1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dan bersuhu hangat, kondisi
ini menjadikan Indonesia habitat yang ideal untuk berkembang biak nyamuk yang
dapat menjadi vektor penyakit. Penyakit yang ditimbulkan oleh nyamuk sangat
bermacam-macam seperti malaria, kaki gajah dan yang masih menjadi endemik di
hampir seluruh wilayah Indonesia salah satunya adalah demam berdarah dengue
(DBD) (Depkes, 2013).
Penyakit DBD adalah penyakit menular yang sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan kematian dalam jangka waktu yang singkat dan yang lebih
parah lagi penyakit ini dapat menjadi wabah. Penyakit ini pertama kali dilaporkan
di Indonesia tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dan angka
kematiannya sebesar 24 orang (41,3 %) (Lestari, 2007). Sampai saat ini, penyakit
DBD telah menyebar hingga ke seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah kasus
yang terus meningkat. Penyebaran penyakit ini melalui vektor nyamuk Aedes,
yaitu nyamuk Aedes aegypti (Ae. aegypti) , Aedes albopictus (Ae. albopictus).
Obat khusus untuk menyembuhkan demam berdarah belum ditemukan
sehingga cara yang paling efektif agar terhindar dari penyakit ini adalah dengan
mencegah. Berbagai upaya yang telah dilakukan sebagai pencegahan demam
berdarah salah satunya adalah pengendalian nyamuk Ae. aegypti, pada umumnya
dengan penggunaan bahan kimia seperti senyawa golongan organofosfat,
1
2
organoklorin, karbamat
dan pteroid (Yang et al, 2002). Namun penggunaan
bahan kimia secara terus-menerus dapat berdampak buruk terhadap kesehatan
manusia dan
kerusakan lingkungan, juga menimbulkan resistensi nyamuk
terhadap insektisida (Wilkinson & Moore, 1982; Anonim, 2013).
Pada tahap larva (jentik), pengurangan vektor nyamuk dapat dilakukan
dengan
menggunakan larvasida sintetik. Larvasida sintetik seperti temefos,
fenitrotion, malation merupakan insektisida yang sering digunakan untuk
membunuh larva. Larvasida sintetik bersifat bioaktif, mengandung bahan kimia
yang sukar mengalami degradasi di alam sehingga penggunaan larvasida sintetik
yang berulang-ulang dapat mencemari lingkungan
karena residu
yang
ditinggalkan sukar diurai oleh alam bahkan mengacaukan sistem biologi hayati
(Yunita, 2006), serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada organisme
non-target (Brown, 1986).
Pencemaran lingkungan akibat penggunaan larvasida sintetik menjadi isu
yang akhir-akhir ini santer diperdebatkan karena kesadaran masyarakat dunia
tentang pencemaran lingkungan yang makin meningkat sehingga mulai dilakukan
pencarian alternatif larvasida yang lebih aman dan ramah lingkungan tapi juga
efektif dalam mengendalikan populasi vektor.
Penggunaan ekstrak tanaman sebagai bio-larvasida menjadi salah satu
alternatif yang lebih aman dibandingkan dengan larvasida sintetik karena lebih
mudah terbiodegradasi sehingga mencegah dampak buruk yang terjadi akibat
penggunaan bahan kimia. Ekstrak tanaman terdiri dari banyak senyawa aktif yang
dapat memberikan efek sinergis sebagai larvasida.
3
Tanaman tapak dara (Catharanthus roseus) termasuk famili Apocynaceae.
Tanaman tapak dara yang seringkali dijumpai sebagai tanaman hias atau tumbuh
liar di tepi jalan ternyata memiliki berbagai macam khasiat sebagai obat batuk,
peluruh haid, pembersih darah, penurun tekanan darah, sebagai antimalaria, obat
kencing manis (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) dan anti kanker (Ariani,
2011). Tapak dara memiliki senyawa flavonoid yang mempunyai aktivitas anti
oksidan dan senyawa alkaloid yang bersifat sitotoksik dengan senyawa
diantaranya vinblastin, vinkristin, leurosin, vincandolin, catarantin, dan locerin
(Hariana, 2007).
