKTERISTIK MORFOLOGI
Indikator
Outline bentuk gigi
Lapisan enamel dan dentin
z Bentuk lengkung rahang
z Servikoinsisal dan mesiodistal
Gambar 1. Kromatin X (Barr body) pada pulpa.13
Ukuran mesiodistal
Ukuran bukolingual
z Indeks kaninus
Metode identifikasi jenis kelamin analisis DNA
z
z
KARAKTERISTIK MORFOMETRIK
z
z
PEMERIKSAAN HISTOLOGIS
z
z
ANALISIS DNA
Barr-body → kromatin X
Y-body → kromatin Y
Gen Amelogenin
Gen SRY
z Y-STRs
z
z
Secara umum teknologi DNA dimanfaatkan
untuk identifikasi personal, pelacakan hubungan
genetik dan pelacakan sumber biologis. Analisis
DNA juga digunakan untuk kepentingan
antropologi serta pemetaan genetik. 14 Molekul
DNA merupakan polimer stabil yang tersusun oleh
Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik
Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013
Gambar 2. Kromatin Y (Y body) pada pulpa.8
subunit yang disebut nukleotida, dan pada manusia
membentuk 22 pasang kromosom autosomal dan
satu pasang kromosom seks, yaitu kromosom X dan
kromosom Y.15 Penentuan jenis kelamin dengan
metode ini memiliki tingkat akurasi yang lebih baik,
namun memerlukan biaya yang lebih mahal dan
prosedur yang lebih rumit. Molekul DNA
merupakan pilihan untuk analisis forensik sebab
bersifat stabil dan sensitif. Salah satu teknik biologi
molekuler yang digunakan adalah penentuan jenis
kelamin dengan polymerase chain rections (PCR). PCR
dapat membantu menggandakan penanda
identifikasi bahkan dengan sampel yang sangat
sedikit.16 Beberapa penanda tipe jenis kelamin yang
digunakan pada identifikasi berbasis DNA
diantaranya yaitu amelogenin, SRY dan Y-STRs.17-19
Amelogenin
Amelogenin merupakan protein utama pada
pembentukan enamel pada gigi manusia yang
dikode oleh gen yang berlokasi pada kromosom
seks AMELX (Xp22.1-Xp22.3) dan AMELY (Yp11.2).
Gen amelogenin memiliki perbedaan baik dalam
ukuran maupun sekuennya, namun gen ini juga
memiliki bagian homolog yang memungkinkan
untuk dilakukan amplifikasi secara simultan
menggunakan sepasang primer tunggal. Variasi
perbedaan panjang intron pertama pada gen
amelogenin X-Y homolog (AMELX dan AMELY)
dimanfaatkan untuk analisis penentuan jenis
kelamin dalam bidang forensik, analisis arkeologi
dan analisis prenatal. Gen AMEL pada wanita
berlokasi pada kedua kromosom X dan homozigot
(46, XX). Pada pria gen AMEL hadir pada kedua
kromosom X dan Y namun heterozigot (46, XY).17, 20
Beberapa variasi tes amelogenin telah
dipublikasikan. Metode yang paling sering
13
digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh
Sullivan dkk. Teknik ini membagi fragmen X dan Y
pada 106 bp dan 112 bp. Produk amplifikasi dengan
metode ini dapat diidentifikasi setelah proses
elektroforesis kapiler, pyrosequencing, serta gel
poliakrilamid agarose.21-23 Protokol lain yang dapat
digunakan untuk mendeteksi keberadaan AMELX
dan AMELY yaitu protokol yang di desain oleh
Nakahori dkk. protokol ini membagi produk 977
bp (AMELX) dan 790 bp (AMELY) yang dapat
dengan mudah dipisahkan menggunakan
elektroforesis gel agarose. Pengujian terhadap gen
AMEL dapat dilakukan dengan cepat, lebih akurat,
dan memerlukan kuantitas sampel yang kecil.24
Amelogenesis dapat berkaitan dengan ukuran
gigi, kromosom Y mempengaruhi pembentukan
enamel dan dentin sedangkan kromosom X
mempengaruhi pembentukan mahkota terbatas
pada enamel.6 Hal ini menjelaskan bahwa mahkota
gigi pada pria lebih besar daripada wanita akibat
periode waktu amelogenesis pada pria lebih lama
dibandingkan pada wanita.25
Sex-determining region (SRY)
Sex-determining region (SRY) merupakan gen
yang berperan dalam perkembangan karakteristik
pria. Gen SRY berlokasi pada lengan pendek (p)
kromosom Y pada posisi 11.3. Terdiri dari satu ekson
yang mengkode 204 asam amino. SRY pada
kromosom Y menyebabkan embrio berkembang
sebagai pria. Deteksi rangkaian SRY akan
membedakan sampel DNA pria dari sampel DNA
wanita.17 Penelitian terbaru dalam aplikasi analisis
SRY yaitu pemeriksaan menggunakan sel epitel
yang diekstraksi dari akrilik gigi tiruan sebagai
sampel DNA untuk determinasi jenis kelamin.
