II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Salak Pondoh 2.1.1. Klasifikasi Salak Tanaman salak tidak hanya dikenal di beberapa daerah di Indonesia saja, melainkan juga di Burma, Thailand, Philippina dan di Malaya. Jenis salak yang umumnya di tanam di Burma berbeda dengan yang biasa ditanam di Malaya, demikian pula jenis yang umumnya dibudidayakan di Sumatra berbada dengan yang ada di Jawa (Sulastri, 1986). Salak yang merupakan tanaman asli Indonesia adalah Salacca edulis Reinw. (Sastrapradja, 1977 dalam Sulastri, 1986). Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, salak (Salacca edulis Reinw.) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonea Bangsa : Palmales Suku : Palmae Marga : Salacca Jenis : Salacca edulis Reinw. Banyak jenis dan varietas salak yang dapat tumbuh baik di Indonesia, setidaknya terdapat 22 jenis dan varietas salak yang terdapat di Indonesia (Lampiran 1). Varietas unggul yang telah dilepas oleh pemerintah untuk dikembangkan diantaranya salak pondoh, swaru, nglumut, enrekang, dan gula batu atau bali (Sunarjono, 2005). Sebenarnya jenis salak yang ada di Indonesia ada tiga perbedaan yang mencolok, yakni: salak Jawa Salacca zalacca (Gaertner) Voss yang berbiji dua sampai tiga butir, salak Bali Salacca amboinensis (Becc) Mogea yang berbiji satu sampai dua butir, dan salak Padang Sidempuan Salacca sumatrana (Becc) yang berdaging merah3. 2.1.2. Sifat Botani Tanaman salak berakar serabut dan menyerupai pohon palem yang seolaholah tidak berbatang, rendah dan tegak dengan tinggi tanaman salak antara 1,5 – 7 meter, tergantung dari jenisnya. Batangnya hampir tidak kelihatan karena 3 Salak (Salacca edulis). http://www.ristek.go.id. [21 Desember 2007]. tertutup oleh pelepah daun yang tersusun rapat, pelepah dan tangkai daunnya berduri panjang (Steenis, 1975 dalam Sulastri, 1986; dan Harsoyo, 1999). Batang tanaman salak lemah dan mudah rebah, pada batangnya dapat tumbuh tunas yang berakar sendiri, yang bila dibiarkan tumbuh di batang, tunas-tunas tersebut dapat tumbuh menjadi rumpun tanaman salak yang besar. Batang salak pondoh termasuk pendek dan hampir tidak kelihatan secara jelas, karena selain ruas-ruasnya padat juga tertutup oleh pelepah daun yang tumbuh memanjang. Selain itu, sekalipun umur tanaman masih muda, sekitar satu sampai dua tahun, tanaman salak pondoh dapat bertunas (Santoso, 1990). Santoso (1990) menjelaskan bahwa daun salak pondoh tersusun roset, bersirip terputus-putus, dan panjang 2,5 – 7 meter. Bagian bawah dan tepi tangkai daun berduri tajam. Khusus jenis salak pondoh hitam, daunnya lebih lebar dibandingkan salak pondoh kuning, dan berwarna hijau tua. Sedangkan salak pondoh kuning, daunnya berwarna hijau muda dan agak sempit dibandingkan salak pondoh hitam. Tanaman salak berbunga banyak, tersusun dalam tandan rapat dan bersisik dengan tandan bunga jantan dan tandan bunga betina terletak pada pohon yang berlainan, sebagian tandan bunga terbungkus oleh seludang atau tongkol yang berbentuk seperti perahu yang terletak diketiak pelepah daun (Sulastri, 1986). Menurut Sunarjono (2005), bunga salak ada tiga macam, yaitu bunga betina, jantan, dan campuran (sempurna), dimana bunga jantan terbungkus oleh seludang (spandex) dengan tangkai panjang sedangkan bunga betina terbungkus oleh seludang dengan tangkai pendek. Tongkol bunga jantan memiliki panjang 50 – 100 cm, terdiri atas 4 – 12 bulir silindris yang masingmasing panjangnya antara 7 – 15 cm, dengan banyak bunga kemerahan terletak di ketiak sisik-sisik yang tersusun rapat, sedangkan tongkol bunga betina panjangnya antara 20 – 30 cm, bertangkai panjang, terdiri atas satu sampai tiga bulir yang panjangnya mencapai 10 cm 4. Menurut Sunarjono (2005), dikenal tiga macam tipe tanaman salak dalam satu varietas/kultivar, yaitu: (1) Salak sempurna campuran (tipe A), tanaman salak tipe ini mampunyai seludang bunga jantan dan seludang bunga sempurna (hermaprodit) yang seluruhnya fertil, sehingga