Efek sitotoksik dari senyawa alkaloid yang dimiliki tapak dara dicurigai
dapat digunakan sebagai insektisida. Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat
anti-feedant dan toksik. Senyawa alkaloid dapat mendegradasi membran sel
kemudian
merusak sel (Nopiyanti et al., 2008). Hal ini dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Taha et al. (2011) dengan menggunakan ekstrak
etanol daun tapak dara terhadap larva Anopheles arabiansis mampu memberikan
efek larvasida.
Pada penelitian yang dilakukan Remia dan Logaswamy (2010) ekstrak
aseton daun tapak dara memiliki efek larvasida terhadap larva instar II Ae.
aegypti. Dari penelitian ini, kemudian menjadi dasar penelitian skripsi ini.
Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas larvasida ekstrak larut air daun
tapak dara terhadap larva nyamuk Ae. aegypti yang merupakan vektor utama
penyakit DBD dan penentuan profil kromatografi lapis tipis (KLT) dari ekstrak
larut air daun tapak dara.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu
1.
Apakah ekstrak larut air daun tapak dara (Catharanthus roseus ) mengandung
alkaloid yang dapat membunuh larva Ae. aegypti ?
2.
Berapa nilai LC50 dan LC90 ekstrak larut air daun tapak dara (Catharanthus
roseus ) terhadap larva Ae. aegypti ?
C. Pentingnya Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan
penelitian dalam usaha menemukan larvasida yang berasal dari alam.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas dapat ditentukan tujuan dari penelitian ini yaitu
1.
Mengetahui aktivitas larvasida ekstrak daun tapak dara (C.. roseus ) yang
mengandung alkaloid terhadap larva nyamuk Ae. aegypti.
2.
Menentukan nilai LC50 dan LC90 ekstrak daun tapak dara (C.. roseus ) terhadap
larva nyamuk Ae. aegypti.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Tapak Dara
a.
Morfologi Tanaman
Tapak dara dapat dijumpai di banyak negara tropis. Di Indonesia tanaman
dikenal dengan nama tapak doro (Jawa), tapak liman (Melayu). Di Madagaskar
dikenal dengan nama periwinkle. Tanaman ini memiliki sinonim nama latin
Lachnera rosea (L.) Reichen B. ex Endl; Vinca Rosea L. (Anonim, 2008).
Tanaman ini berupa tumbuhan semak dengan tinggi 1-2 m. Batang
berkayu, bulat, bercabang, beruas dan berwarna hijau. Berdaun tunggal
berbentuk bulat telur, tepi rata, mengkilat, tangkai panjang 2-6 cm, lebar 1-3
cm, pertulangan menyirip dan berwarna hijau. Terdapat getah di bagian ujung
daun. Bunga tunggal, terletak di ketiak daun, memiliki mahkota berbentuk
terompet, panjang tangkai bunga 2,5-3 cm, kelopak bunga bertajuk lima. Buah
berbentuk kotak pipih berwarna hijau saat masih muda dan ketika tua. Ketika
dibuka, terdapat biji biji kecil, keras dan berwarna coklat-hitam. Berakar
tunggang berwarna putih (Anonim, 2008; Dalimartha, 1999).
Tanaman tapak dara merupakan tanaman dekoratif pada kebun dan
pekarangan rumah tapi dapat juga tumbuh secara liar. Penyebaran tanaman ini
pada daerah-daerah tropis seperti Madagaskar, Indonesia, dan India.
6
b.
Klasifikasi Tanaman
Divisi
:
Spermatophyta
Anak divisi
:
Angiospermae
Kelas
:
Dicotyledonae
Bangsa
:
Gentianales
Suku
:
Apocynaceae
Marga
:
Catharanthus
Jenis
:
Catharanthus roseus (L.) G. Don
(Backer dan van De Brink, 1965)
Gambar 1. Tanaman tapak dara yang diperoleh dari daerah Pogung, Sleman,
Yogjakarta
c.
