4. hasil dan pembahasan

advertisement
27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Parameter Fisika - Kimia Perairan
Kelangsungan hidup biota perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah kondisi lingkungan perairan yang mendukung. Pengamatan
lingkungan perairan dilakukan dengan mengukur nilai kualitas perairan
tersebut, meliputi parameter fisika – kimia. Nilai-nilai parameter fisika – kimia di
perairan Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter fisika dan kimia perairan
Parameter
Baku Mutu
Pulau Pramuka
Pulau Kelapa Dua
28-30 1)
29
29
-
55-102
100
30-94
100
0,66 2)
0,33
0,05-0,14
33-34 1)
28-31
25-27
Fisika
Suhu (°C)
Kedalaman (cm)
Kecerahan (%)
Kecepatan Arus (m/detik)
Kimia
Salinitas (PSU)
pH
7-8,5
1)
8
8
DO (ppm)
Nitrat (mg/l)
>5 1)
0,008 1)
9,33-10,55
0,031-0,072
9,13-10,14
0,039-0,049
Orthofospat (mg/l)
0,015 1)
<0,001
1)
Sumber : KepMen LH No. 51 Tahun 2004 (Lampiran 3)
2) Baku mutu untuk metode Plugs menurut Thorhaug 1976 in Azkab 1999
<0,001
4.1.1 Parameter fisika
a. Suhu
Suhu perairan pada kedua lokasi penelitian sekitar 29°C. Kisaran yang
kecil menandakan perbedaan suhu antar lokasi penelitian kecil sehingga dapat
dikatakan selama penelitian suhu cenderung homogen. Menurut Barber (1985)
in Badria (2007), pada kisaran suhu 10-35 °C produktivitas lamun meningkat
dengan meningkatnya suhu, dan pada kisaran suhu 25-30 °C fotosintesis bersih
akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Jadi kisaran suhu pada saat
penelitian berada pada kisaran yang optimum bagi tumbuhan lamun untuk
berfotosintesis.
28
b. Kedalaman
Kedalaman membatasi penyebaran dan pertumbuhan lamun. Lamun
hanya dapat tumbuh pada kedalaman dimana sinar matahari dapat menembus
sampai dasar perairan. Kedalaman perairan dan intensitas cahaya yang masuk
ke perairan berpengaruh terhadap proses fotosintesis lamun.
Kedalaman perairan yang diukur pada saat surut di Pulau Pramuka
berkisar antara 55 - 102 cm, dan pada Pulau Kelapa Dua antara 30 – 94 cm.
Kedalaman yang terukur pada kedua pulau merupakan kedalaman ideal bagi
lamun yang merupakan vegetasi perairan dangkal. Hal ini akan mendukung
proses fotosintesis lamun yang optimal, karena pada kedalaman tersebut cahaya
yang masuk ke dalam perairan akan sampai ke dasar perairan dimana lamun
tersebut tumbuh. Hal ini juga didukung oleh kecerahan perairan yang tinggi.
c. Kecerahan
Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor pembatas yang penting
bagi kelangsungan hidup tumbuhan lamun. Hal ini disebabkan lamun
membutuhkan perairan dengan kecerahan tinggi agar cahaya matahari dapat
menembus perairan sampai ke dasar agar tumbuhan lamun dapat tetap
melakukan proses fotosintesis. Kondisi perairan di kedua pulau relatif jernih dan
penetrasi cahaya mencapai seratus persen, karena lokasi penelitian merupakan
perairan yang relatif dangkal dengan kedalaman rata-rata 74,2 cm pada Pulau
Pramuka dan 69,4 cm pada Pulau Kelapa Dua dan sedikitnya partikel
tersuspensi pada perairan.
d. Kecepatan arus
Rata-rata kecepatan arus yang diukur pada Pulau Pramuka adalah 0,33
m/detik, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua sebesar 0,10 m/detik. Pengukuran
arus dilakukan ketika surut terendah menuju pasang, sehingga arah arus
cenderung ke arah daratan. Pulau Pramuka memiliki kecepatan arus yang lebih
tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua hal ini disebabkan lokasi Pulau
Pramuka yang lebih terbuka dan tidak terlindungi seperti Pulau Kelapa Dua.
Arus pada kedua tempat pengamatan masih berada di bawah kecepatan arus
maksimum untuk transplantasi lamun yaitu 0,66 m/detik. Kecepatan arus yang
29
melebihi nilai ini akan dapat menghanyutkan semua transplantasi lamun metode
Plugs dalam kurun waktu dua minggu (Thorhaug 1976 in Azkab 1999).
Kedua lokasi pengamatan ini tergolong memiliki arus yang tenang
sehingga menyebabkan permukaan daun ditumbuhi alga epifit dan ditutupi oleh
sedimen yang terperangkap. Pada Pulau Kelapa Dua memiliki arus yang lebih
kecil sehingga penutupan epifit lebih besar yaitu 24,70% dan penutupan algae
sebesar 0,03% (Tabel 4) dibandingkan Pulau Pramuka sebesar 12,36% (Tabel
7). Penutupan epifit mengurangi penyerapan cahaya matahari oleh daun
sehingga mengganggu proses fotosintesis pada lamun. Penutupan ini
mempengaruhi pertumbuhan lamun, khususnya pada bagian daun.
e. Substrat
Substrat tidak terdiri dari satu komposisi melainkan tersusun atas tiga
komposisi yaitu pasir, debu dan liat. Dominasi salah satu dari ketiga ukuran
tersebut menentukan tipe substrat suatu perairan. Hasil analisis di laboratorium
menghasilkan nilai komposisi tekstur substrat dari masing-masing pulau dan
nilai konsentrasi C-organik dari substrat tersebut yang dapat di lihat pada Tabel
4.
Tabel 4. Nilai rata-rata komposisi tekstur dan kandungan C-organik substrat
(%)
Lokasi
Pulau Pramuka
Pulau Kelapa Dua
Pasir
94,88
94,77
Tekstur
Debu
2,44
2,54
Liat
2,69
2,69
Tipe Substrat
Pasir
Pasir
C-organik
0,32
0,39
Ukuran partikel substrat mempengaruhi kandungan oksigen dan bahan
organik dalam sedimen. Substrat halus memiliki kandungan bahan organik lebih
besar daripada substrat dengan ukuran partikel besar/kasar. Sebaliknya
kandungan oksigen pada substrat berukuran partikel besar/kasar lebih banyak
daripada substrat halus.
