DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 Konsep Mandzub dan Penerapannya dalam Madzhab Syafi’i Oleh : Achmad Kurniawan Pasmadi ABSTRAK Mazhab Syafi'i adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain. Mengkaji konsep mandzub dalam madzhab Syafi’i sangat penting apalagi jika dihubungkan dengan Imam Syafi’i merupakan salah satu pencetus ilmu ushul fiqih. Merupakan satu bagian dalam ushul fiqih membahas almandzub, namun dalam kajian ushul fiqih sedikit sekali porsi pembahasan mandzub apalagi secara mendetail. Dalam tulisan berikut dikaji konsep mandzub dalam madzhab syafi’i mencakup : definisi mandzub, sinonim dari mandzub, perubahan perintah wajib menjadi mandzub, apakah masuk dalam ibadah sunah mewajibkan penuntasan amalan sunnah tersebut, pendalaman mandzub dalam kaidah fiqih. Kata kunci : Mandzub, Madzhab Syafi’i, Shalat. A. Pendahuluan Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: )ﺷﺎﻓﻌﻲadalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain. Pemikiran fiqih mazhab Syafi'i diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (aliran Penulis adalah dosen tetap di STIT Muhammadiyah Kendal. 77 Achmad Kurniawan Pasmadi 77 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 yang cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (aliran yang cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahlul hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh ahlur ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak metode istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun metode mashalih mursalah dari Imam Malik. walaupun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas daripada Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqih, ushul fiqih, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya1. Imam asy-syafi’i merupakan seorang pencetus ilmu ushul fiqih, beliau adalah orang pertama yang menulis buku dalam bidang ilmu ini. Ilmu ushul fiqih merupakan salah satu ilmu yang penting untuk di pelajari, apalagi bagi para sarjana dan da’i, sebagai bekal bagi mereka untuk memahami hukum syar’i dan bagaimana para ulama memahami dalil dan metodologinya, serta diharapkan dapat menjawab problematika hukum permasalahan agama yang muncul, atau yang sering disebut fatwa terhadap permasalahan kontemporer. Maka dalam kajian ilmu ini dibahas kaidah –kaidah atau aturan-aturan sebagai patokan dalam memahami hukum syar’i. Salah satu kajian dari hukum syar’i yang merupakan sub bagian pembahasan dari hukum taklifi adalah pembahasan tentang asSunnah (al-mandzub). Mengkaji secara mendetail tentang mandzub 1 . http://belajar-fiqih.blogspot.com/2013/01/perkembangan-mazhab-syafii.html, di download pada tanggal 5 februari 2015, jam 10:52. Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 78 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 dalam madzhab Syafi’i sangat penting, di antara urgensitas dari pembahasan adalah Imam Syafi’i merupakan salah satu pencetus ilmu ushul fiqih. Merupakan satu bagian dalam ushul fiqih membahas almandzub, namun dalam kajian ushul fiqih sedikit sekali porsi pembahasan mandzub apalagi secara mendetail. di sisi yang lain akan membuka cakrawala berfikir pembaca, sehingga dapat mengambil sikap yang fositif dalam pelaksanaan al-mandzub dalam kehidupan sehari-hari. Pada artikel ini penulis akan mengkaji: definisi mandzub, sinonim dari mandzub, perubahan perintah wajib menjadi mandzub, apakah masuk dalam ibadah sunah mewajibkan penuntasan amalan sunnah tersebut, pendalaman mandzub dalam kaidah fiqih.. B. Pembahasan 1. Definisi as-sunnah (al- Mandzub) Materi asli nadzaba menunjukkan beberapa arti, yang terpenting diantaranya : al-Atsar, al-Khathr, kemudian menunjukkan kepada peringanan dalam sesuatu, doa dalam menjalankan sesuatu karena ada urusan yang penting. Kata al-Nadzaba di dalam buku