terdapat kemungkinan besar tanaman menyerbuk sendiri; (2) Salak betina (tipe B), tanaman salak betina mampunyai seludang bunga jantan rudimenter (tumbuh kerdil), sementara bunga 4 Salak. http://id.wikipedia.org/wiki/salak. [21 Desember 2007]. jantan dari seludang bunga sempurna redimenter juga, sehingga yang tampak hanya bunga betina saja; dan (3) Salak jantan (tipe C), tanaman salak jantan hanya mempunyai seludang jantan yang fertil, sementara bunga betina pada bunga sempurna termasuk rudimenter, sehingga yang tampak hanya bunga jantan saja. Salak bali termasuk tipe salak A, sedangkan tipe salak B dan C diantaranya banyak terdapat pada salak swaru, condet dan pondoh. Santoso (1990) mengungkapkan bahwa tanaman salak pondoh mempunyai dua periode tumbuh, yaitu periode vegetatif dan periode reproduktif. Periode vegetatif adalah periode tumbuh dari mulai tanam sampai dengan terbentuk bunga pertama. Sedangkan periode reproduktif dinyatakan sejak waktu berbunga, hingga perkembangan buah dan saat matang. Ciri khas tanaman salak pondoh merupakan tanaman berumah dua, sehingga dapat ditemukan tanaman jantan dan tanaman betina. Bunga jantan tersusun seperti genteng, bertangkai dan berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan bunga betina tersusun dari satu sampai tiga bulir, bertangkai panjang, dan mekar sekitar 1 – 3 hari. Tanaman jantan tidak dapat menghasilkan buah, tetapi tanaman jantan diperlukan sebagai sumber benang sari. Buah salak merupakan tipe buah batu berbentuk segitiga agak bulat atau bulat telur terbalik, runcing di pangkalnya dan membulat di ujungnya dengan panjang buah dapat mencapai 2,5 – 10 cm5. Buah salak tersusun dalam tandan dimana dalam setiap tandan terdiri dari 15 – 40 buah (Sulastri, 1986; dan Sunarjono, 2005). Buah salak terdiri atas kulit, daging buah dan biji. Kulit buah salak yang membungkus daging buah menyerupai sisik yang berbentuk segi tiga, berwarna kekuningan hingga coklat kehitaman atau kemerah-merahan yang tersusun seperti genting, dengan banyak duri kecil yang mudah putus di ujung masingmasing sisik. Daging buah tidak berserat berwarna putih kekuningan, kuning kecoklatan atau merah tergantung varietasnya, dan biasanya terdiri dari tiga septa dalam tiap buah. Biji salak yang masih muda berwarna pucat dan lunak, sedangkan setelah matang berwarna kuning hingga kehitaman dan keras, dan dalam setiap buah terdapat satu sampai tiga biji (Sulastri, 1986; Budagara, 1998; dan Sunarjono, 2005). Buah salak pondoh pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan jenis salak lainnya. Buah salak pondoh memiliki berbagai variasi mulai dari warna kulit 5 Salak. http://id.wikipedia.org/wiki/salak., Op. cit. yang coklat kehitam-hitaman, coklat kemerah-merahan, coklat kekuningkuningan, dan merah gelap kehitam-hitaman, serta semua buah salak pondoh memiliki rasa manis (Santoso, 1990). Buah salak pondoh tergolong buah yang berpola respirasi non klimaterik yang memiliki umur penyimpanan yang relatif lebih lama dibanding buah klimaterik, dimana salak pondoh mulai membusuk setelah 13 hari penyimpanan pada suhu kamar. Tumbuhan salak dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, tetapi secara umum masa panen tanaman salak ada empat musim, yaitu: (1) panen raya pada bulan Nopember, Desember dan Januari; (2) panen sedang pada bulan Mei, Juni dan Juli; (3) panen kecil pada bulan-bulan Pebruari, Maret dan April; dan 4) masa kosong atau masa istirahat pada bulan-bulan Agustus, September dan Oktober, dan apabila pada bulan-bulan ini ada buah salak maka dinamakan buah slandren6. 