Tipe substrat di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua tergolong substrat
pasir dengan komposisi pasir secara berurutan sebesar 94,88 % dan 94,77 %.
Tipe substrat menentukan sejauh mana lamun tumbuh. Umumnya lamun
tumbuh pada substrat pasir berlumpur meski ada pula yang dapat hidup pada
30
batu
karang.
Lamun
yang
hidup
pada
substrat
berlumpur
harus
mengadaptasikan akarnya dengan kondisi anoksik dan mempunyai akar yang
panjang dan dilengkapi akar rambut yang banyak. Hal ini berkaitan dengan
keseimbangan fotosintesis dan respirasi lamun. Sedangkan lamun yang hidup
pada substrat kasar cenderung memiliki perakaran yang lebih kuat
dibandingkan dengan substrat halus. Hal ini karena tingkat porositas pasir yang
besar dan seragam sehingga akar perlu mencengkram kuat substrat supaya
dapat bertahan dari arus dan gelombang.
Wood (1987), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan Corganik dengan ukuran tekstur substrat, makin tinggi jumlah liat debu makin
tinggi pula C-organik bila kondisi lainnya sama. Dapat dilihat Pada Pulau Kelapa
Dua memiliki komposisi pasir yang lebih rendah namun konsentrasi C-organik
lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Pramuka. Hal ini juga dapat
menandakan organisme yang hidup di substrat (bentos dan mikrobakteri) lebih
padat di Pulau Kelapa Dua. Seperti diketahui bahwa C-organik terbentuk dari
hewan dan tumbuhan yang telah busuk dan terakumulasi dalam substrat.
4.1.2 Parameter Kimia
a. Salinitas
Nilai salinitas yang diukur pada Pulau Pramuka berkisar antara 28-31 PSU,
sedangkan pada Pulau Kelapa Dua antara 25-27 PSU. Menurut Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004, baku muku parameter salinitas
bagi biota laut khususnya tumbuhan lamun berkisar antara 33-34 PSU, namun
nilai yang terukur berada jauh di bawah baku mutu. Perbedaan nilai salinitas ini
disebabkan oleh faktor alam yaitu turunnya hujan sehingga mempengaruhi
besarnya nilai salinitas di kedua pulau tersebut. Ada jenis lamun yang memiliki
toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas (euryhaline) seperti jenis
Thalassia hemprichii yang memiliki kisaran optimum untuk pertumbuhan antara
24-35 PSU, sehingga jenis ini dapat bertahan hidup di lokasi pengamatan.
b. Derajat keasaman (pH)
Nilai rata-rata derajat keasaman hasil pengukuran pada kedua pulau
adalah 8. Nilai ini sesuai dengan baku mutu Keputusan Menteri Lingkungan
31
Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu pH optimal untuk kisaran air laut adalah 7,5-8,5
Sehingga perairan pada ke dua pulau mendukung bagi kelangsungan hidup
lamun.
c. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas bagi makluk hidup
terutama bagi organisme laut yang tidak dapat memanfaatkan oksigen bebas
secara langsung. Oleh karena itu dalam air, oksigen ditemukan dalam keadaan
terlarut. Berdasarkan pengukuran di lapang didapatkan nilai rata-rata
kandungan oksigen terlarut dalam perairan Pulau Pramuka sebesar 9,94 mg/l
dengan kisaran antara 9,33 – 10,55 mg/l, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua
sebesar 9,63 mg/l dengan kisaran antara 9,13 – 10,14 mg/l. Secara umum
kandungan oksigen terlarut pada kedua pulau memenuhi standar baku mutu air
untuk biota laut yaitu >5 mg/l, sesuai dengan KepMen LH No. 51 Tahun 2004.
Nilai kandungan oksigen terlarut pada Pulau Pramuka sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua.
Padang lamun merupakan habitat bagi berbagai macam organisme laut,
baik yang hidup menempel di daun (kelompok epifit, termasuk alga) maupun di
dalam sedimen (bentos dan mikrobakteri). Semua organisme laut ini
memanfaatkan persediaan oksigen terlarut yang cukup besar untuk proses
respirasi dan proses oksidasi (dekomposisi serasah daun lamun dan nitrifikasi).
Sehingga diduga ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan kandungan
oksigen terlarut antara dua pulau tersebut, antara lain : (1) Proses fotosintesis
oleh daun lamun dan (2) Kepadatan biota.
Proses fotosintesis
dalam penelitian ini dipengaruhi oleh kecerahan
perairan dan kecepatan arus. Kecerahan perairan berperan dalam penetrasi
cahaya matahari ke dalam perairan sedangkan kecepatan arus menentukan
proses sedimentasi dan penutupan alga epifit pada permukaan daun lamun.
Kecepatan arus pada Pulau Pramuka sedikit lebih tinggi sehingga diduga kondisi
ini yang menyebabkan kandungan oksigen terlarut pada Pulau Pramuka lebih
tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua.
32
d. Nutrien
Salah satu ciri khas lamun yang membedakan dengan tumbuhan laut
lainnya adalah kemampuan menyerap nutrien melalui daun, selain oleh akar.
Lamun tidak memiliki stomata tapi digantikan oleh kehadiran kutikula yang tipis
sehingga daun mampu mengabrsorbsi nutrien secara langsung dari perairan.
Nitrat dan orthofosfat merupakan salah satu bentuk bahan anorganik, dimana
nitrat adalah turunan dari nitrogen sedangkan orthofosfat adalah turunan dari
fosfor anorganik terlarut. Seperti telah diketahui bahwa fungsi nitrogen pada
tumbuhan adalah memacu pertumbuhan dan sintesis asam amino dan protein
namun karena lamun adalah tumbuhan air maka nitrogen harus diubah menjadi
bentuk anorganik berupa nitrat dan ammonium supaya dapat dimanfaatkan.
Besarnya kandungan nitrat di kolom perairan Pulau Pramuka berkisar
0,031-0,072 mg/l, sedangkan di Pulau Kelapa Dua sebesar 0,039-0,049 mg/l.
Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan baku mutu yaitu 0,008 mg/l.
Sehingga kebutuhan lamun untuk membentuk biomasanya dapat terpenuhi
dengan kandungan nitrat di kolom perairan yang mencukupi. Kandungan nitrat
di Pulau Pramuka lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua.
