BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
Landasan teori menjelaskan mengenai teori-teori dan argumen-argumen
dari penelitian sebelumnnya yang mendukung perumusan hipotesis dalam
penelitian ini. Landasan teori ini dapat digunakan untuk membantu dalam
memecahkan masalah
2.1.1 Tujuan Laporan Keuangan
Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan
dan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan keuangan mempunyai tujuan untuk
memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan
yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka
membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban
manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan pada mereka
(IAI, 2009). Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No. 2
menegaskan karakteristik kualitatif dari informasi keuangan yang bertujuan
memberikan karakteristik kualitas yang harus dimiliki oleh informasi akuntansi
sehingga informasi tersebut lebih bermanfaat dan mempunyai dampak yang
signifikan (material) terhadap suatu keputusan (Putra Astika, 2011:148). Laporan
keuangan bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna apabila informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan tersebut dapat dipahami, relevan, andal, dan
dapat diperbandingkan.
11
Laporan laba rugi yang merupakan salah satu unsur dari laporan keuangan
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai laba yang dicapai suatu
perusahaan. Pentingnya informasi laba secara tegas disebutkan dalam SFAC No. 1
yang menyatakan bahwa laba memiliki manfaat untuk menilai kinerja manajemen,
membantu mengestimasi kemampuan laba representatif dalam jangka panjang,
serta mampu memprediksi laba dan menaksir risiko dalam investasi atau kredit
(Murwaningsari, 2008). ERC dapat digunakan untuk mengetahui kandungan
informasi dalam laba yang menjelaskan dan mengidentifikasi perbedaan respon
pasar terhadap pengumuman laba (Scott, 2009).
2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)
Teori sinyal menjelaskan mengapa manajer suatu entitas mempunyai
insentif secara sukarela (voluntary) melaporkan informasi-informasi kepada pasar
modal walaupun tidak ada ketentuan standar yang mengharuskan. Entitas-entitas
bisnis saling berkompetensi untuk memperoleh risk capital (dikatakan berisiko
karena sifatnya yang langka) dan pengungkapan sukarela dibutuhkan untuk dapat
mencapai sukses tersebut (Putra Astika, 2011:77). Menurut Hartono (2005) teori
sinyal menyatakan bahwa perusahaan yang berkualitas baik dengan sengaja akan
memberikan sinyal pada pasar, dengan demikian pasar diharapkan dapat
membedakan perusahaan yang berkualitas baik dan buruk. Perusahaan dengan
prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan
mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk
penggunaan hutang yang melebihi target struktur modal yang normal (Brigham
12
dan Houston, 2001). Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan
sebaliknya akan cenderung untuk menjual sahamnya.
Prinsip dari teori sinyal seperti yang diungkapkan Hendriantono (2012)
bahwa sinyal positif atau negatif tentang informasi laporan keuangan kepada
pihak yang membutuhkan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi asimetri
informasi (asymmetric information). Asimetri informasi yang dimaksud adalah
kondisi dimana pihak manajemen mempunyai lebih banyak informasi mengenai
perusahaan dibandingkan pihak luar seperti investor atau kreditur yang tidak
mempunyai informasi mengenai prospek perusahaan tersebut. Ketidakpastian
informasi tersebut membuat pihak luar untuk melakukan perminataan harga yang
lebih rendah dari harga yang ditawarkan oleh perusahaan.
2.1.3 Teori Pasar Efisien
Teori pasar efisien merupakan tonggak penting dalam perkembangan teori
keuangan dan menyebutnya sebagai salah satu kerangka bangun dasar
(fundamental building block) keuangan (Smith, 1990). Hal yang sama juga
disampaikan oleh Megginson (1997) serta Shanken dan Smith (1996), sehingga
teori pasar efisien merupakan bagian penting dalam membahas teori keuangan
perusahaan.
Pasar efisien adalah pasar dimana harga semua sekuritas yang
diperdagangkan telah mencerminkan semua informasi yang tersedia. Informasi
yang tersedia meliputi informasi masa lalu, informasi saat ini, serta informasi
yang bersifat sebagai pendapat atau opini rasional yang bisa mempengaruhi
perubahan harga (Tandelilin, 2001). Menurut Harapan (2002) teori efficient
13
market hypothesis ini menyatakan bahwa pasar akan menyesuaikan diri dengan
setiap informasi baru yang dikeluarkan mengenai saham.
