BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) Legitimasi merupakan keadaan dimana berbagai pihak atau sekelompok orang yang sangat peka dengan apa yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, baik fisik maupun non fisik. Menurut O’Donovan dalam Nor (2011), berpendapat bahwa legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Perubahan nilai dan norma sosial dalam masyarakat sebagai konsekuensi perkembangan peradaban manusia, juga menjadi motivator perubahan legitimasi perusahaan disamping juga dapat menjadi tekanan bagi legitimasi perusahaan (Lindblom 1994 dalam Nor 2011). Gray et al (1996) dalam Nor (2011), berpendapat bahwa legitimasi merupakan “ ... a system-oriented view of organization and society...permits us to focus on the role of information and disclosure in the relationship between organisations, the state, individuals and group”. Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah, individu dan kelompok masyarakat. 7 8 Dalam Imam Anis dkk (2007), Dowling dan Pfeffer (1975) memberikan alasan yang logis mengenai legitimasi organisasi dimana mereka mengatakan sebagai berikut : “Organisasi berusaha menciptakan keselarasan antara nilai-nilai sosial yang melekat pada kegiatannya dengan norma-norma perilaku yang ada dalam sistem sosial masyarakat dimana organisasi adalah bagian dari sistem tersebut. Selama kedua sistem nilai tersebut selaras, kita dapat melihat hal tersebut sebagai legitimasi perusahaan. ketika ketidakselarasan aktual potensial terjadi diantara kedua sistem nilai tersebut, maka akan ada ancaman terhadap legitimasi perusahaan.” Dalam teori legitimasi organisasional, Tilling (2005) dalam Ari (2010) menyebutkan bahwa perusahaan berada dalam satu di antara empat fase terkait legitimasinya. Empat fase tersebut adalah: 1. Membangun Legitimasi Fase ini merepresentasikan tahap awal pengembangan legitimasi oleh perusahaan dan cenderung rawan terkena isu, terutama dalam aspek financial, namun perusahaan harus waspada terhadap “standar yang terbentuk secara sosial dan kualitas kinerja yang diharapkan sesuai atandar professional”. 2. Menjaga legitimasi Ini adalah fase dimana sebagian besar perusahaan beroperasi. Menjaga legitimasi tidak semudah penampakannya. Legitimasi adalah konstruk dinamis. “pengharapan masyarakat tidak statis, sering kali berubah sejalan waktu dan membuat perusahaan harus responsif terhadap lingkungan tempat beroperasi”. 3. Memperluas Legitimasi 9 Fase ini adalah fase ketika perusahaan memasuki pasar baru atau ada perubahan di pasar yang ada sekarang. 4. Mempertahankan Legitimasi Legitimasi dapat terancam karena adanya insiden dan karenanya perlu untuk dipertahankan. Hal ini terjadi pada perusahaan-perusahaaan yang bergerak di bidang tambang. Teori Legitimasi dan Teori Stakeholder merupakan perspektif teori yang berada dalam kerangka teori ekonomi politik. Karena pengaruh masyarakat luas, dapat menentukan alokasi sumber keuangan dan sumber ekonomi lainnya, perusahaan cenderung menggunakan kinerja berbasis lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan untuk membenarkan atau melegitimasi aktivitas perusahaan dimata masyarakat (Gary et al 1994, dalam Imam Anis dkk 2007 ). Legitimasi mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran masyarakat dan lingkungan, perusahaan harus dapat menyesuaikan perubahan tersebut baik dalam hal produk, metode, dan tujuan. Deegan, Robin dan Tobin (2002) dalam Hadi (2011), menyatakan legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai dengan eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam. 10 Menurut Pattern (1992) dalam Nor (2011) menyatakan bahwa upaya yang perlu dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mengelola legitimasi agar efektif, yaitu dengan cara: 1. Melakukan identifikasi dan komunikasi/dialog dengan publik. 2. Melakukan komunikasi dialog tentang masalah nilai sosial kemasyarakatan dan lingkungan, serta membangun persepsinya tentang perusahaan. 3. Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait dengan masalah tanggungjawab sosial (social responsibility). Carrol, A dan Buchholtz, A (2003) dalam Nor (2011) menyatakan perkembangan tingkat kesadaran dan peradaban masyarakat membuka peluang meningkatnya tuntutan terhadap kesadaran kesehatan lingkungan. Legitimasi perusahaan dimata stakeholder dapat dilakukan dengan integritas pelaksanaan etika dalam berbisnis serta meningkatkan tanggungjawab sosial perusahaan (social responsibility). Hasil Survei “The Millenium Poll on CSR” (1999) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) dalam Hadi (2011), diantara 25.000 responden di 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini dan legitimasi perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) paling berperan dalam meningkatkan legitimasi, 40% 11 responden menyatakan citra perusahaan & brand image mempengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opini bahwa faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen mendasari legitimasi Stakeholder. Dari hasil survey yang dilakukan dan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat dilihat bahwa legitimasi perusahaan merupakan faktor signifikan untuk mendukung citra dan reputasi perusahaan dimata stakeholder. B. Teori Stakeholder (Stakeholder Theory) Menurut Imam Anis dkk (2007), Teori Stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga harus memberikan manfaat bagi para stakeholder. Untuk itu, tanggung jawab perusahaan yang semula hanya diukur pada indikator ekonomi dalam laporan keuangan, kini bergeser dengan menghitungkan faktor-faktor sosial terhadap Stakeholder, baik internal maupun eksternal. Dimana pihak internal maupun eksternal tersebut adalah pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan (Hadi, 2011). Grey et al. dalam Dirman (2013) mengemukan bahwa teori stakeholder mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan memerlukan dukungan