Kandungan Kimia
Hasil penelitian melaporkan, tapak dara memiliki komposisi 30% daun,
15% akar, dan 55% batang (Ariani, 2011). Seluruh bagian dari tanaman ini
mengandung alkaloid. Kandungan alkaloid dalam tanaman tapak dara sebesar
0,15-1,34% pada bagian akar, 0,074-0,48 di bagian batang, 0,32-1,16% pada
daun, bunga 0,005-0,84%, biji 0,18% dan perikarp 1,14% (Aslam et al., 2010).
Tapak dara mengandung sekitar 130 alkaloid indol atau dihidroindol yang
merupakan senyawa asam amino triptofan. Konstituen utamanya adalah
7
vindolin, sedangkan senyawa mayor adalah serpentin, catarantin, ajmalisin,
ajmalin, akuamidin, locerin dan tetra hidroalastonin. Ajmalisin dan serpentin
terdapat pada akar, sedangkan vindolin, katarantin dan ajmalin terdapat di
bagian aerial (Aslam et al., 2010; Prajakta et al., 2010 ) . Selain itu juga
ditemukan 25 alkaloid berbentuk dimer di alam. Bagian daun dan batang
merupakan salah satu sumber dari alkaloid dimer. Salah satu senyawa dimer
yang sering digunakan dalam banyak penelitian adalah vinkristin dan
vinblastin. Vinkristin dan vinblastin merupakan alkaloid dimer yang dilaporkan
beraktivitas sebagai antikanker (sitotoksik) (Aslam et al., 2010; Kardinan dan
Taryono, 2004). Selain alkaloid, pada tapak dara juga ditemukan golongan
senyawa fenolik, turunan flavonoid, asam organik dan asam-asam amino
sebagai metabolitnya (Pereira et al., 2009)
(a)
(c)
(b)
(d)
8
(e)
Gambar. 2 Struktur kimia (a) Vindolin; (b) Catarantin; (c) Vinkristin; (d)
Serpentin; (e) Vinblastin (Wang et al., 2011; Zhigaltsev, 2005)
d.
Kegunaan
Tapak dara telah digunakan sejak dahulu secara turun temurun.
Kandungan alkaloidnya memiliki efek sebagai antikanker, antidiabetes,
diuretik, antihipertensi, tonikum, sedatif, antimikroba dan antidisentri ( Joy et
al., 1998)
Pada penggunaan tradisional tapak dara digunakan untuk penurun kadar
glukosa sehingga dapat digunakan sebagai antidiabetes (Dalimartha, 1999).
Alkaloid vinblastin dan vinkristin sebagai antitumor merupakan bahan yang
dapat mengobati kanker. Kedua alkaloid ini telah diisolasi dalam bentuk kristal
murni sebagai obat kanker leher dan payudara. Alkaloid ajmalin diketahui
berkhasiat dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi
darah, khususnya peredaran darah pusat. Alkaloid serpentin berkhasiat sebagai
penenang (Aslam et al., 2010)
Aktivitas larvasida telah didapatkan pada ekstrak aseton daun tapak dara
untuk LC50 75,31 ppm untuk larva nyamuk Ae. aegypti instar II, 156,85 ppm
untuk larva Ae. aegypti instar IV dan 207,83 ppm untuk pupa Ae. aegypti
(Remia dan Logaswamy, 2010).
9
2. Nyamuk Ae. aegypti
1. Taksonomi Ae. aegypti
Di dalam dunia hewan, nyamuk Ae. aegypti memiliki klasifikasi sebagai
berikut:
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Bangsa
: Diptera
Suku
: Culicidae
Marga
: Aedes
Jenis
: Aedes aegypti (L.)
(Soegijanto,2006)
2. Daur hidup nyamuk Ae. aegypti
Nyamuk Ae. aegypti bertelur dan berkembang biak di tempat
penampungan air bersih (bak mandi, tempayan, drum air, sumur) dan wadah
yang berisi air bersih atau air hujan (vas bunga, pot bunga, kaleng bekas)
(Imanillah, 2008).
