GAKY - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) masih menjadi masalah
global bagi kesehatan dan perkembangan populasi dunia. Prevalensinya sebesar
36,4% pada tahun 2003, menurun menjadi 30,6% pada tahun 2007. Hal ini
menunjukkan kekurangan yodium masih menjadi masalah kesehatan di
beberapa negara di dunia (De Benoist et al., 2003; De Benoist et al., 2008).
Akibat kekurangan yodium tidak terbatas pada gondok dan kretinisme saja, tetapi
bisa berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, karena
mengganggu perkembangan otak, sehingga menurunkan potensi tingkat
kecerdasan (intelligence quotient) (WHO, 2001; Black, 2003; West et al., 2005;
Semba & Delange, 2008; Glinoer, 2007; Amarra et al., 2007; Pineda et al., 2008;
Rovet et al., 2009; Bogale et al., 2009).
Penyebab utama GAKY adalah rendahnya asupan yodium, yang bisa
terjadi karena rendahnya kandungan yodium dalam tanah, sehingga bahan
makanan yang tumbuh di atasnya juga mempunyai kandungan yodium yang
rendah. Banyak faktor yang juga berperan terhadap kejadian GAKY, antara lain
faktor genetika, mutasi gen, rusaknya lingkungan yang menyebabkan mineral
dalam lapisan tanah banyak yang hilang, dan konsumsi zat goitrogenik.
Konsumsi zat goitrogenik merupakan faktor lingkungan yang mempunyai
pengaruh bermakna terhadap menetap dan berkembangnya kasus-kasus baru di
berbagai daerah endemik dan memperberat endemisitas coastal goiter di daerah
dengan defisiensi yodium (Stanbury & Hetzel, 1980 dalam Thaha et al., 2002b).
1
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar zat goitrogenik tidak
menimbulkan efek klinis, kecuali keberadaannya bersama-sama dengan
kekurangan yodium. Oleh karena itu, konsumsi zat goitrogenik menjadi etiologi di
daerah endemik (Zimmermann et al., 2008).
Pengaruh besar zat goitrogenik terhadap GAKY disebabkan potensinya
dalam mengganggu fungsi tiroid yang akan menyebabkan hipotiroid dan
pembesaran kelenjar gondok, salah satunya adalah tiosianat yang merupakan
hasil detoksifikasi sianida. Mekanisme kerja tiosianat mengganggu fungsi tiroid
dengan menghambat pengambilan yodium dan mengganggu aktivitas thyroid
peroxidase (TPO) (Gaitan, 1990, Taurog, 1970, Van Etten, 1969, Stoewsand,
1995, Virion et al., 1980 dalam Chandra & Ray, 2001; Chandra et al., 2004;
Delange, 2000; Erdogan, 2003; Gibbs, 2006; Sinebeeh, 2007; Semba &
Delange, 2008). Selain itu, sianida dalam jumlah kecil selalu ada dalam banyak
macam tumbuh-tumbuhan yang biasa dikonsumsi masyarakat dan dengan
harganya yang murah atau bisa ditanam sendiri, menjadikan sumber pangan zat
goitrogenik mudah diakses oleh masyarakat (Nio, 1989; Chandra et al., 2004).
Namun, sampai sekarang belum diketahui besarnya kontribusi zat goitrogenik,
khususnya tiosianat, terhadap kejadian GAKY pada masyarakat. Santoso (2005)
menyebutkan bahwa asupan goitrogenik tiosianat tinggi berisiko ekskresi yodium
urin rendah 3,53 kali (p < 0,05) dengan kontribusi negatif paling kuat terhadap
ekskresi yodium urin.
Di Indonesia, meski GAKY sudah tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat karena rata-rata kadar yodium urin sudah tinggi dan proporsi kadar
yodium urin <100 µg/L telah di bawah 20% (WHO, 2006), namun masih terjadi
peningkatan angka prevalensi kejadian gondok di Indonesia dari 9,8% pada
2
tahun 1998 menjadi 11,1% pada tahun 2006. Kabupaten Jember merupakan
salah satu kabupaten yang mengalami peningkatan prevalensi kejadian gondok
dari 21,94% pada tahun 2003 menjadi 23,57% pada tahun 2007. Sebagian besar
kecamatan yang ada di Kabupaten Jember termasuk dalam kategori daerah
endemik gondok (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, 2007).