Peneliti tersebut melaporkan bahwa sampel yang
diteliti berhasil dalam deteksi dan kuantifikasi
DNA.24
Kromosom-Y marker (Y-STRs)
Y-STRs adalah short tandem repeat yang
ditemukan pada kromosom-Y spesifik merupakan
gen koding yang ditemukan pada lengan pendek
kromosom Y, yang penting terhadap determinasi
jenis kelamin pria, spermatogenesis, dan fungsi lain
terkait dengan pria. Y-STRs bersifat polimorfik
diantara pria yang tidak berkaitan dan diturunkan
melalui garis paternal. Pada dasarnya, ayah
mewariskan profil Y-STRs DNA mereka pada
keturunan laki-laki, dari generasi ke generasi, tanpa
14
Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik
Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013
perubahan profil (pembatasan mutasi). KromosomY DNA hadir dalam satu salinan per sel dan hanya
pada laki-laki.17, 26
PEMBAHASAN
Berbagai metode yang dapat dilakukan untuk
membantu proses identifikasi telah banyak
dikembangkan khususnya dalam usaha penentuan
jenis kelamin baik untuk orang hidup maupun pada
korban jiwa. Gigi dan tulang adalah bagian tubuh
yang menggambarkan karakteristik jenis kelamin
seseorang dan merupakan bagian tubuh yang keras
dan tahan lama, khususnya pada gigi yang juga tahan
terhadap suhu yang tinggi, sehingga dapat dijadikan
sebagai alat untuk menegakkan identifikasi individu.
Hal terpenting yang harus dilakukan sebelum
melakukan identifikasi pada gigi maupun pada
tulang adalah menentukan terlebih dahulu apakah
gigi dan tulang tersebut berasal dari manusia atau
hewan, karena beberapa bentuk dan ukuran gigi dan
tulang hewan mirip dengan bentuk dan ukuran gigi
dan tulang manusia.
Penentuan jenis kelamin melalui gigi dapat
dilakukan melalui metode visualisasi gigi,
pengukuran gigi, histologis dan pemeriksaan
DNA.27, 28 Pemilihan metode analisis bergantung
pada kondisi korban atau jenazah, jenis bencana yang
terjadi, serta ketersediaan sampel dan alat yang
digunakan untuk pengujian.
Barr body merupakan suatu gambaran badan kecil
yang dapat menimbulkan bintik berwarna dengan
pewarnaan inti sel. Barr body hadir dalam jumlah yang
banyak pada inti sel yang berasal dari wanita namun
tidak ada pada inti sel pria. Ukurannya berdiameter
sekitar 1µ dengan perkiraan rerata 0.7x1.2 µ, baik
pada inti sel mukosa bukal dan pada beberapa
jaringan manusia. Barr body umumnya terletak di
bagian tepi inti sel. Namun, dapat juga ditemukan
di bagian lain dalam inti sel walaupun jarang terjadi.11
Penelitian terhadap kromatin inti sel mamalia
menunjukkan heterokromatin yang seringkali
ditemukan pada sel wanita namun tidak pada sel
pria. Gumpalan kromatin ini adalah kromatin seks
dan merupakan satu dari pasangan kromosom X
yang terlihat pada sel wanita selama interfase.