Aspek penting dalam menilai efisiensi pasar adalah seberapa cepat suatu
informasi baru diserap oleh pasar yang tercermin dalam penyesuaian menuju
harga keseimbangan yang baru. Semua informasi yang masuk ke pasar akan
langsung tercermin pada harga pasar saham yang baru, sehingga tidak seorangpun
investor yang memperoleh abnormal return. Jika pasar efisien dan semua
informasi bisa didapatkan dengan mudah dan dengan biaya yang murah oleh
semua pihak yang ada di pasar, maka harga yang terbentuk adalah harga
keseimbangan (Tandelilin, 2001).
Menurut Fama (1970) dalam Gumanti dan Elok (2002) bentuk efisien
pasar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yang dikenal sebagai hipotesis pasar
efisien (efficient market hypothesis). Ketiga bentuk efisien pasar, yaitu:
1)
Hipotesis pasar efisien bentuk lemah (weak form ofthe efficient market
hypothesis), jika harga sekuritas merefleksikan secara penuh informasi
harga dan volume sekuritas masa lalu (yang bisanya
tersedia secara
publik). Pelaku pasar masih dimungkinkan untuk memperoleh return
abnormal dengan memanfaatkan informasi selain data pasar.
2)
Hipotesis pasar efisien bentuk setengah kuat (semi strong form of the
efficient market hypothesis), jika harga sekuritas merefleksikan secara
penuh semua informasi yang tersedia secara publik termasuk data
statemen keuangan. Semua pelaku pasar memperoleh semua akses yang
sama terhadap informasi publik, strategi informasi yang mengandalkan
14
statemen keuangan publikasi tidak akan mampu menghasilkan return
abnormal secara terus-menerus.
3)
Hipotesis pasar efisien bentuk kuat (strong form of the efficient market
hypothesis), semua informasi baik yang terpublikasi atau tidak
dipublikasikan, sudah tercermin dalam harga sekuritas saat ini.
Bentuk pasar efisien tersebut terkait erat dengan sajauh mana penyerapan
informasi terjadi di pasar. Informasi akuntansi di dalam teori pasar efisien berada
pada posisi bersaing (competition) dengan sumber-sumber informasi lainnya
seperti berita-berita dalam media (news), analis keuangan (financial analysis), dan
bahkan harga pasar itu sendiri.
2.1.4 Kinerja Perusahaan terhadap Pasar
Kegiatan perusahaan sudah dapat dipastikan berorientasi pada keuntungan
atau laba (Soemarso, 2004:245). Laba (earnings) atau laba bersih (net income)
mengindikasikan profitabilitas perusahaan. Laba merupakan main goals atau tolak
ukur keberhasilan manajemen perusahaan ataupun industri yang berbasis bisnis
atau profit seeking terlebih pada bagian manajemen keuangan (Ariek, 2013). Laba
sebagai indikator prestasi atau kinerja perusahaan yang besarannya tampak di
laporan keuangan, tepatnya laba rugi.
Laba menurut Soemarso (2004:227) merupakan selisih antara pendapatan
dan pengeluaran atau suatu kelebihan pendapatan yang diterima oleh perusahaan
sesudah dikurangi pengorbanan yang dikeluarkan, yang merupakan kenaikan
bersih atas modal yang berasal dari kegiatan usaha. Ghozali dan Chariri (2007)
mengungkapkan pengertian laba yang dianut oleh struktur akuntansi sekarang ini
15
adalah laba akuntansi yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya.
Pengertian tersebut dapat menyimpulkan bahwa laba adalah selisih antara total
penghasilan dan total biaya yang dikeluarkan atau dengan kata lain kelebihan
(defisit) atas biaya pada suatu kegiatan usaha selama periode tertentu.
2.1.5 Return Saham
Return merupakan hasil yang diperoleh dari sebuah investasi. Farkhan dan
Ika (2012) menyatakan return saham dapat diartikan sebagai tingkat kembalian
keuntungan yang dinikmati oleh investor atas suatu investasi yang dilakukannya.
Suatu investasi tanpa adanya keuntungan yang dapat dinikmati tentunya investor
tidak akan mau melakukan investasi yang pada akhirnya tidak ada hasilnya dan
dianggap sia-sia. Return saham dapat dibedakan menjadi dua jenis menurut
Jogiyanto (2000), yaitu return realisasi (realized return) dan return ekspetasi
expected return). Return realisasi merupakan return yang sudah terjadi yang
dihitung berdasarkan data historis. Return realisasi ini penting dalam mengukur
kinerja perusahaan dan sebagai dasar penentuan return dan risiko di masa
mendatang. Return ekspetasi merupakan return yang diharapkan terjadi dimasa
mendatang dan masih bersifat tidak pasti.
