BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)
Legitimasi merupakan keadaan dimana berbagai pihak atau sekelompok orang
yang sangat peka dengan apa yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, baik fisik
maupun non fisik. Menurut O’Donovan dalam Nor (2011), berpendapat bahwa
legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat
kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari
masyarakat.
Perubahan nilai dan norma sosial dalam masyarakat sebagai konsekuensi
perkembangan peradaban manusia, juga menjadi motivator perubahan legitimasi
perusahaan disamping juga dapat menjadi tekanan bagi legitimasi perusahaan
(Lindblom 1994 dalam Nor 2011).
Gray et al (1996) dalam Nor (2011), berpendapat bahwa legitimasi merupakan
“ ... a system-oriented view of organization and society...permits us to focus on the
role of information and disclosure in the relationship between organisations, the
state, individuals and group”.
Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa legitimasi merupakan sistem
pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat
(society), pemerintah, individu dan kelompok masyarakat.
7
8
Dalam Imam Anis dkk (2007), Dowling dan Pfeffer (1975) memberikan
alasan yang logis mengenai legitimasi organisasi dimana mereka mengatakan
sebagai berikut :
“Organisasi berusaha menciptakan keselarasan antara nilai-nilai sosial yang
melekat pada kegiatannya dengan norma-norma perilaku yang ada dalam sistem
sosial masyarakat dimana organisasi adalah bagian dari sistem tersebut. Selama
kedua sistem nilai tersebut selaras, kita dapat melihat hal tersebut sebagai
legitimasi perusahaan. ketika ketidakselarasan aktual potensial terjadi diantara
kedua sistem nilai tersebut, maka akan ada ancaman terhadap legitimasi
perusahaan.”
Dalam teori legitimasi organisasional, Tilling (2005) dalam Ari (2010)
menyebutkan bahwa perusahaan berada dalam satu di antara empat fase terkait
legitimasinya. Empat fase tersebut adalah:
1. Membangun Legitimasi
Fase ini merepresentasikan tahap awal pengembangan legitimasi oleh
perusahaan dan cenderung rawan terkena isu, terutama dalam aspek financial,
namun perusahaan harus waspada terhadap “standar yang terbentuk secara
sosial dan kualitas kinerja yang diharapkan sesuai atandar professional”.
2. Menjaga legitimasi
Ini adalah fase dimana sebagian besar perusahaan beroperasi. Menjaga
legitimasi tidak semudah penampakannya. Legitimasi adalah konstruk
dinamis. “pengharapan masyarakat tidak statis, sering kali berubah sejalan
waktu dan membuat perusahaan harus responsif terhadap lingkungan tempat
beroperasi”.
3. Memperluas Legitimasi
9
Fase ini adalah fase ketika perusahaan memasuki pasar baru atau ada
perubahan di pasar yang ada sekarang.
4. Mempertahankan Legitimasi
Legitimasi dapat terancam karena adanya insiden dan karenanya perlu untuk
dipertahankan. Hal ini terjadi pada perusahaan-perusahaaan yang bergerak di
bidang tambang.
Teori Legitimasi dan Teori Stakeholder merupakan perspektif teori yang
berada dalam kerangka teori ekonomi politik. Karena pengaruh masyarakat luas,
dapat menentukan alokasi sumber keuangan dan sumber ekonomi lainnya,
perusahaan
cenderung
menggunakan
kinerja
berbasis
lingkungan
dan
pengungkapan informasi lingkungan untuk membenarkan atau melegitimasi
aktivitas perusahaan dimata masyarakat (Gary et al 1994, dalam Imam Anis dkk
2007 ).
Legitimasi mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran masyarakat dan
lingkungan, perusahaan harus dapat menyesuaikan perubahan tersebut baik dalam
hal produk, metode, dan tujuan. Deegan, Robin dan Tobin (2002) dalam Hadi
(2011), menyatakan legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian
antara keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai dengan eksistensi
sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran
yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat
terancam.
10
Menurut Pattern (1992) dalam Nor (2011) menyatakan bahwa upaya yang
perlu dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mengelola legitimasi agar efektif,
yaitu dengan cara:
1. Melakukan identifikasi dan komunikasi/dialog dengan publik.
2. Melakukan
komunikasi
dialog
tentang
masalah
nilai
sosial
kemasyarakatan dan lingkungan, serta membangun persepsinya tentang
perusahaan.
3. Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait dengan
masalah tanggungjawab sosial (social responsibility).
Carrol, A dan Buchholtz, A (2003) dalam Nor (2011) menyatakan
perkembangan tingkat kesadaran dan peradaban masyarakat membuka peluang
meningkatnya tuntutan terhadap kesadaran kesehatan lingkungan. Legitimasi
perusahaan dimata stakeholder dapat dilakukan dengan integritas pelaksanaan
etika dalam berbisnis serta meningkatkan tanggungjawab sosial perusahaan
(social responsibility).
Hasil Survei “The Millenium Poll on CSR” (1999) yang dilakukan oleh
Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of
Wales Business Leader Forum (London) dalam Hadi (2011), diantara 25.000
responden di 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini dan
legitimasi perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik sehat
terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, tanggungjawab sosial
perusahaan (CSR) paling berperan dalam meningkatkan legitimasi, 40%
11
responden menyatakan citra perusahaan & brand image mempengaruhi kesan
mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opini bahwa faktor-faktor bisnis fundamental
seperti faktor finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen
mendasari legitimasi Stakeholder.
Dari hasil survey yang dilakukan dan beberapa pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli dapat dilihat bahwa legitimasi perusahaan merupakan faktor
signifikan untuk mendukung citra dan reputasi perusahaan dimata stakeholder.
B. Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)
Menurut Imam Anis dkk (2007), Teori Stakeholder menyatakan bahwa
perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri,
tetapi juga harus memberikan manfaat bagi para stakeholder. Untuk itu, tanggung
jawab perusahaan yang semula hanya diukur pada indikator ekonomi dalam
laporan keuangan, kini bergeser dengan menghitungkan faktor-faktor sosial
terhadap Stakeholder, baik internal maupun eksternal. Dimana pihak internal
maupun eksternal tersebut adalah pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat
sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan
sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum
minoritas dan lain sebagainya yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan
dipengaruhi perusahaan (Hadi, 2011).
Grey et al. dalam Dirman (2013) mengemukan bahwa teori stakeholder
mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan memerlukan dukungan stakeholder.
Semakin kuat stakeholders, maka perusahaan harus semakin beradaptasi dengan
12
stakeholders. Pengungkapan sosial kemudian dipandang sebagai dialog antara
perusahaan dengan stakeholder.
