BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dan bersuhu hangat, kondisi ini menjadikan Indonesia habitat yang ideal untuk berkembang biak nyamuk yang dapat menjadi vektor penyakit. Penyakit yang ditimbulkan oleh nyamuk sangat bermacam-macam seperti malaria, kaki gajah dan yang masih menjadi endemik di hampir seluruh wilayah Indonesia salah satunya adalah demam berdarah dengue (DBD) (Depkes, 2013). Penyakit DBD adalah penyakit menular yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian dalam jangka waktu yang singkat dan yang lebih parah lagi penyakit ini dapat menjadi wabah. Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Indonesia tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dan angka kematiannya sebesar 24 orang (41,3 %) (Lestari, 2007). Sampai saat ini, penyakit DBD telah menyebar hingga ke seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Penyebaran penyakit ini melalui vektor nyamuk Aedes, yaitu nyamuk Aedes aegypti (Ae. aegypti) , Aedes albopictus (Ae. albopictus). Obat khusus untuk menyembuhkan demam berdarah belum ditemukan sehingga cara yang paling efektif agar terhindar dari penyakit ini adalah dengan mencegah. Berbagai upaya yang telah dilakukan sebagai pencegahan demam berdarah salah satunya adalah pengendalian nyamuk Ae. aegypti, pada umumnya dengan penggunaan bahan kimia seperti senyawa golongan organofosfat, 1 2 organoklorin, karbamat dan pteroid (Yang et al, 2002). Namun penggunaan bahan kimia secara terus-menerus dapat berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan, juga menimbulkan resistensi nyamuk terhadap insektisida (Wilkinson & Moore, 1982; Anonim, 2013). Pada tahap larva (jentik), pengurangan vektor nyamuk dapat dilakukan dengan menggunakan larvasida sintetik. Larvasida sintetik seperti temefos, fenitrotion, malation merupakan insektisida yang sering digunakan untuk membunuh larva. Larvasida sintetik bersifat bioaktif, mengandung bahan kimia yang sukar mengalami degradasi di alam sehingga penggunaan larvasida sintetik yang berulang-ulang dapat mencemari lingkungan karena residu yang ditinggalkan sukar diurai oleh alam bahkan mengacaukan sistem biologi hayati (Yunita, 2006), serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada organisme non-target (Brown, 1986). Pencemaran lingkungan akibat penggunaan larvasida sintetik menjadi isu yang akhir-akhir ini santer diperdebatkan karena kesadaran masyarakat dunia tentang pencemaran lingkungan yang makin meningkat sehingga mulai dilakukan pencarian alternatif larvasida yang lebih aman dan ramah lingkungan tapi juga efektif dalam mengendalikan populasi vektor. Penggunaan ekstrak tanaman sebagai bio-larvasida menjadi salah satu alternatif yang lebih aman dibandingkan dengan larvasida sintetik karena lebih mudah terbiodegradasi sehingga mencegah dampak buruk yang terjadi akibat penggunaan bahan kimia. Ekstrak tanaman terdiri dari banyak senyawa aktif yang dapat memberikan efek sinergis sebagai larvasida. 3 Tanaman tapak dara (Catharanthus roseus) termasuk famili Apocynaceae. Tanaman tapak dara yang seringkali dijumpai sebagai tanaman hias atau tumbuh liar di tepi jalan ternyata memiliki berbagai macam khasiat sebagai obat batuk, peluruh haid, pembersih darah, penurun tekanan darah, sebagai antimalaria, obat kencing manis (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) dan anti kanker (Ariani, 2011). Tapak dara memiliki senyawa flavonoid yang mempunyai aktivitas anti oksidan dan senyawa alkaloid yang bersifat sitotoksik dengan senyawa diantaranya vinblastin, vinkristin, leurosin, vincandolin, catarantin, dan locerin (Hariana, 2007). Efek sitotoksik dari senyawa alkaloid yang dimiliki tapak dara dicurigai dapat digunakan sebagai insektisida. Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat anti-feedant dan toksik. Senyawa alkaloid dapat mendegradasi membran sel kemudian merusak sel (Nopiyanti et al., 2008). Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taha et al. (2011) dengan menggunakan ekstrak etanol daun tapak dara terhadap larva Anopheles arabiansis mampu memberikan efek larvasida. Pada penelitian yang dilakukan Remia dan Logaswamy (2010) ekstrak aseton daun tapak dara memiliki efek larvasida terhadap larva instar II Ae. aegypti. Dari penelitian ini, kemudian menjadi dasar penelitian skripsi ini. Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas larvasida ekstrak larut air daun tapak dara terhadap larva nyamuk Ae. aegypti yang merupakan vektor utama penyakit DBD dan penentuan profil kromatografi lapis tipis (KLT) dari ekstrak larut air daun tapak dara. 4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu 1. Apakah ekstrak larut air daun tapak dara (Catharanthus roseus ) mengandung alkaloid yang dapat membunuh larva Ae. aegypti ? 2. Berapa nilai LC50 dan LC90 ekstrak larut air daun tapak dara (Catharanthus roseus ) terhadap larva Ae. aegypti ? C. Pentingnya Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan penelitian dalam usaha menemukan larvasida yang berasal dari alam. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas dapat ditentukan tujuan dari penelitian ini yaitu 1. Mengetahui aktivitas larvasida ekstrak daun tapak dara (C.. roseus ) yang mengandung alkaloid terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. 2. Menentukan nilai LC50 dan LC90 ekstrak daun tapak dara (C.. roseus ) terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Tapak Dara a. Morfologi Tanaman Tapak dara dapat dijumpai di banyak negara tropis. Di Indonesia tanaman dikenal dengan nama tapak doro (Jawa), tapak liman (Melayu). Di Madagaskar dikenal dengan nama periwinkle. Tanaman ini memiliki sinonim nama latin Lachnera rosea (L.) Reichen B. ex Endl; Vinca Rosea L. (Anonim, 2008). Tanaman ini berupa tumbuhan semak dengan tinggi 1-2 m. Batang berkayu, bulat, bercabang, beruas dan berwarna hijau. Berdaun tunggal berbentuk bulat telur, tepi rata, mengkilat, tangkai panjang 2-6 cm, lebar 1-3 cm, pertulangan menyirip dan berwarna hijau. Terdapat getah di bagian ujung daun. Bunga tunggal, terletak di ketiak daun, memiliki mahkota berbentuk terompet, panjang tangkai bunga 2,5-3 cm, kelopak bunga bertajuk lima. Buah berbentuk kotak pipih berwarna hijau saat masih muda dan ketika tua. Ketika dibuka, terdapat biji biji kecil, keras dan berwarna coklat-hitam. Berakar tunggang berwarna putih (Anonim, 2008; Dalimartha, 1999). Tanaman tapak dara merupakan tanaman dekoratif pada kebun dan pekarangan rumah tapi dapat juga tumbuh secara liar. Penyebaran tanaman ini pada daerah-daerah tropis seperti Madagaskar, Indonesia, dan India. 6 b. Klasifikasi Tanaman Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Gentianales Suku : Apocynaceae Marga : Catharanthus Jenis : Catharanthus roseus (L.) G. Don (Backer dan van De Brink, 1965) Gambar 1. Tanaman tapak dara yang diperoleh dari daerah Pogung, Sleman, Yogjakarta c. Kandungan Kimia Hasil penelitian melaporkan, tapak dara memiliki komposisi 30% daun, 15% akar, dan 55% batang (Ariani, 2011). Seluruh bagian dari tanaman ini mengandung alkaloid. Kandungan alkaloid dalam tanaman tapak dara sebesar 0,15-1,34% pada bagian akar, 0,074-0,48 di bagian batang, 0,32-1,16% pada daun, bunga 0,005-0,84%, biji 0,18% dan perikarp 1,14% (Aslam et al., 2010). Tapak dara mengandung sekitar 130 alkaloid indol atau dihidroindol yang merupakan senyawa asam amino triptofan. Konstituen utamanya adalah 7 vindolin, sedangkan senyawa mayor adalah serpentin, catarantin, ajmalisin, ajmalin, akuamidin, locerin dan tetra hidroalastonin. Ajmalisin dan serpentin terdapat pada akar, sedangkan vindolin, katarantin dan ajmalin terdapat di bagian aerial (Aslam et al., 2010; Prajakta et al., 2010 ) . Selain itu juga ditemukan 25 alkaloid berbentuk dimer di alam. Bagian daun dan batang merupakan salah satu sumber dari alkaloid dimer. Salah satu senyawa dimer yang sering digunakan dalam banyak penelitian adalah vinkristin dan vinblastin. Vinkristin dan vinblastin merupakan alkaloid dimer yang dilaporkan beraktivitas sebagai antikanker (sitotoksik) (Aslam et al., 2010; Kardinan dan Taryono, 2004). Selain alkaloid, pada tapak dara juga ditemukan golongan senyawa fenolik, turunan flavonoid, asam organik dan asam-asam amino sebagai metabolitnya (Pereira et al., 2009) (a) (c) (b) (d) 8 (e) Gambar. 