Zubaidi, dkk. (2011) menyatakan return abnormal (abnormal return)
merupakan selisih antara return ekspektasi dan return realisasi. Abnormal return
menjadi indikator untuk mengukur efisiensi suatu pasar modal. Apabila harga
suatu instrumen investasi telah mencerminkan seluruh informasi yang ada maka
return ekspektasi atas suatu harga saham relatif akan sama dengan return
realisasinya. Seorang investor pada pasar modal yang telah efisien tidak akan
16
dapat memperoleh abnormal return secara berlebihan atau secara terus menerus.
Hal ini tentu saja berlaku dengan asumsi seluruh pelaku pasar bertindak rasional
atas informasi yang diperoleh.
Jogiyanto (2009) menyatakan bahwa perubahan nilai atas aktiva tersebut
memungkinkan akan terjadi adanya pergeseran ke harga equlibrium yang baru.
Harga equilibrium ini akan tetap bertahan sampai suatu informasi baru lainnya
merubahnya kembali ke harga equilibrium yang baru lagi. Suatu pasar akan
bereaksi terhadap informasi untuk mencapai harga equlibrium baru yang
merupakan konsep dasar efisiensi pasar. Kecepatan dan keakuratan pasar dalam
bereaksi yang sepenuhnya mencerminkan informasi yang tersedia inilah yang
menjadi dasar untuk menilai efisiensi suatu pasar. Pasar yang efisien adalah pasar
dimana return semua sekuritas yang diperdagangkan telah mencerminkan semua
informasi yang tersedia
Investor harus menentukan sekuritas apa yang dipilih sebelum investor
melakukan investasi dalam sekuritas, investor harus menentukan sekuritas apa
yang dipilih, seberapa banyak investasi tersebut harus dipilih dan kapan investasi
tersebut harus dilakukan. Investor juga harus memperhatikan berbagai faktor
untuk memilih sekuritas yang menguntungkan, seperti mendapatkan keuntungan
yang besar, yaitu dengan menganalisis sekuritas dan pasar, dimana kita menilai
risiko dan capital gain yang diharapkan dari keseluruhan instrumen investasi yang
tersedia, karena harga pasar saham juga terbentuk melalui mekanisme permintaan
dan penawaran di pasar modal yang berimbas pada return saham (Siti, 2008).
17
2.1.6 Faktor-faktor yang Menjelaskan Hubungan Laba dan Return Saham
Faktor-faktor yang mampu mempengaruhi koefisien respon saham dapat
digolongkan menjadi dua faktor utama yaitu faktor spesifik perusahaan dan faktor
ekonomi luas (Kim et al., 2002). Koefisien respon laba dihitung untuk setiap
perusahaan individu dari hubungan laba dan return untuk interval waktu tertentu.
Koefisien respon laba bervariasi selama waktu pengamatan. Ada teori yang
menyebutkan kemungkinan karena adanya perubahan tingkat bunga (Collins dan
Kothari, 1989). Alasan lain yang mungkin adalah tahapan siklus bisnis dan
perubahan dalam inflasi antisipasian (Cho dan Jung, 1991).
Hubungan laba akuntansi dan harga saham dalam akuntansi dan keuangan
diukur dengan menggunakan koefisien respon laba (earnings response
coefficients). ERC didefinisikan sebagai ukuran atas tingkat return abnormal
saham dalam merespon komponen unexpected earnings (Scott, 1997). Menurut
Beaver dan Morse (1978) dan Kormendi dan Lipe (1987), koefisien respon laba
(earnings response coefficients) antar perusahaan relatif tetap. Hal ini dibuktikan
oleh Kormendi dan Lipe (1987) dengan menguji pengaruh unexpected earnings
terhadap harga saham. Hasil dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa reaksi
harga saham terhadap laba akuntansi tidak bergejolak secara berlebihan. Hal
berbeda diungkapkan Easton dan Zmijewski (1989) dan Collins dan Kothari
(1989) menyatakan bahwa respon pasar terhadap laba akuntansi masing-masing
perusahaan dapat bervariasi, baik antar perusahaan maupun antar waktu. Hal ini
menunjukkan bahwa koefisien respon laba tidak konstan. Perbedaan koefisien
respon laba dipengaruhi oleh karateristik atau nilai perusahaan.