Stakeholder Theory menyatakan bahwa semua stakeholder mempunyai hak
memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan mereka (Nuraini 2008).
Timbulnya Stakeholder theory didasari oleh suatu keadaan (hukum) yang
mengutamakan kepentingan pemegang saham dan sebaliknya, menomorduakan
kepentingan pemasok, pelanggan, karyawan dan masyarakat sekitar. Terdapat dua
aspek penting yang dikemukakan stakeholder theory yaitu aspek utama adalah
hak. Hak pada dasarnya menghendaki bahwa perusahaan dan manajernya tidak
boleh melanggar hak dan menentukan masa depan pihak lain (stakeholder).
Sedangkan aspek yang kedua adalah akibat. Diharapkan perusahaan dapat
bertanggung jawab atas apa yang di akibatkan perusahaan tersebut.
Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan
untuk memepengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan
perusahaan. oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya
power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut (Imam Anis dkk 2007).
Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber
ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang
berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk
mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan
(Deegan 2000, dalam Ghozali dan Chariri 2007).
13
Menurut P. Robbins & Mary Coulter (1999) dalam Angela (2013), pada
pendekatan Stakeholder, organisasi memilih untuk menanggapi banyak tuntutan
yang dibuat oleh para pihak yang berkepentingan yaitu setiap kelompok dalam
lingkungan luar organisasi tersebut yang terkena tindakan serta keputusan
organisasi. Organisasi akan berusaha untuk memenuhi tuntutan lingkungan dari
kelompok-kelompok seperti karyawan, pemasok, investor serta masyarakat. Jika
tekanan dari stakeholder sangat kuat dan berpengaruh terhadap kontinuitas dan
kinerja perusahaan, maka perusahaan harus bisa menyusun kebijakan dan
program-program kebijakan sosial dan lingkungan yang terarah dan terintegrasi.
Ada beberapa alasan yang mendorong perusahan perlu memperhatikan
kepentingan stakeholders, yaitu :
1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam
masyarakat yang dapat menganggu kualitas hidup mereka.
2. Dalam
era
globalisasi
telah
mendorong
produk-produk
yang
diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan.
3. LSM dan pecinta lingkungan makin kritis dalam mengkritik perusahaanperusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan.
Teori Stakeholder menjelaskan bagaimana perusahaan perlu memperhatikan
apa yang menjadi tanggung jawabnya sehingga dalam menjalankan usaha yang
dilakukannya apakah berdampak positif atau negatif. Perusahaan perlu menjaga
legitimasi stakeholder serta mendudukkannya dalam kerangka kebijakan dan
14
pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung dalam pencapaian tujuan
perusahaan, yaitu stabilitas usaha.
Perusahaan juga hendaknya menjaga reputasi perusahaan yaitu dengan
menggeser pola orientasi (tujuan) yang semula semata-mata diukur dengan
economic measurement yang cenderung shareholder orientation, ke arah
memperhitungkan faktor sosial sebagai wujud kepedulian dan keberpihakan
terhadap masalah sosial kemasyarakatan (Nor 2011).
C. Teori Sinyal (Signalling Theory)
Menurut Prasetyaningrum (2008) dalam Anniza (2013), teori sinyal
menjelaskan mengapa perusahan memiliki dorongan untuk memberikan laporan
keuangan kepada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan
informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara manajemen perusahaan
dan pihak luar.
Signalling Theory menurut Brigham dan Houstan (2001) dalam Angela (2013)
merupakan suatu tindakan yang dipilih manajemen perusahaan yang memberi
petunjuk bagi investor mengenai bagaimana manajemen memandang prospek
perusahaan.
Informasi yang disampaikan oleh pasar atau diterima oleh pasar merupakan
sebuah sinyal yang dapat bermakna positif atau negatif, tergantung preferensi atas
sinyal tersebut. Informasi jika dilihat dalam konteks sinyal dapat meningkatkan
reputasi perusahaan, sehingga sinyal merupakan biaya untuk mendapatkan return
(tingkat keuntungan) yang diharapan perusahaan. Salah satu corporate action
15
yang merupakan informasi sekaligus tanda sinyal adalah perusahaan yang
mengumumkan aktivitas CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan
(Roida 2008, dalam Anniza 2013).
Signalling
Theory
menekankan
bahwa
perusahaan
pelapor
dapat
meningkatkan nilai perusahaan melalui perusahaan melalui pelaporannya. Jika
perusahaan gagal dalam menyajikan informasi yang lebih, maka para stakeholder
hanya akan menilai perusahaan sebagai perusahaan rata-rata sama dengan
perusahaan-perusahaan yang tidak mengungkapkan laporan tambahan (Drever et
al. 2007, dalam Anniza 2013).
Menurut Jogiyanto (2000) dalam Monica (2013), Sinyal dapat berupa promosi
atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik
daripada perusahaan lain.
Menurut konsep signalling theory dalam Wirakusuma dan Yuniasih (2007)
menyatakan bahwa perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pihak luar
perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. selain informasi
keuangan yang diwajibkan, perusahaan juga melakukan pengungkapan yang
sifatnya sukarela. Maka perusahaan yang melakukan hal positif seperti selalu
meningkatkan kinerja perusahan, memperhatikan lingkungan internal maupun
eksternal akan mendapatkan sinyal yang positif dari masyarakat maupun Investor
dengan adanya laporan tahunan dan laporan tahunan yang diungkapkan.
16
D. Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya
Akuntansi
lingkungan
merupakan
istilah
yang
berkaitan
dengan
dimasukkannya biaya lingkungan (environmental cost) ke dalam praktek
akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah.
Akuntansi lingkungan dapat didefinisikan sebagai pencegahan, pengurangan,
dan atau penghindaran dampak terhadap lingkungan, bergerak dari berbagai
kesempatan, dimulai dari perbaikan kembali kejadian-kejadian yang menimbulkan
bencana atas kegiatan-kegiatan tersebut (Arfan 2008).
Menurut Badan perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United states
Environment Protection Agency (US EPA) dalam Arfan (2008), akuntansi
lingkungan adalah:
“Suatu fungsi penting tentang akuntansi lingkungan adalah untuk
menggambarkan biaya-biaya lingkungan supaya diperhatikan oleh para
stakeholders perusahaan yang mampu mendorong dalam pengidentifikasian caracara mengurangi atau menghindari biaya-biaya ketika pada waktu yang bersamaan
sedang memperbaiki kualitas lingkungan”.