Nyamuk Aedes termasuk dalam ordo Diptera yang mengalami
metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu semua fase daur hidupnya
mempunyai perbedaan yang nyata baik pada morfologi, cara hidup, sifat,
maupun tempat hidupnya (Gandahusada et al., 1998). Daur hidup nyamuk
melalui 4 stadium yang terdiri dari telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa
(Sudarto, 1972).
Daur hidup nyamuk Ae. aegypti adalah sebagai berikut :
10
Gambar 3. Daur hidup nyamuk Ae. aegypti (Hopp and Foley, 2001).
3.
Morfologi nyamuk Ae. aegypti
Berikut ini adalah morfologi tahap perkembangan nyamuk Ae. aegypti :
1) Telur
Telur Aedes berwarna hitam, tampak bulat memanjang dan berbentuk
jorong (oval) berukuran 0,5 – 0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki
alat pelampung. Telur diletakkan satu demi satu menempel pada dinding
wadah/tempat perindukan di permukaan air atau sedikit di bawah permukaan
air. Jumlah telur antara 100-300 butir dalam sekali bertelur. Waktu penetasan
telur 1-2 hari atau dapat lebih lama bergantung pada keadaan air di
wadah/tempat. Telur Aedes dapat bertahan berbulan-bulan dalam
kondisi
kering dan bila telur ini terendam air dapat menetas menjadi larva. Pada
dinding luar (exochorion) telur Aedes tampak adanya garis-garis dan
membentuk gambaran seperti kain kasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi
11
daya tetas telur adalah suhu, pH air perindukan, cahaya, serta kelembaban
(Ginanjar, 2008).
Gambar 4. Telur Ae. aegypti (Malar, 2006)
2) Larva
Telur menetas lalu berkembang menjadi larva (jentik). Larva terdiri
dari atas 4 substadium (instar) sebelum akhirnya berubah menjadi pupa,
dari larva menjadi pupa diperlukan waktu 4-9 hari. Pertumbuhan larva dari
instar I sampai dengan instar IV ditandai dengan proses pengelupasan
kulit (moulting). Perkembangan dari instar I ke instar II perlu waktu 2-3
hari, dari instar II ke instar III perlu waktu 2 hari dan perubahan dari instar
III ke instar IV berlangsung dalam waktu 2-3 hari (Sudarto, 1972).
Larva Ae. aegypti biasanya bergerak lincah dan aktif dengan
memperlihatkan gerakan naik-turun ke permukaan air secara berulang.
Pada saat larva mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan corong
udara (siphon) pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada
posisi membentuk sudut dengan permukaan air (Kusnindar, 1990).
12
A
B
Gambar 5. (A) Larva Ae. aegypti (B) Penampang segmen ujung ekor pada larva Ae.
aegypti ( Malar, 2006; WHO, 1995)
3) Pupa
Stadium pupa merupakan stadium akhir di dalam air. Stadium pupa
berbentuk bengkok dengan kepala-dada (cephalothorax) lebih besar
dibandingkan bagian perutnya dan bernafas dengan sepasang organ
berbentuk terompet (Soegijanto, 2006).
Stadium pupa merupakan fase puasa (tanpa makan) namun
memerlukan udara dan sangat sensitif terhadap pergerakan air. Jika terjadi
pergerakan air maka pupa bergerak cepat menyelam ke dalam air
kemudian muncul kembali dengan cara menggantungkan badannya
menggunakan tabung pernafasan pada permukaan air. Setelah 1-2 hari
pupa akan berkembang menjadi nyamuk dewasa (Cahyati & Suharyo,
2006; Sudarto, 1972).