Perbedaan nilai ini diduga karena kondisi perairan tiap pulau berbeda. Pada
Pulau Kelapa Dua konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah sehingga
mengakibatkan laju dekomposisi atau mineralisasi nitrogen (proses perubahan
nitrogen organik menjadi anorganik) menurun, sehingga konsentrasi nitrat
dalam kolom perairan menjadi lebih rendah namun dengan adanya lokasi
budidaya perikanan dalam bentuk Keramba Jaring Apung (KJA) di dekat lokasi
rehabilitasi di Pulau Kelapa Dua diduga mengakibatkan kandungan nitrat di
perairan menjadi lebih tinggi. Tingginya kandungan nitrat diduga akibat sisa
pakan yang tidak termakan oleh ikan budidaya yang kemudian terbawa arus
perairan.
Orthofosfat digunakan oleh tumbuhan lamun dalam proses fotosintesis
dan respirasi. Nilai orthofospat di kolom perairan Pulau Pramuka dan Pulau
Kelapa Dua terhitung sebesar <0,001 mg/l. Kedua pulau ini memiliki kandungan
orthofosfat di kolom perairan yang sangat rendah dan berada dibawah nilai
baku mutu. Akan tetapi rendahnya konsentrasi orthofosfat dalam kolom air
bukan menjadi faktor pembatas pertumbuhan lamun namun menjadi indikator
33
bahwa perairan pada kedua pulau tergolong bersih, tidak tercemar limbah atau
buangan rumah tangga. Pertumbuhan lamun di Pulau Kelapa Dua relatif lebih
tinggi meski memiliki nilai konsentrasi orthofosfat yang rendah. Hal ini
menandakan bahwa tumbuhan lamun memerlukan fosfor hanya dalam jumlah
yang sangat sedikit.
Kandungan nutrien pada Pulau Kelapa Dua cenderung lebih tinggi dari
pada Pulau Pramuka. hal ini yang menyebabkan pertumbuhan lamun
transplantasi di Pulau Kelapa Dua lebih tinggi karena lamun mendapatkan
pasokan unsur hara yang cukup.
4.2 Komunitas Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua
4.2.1 Komunitas lamun Pulau Pramuka
Pengamatan komunitas lamun di Pulau Pramuka didapatkan hasil seperti
yang ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Komunitas lamun di Pulau Pramuka
Stasiun
Penutupan
Lamun (%)
Komposisi Spesies Lamun (%)
Cr
Cs
Ea
1
6,64
2,11
2
23,68
3
36,82
Rata-rata
22,38
Keterangan :
Cr = Cymodocea rotundata
Cs = Cymodocea serrulata
Th = Thalassia hemprichii
Th
Ho
0
0
4,43
0,09
12,48
0,49
0,87
9,09
5,86
12,57
3,45
8,30
6,82
4,35
1,44
7,27
Hp
Tinggi
Kanopi
(cm)
Penutupan
Epifit (%)
0
6,50
11,09
0,75
0
12,55
16,55
0,89
5,75
13,62
9,45
0,58
1,92
10,89
12,36
Ho = Halophila ovalis
Hp = Halodule pinifolia
a. Penutupan jenis lamun Pulau Pramuka (%)
Penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi
suatu kawasan tertentu. Selain dipengaruhi oleh kepadatan jenisnya, persen
penutupan dipengaruhi juga oleh ukuran morfologi daun lamun itu sendiri. Dari
tiga stasiun yang diamati dapat diketahui nilai persen penutupan dari stasiun 1
sampai stasiun 3 memiliki nilai yang berbeda-beda namun membentuk pola
penyebaran tertentu (Gambar 8). Semakin ke selatan nilai persen penutupan
lamun semakin tinggi.
34
40%
36,82%
35%
30%
23,68%
25%
20%
15%
6,64%
10%
5%
0%
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 8. Penutupan lamun di Pulau Pramuka (%)
Nilai persen penutupan lamun terendah terukur pada stasiun 1 dengan
nilai 6,64% dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 (Tabel 6). Perbedaan nilai
ini diduga akibat perbedaan lokasi stasiun, pola distribusi dan kesediaan nutrien
pada masing-masing lokasi pengamatan. Pada stasiun 2 nilai persentase
penutupan lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 1 yaitu 23,68%. Sedangkan
nilai persen penutupan lamun terbesar adalah pada stasiun 3 yang terletak
sebelah selatan dari kawasan pengamatan senilai 36,82%.
Tabel 6. Penutupan masing-masing jenis lamun di Pulau Pramuka (%)
No.
1
Jenis
Cymodocea rotundata
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
2,11
12,48
5,86
2
Cymodoceae serrulata
-
0,49
12,57
3
4
Enhalus acoroides
Thalasia hemprichii
4,43
0,87
9,09
3,45
8,30
5
6
Halophila ovalis
Halodule pinifolia
0,09
-
0,75
-
0,89
5,75
6,64
23,68
36,82
Total
Persen penutupan jenis lamun Cymodocea serrulata memiliki nilai tertinggi
pada stasiun 3 yaitu sebesar 12,57% kemudian diikuti dari jenis C. rotundata
sebesar 12,48% pada stasiun 2. Kedua jenis lamun ini merupakan jenis lamun
yang paling banyak ditemukan di lokasi pengamatan Pulau Pramuka.
35
Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam putusannya No. 200 Tahun 2004
menetapkan kriteria baku kerusakan padang lamun sebagai berikut (Nontji
2009):

Tingkat kerusakan tinggi
: luas area kerusakan ≥50%

Tingkat kerusakan sedang
: luas area kerusakan 30-49,9%

Tingkat kerusakan rendah
: luas area kerusakan ≤29,9%
Sementara itu status padang lamun ditetapkan sebagai berikut :

Kondisi baik
: kaya/sehat ≥60%

Kondisi kurang
: kurang kaya/kurang sehat 30-59,9%

Kondisi rusak
: miskin ≤29,9%
Kondisi Komunitas lamun di kawasan rehabilitasi di Pulau Pramuka
tergolong rendah atau termasuk kriteria kurang pada stasiun 3 dan tergolong
miskin pada stasiun 1 dan 2 sesuai dengan kriteria status padang lamun yang
dinyatakan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004
tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun.
b. Komposisi jenis lamun Pulau Pramuka
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Pulau Pramuka
ditemukan enam spesies lamun yang termasuk kedalam dua famili yaitu
Hydrocharitaceae
dan
Cymodoceae.
