BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, sejarah tumbuhan, nama daerah tumbuhan, sistematika tumbuhan dan manfaat tumbuhan. 2.1.1 Morfologi tumbuhan Jambu bol merupakan pohon yang tingginya 5 – 20 m, diameter pohonnya 20 – 45 cm. Perbungaan pada bagian ranting yang tidak berdaun, pendek dan menggerombol. Daun mahkota berbentuk lonjong sampai bundar telur, panjang 2 cm berwarna merah gelap. Daun berbentuk lonjong menjorong, agak tebal. Buah merupakan buah buni, berbentuk menjorong, berdiameter 5 – 8 cm, daging buah berwarna putih. Tiap buah hanya mempunyai satu biji (Verheij dan Coronel, 1991). 2.1.2 Sejarah tumbuhan Jambu bol (Syzygium malaccense (L.) Merr & Perry) sudah dikenal luas di dunia dengan nama “Malay Apple”. Jambu bol termasuk family Myrtaceace dan genus Syzygium. Jambu bol diperkirakan berasal dari Malaysia, umumnya dibudidayakan mulai dari Jawa, Filipina, Vietnam, Bangladesh dan India Selatan (Morton, 1987). 2.1.3 Nama daerah Nama daerah jambu bol adalah jambu ripu (Aceh), dharsana (Madura), jambu bol (sunda, batak, lampung), myambu bol (Bali), jambu jambak (minang kabau), jambu boa (Jambi) dan maufa (Nias) (Arifin, dkk., 2009). 18 Universitas Sumatera Utara 2.1.4 Sistematika tumbuhan Sistematika dari tumbuhan pepaya adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Syzygium Jenis : Syzygium malaccense (L.) Merr & Perry (Mulyana, 2015). 2.1.5 Manfaat tumbuhan Jambu bol banyak manfaat bagi kesehatan tubuh, hal ini disebabkan karena kandungan gizi yang terdapat di dalamnya. Jambu bol dipercaya dapat mengatasi sembelit, diabetes, sakit kepala, batuk dan radang selaput lendir pada saluran napas. Sedangkan biji, kulit kayu dan daunnya memiliki sifat antibakteri dan memiliki efek terhadap tekanan darah dan pernapasan. Pada akar tanaman jambu bol memiliki manfaat untuk mengobati gatal-gatal (Anonim, 2014). 2.2 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM RI, 1995). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara dan pelarut yang cocok, di luar 19 Universitas Sumatera Utara pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM RI, 1979). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan beberapa cara yaitu : a. Cara dingin 1. Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan cara merendam serbuk simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM RI, 2000). 2. Perkolasi ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya (Ditjen POM RI, 2000). b. Cara panas 1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan karena adanya pendingin balik (Ditjen POM RI, 2000). 2. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 – 500 C (Ditjen POM RI, 2000). 3. Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM RI, 2000). 20 Universitas Sumatera Utara 4. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 900 C selama 15 menit (Ditjen POM RI, 1979). 5. Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia dengan air bersuhu 900 C sambil diaduk berulang-ulang dengan pemanas air selama 30 menit (Voigt, 1984). 2.3 Fraksinasi Proses pemisahan selanjutnya masih menggunakan prinsip ekstraksi yang dikenal dengan ekstraksi cair-cair atau yang biasa dikenal dengan nama fraksinasi. Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan kelarutan senyawa-senyawa berdasarkan dua pelarut yang tidak saling bercampur, biasanya antara pelarut air dan pelarut organik (Dey, 2012). Teknik pemisahan ekstraksi cair-cair ini biasanya dilakukan dengan menggunakan corong pisah. Kedua pelarut yang saling tidak bercampur tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian digojok dan didiamkan. Senyawa organik akan terdistribusi ke dalam fasenya masing-masing bergantung pada kelarutannya terhadap fase tersebut dan kemudian akan terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang dapat dipisahkan dengan membuka kunci pipa corong pisah (Odugbemi, 2008). Pemilihan pelarut pada ekstraksi umumnya bergantung pada sifat analitnya dimana pelarut dan analit harus memiliki sifat yang sama, contohnya analit yang sifat lipofilitasnya tinggi akan terekstraksi pada pelarut yang relatif nonpolar seperti n-heksan sedangkan analit yang semipolar terlarut pada pelarut yang semipolar seperti etilasetat atau diklorometana (Venn, 2008). 21 Universitas Sumatera Utara Aglikon pada umumnya terekstraksi pada fraksi non-polar seperti terpenoid dan steroid sedangkan flavonoid, glikosida, saponin dan gula ester ditemukan pada fraksi yang lebih polar dan fraksi air. Petroleum eter dan nheksana juga dapat digunakan untuk menghilangkan lipid dan senyawa lemak (Dey, 2012). 2.4 Bakteri 2.4.1 Uraian umum Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” dari bahasa Yunani yang berarti tongkat atau batang, sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan pembelahan diri serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1978). Menurut Waluyo (2010) morfologi bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu : a. Bacilli Basil dari bacillus, merupakan bakteri yang mempunyai bentuk tongkat pendek/ batang kecil dan silindris. Sebagian bakteri berbentuk basil, yang dapat bergandeng-gandengan panjang, bergandeng-gandengan dua-dua atau terlepas satu sama lain. Berdasarkan jumlah koloni, basil dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : - Monobasil (monobacillus), yakni basil yang hidup menyendiri atau tidak bergerombol. - Diplobasil (diplobacillus), bila koloni terdiri dari dua basil. - Streptobasil (streptobacillus), bila koloni bakteri berbentuk rantai. 