2 Struktur kimia (a) Vindolin; (b) Catarantin; (c) Vinkristin; (d) Serpentin; (e) Vinblastin (Wang et al., 2011; Zhigaltsev, 2005) d. Kegunaan Tapak dara telah digunakan sejak dahulu secara turun temurun. Kandungan alkaloidnya memiliki efek sebagai antikanker, antidiabetes, diuretik, antihipertensi, tonikum, sedatif, antimikroba dan antidisentri ( Joy et al., 1998) Pada penggunaan tradisional tapak dara digunakan untuk penurun kadar glukosa sehingga dapat digunakan sebagai antidiabetes (Dalimartha, 1999). Alkaloid vinblastin dan vinkristin sebagai antitumor merupakan bahan yang dapat mengobati kanker. Kedua alkaloid ini telah diisolasi dalam bentuk kristal murni sebagai obat kanker leher dan payudara. Alkaloid ajmalin diketahui berkhasiat dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi darah, khususnya peredaran darah pusat. Alkaloid serpentin berkhasiat sebagai penenang (Aslam et al., 2010) Aktivitas larvasida telah didapatkan pada ekstrak aseton daun tapak dara untuk LC50 75,31 ppm untuk larva nyamuk Ae. aegypti instar II, 156,85 ppm untuk larva Ae. aegypti instar IV dan 207,83 ppm untuk pupa Ae. aegypti (Remia dan Logaswamy, 2010). 9 2. Nyamuk Ae. aegypti 1. Taksonomi Ae. aegypti Di dalam dunia hewan, nyamuk Ae. aegypti memiliki klasifikasi sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes Jenis : Aedes aegypti (L.) (Soegijanto,2006) 2. Daur hidup nyamuk Ae. aegypti Nyamuk Ae. aegypti bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih (bak mandi, tempayan, drum air, sumur) dan wadah yang berisi air bersih atau air hujan (vas bunga, pot bunga, kaleng bekas) (Imanillah, 2008). Nyamuk Aedes termasuk dalam ordo Diptera yang mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu semua fase daur hidupnya mempunyai perbedaan yang nyata baik pada morfologi, cara hidup, sifat, maupun tempat hidupnya (Gandahusada et al., 1998). Daur hidup nyamuk melalui 4 stadium yang terdiri dari telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa (Sudarto, 1972). Daur hidup nyamuk Ae. aegypti adalah sebagai berikut : 10 Gambar 3. Daur hidup nyamuk Ae. aegypti (Hopp and Foley, 2001). 3. Morfologi nyamuk Ae. aegypti Berikut ini adalah morfologi tahap perkembangan nyamuk Ae. aegypti : 1) Telur Telur Aedes berwarna hitam, tampak bulat memanjang dan berbentuk jorong (oval) berukuran 0,5 – 0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung. Telur diletakkan satu demi satu menempel pada dinding wadah/tempat perindukan di permukaan air atau sedikit di bawah permukaan air. Jumlah telur antara 100-300 butir dalam sekali bertelur. Waktu penetasan telur 1-2 hari atau dapat lebih lama bergantung pada keadaan air di wadah/tempat. Telur Aedes dapat bertahan berbulan-bulan dalam kondisi kering dan bila telur ini terendam air dapat menetas menjadi larva. Pada dinding luar (exochorion) telur Aedes tampak adanya garis-garis dan membentuk gambaran seperti kain kasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi 11 daya tetas telur adalah suhu, pH air perindukan, cahaya, serta kelembaban (Ginanjar, 2008). Gambar 4. Telur Ae. aegypti (Malar, 2006) 2) Larva Telur menetas lalu berkembang menjadi larva (jentik). Larva terdiri dari atas 4 substadium (instar) sebelum akhirnya berubah menjadi pupa, dari larva menjadi pupa diperlukan waktu 4-9 hari. Pertumbuhan larva dari instar I sampai dengan instar IV ditandai dengan proses pengelupasan kulit (moulting). Perkembangan dari instar I ke instar II perlu waktu 2-3 hari, dari instar II ke instar III perlu waktu 2 hari dan perubahan dari instar III ke instar IV berlangsung dalam waktu 2-3 hari (Sudarto, 1972). Larva Ae. aegypti biasanya bergerak lincah dan aktif dengan memperlihatkan gerakan naik-turun ke permukaan air secara berulang. Pada saat larva mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan corong udara (siphon) pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut dengan permukaan air (Kusnindar, 1990). 