Kromosom X tetap bergelung rapat dan tampak
selama interfase, sementara kromosom X lainnya
terurai dan tidak tampak. Pada pria memiliki satu
kromosom X dan satu kromosom Y sebagai penentu
kelamin, kromosom X tidak bergelung oleh karena
itu tidak tampak adanya kromosom seks.29 Hal ini
pertama sekali dikemukakan oleh seorang ahli
genetika dari Inggris, Mary F. Lyon. Lyon mengajukan
hipotesis bahwa kromatin kelamin merupakan
kromosom X yang mengalami kondensasi atau
hiperkromatinisasi sehingga secara genetik menjadi
tidak aktif.11
Hipotesis tersebut berkaitan dengan jumlah
kromatin seks yang muncul pada inti sel.
Umumnya, jumlah maksimum Barr body per inti sel
pada setiap organisme atau setiap jaringan normal
adalah 0 atau 1, berkaitan pada kariotipe yang
terdiri dari satu atau dua kromosom X. Namun, sel
yang memiliki Barr body lebih dari satu dapat
ditemui dan ini berarti ada dua atau lebih
kromosom seks yang hadir pada kariotipe. Hal ini
biasa ditemukan pada kelainan genetik seperti
sindrom Turner’s (45, XO), sindrom Trisomi atau
XXX (47,XXX), sindrom Tetrasomi atau sindrom
XXXX (48, XXXX) pada wanita dan sindrom
klinefelter (47, XXY), sindrom XYY (47, XYY) pada
pria.11, 29
Banyaknya Barr body yang yang muncul sama
dengan jumlah kromosom X dikurangi satu. Pada
wanita normal akan memiliki sebuah Barr body pada
inti sel karena memiliki dua kromosom X, sedangkan
pada pria tidak memiliki Barr body karena kromatin
X-nya hanya satu. Demikian halnya pada pria dan
wanita yang memiliki kelainan genetik, jumlah Barr
body yang muncul bergantung pada jumlah
kromosom X yang dimilikinya. Pria dengan kelainan
kromosom seks, misalnya penderita sindrom
Klineferter (47, XXY) akan memiliki sebuah Barrbody
yang seharusnya tidak dimiliki oleh pria normal
karena penderita sindrom tersebut memiliki dua
kromosom X.11, 29
Identifikasi jenis kelamin ini sangat bermanfaat
pada kasus pemalsuan identitas yang sering terjadi
di bidang olahraga. Beberapa kasus pernah terjadi
pada atlet-atlet olahraga dibidang atletik, dimana
atlet yang secara genetik adalah pria tapi bertanding
sebagai wanita karena memiliki ciri fisik seperti
wanita. Untuk mengantisipasi tindak kecurangan
seperti itu, pada beberapa turnamen olahraga
dilakukan verifikasi jenis kelamin melalui
pemeriksaan histologis dari apusan jaringan pipi
bagian dalam. Pemeriksaan ini cepat, murah dan
dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak.24, 30
Metode terbaru dalam usaha identifikasi
individu adalah dengan menggunakan analisis
DNA. Beberapa penanda tipe jenis kelamin pada
analisis DNA adalah gen amelogenin, SRY, dan YSTRs. Beberapa peneliti menyatakan bahwa SRY dan
Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik
Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013
Y-STRs merupakan rujukan standar baku emas (gold
standard) dalam penentuan jenis kelamin individu.
Kelebihan metode ini dibandingkan metode lainnya
adalah lebih akurat, sensitif, dan lebih stabil jika
dibandingkan dengan metode lainnya, namun
memerlukan teknik yang lebih rumit, biaya dan
peralatan yang mahal, serta kontaminasi pada sampel
dapat mempengaruhi akurasi hasil pemeriksaan.