2.1.3. Syarat Tumbuh Salak tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian 700 mdpl dengan tipe iklim basah, dan tipe tanah podsolik dan regosol atau latosol yang subur, gembur dan lembab disenangi oleh tanaman salak, serta lingkungan yang dikehendaki mempunyai pH antara 5 – 7 (Sunarjono, 2005). Tanaman salak pondoh tumbuh baik pada tanah yang berdrainase baik, karena tidak tahan terhadap genangan air, tetapi tanaman salak pondoh juga tidak tahan terhadap sinar matahari langsung yang dapat mengahibatkan daunnya menjadi kekuningkuningan dan pucuknya mengering. Tanaman ini membutuhkan intensitas cahaya matahari seitar 30 sampai 70 persen, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh (Santoso, 1990). Tanaman salak sesuai bila ditanam di daerah berzona iklim Aa bcd dengan jumlah bulan basah tinggi yaitu 11 – 12 bulan per tahun; Babc dengan jumlah bulan basah yaitu 8 – 10 bulan per tahun; dan Cbc dengan jumlah bulan basah yaitu 5 – 7 bulan per tahun, dengan curah hujan rata-rata per tahun 200 – 400 mm per bulan dimana curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100 mm sudah tergolong dalam bulan basah yang berarti salak membutuhkan tingkat kebasahan atau kelembaban yang tinggi7. Untuk pertumbuhan optimum, salak 6 Salak (Salacca edulis). http://www.ristek.go.id. 7 Salak (Salacca edulis). http://www.ristek.go.id, Op. cit. pondoh membutuhkan curah hujan yang merata sekitar 200 – 400 mm per bulan (Santoso, 1990). 2.2. Penelitian Terdahulu 2.2.1. Komoditi Salak Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian mengenai komoditi salak secara umum dan komoditi salak pondoh secara khusus. Banyak penelitian yang mengulas komoditi salak secara umum, diantaranya Maya (2006) yang melakukan penelitian mengenai efisiensi penggunaan faktorfaktor produksi dan pendapatan usahatani salak bongkok di Sumedang. Dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas dimana faktor-faktor produksi yang diduga seperti luas lahan, umur tanaman, jumlah tanaman, pengalaman, tenaga kerja, pupuk kandang, dan pupuk urea (dummy) menunjukkan signifikasi dan korelasi yang besar terhadap produksi salak. Skala ekonomi usaha dari penjumlahan elastisitas produksi menunjukkan nilai sebesar 0,594, hal ini menunjukkan bahwa setiap satu persen dari penggunaan faktor produksi secara bersamaan akan meningkatkan produksi salak sebesar 0,594 persen. Selain itu, dapat diketahui bahwa usahatani salak bongkok sudah menguntungkan untuk setiap golongan umur, khususnya golongan umur tanam 10 – 15 tahun, karena produktivitas tanaman salak bongkok pada golongan umur tersebut relatif lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan Hadaka (2002) dijelaskan bahwa pendapatan petani dari usahatani khususnya salak manonjaya, baik itu pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total, relatif lebih besar yang dihasilkan oleh tanaman dengan golongan umur tanam 6 – 10 tahun dibanding dengan golongan umur tanam yang lain. Hal ini dikaitkan dengan produktivitas tanaman salak manonjaya pada golongan umur tersebut yang relatif lebih tinggi. Analisis dilakukan dengan analisis kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai pelaksanaan dan pengembangan usahatani salak, dan analisis kualitatif untuk menganalisis tataniaga dan kelayakan usahatani salak, serta melakukan analisis sensivitas. Saluran pemasaran salak manonjaya yang terbentuk menunjukkan tiga pola saluran pemasaran yang berbeda yang menghasilkan marjin yang berbeda pula. Analisis pendapatan usahatani dan pemasaran salak sidempuan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara yang dilakukan oleh Nasution (2004), menunjukkan bahwa usahatani salak cukup layak untuk diusahakan karena R/C Ratio rata-rata setiap petani menunjukkan nilai sebesar 6,4 yang berarti bahwa setiap Rp. 1,00 yang dikeluarkan akan mendapat imbalan penerimaan sebesar Rp. 6,40. Sistem pemasaran salak sidempuan membentuk empat pola saluran pemasaran yang berbeda yang menghasilkan marjin pemasaran dan panjang saluran yang berbeda, dimana setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi-fungsi tertentu. Di samping itu, struktur pasar yang terjadi cenderung mendekati pasar oligopsoni di tingkat petani dan pedagang pengumpul desa, sedangkan di tingkat pengecer, pasar yang dihadapi cenderung mendekati