Badan Perlindungan Amerika Serikat atau United States Environmental
Protection Agency dalam Arfan (2008), menambahkan lagi bahwa istilah
akuntansi lingkungan dibagi menjadi dua dimensi utama. Pertama, akuntansi
lingkungan merupakan biaya yang secara langsung berdampak pada perusahaan
secara menyeluruh. Kedua, akuntansi lingkungan juga meliputi biaya-biaya
individu, masyarakat maupun lingkungan suatu perusahaan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan.
Akuntansi lingkungan merupakan suatu bidang yang terus berkembang dalam
mengidentifikasi pengukuran-pengukuran dan mengomunikasikan biaya-biaya
17
aktual perusahaan atau dampak potensial lingkungannya. Biaya ini meliputi biayabiaya pembersihan atau perbaikan tempat-tempat yang terkontaminasi, biaya
pelestarian lingkungan, biaya hukuman dan pajak, biaya pencegahan polusi
teknologi dan biaya manajemen pemborosan.
Dalam akuntansi lingkungan, terdapat beberapa komponen pembiayaan yang
harus dihitung, misalnya: (1) Biaya operasional bisnis yang terdiri dari biaya
depresiasi fasilitas lingkungan, biaya memperbaiki fasilitas lingkungan, jasa atau
fee kontrak untuk menjalankan kegiatan pengelolaan lingkungan, biaya tenaga
kerja untuk menjalankan operasionalisasi fasilitas pengelolaan lingkungan, serta
biaya kontrak untuk pengelolaan limbah (recycling); (2) biaya daur ulang limbah;
(3) Biaya penelitian dan pengembangan (litbang) yang terdiri dari biaya total
untuk material, tenaga ahli, dan tenaga kerja lain untuk pengembangan material
yang ramah lingkungan, produk dan fasilitas pabrik (Halim 1999, dalam Ari
2010).
Latar belakang pentingnya akuntansi lingkungan pada dasarnya menuntut
kesadaran penuh perusahaan-perusahaan maupun organisasi lainnya yang telah
mengambil manfaat dari lingkungan. Manfaat dari lingkungan tersebut dapat
berdampak pada majunya perusahaan atau bisnis yang dijalankan. Oleh karena itu,
penting bagi perusahaan untuk meningkatkan usaha dalam mempertimbangkan
konservasi lingkungan secara berkelanjutan.
Menurut Lindrianasari (2007), aktivitas yang dapat dilakukan sehubungan
dengan konservasi lingkungan adalah:
18
1. Konservasi terhadap kondisi yang berpengaruh terhadap kesehatan
makhluk hidup dan lingkungan hidup yang berasal dari polusi udara,
polusi air, pencemaran tanah, kebisingan, getaran, bau busuk dan lain
sebagainya.
2. Konservasi terhadap kondisi yang berpengaruh secara menyeluruh seperti
pemanasan global, penipisan lapisan ozon, serta pencemaran air laut.
3.
Konservasi terhadap sumber daya (termasuk air). Konservasi ini dapat
dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan bahan kimia yang dapat
mencemari lingkungan, mengendalikan sampah dari kegiatan produksi
perusahaan, penggunaan material dari hasil daur ulang dan lain
sebagainya.
4. Konservasi lain yang berhubungan.
Menurut Arfan (2008), maksud dan tujuan dikembangkannya akuntansi
lingkungan antara lain meliputi:
1. Akuntansi lingkungan merupakan sebuah alat manajemen lingkungan.
Sebagai alat manajemen, akuntansi lingkungan digunakan untuk menilai
keefektifan kegiatan konservasi berdasarkan ringkasan dan klasifikasi
biaya konservasi lingkungan.
2. Akuntansi lingkungan sebagai alat komunikasi dengan masyarakat.
Sebagai alat komunikasi dengan publik, akuntansi lingkungan digunakan
untuk menyampaikan dampak negatif lingkungan, kegiatan konservasi
lingkungan dan hasilnya kepada publik.
19
Menurut Arfan (2008), ada beberapa alasan kenapa perusahaan perlu untuk
mempertimbangkan pengadopsian akuntansi lingkungan sebagai bagian dari
sistem akuntansi perusahaan, antara lain :
1. Memungkinkan secara signifikan mengurangi dan menghapus biaya-biaya
lingkungan.
2. Biaya dan manfaat lingkungan mungkin kelihatannya melebihi jumlah nilai
rekening/akun.
3. Memungkinkan pendapatan yang dihasilkan dari biaya-biaya lingkungan.
4. Memperbaiki kinerja lingkungan perusahaaan yang selama ini mungkiin
mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan keberhasilan
bisnis perusahaan.
5. Diharapkan menghasilkan biaya atau harga yang lebih akurat terhadap produk
dari proses lingkungan yang diinginkan.
6. Memungkinkan keuntungan yang lebih bersaing sebagaimana pelanggan
mengharapkan produk/jasa lingkungan yang lebih bersahabat.
7. Dapat mendukung pengembangan dan jalannya sistem manajemen lingkungan
yang menghendaki aturan untuk beberapa jenis perusahaan.
Banyaknya perhatian mengenai persoalan lingkungan menjadi penting bagi
perusahaan untuk mempertimbangkan dalam mengungkapkan informasi akuntansi
lingkungan yang dibuat dan dipublikasikan.
Pengungkapan dalam akuntansi lingkungan merupakan jenis pengungkapan
sukarela.
Pengungkapan akuntansi
lingkungan
merupakan pengungkapan
20
informasi data akuntansi lingkungan dari sudut pandang fungsi internal akuntansi
lingkungan itu sendiri yaitu berupa laporan akuntansi lingkungan.
Tujuan dari pentingnya pengungkapan akuntansi lingkungan berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan konservasi lingkungan oleh perusahaan maupun organisasi
lainnya yaitu mencakup kepentingan organisasi publik dan perusahaanperusahaan publik yang bersifat lokal. Pengungkapan ini penting terutama bagi
para stakeholders untuk dipahami, dievaluasi dan dianalisis sehingga dapat
memberi dukungan bagi usaha mereka.
Laporan tersebut harus didasarkan pada situasi aktual pada suatu perusahaan
atau organisasi lainnya. Data aktual diungkapkan ditentukan oleh perusahaan
sendiri atau organisasi lainnya. Oleh karena itu diperlukan ketika pegungkapan
data eksternal akuntansi lingkungan untuk mengklarifikasi prasarat dari
pengungkapan data, supaya stakehoders memperoleh pemahaman konsistensi dari
data akuntansi lingkungan.