12 A B Gambar 5. (A) Larva Ae. aegypti (B) Penampang segmen ujung ekor pada larva Ae. aegypti ( Malar, 2006; WHO, 1995) 3) Pupa Stadium pupa merupakan stadium akhir di dalam air. Stadium pupa berbentuk bengkok dengan kepala-dada (cephalothorax) lebih besar dibandingkan bagian perutnya dan bernafas dengan sepasang organ berbentuk terompet (Soegijanto, 2006). Stadium pupa merupakan fase puasa (tanpa makan) namun memerlukan udara dan sangat sensitif terhadap pergerakan air. Jika terjadi pergerakan air maka pupa bergerak cepat menyelam ke dalam air kemudian muncul kembali dengan cara menggantungkan badannya menggunakan tabung pernafasan pada permukaan air. Setelah 1-2 hari pupa akan berkembang menjadi nyamuk dewasa (Cahyati & Suharyo, 2006; Sudarto, 1972). 13 Gambar 6. Pupa Ae. aegypti ( Malar, 2006) 4) Dewasa Pada stadium dewasa nyamuk Ae. aegypti tubuhnya tersusun atas 3 bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala memiliki sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Pada dada terdapat tanda spesifik gambaran seperti lira, 3 pasang kaki yang beruas serta sepasang sayap depan dan sayap belakang yang mengecil berfungsi sebagai penyeimbang (halter). Perut terdiri dari sepuluh ruas dengan ruas terakhir menjadi alat kelamin. Bagian dorsal perut berwarna hitam bergaris-garis putih, sedang pada bagian ventral serta lateral berwarna hitam dengan bintik-bintik putih keperakan (Sudarto, 1972). Perbedaan antara nyamuk betina dan jantan terletak pada bagian mulut dan antena. Nyamuk betina mempunyai antena bertipe pilose dan mulut tipe penusuk-penghisap (piercing-sucking) sehingga mampu menghisap darah manusia. Nyamuk jantan memiliki antena tipe pulmose dan memiliki mulut yang lebih ramping sehingga tidak mampu menembus kulit manusia. (Soegijanto, 2006) 14 A B Gambar 7. (A) Nyamuk Ae. aegypti betina (B) Bentuk thorax pada nyamuk Ae. aegypti betina dewasa (Malar, 2006; WHO, 1995) 4. Peran Ae. aegypti di bidang kesehatan Nyamuk merupakan salah satu ektoparasit yang menimbulkan masalah kesehatan karena nyamuk merupakan vektor penular berbagai penyakit. Selain sebagai vektor penular, nyamuk juga berperan sebagai inang antara. Inang antara artinya nyamuk secara normal digunakan oleh agen penyakit untuk melangsungkan sebagian daur hidupnya, tetapi tidak sampai mengalami kematangan kelamin (Hadi & Soviana, 2000). Nyamuk Ae. aegypti diketahui sebagai pembawa virus flavivirus yang merupakan vektor penyakit menular DBD. Penyakit ini menular melalui air liur nyamuk pada saat darah dihisap. Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di sebagian wilayah Indonesia. Jumlah kasus penderita DBD terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2011 sampai bulan agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80%) (Ditjen P2PL Depkes RI, 2011). 15 5. Upaya pengendalian nyamuk Ae. aegypti Pengendalian nyamuk Ae. aegypti bertujuan untuk mengurangi atau menekan populasi nyamuk serendah-rendahnya sehingga tidak menjadi penular penyakit (Anonim, 2000). Pemberantasan pada fase nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : 1. Kimia : Pengasapan menggunakan alat fogging dengan insektisida untuk memutuskan rantai penularan antara nyamuk dengan manusia. Insektisida yang dapat digunakan adalah insektisida golongan (Sudarmo, 1991): 1. Organofosfat, contoh : temefos. 2. Piretroid sintetik, contoh : permetrin. 3. Karbamat. 2. Biologi : Serangga golongan artropoda dapat dipakai sebagai pengendali nyamuk dewasa. Golongan artropoda bersifat parasit dan dapat membunuh nyamuk dewasa. Contoh : Arrenurus madarazzi. 3. Fisik : Memasang kawat kasa di lubang angin di atas jendela atau pintu, memasang lampu kuning juga dapat menghalau nyamuk. Pemberantasan pada fase jentik (larva), merupakan salah satu program pemerintah yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (Ditjen P2PL Depkes RI, 2011). PSN dilakukan dengan cara : 16 1. Kimia : Menaburkan racun pembasmi jentik (larvasida) atau dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. 