Hasil penelitian terdahulu dari peneliti mengindikasikan faktor penyebab
lain dari kejadian gondok di Kabupaten Jember, yaitu melalui salah satu indikator
kadar yodium urin termasuk dalam kategori normal dan cenderung tinggi. Selain
itu, juga kadar tiosianat urin pada kelompok gondok lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok non-gondok (Ningtyias, 2006; Ningtyias et al., 2007; Ningtyias
et al., 2008). Pola konsumsi pangan sumber zat goitrogenik di Kabupaten
Jember minimal 3-5 kali per minggu dengan rata-rata konsumsi 505 µg per hari
menjadi faktor risiko GAKY di Kabupaten Jember (Megawati, 2007; Ningtyias et
al., 2008). Keberadaan zat ini akan mengganggu proses pembentukan hormon
tiroid, oleh karenanya perlu untuk dihilangkan atau levelnya dikurangi agar bahan
makanan yang mengandung zat goitrogenik aman dikonsumsi.
Penelitian tentang penurunan kadar zat goitrogenik pada bahan makanan
lain yang mengandung zat goitrogenik belum banyak dilakukan. Penelitian masih
terfokus pada singkong yang memang mempunyai konsentrasi sianida yang
cukup tinggi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan
tradisional pada singkong terbukti dapat menurunkan kadar sianogenik (Cardoso
et al., 2005; Bradbury & Denton, 2010; Nambisan, 2011). Cara pengolahan yang
bersumber pada kearifan lokal bisa dimanfaatkan sebagai solusi untuk
menyelesaikan masalah gizi.
3
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka. Dua etnis mayoritas yang mendiami Kabupaten Jember,
yaitu etnis Jawa dan Madura, diharapkan mempunyai cara efektif dalam
pengolahan bahan makanan yang mengandung zat goitrogenik, sehingga
memberikan
kontribusi
terhadap
penyelesaian
permasalahan
GAKY
di
Kabupaten Jember melalui reduksi kadar sianogenik. Salah satu kebiasaan
masyarakat Jember yang merebus sayuran untuk lalapan bisa dimanfaatkan
untuk penyelesaian masalah gizi yang bersumber dari kearifan lokal, karena
proses perebusan bisa menurunkan kadar sianogenik sampai 93% (Murdiana,
2001).
Pemanfaatan kearifan lokal merupakan salah satu cara penyelesaian
masalah gizi, dengan cara pemberian pelatihan tentang tentang cara pengolahan
bahan makanan yang mengandung zat goitrogenik yang benar, sehingga
mengubah perilaku masyarakat dalam pengolahan bahan makanan menjadi
aman dikonsumsi. Keadaan ini secara tidak langsung akan memperbaiki dan
menjaga status yodium masyarakat, sehingga tidak akan mengalami defisiensi
yodium. Selain itu, para pengampu kebijakan juga tidak perlu khawatir akan
adanya penolakan atas program yang akan dilaksanakan, karena yang diserukan
berasal dari masyarakat itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian
ini adalah: apakah ada penurunan kadar tiosianat urin setelah diberikan pelatihan
tentang tentang cara menurunkan kadar sianogenik berdasarkan kearifan lokal
4
masyarakat Jember?. Hal ini didukung oleh kondisi yang dinyatakan pada latar
belakang, yaitu :
1. Prevalensi GAKY dunia sebesar 30,6% menunjukkan bahwa masalah gizi
GAKY masih menjadi masalah global bagi kesehatan dan perkembangan
populasi dunia.
2. Meskipun tidak lagi menjadi masalah gizi kesehatan masyarakat di Indonesia,
angka prevalensi GAKY di Indonesia masih mengalami peningkatan.
3. Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang juga
mengalami peningkatan angka prevalensi dan hampir sebagian besar
kecamatan yang ada di Kabupaten Jember termasuk dalam kategori daerah
endemik gondok.
4. Ada indikasi faktor penyebab lain GAKY di Kabupaten Jember yang
ditunjukkan dengan kadar yodium urin yang normal dan cenderung tinggi,
kisaran kadar tiosianat urin yang lebih tinggi pada kelompok kasus dan pola
konsumsi pangan sumber zat goitrogenik dalam kategori mingguan. Konsumsi
zat goitrogenik merupakan etiologi GAKY di daerah endemik gondok.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan
kearifan lokal masyarakat Jember untuk mereduksi kadar sianogenik dalam
bahan makanan yang mengandung zat goitrogenik, sehingga diharapkan dapat
menurunkan kadar tiosianat urin. Kadar tiosianat urin mengindikasikan zat
goitrogenik dalam tubuh yang bisa mengganggu proses hormogenesis hormon
tiroid (Chandra et al., 2004). Tujuan penelitian ini akan dicapai melalui tahapan
penelitian sebagai berikut :
5
1. Eksplorasi kearifan lokal masyarakat Jember dalam mengolah bahan pangan
yang mengandung zat goitrogenik
a. Mengetahui pola konsumsi pangan sumber zat goitrogenik masyarakat di
daerah penelitian berupa jenis sumber pangan zat goitrogenik yang paling
sering dikonsumsi, frekuensi konsumsinya dan banyaknya konsumsi
sekali makan.