stakeholder. Semakin kuat stakeholders, maka perusahaan harus semakin beradaptasi dengan 12 stakeholders. Pengungkapan sosial kemudian dipandang sebagai dialog antara perusahaan dengan stakeholder. Stakeholder Theory menyatakan bahwa semua stakeholder mempunyai hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan mereka (Nuraini 2008). Timbulnya Stakeholder theory didasari oleh suatu keadaan (hukum) yang mengutamakan kepentingan pemegang saham dan sebaliknya, menomorduakan kepentingan pemasok, pelanggan, karyawan dan masyarakat sekitar. Terdapat dua aspek penting yang dikemukakan stakeholder theory yaitu aspek utama adalah hak. Hak pada dasarnya menghendaki bahwa perusahaan dan manajernya tidak boleh melanggar hak dan menentukan masa depan pihak lain (stakeholder). Sedangkan aspek yang kedua adalah akibat. Diharapkan perusahaan dapat bertanggung jawab atas apa yang di akibatkan perusahaan tersebut. Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk memepengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut (Imam Anis dkk 2007). Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Deegan 2000, dalam Ghozali dan Chariri 2007). 13 Menurut P. Robbins & Mary Coulter (1999) dalam Angela (2013), pada pendekatan Stakeholder, organisasi memilih untuk menanggapi banyak tuntutan yang dibuat oleh para pihak yang berkepentingan yaitu setiap kelompok dalam lingkungan luar organisasi tersebut yang terkena tindakan serta keputusan organisasi. Organisasi akan berusaha untuk memenuhi tuntutan lingkungan dari kelompok-kelompok seperti karyawan, pemasok, investor serta masyarakat. Jika tekanan dari stakeholder sangat kuat dan berpengaruh terhadap kontinuitas dan kinerja perusahaan, maka perusahaan harus bisa menyusun kebijakan dan program-program kebijakan sosial dan lingkungan yang terarah dan terintegrasi. Ada beberapa alasan yang mendorong perusahan perlu memperhatikan kepentingan stakeholders, yaitu : 1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat menganggu kualitas hidup mereka. 2. Dalam era globalisasi telah mendorong produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan. 3. LSM dan pecinta lingkungan makin kritis dalam mengkritik perusahaanperusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan. Teori Stakeholder menjelaskan bagaimana perusahaan perlu memperhatikan apa yang menjadi tanggung jawabnya sehingga dalam menjalankan usaha yang dilakukannya apakah berdampak positif atau negatif. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukkannya dalam kerangka kebijakan dan 14 pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung dalam pencapaian tujuan perusahaan, yaitu stabilitas usaha. Perusahaan juga hendaknya menjaga reputasi perusahaan yaitu dengan menggeser pola orientasi (tujuan) yang semula semata-mata diukur dengan economic measurement yang cenderung shareholder orientation, ke arah memperhitungkan faktor sosial sebagai wujud kepedulian dan keberpihakan terhadap masalah sosial kemasyarakatan (Nor 2011). C. Teori Sinyal (Signalling Theory) Menurut Prasetyaningrum (2008) dalam Anniza (2013), teori sinyal menjelaskan mengapa perusahan memiliki dorongan untuk memberikan laporan keuangan kepada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara manajemen perusahaan dan pihak luar. Signalling Theory menurut Brigham dan Houstan (2001) dalam Angela (2013) merupakan suatu tindakan yang dipilih manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor mengenai bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Informasi yang disampaikan oleh pasar atau diterima oleh pasar merupakan sebuah sinyal yang dapat bermakna positif atau negatif, tergantung preferensi atas sinyal tersebut. Informasi jika dilihat dalam konteks sinyal dapat meningkatkan reputasi perusahaan, sehingga sinyal merupakan biaya untuk mendapatkan return (tingkat keuntungan) yang diharapan perusahaan. Salah satu corporate action 15 yang merupakan informasi sekaligus tanda sinyal adalah perusahaan yang mengumumkan aktivitas CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan (Roida 2008, dalam Anniza 2013). Signalling Theory menekankan bahwa perusahaan pelapor dapat meningkatkan nilai perusahaan melalui perusahaan melalui pelaporannya. Jika perusahaan gagal dalam menyajikan informasi yang lebih, maka para stakeholder hanya akan menilai perusahaan sebagai perusahaan rata-rata sama dengan perusahaan-perusahaan yang tidak mengungkapkan laporan tambahan (Drever et al. 2007, dalam Anniza 2013). Menurut Jogiyanto (2000) dalam Monica (2013), Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain. Menurut konsep signalling theory dalam Wirakusuma dan Yuniasih (2007) menyatakan bahwa perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pihak luar perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. selain informasi keuangan yang diwajibkan, perusahaan juga melakukan pengungkapan yang sifatnya sukarela. Maka perusahaan yang melakukan hal positif seperti selalu meningkatkan kinerja perusahan, memperhatikan lingkungan internal maupun eksternal akan mendapatkan sinyal yang positif dari masyarakat maupun Investor dengan adanya laporan tahunan dan laporan tahunan yang diungkapkan. 16 D. Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya Akuntansi lingkungan merupakan istilah yang berkaitan dengan dimasukkannya biaya lingkungan (environmental cost) ke dalam praktek akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah. Akuntansi lingkungan dapat didefinisikan sebagai pencegahan, pengurangan, dan atau penghindaran dampak terhadap lingkungan, bergerak dari berbagai kesempatan, dimulai dari perbaikan kembali kejadian-kejadian yang menimbulkan bencana atas kegiatan-kegiatan tersebut (Arfan 2008). Menurut Badan perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United states Environment Protection Agency (US EPA) dalam Arfan (2008), akuntansi lingkungan adalah: “Suatu fungsi penting tentang akuntansi lingkungan adalah untuk menggambarkan biaya-biaya lingkungan supaya diperhatikan oleh para stakeholders perusahaan yang mampu mendorong dalam pengidentifikasian caracara mengurangi atau menghindari biaya-biaya ketika pada waktu yang bersamaan sedang memperbaiki kualitas lingkungan”. Badan Perlindungan Amerika Serikat atau United States Environmental Protection Agency dalam Arfan (2008), menambahkan lagi bahwa istilah akuntansi lingkungan dibagi menjadi dua dimensi utama. Pertama, akuntansi lingkungan merupakan biaya yang secara langsung berdampak pada perusahaan secara menyeluruh. Kedua, akuntansi lingkungan juga meliputi biaya-biaya individu, masyarakat maupun lingkungan suatu perusahaan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Akuntansi lingkungan merupakan suatu bidang yang terus berkembang dalam mengidentifikasi pengukuran-pengukuran dan mengomunikasikan biaya-biaya 17 aktual perusahaan atau dampak potensial lingkungannya. Biaya ini meliputi biayabiaya pembersihan atau perbaikan tempat-tempat yang terkontaminasi, biaya pelestarian lingkungan, biaya hukuman dan pajak, biaya pencegahan polusi teknologi dan biaya manajemen pemborosan. Dalam akuntansi lingkungan, terdapat beberapa komponen pembiayaan yang harus dihitung, misalnya: (1) Biaya operasional bisnis yang terdiri dari biaya depresiasi fasilitas lingkungan, biaya memperbaiki fasilitas lingkungan, jasa atau fee kontrak untuk menjalankan kegiatan pengelolaan lingkungan, biaya tenaga kerja untuk menjalankan operasionalisasi fasilitas pengelolaan lingkungan, serta biaya kontrak untuk pengelolaan limbah (recycling); (2) biaya daur ulang limbah; (3) Biaya penelitian dan pengembangan (litbang) yang terdiri dari biaya total untuk material, tenaga ahli, dan tenaga kerja lain untuk pengembangan material yang ramah lingkungan, produk dan fasilitas pabrik (Halim 1999, dalam Ari 2010). Latar belakang pentingnya akuntansi lingkungan pada dasarnya menuntut kesadaran penuh perusahaan-perusahaan maupun organisasi lainnya yang telah mengambil manfaat dari lingkungan. Manfaat dari lingkungan tersebut dapat berdampak pada majunya perusahaan atau bisnis yang dijalankan. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk meningkatkan usaha dalam mempertimbangkan konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Menurut Lindrianasari (2007), aktivitas yang dapat dilakukan sehubungan dengan konservasi lingkungan adalah: 18 1. Konservasi terhadap kondisi yang berpengaruh terhadap kesehatan makhluk hidup dan lingkungan hidup yang berasal dari polusi udara, polusi air, pencemaran tanah, kebisingan, getaran, bau busuk dan lain sebagainya. 2. Konservasi terhadap kondisi yang berpengaruh secara menyeluruh seperti pemanasan global, penipisan lapisan ozon, serta pencemaran air laut. 3. Konservasi terhadap sumber daya (termasuk air). Konservasi ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan, mengendalikan sampah dari kegiatan produksi perusahaan, penggunaan material dari hasil daur ulang dan lain sebagainya. 4. Konservasi lain yang berhubungan. Menurut Arfan (2008), maksud dan tujuan dikembangkannya akuntansi lingkungan antara lain meliputi: 1. Akuntansi lingkungan merupakan sebuah alat manajemen lingkungan. Sebagai alat manajemen, akuntansi lingkungan digunakan untuk menilai keefektifan kegiatan konservasi berdasarkan ringkasan dan klasifikasi biaya konservasi lingkungan. 2. Akuntansi lingkungan sebagai alat komunikasi dengan masyarakat. Sebagai alat komunikasi dengan publik, akuntansi lingkungan digunakan untuk menyampaikan dampak negatif lingkungan, kegiatan konservasi lingkungan dan hasilnya kepada publik. 19 Menurut Arfan (2008), ada beberapa alasan kenapa perusahaan perlu untuk mempertimbangkan pengadopsian akuntansi lingkungan sebagai bagian dari sistem akuntansi perusahaan, antara lain : 1. Memungkinkan secara signifikan mengurangi dan menghapus biaya-biaya lingkungan. 2. Biaya dan manfaat lingkungan mungkin kelihatannya melebihi jumlah nilai rekening/akun. 3. Memungkinkan pendapatan yang dihasilkan dari biaya-biaya lingkungan. 4. Memperbaiki kinerja lingkungan perusahaaan yang selama ini mungkiin mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan keberhasilan bisnis perusahaan. 5. Diharapkan menghasilkan biaya atau harga yang lebih akurat terhadap produk dari proses lingkungan yang diinginkan. 6. Memungkinkan keuntungan yang lebih bersaing sebagaimana pelanggan mengharapkan produk/jasa lingkungan yang lebih bersahabat. 7. Dapat mendukung pengembangan dan jalannya sistem manajemen lingkungan yang menghendaki aturan untuk beberapa jenis perusahaan. Banyaknya perhatian mengenai persoalan lingkungan menjadi penting bagi perusahaan untuk mempertimbangkan dalam mengungkapkan informasi akuntansi lingkungan yang dibuat dan dipublikasikan. Pengungkapan dalam akuntansi lingkungan merupakan jenis pengungkapan sukarela. Pengungkapan akuntansi lingkungan merupakan pengungkapan 20 informasi data akuntansi lingkungan dari sudut pandang fungsi internal akuntansi lingkungan itu sendiri yaitu berupa laporan akuntansi lingkungan. Tujuan dari pentingnya pengungkapan akuntansi lingkungan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan konservasi lingkungan oleh perusahaan maupun organisasi lainnya yaitu mencakup kepentingan organisasi publik dan perusahaanperusahaan publik yang bersifat lokal. Pengungkapan ini penting terutama bagi para stakeholders untuk dipahami, dievaluasi dan dianalisis sehingga dapat memberi dukungan bagi usaha mereka. Laporan tersebut harus didasarkan pada situasi aktual pada suatu perusahaan atau organisasi lainnya. Data aktual diungkapkan ditentukan oleh perusahaan sendiri atau organisasi lainnya. Oleh karena itu diperlukan ketika pegungkapan data eksternal akuntansi lingkungan untuk mengklarifikasi prasarat dari pengungkapan data, supaya stakehoders memperoleh pemahaman konsistensi dari data akuntansi lingkungan. Selain itu tujuan dari