membangun metodologi ushul fiqih2 terbagi menjadi empat definisi secara bahasa: Pertama : al-nadabu (dengan fathah pada nun dan ba’) berarti (atsar) luka jika belum hilang dari kulit. Kedua: al-nadabu dengan fathah pada nun dan ba’ dengan arti bahaya (al-khathr), “andaba nafsuhu wa binafsihi” dengan arti kahatara bihima, mempertaruhkan dirinya dalam bahaya. Ketiga : Nadbun dengan sukunnya dal yang berarti ringan (khafif), rajulun khafif berati lelaki yang tidak bertingkah, cekatan, pandai, dan mulia. Keempat :al-Nadb 2 . Said Aqil Husin Al-Anwar, Membangun Metodologi Ushul Fiqih, (Jakarta : PT.CIPUTAT PRESS, 2004) hlm : 43-46. 79 Achmad Kurniawan Pasmadi 79 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 dengan sukun pada dal juga yang berarti seruan untuk perbuatan atau karena urusan yang penting. Al-Nadzb secara syar’i adalah seruan dari Allah untuk mengerjakan suatu pekerjaan, sedangkan mereka yang tidak melaksanakannya tidak menjadi tercela atau dikenaai hukuman. Para ahli ushul fiqih mendefinisikan al mandzub dengan berbagaimacam definisi satu dengan definisi yang lain saling berdekatan, definisi tersebut sebagai berikut: a. Definisi Imam al-Amidi, bahwa al-nadzb adalah : al-mathlub filuhu syar’an min ghairi dzammin ala tarkihi muthlaqan, yaitu : yang dikehendaki pengerjaannya secara syar’i dengan tanpa celaan bagi siapa yang meninggalkannya secara muthlaq. b. Definisi Imam al-Baidlawi, bahwa al-nadzb adalah : maa yuhmadu fa’iluhu wa la yudzammu taarikuhu, artinya: yang dipuji pelakunya dan tidak dicela orang yang meninggalkannya. c. Definisi Ibn Najjar al-Hanbali memilih al-Mandzub dengan definisi maa yutsiba fa’iluhu walam yuaqobu tarikuhu muthlaqan. Artinya : apa yang diganjar pelakunya dan tidak diadzab orang yang meninggalkannya. d. Dalam kitab syarah al-Waraqat fii ushul fiqih syaikh jalaluddin al- mahalli al- Syafi’i menjelaskan bahwa al-Mandzub adalah: ﻣﻦ ﺣﻴﺚ وﺻﻔﻪ،اﳌﻨﺪوب ﻟﻐﺔ ﻣﻦ اﻟﻨﺪب وﻫﻮ اﻟﺪﻋﺎء ﻷﻣﺮ ﻣﻬﻢ ﺑﺎﻟﻨﺪب ﻣﺎ ﻳﺜﺎب ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻠﻪ وﻻ ﻳﻌﺎﻗﺐ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻛﻪ ﻗﻮﻟﻪ )ﻣﺎ ﻳﺜﺎب ﻋﻠﻰ ﻓﻼ ﺛﻮاب ﻋﻠﻰ،ﻓﻌﻠﻪ( ﺧﺮج ﺬا اﻟﻘﻴﺪ اﳌﻤﺤﻈﻮر واﳌﻜﺮوﻩ واﳌﺒﺎح Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 80 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 ﻓﺈن، وﻗﻮﻟﻪ )وﻻ ﻳﻌﺎﻗﺐ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻛﻪ( ﺧﺮج ﺬا اﻟﻘﻴﺪ اﻟﻮاﺟﺐ.ﻓﻌﻠﻬﺎ .3ﺗﺎرﻛﻪ ﻳﻌﺎﻗﺐ Artinya : al-mandzub secara bahasa dari kata al-nadb adalah menyeru kepada perkara yang penting, sedangkan dari segi sifatnya (binnadzbi) adalah apa yang diganjar melakukannya dan tidak terkena sangsi atas meninggalkannya, sedangkan ungkapan “apa yang diganjar yang mengerjakannya” keluar dari cakupan maknanya yang haram, dan makruh dan mubah, dan yang tidak berpahala jika dikerjakan. Dan ungkapan “dan tidak dihukum atas meninggalkannya” keluar darinya makna wajib, karena yang meninggalkan perkara yang wajib akan dikenai sangsi atas meninggalkan kewajiban. Dari pembahasan di atas disimpulkan bahwa al-Mandzub (sunnah) secara bahasa dari kata al-nadb adalah menyeru kepada perkara yang penting, dan secara hakikatnya apa yang asysyari’memerintahkan suatu perbuatan dengan bentuk perintah yang tidak dalam bentuk jazm (pasti/kuat) dan sedangkan menurut sifatnya apa yang diganjar melakukannya dan tidak terkena sangsi atas meninggalkannya. 2. Asmaau al-Mandzub (nama-nama) dari kata mandzub Al-Mandzub dalam kajian ilmu fiqih memiliki beberapa nama yang serupa seperti al-sunnah, mustahab, al-thathawwu’, dan masih diperdebatkan apakah ia semakna atau masing-masing memiliki makna yang masing-masing berdiri sendiri, maka para ulama membaginya menjadi dua pendapat4 : 3 Jalaluddin al-Mahalli asy-Sayfi’i, Syarhul Waraqaat fii Ushul Fiqh, (Palestina: Jamiatul Quds, 1999) hlm :72. 