22 Universitas Sumatera Utara b. Spiral Spiral merupakan bakteri yang berbentuk bengkok atau berbengkokbengkok seperti spiral. Bakteri yang berbentuk spiral sangat sedikit jumlahnya. Golongan ini merupakan golongan paling kecil jika dibandingkan dengan golongan basil dan golongan kokus. c. Cocci/coccus Kokus adalah bakteri yang berbentuk bulat seperti bola-bola kecil. Kelompok ini ada yang bergerombol dan bergandeng-gandengan membentuk koloni. Berdasarkan jumlah koloni, kokus dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu : - Monokokus (monococcus), bila kokus hidup menyendiri. - Diplokokus (diplococcus), bila kokus membentuk koloni terdiri dari dua kokus. - Streptococcus (streptococcus), bila koloni berbentuk rantai. - Stafilokokus (staphylococcus), bila koloni bakteri kokus membentuk untaian seperti buah anggur. - Sarsina (Sarcina), bila koloni bakteri mengelompok serupa kubus. - Tetrakokus (tetracoccus), bila koloni bakteri terdiri dari empat kokus. 2.4.2 Proses terjadinya infeksi pada kulit Menurut Anhira (2011) proses berawal terjadinya infeksi pada kulit adalah : a. Bakteri masuk kedalam tubuh lewat jaringan kulit b. Bakteri tersebut kemudian mengeluarkan toksin atau racun yang bisa membunuh sel-sel disektarnya c. Tubuh akan melakukan pertahanan dengan cara mengeluarkan sel darah putih untuk membunuh toksin tersebut 23 Universitas Sumatera Utara d. Secara otomatis, sel kulit akan menghalangi toksin tersebut menyebar dengan cara membentuk jaringan sehingga toksin tetap terkumpul disatu titik e. Karena toksin ini mengumpul disatu titik kulit, maka terjadilah benjolan berisi nanah. 2.4.3 Bakteri yang memasuki tubuh melalui kulit Kulit utuh adalah penghalang yang efektif yang mencegah banyak agen penginfeksi memperoleh jalan masuk ke tubuh. Akan tetapi, sepanjang kehidupan normal kulit tidak selalu utuh. Sobekan kulit yang begitu kecil sehingga tidak terlihat bisa memungkinkan bakteri masuk dan berlipat ganda. Beberapa organisme memasuki tubuh melalui kontak dengan kulit. Bakteri yang masuk melalui lecet kulit diantaranya Stapylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa (Volk dan Wheeler, 1984). 1. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah jenis kuman yang terutama menimbulkan penyakit pada manusia. Setiap jaringan ataupun alat tubuh dapat diinfeksi olehnya yang menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang khas yaitu, peradangan, nekrosis dan pembentukan abses (Staf Pengajar FK UI, 1994). Staphylococcus aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif, berbentuk bulat atau coccus dengan diameter 0,4 – 1,2 µm. Hasil pewarnaan yang berasal dari perbenihan padat akan memperlihatkan susunan bakteri yang bergerombol seperti buah anggur. Kuman ini tidak dapat bergerak. Suhu optimal pertumbuhannya adalah 370C. Staphylococcus aureus akan membentuk pigmen kuning emas. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat, berdiameter 1 – 2 mm, permukaannya mengkilat (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003). 24 Universitas Sumatera Utara 2. Staphylococcus epidermidis Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif, aerob atau aerob fakultatif, berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8 – 1,0 µm, tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 370C. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol, berkilau, tidak menghasilkan pigmen, berwarna putih porselen sehingga Staphylococcus epidermidis disebut juga Staphylococcus alba (Jawetz, et al., 2001). Kuman ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka (Dwijoseputro, 1978). 3. Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri berbentuk batang, ukurannya 0,6 x 2 µm. Merupakan bakteri gram negatif dan terlihat sebagai bentuk tunggal, ganda dan kadang-kadang dalam rantai pendek. Pseudomonas aeruginosa bersifat aerobik obligat yang tumbuh dengan cepat pada berbagai tipe media dan tumbuh baik pada suhu 37 – 420C (Brooks, et al., 2001). Organisme ini tidak membentuk sporula dan ditemukan baik sebagai bagian flora normal saluran usus maupun kulit manusia (Volk dan Wheeler, 1984). 2.5 Fase Pertumbuhan Mikroorganisme Menurut Pratiwi (2008) ada empat macam fase pertumbuhan mikroorganisme, yaitu fase lag, fase log (fase esksponensial), fase stasioner dan fase kematian. - Fase lag Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah 25 Universitas Sumatera Utara sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Waktu penyesuaian ini umumnya berlangsung selama 2 jam. Kuman belum berkembang biak dalam fase ini, tetapi aktivitas metabolismenya sangat tinggi. Fase ini merupakan persiapan untuk fase berikutnya. - Fase log (fase esksponensial) Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial. Hal yang dapat menghambat laju pertumbuhan adalah bila satu atau lebih nutrisi dalam kultur habis, sehingga hasil metabolisme yang bersifat racun akan tertimbun dan menghambat pertumbuhan bakteri. Hasil metabolisme bakteri yang bersifat racun dapat mengganggu pertumbuhan bakteri. - Fase stationer Pada fase ini pertumbuhan mikroorganisme berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati, Pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik . - Fase kematian Pada fase ini jumlah sel yang mati meningkat. Konsentrasi produk buangan yang bersifat toksis meningkat dan ketersediaan makanan untuk bakteri menurun. Jumlah bakteri yang mati meningkat dengan cepat. 