b. Mengetahui cara-cara pengolahan bahan makanan yang mengandung
zat goitrogenik yang biasa dilakukan masyarakat di daerah penelitian.
c. Mengetahui alasan/pantangan masyarakat Jember mengonsumsi bahan
makanan yang mengandung zat goitrogenik.
d. Penelusuran asal bahan makanan yang
biasa dikonsumsi oleh
masyarakat Jember di daerah penelitian.
2. Menganalisis penurunan kadar sianogenik secara in vitro, dengan melihat
perbedaan kadar sianida pada bahan makanan yang mengandung zat
goitrogenik yang biasa dikonsumsi masyarakat di daerah penelitian dalam
keadaan segar dan setelah proses pengolahan yang bersumber dari kearifan
lokal masyarakat Jember (data didapat dari penelitian tahap 1).
3. Menganalisis perubahan pola konsumsi, cara pengolahan bahan makanan
yang mengandung zat goitrogenik dan kadar tiosianat urin dalam waktu ± 1
bulan. Sebuah penelitian quasi eksperimental dengan perlakuan berupa
health promotion yaitu penyuluhan dan demonstrasi tentang cara pengolahan
bahan makanan untuk menurunkan kadar sianogenik dengan endpoint
berupa pengukuran kadar tiosianat urin, Tujuan penelitian tahap ketiga akan
terlihat pada :
6
a. Penurunan
konsumsi
sianida
pada
kelompok,
perlakuan
setelah
pemberian health promotion.
b. Penurunan kadar tiosianat urin pada kelompok, perlakuan setelah
pemberian health promotion.
D. Keaslian Penelitian
Belum banyak dilakukan penelitian tentang penurunan kadar sianogenik
pada beberapa bahan makanan selain singkong. Demikian juga dengan
penelitian tentang pemanfaatan kearifan lokal untuk mereduksi kadar sianogenik
pada bahan makanan masih sedikit sekali. Berikut ini beberapa penelitian yang
serupa dengan penelitian ini, yaitu :
1. Cardoso et al. (2005) melakukan penelitian dengan judul Processing of
cassava roots to remove cyanogens. Diperoleh hasil bahwa heap fermentation
dan penjemuran di bawah sinar matahari yang biasa dilakukan di Afrika Timur
dan Utara tidak cukup menurunkan kadar sianida pada singkong. Perbedaan
dengan penelitian yang
dilakukan ini adalah bahan makanan tidak hanya
terbatas pada singkong dan cara pengolahan bersumber pada kearifan lokal
masyarakat Jember, dan dimungkinkan tidak hanya terbatas pada cara
fermentasi dan penjemuran. Selain itu, penelitian yang dilakukan ini juga
dilanjutkan dengan clinical trial untuk melihat pengaruh cara pengolahan yang
bersumber pada kearifan lokal terhadap penurunan kadar tiosianat urin.
2. Nambisan, (2011) melakukan penelitian dengan judul Strategies for
elimination of cyanogens from cassava for reducing toxicity and improving
food safety. Didapatkan hasil bahwa proses pengolahan tradisional berupa
perebusan, penjemuran, pemanggangan, penggorengan dan pemanasan
menghasilkan penurunan sianida sebesar 25%-98%. Perbedaan dengan
7
penelitian yang dilakukan ini adalah bahan makanan tidak hanya terbatas
pada singkong, cara pengolahan bersumber pada kearifan lokal masyarakat
Jember dan tidak hanya terbatas pada cara perebusan, penjemuran,
pemanggangan, digoreng dan pemanasan. Selain itu, penelitian yang
dilakukan ini juga dilanjutkan dengan clinical trial untuk melihat pengaruh cara
pengolahan yang bersumber pada kearifan lokal terhadap penurunan kadar
tiosianat urin.