pasar persaingan sempurna. Penelitian-penelitian yang mengulas komoditi salak pondoh secara khusus, diantaranya penelitian yang dilakukan Bisri (1998), yang mengukur efisiensi produktifitas penerapan teknologi usahatani salak pondoh antara petani kelompok dan petani non kelompok serta perbedaan tingkat penerapan teknologinya di Kabupaten Sleman. Analisis data untuk mengetahui hubungan antar peubah menggunakan Uji Korelasi Peringkat Spearman dan untuk mengetahui perbedaan tingkat penerapan teknologi usahatani antar kelompok dan non kelompok menggunakan Uji “t” Studen. Hasil menunjukkan bahwa tingkat penerapan teknologi usahatani tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dan juga hubungan antara tingkat penerapan teknologi usahatani dengan produktivitas usahatani, baik anggota kelompok tani anjuran dinas, kelompok tani inisiatif sendiri dan petani non kelompok. Hasil analisis hubungan faktor internal dengan faktor eksternal, menunjukkan hubungan antara variabel yang nyata yaitu: pendidikan formal dengan luas areal tanaman dan harga; pengalaman dengan tingkat ketersediaan informasi, luas areal tanaman dan harga; persepsi terhadap kelompok dengan tingkat ketersediaan informasi, luas areal tanaman, dan harga; lama menjadi anggota kelompok dengan tingkat ketersediaan informasi, luas areal yang ditanam, dan harga. Pengkajian faktor-faktor penentu produktivitas salak pondoh di wilayah Sleman oleh Solihin (2001), dimana analisis data yang dilakukan mencakup: (1) uji beda rata-rata dengan menggunakan Duncan Analysis untuk mengetahui keragaman produktivitas, keragaman karakteristik fisik sumberdaya lahan dan keragaman karakterisitk manajemen usahatani antar wilayah penyebaran kebun salak (WKS); (2) analisis kelayakan finansial usahatani dengan menggunakan variable NPV, IRR, BCR dan BEP untuk keragaman secara finansial masingmasing WKS; dan (3) analisis korelasi, Principal Factor Analysis (PFA) dan regresi linier berganda stepwise dari hasil PFA untuk menentukan faktor-faktor penentu produktivitas. Faktor-faktor penentu produktivitas yang perlu dipertimbangkan dalam menilai keesuaian lahan salak pondoh pada tanah yang berasal dari bahan induk bahan vulkanik adalah elevasi lahan, kadar C-organik, pH, kadar N, kadar Mg, kadar Mg, kadar K dan kadar S tanah. Harsoyo (1999), melakukan penelitian tentang efisiensi produksi berdasarkan kondisi kinerja produksi dan perbedaan efisiensi kinerja produksi berdasarkan perbedaan skala pengusahaan dan letak geografis, serta efisiensi pemasaran salak pondoh berdasarkan integrasi pasar dan distribusi marjin pemasaran salak pondoh di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alat analisis yang digunakan untuk menganalisis efisiensi produksi menggunakan model biaya traslog dan model keuntungan translog, sedangkan untuk menganalisis efisiensi pasar menggunakan analisis elastisitas transmisi harga, analisis integrasi pasar, analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Analisis fungsi biaya translog menghasilkan kesimpulan yang konsisten dengan kesimpulan dari analisis fungsi keuntungan translog yaitu bahwa kondisi skala usaha dari produksi salak pondoh adalah increasing return to scale. Analisis pemasaran menghasilkan kesimpulan bahwa pemasaran komoditas salak pondoh sudah efisien. Kelayakan investasi usahatani berdasarkan aspek teknis dan produksi, dan aspek finansial; menganalisis sensivitas usahatani salak pondoh terhadap perubahan harga pupuk dan tenaga kerja, harga jual salak pondoh, dan tingkat suku bunga; mengkaji efisiensi pemasaran salak pondoh dengan kasus di Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Dewi, 2006). Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis aspek teknis dan produksi, fungsi-fungsi pemasaran, dan pola saluran pemasaran. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkaji kelayaan usahatani salak pondoh dengan alat analisis NPV, IRR, dan Net B/C; serta mengkaji efisiensi pemasaran dengan alat analisis Marjin Pemasaran dan farmer’s share. Menunjukkan hasil bahwa usahatani ini layak di usahakan dan memperlihatkan bahwa usahatani salak pondoh tidak sensitif terhadap kenaikan harga pupuk dan tenaga kerja, serta tingkat suku bunga. Fungsi pemasaran yang dilakukan perorangan atau kelompok pada dasarnya terbagi menjadi tiga fungsi utama, yaitu: fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Lembaga pemasar yang terlibat dalam rantai pemasaran buah salak pondoh antara lain: pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul besar dan pedagang pengecer. Analisis preferensi konsumen luar negeri terhadap atribut buah salak dan implikasinya terhadap strategi pengembangan pemasaran salak pondoh di kota Bangkok, Thailand yang dilakukan Arief (2003), menggunakan empat alat analisis, yaitu: (1) Analisis Deskriptif; (2) Analisis Multiatribut Angka Ideal; (3) Analisis Konjoin; dan (4) Analisis Bauran Pemasaran. Diperoleh hasil bahwa motivasi utama konsumen untuk mengkonsumsi buah salak adalah untuk mendapatkan rasanya yang spesifik, dengan atribut yang dianggap penting dan tingkat kegunaan atribut antara lain: higenitas, rasa, tingkat kematangan, keseragaman ukuran, warna kulit buah dan harga. Strategi produk salak pondoh yang dipasarkan sebaiknya memiliki rasa manis dari buah yang sudah matang dengan ukuran relatif seragam dengan warna kulit buah agak gelap dan bentuk buah yang agak bulat sebagai ciri khas untuk membedakan dengan salak thailand. 2.2.2. Sistem Tataniaga Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan sistem tataniaga baik komoditi salak secara khusus maupun komoditas pertanian secara umum diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2005), yang menganalisis pemasaran dan integrasi pasar komoditas buah-buahan dan sayuran di DKI Jakarta. Pola saluran pemasaran yang terbentuk menunjukkan dua pola pemasaran yang berbeda yaitu pola pemasaran pada pasar tradisional dan toko, tetapi kedua pola tersebut menunjukka pola saluran pemasaran yang hampir sama. Struktur pasar yang terbentuk di tingkat petani relatif berstruktur oligopsoni, pada tingkat pedagang daerah menunjukkan struktur persaingan monopolistik, sedangkan pada tingkat supplier menghadapi pasar berstruktur oligopsoni. Petani dalam penentuan harga memiliki posisi yang lemah dan petani merupakan penerima harga yang ditentukan oleh pedagang daerah, selain itu marjin pemasaran tidak tersebar secara merata antar lembaga pemasaran. Secara umum, pemasaran komoditas hortikultura di wilayah DKI Jakarta belum mengarah pada bentuk pasar yang efisien, mengingat pasar yang terbentuk belum mengarah pasar persaingan sempurna. Gantina (2005) melakukan analisis pemasaran buah-buahan di Wilayah Kabupaten Karawang, dengan analisis kualitatif untuk menganalisis saluran pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk efisiensi pasar berdasarkan marjin pemasaran dan keterpaduan pasar menggunakan model autoregressive distributed lag. Sistem pemasaran buah-buahan di Karawang membentuk saluran pemasaran yang bertingkat dan membentuk beberapa pola saluran yang berbeda dalam mendistribusikan komoditas ke konsumen akhir, dan menghasilkan marjin yang berbeda pula. Struktur pasar yang terbentuk pada pemasaran komoditas buah-buahan yaitu struktur pasar oligopoli murni, persaingan monopolistik, dan mendekati persaingan sempurna, dengan perilaku pasar dalam penentuan harga buahbuahan dilakukan secara kaku tetapi dapat melalui kesepakatan sepihak dan melalui proses tawar menawar. Indeks keterpaduan pasar menunjukkan bahwa antar pasar acuan dengan pasar pengecer tidak terpadu dalam jangka panjang untuk semua komoditas buah-buahan yang diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai sistem pemasaran beberapa komoditas buah-buahan, diantaranya: analisis efisiensi pemasaran komoditas alpukat di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh Parwitasari (2004); analisis sistem