pengungkapan tersebut adalah untuk menyediakan informasi yang dapat digunakan oleh para investor maupun stakeholders untuk mengevaluasi perilaku perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Pengungkapan lingkungan biasanya dipublikasikan kepada publik dalam laporan tahunan perusahaan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) secara implisit menjelaskan bahwa laporan tahunan harus mengakomodasi kepentingan para pengambil keputusan. Hal ini tertuang dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 tahun 2004, paragraph sembilan : “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), 21 khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”. Menurut Arfan (2008), pengumpulan hasil dari akuntansi lingkungan, perusahaan atau organisasi lainnya akan mempersiapkan suatu ringkasan dan keutamaan hasil dari kegiatan konservasi lingkungan, suatu penjelasan dari kumpulan hasil dari akuntansi lingkungan (termasuk evaluasi dari besar dan kecilnya figur dan alasan-alasan untuk meningkatkan atau menurunkan dalam perbandingan dengan periode sebelumnya), dan kebijakan yang diaktifkan mengenai masa depan kegiatan konservasi lingkungan. Pada tahun 1999 Badan lingkungan Hidup Jepang (The Environmental Agency) yang kemudian berubah menjadi Kementrian Lingkungan Hidup mengeluarkan panduan akuntansi lingkungan pada bulan Mei tahun 2000. Panduan ini kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2002 dan 2005. Panduan yang dibuat diharapkan mampu menjamin pengungkapan informasi yang diambil ketika mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dari berbagai stakeholders (Arfan 2008). E. Environmental Disclosure (Pengungkapan Lingkungan) Environmental disclosure adalah pengungkapan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di dalam laporan tahunan perusahaan. Pada umumnya terdapat pada bagian terpisah pada Sustainability Report atau tercantum dalam Annual Report. 22 Bethelot (2002), dalam Al Tuwaijri (2004), dalam Ari (2010) mendefinisikan environmental disclosure sebagai kumpulan informasi yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Imam Anis dkk (2007) berpendapat bahwa perusahaan akan mengungkapkan semua informasi yang diperlukan dalam rangka berjalannya fungsi pasar modal. Pendukung pendapat tersebut menyatakan bahwa jika suatu informasi tidak diungkapkan hal ini disebabkan informasi tersebut tidak relevan bagi investor atau informasi tersebut telah tersedia di tempat lain. Gray (1993) dalam Lindrianasari (2007) menjelaskan bahwa pengungkapan lingkungan merupakan bagian dari pengungkapan laporan keuangan. Dia juga menjelaskan bahwa ada banyak studi yang menguji lebih lanjut informasi sosial yang dihasilkan oleh perusahaan dan menemukan bahwa informasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari informasi tersebut. Lebih jauh Gray menyatakan pengungkapan lingkungan merupakan bagian penting dari suatu laporan keuangan perusahaan. Pengungkapan secara umum terbagi atas dua jenis yaitu, Voluntary disclosure dan mandatory disclosure. Voluntary disclosure adalah pengungkapan berbagai informasi yang berkaitan dengan aktivitas/keadaan perusahaan secara sukarela. Meski pada kenyataannya pengungkapan secara sukarela tidak benar-benar terjadi karena terdapat kecenderungan bagi perusahaan untuk menyimpan dengan sengaja informasi yang sifatnya dapat menurunkan arus kas (Nuraini 2008). 23 Tiga konsep pengungkapan yang umum diusulkan (Hendriksen dan Breda, 2000) dalam Ari (2010) adalah : 1. Adequate disclosure (pengungkapan yang cukup), pengungkapan ini mencakup pengungkapan minimal yang harus dilakukan agar laporan keuangan tidak menyesatkan. Pengungkapan ini yang paling umum digunakan. 2. Fair Disclosure (pengungkapan yang wajar), pengungkapan ini secara wajar menunjukkan tujuan etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama dan bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan. 3. Full Disclosure (pengungkapan yang lengkap), pengungkapan yang mensyaratkan perlunya penyajian semua informasi yang relevan. Namun bagi beberapa pihak, pengungkapan yang lengkap diartikan sebagai penyajian informasi yang berlebihan, sehingga tidak bias dikatakan layak. Di Amerika, SEC bertanggungjawab pada masalah tingkat pengungkapan sedangkan format pengungkapan menjadi tugas FASB. Sedangkan di Indonesia yang memiliki otoritas pengungkapan mandatory (wajib) adalah BAPEPAM. F. Economic Performance (Kinerja Ekonomi) Menurut Suratno dkk (2006), economic performance adalah kinerja ekonomi secara makro dari sekumpulan perusahaan dalam suatu industri. Pengukuran kinerja ekonomi dapat dihitung menurut accounting based measures maupun 24 capital market based. Pada accounting based measures dapat menggunakan analisis rasio keuangan sebagai pengukuran secara financial. Menurut Guthrie dan Parker (1989) dalam Ja’far dan Arifah (2006), Economic performance adalah kinerja perusahaan-perusahaan secara relatif dalam suatu industri yang sama yang ditandai dengan return tahunan industri yang bersangkutan. Hubungan antara environmental disclosure dengan kinerja keuangan sangat lemah. Menurut Desak Made dan I Gde (2012), Kinerja ekonomi adalah suatu usaha formal yang dilaksanakan perusahaan untuk mengevaluasi efisien dan efektivitas dari aktivitas keuangan perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode waktu. Kinerja ekonomi dapat diukur dari laporan keuangan perusahaan (financial reports) yang dikeluarkan secara periodik yang memberikan suatu gambaran tentang posisi keuangan perusahaan. Informasi yang terkandung dalam laporan keuangan digunakan oleh investor untuk memperoleh perkiraan tentang laba dan dividen di masa mendatang dan resiko atas penilaian tersebut. Rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi yaitu rasio likuiditas, aktivitas, solvabilitas dan profitabilitas (Hanafi 2004, dalam Desak Made dan I Gde 2012). G. Environmental Performance (Kinerja