Selain itu tujuan dari pengungkapan tersebut adalah untuk menyediakan
informasi yang dapat digunakan oleh para investor maupun stakeholders untuk
mengevaluasi perilaku perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Pengungkapan
lingkungan biasanya dipublikasikan kepada publik dalam laporan tahunan
perusahaan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) secara implisit menjelaskan bahwa
laporan tahunan harus mengakomodasi kepentingan para pengambil keputusan.
Hal ini tertuang dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1
tahun 2004, paragraph sembilan :
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan
mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement),
21
khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang
peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok
pengguna laporan yang memegang peranan penting”.
Menurut Arfan (2008), pengumpulan hasil dari akuntansi lingkungan,
perusahaan atau organisasi lainnya akan mempersiapkan suatu ringkasan dan
keutamaan hasil dari kegiatan konservasi lingkungan, suatu penjelasan dari
kumpulan hasil dari akuntansi lingkungan (termasuk evaluasi dari besar dan
kecilnya figur dan alasan-alasan untuk meningkatkan atau menurunkan dalam
perbandingan dengan periode sebelumnya), dan kebijakan yang diaktifkan
mengenai masa depan kegiatan konservasi lingkungan.
Pada tahun 1999 Badan lingkungan Hidup Jepang (The Environmental
Agency) yang kemudian berubah menjadi Kementrian Lingkungan Hidup
mengeluarkan panduan akuntansi lingkungan pada bulan Mei tahun 2000.
Panduan ini kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2002 dan 2005. Panduan
yang dibuat diharapkan mampu menjamin pengungkapan informasi yang diambil
ketika mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dari berbagai stakeholders
(Arfan 2008).
E. Environmental Disclosure (Pengungkapan Lingkungan)
Environmental disclosure adalah pengungkapan informasi yang berkaitan
dengan lingkungan di dalam laporan tahunan perusahaan. Pada umumnya terdapat
pada bagian terpisah pada Sustainability Report atau tercantum dalam Annual
Report.
22
Bethelot (2002), dalam Al Tuwaijri (2004), dalam Ari (2010) mendefinisikan
environmental disclosure sebagai kumpulan informasi yang berhubungan dengan
aktivitas pengelolaan lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang dan yang
akan datang.
Imam Anis dkk (2007) berpendapat bahwa perusahaan akan mengungkapkan
semua informasi yang diperlukan dalam rangka berjalannya fungsi pasar modal.
Pendukung pendapat tersebut menyatakan bahwa jika suatu informasi tidak
diungkapkan hal ini disebabkan informasi tersebut tidak relevan bagi investor atau
informasi tersebut telah tersedia di tempat lain.
Gray (1993) dalam Lindrianasari (2007) menjelaskan bahwa pengungkapan
lingkungan merupakan bagian dari pengungkapan laporan keuangan. Dia juga
menjelaskan bahwa ada banyak studi yang menguji lebih lanjut informasi sosial
yang dihasilkan oleh perusahaan dan menemukan bahwa informasi lingkungan
merupakan salah satu bagian dari informasi tersebut. Lebih jauh Gray menyatakan
pengungkapan lingkungan merupakan bagian penting dari suatu laporan keuangan
perusahaan.
Pengungkapan secara umum terbagi atas dua jenis yaitu, Voluntary disclosure
dan mandatory disclosure. Voluntary disclosure adalah pengungkapan berbagai
informasi yang berkaitan dengan aktivitas/keadaan perusahaan secara sukarela.
Meski pada kenyataannya pengungkapan secara sukarela tidak benar-benar terjadi
karena terdapat kecenderungan bagi perusahaan untuk menyimpan dengan sengaja
informasi yang sifatnya dapat menurunkan arus kas (Nuraini 2008).
23
Tiga konsep pengungkapan yang umum diusulkan (Hendriksen dan Breda,
2000) dalam Ari (2010) adalah :
1. Adequate disclosure (pengungkapan yang cukup), pengungkapan ini mencakup
pengungkapan minimal yang harus dilakukan agar laporan keuangan tidak
menyesatkan. Pengungkapan ini yang paling umum digunakan.
2. Fair Disclosure (pengungkapan yang wajar), pengungkapan ini secara wajar
menunjukkan tujuan etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama dan
bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan.
3. Full Disclosure (pengungkapan yang lengkap), pengungkapan yang
mensyaratkan perlunya penyajian semua informasi yang relevan. Namun bagi
beberapa pihak, pengungkapan yang lengkap diartikan sebagai penyajian
informasi yang berlebihan, sehingga tidak bias dikatakan layak.
Di Amerika, SEC bertanggungjawab pada masalah tingkat pengungkapan
sedangkan format pengungkapan menjadi tugas FASB. Sedangkan di Indonesia
yang memiliki otoritas pengungkapan mandatory (wajib) adalah BAPEPAM.
F. Economic Performance (Kinerja Ekonomi)
Menurut Suratno dkk (2006), economic performance adalah kinerja ekonomi
secara makro dari sekumpulan perusahaan dalam suatu industri. Pengukuran
kinerja ekonomi dapat dihitung menurut accounting based measures maupun
24
capital market based. Pada accounting based measures dapat menggunakan
analisis rasio keuangan sebagai pengukuran secara financial.
Menurut Guthrie dan Parker (1989) dalam Ja’far dan Arifah (2006), Economic
performance adalah kinerja perusahaan-perusahaan secara relatif dalam suatu
industri yang sama yang ditandai dengan return tahunan industri yang
bersangkutan. Hubungan antara environmental disclosure dengan kinerja
keuangan sangat lemah.
Menurut Desak Made dan I Gde (2012), Kinerja ekonomi adalah suatu usaha
formal yang dilaksanakan perusahaan untuk mengevaluasi efisien dan efektivitas
dari aktivitas keuangan perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode waktu.
Kinerja ekonomi dapat diukur dari laporan keuangan perusahaan (financial
reports) yang dikeluarkan secara periodik yang memberikan suatu gambaran
tentang posisi keuangan perusahaan. Informasi yang terkandung dalam laporan
keuangan digunakan oleh investor untuk memperoleh perkiraan tentang laba dan
dividen di masa mendatang dan resiko atas penilaian tersebut. Rasio keuangan
yang digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi yaitu rasio likuiditas, aktivitas,
solvabilitas dan profitabilitas (Hanafi 2004, dalam Desak Made dan I Gde 2012).