Keenam
spesies
tersebut
adalah
Cymodoceae rotundata, Cymodocea serrulata (Cymodoceae), Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila pinifolia (Hydrocharitaceae),
seperti tampak pada Gambar 9. Pada penelitian yang dilakukan oleh Meinar
(2009) terdapat satu jenis lamun lagi yang ditemukan di Pulau Pramuka yaitu
Syringodium isoetifolium. Jenis lamun ini banyak ditemukan di bagian utara
Pulau Pramuka.
Keberadaan keenam spesies tersebut tidak merata dan tidak semuanya
terdapat pada setiap stasiun. Spesies lamun yang dapat ditemukan di semua
stasiun pengamatan yaitu Cymodocea rotundata, Thalassia Hemprichii dan
Halophila ovalis. Sedangkan spesies lamun Halophila pinifolia hanya ditemukan
pada stasiun pengamatan ketiga (Gambar 9).
36
Halophila
ovalis
1%
Stasiun 1
Cymodocea
rotundata
32%
Thalassia
hemprichii
67%
Halophila
ovalis
3%
Stasiun 2
Cymodocea
rotundata
53%
Thalassia
hemprichii
38%
Enhalus
acoroides
4%
Halodule
pinifolia
16%
Cymodoceae
serrulata
2%
Stasiun 3
Halophila
ovalis
2%
Thalassia
hemprichii
23%
Enhalus
acoroides
9%
Cymodocea
rotundata
16%
Cymodoceae
serrulata
34%
Gambar 9. Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Pramuka
Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada ketiga stasiun terdapat
perbedaan komposisi jenis (Gambar 9). Perbedaan komposisi jenis lamun ini
ditandai penyebaran dari jenis lamun yang tidak merata. Hal ini diduga
disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien pada substrat
yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik
titik-titik
titik terten
tertentu
dimana tersedia nutrien yang mencukupi dan dilihat dari pola penyebaran jenis
lamun, kemudian arah dan kecepatan arus mempengaruhi keberadaan beberapa
jenis lamun karena ada jenis lamun yang dapat beradaptasi dengan kondisi arus
yang cukup besar dan ada yang tidak, hal ini juga mempengaruhi pola
penyebaran dari lamun itu sendiri.
37
Pada stasiun 1 ditemukan tiga spesies lamun dan didominasi dari jenis
Thalassia hemprichii, pada stasiun 2 ditemukan lima spesies lamun dan
didominasi oleh jenis Cymodocea rotundata, serta Pada stasiun tiga ditemukan
enam jenis lamun dan di dominasi oleh jenis Cymodocea serrulata.
Pada stasiun 3 jenis lamun yang ditemukan lebih beragam yaitu sebanyak
6 spesies dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Seperti halnya dengan
persen penutupan, keberagaman spesies lamun pada stasiun 3 ini desebabkan
oleh kondisi perairan yang lebih terlindung dari perubahan lingkungan
dibandingkan dengan stasiun lainnya. Lamun-lamun pada stasiun ini dapat
tumbuh dan berkembang lebih optimal.
Zonasi sebaran lamun di Pulau Pramuka tergolong vegetasi campuran
karena lamun yang ditemukan lebih dari satu jenis. Dari keenam jenis lamun
yang ditemukan, sebaran lamun di pulau ini termasuk kedalam tipe jenis lamun
yang tumbuh didaerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut (Kiswara
1992) bahwa sebaran lamun dapat dikelompokan berdasarkan genangan air
atau kedalaman.
c. Frekuensi jenis lamun Pulau Pramuka
Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya suatu jenis lamun
dalam suatu kawasan yang diamati. Nilai frekuensi masing-masing jenis lamun
yang diamati dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Frekuensi jenis lamun di Pulau Pramuka
No.
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
1
Cymodocea rotundata
Jenis
0,55
0,91
0,36
2
3
Cymodoceae serrulata
Enhalus acoroides
0
0
0,18
0,36
0,55
0,36
4
Thalasia hemprichii
0,73
0,91
0,82
5
6
Halophila ovalis
Halodule pinifolia
0,09
0
0,27
0
0,45
0,64
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa spesies Thalassia hemprichii memiliki
nilai frekuensi jenis yang tertinggi sehingga dapat diketahui sebaran jenis ini
cukup merata di ketiga stasiun pengamatan. Spesies lainnya yaitu Cymodocea
rotundata dan Halophila ovalis juga berpeluang ditemukan di semua stasiun
38
pengamatan dengan nilai yang lebih rendah. Dari penelitian Dwintasari (2009)
dapat diketahui bahwa lamun jenis T. hemprichii mempunyai pengaruh yang
paling besar dibandingkan dengan jenis lamun lainnya, karena lamun jenis ini
paling banyak dijumpai hampir di seluruh tipe perairan dan sangat baik tumbuh
di kondisi perairan Pulau Pramuka yang dangkal dan terbuka saat surut. Selain
itu, menurut Rohmimohtarto dan Juwana (2001) T. hemprichii merupakan jenis
lamun yang memiliki daya tahan yang baik terhadap pencemaran. Hal ini
menandakan jenis T. hemprichii adaptif terhadap gangguan lingkungan yang
disebabkan oleh pencemaran.
4.2.2 Komunitas lamun Pulau Kelapa Dua
Komunitas lamun di Pulau Kelapa dua berbeda dengan Pulau Pramuka.
Hasil pengamatan komunitas lamun di Pulau Kelapa Dua dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Komunitas lamun di Pulau Kelapa Dua
Stasiun
1
Penutupan
Lamun (%)
Komposisi Spesies Lamun (%)
Cr
Cs
Th
Ho
Hu
Tinggi
Kanopi
(cm)
Penutupan
Epifit (%)
0
29,45
18,77
1,91
0
3,91
0,32
12,64
2
3,06
0,27
0,27
2,20
0,18
0,14
6,81
0
10,36
3
11,52
0
0
1,32
0,56
9,64
10,05
1,00
34,27
11,12
0,73
0,09
2,48
0,35
7,47
9,92
0,33
24,70
Rata-rata
Keterangan :
Cr = Cymodocea rotundata
Cs = Cymodocea serrulata
Th = Thalassia hemprichii
12,88
Penutupan
Algae (%)
Ho = Halophila ovalis
Hu = Halodule uninervis
a. Penutupan jenis lamun Pulau Kelapa Dua (%)
Pada Gambar 10 dapat dilihat nilai persen penutupan lamun pada tiga
stasiun pengamatan di Pulau Kelapa Dua memiliki nilai yang berbeda-beda. Pada
stasiun 1 terdapat nilai persen penutupan lamun tertinggi dibandingkan dengan
kedua stasiun lainnya yaitu sebesar 19%, sedangkan nilai terendah terdapat
pada stasiun 2 dengan nilai 3%. Perbedaan nilai ini menandakan jenis lamun di
kawasan ini tumbuh dalam kelompok yang terpisah-pisah dengan batas yang
tidak jelas serta penyebaran yang tidak merata seperti dilihat pada Tabel 9.