4 . http://fiqh.islammessage.com/NewsDetails.aspx?id=8287, materi di download 23 februari 2015 pada jam 12:08. 81 Achmad Kurniawan Pasmadi 81 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 Pendapat pertama adalah: pendatat jumhur (kebanyakan) ahli ushul fiqih dan para fuqoha’ baik dari kalangan syafi’iyyah maupun selainnya, berpendapat bahwa nama-nama al-sunnah, mustahab, mandzub, al-thathawwu’ merupakan sinonim dan memiliki makna yang sama. Bahwa al-mandzub adalah perbuatan yang al-syari’ memerintahkannya, namun bentuk perintahnya tidak pasti yang menunjukkan sesuatu itu wajib. Pendapat kedua adalah : al-Qaul (salah satu pendapat imam Syafi’i) mengatakan bahwa al-mandzub memiliki makna yang bermacam-macam sebagai berikut : a. Al-sunnah : apa yang dikerjakan oleh nabi dan menekuninya, dan tidak meninggalkannya kecuali untuk sekali atau dua kali. Contoh: shalat witir, shalat dua rakaat sunnah fajar, shalat rawatib. b. Mustahab : apa yang dikerjakan nabi akan tetapi tidak dirutinkannya, seperti shalat dhuha. c. Tahawwu’ : ialah perkara yang dibuat sendiri oleh manusia. Seperti membaca al-Qur’an, berdoa. Penulis buku ushul fiqih al-Jaami’ limasaail Ushul fiqih wa tathbiqiha alaa madzhab al-raajih5 berkata : ، واﳌﺮﻏﱠﺐ ﻓﻴﻪ، واﻹﺣﺴﺎن، واﻟﺴﻨﺔ، واﻟﺘﻄﻮع، اﳌﺴﺘﺤﺐ:أﲰﺎء اﳌﻨﺪوب اﻟﻔﻌﻞ: وﻫﻮ، ﺣﻴﺚ إ ﺎ أﲰﺎء ﳌﺴﻤﱠﻰ واﺣﺪ،وﻛﻠﻬﺎ أﲰﺎء ﻣﱰادﻓﺔ .اﳌﻄﻠﻮب ﻃﻠﺒﺎً ﻏﲑ ﺟﺎزم 5 Abdul Karim bin Ali bin Al-Namlah, Al-Jami’ limasaail Ushul Fiqih al-Muqaarin wa Thathbiqahaa ala Madzhab al-Raajih, (Riyadh :Maktabatur Rusyd, 2000), hlm :38. Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 82 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 Artinya : Nama-nama mandzub : al-mustahab, ath-tahathawwu’, dan sunnah, dan al-ikhsan, yang dianjurkan. Seluruhnya merupakan nama-nama yang semakna, bahwa seluruhnya nama-nama yang menunjukkan atas satu nama, yaitu perbuatan yang dituntut dengan tuntutan yang tidak pasti. 3. Bagaimana suatu perintah (al-amar) berubah menjadi mandzub (sunnah). Dalam kajian ilmu ushul fiqih al-mandzub termasuk salah satu pembahasan dari dua pembagian dari al-ahkam asysyar’iyyah (hukum-hukum syar’i). Hukum syar’i terbagi menjadi dua, pertama ahkam taklifiyah, yang meliputi lima tema dari al-wujub, al-mandzub, al-karahah, al-ibahah, al-makruh, dan al-tahrim. Kedua al-ahkam al wad’iyyah meliputu pembahasan sabab, syarat, mani’, rukhshah dan azimah, shihah dan buthlan6. Al-mandzub masuk dalam ranah hukum syar’i yang bersifat taklifi (pembebanan), berkonsekwensi adanya kesan yang sama dengan hukum taklifi sebelumnya yaitu al wujub. Karena kedua istilah ini bermula dari pemahaman apakah perintah itu berkosekwensi ke wajib atau ke al-mandzub?. Dalam madzhab syafi’i terdapat beberapa kreteria menunjukkan bahwa suatu perintah dapat dihukumi sunnah, penulis hanya menyebutkan dua darinya: a. Adanya perintah yang jelas kepada wajib namun ada indikator yang memalingkannya dari wajib ke sunnah. Adapun contonya adalah sabda nabi SAW: 6 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Maktabah Dakwah, Cet: 8), hal :100- 125. 83 Achmad Kurniawan Pasmadi 83 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 «َﲔ ِ ْ ِب َرْﻛ َﻌﺘـ ِ ﺻﻠﱠﻮْا ﻗَـْﺒ َﻞ اﻟْ َﻤ ْﻐﺮ َ » :ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ُِﻮل ا ﱠ ُ َﺎل َرﺳ َﻗ :َﺎل ِﻋْﻨ َﺪ اﻟﺜﱠﺎﻟِﺜَِﺔ َ ﰒُﱠ ﻗ، «َﲔ ِ ْ ِب َرْﻛ َﻌﺘـ ِ ﺻﻠﱠﻮْا ﻗَـْﺒ َﻞ اﻟْ َﻤ ْﻐﺮ َ » :َﺎل َ ﰒُﱠ ﻗ، .