Lingkungan) Menurut Suratno dkk (2006), Environmental Performance adalah kinerja perusahaan dalam menciptakan lingkungan yang baik (green). Environmental performance dapat diukur dengan melihat prestasi sebuah perusahaan yang terdaftar dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) yang 25 dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup secara rutin untuk mendorong perusahaan agar memperhatikan lingkungan dan mengelola lingkungan dengan baik. Barry dan Rondinelly (1998) dalam Monica (2013) menyatakan ada beberapa faktor yang mendorong perusahaan untuk melakukan tindakan manajemen lingkungan, yaitu : 1. Regulator Demand Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan muncul sejak 30 tahun terakhir. Setalah masyarakat meningkatkan tekanannya kepada pemerintah untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai dampak meluasnya polusi. Sistem pengawasan manajemen lingkungan menjadi dasar untuk skor ingkungan, seperti program-program kesehatan dan keamanan lingkungan. Perusahaan merasa penting utnutk mendapatkan penghargaan di bidang lingkungan, dengan berusaha menerapkan prinsip-prinsip TQEM secara efektif, misalnya dengan penggunaan teknologi pengontrol polisi melalui penggunaan clean technology. 2. Cost Factory Adanya komplain terhadap produk-produk perusahaan, akan membawa konsekuensi munculnya biaya pengawasan kualitas yang tinggi, karena semua aktivitas yang terlibat dalam proses produksi perlu dipersiapkan dengan baik. Konsekuensi perusahaan untuk mengurangi polusi juga berdampak pada munculnya berbagai biaya, seperti penyediaan pengolahan limbah, penggunaan mesin yang clean technology dan biaya pencegahan kebersihan. 26 3. Competitive Reqruitment Semakin berkembangnya pasar global dan munculnya berbagai kesepakatan perdagangan sangat berpengaruh pada munculnya gerakan standarisasi manajemen kualitas lingkungan. Persaingan nasional maupun internasional telah menuntut perusahaan untuk dapat mendapatkan jaminan dibidang kualitas, antara lain seri ISO 9000. Sedangkan untuk seri ISO 14000 dominan untuk standar internasional dalam sistem manajemen lingkungan. Untuk mencapai keunggulan dalam persaingan, dapat dilakukan dengan menerapkan green alliance (Hartman dan Stanford, 1995). Green alliance merupakan partner diantara pelaku bisnis dan kelompok lingkungan untuk mengintegrasikan anatara tanggung jawab lingkungan perusahaan dengan tujuan pasar. Selama ini pengukuran terhadap kinerja lingkungan masih belum tercapai kesepakatan final. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki cara pengukuran sendiri tergantung situasi dan kondisi lingkungan negara masing-masing. Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup telah menerapkan PROPER sebagai alat untuk meningkatkan kinerja lingkungan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Preston (1981) dalam Lindrianasari (2007), menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik dan melakukan pengungkapan yang tinggi memposisikan mereka sebagai perusahaan yang memiliki aktifitas yang berguna dan kualitas pengungkapan ini juga didorong legitimasi terhadap masyarakat. 27 Penelitian yang dilakukan oleh Al-Tuwijiri, Christensen, Hughes (2003) dalam Lindrianasari (2007), juga memberikan dukungan kepada penelitian yang mendukung teori yang menjelaskan bahwa kinerja lingkungan yang baik akan mendorong dilakukannya suatu pengungkapan yang baik pula. H. Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2003) pelaksanaan PROPER merupakan salah satu bentuk perwujudan transparansi dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia, dengan kata lain PROPER juga merupakan wujud dari demokratisasi dalam pengendalian dampak lingkungan. Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) merupakan salah satu upaya Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen informasi. Pelaksanaan program ini dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan berbagai stakeholder. Mulai dari tahapan penyusunan kriteria penilaian PROPER, pemilihan perusahaan, penentuan peringkat, sampai pada pengumuman peringkat kinerja kepada publik. Tujuan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut: 1. Mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 2. Meningkatkan komitmen perusahaan dan stakeholder lainnya dalam upaya pelestarian lingkungan. 28 3. Meningkatkan kesadaran para pelaku usaha/kegiatan untuk mentaati peraturan sebagai konsekuensi keuntungan yang diterimanya. 4. Meningkatkan pengendalian dampak lingkungan melalui peran aktif masyarakat. 5. Menekan dampak negatif kegiatan perusahaan terhadap lingkungan. Pelaksanaan PROPER diawali dengan pemilihan perusahaan peserta, di mana perusahaan yangmenjadi target peserta PROPER adalah perusahaan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, tercatat di pasar bursa, mempunyai produk yang beorientasi ekspor atau digunakan oleh masyarakat luas. Setelah peserta ditetapkan,kemudian dilakukan pengumpulan data swapantau dengan jalan mengevaluasi laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang disampaikan perusahaan. PROPER dilakukan melalui berbagai kegiatan yang diarahkan untuk: (i) mendorong perusahaan untuk menaati peraturan perundang-undangan melalui insentif dan disinsentifreputasi, dan (ii) mendorong perusahaan yang sudah baik kinerja lingkungannya untuk menerapkan produksi bersih (cleaner production). Penilaian Peringkat Kinerja Penaatan dalam Pengelolaan Lingkungan mulai dikembangkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup, sebagai salah satu alternatif instrumen penaatan sejak tahun 1995. Program ini pada awalnya dikenal dengan nama PROPER PROKASIH. Alternatif instrumen penaatan ini dilakukan melalui penyebaran informasi tingkat kinerja penaatan masing-masing perusahaan kepada stakeholder pada skala nasional. 