Persen penutupan lamun di tiga stasiun berbeda tidak membentuk pola tertentu
menandakan penyebaran lamun tidak merata. Hal ini seperti dijelaskan
39
sebelumnya diduga disebabkan oleh titik-titik tempat lamun itu tumbuh
memiliki kondisi yang dapat mendukung perkembangan dari lamun itu sendiri,
seperti tersedianya nutrien yang cukup, pola penyebaran lamun tersebut dan
kondisi perairan sesuai dengan habitat lamun.
20%
19%
15%
12%
10%
5%
3%
0%
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 10. Penutupan lamun di Pulau Kelapa Dua (%)
Tabel 9. Penutupan masing-masing jenis lamun di Pulau Kelapa Dua (%)
No.
Jenis
1
2
Cymodocea rotundata
Cymodoceae serrulata
3
Enhalus acoroides
4
5
Thalassia hemprichii
Halophila ovalis
6
Halodule uninervis
Total
Stasiun 1
Stasiun 2
1,91
0
0,27
0,27
Stasiun 3
0
0
0
0
0
3,91
0,32
2,20
0,18
1,32
0,56
12,64
0,14
9,64
18,77
3,06
11,52
Spesies lamun yang memiliki nilai persen penutupan yang tertinggi adalah
Halodule uninervis sebesar 12,77% pada stasiun 1. Jenis lamun ini merupakan
yang paling banyak ditemukan di lokasi pengamatan Pulau Kelapa Dua. Dilihat
dari nilai persen penutupan, kondisi Komunitas lamun tergolong miskin
berdasarkan Keputusan Meteri Lingkungan Hidup no. 200 Tahun 2004 tentang
kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun dengan
nilai ≤29,9%.
40
b. Komposisi jenis lamun Pulau Kelapa Dua
Pengamatan yang di lakukan di Pulau Kelapa Dua menunjukan terdapat
lima spesies lamun yang termasuk kedalam dua famili yaitu Hydrocharitaceae
dan Cymodoceae. Kelima spesies tersebut adalah Cymodoceae rotundata,
Cymodocea serrulata, Halodule uninervis (Cymodoceae), Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii, Halophila ovalis (Hydrocharitaceae).
Keberadaan kelima spesies ini tidak merata dan biasanya tumbuh dalam
kelompok-kelompok kecil. Spesies lamun yang dapat ditemukan di ketiga
stasiun pengamatan adalah Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan Halodule
uninervis. Sedangkan jenis Cymodoceae serrulata hanya ditemukan di stasiun 2
(Gambar 11).
Berdasarkan hasil pengamatan ketiga stasiun yang dilakukan di Pulau
Kelapa Dua terdapat perbedaan komposisi jenis (Gambar 11). Perbedaan
komposisi jenis lamun ini disebabkan oleh penyebaran lamun yang tidak merata
di kawasan tersebut dan tergabung dalam kelompok-kelompok kecil. Zonasi
penyebaran lamun di Pulau Kelapa Dua tergolong vegetasi campuran karena
lamun yang ditemukan lebih dari satu jenis.
Pada Stasiun 1 ditemukan empat spesies lamun. Jenis lamun yang paling
sering ditemukan dan memiliki penutupan terbanyak dari jenis lainnya adalah
Halodule uninervis sebesar 67% dari total penutupan lamun sebesar 19%.
Komposisi terendah di stasiun ini adalah Halophila ovalis sebesar 2%. Kiswara
(2004) menyatakan H. ovalis tumbuh di daerah pasang surut tepi pantai sebagai
vegetasi tunggal atau bersama C. rotundata dan H. uninervis di antara jenis
lamun lainnya sehingga kadang-kadang tidak dapat terlihat. Jenis lamun ini
memiliki ukuran yang kecil jika dibandingkan dengan ke tiga spesies lainnya
yang ditemukan sehingga persen penutupannyapun juga kecil, namun H. ovalis
dapat ditemukan di ketiga stasiun pengamatan sehingga dapat dikatakan jenis
ini menyebar merata.
Pada stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 11 terdapat lima spesies lamun
yang teramati dan didominasi oleh jenis T. hemprichii sebesar 72% dari total
penutupan lamun pada stasiun 2. Keempat spesies lainnya adalah H. ovalis, H.
uninervis, C. rotundata, dan C. serrulata. Kemudian nilai penutupan jenis
terendah adalah H. uninervis sebesar 4%.
41
Stasiun 1
Cymodocea
rotundata
10%
Thalassia
hemprichii
21%
Halophila
ovalis
2%
Halodule
uninervis
67%
Stasiun 2
Halodule
uninervis
4%
Halophila
ovalis
6%
Cymodocea
rotundata
9% Cymodocea
serrulata
9%
Thalassia
hemprichii
72%
Stasiun 3
Thalassia
hemprichii
11%
Halophila
ovalis
5%
Halodule
uninervis
84%
Gambar 11. Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Kelapa Dua
Pada stasiun 3 merupakan stasiun yang ditemukan jumlah jenis paling
sedikit yaitu hanya tiga jenis da
dan didominasi oleh jenis H. uninervis kembali
dengan nilai persen penutupan sebesar 84%. Nilai penutupan terendah dimiliki
oleh jenis H. ovalis sebesar 5%.
c. Frekuensi jenis lamun Pulau Kelapa Dua
Tabel 10 menjelaskan bahwa spesies Thalassia hemprichii tersebar cukup
merata sehingga mempunyai frekuensi jenis yang tinggi di semua stasiun. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Kuriandewa (2009) bahwa jenis lamun yang paling
luas sebarannya dan paling dominan di perairan Indonesia adalah T. hemprichii.
hemprichii
42
Spesies lain yang ditemukan di semua stasiun dengan nilai frekuensi jenis yang
rendah yaitu H. ovalis dan H. uninervis. Nilai frekuensi masing-masing jenis
lamun yang diamati di tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Frekuensi jenis lamun di Pulau Kelapa Dua
No.