G. Environmental Performance (Kinerja Lingkungan)
Menurut Suratno dkk (2006), Environmental Performance adalah kinerja
perusahaan dalam menciptakan lingkungan yang baik (green). Environmental
performance dapat diukur dengan melihat prestasi sebuah perusahaan yang
terdaftar dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) yang
25
dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup secara rutin untuk mendorong
perusahaan agar memperhatikan lingkungan dan mengelola lingkungan dengan
baik.
Barry dan Rondinelly (1998) dalam Monica (2013) menyatakan ada beberapa
faktor yang mendorong perusahaan untuk melakukan tindakan manajemen
lingkungan, yaitu :
1. Regulator Demand
Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan muncul sejak 30 tahun
terakhir. Setalah masyarakat meningkatkan tekanannya kepada pemerintah untuk
menetapkan peraturan pemerintah sebagai dampak meluasnya polusi. Sistem
pengawasan manajemen lingkungan menjadi dasar untuk skor ingkungan, seperti
program-program kesehatan dan keamanan lingkungan. Perusahaan merasa
penting utnutk mendapatkan penghargaan di bidang lingkungan, dengan berusaha
menerapkan prinsip-prinsip TQEM secara efektif, misalnya dengan penggunaan
teknologi pengontrol polisi melalui penggunaan clean technology.
2. Cost Factory
Adanya komplain terhadap produk-produk perusahaan, akan membawa
konsekuensi munculnya biaya pengawasan kualitas yang tinggi, karena semua
aktivitas yang terlibat dalam proses produksi perlu dipersiapkan dengan baik.
Konsekuensi perusahaan untuk mengurangi polusi juga berdampak pada
munculnya berbagai biaya, seperti penyediaan pengolahan limbah, penggunaan
mesin yang clean technology dan biaya pencegahan kebersihan.
26
3. Competitive Reqruitment
Semakin berkembangnya pasar global dan munculnya berbagai kesepakatan
perdagangan
sangat
berpengaruh
pada
munculnya
gerakan
standarisasi
manajemen kualitas lingkungan. Persaingan nasional maupun internasional telah
menuntut perusahaan untuk dapat mendapatkan jaminan dibidang kualitas, antara
lain seri ISO 9000. Sedangkan untuk seri ISO 14000 dominan untuk standar
internasional dalam sistem manajemen lingkungan. Untuk mencapai keunggulan
dalam persaingan, dapat dilakukan dengan menerapkan green alliance (Hartman
dan Stanford, 1995). Green alliance merupakan partner diantara pelaku bisnis dan
kelompok
lingkungan
untuk
mengintegrasikan
anatara
tanggung
jawab
lingkungan perusahaan dengan tujuan pasar.
Selama ini pengukuran terhadap kinerja lingkungan masih belum tercapai
kesepakatan final. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki cara pengukuran
sendiri tergantung situasi dan kondisi lingkungan negara masing-masing. Di
Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup telah menerapkan PROPER sebagai
alat untuk meningkatkan kinerja lingkungan perusahaan-perusahaan yang ada di
Indonesia.
Preston (1981) dalam Lindrianasari (2007), menyatakan bahwa perusahaan
yang memiliki kinerja lingkungan yang baik dan melakukan pengungkapan yang
tinggi memposisikan mereka sebagai perusahaan yang memiliki aktifitas yang
berguna dan kualitas pengungkapan ini juga didorong legitimasi terhadap
masyarakat.
27
Penelitian yang dilakukan oleh Al-Tuwijiri, Christensen, Hughes (2003)
dalam Lindrianasari (2007), juga memberikan dukungan kepada penelitian yang
mendukung teori yang menjelaskan bahwa kinerja lingkungan yang baik akan
mendorong dilakukannya suatu pengungkapan yang baik pula.
H. Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER)
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2003) pelaksanaan PROPER
merupakan salah satu bentuk perwujudan transparansi dan pelibatan masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia, dengan kata lain PROPER juga
merupakan wujud dari demokratisasi dalam pengendalian dampak lingkungan.
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) merupakan salah
satu upaya Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk mendorong penaatan
perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen informasi.
Pelaksanaan program ini dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan
berbagai stakeholder. Mulai dari tahapan penyusunan kriteria penilaian PROPER,
pemilihan perusahaan, penentuan peringkat, sampai pada pengumuman peringkat
kinerja kepada publik.
Tujuan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:
1. Mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
2. Meningkatkan komitmen perusahaan dan stakeholder lainnya dalam upaya
pelestarian lingkungan.
28
3. Meningkatkan kesadaran para pelaku usaha/kegiatan untuk mentaati peraturan
sebagai konsekuensi keuntungan yang diterimanya.
4. Meningkatkan pengendalian dampak lingkungan melalui peran aktif
masyarakat.
5. Menekan dampak negatif kegiatan perusahaan terhadap lingkungan.
Pelaksanaan PROPER diawali dengan pemilihan perusahaan peserta, di mana
perusahaan yangmenjadi target peserta PROPER adalah perusahaan yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, tercatat di pasar bursa,
mempunyai produk yang beorientasi ekspor atau digunakan oleh masyarakat luas.
Setelah peserta ditetapkan,kemudian dilakukan pengumpulan data swapantau
dengan jalan mengevaluasi laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang
disampaikan perusahaan.
PROPER dilakukan melalui berbagai kegiatan yang diarahkan untuk: (i)
mendorong perusahaan untuk menaati peraturan perundang-undangan melalui
insentif dan disinsentifreputasi, dan (ii) mendorong perusahaan yang sudah baik
kinerja lingkungannya untuk menerapkan produksi bersih (cleaner production).
Penilaian Peringkat Kinerja Penaatan dalam Pengelolaan Lingkungan mulai
dikembangkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup, sebagai salah satu
alternatif instrumen penaatan sejak tahun 1995. Program ini pada awalnya dikenal
dengan nama PROPER PROKASIH. Alternatif instrumen penaatan ini dilakukan
melalui penyebaran informasi tingkat kinerja penaatan masing-masing perusahaan
kepada stakeholder pada skala nasional.
29
Dasar hukum pelaksanaan PROPER adalah keptusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 127 Tahun 2002 tentang program Penilaian Peringkat
Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER).
Diharapkan para stakeholder dapat menyikapi secara aktif informasi tingkat
penaatan ini, dan mendorong perusahaan untuk lebih meningkatkan kinerja
pengelolaan lingkungannya. Dengan demikian, dampak lingkungan dari kegiatan
perusahaan dapat diminimalisasi. Dengan kata lain, PROPER merupakan Public
Disclosure Program for Environmental Compliance.