18
Penggunaan laba untuk menilai perusahaan dapat diperhatikan dari
hubungan laba dan return. Apabila laba dan return memiliki hubungan, maka laba
dikatakan memiliki kandungan informasi. Penelitian Ball dan Brown (1968) yang
menguji tentang laba dan harga saham menunjukkan bukti empiris bahwa
keduanya mempunyai hubungan positif secara statistis signifikan, yang berarti
naik turunnya laba akan mempengaruhi naik turunnya harga saham secara searah.
2.1.7 Koefisien Respon Laba (Earnings Response Coefficient/ERC)
Keresponan laba untuk mengetahui kualitas laba baik atau tidaknya yang
diukur dengan earnings response coefficient sebagai bentuk pengukuran untuk
mengetahui kandungan informasi dalam laba (Ihsanul, 2014). Earnings response
coefficient mencoba untuk mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan antara
informasi laba dengan respon pasar. ERC merupakan salah satu bentuk pengujian
terhadap kandungan informasi laba. Bila angka laba mengandung informasi,
diteorikan pasar akan bereaksi terhadap pengumuman laba. Pasar telah
mempunyai harapan tentang berapa besarnya laba perusahaan atas dasar informasi
yang tersedia secara public pada saat diumumkan (Soewardjono, 2005).
Menurut Cho dan Jung (1991) mendefinisikan earnings response
coefficient sebagai pengaruh tiap dollar dari laba non ekspektasian pada return
saham, dan secara tipikal ditunjukkan melalui koefisien condongan (slope
coefficient) dalam persamaan regresi return saham abnormal terhadap laba non
ekspektasian. Earnings response coefficient dengan kata lain dapat didefinisikan
sebagai efek satu satuan mata uang dari laba yang diharapkan pada return saham
dan menggambarkan reaksi investor terhadap pengumuman laba atau rugi
19
tersebut. ERC menunjukkan kuat lemahnya reaksi pasar terhadap pengumuman
laba, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kandungan dalam informasi
laba. Jika investor mempunyai persepsi bahwa informasi keuangan itu memiliki
kredibilitas tinggi, maka ia akan bereaksi terhadap laporan keuangan tersebut
secara kuat (Noviyanti dan Erni, 2008).
Dasar pemikiran ERC adalah bahwa investor memiliki perhitungan
ekspektasi laba jauh hari sebelum laporan keuangan dikeluarkan. Periode
peramalan laba dapat mencapai satu tahun sebelum diumumkannya angka laba
perusahaan. Menjelang dikeluarkannya laporan keuangan, investor akan lebih
memiliki banyak informasi dalam membuat analisis terhadap angka laba periodik.
Hal ini dapat terjadi karena seringnya terdapat kebocoran informasi menjelang
dikeluarkannya laporan keuangan (Sri, 2008).
2.1.8 Tingkat Utang (Leverage)
Leverage merupakan salah satu rasio keuangan yang menggambarkan
hubungan antara hutang perusahaan dengan modal maupun aset perusahaan.
Menurut Lukman (2004) istilah leverage biasanya dipergunakan untuk
menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menggunakan aktiva atau dana
yang mempunyai beban tetap (fixed cost assets or funds) untuk memperbesar
tingkat penghasilan (return) bagi pemilik perusahaan. Memperbesar tingkat
leverage, berarti bahwa tingkat ketidakpastian dari return yang akan diperoleh
akan semakin tinggi pula. Tingkat leverage ini bisa saja berbeda-beda antara satu
perusahaan dengan perusahaan lainnya, atau dari satu periode ke periode lainnya
di dalam satu perusahaan. Tingkat leverage yang tinggi berarti perusahaan
20
menggunakan hutang yang tinggi yang berarti profitabilitas perusahaan akan
meningkat, namun disisi lain hutang yang tinggi akan meningkatkan risiko
kebangkrutan. Sebaiknya perusahaan harus menyeimbangkan berapa utang yang
layak diambil dan dari mana sumber-sumber yang dapat dipakai untuk membayar
hutang. Harris dan Raviv (1990) menyatakan bahwa besarnya hutang
menunjukkan kualitas perusahaan serta prospek yang kurang baik pada masa
mendatang. Bagi perusahaan dengan hutang yang banyak, peningkatan laba akan
menguatkan posisi dan keamanan bondholders daripada pemegang saham.
Terdapat 2 tipe leverage (Suad, 2005):
1) Operating Leverage
Merupakan kemapuan perusahaan di dalam menggunakan fixed operating
cost untuk memperbesar pengaruh dari perubahan volume penjualan
terhadap EBIT. Operating leverage ini terjadi pada saat perusahaan
menaggung biaya tetap yang harus ditutup dari hasil operasi.