Metode analisis Y-STRs sangat berguna dalam
pemeriksaan bukti pada korban kekerasan seksual,
dapat diambil dari apusan vagina, yang mengandung
baik DNA pria maupun wanita. Penanda genetik
STRs pada kromosom Y dapat digunakan untuk
mendapatkan profil genetik donor laki-laki (tunggal
dan ataupun lebih dari satu) dalam campuran cairan
tubuh dari laki-laki dan wanita. Dalam kasus
campuran, ketika konsentrasi dari donor perempuan
sangat tinggi dibandingkan dengan kontributor lakilaki, standar analisis autosomal STR mungkin gagal
untuk mendeteksi profil DNA donor laki-laki. Jika
hal ini terjadi, analisis Y-STR dapat digunakan untuk
menargetkan kromosom Y, dan DNA dari kontributor
perempuan diabaikan. Analisis Y-STRs juga sangat
berguna dalam khususnya ketika lebih dari satu
pelaku pria. Pola campuran pria pada barang bukti
dapat mengidentifikasi pria-pria pelaku yang
bertanggung-jawab terhadap kasus pelecehan
tersebut.17
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa identifikasi jenis kelamin dapat
dilakukan melalui pemeriksaan histologis dan
analisis DNA. Pemeriksaan histologis dapat
dilakukan dengan melihat keberadaan kromatin
seks. Kromatin X (Barr body) adalah kromatin seks
yang terdapat pada sel wanita, sedangkan kromatin
X (Y body) adalah kromatin seks yang hanya dimiliki
oleh pria. Metode ini sederhana dan tidak
membutuhkan biaya yang besar namun aplikasinya
terbatas terutama pada kasus dengan kerusakan
jaringan yang parah. Identifikasi jenis kelamin
melalui analisis DNA umumnya dilakukan dengan
pemeriksaan gen amelogenin pada kromosom seks.
Walaupun tekniknya sulit dan memerlukan biaya
yang tinggi, teknik analsis DNA merupakan teknik
yang stabil, sensitif serta memiliki tingkat akurasi
yang tinggi. Variasi lain penanda jenis kelamin yang
menggunakan identifikasi berbasis DNA
diantaranya adalah gen SRY dan metode analisis YSTRs.
15
Penerapan metode yang akan dilakukan harus
sesuai dengan kondisi yang ditemukan pada tempat
kejadian ataupun jenis musibah yang terjadi, karena
akan mempengaruhi keakuratan pemeriksaan.
Pemilihan metode identifikasi yang tepat tentu dapat
memudahkan proses identifikasi individu. Kombinasi
metode pemeriksaan dapat meningkatkan akurasi
dalam menegakkan identifikasi individu, tidak hanya
dalam penentuan jenis kelamin tapi juga untuk
penentuan variabel pemeriksaan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawestiningtyas E, Algozi AM. Forensic identification
based on both primary and secondary examination
priority in victim identifiers on two different mass
disaster cases. Jurnal Kedokteran Brawijaya 2009;
XXV(2): 87-94.
2. Eboh D. A dimorphic study of maxillary first molar
crown dimensions of Urbohos in Abraka, SouthSouthern Nigeria. J Morphol Sci 2012; 29(2): 96-100.
3. Das N, Gorea RK, Gargi J, Singh JR. Sex determination
from pulpal tissue. JIAM 2004; 26(2): 50-53.
4. Gomez FM. Sexual dimorphism in human teeth from
dental morphology and dimensions: a dental
anthropology viewpoint. In: Moriyama H, editor. Sexual
dimorphism. InTech, open access book; 2013. p. 97-124.
5. Sonika V, Harshaminder K, Madhushankari GS, A Sri
Kennath JA. Sexual dimorphism in the permanent
maxillary first molar: a study of the haryana population
(India). J Forensic Odontostomatol 2011; 29(1): 37-43.
6. Omar A, Azab S. Applicability of determination of
gender from odontometric measurements of canine
teeth in a sample of adult egyptian population. CDJ
2009; 25(2): 167-80.
7. Staka G, Bimbashi V. Sexual dimorphism in
permanent maxillary canines. Int J Pharm Bio Sci 2013;
4(2): 927-32.
8. Veeraraghavan G, Lingappa A, Shankara SP.
Determination of sex from tooth pulp tissue. Libyan
J Med 2010; 5: 5084.
9. Lakhanpal M, Gupta N, Rao NC, Vashisth S. Tooth
dimension variations as a gender determinant in
permanent maxillary teeth. JSM Dent 2013; 1(1): 1014.