3. Burns et al. (2012) melakukan penelitian dengan judul Total cyanide content
of cassava food products in Australia, mendapatkan hasil bahwa kripik
singkong dan singkong yang dibekukan mengandung sianida > 10 ppm,
pengolahan berupa perebusan, pemanggangan dan penggorengan pada
singkong yang dibekukan hanya akan menurunkan 10-75% sianida, tidak bisa
di bawah level yang dianjurkan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan
ini adalah bahan makanan tidak hanya terbatas pada singkong dan cara
pengolahannya bersumber pada kearifan lokal masyarakat Jember. Selain itu,
penelitian yang dilakukan ini juga dilanjutkan dengan clinical trial untuk melihat
pengaruh cara pengolahan yang bersumber pada kearifan lokal terhadap
penurunan kadar tiosianat urin.
4. Hotz dan Gibson, (2007) melakukan penelitian dengan judul Traditional foodprocessing and preparation practices to enhance the bioavaibility of
micronutrients in plants based diet. Hasilnya menunjukkan bahwa cara
tradisional berupa fermentasi, germination dan soaking dapat menurunkan
fitat. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah zat yang akan
direduksi dan cara pengolahan tradisionalnya hanya berupa fermentasi,
germination dan soaking, sedangkan pada penelitian yang dilakukan ini, cara
8
pengolahan merupakan hasil eksplorasi secara kualitatif berdasarkan kearifan
lokal masyarakat Jember dan dilanjutkan dengan clinical trial untuk melihat
pengaruh cara pengolahan terhadap penurunan kadar tiosianat urin.
5. Jaime et al. (2007) melakukan penelitian dengan judul Nutritional education
and fruit and vegetable intake : A randomized community trial. Hasilnya
menunjukkan bahwa intervensi edukasi gizi meningkatkan konsumsi buah dan
sayur dalam diet keluarga di Brazil. Persamaan dengan penelitian yang
dilakukan ini adalah jenis penelitian dan intervensi yang dilakukan, sedangkan
perbedaannya adalah kajiannya, yaitu cara pengolahan untuk mereduksi
kadar sianogenik yang bersumber pada kearifan lokal masyarakat Jember.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan penelitian yang dilakukan ini
dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah pemanfaatkan
kearifan lokal yang ada di masyarakat, yaitu etnis Jawa dan Madura, untuk
menyelesaikan masalah gizi yang sedang dihadapi, yaitu GAKY. Bahan kajian
yang tidak hanya terbatas pada sumber zat goitrogenik tertentu saja, dan
penerapan hasil penelitian di masyarakat melalui penyuluhan dan demonstrasi
untuk menurunkan kadar tiosianat urin yang merupakan indikator zat goitrogenik
dalam tubuh.
E. Manfaat dan Luaran Penelitian
1. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Sebagai dasar penelitian lanjutan tentang faktor penyebab GAKY selain
kekurangan yodium dengan berbagai alternatif penanggulangannya.
9
b. Manfaat praktis
1) Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, sebagai masukan dalam
membuat perencanaan penanggulangan masalah gizi GAKY di
Kabupaten Jember, yang nantinya tidak hanya terfokus pada penyebab
utama GAKY yaitu kurangnya konsumsi yodium, namun juga menyoroti
faktor penyebab yang lain, yaitu konsumsi bahan makanan yang
mengandung zat goitrogenik.
2) Cara penurunan kadar tiosianat dari kearifan lokal masyarakat Jember
dapat menjadi modal untuk keberhasilan program penanggulangan
masalah GAKY di Kabupaten Jember, karena intervensi ini akan lebih
mudah diterima oleh masyarakat karena bersumber dari masyarakat
sendiri.
3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai penyebab lain dari kejadian gondok endemik dan
juga alternatif penanggulangannya dengan mereduksi kadar tiosinanat
pada bahan makanan sumber zat goitrogenik menggunakan cara-cara
yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jember.
2. Luaran penelitian
a. Pola konsumsi dan alasan masyarakat Jember mengonsumsi bahan
makanan yang mengandung zat goitrogenik.
b. Kearifan lokal masyarakat Jember dalam mengolah bahan makanan yang
mengandung zat goitrogenik.
c. Kadar sianida pada bahan makanan yang mengandung zat goitrogenik
yang biasa dikonsumsi masyarakat Jember, baik dalam keadaan segar
10
maupun setelah beberapa proses pengolahan, yang bersumber pada
kearifan lokal
d. Data penurunan kadar sianida pada bahan makanan setelah proses
pengolahan yang bersumber pada kearifan lokal masyarakat Jember
e. Data kadar tiosianat urin sebagai gambaran pengaruh reduksi sianogenik
yang telah dilakukan dan perubahan perilaku masyarakat Jember dengan
mengadopsi cara yang benar untuk mereduksi kadar sianogenik.
11
Download