2) Financial Leverage
Merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan
harapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar
daripada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang
tersedia bagi pemegang saham. Financial leverage terjadi pada saat
perusahaan menggunakan sumber dana yang menimbulkan beban tetap.
2.1.9 Risiko Sistematik (Systematic Risk)
Risiko merupakan besarnya penyimpangan antara expected return dengan
actual return. Semakin besar penyimpangan berarti semakin besar tingkat resiko
21
investasi tersebut (Halim, 2005). Risiko terkait dengan ketidakpastian hasil atas
peristiwa di masa depan. Banyak investor dan kreditor menilai risiko secara
subjektif, sedangkan pengukuran risiko secara statistik muncul dari teori koefisien
beta (Wild et al., 2004). Teori koefisien beta menyatakan bahwa total risiko
investasi terdiri atas dua elemen yaitu:
1) Risiko sistematik (systematic risk) yaitu risiko terkait dengan pergerakan
pasar yang dominan.
2) Risiko tidak sistematik yaitu risiko khusus untuk efek tertentu.
Penelitian ini mengkhususkan pada risiko sistematik. Tandelilin (2001)
menyatakan risiko sistematik atau dikenal juga dengan risiko pasar (market risk)
merupakan risiko yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi di pasar secara
keseluruhan. Perubahan pasar tersebut akan mempengaruhi variabilitas return
suatu investasi. Menurut Suad (2005), risiko sistematik merupakan risiko yang
mempengaruhi semua (banyak) perusahaan.
Menurut Halim (2005), risiko sistematik merupakan risiko yang tidak
dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena fluktuasi risiko ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor makro yang dapat mempengaruhi pasar secara
keseluruhan. Apabila risiko sistematik muncul dan terjadi, maka semua jenis
saham akan terkena dampaknya sehingga investasi dalam 1 jenis saham atau lebih
tidak dapat mengurangi kerugian, misalnya perubahan tingkat bunga, kurs valuta
asing, kebijakan pemerintah, resesi ekonomi dan sebagainya. Risiko ini bersifat
umum dan berlaku bagi semua saham.
22
2.1.10 Kesempatan Bertumbuh (Growth Opportunities)
Menurut Jalil (2013) kesempatan bertumbuh menjelaskan prospek
pertumbuhan perusahaan di masa depan. Kesempatan bertumbuh yang dihadapi
perusahaan diwaktu yang akan datang merupakan suatu prospek baik yang dapat
mendatangkan laba bagi perusahaan. Penilaian pasar (investor/pemegang saham)
terhadap kemungkinan bertumbuh suatu perusahaan nampak dari harga saham
yang terbentuk sebagai suatu nilai ekspektasi terhadap manfaat masa depan yang
akan diperolehnya. Pemegang saham akan memberi respon yang lebih besar
kepada perusahaan dengan kemungkinan bertumbuh yang tinggi. Hal ini terjadi
karena perusahaan yang mempunyai kemungkinan bertumbuh yang tinggi akan
memberikan manfaat yang tinggi di masa depan bagi investor (Palupi, 2006).
Perusahaan
yang
memiliki
kesempatan
bertumbuh
diharapkan
memberikan profitabilitas yang tinggi dimasa datang, dan diharapkan laba lebih
persisten. Penilaian pasar terhadap kemungkinan bertumbuh suatu perusahaan
terlihat dari harga saham yang terbentuk sebagai suatu nilai ekspektasi terhadap
manfaat masa depan yang akan diperolehnya. Pemegang saham akan memberikan
respon yang lebih besar kepada perusahaan yang mempunyai kesempatan
bertumbuh yang tinggi. Hal ini terjadi karena perusahaan yang mempunyai
kemungkinan bertumbuh yang tinggi akan memberikan manfaat tinggi dimasa
depan bagi investor (Scoot, 2009). Menurut Naimah dan Utama (2006)
perusahaan yang terus bertumbuh, dengan mudah menarik modal, ini merupakan
sumber pertumbuhan. Maka dari itu informasi laba perusahaan yang memiliki
kesempatan bertumbuh akan direspon positif oleh pemodal.
23
2.1.11 Ukuran Perusahaan (Firm Size)
Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar
kecilnya perusahaaan menurut berbagai cara antara lain dengan total aktiva,
penjualan bersih, dan kapitalisasi pasar perusahaan (market capitalization).