«َ»ﻟِ َﻤ ْﻦ ﺷَﺎء Artinya : Bersabda rasulullah SAW : shalatlah kalian dua rakaat sebelum maghrib, kemudian bersabda : shalatlah kalian dua rakaat sebelum maghrib, kemudian bersabda yang ketigakalinya : bagi siapa yang menghendaki7. Pada hadits di atas rasulullah memerintahkan untuk shalat dua rakaat sebelum maghrib hingga mengulangnya beberapa kali, sedangkan dalam ilmu kaidah fiqhiyyah dikatakan : al-ashlu fii al-amr lil wujud illa maa dalla aldhalil ala khilafihi (asas dari perintah adalah menunjukkan wajib kecuali ada suatu dalil yang menunjukkan atas sebaliknya). Maka dapat dipahami dari potongan hadits rasul (َﲔ ِْ ِب َرْﻛ َﻌﺘـ ِ ﺻﻠﱠﻮْا ﻗَـ ْﺒ َﻞ اﻟْ َﻤﻐْﺮ َ) perintah ini dipandang menunjukkan kewajiban shalat dua rakaat sebelum maghrib. Namun di akhir hadits dikatakan «َ»ﻟِ َﻤ ْﻦ ﺷَﺎء dan ini dipahami oleh madzhab syafi’i menunjukkan perintah dari wajib menjadi sunnah, disebabkan adanya al-shariif (pemaling) di akhir hadits . b. Adanya ungkapan yang jelas bahwa hal tersebut adalah sunnah. Sebagai contoh bahwa rasulullah bersabda : 7 Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, (muassasah al-Risaalah, 2001) hlm : 34 :171. Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 84 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 َﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِ ِن ا ﱠ َ ُِﻮل ا ﱠ ُ َﺎل َرﺳ َ َﺎل ﻗ َ َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫ َﺮﻳْـ َﺮةَ ﻗ ُْﺖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻗِﻴَﺎ َﻣﻪُ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺻَﺎ َﻣﻪُ َوﻗَﺎ َﻣﻪ ُ ﺻﻴَﺎ َم َرَﻣﻀَﺎ َن َو َﺳﻨَـﻨ ِ ض َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َ ﻓَـ َﺮ .إِﳝَﺎﻧًﺎ وَا ْﺣﺘِﺴَﺎﺑًﺎ ﻏُ ِﻔ َﺮ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَـ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣ ْﻦ ذَﻧْﺒِ ِﻪ Artinya : Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Tabaaraka Wata'ala telah mewajibkan kepada kalian puasa di bulan Ramadlan, dan aku mensunnahkan shalat malamnya. Barang siapa berpuasa dibulan tersebut dan shalat di malamnya karena iman dan mengaharap pahala dariNya, diampuni baginya apa yang telah berlalu dari dosanya.8" Pada potongan hadits terdapat ungkapan yang jelas bahwa suatu ibadah disunahkan yaitu pada ungkapan ( ْﺖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ُ َو َﺳﻨَـﻨ ُ)ﻗِﻴَﺎ َﻣﻪ, menunjukkan bahwa shalat tarawih hukumnya sunnah9. 4. Pelaksanaan ibadah sunnah apakah wajib melaksanakannya secara sempurna Permasalahan berikut terkait kejadian jika seseorang muslim melakukan ibadah seperti: shalat, puasa atau dzikir dari ibadah-ibadah sunnah, bolehkah seseorang membatalkannya dengan udzur atau tanpa udzur atau seseorang tersebut wajib 8 Abu Bakar Ahmad bin Amru bin Abdul Khaliq, juz : 18, (Musnad al-Barraz alMansyur bismi al-Bahr az-Zikhor, 2009 ) hlm : 3:256. 9 Abdul Karim bin Ali bin Muhammad an-Namlah, al-Muhadzab fii ushul fiqih almuqaarin, 5 jilid ,(Riyad: Maktabah Rusyd, 1999) hlm :235. 85 Achmad Kurniawan Pasmadi 85 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 menyempurnakannya? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat10 : a. Pendapat pertama : pendapat Imam malik dan Abu hanifah mengatakan; jika seseorang shalat sunnah, maka jika telah melakukan takbiratul ikhram maka wajib baginya untuk menyempurnakannya. b. Pendapat kedua : pendapat madzhab syafi’i mengatakan; tidak dihukumi wajib seseorang yang sedang melakukan ibadah sunnah untuk menyempurnakan ibadah tersebut, karena perkara mandzub tetap dihukumi mandzub, sedangkan perkara mustahab tetap dihukumi mustahap dari awal pelaksanaannya sehingga akhir amal tersebut dikerjakan. jika seseorang membatalkan amal tersebut, maka tidak wajib baginya mengulang ibadah sunnah yang ditinggalkan. syaikh abdulkarim an-namlah menguatkan pendapat kedua dengan beberapa dalil sebagai berikut: a) Sabda nabi Muhammad SAW : ْﺴ ِﻪ ِ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟﺼﱠﺎﺋِ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘَﻄَِّﻮعُ أَِﻣﲑُ ﻧـَﻔ َ ُِﻮل ا ﱠ ُ َﺎل َرﺳ َ ﻓَـﻘ .إِ ْن ﺷَﺎءَ ﺻَﺎ َم َوإِ ْن ﺷَﺎءَ أَﻓْﻄََﺮ Artinya : Rasulullah kemudian shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang yang berpuasa sunnah adalah pemimpin bagi dirinya, jika ia mau maka ia berpuasa jika ia mau maka ia boleh berbuka11." 10 http://fiqh.islammessage.com/NewsDetails.aspx?id=8287. 