13
Gambar 6. Pupa Ae. aegypti ( Malar, 2006)
4) Dewasa
Pada stadium dewasa nyamuk Ae. aegypti tubuhnya tersusun atas 3
bagian, yaitu kepala, dada dan
perut. Pada bagian kepala memiliki
sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Pada dada terdapat
tanda spesifik gambaran seperti lira, 3 pasang kaki yang beruas serta
sepasang sayap depan dan sayap belakang yang mengecil berfungsi
sebagai penyeimbang (halter). Perut terdiri dari sepuluh ruas dengan ruas
terakhir menjadi alat kelamin. Bagian dorsal perut berwarna hitam
bergaris-garis putih, sedang pada bagian ventral serta lateral berwarna
hitam dengan bintik-bintik putih keperakan (Sudarto, 1972).
Perbedaan antara nyamuk betina dan jantan terletak pada bagian
mulut dan antena. Nyamuk betina mempunyai antena bertipe pilose dan
mulut tipe penusuk-penghisap (piercing-sucking) sehingga mampu
menghisap darah manusia. Nyamuk jantan memiliki antena tipe pulmose
dan memiliki mulut yang lebih ramping sehingga tidak mampu menembus
kulit manusia. (Soegijanto, 2006)
14
A
B
Gambar 7. (A) Nyamuk Ae. aegypti betina (B) Bentuk thorax pada nyamuk
Ae. aegypti betina dewasa (Malar, 2006; WHO, 1995)
4.
Peran Ae. aegypti di bidang kesehatan
Nyamuk merupakan salah satu ektoparasit yang menimbulkan masalah
kesehatan karena nyamuk merupakan vektor penular berbagai penyakit. Selain
sebagai vektor penular, nyamuk juga berperan sebagai inang antara. Inang
antara artinya nyamuk secara normal digunakan oleh agen penyakit untuk
melangsungkan sebagian daur hidupnya, tetapi tidak sampai mengalami
kematangan kelamin (Hadi & Soviana, 2000).
Nyamuk Ae. aegypti diketahui sebagai pembawa virus flavivirus yang
merupakan vektor penyakit menular DBD. Penyakit ini menular melalui air liur
nyamuk pada saat darah dihisap. Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit
yang masih menjadi masalah kesehatan di sebagian wilayah Indonesia. Jumlah
kasus penderita DBD terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2011
sampai bulan agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR:
0,80%) (Ditjen P2PL Depkes RI, 2011).
15
5.
Upaya pengendalian nyamuk Ae. aegypti
Pengendalian nyamuk Ae. aegypti bertujuan untuk mengurangi atau
menekan populasi nyamuk serendah-rendahnya sehingga tidak menjadi penular
penyakit (Anonim, 2000).
Pemberantasan pada fase nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu :
1. Kimia : Pengasapan menggunakan alat fogging dengan insektisida untuk
memutuskan rantai penularan antara nyamuk dengan manusia. Insektisida
yang dapat digunakan adalah insektisida golongan (Sudarmo, 1991):
1. Organofosfat, contoh : temefos.
2. Piretroid sintetik, contoh : permetrin.
3. Karbamat.
2. Biologi : Serangga golongan artropoda dapat dipakai sebagai pengendali
nyamuk dewasa. Golongan artropoda bersifat parasit dan dapat membunuh
nyamuk dewasa. Contoh : Arrenurus madarazzi.
3. Fisik
: Memasang kawat kasa di lubang angin di atas jendela atau pintu,
memasang lampu kuning juga dapat menghalau nyamuk.
Pemberantasan pada fase jentik (larva), merupakan salah satu program
pemerintah yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
(Ditjen P2PL Depkes RI, 2011). PSN dilakukan dengan cara :
16
1. Kimia
: Menaburkan racun pembasmi jentik (larvasida) atau dikenal
dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah
temefos.
2. Biologi : Memelihara ikan pemakan jentik (ikan gupi, ikan kepala
timah)
3. Fisik
: Menguras tempat penampungan air minimal seminggu sekali,
menutup tempat-tempat penampungan air, mengubur barang bekas
yang dapat menampung air
Upaya pengendalian banyak difokuskan pada stadium larva dimana pada
stadium ini nyamuk tidak dapat berpindah dari air tempat hidupnya sehingga
mempermudah dalam pengaplikasian senyawa kimia (Tennyson et al., 2012).