Semakin besar total aktiva atau penjualan bersih perusahaan maka akan semakin
besar ukuran perusahaan begitu juga sebaliknya, semakin rendah total aktiva atau
penjualan bersih perusahaan maka semakin kecil pula ukuran perusahaan
(Diantimala, 2008). Menurut Zubaidi dkk. (2011) ukuran perusahaan merupakan
kemampuan perusahaan dalam menghadapi ketidakpastian, sehingga investor
yang bersikap hati-hati (risk averse) cenderung memperhitungkan besar kecilnya
perusahaan saat menanamkan dananya dalam bentuk saham. Pengelompokan
perusahaan atas dasar skala operasi (besar/kecilnya) dapat dipakai oleh investor
sebagai salah satu variabel dalam menentukan dalam pengambilan keputusan
investasi.
Ukuran perusahaan pada dasarnya hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu:
perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium firm), dan
perusahaan kecil (small firm). Salah satu tolak ukur yang menunjukkan besar
kecilnya perusahaan didasarkan pada total asset perusahaan (Machfoedz, 1994).
Perusahaan yang memiliki total asset besar menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut telah mencapai tahap dimana arus kas perusahaan sudah positif dan
dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama.
Perusahaan yang memiliki total asset besar lebih mampu menghasilkan laba yg
24
besar dan relatif stabil dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki total asset
kecil.
Aktiva merupakan tolok ukur besaran atau skala suatu perusahaan.
Biasanya perusahaan besar mempunyai aktiva yang besar pula nilainya.
Perusahaan yang lebih besar secara teoritis mempunyai kepastian (certainty) yang
lebih besar daripada perusahaan kecil sehingga akan mengurangi tingkat
ketidakpastian mengenai prospek perusahaan ke depan, hal tersebut membantu
investor memprediksi risiko yang mungkin terjadi jika berinvestasi pada
perusahaan tersebut (Yolana dan Martani, 2005). Perusahaan yang sudah cukup
mapan dianggap mempunyai risiko yang relatif kecil karena memiliki akses yang
mudah menuju pasar modal, sehingga semakin mudah mendapatkan kepercayaan
investor untuk menanamkan modalnya. Perusahaan kecil sebaliknya dianggap
mempunyai risiko yang relatif besar karena akan mendapatkan banyak kesulitan
untuk melakukan akses ke pasar modal, sehingga investor enggan untuk
menamkan modalnya di perusahaan tersebut.
Total aktiva digunakan sebagai estimasi ukuran perusahaan dengan
mempertimbangkan bahwa nilai aktiva relatif lebih stabil dibandingkan nilai
penjualan, karena variabel total aktiva memiliki satuan angka paling besar yang
potensial menimbulkan heteroskedastisitas sehingga harus ditransformasikan ke
log natural (Setiawan, 2011). Perusahaan yang memiliki total aktiva besar
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan,
dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki
prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif stabil dan lebih mampu
25
menghasilkan laba dibandingkan perusahaan dengan total aset yang kecil
(Wildham, 2013).
2.1.12 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai ERC telah banyak dilakukan, tetapi sebagian masih
bersifat umum dan terbatas. Beberapa penelitian terdahulu untuk menguji faktorfaktor yang mempengaruhi ERC antara lain diringkas pada lampiran 1.
2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Leverage pada Earnings Response Coefficient
Leverage terkait dengan penentuan seberapa besar hutang yang digunakan
untuk membiayai suatu perusahaan. Sri dan Nur (2007) berpendapat bahwa
perusahaan yang tingkat leveragenya tinggi berarti memiliki utang yang lebih
besar dibandingkan modal. Tingkat utang (leverage) yang dimiliki perusahaan di
masa mendatang menyebabkan perbedaan respon investor terhadap pengumuman
laba perusahaan. Informasi terhadap pengumuman laba direaksi cepat oleh
kreditur, namun direspon negatif oleh investor karena investor beranggapan
bahwa perusahaan lebih mengutamakan hutang dari pembayaran dividen. ERC
pada perusahaan yang tingkat hutangnya besar akan lebih rendah dibandingkan
perusahaan dengan sedikit hutang atau tidak memakai hutang sama sekali,
sehingga apabila terjadi peningkatan laba yang diuntungkan adalah debtholders
(Scott, 2009). Semakin tinggi leverage pada perusahaan maka akan semakin
rendah earnings response coefficient pada perusahaan tersebut, dengan kata lain
26
reaksi pasar akan menurun atau investor merespon negatif laba yang dihasilkan
oleh perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Moradi et al. (2010) menemukan ERC
pada perusahaan dengan tingkat financial leverage rendah akan lebih besar
dibandingkan dengan ERC pada perusahaan dengan tingkat financial leverage
tinggi. Perusahaan yang memiliki leverage keuangan tinggi, informasi
peningkatan laba perusahaan merupakan good news bagi kreditur, karena
informasi peningkatan laba dapat meningkatkan solvabilitas suatu perusahaan.