29 Dasar hukum pelaksanaan PROPER adalah keptusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 127 Tahun 2002 tentang program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER). Diharapkan para stakeholder dapat menyikapi secara aktif informasi tingkat penaatan ini, dan mendorong perusahaan untuk lebih meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungannya. Dengan demikian, dampak lingkungan dari kegiatan perusahaan dapat diminimalisasi. Dengan kata lain, PROPER merupakan Public Disclosure Program for Environmental Compliance. Kunci keberhasilan pelaksanaan PROPER sangat bergantung pada peran aktif para stakeholder dalam menyikapi hasil peringkat kinerja masing-masing perusahaan. Peran aktif stakeholder ini sangat dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu kredibilitas lembaga pelaksana, efektivitas strategi komunikasi yang diterapkan, dan sinergisitas PROPER dengan program penaatan lainnya. Peringkat Proper dikelompokkan dalam 5 (lima) peringkat warna. Masingmasing peringkat warna dalam proper mencerminkan bagaimana kinerja perusahaan yang terdaftar dalam PROPER. Kinerja terbaik adalah peringkat yang ditandai warna emas dan diikuti dengan hijau, biru, merah dan hitam. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2008 tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berikut Merupakan indikator-indikator pemeringkatan dalam PROPER : 30 Tabel 2.1 Indikator Peringkat Emas Aspek Pencemaran Air Indikator 1. Mempunyai Program Kerja konservasi penggunaan air. 2. Melakukan audit penggunaan air secara berkala. 3. Mempunyai neraca penggunaan air untuk seluruh air yang digunakan. 4. Melakukan upaya recycle minimal 30% dari total air limbah yang dihasilkan berdasarkan baseline data. Pencemaran udara/energi 1. Mempunyai program konservasi energi dan pengurangan emisi udara. 2. Melakukan audit penggunaan energi dan pengenddalian emisi udara. 3. Mempunyai neraca penggunaan energi. 4. Melakukan kegiatan pengurangan emisi fugitive minimal 20% dari baseline data. 5. Melakukan kegiatan pengurangan penggunaanBPO (Bahan Perusak Ozon). 6. Melakukan kegiatan pengurangan GRK sebesar minimal 5% dari baseline data. 7. Melakukan efisiensi energi minimal 5% dari baseline data. Padat non B3 1. Mempunyai program 3R kegiatan pengolahan limbah non B3 2. Melakukan upaya 3R minimal 30% dari total limbah padat non B3 yang 31 berpotensi untuk dilakukan 3R berdasarkan database. Sistem Manajemen Lingkungan 1. Melakukan audit lingkungan secara keseluruhan berskala. 2. Memperoleh sertifikasi sistem manajemen. Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup Tabel 2.2 Indikator Peringkat Hijau Aspek Pencemaran Air Indikator 1. Melakukan audit penggunaan air 2. Mempunyai neraca penggunaan air untuk seluruh air yang digunakan. 3. Melakukan upaya 3R untuk air limbah minimal 20% dari total air limbah yang dihasilkan. 4. Melakukan upaya efisiensi Penggunaan air. Pencemaran udara/energi 1. Mempunyai program konservasi energi dan pengurangan energi dan penggunaan emisi udara. 2. Melakukan audit penggunaan energi dan pengendalian emisi udara. 3. Mempunyai neraca penggunaan energi. 4. Melakukan kegiatan pengurangan emisi fugitive minimal 2% dari baseline data. 5. Melakukan kegiatan pengurangan penggunaan BPO (Badan Perusak 6. Melakukan kegiatan pengurangan GRL minimal 3% 32 Limbah B3 Melakukan upaya 3R minimal 20% dari total limbah B3 yang dihasilkan oleh perusahaan dan berpotensi untuk dilakukan 3R selama periode penilaian. Padat Non B3 Melakukan upaya 3R total minimal 20% dari total limbah non B3 yang berpotensi untuk dilakukan 3R. System Manajemen Lingkungan 1. Melakukan audit lingkungan secara keseluruhan. 2. Memiliki sertifikasi system manajemen lingkungan (SML) oleh lembaga akreditasi atau lembaga lainnya. Community development 1. Memberikan bantuan ataupun sumbangan rutin untuk pelaksanaan kegiatan sosial kepada masyarakat disekitar lokasi. 2. Tidak memiliki permasalahan sosial dengan masyarakat sekitar. Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup Tabel 2.3 Indikator Peringkat Biru Aspek Air Indikator 1. 100% data pemantauan memenuhi BMAL (Baku Mutu Air Limbah). 2. Menyampaikan 100% data pemantauan yang dipersyaratkan. 3. Memenuhi seluruh ketentuan teknis lainnya yang di persyaratkan. 33 AMDAL Melakukan dan melaporkan pelaksanaan RLK/RPL atau UKL/UPL sesuai dengan ketentuan dan persyaratan AMDAL. Udara 1. Bagi sumber emisi yang berjumlah < 5 cerobong, semua cerobong harus dilakukan pemantauan. 2. Bagi sumber emisi yang berjumlah > 5 cerobong dapat dilakukan pemantau minimal 80% dari jumlah tolak cerobong. 3. Bagi yang memiliki baku mutu emisi spesifik semua paramater dipantau, sedangkan yang tidak memiliki baku mutu emisi spesifik dipilih 3 paramater dominant. 4. Menyampaikan 100% dara pemantauan yang dipersyaratkan. 5. 100% data pemantauan memenuhi BMUE yang dipersyaratkan. 6. Memenuhi seluruh ketentuan teknis lainnya yang dipersyaratkan. Limbah B3 1. Memenuhi > 90% ketentuan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilakukan sesuai denganizin dimiliki oleh perusahaan. 2. Kinerja PLB3 > 90% dari total LB3 yang dihasilkan yang tercatat dalam neraca limbah B3. 3. Telah menyelesaikan upaya clean up open dumping dan open burning dan atau upaya lanjut yang telah disetujui oleh KLH. 4. Melakukan upaya 3R. Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup 34 Tabel 2.4 Indikator Peringkat Merah Aspek AMDAL Indikator Melaksanakan <50% kegiatan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan dalam AMDAL. Air 1. <50% data pemantauan memenuhi BMAL yang dipersyaratkan. 2. Menyampaikan <50% data pemantauan yang dipersyaratkan 3. Memenuhi <50% ketentuan teknis lainnya yang dipersyaratkan. 1. Pemantauan dilakukan<3 cerobong 2. Bagi sumber emisi yang berjumlah >5 cerobong dilakukan pemantauan minimal <30% dari jumlah total cerobong. 3. Memantau 50% parameter dari baku mutu emisi spesifik dipantau <2 parameter yang dominant. 4. Menyampaikan <50% data pemantauan yang dipersyaratkan 5. <50% data pemantauan memenuhi BMEU yang dipersyaratkan. 