Jenis
1
2
Cymodocea rotundata
Cymodoceae serrulata
3
Enhalus acoroides
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
0,64
0
0,09
0,18
0
0
0
0
0
4
Thalassia hemprichii
1,00
1,00
0,82
5
6
Halophila ovalis
Halodule uninervis
0,18
0,64
0,09
0,09
0,27
0,27
4.3 Biomasa Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua
Biomasa lamun dibedakan atas biomassa diatas permukaan substrat
(above-ground biomass) dan biomasa di dalam substrat (below-ground biomass).
Biomassa daun dinyatakan dalam gram berat kering (gbk) per satuan unit luas
(m2). Nilai biomasa lamun pada kedua pulau dapat dilihat pada Tabel 11 dan
Gambar 12.
Tabel 11. Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua (gbk/m2)
Stasiun
Pramuka
Atas
Bawah
1
11,6190
106,3258
2
5,4771
25,7053
3
59,5983
258,1202
Rata-rata
25,5648
130,0504
Rasio
1
5
Keterangan : gbk/m2 = gram berat kering per meter persegi.
Kelapa Dua
Atas
10,6636
6,4290
12,1698
9,7541
1
Bawah
50,4861
71,1842
63,4737
61,7147
6
Biomasa lamun alami pada Pulau Pramuka lebih tinggi dibandingkan
dengan Pulau Kelapa Dua. Hal ini disebabkan pada Pulau Pramuka jenis lamun
yang ditemukan memiliki morfologi tubuh yang lebih besar dan penutupan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua sehingga berpengaruh
terhadap nilai biomasa lamun tersebut, seperti pernyataan Azkab (2007) bahwa
padang lamun yang padat (rapat) menyebabkan biomasanya lebih tinggi, begitu
pula dengan jenis lamun yang mempunyai ukuran daun dan rizhoma yang lebih
43
besar akan menyebabkan biomassanya lebih tinggi. Selain itu, rendahnya nilai
biomasa lamun di Pulau Kelapa Dua dibandingkan dengan Pulau kelapa juga
disebabkan oleh kadar nutrien yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan
peningkatan biomasa makro algae. Deegan et al. (2002) in Kiswara (2009)
menemukan suatu perubahan dalam produsen primer dari lamun ke makro
algae sebagai reaksi terhadap peningkatan masuknya nutrisi adalah naiknya
biomasa algae dan turunnya kerapatan dan biomas lamun.
180.00
160.00
130,05
140.00
gbk/m2
120.00
100.00
80.00
60.00
25,56
61,71
Atas
Bawah
40.00
9,75
20.00
0.00
Pramuka
Kelapa Dua
Gambar 12. Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua
Biomasa bagian tumbuhan yang berada di bawah substrat pada kedua
pulau lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tumbuhan di atas permukaan
substrat. Hal ini disebabkan oleh tumbuhan lamun lebih banyak menyerap
nutrien dari substrat dibandingkan dari kolom perairan seperti pernyataan
Erftemeijer (1993) in Dahuri (2003) bahwa lamun mengambil ±90% nutrien
untuk pertumbuhannya melalui sistem perakaran. Hal ini juga dipengaruhi oleh
jenis substrat pada kedua pulau yang bertipe pasir sehingga dibutuhkan akar
dan rimpang yang besar dan kuat untuk dapat bertahan dari arus dan
gelombang.
Rasio antara biomasa bagian atas dan bawah substrat pada Pulau Pramuka
yaitu 1 : 5 dan pada Pulau Kelapa Dua 1 : 6. Nilai ini menandakan bagian tubuh
tumbuhan lamun bagian bawah substrat lima kali lebih besar dibandingkan
dengan bagian atas pada Pulau Pramuka dan pada Pulau Kelapa Dua enam kali
lebih besar. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan
44
morfologi tubuh lamun yakni daun, rimpang dan akar yang berbeda ditiap lokasi,
komposisi partikel substrat, kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien dan
kecepatan arus. Pada Pulau Pramuka morfologi daunnya lebih besar
dibandingkan dengan di Pulau Kelapa Dua, jenis lamun yang ditemukan pun
berbeda dari kedua pulau ini dengan komposisi jenis yang berbeda pula tiap
jenisnya. Komposisi substrat dan kecepatan arus mempengaruhi ukuran akar
dan rimpang seperti dijelaskan sebelumnya.
4.4 Transplantasi Lamun
4.4.1 Tingkat keberhasilan pertumbuhan transplantasi lamun
Tingkat keberhasilan dari berbagai jenis lamun transplantasi dengan
menggunakan metode Plugs di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua dapat dilihat
pada Gambar 13 dan 14.
Unit Transplantasi
14
12
Thalassia hemprichii
Unit
10
8
Halodule pinifolia
6
Cymodocea rotundata
4
Enhalus acoroides
2
0
Cymodocea serulata
1
2
3
4
12
Minggu ke-
Jumlah Tegakan
70
60
Lembar
unit
50
Jumlah Daun
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
40
30
20
10
0
1
2
3
Minggu ke-
4
12
1
2
3
Minggu ke-
4
12
Gambar 13. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Pramuka
45
Dari kelima jenis lamun yang di transplantasi dengan metode Plugs dapat
diketahui jenis yang tingkat keberhasilan tertinggi adalah T. hemprichii.
Sedangkan jenis-jenis lainnya mengalami penurunan pada pertumbuhan baik
dari jumlah unit transplantasi, jumlah tegakan maupun jumlah daun. Pada awal
penanaman terjadi fluktuasi jumlah yang hidup hal ini disebabkan pada awal
perlakukan tumbuhan lamun ini melakukan penyesuaian terlebih dahulu dengan
lingkungan yang baru dan pemulihan pada bagian tubuh yang terluka akibat
pemotongan, setelah beberapa waktu baru dapat tumbuh dengan perlahan dan
stabil. Keempat jenis lainnya yaitu dari jenis H. pinifolia, E. acoroides, C. serrulata
dan C. rotundata mengalami penurunan yang drastis, hal ini diduga karena
ketiga jenis ini tidak mampu beradaptasi dengan perlakuan penanaman dan
menjadikan perlakuan ini sebagai tekanan yang menjadi penghambat
perkembangan hidupnya. Secara umum dapat dikatakan keempat jenis lamun ini
kurang tepat untuk dilakukan transplantasi dengan metode Plugs.
