Republika : Senin, 28 April 2008 Situasi Sulit Ekonomi Oleh : Umar Juoro Tingginya kecenderungan inflasi yang dipicu oleh tingginya harga pangan dan energi membuat situasi ekonomi menjadi sulit, baik bagi pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat pada umumnya. Banyak ekonom dalam dan luar negeri yang memperkirakan inflasi di atas delapan persen. Bahkan, ada yang memperkirakan inflasi dapat melebihi sembilan persen. Sementara itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) secara resmi masih berpegang pada angka 6,5 persen yang merupakan asumsi pada APBN-Perubahan 2008, sekalipun secara informal mereka mengakui kemungkinan inflasi lebih tinggi. Boleh jadi, jika pemerintah tidak dapat mengendalikan kenaikan harga bahan pangan dan energi dengan memadai, inflasi akan melonjak tinggi. Bagi pemerintah, pilihan kebijakannya sangatlah sulit. Dengan inflasi yang meningkat, pemerintah masih menanggung beban subsidi BBM yang sangat besar mencapai Rp 187 triliun, termasuk subsidi untuk PLN. Jika harga minyak dalam kurun waktu tertentu bertahan pada angka 100 dolar AS per barel, subsidi BBM akan membengkak ke angka sekitar Rp 230 triliun. Subsidi yang demikian besar dipandang pelaku ekonomi, terutama di sektor finansial, sebagai hal yang tidak rasional karena mengalokasikan sumber daya pada kegiatan yang tidak produktif. Karena itu, pelaku ekonomi di pasar finansial melepaskan kepemilikan surat utang negara (SUN) yang menyebabkan harganya menurun. Mereka berpandangan, tidaklah rasional pemerintah menerbitkan SUN dalam jumlah besar, yaitu Rp 117 triliun yang praktis dipergunakan untuk menutup subsidi yang membengkak karena besarnya subsidi BBM. Sementara itu, pemerintah tidak berani melakukan pengurangan subsidi BBM atau menaikkan harga BBM bersubsidi karena alasan sosial politik. Menaikkan harga BBM akan mendorong inflasi semakin tinggi lagi, paling tidak dalam jangka pendek. Namun, jika harga BBM tidak disesuaikan, anggaran pemerintah akan semakin tertekan dan kian sulit bagi pemerintah menjual SUN untuk membiayai defisit. Sekalipun pemerintah berencana menaikkan pinjaman dari Bank Dunia dan ADB, tapi tetap dibutuhkan pembiayaan defisit dari penerbitan SUN. Di sinilah letak sulitnya menentukan kebijakan ekonomi sekarang ini. Bagi dunia usaha, tingginya inflasi berarti biaya produksi yang meningkat dan daya beli konsumen yang melemah. Hal ini terutama dialami industri manufaktur, kecuali industri kendaraan bermotor yang masih tumbuh cukup tinggi. Bagi konsumen berpendapatan tinggi, mereka tidak menghadapi banyak permasalahan dengan kenaikan harga pangan. Tapi, bagi konsumen berpendapatan rendah, kenaikan harga pangan sangat menurunkan daya beli mereka karena sebagian besar pengeluaran untuk bahan pangan. Dengan inflasi yang tinggi, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan akan bertambah. Kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, telekomunikasi, perumahan, dan perbankan, masih akan tumbuh relatif baik. Alasannya karena konsumen demikian besar permintaannya terhadap jasa telekomunikasi, terutama handphone. Kegiatan perdagangan, terutama yang tergolong modern, masih akan tumbuh cukup baik. Namun, perdagangan tradisional yang melayani masyarakat berpendapatan rendah mengalami tekanan besar. Kegiatan pembangunan dan penjualan perumahan masih cukup baik untuk perumahan menengah ke atas karena mendapatkan fasilitas kredit perbankan cukup besar. Perbankan masih akan mengalokasikan kredit cukup tinggi dengan pertumbuhan di atas 20 persen, namun kinerja perbankan tidak akan sebaik tahun sebelumnya. Perbankan mengalami pukulan dari menurunnya harga obligasi dan SUN yang berakibat pada turunnya laba. Dengan inflasi yang tinggi, program sosial pemerintah yang diharapkan dapat mengurangi kemiskinan akan terganjal. Kemungkinan meningkatnya jumlah penduduk yang berada di bawah kemiskinan dan kemungkinan juga peningkatan pengangguran, tentunya memberikan citra yang kurang baik kepada pemerintah dalam menghadapi pemilu tahun depan. Upaya menanggulangi inflasi yang dilakukan pemerintah tampaknya masih kurang efektif. Meskipun harga beras relatif stabil, terutama karena masa panen; harga bahan pangan lainnya, seperti sayuran, daging, dan bahan makanan olahan, mengalami peningkatan cukup tinggi. Demikian pula harga minyak goreng dan minyak tanah. Ditariknya minyak tanah dari peredaran dan diganti elpiji tampaknya tidak berjalan baik sehingga terjadi fenomena kelangkaan yang mendorong harga menjadi sangat tinggi. Akibatnya, sumbangan pada inflasi juga besar. Upaya membuat nilai rupiah kuat agar biaya impor bahan pangan dan energi dapat berkurang tidak sepenuhnya efektif. Karena, pelaku ekonomi finansial melepaskan kepemilikan saham dan obligasinya yang menekan nilai rupiah. Ini membuat BI terpaksa mengintervensi cukup besar. Semakin mendekati pemilu, semakin sulit bagi pemerintah membuat kebijakan efektif. Apalagi, jika kebijakan tersebut menurunkan popularitas, seperti menaikkan harga BBM dan suku bunga. Namun, karena tekanan ekonomi yang semakin besar, cepat atau lambat pemerintah tampaknya harus menyesuaikan harga BBM dan BI menaikkan suku bunga. Jika pemerintah tidak melakukan kebijakan ekonomi yang rasional, tekanan dari pelaku ekonomi di sektor keuangan akan semakin besar dan akan makin menyulitkan pemerintah karena berakibat pada berlanjutnya pelemahan harga dan minat terhadap SUN dan juga pelemahan rupiah. Dalam situasi dilematis inilah ujian pada kepemimpinan. Pertanyaannya, seberapa besar kenaikan tersebut agar dampak ekonomi dan sosial politiknya dapat ditangani dengan baik? Tentu saja, programprogram sosial untuk membantu masyarakat bawah harus ditingkatkan dan diefektifkan sebagai kompensasinya.