6. Memenuhi <50% ketentuan teknis lainnya yang dipersyaratkan. Udara Limbah B3 1. Memenuhi <40% ketentuan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilakukan sesuai dengan izin yang dimiliki oleh perusahaan. 2. Kinerja PLB3<40% dari total limbah B3 yang dihasilkan yang tercatat dalam neraca LB3. 3. Sudah menghentikan open dumping dan open burning. 35 4. Tidak memiliki izin pengolahan limbah B3 dan atau menyerahkan limbah B3 ke pihak ke-3 yang tidak memiliki izin. 5. Telah melakukan usaha pengolahan limbah B3 ke pihak ke-3 yang tidak memiliki izin. Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup Tabel 2.5 Indikator Peringkat Hitam Aspek AMDAL Indikator Tidak memiliki AMDAL yang telah disetujui komisi AMDAL. Air 1. Air limbah yang dibuang kelingkungan > 500% BMAL dari 80% data yang wajib disampaikan sesuai dengan yang Dipersyaratkan 2. Tidak melakukan pemantauan air limbah sama sekali. 3. Melakukan by pass untuk pembuangan air limbah dengan sengaja. 4. Melakukan pemantauan emisi cerobong sama sekali. Udara 1. Tidak melakukan pemantauan emisi cerobong sama sekali. 2. 50% data pemantauan yang wajib disampaikan melebihi 50% BMEU. Limbah B3 Melakukan kegiatan open dumping dan open burning limbah B3 dengan sengaja secara langsung ke lingkungan dan tidak melakukan upaya sama sekali. Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup 36 I. Pengaruh Environmental Performance Terhadap Economic Performance Perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang meningkat maka kinerja ekonomi pada perusahaan tersebut akan meningkat. Hal ini dikarenakan suatu pandangan masyarakat mengenai perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan maka akan mempengaruhi perusahaan di mata calon investor, stakeholders dan masyarakat. Hal ini sangat menguntungkan bagi perusahaan yang mengakibatkan penjualan saham dan penjualan atas perusahaan itu sendiri meningkat. Namun perusahaan di Indonesia masih belum ada kesadaran akan pentingnya hal ini dan masih melihat teori lama yang menyatakan bahwa kinerja ekonomi akan meningkat dengan adanya kenaikan laba yang diperoleh oleh perusahaan, bukan hal-hal lain. seperti yang dikemukakan oleh Donovan dan Gibson (2000), dalam Ari (2010) menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi, salah satu argumentasi dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat kinerja sosial adalah ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan (manajemen) menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi tentang sukses keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan membaca “good news” kinerja perusahaan, misalnya dalam lingkup sosial, dan dengan demikian investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Sehingga kinerja ekonomi/profitabilitas yang diproksi dengan pendapatan per lembar saham menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap kinerja sosial. 37 Dengan demikian banyak peneliti yang ingin meneliti Pengaruh environmental performance terhadap economic performance banyak dilakukan. Namun hasil dari penelitian tersebut berbeda-beda. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Suratno dkk (2006), menunjukkan bahwa environmental performance berpengaruh secara positif signifikan terhadap economic performance, sebaliknya penelitian yang dilakukan Ari (2010) menunjukkan tidak adanya pengaruh environmental performance terhadap economic performance. H1 : Environmental performance berpengaruh terhadap economic performance J. Pengaruh Environmental Perfomance Terhadap Environmental Disclosure Perusahaan yang mengungkapkan lingkungan dengan baik, biasanya menunjukkan bahwa kinerja lingkungan yang dilakukannya memiliki aktifitas yang baik pula. Namun perusahaan-perusahaan di Indonesia masih melakukan pengungkapan yang sifatnya Voluntary dan belum memenuhi kewajiban yang bersifat Mandatory. Menurut Hasibuan (2005) dalam Ignatius dkk (2006), menemukan bahwa perusahaan di Indonesia yang termasuk dalam katagori perusahaan besar dan high profile cenderung lebih banyak mengungkapan kewajiban sosialnya daripada yang bukan perusahaan besar dan high profile. Perusahaan melakukan hal seperti ini dikarenakan sebuah berita baik mengenai perusahaan seperti kinerja lingkungan adalah suatu nilai tambah bagi 38 investor dan calon investor. Perusahaan yang memiliki good news yang baik cenderung akan meningkatkan environmental disclosure dalam laporan tahunannya (Ari 2010). Oleh karena itu manajemen perusahaan akan terdorong melakukan pengungkapan lingkungan dalam annual report nya sebagai tanggungjawab sosial perusahaan tersebut terhadap publik. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Preston (1981) dalam Lindrianasari (2007), menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik dan melakukan pengungkapan yang tinggi memposisikan mereka sebagai perusahaan yang memiliki aktifitas yang berguna dan kualitas pengungkapan ini juga didorong legitimasi terhadap masyarakat, yang memperlihatkan adanya hubungan yang positif antara kualitas pengungkapan lingkungan dengan kinerja lingkungan. Penelitian yang dilakukan Lindrianasari (2007) juga meperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara environmental performance dengan environmental disclosure. Namun sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Ingram dan Frazier (1980), Freedman dan Jaggi (1982), Wiseman (1982), Freedman dan Wasley (1990), Rockness (1985) dalam Ignatius dkk (2006), tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara environmental disclosure dengan environmental performance. Penelitian yang dilakukan Ari (2010) juga tidak menemukan adanya pengaruh antara enviromental performance dengan environmental disclosure. H2 : Environmental performance berpengaruh terhadap environmental disclosure 39 K. Pengaruh Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance Setiap perusahaan mempunyai