Kunci keberhasilan pelaksanaan PROPER sangat bergantung pada peran aktif
para stakeholder dalam menyikapi hasil peringkat kinerja masing-masing
perusahaan. Peran aktif stakeholder ini sangat dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu
kredibilitas lembaga pelaksana, efektivitas strategi komunikasi yang diterapkan,
dan sinergisitas PROPER dengan program penaatan lainnya.
Peringkat Proper dikelompokkan dalam 5 (lima) peringkat warna. Masingmasing peringkat warna dalam proper mencerminkan bagaimana kinerja
perusahaan yang terdaftar dalam PROPER. Kinerja terbaik adalah peringkat yang
ditandai warna emas dan diikuti dengan hijau, biru, merah dan hitam. Hal ini
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2008
tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Berikut Merupakan indikator-indikator pemeringkatan dalam PROPER :
30
Tabel 2.1
Indikator Peringkat Emas
Aspek
Pencemaran Air
Indikator
1. Mempunyai Program Kerja
konservasi penggunaan air.
2. Melakukan audit penggunaan air
secara berkala.
3. Mempunyai neraca penggunaan air
untuk seluruh air yang digunakan.
4. Melakukan upaya recycle minimal
30% dari total air limbah yang
dihasilkan berdasarkan baseline
data.
Pencemaran udara/energi
1. Mempunyai program konservasi
energi dan pengurangan emisi
udara.
2. Melakukan audit penggunaan
energi dan pengenddalian emisi
udara.
3. Mempunyai neraca penggunaan
energi.
4. Melakukan kegiatan pengurangan
emisi fugitive minimal 20% dari
baseline data.
5. Melakukan kegiatan pengurangan
penggunaanBPO (Bahan Perusak
Ozon).
6. Melakukan kegiatan pengurangan
GRK sebesar minimal 5% dari
baseline data.
7. Melakukan efisiensi energi minimal
5% dari baseline data.
Padat non B3
1. Mempunyai program 3R kegiatan
pengolahan limbah non B3
2. Melakukan upaya 3R minimal 30%
dari total limbah padat non B3 yang
31
berpotensi untuk dilakukan 3R
berdasarkan database.
Sistem Manajemen Lingkungan
1. Melakukan audit lingkungan secara
keseluruhan berskala.
2. Memperoleh sertifikasi sistem
manajemen.
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup
Tabel 2.2
Indikator Peringkat Hijau
Aspek
Pencemaran Air
Indikator
1. Melakukan audit penggunaan air
2. Mempunyai neraca penggunaan air
untuk seluruh air yang digunakan.
3. Melakukan upaya 3R untuk air
limbah minimal 20% dari total air
limbah yang dihasilkan.
4. Melakukan upaya efisiensi
Penggunaan air.
Pencemaran udara/energi
1. Mempunyai program konservasi
energi dan pengurangan energi dan
penggunaan emisi udara.
2. Melakukan audit penggunaan
energi dan pengendalian emisi
udara.
3. Mempunyai neraca penggunaan
energi.
4. Melakukan kegiatan pengurangan
emisi fugitive minimal 2% dari
baseline data.
5. Melakukan kegiatan pengurangan
penggunaan BPO (Badan Perusak
6. Melakukan kegiatan pengurangan
GRL minimal 3%
32
Limbah B3
Melakukan upaya 3R minimal 20%
dari total limbah B3 yang dihasilkan
oleh perusahaan dan berpotensi untuk
dilakukan 3R selama periode
penilaian.
Padat Non B3
Melakukan upaya 3R total minimal
20% dari total limbah non B3 yang
berpotensi untuk dilakukan 3R.
System Manajemen
Lingkungan
1. Melakukan audit lingkungan secara
keseluruhan.
2. Memiliki sertifikasi system
manajemen lingkungan (SML)
oleh lembaga akreditasi atau
lembaga lainnya.
Community development
1. Memberikan bantuan ataupun
sumbangan rutin untuk pelaksanaan
kegiatan sosial kepada masyarakat
disekitar lokasi.
2. Tidak memiliki permasalahan sosial
dengan masyarakat sekitar.
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup
Tabel 2.3
Indikator Peringkat Biru
Aspek
Air
Indikator
1. 100% data pemantauan memenuhi
BMAL (Baku Mutu Air Limbah).
2. Menyampaikan 100% data pemantauan
yang dipersyaratkan.
3. Memenuhi seluruh ketentuan teknis
lainnya yang di persyaratkan.
33
AMDAL
Melakukan dan melaporkan pelaksanaan
RLK/RPL atau UKL/UPL sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan AMDAL.
Udara
1. Bagi sumber emisi yang berjumlah < 5
cerobong, semua cerobong harus
dilakukan pemantauan.
2. Bagi sumber emisi yang berjumlah > 5
cerobong dapat dilakukan pemantau
minimal 80% dari jumlah tolak
cerobong.
3. Bagi yang memiliki baku mutu emisi
spesifik semua paramater dipantau,
sedangkan yang tidak memiliki baku
mutu emisi spesifik dipilih 3 paramater
dominant.
4. Menyampaikan 100% dara pemantauan
yang dipersyaratkan.
5. 100% data pemantauan memenuhi
BMUE yang dipersyaratkan.
6. Memenuhi seluruh ketentuan teknis
lainnya yang dipersyaratkan.
Limbah B3
1. Memenuhi > 90% ketentuan
pengelolaan limbah B3 yang wajib
dilakukan sesuai denganizin dimiliki
oleh perusahaan.
2. Kinerja PLB3 > 90% dari total LB3
yang dihasilkan yang tercatat dalam
neraca limbah B3.
3. Telah menyelesaikan upaya clean up
open dumping dan open burning dan
atau upaya lanjut yang telah disetujui
oleh KLH.
4. Melakukan upaya 3R.
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup
34
Tabel 2.4
Indikator Peringkat Merah
Aspek
AMDAL
Indikator
Melaksanakan <50% kegiatan
pengelolaan lingkungan sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan dalam
AMDAL.
Air
1. <50% data pemantauan memenuhi
BMAL yang dipersyaratkan.
2. Menyampaikan <50% data
pemantauan yang dipersyaratkan
3. Memenuhi <50% ketentuan teknis
lainnya yang dipersyaratkan.
1. Pemantauan dilakukan<3 cerobong
2. Bagi sumber emisi yang berjumlah >5
cerobong dilakukan pemantauan
minimal <30% dari jumlah total
cerobong.
3. Memantau 50% parameter dari baku
mutu emisi spesifik dipantau <2
parameter yang dominant.
4. Menyampaikan <50% data
pemantauan yang dipersyaratkan
5. <50% data pemantauan memenuhi
BMEU yang dipersyaratkan.