pemasaran manggis di dua tempat yang berbeda yaitu di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh Pakpahan (2006); analisis pemasaran mangga gedong gincu (Mangifera indica spp.) di Kabupaten Majalengka oleh Rachmiyanti (2006); analisis tataniaga bengkuang (Pachyrrhizus erosus) di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah oleh Lestari (2006), dan di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut yang dilakukan oleh Taufan (2006); analisis tataniaga komoditas kelapa kopyor di Kabupaten Pati yang oleh Vinifera (2006); analisis sistem pemasaran buah stroberi di Kabupaten Bandung yang dilakukan oleh Kurniawati (2007); serta analisis sistem pemasaran pisang di Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung oleh Simamora (2007). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut umumnya hampir seragam yaitu analisis lembaga dan saluran tataniaga, analisis fungsifungsi tataniaga, analisis struktur dan perilaku pasar, analisis keragaan pasar yang meliputi analisis marjin tataniaga, analisis bagian harga yang diterima petani atau farmer’s share, analisis rasio keuntungan dan biaya, serta sebagian penelitian melakukan analisis keterpaduan pasar dengan menggunakan model Indeks of Market Connetion (IMC) dengan pendekatan model Autoregression Distributed Lag. Dari penelitian tersebut, diperoleh bahwa sistem pemasaran komoditas pertanian umumnya melibatkan lembaga tataniaga yang beragam dan membentuk saluran pemasaran yang bertingkat serta membentuk beberapa pola saluran yang berbeda dalam mendistribusikan komoditas ke konsumen akhir. Setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga tersebut melakukan fungsifungsi tataniaga sesuai dengan kepentingan lembaga tataniaga tersebut, tetapi umumnya fungsi yang dilakukan berupa fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Dijelaskan juga bahwa fungsi tataniaga yang efisien dapat menekan besarnya biaya pemasaran. Struktur pasar yang terbentuk pada pemasaran komoditas tersebut berbeda pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Struktur pasar yang dihadapi di tingkat petani cenderung mengarah kepada struktur pasar oligopsoni, dimana produk bersifat homogen dengan jumlah petani lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pengumpul desa serta pedagang besar. Perilaku pasar dalam pemasaran dapat diketahui dengan melihat sistem penentuan harga, sistem pembayaran serta kerjasama yang terjadi diantara lembaga tataniaga. Secara umum, penentuan harga yang terjadi dengan cara sistem tawar-menawar dan penentuan harga yang ditentukan oleh lembaga pemasar yang lebih tinggi tingkatannya dengan sistem pembayaran tunai, uang muka, atau pembayaran kemudian. Sistem tataniaga komoditas tersebut yang melibatkan lembaga pemasar yang beragam dan pola saluran tataniaga yang beragam pula, menghasilkan marjin yang berbeda dengan sebaran marjin yang kurang merata serta rasio biaya dan keuntungan yang tidak seimbang pada setiap lembaga tataniaga, walaupun pada beberapa komoditas sebaran marjin sudah merata. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pasar komoditas pertanian tidak seluruhnya terpadu baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang. Secara umum pemasaran komoditas pertanian belum mengarah kepada bentuk pasar yang efisien secara keseluruhan, mengingat saluran tataniaga yang terbentuk menghasilkan marjin yang kurang merata, dan struktur pasar yang terbentuk belum mengarah pada pasar persaingan sempurna. Penentuan harga umumnya merugikan petani, dimana penentuan harga dilakukan oleh lembaga tataniaga di atasnya dan petani hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker). Penelitian yang dilakukan oleh Suriyana (2005) mengenai tataniaga beras di pasar tradisonal dan pasar modern di DKI Jakarta. Analisis yang dilakukan adalah analisis struktur pasar, analisis perilaku pasar, analisis keragaan pasar, analisis marjin tataniaga, analisis indeks keterpaduan