caranya masing-masing dalam menungkapkan kinerja perusahaannya. Ada yang bersedia mengungkapkan semua nya ke publik dan ada yang tidak bersedia. Karena beberapa perusahaan tidak semuanya berfikir bahwa pengungkapan secara sukarela dapat meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan. namun banyak perusahaan yang beranggapan bahwa ketika perusahaan mengungkapkan hal-hal selain laporan keuangan, mempunyai nilai tersendiri bagi calon investor, investor dan masyarakat. Perusahaan dengan pengungkapan lingkungan yang tinggi dalam laporan keuangannya akan lebih dapat diandalkan, laporan keuangan yang handal tersebut akan berpengaruh secara positif terhadap economic performance, di mana investor akan merespon secara positif dengan fluktuasi harga saham yang semakin tinggi, begitu pula sebaliknya, jika pengungkapan lingkungan suatu perusahaan rendah, maka investor akan merespon secara negatif dengan fluktuasi harga saham yang semakin menurun dari tahun ke tahun (Adi 2011). Ada dua variabel kunci yang digunakan sebagai ukuran yang menghubungkan antara reputasi tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja ekonominya, yaitu tingkat kemampuan menciptakan pendapatan melalui penjualan dan tingkat kemampuan menciptakan laba (Belkaoui dan Karpik; Sulastri 2003 dalam Ari 2010). Environmental disclosure menyajikan besarnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Sesuai dengan teori stakeholder besarnya informasi keuangan lingkungan yang diungkapkan perusahaan akan berpengaruh terhadap 40 stakeholder sehingga berakibat pada harga saham dan mempengaruhi return tahunan perusahaan. Return tahunan merupakan ukuran yang obyektif dan komprehensif dalam mewakili economic performance (Al Tuwaijri 2003 dalam Ari 2010). Richardson et. al. (2001) dalam Lindrianasari (2007) melakukan observasi terhadap pengungkapan sosial perusahaaan dan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan lingkungan. Pengungkapan yang dilakukan perusahaan akan semakin baik jika profitabilitas perusahaan semakin meningkat. Dalam penelitian Adi (2011) dan Ari (2010), mengemukakan bahwa environmental disclosure berpengaruh negatif terhadap kinerja ekonomi walaupun tidak signifikan. Perbedaan yang terdapat pada penelitian-penelitian tersebut, maka peneliti akan menguji pengungkapan lingkungan apakah mempengaruhi kinerja ekonomi pada sektor dan tahun yang berbeda. H3 : Environmental disclosure berpengaruh terhadap economic performance 41 L. Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah ringkasan peneliti terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian : Tabel 2.6 Penelitian Terdahulu No. Peneliti Terdahulu 1. Suratno dkk (2006) Variabel Environmental Performance, environmental disclosure, economic performance Analisis Analisis Regresi Berganda 2. Environmental performance, environmental disclosure, economic performance, Analisis Regresi Berganda Almalia dan Wijayanto (2007) Hasil Environment al performance berpengaruh secara positif signifikan terhadap environment al disclosure. Environment al performance berpengaruh secara positif signifikan terhadap economic performance Environment al Disclosure berpengaruh signifikan terhadap 42 3. Lindrianasari (2007) predetermined variable. Environmental Performance, environmental disclosure, economic performance. Analisis Regresi Sederhana. 4. Maharani (2013) Kinerja lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan, partisipasi dalam proper, kinerja finansial. Analisis regresi Sederhana dan regresi berganda. economic performance Terdapat hubungan yang positif signifikan antara kualitas pengungkap an lingkungan dengan kinerja lingkungan. Terdapat hubungan yang positif antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan. Kinerja lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja finansial. Kinerja lingkungan berpengaruh positif yang signifikan terhadap CSR disclosure. 43 5. Primadyani (2013) Pengungkapan corporate sosial responsibility, good corporate governance, nilai perusahaan. Analisis statistik deskirptif. 6. Pratiwi dan putra (2012) economic performance, environmental performance, corporate social Analisis Regresi Berganda. CSR disclosure memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja finansial perusahaan. CSR disclosure dapat berfungsi sebagai variabel intervening dalam pengaruh langsung maupun tidak langsung kinerja lingkungan terhadap kinerja finansial. Pengungkap aan CSR berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Corporate Governance Disclosure berpengaruh pada kinerja 44 responsibility disclosure. 7. Angela Dirman (2013) Value Based Management, pengungkapan corporate social responsibility, nilai perusahaan. Analisis Regresi Berganda 8. Monica Selvia Maharani (2013) Kinerja lingkungan, CSR, Kinerja finansial Analisis Regresi Berganda perusahaan perbankan yang diproksikan dengan PBV. EVA dan CSR memiliki pengaruh signifikan bersamasama terhadap nilai perusahaan. EVA dan CSR berhubungan positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Kinerja Lingkungan berpengaruh terhadap kinerja finansial. CSR berpengaruh terhadap kinerja finansial. CSR dapat sebagai variabel intervening antara kinerja lingkungan dengan 45 9. Ari Retno Handayani (2010) Environmental performance, environmental disclosure, economic performance. Analisis Regresi Berganda kinerja finansial. Environment al performance tidak berpegaruh terhadap environment al disclosure Environment al performance tidak berpengaruh terhadap economic performance Environment al disclosure tidak berpengaruh terhadap economic performance M. Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dan penelitian terdahulu, maka peneliti akan merumuskan penelitian ini dengan merumuskan kerangka pemikiran sebagai berikut: 46 Environmental Disclosure (Intervening) H3 H2 Environmental Performance X Economic Performance H1 Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Y