6. Memenuhi <50% ketentuan teknis
lainnya yang dipersyaratkan.
Udara
Limbah B3
1. Memenuhi <40% ketentuan
pengelolaan limbah B3 yang wajib
dilakukan sesuai dengan izin yang
dimiliki oleh perusahaan.
2. Kinerja PLB3<40% dari total limbah
B3 yang dihasilkan yang tercatat dalam
neraca LB3.
3. Sudah menghentikan open dumping
dan open burning.
35
4. Tidak memiliki izin pengolahan
limbah B3 dan atau menyerahkan
limbah B3 ke pihak ke-3 yang tidak
memiliki izin.
5. Telah melakukan usaha pengolahan
limbah B3 ke pihak ke-3 yang tidak
memiliki izin.
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup
Tabel 2.5
Indikator Peringkat Hitam
Aspek
AMDAL
Indikator
Tidak memiliki AMDAL yang telah
disetujui komisi AMDAL.
Air
1. Air limbah yang dibuang kelingkungan
> 500% BMAL dari 80% data yang
wajib disampaikan sesuai dengan yang
Dipersyaratkan
2. Tidak melakukan pemantauan air
limbah sama sekali.
3. Melakukan by pass untuk pembuangan
air limbah dengan sengaja.
4. Melakukan pemantauan emisi
cerobong sama sekali.
Udara
1. Tidak melakukan pemantauan emisi
cerobong sama sekali.
2. 50% data pemantauan yang wajib
disampaikan melebihi 50% BMEU.
Limbah B3
Melakukan kegiatan open dumping dan
open burning limbah B3 dengan sengaja
secara langsung ke lingkungan dan tidak
melakukan upaya sama sekali.
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup
36
I.
Pengaruh Environmental Performance Terhadap Economic Performance
Perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang meningkat maka kinerja
ekonomi pada perusahaan tersebut akan meningkat. Hal ini dikarenakan suatu
pandangan masyarakat mengenai perusahaan yang memiliki tanggung jawab
sosial terhadap lingkungan maka akan mempengaruhi perusahaan di mata calon
investor, stakeholders dan masyarakat. Hal ini sangat menguntungkan bagi
perusahaan yang mengakibatkan penjualan saham dan penjualan atas perusahaan
itu sendiri meningkat.
Namun perusahaan di Indonesia masih belum ada kesadaran akan pentingnya
hal ini dan masih melihat teori lama yang menyatakan bahwa kinerja ekonomi
akan meningkat dengan adanya kenaikan laba yang diperoleh oleh perusahaan,
bukan hal-hal lain. seperti yang dikemukakan oleh Donovan dan Gibson (2000),
dalam Ari (2010) menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi, salah satu
argumentasi dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat kinerja sosial adalah
ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan (manajemen)
menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi
tentang sukses keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas
rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan membaca “good news”
kinerja perusahaan, misalnya dalam lingkup sosial, dan dengan demikian investor
akan
tetap
berinvestasi
di
perusahaan
tersebut.
Sehingga
kinerja
ekonomi/profitabilitas yang diproksi dengan pendapatan per lembar saham
menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap kinerja sosial.
37
Dengan
demikian
banyak
peneliti
yang
ingin
meneliti
Pengaruh
environmental performance terhadap economic performance banyak dilakukan.
Namun hasil dari penelitian tersebut berbeda-beda. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Suratno dkk (2006), menunjukkan bahwa environmental
performance
berpengaruh
secara
positif
signifikan
terhadap
economic
performance, sebaliknya penelitian yang dilakukan Ari (2010) menunjukkan tidak
adanya pengaruh environmental performance terhadap economic performance.
H1 : Environmental performance berpengaruh terhadap economic performance
J.
Pengaruh
Environmental
Perfomance
Terhadap
Environmental
Disclosure
Perusahaan yang mengungkapkan lingkungan dengan baik, biasanya
menunjukkan bahwa kinerja lingkungan yang dilakukannya memiliki aktifitas
yang baik pula. Namun perusahaan-perusahaan di Indonesia masih melakukan
pengungkapan yang sifatnya Voluntary dan belum memenuhi kewajiban yang
bersifat Mandatory.
Menurut Hasibuan (2005) dalam Ignatius dkk (2006), menemukan bahwa
perusahaan di Indonesia yang termasuk dalam katagori perusahaan besar dan high
profile cenderung lebih banyak mengungkapan kewajiban sosialnya daripada yang
bukan perusahaan besar dan high profile.
Perusahaan melakukan hal seperti ini dikarenakan sebuah berita baik
mengenai perusahaan seperti kinerja lingkungan adalah suatu nilai tambah bagi
38
investor dan calon investor. Perusahaan yang memiliki good news yang baik
cenderung
akan
meningkatkan environmental
disclosure dalam
laporan
tahunannya (Ari 2010).
Oleh karena itu manajemen perusahaan akan terdorong melakukan
pengungkapan lingkungan dalam annual report nya sebagai tanggungjawab sosial
perusahaan tersebut terhadap publik.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Preston (1981) dalam
Lindrianasari (2007), menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kinerja
lingkungan yang baik dan melakukan pengungkapan yang tinggi memposisikan
mereka sebagai perusahaan yang memiliki aktifitas yang berguna dan kualitas
pengungkapan ini juga didorong legitimasi terhadap masyarakat, yang
memperlihatkan adanya hubungan yang positif antara kualitas pengungkapan
lingkungan dengan kinerja lingkungan. Penelitian yang dilakukan Lindrianasari
(2007)
juga
meperlihatkan
adanya
hubungan
yang
signifikan
antara
environmental performance dengan environmental disclosure.
Namun sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Ingram dan Frazier
(1980), Freedman dan Jaggi (1982), Wiseman (1982), Freedman dan Wasley
(1990), Rockness (1985) dalam Ignatius dkk (2006), tidak menemukan adanya
hubungan yang signifikan antara environmental disclosure dengan environmental
performance. Penelitian yang dilakukan Ari (2010) juga tidak menemukan adanya
pengaruh antara enviromental performance dengan environmental disclosure.
H2 : Environmental performance berpengaruh terhadap environmental disclosure
39
K. Pengaruh Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance
Setiap perusahaan mempunyai caranya masing-masing dalam menungkapkan
kinerja perusahaannya. Ada yang bersedia mengungkapkan semua nya ke publik
dan ada yang tidak bersedia. Karena beberapa perusahaan tidak semuanya berfikir
bahwa pengungkapan secara sukarela dapat meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan. namun banyak perusahaan yang beranggapan bahwa ketika
perusahaan mengungkapkan hal-hal selain laporan keuangan, mempunyai nilai
tersendiri bagi calon investor, investor dan masyarakat.