Menurut WHO (2005), resistensi terhadap penggunaan temefos dan
senyawa organofosfat lainnya dapat ditimbulkan karena pemakaian secara terus
menerus. Selain itu pencemaran lingkungan juga dapat disebabkan akibat
penggunaan senyawa organofosfat.
3. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi merupakan teknik pemisahan senyawa yang paling umum
digunakan untuk analisis secara kualitatif, kuantitatif maupun preparatif.
Berbagai macam kromatografi telah dikembangkan saat ini dengan tujuan
memudahkan pemisahan senyawa sehingga didapatkan komponen-komponen
yang murni dan selektif. Kromatografi dapat dibedakan berdasarkan alat yang
digunakan, yaitu: Kromatografi kertas, Kromatografi lapis tipis, Kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT) dan kromatografi gas (GC).
17
Salah satu metode kromatografi sederhana yang masih dipakai hingga saat
ini adalah kromatografi lapis tipis. Kromatografi lapis tipis digunakan untuk
memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi
oleh fase diam (sifat lapisan) dalam fase gerak (larutan pengembang). Fase
diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap
(kromatografi cair-padat) atau sebagai penyangga untuk lapisan zat cair
(kromatografi cair-cair). Empat fase diam yang paling umum dipakai adalah
silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome)
dan selulosa. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau
campuran pelarut (Gritter et al., 1991).
Sampel senyawa ditotolkan pada fase diam. Fase gerak akan melewati fase
diam dengan gaya kapilaritas. Masing-masing totolan sampel akan terelusi
dengan jarak tempuh yang berbeda-beda karena afinitas yang berbeda dari
masing-masing komponen dengan fase diam atau fase gerak (Sharma, 1996).
Pengamatan visual dilakukan sebagai evaluasi hasil kromatogram dan
dibandingkan jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan.
Jarak ini dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation factor), dengan rumus
sebagai berikut :
Rf =
Jarak yang ditempuh senyawa terlarut
Jarak yang ditempuh pelarut
Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua
desimal. Pengertian hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), yang
menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Sharma, 1996).
18
F. Landasan Teori
Nyamuk Ae. aegypti merupakan salah satu vektor penyakit DBD. Di
Indonesia, demam berdarah masih menjadi penyakit endemis. Upaya-upaya yang
telah dilakukan pemerintah saat ini antara lain dengan menerapkan konsep 3M+,
penggunaan obat antinyamuk dan penggunaan larvasida (Melisa, 2013).
Penggunaan larvasida diyakini mampu mengendalikan populasi Ae. aegypti pada
stadium larva. Larvasida yang sering digunakan adalah jenis larvasida sintetik.
Padahal penggunaan larvasida sintetik yang berlebihan memiliki dampak negatif,
diantaranya pencemaran lingkungan dan resistensi serangga. Adanya laporan
terjadinya resistensi serangga terhadap zat-zat kimia tertentu yang sering
digunakan sebagai larvasida sehingga diperlukan agen larvasida baru yang tidak
menimbulkan resistensi terhadap serangga dan ramah lingkungan.
Daun tapak dara (C. roseus) telah diketahui memiliki kandungan alkaloid
yang tinggi. Senyawa alkaloid pada tanaman tapak dara dilaporkan memiliki sifat
toksis terhadap berbagai jenis larva nyamuk. Ekstrak aseton daun tapak dara juga
telah dilaporkan memiliki efek larvasida terhadap nyamuk Ae. aegypti (Remia dan
Logaswamy, 2010). Pemilihan ekstrak larut air pada penelitian ini dikarenakan
ekstrak larut air lebih mudah diaplikasikan oleh masyarakat.
G. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas ekstrak larut air daun tapak dara (Catharanthus
roseus) mengandung senyawa alkaloid yang dapat berefek larvasida terhadap
larvaA.aegypti.
Download