23-02-2015, pada jam 14:26. 11 . Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Musnad Imam Ahmad, juz: 2, (Bairut-Libanon : Daarul Kutub al-Ilmiyyah, 1951) hlm :1:276. Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 86 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 Berdasarkan hadits di atas seseorang boleh membatalkan puasa sunah serta tidak wajib baginya menqodho puasa sunah yang ia tinggalkan, dan ini sebagai dalil bahwa ibadah sunnah tidak wajib dikerjakan dengan tuntas, namun berstatus sunnah untuk dikerjakan. b) Adanya riwayat mengatakan : bahwa nabi pernah berniat untuk berpuasa sunnah, namun kemudian ia berbuka. Dalil ini menunjukkan bahwa ibadah sunnah tidak wajib dikerjakan dengan tuntas c) Adanya suatu hadits menceritakan : ُِﻮل ا ﱠ ُ َﺎل ِﱄ َرﺳ َ َﺖ ﻗ ْ ﲔ َر ِﺿ َﻲ ا ﱠُ َﻋْﻨـﻬَﺎ ﻗَﺎﻟ َ َِﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ أُِّم اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨ َﺖ ْ َﻲءٌ ﻗَﺎﻟ ْ َات ﻳـَﻮٍْم ﻳَﺎ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔُ َﻫ ْﻞ ِﻋْﻨ َﺪ ُﻛ ْﻢ ﺷ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ذ َ َﺖ ﻓَ َﺨَﺮ َج ْ ِﱐ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ﻗَﺎﻟ َِّﺎل ﻓَﺈ َ َﻲءٌ ﻗ ْ ُﻮل ا ﱠِ ﻣَﺎ ﻋِْﻨ َﺪﻧَﺎ ﺷ َ ْﺖ ﻳَﺎ َرﺳ ُ ﻓَـ ُﻘﻠ َﺖ ﻟَﻨَﺎ َﻫ ِﺪﻳﱠﺔٌ أ َْو ﺟَﺎءَﻧَﺎ زَْوٌر ْ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﺄُ ْﻫ ِﺪﻳ َ ُِﻮل ا ﱠ ُ َرﺳ ُِﻮل ا ﱠ َ ْﺖ ﻳَﺎ َرﺳ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗُـﻠ َ ُِﻮل ا ﱠ ُ َﺖ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ َر َﺟ َﻊ َرﺳ ْ ﻗَﺎﻟ َﺎل ﻣَﺎ ُﻫ َﻮ َ َﻚ َﺷﻴْﺌًﺎ ﻗ َ ْت ﻟ ُ َﺖ ﻟَﻨَﺎ َﻫ ِﺪﻳﱠﺔٌ أ َْو ﺟَﺎءَﻧَﺎ زَْوٌر َوﻗَ ْﺪ َﺧﺒَﺄ ْ أُ ْﻫ ِﺪﻳ ْﺖ ُ ﺻﺒَﺤ ْ َْﺖ أ ُ َﺎل ﻗَ ْﺪ ُﻛﻨ َ ْﺖ ﺑِِﻪ ﻓَﺄَ َﻛ َﻞ ﰒُﱠ ﻗ ُ َﺠﺌ ِ َﺎل ﻫَﺎﺗِﻴ ِﻪ ﻓ َﺲﻗ ٌ ْﺖ َﺣْﻴ ُ ﻗُـﻠ .ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ Artinya : dari Aisyah radliallahu 'anha, ia berkata; Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadaku: "Wahai Aisyah, apakah kamu mempunyai 87 Achmad Kurniawan Pasmadi 87 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 makanan?" Aisyah menjawab, "Tidak, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Kalau begitu, aku akan berpuasa." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun keluar. Tak lama kemudian, saya diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi seorang tamu mengunjungi kami--. Aisyah berkata; Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali saya pun berkata, "Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan kusimpan untuk Anda." Beliau bertanya: "Makanan apa itu?" saya menjawab, "Kuwe hais (yakni terbuat dari kurma, minyak samin dan keju)." Beliau bersabda: "Bawalah kemari." Maka kuwe itu pun aku sajikan untuk beliau, lalu beliau makan, kemudian berkata, "Sungguh dari pagi tadi aku puasa12." Hadits di atas menunjukkan bahwa nabi membatalkan puasa sunnah dan tidak menyempurnakannya. suatu dalil bahwa ibadah sunnah berstatus sunnah untuk dikerjakan secara sempurna. 5. Masalah-masalah Muncul dari “Kaidah- kaidah Fiqhiyyah dalam Madzhab Syafi’i”. a. Masalah apabila terjadi kontradiksi antara wajib dan sunnah mana yang didahulukan. Di dalam madzhab syafi’i, apabila terjadi kontradiksi antara al-wajib dengan al-mandzub dengan contoh jika waktu pelaksanaan wajib sempit dan atau terbatas maka yang wajib harus di dahulukan adalah hal yang wajib. Berdasarkan kaidah yang dipergunakan madzhab dalam menyikapi kontradiksi antara wajib dan mandzub, kaidah fiqhiyyah mengatakan 12 . Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa al-Khusraujirdi al-Khurasani, Sunan Shaghir lil Baihaqi, juz :4,(Pakistan :Jamiah al-Diraasat al-Islamiyyah, 1989), hlm: 2: 125. Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 88 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 (ْﻞ ِ ﻀ ُﻞ ِﻣ ْﻦ اﻟﻨﱠـﻔ َ ْض أَﻓ ُ )اﻟْﻔ َْﺮ13 artinya yang wajib lebih afdhal dari yang sunnah. Kaidah ini berdasarkan kepada dalil-dalil berikut : ﱠب َ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓِﻴﻤَﺎ َْﳛﻜِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ َرﺑِِّﻪ » َوﻣَﺎ ﺗَـ َﻘﺮ َ َﺎل َ"ﻗ .1 .14ي ْﺖ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ« رَوَاﻩُ اﻟْﺒُﺨَﺎ ِر ﱡ ُ إﱄ اﻟْ ُﻤﺘَـ َﻘ ِّﺮﺑُﻮ َن ﲟِِﺜ ِْﻞ أَدَا ِء ﻣَﺎ اﻓْـﺘَـ َﺮﺿ َﱠ Artinya : Nabi bersabda: “Tidak ada amalan orang-orang yang bertaqarrub keada-Ku yang lebih Aku cintai yang menyamai pelaksanaan apa yang telah Aku wajibkan.”(HR. Bukhari) َْﲑ ﻛَﺎ َن َﻛ َﻤ ْﻦ أَدﱠى ِْ َﺎل اﳋ ِ ﺼﻠَ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ ِﺧﺼ ْ َﱠب ﻓِﻴ ِﻪ ِﲞ َ » َﻣ ْﻦ ﺗَـ َﻘﺮ .2 ﻛَﺎ َن َﻛ َﻤ ْﻦ أَدﱠى،ِﻀﺔً ﻓِﻴﻪ َ َوَﻣ ْﻦ أَدﱠى ﻓَﺮِﻳ،ُﻀﺔً ﻓِﻴﻤَﺎ ِﺳﻮَاﻩ َ ﻓَﺮِﻳ «ُﻀﺔً ﻓِﻴﻤَﺎ ِﺳﻮَاﻩ َ ﲔ ﻓَﺮِﻳ َ َﺳ ْﺒ ِﻌ Artinya : Rasulullah saw bersabda tentang keutamaan bulan Ramadlan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya: “Barangsiapa melakukan taqarrub (ibadah sunnah) kepada Allah swt di bulan Ramadlan, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana ia melakukan satu ibadah fardlu di bulan Ramadlan, maka seperti halnya ia mengerjakan 70 kali ibadah fardlu ada selain ibadah itu15. 13 . Tajuddin Abdul Wahhab bin Taqiyyudin al-Subki, al-Asybah wan Nadha’ir, juz :2 (Daarul Kutub al-Ilmiyyah, 1991) hlm :1:192. 14 . Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukharii al Ja’fari, Shahih al-Bukhari, juz: 9,(Daar Tauqi al-Najjah, 1422H)hlm : 8:105. 15 . Abu bakr Muhammad bin Ishaq, Shahih Ibnu Khuzaimah, juz :4 (Bairut: alMaktab al-Islami,) hlm:3:191. 89 Achmad Kurniawan Pasmadi 89 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 Ada beberapa pengecualiaan dalam penerapan kaidah alfard afdhalu min an-nafl (ْﻞ ِ ﻀﻞُ ِﻣ ْﻦ اﻟﻨﱠـﻔ َ ْض أَﻓ ُ )اﻟْﻔ َْﺮ beberapa diantaranya sebagai berikut: 1. Membebaskan beban hutang pada orang yang kesulitan membayar. Pembebasan hutang ini, dinilai lebih utama dari pada menunggu sampai ia mampu melunasi. Hukum membebaskan adalah sunah, sedangkan menanti hingga terjadi pelunasan adalah wajib,]seperti ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 280. وان ﺗﺼﺪﻗﻮا ﺧﲑ ﻟﻜﻢ “……. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, …………” 2. Mengawali salam lebih utama daripada menjawabnya. Adapun memulai salam itu lebih utama, berdasarkan hadits nabi saw: وﺧﲑﳘﺎ اﻟﺬي ﻳﺒﺪا ﺑﺎﻟﺴﻼم “Yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai salam 3. Mengumandangkan adzan adalah berhukum sunnah, menurut pendapat yang lebih shohih mengumandangkan adzan itu lebih utama daripada menjadi imam yang berhukum fardlu kifayah atau fardlu ‘ain. 4. Berwudlu sebelum masuk waktu shalat itu lebih utama daripada berwudlu setelah masuk waktu shalat. Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 90 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 b. Kaidah اﻟﻔﺮض ( اﻟﻨﻔﻞ أوﺳﻊ ﻣﻦbahwa an-nafl lebih luas daripada al-fard)16. Dalam madzhab syafi’i imam alzarkasy dan imam alrazi melafalkan kaidah di atas dengan lafadz ( )ﻣﻦ اﻟﻔﺮضdengan اﻟﻨﻔﻞ أوﺳﻊ ﺑﺎﺑﺎ perincian bahwa a-nafl adalah ﻫﻮ اﳌﻨﺪوب وﻳﺜﺎب ﻓﺎﻋﻠﻪ وﻻ ﻳﻌﺎﻗﺐ ﺗﺎرﻛﻪ،(اﻟﺬي ﻃﻠﺒﻪ اﻟﺸﺎرع ﻃﻠﺒﺎً ﻏﲑ ﺟﺎزم suatu mandzub syari’ menuntutnya dengan tuntutan yang tidak jazm atau menunjukkan wajib, dan diberi pahala pelakunya dan tidak dihukum orang yang meninggalkannya ), sedangkan alfard adalah ،ﺗﺎرﻛﻪ وﻳﺜﺎب ﻓﺎﻋﻠﻪ،ًﻫﻮ ﻣﺎ ﻃﻠﺐ اﻟﺸﺎرع ﻓﻌﻠﻪ ﻃﻠﺒﺎً ﺟﺎزﻣﺎ وﻳﻌﺎﻗﺐyaitu apa yang menuntut al-syari’ suatu pekerjaan untuk dikerjakan dengan tuntutan yang pasti atau bermakna wajib, diberi pahala pelakunya dan berdosa jika meninggalkan tuntutan tersebut. Makna dari kaidah di atas bahwa syariat agama lebih memberikan kemudahan dalam pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah daripada ibadah wajib dalam konteks bahwa agama Islam memiliki prinsip kemudahan dalam syariatnya. Maka, sah dalam pelaksanaan ibadah sunnah apa yang tidak sah dalam ibadah wajib pada ibadah yang sama, karena status ibadah sunnah lebih ringan dari ibadah wajib, sesuai dengan kaidah 16 . Abdur Rahman bin Abu Bakar, Jalaluddin Asy-Syuyuthi, al-Ashbah wa Nadhair, (Daarul kutub al-Ilmiyyah, 1990), hlm : 1: 154. 