pasar dengan menggunakan model Indeks of Market Connetion (IMC) dengan pendekatan model Autoregression Distributed lag. Struktur pemasaran beras di DKI Jakarta pada pasar tradisional cenderung bersaing monopolistik sedangkan pada pasar modern cenderung oligopoli. Marjin pemasaran diperoleh bahwa semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka semakin panjang rantai pemasaran yang terbentuk dan semakin tinggi marjin pemasaran dan semakin tidak efisien. Pada pasar tradisional maupun pasar modern di DKI Jakarta tidak terpadu dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Penelitian lain mengenai analisis marjin pemasaran melinjo di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan oleh Manumono dan Soedjono (1994), menggunakan analisis deskriptif untuk menganalisis saluran pemasaran serta analisis marjin pemasaran dan regresi linear berganda untuk menganalisis marjin pemasaran. Di Yogyakarta terdapat dua rantai saluran pemasaran utama komoditas melinjo yaitu saluran pemasaran pasar tradisional dan saluran pemasaran non tradisional. Rantai pemasaran tersebut terdiri dari tiga tingkat yaitu pemasaran bahan mentah, pemasaran bahan setengah jadi dan pemasaran bahan jadi, dimana kedua rantai saluran pemasaran tersebut memiliki delapan kemungkinan pola saluran pemasaran yang berbeda dalam mendistribusikan komoditi dari petani ke konsumen akhir. Banyaknya kemungkinan saluran pemasaran tersebut sebagai akibat peran ganda yang dilakukan pelaku pasar yang menyebabkan terjadinya persaingan dan integrasi vertikal. Proporsi marjin yang tertinggi diterima oleh pemasok pasar non tradisional, sehingga besarnya marjin yang terbentuk pada saluran pemasaran pasar non tradisional lebih tinggi dibanding pasar tradisional yang menyebabkan pangsa pasar petani pasar tradisional lebih tinggi dibanding pasar non tradisional. Hasil analisis regresi linier berganda terhadap marjin pemasaran melinjo terutama sangat dipengaruhi oleh jumlah tahap pedagang dan jenis pasar pengecernya. 2.2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu Pada dasarnya penelitian mengenai sistem tataniaga atau sistem pemasaran masalah yang dikaji umumnya saluran tataniaga dan fungsi-fungsi masing-masing lembaga tataniaga dalam saluran tatanaiaga tersebut, struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga, perilaku para pelaku pasar, dan keragaan pasar yang diukur melalui marjin tataniaga, bagian harga yang diterima petani, rasio keuntungan-biaya, serta keterpaduan pasar. Penelitian tentang sistem tataniaga beberapa komoditas pertanian pada umumnya menghasilkan kesimpulan yang beragam tetapi banyak penelitian yang menghasilkan kesimpulan yang hampir sama. Penelitian sistem tataniaga komoditas pertanian secara umum memiliki tujuan untuk menganalisis efisiensi tataniaga komoditas yang diteliti. Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan adalah persamaan dalam penggunaan alat analisis untuk menganalisis sistem tataniaga dan efisiensi tataniaga. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan adalah dari segi komoditas dan cakupan daerah yang dikaji. Terdapat beberapa penelitian mengenai tataniaga salak pondoh, diantaranya: analisis efisiensi produksi dan pemasaran komoditi salak pondoh salak pondoh di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menganalisis pemasaran salak pondoh berdasarkan integrasi pasar dan distribusi marjin pemasaran dengan alat analisis yang digunakan adalah elastisitas transmisi harga, integrasi pasar, marjin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani; penelitian lain adalah analisis kelayakan usahatani dan efisiensi pemasaran salak pondoh dengan lokasi penelitian hanya di Kec. Madukara, Kab. Banjarnegara dimana penelitian ini menganalisis efisiensi pemasaran salak pondoh hanya berdasarkan lembaga tataniaga dan fungsifungsi tataniaga, saluran tataniaga, marjin tataniaga dan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share).