Unit Transplantasi
10
Unit
8
Thalassia hemprichii
6
4
Halodule uninervis
2
Cymodocea rotundata
0
1
2
3
4
Minggu ke-
12
Jumlah Tegakan
Jumlah Daun
80
70
60
Lembar
Unit
50
40
30
20
10
0
1
2
3
4
Minggu ke-
12
160
140
120
100
80
60
40
20
0
1
2
3
4
12
Minggu ke-
Gambar 14. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Kelapa Dua
46
Hasil yang didapatkan pada Pulau Kelapa Dua agak sedikit berbeda dengan
Pulau Pramuka, seperti dilihat pada Gambar 14 jenis lamun H. uninervis memiliki
pertumbuhan tegakan dan daun yang tertinggi. Walaupun pada tiga minggu
pertama pengamatan jenis ini menurun cukup drastis tiap minggunya, namun
pada pengamatan terakhir mengalami peningkatan. Hal ini diduga akibat jenis
lamun H. uninervis membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi
dengan lingkungan dan perlakuan penanaman agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik.
Jenis T. hemprichii memiliki pertumbuhan unit transplantasi yang
berfluktuatif dari awal pengamatan hingga mengalami peningkatan pada minggu
ke dua belas. Jika dilihat dari pertumbuhan tegakan dan daun dapat dikatakan
pertumbuhan jenis ini meningkat sedikit demi sedikit sehingga dapat dikatakan
jenis ini cukup berhasil dilakukan transplantasi. Walaupun T.hemprichii
memiliki jumlah unit transplantasi yang lebih tinggi dari H. uninervis, namun
jumlah tegakan dan jumlah daun lebih rendah. Hal ini diduga karena morfologi
tubuh H. uninervis yang tipis dan memanjang ke atas sehingga kerapatan tumbuh
lebih tinggi. Sedangkan pada jenis T. hemprichii memiliki daun yang lebih lebar
dan merunduk kesamping. Dapat dilihat pula pada minggu ke-3 dan 4 suatu pola
pertumbuhan
pada
H.
uninervis
yang
menurun
dapat
meningkatkan
pertumbuhan dari jenis C. serrulata, begitu juga sebaliknya.
4.4.2 Laju pertumbuhan lamun transplantasi
Pengukuran pertumbuhan lamun yang dilakukan pada penelitian ini
berupa pertumbuhan panjang daun. Pertumbuhan panjang yang dimaksud disini
adalah selisih panjang daun yang tumbuh antara waktu penandaan awal dan
penandaan akhir pada interval waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari
sebanyak tiga kali pengulangan (empat minggu pengukuran) yang dapat disebut
pertumbuhan mutlak.
Pengukuran pertumbuhan daun selain dibedakan atas jenis lamun, juga
digolongkan berdasarkan kelompok umur yaitu daun muda, daun sedang dan
daun tua. Daun muda adalah daun baru, yang tumbuh setelah tahap penandaan.
Umumnya daun berwarna hijau muda, tipis dan kondisi ujung daun yang masih
utuh dan tidak rusak akibat gangguan dari luar seperti dimakan oleh konsumer
47
atau patah karena aktifitas manusia. Daun sedang merupakan daun yang tumbuh
saat penandaan berada dibagian tengah dari kumpulan daun dan memiliki daun
yang lebih tebal, berwarna hijau dan ujung daun yang juga masih utuh belum
terkena gangguan dari lingkungan seperti daun muda. Sedangkan daun tua
adalah daun yang berada paling luar dari kumpulan daun pada tiap tunas. Daun
tua melindungi daun yang lebih muda dengan seludangnya. Pada beberapa
tegakan yang teramati di lapangan, daun tua terlihat meluruh.
Tabel 12 menyajikan kisaran pertumbuhan panjang daun dari beberapa
jenis lamun di Pulau Pramuka. Pada Pulau Pramuka terdapat dua jenis lamun
yaitu T. hemprichii dengan pertumbuhan daun muda, sedang, dan tua secara
berturut-turut adalah 2,64 mm/hari; 1,89 mm/hari; 1,78 mm/hari dan C.
rotundata yaitu 1,00 mm/hari; 1,01mm/hari. Tidak didapatkan data
pertumbuhan rata-rata daun tua untuk jenis C. rotundata. Pada T. hemprichii
pertumbuhan terbesar sampai terkecil secara berturut-turut terjadi pada daun
muda, daun sedang dan terakhir daun tua. Hal ini disebabkan daun muda cepat
untuk mencapai ukuran yang stabil dan tahan terhadap tekanan lingkungan.
Sedangkan pada jenis C. rotundata tidak didapatkan perbedaan hasil
pengukuran pertumbuhan pada daun muda sedang dan tua yang signifikan. Hal
ini disebabkan pengukuran daun muda yang tidak diketahui waktunya dengan
pasti dan pertumbuhan daun tua yang tidak tercatat Hal ini disebabkan oleh
antara lain konsumer yang memakan daun sehingga panjang awal lebih panjang
dari pada panjang akhir dan pertumbuhan daun yang tidak sempat dicatat sudah
meluruh dan terlepas dari seludangnya.
Tabel 12. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka (mm/hari)
Jenis
Thalassia hemprichii
Cymodoceae rotundata
Laju Pertumbuhan Daun (mm/hari)
Daun Muda
2,64
1,00
Kisaran
1,03-3,80
0,79-1,59
Daun Sedang
1,89
1,01
Kisaran
0,76-3,03
0,69-1,33
Daun Tua
1,78
Kisaran
0,77-1,74
Pada Tabel 13 dapat dilihat terdapat tiga jenis lamun transplantasi di
Pulau Kelapa Dua yaitu T. hemprichii dengan rata-rata pertumbuhan daun muda,
sedang dan tua secara berturut-turut adalah 3,30 mm/hari; 4,36 mm/hari; 2,08
48
mm/hari, kemudian C. rotundata adalah 1,40 mm/hari; 3,30 mm/hari; 1,88
mm/hari, serta H. uninervis yaitu 2,54 mm/hari; 3,91 mm/hari; 1,00 mm/hari.