Dhaliwal dan Farger (1991) membuktikan bahwa leverage berpengaruh
negatif pada earnings response coefficient, begitu juga dengan penelitian yang
dilakukan Dewi (2010). Utang (leverage) adalah salah satu mekanisme bagi
shareholder untuk meminimumkan masalah keagenan dengan manajer. Semakin
tinggi tingkat leverage perusahaan, semakin berat beban keuangan yang dihadapi
perusahaan, ini berarti semakin tinggi risiko yang dihadapi oleh perusahaan.
Semakin tinggi tingkat risiko perusahaan berarti semakin tinggi pula tingkat
ketidakpastian akan kelangsungan hidup perusahaan (Dewi, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis pertama yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1 :
Leverage berpengaruh negatif pada earnings response coefficient
2.2.2 Pengaruh Systematic Risk pada Earnings Response Coefficient
Risiko sistematik (systematic risk) adalah risiko yang mempengaruhi
semua (banyak) perusahaan (Suad, 2005). Beta merupakan pengukur risiko
sistematik perusahaan dari suatu sekuritas terhadap risiko pasar. Kemampuan
27
investasi bagi investor merupakan keputusan yang tidak pasti, karena adanya
risiko yang harus ditanggung investor dan imbalan hasil (return) yang diharapkan
di masa depan. Investor harus lebih jeli untuk memprediksi saham yang akan
dibeli pada awal periode, sehingga sesuai dengan perolehan return saham yang
diharapkan pada akhir periode.
Penelitian yang dilkukan oleh Beaver et al. (1987) menyatakan bahwa
earnings response coefficient akan menurun terhadap kejutan laba yang besar
sehingga akan sedikit direaksi oleh investor. Investor kurang menyukai kejutan
laba yang terlalu besar sekalipun bisa menjanjikan return yang tinggi karena
dianggap memiliki risiko akan tingkat ketidakpastian. Semakin tinggi risiko suatu
perusahaan, maka semakin rendah reaksi investor terhadap kejutan laba dan akan
diikuti oleh ERC yang rendah pula. Investor akan lebih tertarik dalam mengambil
keputusan sehubungan dengan informasi laba perusahaan yang berisiko rendah.
Risiko (riskness) menunjukkan variasi antar perusahaan dan risk-free
interest rate menunjukkan variasi antarwaktu. Kedua risiko tersebut menunjukkan
variasi antar waktu. Kedua risiko ini dibuktikan secara empiris oleh Collins dan
Kothari (1989) berhubungan secara negatif dengan earnings response coefficient.
Easton dan Zmijewski (1989) menguji variasi respon pasar saham antara
perusahaan untuk pengumuman laba akuntansi, hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa earnings response coefficient berhubungan negatif dengan
risiko sistematik. Semakin besar risiko perusahaan maka semakin tidak pasti
return yang dimasa yang akan datang sehingga semakin rendah nilai perusahaan
tersebut dimata investor. Investor yang memiliki diversifikasi saham, ukuran
28
risiko bagi sahamnya adalah beta. Hal ini karena investor melihat laba sekarang
sebagai indikator dari kemampuan menghasilkan laba dan return masa depan,
semakin berisiko return masa depan maka semakin rendah reaksi investor (Sri,
2008).
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
H2 :
Systematic risk berpengaruh negatif pada earnings response coefficient
2.2.3 Pengaruh Growth Opportunities pada Earnings Response Coefficient
Peniliaian pasar (investor/pemegang saham) terhadap kemungkinan
bertumbuh suatu perusahaan nampak dari harga saham yang terbentuk sebagai
suatu nilai ekspektasian terhadap manfaat masa depan yang akan diperolehnya.
Kesempatan bertumbuh (growth opportunities) perusahaan merupakan prospek
bagi investor yang menginvestasikan dananya untuk mendapatkan keuntungan
dimasa mendatang. Perusahaan dengan kesempatan bertumbuh yang tinggi akan
membutuhkan dana dalam jumlah yang relatif besar untuk membiayai
pertumbuhan tersebut pada masa yang akan datang. Perusahaan akan
mempertahankan earning untuk diinvestasikan kembali pada perusahaan dan pada
waktu bersamaan perusahaan diharapkan akan tetap mengandalkan pendanaan
melalui utang yang lebih besar (Baskin, 1989).