91 Achmad Kurniawan Pasmadi 91 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 fiqhiyyah (())اﻟﻔﺮض أﻓﻀﻞ ﻣﻦ اﻟﻨﻔﻞ sesuai dengan sabda nabi : {dari Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hambaKu tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hambaKu terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah}, dan dikarenakanpula bahwa perkara yang wajib merupakan dasar atau suatu yang pokok. Adapun penerapan kaidah di atas dalam madzhab syafi’i, bahwa sesuatu ibadah sunnah lebih luas daripada ibadah yang wajib, sebagai berikut : 1. Tidak wajib bagi orang yang melaksanakan shalat sunnah untuk berdiri ketika shalat, dan dibolehkan baginya shalat dengan posisi duduk dengan tanpa udzur. Sedangkan dalam ibadah wajib tidak sah shalat seseorang untuk duduk tanpa udzur. Berdasarkan suatu hadits : ﺼﻠِّﻲ َ ُﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳ َ ُِﻮل ا ﱠ ُ َﺖ ﻛَﺎ َن َرﺳ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ ﺻﻠﱠﻰ ﻗَﺎ ِﻋﺪًا َرَﻛ َﻊ َ ﺻﻠﱠﻰ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ َرَﻛ َﻊ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ َوإِذَا َ ِﻳﻼ ﻓَِﺈذَا ً ﻟَﻴ ًْﻼ ﻃَﻮ ﻗَﺎ ِﻋﺪًا Artinya : dari 'Aisyah katanya; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa shalat malam sekian lama, jika beliau shalat dengan berdiri, maka beliau ruku' dengan Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 92 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 berdiri, dan jika beliau shalat dengan duduk, maka beliau ruku' dengan duduk17." Imam al-nawawi berkomentar : di dalam hadits di atas diperbolehkan shalat sunnah dengan duduk walaupun mampu untuk berdiri, dan pendapat ini merupakan ijma’ ulama’. 2. Tidak wajib menghadap kiblat dalam shalat sunnah ketika seseorang sedang bersafar, adapun shalat wajib di dalam safar atau di luar safar wajib seseorang menghadap ke kiblat. Berdasarkan hadits nabi : ُﻮل ُ َﺎل ﻛَﺎ َن َرﺳ َ َﻋ ْﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ َﻋ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ِﺮ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ ا ﱠِ ﻗ َﺖ ﻓَِﺈذَا ْ ْﺚ ﺗَـ َﻮ ﱠﺟﻬ ُ َاﺣﻠَﺘِ ِﻪ َﺣﻴ ِ ﺼﻠِّﻲ َﻋﻠَﻰ ر َ ُﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳ َ ِا ﱠ َﻀﺔَ ﻧـَﺰََل ﻓَﺎ ْﺳﺘَـ ْﻘﺒَ َﻞ اﻟْ ِﻘْﺒـﻠَﺔ َ أَرَا َد اﻟْ َﻔﺮِﻳ Artinya : dari Muhammad bin 'Abdurrahman dari Jabir bin 'Abdullah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat diatas tunggangannya menghadap kemana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardlu, maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat.18" 3. Tidak wajib bagi seseorang yang melaksanakan puasa sunnah untuk berniat sejak malam ketika hendak puasa, namun boleh setelah waktu subuh, bahkan setelah terbit matahari atau sebelum terbenamnya. Adapun puasa wajib tidak dibolehkan seseorang berniat setelah subuh, dan wajib 17 . Abu Bakar Abu al-Razzaq bin Himmam bin Naafi’ al-Humairi, al-Mushannaf, juz:11, (India: al-Majlis al-Ilmi, 1403 H), hlm :2:245. 18 . Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukharii al Ja’fari, Op.cit., hlm : 89. 93 Achmad Kurniawan Pasmadi 93 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 berniat sebelum waktu subuh. Berdasarkan suatu hadits Nabi Nuhammad saw.: ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َ ﱠﱯ َﺖ َد َﺧ َﻞ َﻋﻠَ ﱠﻲ اﻟﻨِ ﱡ ْ ﲔ ﻗَﺎﻟ َ َِﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ أُِّم اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨ ِﱐ إِذَ ْن َِّﺎل ﻓَﺈ َ َﻲءٌ ﻓَـ ُﻘ ْﻠﻨَﺎ َﻻ ﻗ ْ َﺎل َﻫ ْﻞ ِﻋْﻨ َﺪ ُﻛ ْﻢ ﺷ َ َات ﻳـَﻮٍْم ﻓَـﻘ َ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ذ َﺎل َ ﺲ ﻓَـﻘ ٌ ي ﻟَﻨَﺎ َﺣْﻴ َ ُﻮل ا ﱠِ أُ ْﻫ ِﺪ َ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ﰒُﱠ أَﺗَﺎﻧَﺎ ﻳـ َْﻮﻣًﺎ آ َﺧَﺮ ﻓَـ ُﻘ ْﻠﻨَﺎ ﻳَﺎ َرﺳ .