Perusahaan dengan pengungkapan lingkungan yang tinggi dalam laporan
keuangannya akan lebih dapat diandalkan, laporan keuangan yang handal tersebut
akan berpengaruh secara positif terhadap economic performance, di mana investor
akan merespon secara positif dengan fluktuasi harga saham yang semakin tinggi,
begitu pula sebaliknya, jika pengungkapan lingkungan suatu perusahaan rendah,
maka investor akan merespon secara negatif dengan fluktuasi harga saham yang
semakin menurun dari tahun ke tahun (Adi 2011).
Ada
dua
variabel
kunci
yang
digunakan
sebagai
ukuran
yang
menghubungkan antara reputasi tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja
ekonominya, yaitu tingkat kemampuan menciptakan pendapatan melalui
penjualan dan tingkat kemampuan menciptakan laba (Belkaoui dan Karpik;
Sulastri 2003 dalam Ari 2010).
Environmental disclosure menyajikan besarnya kepedulian perusahaan
terhadap lingkungan. Sesuai dengan teori stakeholder besarnya informasi
keuangan lingkungan yang diungkapkan perusahaan akan berpengaruh terhadap
40
stakeholder sehingga berakibat pada harga saham dan mempengaruhi return
tahunan perusahaan. Return tahunan merupakan ukuran yang obyektif dan
komprehensif dalam mewakili economic performance (Al Tuwaijri 2003 dalam
Ari 2010).
Richardson et. al. (2001) dalam Lindrianasari (2007) melakukan observasi
terhadap pengungkapan sosial perusahaaan dan melaporkan bahwa terdapat
hubungan yang positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan lingkungan.
Pengungkapan yang dilakukan perusahaan akan semakin baik jika profitabilitas
perusahaan semakin meningkat.
Dalam penelitian Adi (2011) dan Ari (2010), mengemukakan bahwa
environmental disclosure berpengaruh negatif terhadap kinerja ekonomi walaupun
tidak signifikan. Perbedaan yang terdapat pada penelitian-penelitian tersebut,
maka peneliti akan menguji pengungkapan lingkungan apakah mempengaruhi
kinerja ekonomi pada sektor dan tahun yang berbeda.
H3 : Environmental disclosure berpengaruh terhadap economic performance
41
L. Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah ringkasan peneliti terdahulu yang digunakan sebagai bahan
acuan dalam penelitian :
Tabel 2.6
Penelitian Terdahulu
No. Peneliti Terdahulu
1.
Suratno dkk (2006)
Variabel
Environmental
Performance,
environmental
disclosure,
economic
performance
Analisis
Analisis
Regresi
Berganda
2.
Environmental
performance,
environmental
disclosure,
economic
performance,
Analisis
Regresi
Berganda
Almalia dan
Wijayanto (2007)
Hasil
 Environment
al
performance
berpengaruh
secara
positif
signifikan
terhadap
environment
al
disclosure.
 Environment
al
performance
berpengaruh
secara
positif
signifikan
terhadap
economic
performance
 Environment
al
Disclosure
berpengaruh
signifikan
terhadap
42
3.
Lindrianasari
(2007)
predetermined
variable.
Environmental
Performance,
environmental
disclosure,
economic
performance.
Analisis
Regresi
Sederhana.


4.
Maharani (2013)
Kinerja
lingkungan,
tanggung jawab
sosial perusahaan,
partisipasi dalam
proper, kinerja
finansial.
Analisis
regresi
Sederhana
dan regresi
berganda.


economic
performance
Terdapat
hubungan
yang positif
signifikan
antara
kualitas
pengungkap
an
lingkungan
dengan
kinerja
lingkungan.
Terdapat
hubungan
yang positif
antara
kinerja
ekonomi
dengan
kinerja
lingkungan.
Kinerja
lingkungan
memiliki
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
kinerja
finansial.
Kinerja
lingkungan
berpengaruh
positif yang
signifikan
terhadap
CSR
disclosure.
43
5.
Primadyani (2013)
Pengungkapan
corporate sosial
responsibility,
good corporate
governance, nilai
perusahaan.
Analisis
statistik
deskirptif.
6.
Pratiwi dan putra
(2012)
economic
performance,
environmental
performance,
corporate social
Analisis
Regresi
Berganda.
 CSR
disclosure
memiliki
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
kinerja
finansial
perusahaan.
 CSR
disclosure
dapat
berfungsi
sebagai
variabel
intervening
dalam
pengaruh
langsung
maupun
tidak
langsung
kinerja
lingkungan
terhadap
kinerja
finansial.
 Pengungkap
aan CSR
berpengaruh
signifikan
terhadap
nilai
perusahaan.
 Corporate
Governance
Disclosure
berpengaruh
pada kinerja
44
responsibility
disclosure.
7.
Angela Dirman
(2013)
Value Based
Management,
pengungkapan
corporate social
responsibility,
nilai perusahaan.
Analisis
Regresi
Berganda
8.
Monica Selvia
Maharani (2013)
Kinerja
lingkungan, CSR,
Kinerja finansial
Analisis
Regresi
Berganda
perusahaan
perbankan
yang
diproksikan
dengan
PBV.
 EVA dan
CSR
memiliki
pengaruh
signifikan
bersamasama
terhadap
nilai
perusahaan.
 EVA dan
CSR
berhubungan
positif dan
signifikan
terhadap
nilai
perusahaan.
 Kinerja
Lingkungan
berpengaruh
terhadap
kinerja
finansial.
 CSR
berpengaruh
terhadap
kinerja
finansial.
 CSR dapat
sebagai
variabel
intervening
antara
kinerja
lingkungan
dengan
45
9.
Ari Retno
Handayani (2010)
Environmental
performance,
environmental
disclosure,
economic
performance.
Analisis
Regresi
Berganda
kinerja
finansial.
 Environment
al
performance
tidak
berpegaruh
terhadap
environment
al disclosure
 Environment
al
performance
tidak
berpengaruh
terhadap
economic
performance
 Environment
al disclosure
tidak
berpengaruh
terhadap
economic
performance
M. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dan penelitian
terdahulu, maka peneliti akan merumuskan penelitian ini dengan merumuskan
kerangka pemikiran sebagai berikut:
46
Environmental
Disclosure
(Intervening)
H3
H2
Environmental
Performance
X
Economic
Performance
H1
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Y
Download