2.6 Pengukuran Aktivitas Antibakteri Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap agen antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu metode difusi agar 26 Universitas Sumatera Utara dan metode dilusi cair. 1. Metode difusi agar Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan disekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji (Brooks, et al., 2001). 2. Metode dilusi cair Metode ini digunakan untuk mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan yaitu dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada media cair yang telah ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18 – 24 jam. Media yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). 2.7 Uraian Gel Gel merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel mempunyai massa terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem fase tunggal dan dua fase. Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar homogen dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang 27 Universitas Sumatera Utara terdispersi dalam cairan (misalnya karbomer dan tragakan). Gel sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadangkadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit) (Ditjen, POM., 1995). Keunggulan gel pada formulasi sediaan: 1. Waktu kontak lama Kulit mempunyai barrier yang cukup tebal, sehingga dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk zat aktif dapat berpenetrasi. 2. Kadar air dalam gel tinggi Jumlah air yang banyak dalam gel akan menghidrasi stratum corneum sehingga terjadi perubahan permeabilitas stratum corneum menjadi lebih permeabel terhadap zat aktif yang dapat meningkatkan permeasi zat aktif. 3. Resiko timbulnya peradangan ditekan Kandungan air yang banyak pada gel dapat mengurangi resiko peradangan lebih lanjut akibat menumpuknya lipida pada pori-pori, karena lipida tersebut merupakan makanan bakteri jerawat (Lieberman, 1997). 2.7.1 Hidroksipropil metilselulosa (HPMC) HPMC merupakan turunan dari metil selulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa, sangat sukar larut dalam eter, etanol atau aseton, dapat mudah larut dalam air panas dan akan segera menggumpal dan membentuk koloid. Mampu menjaga penguapan air sehingga secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan aplikasi lainnya (Rowe, et al., 2006). 2.7.2 Propilen glikol Propilen glikol banyak digunakan sebagai pelarut dan pembawa dalam 28 Universitas Sumatera Utara pembuatan sediaan farmasi dan kosmetik, khususnya untuk zat-zat yang tidak stabil atau tidak dapat larut dalam air. Propilen glikol adalah cairan bening, tidak berwarna, kental, hampir tidak berbau dan memiliki rasa manis sedikit tajam. Propilen glikol stabil dalam wadah yang tertutup baik dalam kondisi biasa, serta merupakan suatu zat kimia yang stabil bila dicampur dengan gliserin, air atau alkohol (Rowe, et al., 2006). 2.7.3 Metil paraben Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk hablur halus, berwarna putih, hampir tidak berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikuti rasa tebal (Ditjen, POM., 1979). Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi dan digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben lain atau dengan antimikroba lain. Metil paraben adalah pengawet yang paling sering digunakan pada kosmetik,. Jenis paraben lainnya efektif pada kisaran pH yang luas dan memiliki aktivitas antimikroba yang kuat (Rowe, et al., 2006). 2.7.4 Propil paraben Propil paraben merupakan serbuk kristalin putih, tidak berbau, dan tidak berasa serta berfungsi sebagai pengawet. Konsentrasi propil paraben yang digunakan pada sediaan topikal adalah 0,01 – 0,6 %. Propil paraben efektif sebagai pengawet pada rentang pH 4 – 8, peningkatan pH dapat menyebabkan penurunan aktivitas antimikrobanya. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan etanol, larut dalam 250 bagian gliserin dan sukar larut di dalam air. Larutan propil paraben dalam air dengan pH 3 – 6, stabil dalam penyimpanan selama 4 tahun pada suhu kamar, sedangkan pada pH lebih dari 8 akan cepat terhidrolisis. Propil paraben inkompatibel dengan surfaktan nonionik. Plastik, magnesium silikat, 29 Universitas Sumatera Utara magnesium trisilikat, dan pewarna ultramarine blue dapat mengabsorpsi propil paraben sehingga mengurangi efek antimikrobanya. Propil paraben akan berubah warna apabila terjadi kontak dengan besi dan hidrolisis terjadi apabila ada basa lemah dan asam kuat (Rowe, et al., 2006). 30 Universitas Sumatera Utara