Tabel 13. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Kelapa Dua
(mm/hari)
Laju Pertumbuhan Daun (mm/hari)
Jenis
Thalassia hemprichii
Daun Muda
Kisaran
3,30
1,29-4,11
Daun Sedang
4,36
Kisaran
Daun Tua
Kisaran
2,39-10,27
2,08
2,36-3,49
Cymodoceae rotundata
1,40
0,94-2,20
3,30
2,01-4,20
1,88
1,40-2,61
Halodule uninervis
2,54
1,30-3,67
3,91
2,67-5,15
1,00
0,39-1,07
Panjang pertumbuhan daun lamun transplantasi lebih tinggi di Pulau
Kelapa Dua karena beberapa faktor, diantaranya: (1) Nutrien menjadi faktor
pembatas (penentu) pertumbuhan lamun. Kandungan nutrien dalam sedimen
pada Pulau Kelapa Dua sedikit lebih besar dari pada Pulau Pramuka di lihat dari
nilai kandungan C-organik sedimen sehingga pertumbuhan daun lamun lebih
optimal sebab kebutuhan akan nutrisi dari substrat terpenuhi, nutrien pada
kolom perairan juga menunjukan hasil yang sama yakni Pulau Kelapa Dua
memiliki kandungan nitrat yang lebih tinggi; (2) Ukuran partikel substrat pada
Pulau Pramuka memiliki kandungan partikel pasir yang lebih besar sehingga
energi yang dikeluarkan untuk menancapkan akar kedalam substrat tidak
sebesar pada Pulau Kelapa Dua. Ukuran partikel pasir yang besar dan beragam
membuat akar perlu ekstra kuat mempertahankan diri dalam substrat.
Ditambah lagi kecepatan arus pada Pulau Pramuka lebih besar. Oleh karena itu ,
hasil metabolisme lamun di Pulau Pramuka selain digunakan untuk
pertumbuhan juga dipakai untuk ekstensif sistem perakaran ke dalam substrat.
Menurut Badria (2007), kecepatan tumbuh pada daun muda lebih cepat
dari pada kategori umur daun lainya, hal ini diduga disebabkan pada daun muda
lebih cepat tumbuh untuk mencapai kondisi stabil karena struktur jaringan daun
muda belum sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan laut dilihat dari masih
tipisnya daun lamun. Lain halnya dengan daun berumur sedang yang telah
mencapai tahap stabil. Struktur daun yang tebal dan kaku mampu bertoleransi
terhadap salinitas yang tinggi dan menjalankan fungsinya menyerap nutrien dari
kolom air. Adapun daun tua karena sudah mendekati fase peluruhan, laju
pertumbuhan daunnya cenderung lambat. Namun pada penelitian ini, daun
49
muda tidak memiliki nilai pertumbuhan tertinggi. Hal ini disebabkan oleh waktu
pertumbuhan yang tidak dalam kurun waktu yang pasti seperti yang ditentukan
(tujuh hari). Daun muda merupakan daun baru yang tumbuh setelah tahap
penandaan, sehingga tidak diketahui kapan waktu pasti daun ini tumbuh karena
tidak ditandai. Namun nilai pertumbuhan masih lebih tinggi dari daun tua yang
sudah mengalami perlambatan pertumbuhan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azkab dan Kiswara (1994) in
Rohmimohtarto dan Juwana (2001) di Teluk Kuta, Lombok laju pertumbuhan
lamun alami jenis T. hemprichii pada daun muda dan tua secara berturut-turut
sebesar 4,51 mm/hari dan 4,06mm/hari, dan jenis C. rotundata sebesar 8,69
mm/hari dan 4,11 mm/hari. Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan lamun
transplantasi di kedua pulau nilai ini lebih tinggi, karena energi lebih banyak
digunakan untuk bertahan hidup sehingga perlakuan transplantasi dapat
mengurangi kemampuan tumbuhan lamun untuk tumbuh sehingga nilai laju
pertumbuhannya menjadi lebih kecil.
4.5 Pengelolaan Kawasan Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua
Pengelolaan
ekosistem
lamun
sangat
diperlukan
untuk
menjaga
keseimbangan ekologis ekosistem, sehingga kelestarian sumberdaya lamun
tetap terjaga. Selain itu pengelolaan ekosistem lamun diperlukan untuk
mengendalikan kerusakan ekosistem lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa
Dua yang semakin meningkat akibat pembangunan dan aktifitas kependudukan.
Cara yang paling efektif untuk pengelolaan lamun adalah dengan mencegah
terjadinya kerusakan yang semakin memburuk dibandingkan dengan daya pulih
alam itu sendiri untuk mencapai keseimbangan. Oleh karena itu campur tangan
manusia perlu dilakukan agar mempercepat proses pulih diri tersebut terhadap
ekosistem lamun dengan transplantasi lamun.
Menurut Kiswara (2009), sebelum melaksanakan kegiatan transplantasi
lamun dilakukan pemberitahuan, penjelasan tujuan kegiatan dan izin kepada
semua tingkat aparat pemerintahan mulai desa (kelurahan) sampai dengan
kabupaten (BAPPEDA) untuk menjamin keselamatan areal rehabilitasi dari
kegiatan pengurugan pantai selama kegiatan berlangsung. Penjelasan kepada
nelayan yang mengoperasikan alat tangkapnya untuk tidak bekerja di areal
50
tersebut. Mengajak serta nelayan dan penduduk di kawasan pesisir dalam
kegiatan
transplantasi
lamun
untuk
memberikan
pengetahuan
teknik
tranplantasi lamun.
Pengelolaan ekosistem lamun secara terpadu yang berbasis masyarakat
(Community Based Management) sangat diperlukan untuk pengelolaan lamun di
kedua pulau penelitian, hal ini disebabkan pulau-pulau ini merupakan pulau
pemukiman yang cukup padat, dan masyarakatnya sebagai penyumbang
kerusakan terbesar. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
ekosistem lamun bagi kehidupan masyarakat setempat dimasa depan.
Pemberdayaan masyarakat dalam mencegah terjadinya kerusakan serta
melakukan rehabilitasi kawasan lamun yang mengalami kerusakan perlu
dilakukan agar terjadi keberlanjutan proses peremajaan kawasan. Upaya yang
dilakukan antara lain: melakukan pelatihan dan bimbingan moral kepada
masyarakat, serta sosialisasi mengenai arti penting ekosistem lamun bagi
kehidupan manusia maupun kelestarian lingkungan pesisir. Selain itu
peningkatan sarana dan prasarana yang menunjang dalam pengelolaan limbah
sangat diperlukan agar pembuangan limbah tidak mencemari perairan.
Kemudian pelatihan transplantasi lamun pada kawasan yang mengalami
kerusakan. Pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan ini perlu dilakukan oleh
pemerintah setempat atau pemangku kepentingan agar terjadi keberlanjutan
sehingga kegiatan ini dapat berhasil.
Download