2. Biologi : Memelihara ikan pemakan jentik (ikan gupi, ikan kepala timah) 3. Fisik : Menguras tempat penampungan air minimal seminggu sekali, menutup tempat-tempat penampungan air, mengubur barang bekas yang dapat menampung air Upaya pengendalian banyak difokuskan pada stadium larva dimana pada stadium ini nyamuk tidak dapat berpindah dari air tempat hidupnya sehingga mempermudah dalam pengaplikasian senyawa kimia (Tennyson et al., 2012). Menurut WHO (2005), resistensi terhadap penggunaan temefos dan senyawa organofosfat lainnya dapat ditimbulkan karena pemakaian secara terus menerus. Selain itu pencemaran lingkungan juga dapat disebabkan akibat penggunaan senyawa organofosfat. 3. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi merupakan teknik pemisahan senyawa yang paling umum digunakan untuk analisis secara kualitatif, kuantitatif maupun preparatif. Berbagai macam kromatografi telah dikembangkan saat ini dengan tujuan memudahkan pemisahan senyawa sehingga didapatkan komponen-komponen yang murni dan selektif. Kromatografi dapat dibedakan berdasarkan alat yang digunakan, yaitu: Kromatografi kertas, Kromatografi lapis tipis, Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan kromatografi gas (GC). 17 Salah satu metode kromatografi sederhana yang masih dipakai hingga saat ini adalah kromatografi lapis tipis. Kromatografi lapis tipis digunakan untuk memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam (sifat lapisan) dalam fase gerak (larutan pengembang). Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap (kromatografi cair-padat) atau sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Empat fase diam yang paling umum dipakai adalah silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome) dan selulosa. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut (Gritter et al., 1991). Sampel senyawa ditotolkan pada fase diam. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas. Masing-masing totolan sampel akan terelusi dengan jarak tempuh yang berbeda-beda karena afinitas yang berbeda dari masing-masing komponen dengan fase diam atau fase gerak (Sharma, 1996). Pengamatan visual dilakukan sebagai evaluasi hasil kromatogram dan dibandingkan jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan. Jarak ini dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation factor), dengan rumus sebagai berikut : Rf = Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Jarak yang ditempuh pelarut Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua desimal. Pengertian hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), yang menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Sharma, 1996). 18 F. Landasan Teori Nyamuk Ae. aegypti merupakan salah satu vektor penyakit DBD. Di Indonesia, demam berdarah masih menjadi penyakit endemis. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah saat ini antara lain dengan menerapkan konsep 3M+, penggunaan obat antinyamuk dan penggunaan larvasida (Melisa, 2013). Penggunaan larvasida diyakini mampu mengendalikan populasi Ae. aegypti pada stadium larva. Larvasida yang sering digunakan adalah jenis larvasida sintetik. Padahal penggunaan larvasida sintetik yang berlebihan memiliki dampak negatif, diantaranya pencemaran lingkungan dan resistensi serangga. Adanya laporan terjadinya resistensi serangga terhadap zat-zat kimia tertentu yang sering digunakan sebagai larvasida sehingga diperlukan agen larvasida baru yang tidak menimbulkan resistensi terhadap serangga dan ramah lingkungan. Daun tapak dara (C. roseus) telah diketahui memiliki kandungan alkaloid yang tinggi. Senyawa alkaloid pada tanaman tapak dara dilaporkan memiliki sifat toksis terhadap berbagai jenis larva nyamuk. Ekstrak aseton daun tapak dara juga telah dilaporkan memiliki efek larvasida terhadap nyamuk Ae. aegypti (Remia dan Logaswamy, 2010). Pemilihan ekstrak larut air pada penelitian ini dikarenakan ekstrak larut air lebih mudah diaplikasikan oleh masyarakat. G. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas ekstrak larut air daun tapak dara (Catharanthus roseus) mengandung senyawa alkaloid yang dapat berefek larvasida terhadap larvaA.aegypti.