10. Glinka J, Artaria MD, Koesbardiati T. Metode
pengukuran manusia. Surabaya: Airlangga
University Press; 2008. h. 55-9.
11. Ursula M. Sex chromatin. J Med Genet 1964; I: 50-73.
12. Suazo G, Roa HI, Cantin LM. Sex Chromatin in dental
pulp. Performance of diagnosis test and gold standard
generation. Int J Morphol 2010; 28(4): 1093-96.
13. Suazo G, Flores A, Roa HI. Sex determination of
observation of barr body in teeth subjected to high
temperatures. Int J Morphol 2011; 29(1): 199-203.
16
Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik
Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013
14. Atmadja DS, Untoro E. Peranan analisis DNA pada
penanganan kasus forensik. In: Idries AM,
Tjiptomartono AL, editors. Penerapan ilmu
kedokteran forensik dalam proses penyelidikan. 2 ed.
Jakarta: CV Sagung Seto; 2011. h. 224-33.
15. George R, Donald PM, Nagraj SM, Idiculla JJ, Ismail
RH. The impact of chimerism in DNA-based forensic
sex determination analysis. Malays J Med Sci 2013;
20(1): 75-9.
16. Butler JM. Advanced topics in forensic DNA typing:
methodology. Maryland, USA: Elsevier Inc; 2012. p.
69-90.
17. Renjith G, Donald PM, Kumbargere S. The impact of
chimerism in DNA-based forensic sex determination
analysis. Malays J Med Sci 2013; 20(1): 75-9.
18. Reddy AV, Sriram G, Saraswathi TR,
Sivapathasundharam B. Isolation of epithelial cells
from tooth brush and gender identification by
amplification of SRY gene. J Forensic Dent Sci 2011; 3:
27-32.
19. Muruganandhan J, Sivakumar G. Practical aspect of
DNA-based forensic studies in dentistry. J Forensic
Dent Sci 2011; 3: 38-45.
20. Mannucci A, Sullivan KM, Ivanov PL, Gill P. Forensic
application of rapid and quantitative DNA sex test
by amplification of the X-Y homologous gene
amelogenin. Int J Leg Med 1994; 106: 190-93.
21. Sullivan KM, Mannucci A, Kimpton CP, Gill P. A rapid
and quantitative DNA sex test: fluorescene-based PCR
analysis of X-Y homologous gene amelogenin.
Biotechniques 1993; 15(4): 636-41.
22. Tschentscher F, Frey UH, Bajanowski T. Amelogenin
sex determination by pyrosequencing of short PCR
products. Int J Legal Med 2008; 122: 333-35.
23. Tozzo P, Giuliodori A, Corato S, Ponzano E. Deletion
of amelogenin Y-locus in forensics: Literature revision
and description of a novel method for sex
confirmation. J Forensic Leg Med 2013; 20:387-91.
24. Muruganandhan J, Sivakumar G. Practical aspects of
DNA-based forensic studies in dentistry. J Forensic
Dental Sci 2011; 3(1): 38-45.
25. Parekh DH, Patel SV, Zalawadia AZ, Patel SM.
Odontometric study of maxillary canine teeth to
establish sexual dimorphism in gujarat population.
Int J Med Res 2012; 3(3): 1935-37.
26. Ferreira I. Sequence variation of the Amelogenin gene
on the Y-chromosome [South African: North-West
University; 2010. p. 8-17.
27. Joseph AP, Harish RK, Rajeesh Mohammed PK, Vinod
Kumar RB. How reliable is sex differentiation from
teeth measurements. OMPJ 2013; 4(1): 289-92.
28. Hemanth M, Vidya M, Nandaprasad, Karkera BV. Sex
determination using dental tissue. Medico-legal
update 2008; 8(2): 7-12.
29. Elrod SL, Stansfield WD. Schaum’s outlines genetika.
4 ed. Indonesia: Penerbit Erlangga; 2007. h. 162-5.
30. Tucker R, Collins M. The science and management of
sex verification in sport. SAJM 2009; 21(4): 147-50.
Download