Peniliaian pasar (investor/pemegang saham) terhadap kemungkinan
bertumbuh suatu perusahaan nampak dari harga saham yang terbentuk sebagai
suatu nilai ekspektasian terhadap manfaat masa depan yang akan diperolehnya
(Jalil, 2013). Laba perusahaan dari tahun ke tahun dapat mengalami peningkatan
29
atau penurunan. Peningkatan laba yang stabil dari suatu perusahaan menunjukkan
bahwa pertumbuhan laba perusahaan baik, sebaliknya penurunan laba dari tahun
ketahun menunjukkan bahwa pertumbuhan laba perusahaan kurang baik. Semakin
besar kesempatan bertumbuh suatu perusahaan maka semakin tinggi pula
kesempatan perusahaan mendapatkan laba pada masa mendatang, sehingga
earnings response coefficient perusahaan tersebut akan semakin tinggi.
Pemegang saham akan memberi respon yang positif kepada perusahaan
dengan kemungkinan bertumbuh yang tinggi. Hal ini terjadi karena perusahaan
yang mempunyai kemungkinan bertumbuh yang tinggi akan memberikan manfaat
yang tinggi di masa depan bagi investor. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian
Sri dan Nur (2007) yang menyatakan bahwa kesempatan bertumbuh berpengaruh
positif pada earning response coefficient (sebagai alat ukur relevansi nilai laba
akuntansi). Studi temuan ini konsisten dengan Collins dan Kothari (1989) yang
menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki kesempatan bertumbuh yang
lebih besar akan memiliki ERC tinggi pula.
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
H3:
Growth opportunities berpengaruh positif pada earnings response
coefficient
2.2.4 Pengaruh Firm Size pada Earnings Response Coefficient
Ukuran perusahaan merupakan proksi dari keinformatifan harga.
Perusahaan besar dianggap memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan
perusahaaan kecil (Winisaputri, 2014). Ukuran perusahaan menunjukkan jumlah
30
pengalaman dan kemampuan tumbuhnya suatu perusahaan yang mengindikasikan
kemampuan dan tingkat risiko dalam mengelola investasi yang diberikan para
stockholder untuk meningkatkan kemakmuran mereka. Besar kecilnya perusahaan
ditunjukkan dari besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan yang
berukuran besar dianggap memiliki kinerja dan sistem yang baik untuk
mengendalikan, mengelola, mengatur semua aktiva yang dimiliki oleh
perusahaan. Pengendalian, pengelolaan dan pengaturan asset perusahaan yang
efektif dan efisien ini berpotensi untuk mendatangkan laba. Hal itulah yang
menyebabkan investor lebih memiliki kepercayaan pada perusahaan besar, karena
perusahaan
besar
dianggap
mampu
untuk
terus
meningkatkan
kinerja
perusahaannya dengan berupaya meningkatkan kualitas labanya. Semakin besar
ukuran perusahaan yang dilihat dari total aktivanya, akan membuat investor
semakin merespon positif laba yang diumumkan (Ihsanul, 2014).
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Cho dan Jung (1991) yang
menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara earnings response coefficient
dan ukuran perusahaan. Naimah dan Utama (2006) menemukan bahwa firm size
(ukuran perusahaan) berpengaruh dalam dalam meningkatkan earning response
coefficiet (ERC) dalam jangka panjang (long window) dan mempunyai perbedaan
yang signifikan antara perusahaan kecil dan perusahaan besar, dimana ERC
(sebagai alat ukur relevansi nilai laba akuntansi) ditemukan lebih tinggi pada
perusahaan besar. Informasi yang tersedia sepanjang tahun pada perusahaan
memungkinkan pelaku pasar untuk menginterpretasikan informasi yang terdapat
31
pada laporan keuangan dengan lebih sempurna, sehingga dapat memprediksi arus
kas yang lebih akurat dan menurunkan ketidakpastian.
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis keempat yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
H4:
Firm size berpengaruh positif pada earnings response coefficient
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.1
Desain Penelitian
Leverage
(X1)
(-)
Systematic Risk
(X2)
(- )
(-)
(+)
Growth Opportunities
(X3)
(+)
Firm Size
(X4)
32
Earnings Response
Coefficient (Y)
Download