ْﺖ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ ﻓَﺄَ َﻛ َﻞ ُ ﺻﺒَﺤ ْ َأَرِﻳﻨِﻴ ِﻪ ﻓَـﻠَ َﻘ ْﺪ أ Artinya : dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata; Pada suatu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemui dan bertanya, "Apakah kamu mempunyai makanan?" kami menjawab, "Tidak." Beliau Nabi Muhammad saw. bersabda: "Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju)." Maka beliau pun bersabda: "Bawalah kemari, sungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.19" C. Simpulan Dari tulisan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 19 . Muslim bin Hajjaj Abul Hasan al-Qusyairi an-Naisaburu, Shahih Muslim, juz:5, (Bairut : Daar Ihyaa’ Turats al-Arabiy) hlm :2 :809. Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 94 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 1. Secara bahasa al-mandzub adalah menyeru untuk berbuat sesuatu. Sedangkan secara hakikatnya apa yang asy-syari’memerintahkan suatu perbuatan dengan bentuk perintah yang tidak dalam bentuk jazm (pasti/kuat) dan sedangkan menurut sifatnya apa yang diganjar melakukannya dan tidak terkena sangsi atas meninggalkannya. 2. Al-mandzub memiliki beberapa nama yang sepadan, yaitu : almustahab, ath-tahathawwu’, dan sunnah, dan al-ikhsan, yang dianjurkan. Seluruhnya merupakan nama-nama yang semakna, bahwa seluruhnya nama-nama yang menunjukkan atas satu nama, bahwa kandungannya adalah: perbuatan yang dituntut dengan tuntutan yang tidak pasti. 3. Pembahasan al-mandzub dalam kajian ilmu ushul fiqih dibahas dalam kajian masalah perintah (al-amr), al-amr pada dasarnya menunjukkan kepada sesuatu yang wajib, dan dalam kajian madzhab syafi’i sesuatu perintah dapat dihukumi wajib ketika ada indikator-indikator dalam perintah yang memalingkan dari wajib ke sunnah. 4. Di dalam madzhab syafi’i terdapat beberapa kaidah fiqih terkait almandzub yang disimpulkan dari kajian fiqih berdasarkan dalil-dalil, diantara kaidah tersebut: pertama : al-Fard lebih utama daripada alnafl. Kedua: al-nafl awsau min al-Fard. 95 Achmad Kurniawan Pasmadi 95 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar Ahmad bin Amru bin Abdul Khaliq, juz : 18, Musnad al-Barraz al- Mansyur bismi al-Bahr az-Zikhor, 2009. Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa, Sunan Shaghir llil- Baihaqi, juz :4, Pakistan :Jamiah al-Diraasat al- Islamiyyah, 1989, Abu Bakr Muhammad bin Ishaq, Shahih Ibnu Khuzaimah, juz :4 Bairut: al-Maktab al-Islami,) Abdul Karim bin Ali bin Al-Namlah, Al-Jami’ limasaail Ushul Fiqih alMuqaar wa Thathbiqahaa ala Madzhab al-Raajih, Riyadh :Maktabatur Rusyd, 2000. Abdul Karim bin Ali bin Muhammad an-Namlah, al-Muhadzab fii ushul fiqih al-muqaarin, 5 jilid ,(Riyad: Maktabah Rusyd, 1999) Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Maktabah Dakwah, Cet:8 Abdur Rahman bin Abu Bakar, Jalaluddin Asy-Syuyuthi, al-Ashbah wa Nadhair, Daarul kutub al-Ilmiyyah, 1990. Jalaluddin al-Mahalli asy-Sayfi’i, Syarhul waraqaat fii ushul fiqh, Palestina: Jamiatul Quds, 1999. Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukharii al Ja’fari, Shahih alBukhari, juz: 9, Daar Tauqi al-Najjah, 1422H Muslim bin Hajjaj Abul Hasan al-Qusyairi an-Naisaburu, Shahih Muslim, juz:5, Bairut : Daar Ihyaa’ Turats al-Arabiy Tajuddin Abdul Wahhab bin Taqiyyudin al-Subki, al-Asybah wan Nadha’ir, juz:2 Daarul Kutub al-Ilmiyyah, 1991 Said Aqil Husin Al-Anwar, Membangun Metodologi Ushul Fiqih, Jakarta: PT.CIPUTAT PRESS, 2004, cet,1. Konsep Mandub dan Penerapannya dalam Imam Syafi`i 96 DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 4 No. 2 - Agustus 2014 97 97